Sunday, May 27, 2012

Asal-usul Moralitas





Perhatikan gambar di atas. Anda yang kenal kitab suci Yahudi Tenakh, pastilah tahu gambar tersebut terkait dengan kisah apa. 

Menurut narasi teologis etiologis Taman Eden, kecerdasan moral manusia ada pada buah pohon moral, yang konon diminta sang ular untuk dimakan oleh Hawa, sang hero pemberani, sementara Allah melarangnya memakan buah pohon moral itu. Dus, pendek kata, moralitas berasal dari alam!

Apakah Hawa, dan Adam, adalah sepasang manusia yang menjadi moyang semua insan di muka Bumi? Tidak juga. Tetapi keduanya dapat ditafsirkan sebagai representasi kemanusiaan kolektif.

Bukti-bukti arkeologis menunjukkan bahwa makhluk manusia bertubuh modern Homo sapiens muncul 300.000 tahun lalu di Afrika./1/ Tetapi agama yang oleh antropolog Edward Tylor dinamakan “animisme” baru muncul 12.000 tahun SM, atau 14.000 tahun yang lalu./2/ Jika betul demikian, berarti selama 300.000 tahun minus 14.000 tahun, Homo sapiens tak mengenal agama apapun. 

Tapi penemuan arkeologis lebih mutakhir oleh arkeolog Universitas Oslo Sheila Coulson dan timnya, mengharuskan kita menyimpulkan lain. 

Coulson mendapatkan bukti, ritual keagamaan yang sudah berkembang, sudah dipraktekkan orang Basarwa di Ngamiland, Afrika Selatan, 70.000 tahun lalu./3/ Dalam ritual religius mereka, orang Basarwa 70.000 tahun lalu menyembah ular sanca (python) besar yang dalam kisah penciptaan mereka dipandang sebagai leluhur yang melahirkan manusia. 

Jika demikian, berarti selama 300.000 tahun minus 70.000 tahun, nenek moyang Homo sapiens hidup tanpa agama.

Jika selama 230.000 tahun nenek moyang kita tak mengenal agama, dari manakah mereka mendapatkan moralitas untuk mengatur kehidupan mereka? Sudah pasti, tanpa agama apapun, nenek moyang Homo sapiens bisa merumuskan moralitas yang simpel untuk ketahanan komunitas mereka. 

Jadi salah sekali jika kini kita beranggapan bahwa moralitas hanya bisa didapat dari agama.

Dari mana sesungguhnya moralitas berasal pada mulanya? Yang pasti, bukan dari agama. Dalam biologi kita, menurut biologiwan Richard Dawkins, ada altruistic gene dan selfish gene./4/ 

Altruistic gene mendorong setiap individu untuk mau berkorban diri demi survival komunitas. Selfish gene mendorong setiap individu untuk mempertahankan kehidupannya sendiri, yang akhirnya juga mempertahankan komunitasnya. 

Jadi, baik selfish gene maupun altruistic gene mendorong setiap individu membela dan mempertahankan komunitas, dengan caranya sendiri-sendiri. Tentu saja, dua jenis gen dalam organisme yang dinamakan Homo sapiens muncul dari sejarah panjang evolusi biologis spesies, tidak serta merta dijatuhkan dari langit oleh suatu Oknum Adikodrati manapun.

Bagaimana cara gen manusia bekerja untuk menghasilkan ketahanan komunitas mereka? Tak ada cara lain selain gen insani itu mengatur cara otak manusia bekerja, demi survival manusia.

Gen manusia bekerja sedemikian rupa lewat otak manusia untuk menghasilkan ketahanan komunitas. Tak ada jalur lain selain lewat otak, untuk gen kita memerintahkan kita mempertahankan kehidupan komunitas. Gen kita menghendaki spesies kita bertahan kekal di muka Bumi.

Jadi, pertanyaan dari mana asal-usul moralitas pada mulanya, dapat dijawab: moralitas muncul dari kerja otak manusia sendiri. Selama otak manusia masih bekerja, dan selama gen kita mendorong kita untuk mempertahankan spesies kita, moralitas dilahirkan. Gen kitalah yang berjuang di dalam diri kita, lewat sel-sel neuron otak kita yang "membaca" DNA kita, untuk melahirkan moralitas. Tentu, ada interaksi antara gen kita dan faktor-faktor lingkungan ("environtmental factors").

