Thursday, December 25, 2008

Pornografi dalam Teks Keagamaan


Maulana Jalaluddin Rumi lahir di Afghanistan pada tahun 1207, tinggal di Konya (260 km dari Ankara), dan meninggal pada tahun 1273. 

Rumi adalah seorang sufi yang banyak melakukan perenungan mendalam, spontan, merasuk kalbu, mistikal dan mencerahkan mengenai cinta. Oleh Coleman Barks, Rumi dijuluki “seorang kekasih yang tercerahkan” (Rumi: The Book of Love, 2003: xviii). 

Sementara orang menyebut Gilani (wafat 1166) sebagai Qutb (kutub) kekuasaan, dan Ibnu Arabi (1165-1249) sebagai kutub pengetahuan, Rumi dipandang sebagai kutub cinta. 

Teks sufistik tentang cinta karya Rumi telah menjadi teks keagamaan mistikal penting, inspiratif dan berwibawa bagi kaum Muslim, khususnya bagi muslimin dan muslimah yang mendalami sufisme dan tertarik pada hakikat cinta. 

Lebih dari itu, sekarang ini teks-teks cinta Rumi telah menjadi teks inspiratif yang dibaca dan diresapi oleh umat manusia lintas agama, di Timur dan di Barat. 

Renungan dan pengalaman mistikal Rumi tentang cinta ini dituangkan dan dilantunkan dalam puisi-puisinya, puisi-puisi tentang cinta, cinta ilahi, dan cinta persahabatan antara dua orang manusia, khususnya cinta antara dirinya dan diri Syamsi Tabriz, sahabatnya dalam ziarah mistikal spiritualnya. 

Cinta ada, kata Rumi, bukan untuk dikatakan atau dibicarakan, tetapi untuk dialami dan dihayati. 

Tentang cinta ilahi, Rumi bersajak,

Pergilah ke pangkuan Allah, maka Allah meraih engkau ke dada-Nya dan mencium engkau dan menyatakan Diri-Nya supaya engkau tidak lari meninggalkan-Nya tetapi meletakkan seluruh hatimu pada-Nya, siang dan malam


dan tentang cinta persahabatan, Rumi bergelora,

Lihatlah, aku telah mencoba segala sesuatu, berpaling ke segala arah. 
Tetapi tidak pernah kutemukan seorang sahabat sebaik engkau. Aku kecap setiap mata air, setiap buah anggur, tetapi tidak pernah kukecap anggur semanis engkau…

Tetapi, puisi-puisi Rumi tentang cinta juga mencakup puisi-puisi tentang cinta seksual erotik antara laki-laki dan perempuan. Melebur cinta ilahi dan cinta erotik, Rumi berkata,


“[I]ngatlah, cara kamu bermain cinta adalah cara Allah untuk berada bersama kamu.”

Sehabis menyatakan hal ini, Rumi pun melalui puisi cintanya langsung menuturkan sebuah kisah yang sangat sensual erotik.

Konon, Rumi berkisah, ada seorang Kalifah Mesir yang jatuh cinta pada seorang selir dari Raja Mosul, yang gambar wajahnya dibuat dan diperlihatkan seseorang kepadanya.


Untuk mendapatkan perempuan cantik yang tiada taranya itu, sang Kalifah menugaskan Kaptennya untuk mengepung kota Mosul berminggu-minggu lamanya. Korban-korban pun banyak berjatuhan. 

Akhirnya, Raja Mosul mengutus seorang duta untuk menanyakan mengapa sang Kalifah memerangi negerinya. 

Ketika diketahui dari sang Kapten bahwa sang Kalifah menginginkan selirnya, Raja Mosul itu pun tanpa berat hati menyerahkan perempuan cantik itu kepada sang Kapten. 

Apa mau dikata, ketika sang Kapten melihat perempuan cantik itu, dia pun jatuh cinta kepadanya, sama seperti sang Kalifah. 