Semua agama boleh lenyap, tapi manusia akan tetap hidup dan bertahan jika gen kita terus mendorong otak kita untuk bekerja supaya kehidupan Homo sapiens bertahan hidup. Kalau dulu kajian-kajian agama menjadi perhatian kita dalam kita merumuskan moralitas, sekarang tidak itu saja. Sebagai komplemen studi agama, kini neurosains (atau neurobiologi) memegang peran penting dalam usaha manusia merumuskan moralitas./5/

Neurosains adalah kajian saintifik atas segala sesuatu yang berkaitan dengan sel-sel saraf dalam organ otak kita, yang dinamakan neuron yang jumlahnya 100 milyar sel. Neurosains telah memperlihatkan ihwal apakah seseorang bisa menjadi baik atau bisa menjadi jahat, tak bergantung pada suatu Allah adikodrati. Menjadi jahat atau menjadi baik, bergantung pada ihwal bagaimana seseorang me-manage neuron-neuron dalam organ otaknya. 

Watak dan sifat serta pembawaan dan kepribadian kita dibentuk oleh faktor-faktor neurogenetik dan faktor-faktor lingkungan, secara interaktif, sejak kita dilahirkan. 

Bahkan kondisi-kondisi kehidupan janin dalam rahim juga ikut berperan pada pembentukan watak dan kepribadian si anak yang akan dilahirkan, antara lain lewat makanan dan obat-obat yang dimakan dan diminum seorang perempuan yang akan/sedang hamil, atau lewat sikon mental si ibu saat sedang hamil--- inilah yang dinamakan faktor "epigenetik" ("epi" artinya "di atas").

Epigen berfungsi untuk "mengaktifkan" ("turning on") dan "menonaktifkan" ("turning off") gen-gen lewat perubahan-perubahan eksternal struktur DNA tanpa mengubah sekuens genetik. Perubahan struktural gen-gen ini berpengaruh pada cara sel-sel "membaca" kode-kode genetik.

Untuk segala jenis kelakuan dan sikap mental, ada ruang-ruang neural-nya sendiri dalam organ otak kita. Menjadi liberal dalam beragama atau malah menjadi militan fundamentalis, juga ada ruang-ruang neurologisnya yang menentukan, dalam organ otak./6/

Demikian juga, ada ruang-ruang neural dalam organ otak kita yang membuat seseorang bisa berhaluan politik liberal atau bisa berhaluan politik konservatif, bergantung pada mana yang paling banyak diberi masukan mental dan pada kondisi fisik anatomis ruang-ruangnya./7/

Ihwal apakah seseorang menjadi psikopat (anti-sosial dan tak bisa berempati) juga ditentukan oleh kondisi kesehatan ruang-ruang neural tertentu dalam organ otaknya./8/

Sekali lagi, faktor-faktor lingkungan, seperti pengasuhan, pendidikan, sikon hidup berkeluarga sejak kecil, lingkungan pergaulan, kondisi alam, dan berbagai faktor sosiobudaya, juga berperan dengan real. 

Jika ada kecenderungan genetik untuk seseorang bertumbuh menjadi jahat dan kejam, tidak otomatis dia akan menjadi seorang kriminal, sebab pengasuhan dan pendidikan yang baik, lingkungan kehidupan keluarga yang teduh serta pergaulan yang sehat akan dapat menekan kecondongan genetik ini dalam batas-batas tertentu yang signifikan.

Menjatuhkan kesalahan dan hukuman pada gen ketika seseorang menjadi jahat dan durjana, sama artinya menjatuhkan kesalahan dan hukuman pada manusia si pemilik gen, karena gen tidak aktif sendirian, tetapi berinteraksi dengan berbagai faktor  environmental dalam kehidupan yang dijalani dengan sadar dan dipahami setiap manusia.

Jadi, mengapa dan bagaimana nenek moyang manusia selama 230.000 tahun bisa survive atau bertahan hidup sekalipun tanpa agama? 