Malam harinya, sang Kapten bermimpi basah menyetubuhi sang selir itu. Ketika dia bangun dari tidurnya, dia pun menginginkan perempuan itu. 

Tinimbang membawa perempuan itu langsung kepada sang Kalifah, sang Kapten menggelar tenda di sebuah padang rumput yang terpencil. Perempuan cantik itu dibawa masuk ke dalam tendanya itu. Disobeknya celana panjang perempuan itu, lalu dia pun meletakkan tubuh telanjangnya di antara kedua paha perempuan itu. Alat kelamin sang Kapten berereksi kuat. 

Pada saat yang bersamaan, di luar tenda para prajurit berteriak-teriak keras. Rupanya, ada seekor singa hitam telah mendatangi perkemahan mereka dari rawa-rawa di sekitar mereka dan kini berada di antara kuda-kuda. 

Dalam keadaan telanjang dan alat vital menegang kuat, sang Kapten segera melompat keluar dengan pedang terhunus di tangannya. Sang Kapten dengan satu kali sabetan berhasil memenggal kepala singa itu. 

Lalu, dia pun berlari kembali kepada perempuan itu. Ketika dia sampai kembali pada perempuan cantik itu, alat kelaminnya bahkan lebih tegang lagi dari sebelumnya. 

Melihat kejantanan sang Kapten, sang selir itupun kagum. Maka enerji besar kedua makhluk seksual ini pun menyatu, dalam persetubuhan. 

Kemudian, sang Kapten berkata kepada perempuan cantik itu, “Sepatah kata pun jangan kau katakan tentang hal ini kepada sang Kalifah!” 

Dia pun membawa perempuan itu, dan menyerahkannya kepada sang Kalifah. Melihat bahwa perempuan itu seratus kali lebih cantik daripada yang dia bisa bayangkan berdasarkan gambarnya, sang Kalifah pun benar-benar jatuh cinta. 

Maka dia pun ingin sekali menyetubuhi perempuan itu. Ketika dia, dengan alat kelamin sudah demikian tegang, hendak bersenggama dengan perempuan itu, di ruangan terdengar bunyi kecil seperti suara seekor tikus.

Rumi menulis, itulah suara dari Allah supaya sang Kalifah menghentikan dorongan gairah seksualnya. 


Maka, dikisahkan lebih jauh, alat vital sang Kalifah pun segera loyo dan nafsu birahinya lenyap sama sekali. 

Ketika perempuan itu melihat keadaan sang Kalifah, dan mengingat kejantanan luar biasa dari sang Kapten sebelumnya, maka dia pun tertawa lama, terbahak-bahak. 

Setelah dia menguasai diri kembali, perempuan itu pun menceritakan semuanya, tentang kejantanan sang Kapten dan persetubuhan mereka, yang sangat bertolak-belakang dengan keadaan sang Kalifah yang dibuat loyo hanya oleh denyit seekor tikus.

Sang Kalifah pun kini memahami segalanya dengan jelas. Kini dia menyadari akan kesombongannya memamerkan kekuasaannya untuk merebut perempuan itu dari Raja Mosul. 


Dia pun insaf bahwa barangsiapa melukai seseorang, dia pun akan dilukai juga. 

Akhirnya dia memutuskan untuk memutus mata-rantai pengumbaran nafsu syahwat laki-laki itu. 

Maka, kata sang Kalifah kepada perempuan itu, “Sekarang, dalam tindakan rakhmatku, aku akan mengirim engkau kembali kepada sang Kapten. Semoga kalian berdua dapat menikmati kesenangan.”

Lalu Rumi menutup kisah puitis erotis sensualnya itu dengan kata-kata ini: 


“Inilah kejantanan seorang nabi. Sang Kalifah mengalami impotensi seksual, namun, dalam kondisi itu, kemanusiaannya begitu kuat dan digdaya. Hakikat terdalam kemanusiaan sejati seseorang adalah kemampuannya untuk mengalahkan pengumbaran nafsu sensual. 