Jawabnya: karena mereka berpikir, karena mereka menggunakan otak mereka untuk berpikir, untuk menimbang-nimbang dengan cepat atau dengan hati-hati, untuk merasakan, juga karena mereka memikirkan dan belajar dari pengalaman-pengalaman mereka dan kehidupan alam. Pikiran, dan perasaan, serta konteks kehidupan real yang di dalamnya manusia mengalami berbagai pengalaman, adalah sumber-sumber moralitas.

Orang beragama tanpa berpikir, akan binasa bersama agamanya; tapi orang berpikir tanpa beragama, akan bertahan abadi, setidaknya spesiesnya sebagai kolektivitas. Survival manusia bergantung pada isi pikirannya dan caranya berpikir, bukan pada agama apapun. Tentu, banyak juga hal yang baik dan membangun kehidupan dalam bangunan agama-agama. Temukan dan jalankanlah hal-hal baik dalam agama-agama sebagai bagian dari pengasuhan dan pendidikan yang tak pernah selesai.

Agama, tentu, hanya bermanfaat jika membantu manusia berpikir dengan benar dan hidup dengan mulia demi global survival spesies manusia. Tetapi jika agama hanya sebagai museum fosil teologi, atau dijadikan tunggangan kalangan politikus yang tidak berhatinurani, agama semacam ini tak membantu manusia berpikir cerdas dan berbuat mulia, dus tak membantu ketahanan hidup spesies manusia. 

Begitu juga, jika suatu versi sebuah agama hanya melahirkan para radikalis, agama jenis ini sama sekali tidak membangun nilai moral yang bermanfaat buat kepentingan umat manusia sedunia. Sebaliknya, malah akan membinasakan kehidupan dan peradaban. Agama jenis ini hanya mendangkalkan dan menumpulkan otak manusia, tidak memperdalam dan juga tidak menajamkannya, dan pasti mematikan perasaan, nurani dan cahaya kebaikan jiwa.

Bahwa agama bukan sumber moralitas, terlihat juga kalau kita mengamati kehidupan primata dan mammalia lain, seperti simpanse dan bonobo, juga gajah.

Beberapa kajian atas kehidupan sosial primata dan mammalia lain memperlihatkan bahwa hewan-hewan ini juga menghayati perilaku-perilaku sosial yang bermoral (memperlihatkan kerjasama resiprokal, keadilan, empati, bela rasa, kesanggupan menghibur, dan kecenderungan-kecenderungan prososial). Disimpulkan bahwa moralitas dihasilkan lewat proses evolusi./9/




Berkawan, bersosialisasi, atau parental care?


Kajian-kajian lebih luas atas perilaku binatang (mencakup serigala, monyet, kera, simpanse, bonobo, ikan paus, dolfin, tikus, gajah, kelelawar, anjing hutan) yang dilakukan Marc Bekoff dan Jessica Pierce,/10/ memperlihatkan bahwa moralitas terhubung kuat dengan dan menjadi fungsi integral (hard wired) otak semua mammalia, dan menyediakan “perekat sosial” yang memungkinkan hewan-hewan yang agresif dan kompetitif sekalipun untuk hidup bersama dalam kelompok-kelompok.

Bekoff menandaskan bahwa “kepercayaan bahwa manusia memiliki moralitas dan binatang tidak, adalah suatu asumsi yang sudah lama dipegang orang, tapi ada bukti-bukti yang makin bertambah yang memperlihatkan bahwa asumsi ini tidak benar.”

Mereka berdua menyatakan bahwa “moralitas adalah suatu ciri yang muncul dari proses evolusi, dan binatang-binatang lain memilikinya sama seperti kita, manusia, memilikinya.”

Tandas mereka, “binatang-binatang bukan saja bertindak secara altruistik, tetapi juga memiliki kapasitas untuk berempati, mengampuni, mempercayai, bekerja sama timbal balik, dan banyak lagi. Dalam diri manusia, perilaku-perilaku semacam ini membentuk inti dari apa yang kita namakan moralitas. Ada alasan yang baik untuk menyebut perilaku-perilaku ini sebagai moralitas juga dalam diri binatang-binatang. Moralitas adalah suatu strategi adaptif yang luas dalam suatu kehidupan sosial yang telah berevolusi dalam banyak masyarakat binatang selain masyarakat kita manusia.”/11/

Pendek kata, moralitas insani bukan diberikan oleh agama apapun, tetapi muncul dari dalam proses evolusi spesies yang berlangsung amat panjang, sebagai kemampuan-kemampuan genetik yang menggerakkan otak manusia, lewat pikiran dan perasaan mereka, dalam suatu konteks kehidupan yang real, untuk menghasilkan organisme insani yang dapat bertindak secara bermoral. 