Kekuatan libido sang Kapten sangat tidak berharga jika dibandingkan dengan sifat ksatria sang Kalifah dalam dia mengakhiri siklus menabur dorongan syahwat dan menuai kerahasiaan dan kejahatan.”

Jelas, di luar pesan moral yang disampaikan pada bagian akhirnya, kisah puitis erotik karya Rumi di atas, jika dibaca dalam gaya bahasa aslinya dan dalam teks lengkapnya, akan digolongkan sebagai pornografi. 


Kalau pun teks Rumi itu dicap sebagai pornografi, teks pornografis ini adalah teks sufistik religius mistikal yang amat disegani dan disanjung. 

Ketika teks keagamaan mau mengajar dan membagi pengalaman para sufi tentang cinta dan tentang kehidupan moral yang berdisiplin dan ksatria, teks-teks bercorak pornografis ternyata ikut juga dipakai sebagai media pengajaran dan penyampaian wahyu ilahi.

Kasus bahwa teks keagamaan juga berisi pornografi ditemukan juga pada banyak teks keagamaan lainnya. 


Pada kesempatan ini perhatian perlu diberi kepada kitab suci gereja, Alkitab, khususnya Kitab Kidung Agung dalam kanon Perjanjian Lama. Dalam kitab ini, bermain cinta dilukiskan secara puitis metaforis demikian:

Betapa cantik, betapa jelita engkau, hai tercinta di antara segala yang disenangi
Sosok tubuhmu seumpama pohon korma dan buah dadamu gugusannya
Kataku: “Aku ingin memanjat pohon korma itu dan memegang gugusan-gugusannya. Kiranya buah dadamu seperti gugusan anggur dan nafas hidungmu seperti buah apel. Kata-katamu manis bagaikan anggur!”
(Kidung Agung 7:6-9a)

Ajakan bermain cinta dari laki-laki kepada pacarnya, digambarkan demikian:

Aku tidur, tetapi hatiku bangun
Dengarlah, kekasihku mengetuk.
“Bukalah pintu, dinda, manisku, merpatiku, idam-idamanku,
karena kepalaku penuh embun dan rambutku penuh tetesan embun malam!”
“Bajuku telah kutanggalkan, apakah aku akan mengenakannya lagi?”
(Kidung Agung 5:2-3)

Keintiman dengan sang kekasih diungkapkan demikian,

Bagiku kekasihku bagaikan sebungkus mur,
tersisip di antara buah dadaku
. (Kidung Agung 1:13).

Untuk menghindari sentuhan erotik sensual dari teks-teks dalam Kidung Agung itu, teks-teks itu dalam penafsirannya dialegorisasi atau dirohanikan, sehingga hubungan cinta erotik antara dua manusia berlainan jenis itu ditafsir sebagai hubungan cinta antara Allah dan umat Israel atau antara Yesus Kristus (sebagai mempelai pria) dan gereja (sebagai mempelai perempuan). 


Bagaimana pun juga, Kitab Kidung Agung memang memuat teks-teks sensual erotik. Tetapi, dengan adanya Kidung Agung dalam kanon kitab suci gereja, mistisisme yang diungkap dalam bahasa sensual erotis haruslah juga boleh dihayati oleh warga gereja.

Akhir kata, harus ditegaskan bahwa teks-teks keagamaan ternyata bisa tidak terlepas dari pornografi. 


Ketika suatu teks pornografis masuk ke dalam teks keagamaan, maka hancur leburlah batas antara teks yang tidak bermoral dan teks yang bermoral. 

Meskipun bercorak pornografis, teks-teks keagamaan itu tidak merusak, tetapi membangun, moral religius, khususnya bagi kalangan mistikus. 

Jadi, penting untuk kita ketahui dulu, apa tujuan orang ketika dia memakai dan mengajukan teks atau gambar porno, sebelum kita menjatuhkan vonis moral dan politis kepadanya.

Salam,

Ioanes Rakhmat