Manusia yang dibentuk alam lewat evolusi biologis sehingga memiliki kesadaran tentang moralitas-- kesadaran tentang mana hal yang baik dan mana hal yang jahat, mana yang benar dan mana yang salah, mana putih dan mana hitam-- akhirnya memasukkan nilai-nilai moral ke dalam tubuh agama-agama, ketika agama-agama natural dan terlembaga perlahan-lahan mulai dibangun, tahap demi tahap, lewat proses evolusioner.




Di tahun 1960-an, Paul MacLean mengajukan model the Triune Brain atau otak tiga lapis: lapisan tertua otak reptil, lapisan tengah otak paleomamalia, dan lapisan termuda neokorteks atau neomamalia. Klik gambar untuk memperbesar. Sumber-sumber gambar: jstor.org dan researchgate.net.


Dalam proses evolusi biologis, kemampuan-kemampuan genetik manusia untuk hidup bermoral didahului oleh munculnya kemampuan-kemampuan genetik serupa yang jauh kurang kompleks pada hewan primata dan mammalia, yang menggerakkan hewan-hewan ini untuk juga, dalam batas-batas tertentu, menjalani kehidupan bersama yang “bermoral”.

Tapi, ketika lapisan ketiga terluar otak Homo sapiens, yang dinamakan neokorteks (atau lapisan neomamalia), sudah terbentuk dalam proses evolusi otak organisme-organisme hominin pra-Homo sapiens, manusia akhirnya menjadi organisme tercerdas yang mampu memakai jalan pikiran mereka untuk hidup berdasarkan nilai-nilai moral yang agung dan mulia. 

Pertahankanlah kemuliaan manusia ini. Jangan dihancurkan. Dan ingat, otak hewan (buas) reptil ada dalam otak manusia, sebagai lapisan terdalam dan tertua.


NB: Lebih rinci tentang moralitas, bacalah tulisan saya SCIENCES AND VALUES.



Catatan-catatan

/1/ Lihat L. Vigilant et al., “African Populations and the Evolution of Human Mitochondrial DNA”, Science 253, no. 5027 [1991], hlm. 1503-1507.

/2/ Robert Wright, The Evolution of God (New York, etc.: Little, Brown and Company, 2009) hlm. 17.

/3/ Reportase tentang temuan arkeologis ini tersedia online di http://www.afrol.com/articles/23093.

/4/ Richard Dawkins, The Selfish Gene (New York: Oxford University Press, 1976).

/5/ Sejumlah buku telah membahas hubungan neurosains dan moralitas manusia, antara lain Sam Harris, The Moral Landscape: How Science Can Determine Human Values (New York: Free Press, 2010); Patricia S. Churchland, Braintrust: What Neuroscience Tells Us about Morality (Princeton and Oxford: Princeton University Press, 2011).

/6/ Lihat Andrew Newberg & Mark Robert Waldman, How God Changes Your Brain: Breakthrough Findings From A Leading Neuroscientist (New York: Ballantine Books, 2009); Michael Persinger, Neuropsychological Bases of God Beliefs (New York: Praeger, 1987).

/7/ Lihat reportase dan video online-nya di http://www.huffingtonpost.com/2012/04/07/conservative-politics-low-effort-thinking_n_1410448.html?ncid=edlinkusaolp00000003.

/8/ Lihat reportase dan video online-nya di http://www.reuters.com/article/2012/05/07/us-brains-psychopaths-idUSBRE8460ZQ20120507.

/9/ Lihat http://www.youtube.com/watch?v=GcJxRqTs5nk; lihat juga http://www.telegraph.co.uk/earth/wildlife/5373379/Animals-can-tell-right-from-wrong.html.

/10/ Marc Bekoff dan Jessica Pierce, Wild Justice: The Moral Lives of Animals (Chicago: the University of Chicago Press, 2009).

/11/ Marc Bekoff dan Jessica Pierce, Wild Justice, hlm. xi, 3.