Thursday, June 18, 2015

Pantaskah Ibu Aung San Suu Kyi dicaci?

Aung Sang Suu Kyi sedang disambut bunga-bunga oleh para pendukungnya setibanya dia di Burma, 14 Juni 2015, setelah berkunjung ke China

Dari hasil pemantauan saya, sekarang ini terlihat banyak Muslim, dan juga para pegiat HAM, yang mencemooh bahkan mengatai-ngatai Aung San Suu Kyi dengan keras, lantaran, kata mereka, sang Ibu pemenang Hadiah Nobel perdamaian ini ternyata hanya berdiam diri saja ketika berhadapan dengan kondisi buruk Muslim Rohingya. Untuk mereka yang semacam ini, baiklah saya ketengahkan sebuah cuplikan wawancara terbaru dengannya.

Sehabis perkunjungannya ke China beberapa waktu lalu, Ms. Aung San Suu Kyi pada 16 Juni 2015 diwawancara lewat telpon oleh jurnalis The Washington Post, Mr. Fred Hiatt. Ada sejumlah hal yang dibicarakan, misalnya hubungan partai Liga Nasional untuk Demokrasi (National League for Democracy, NLD) yang dipimpinnya dengan RRC, Pemilu Burma yang dijadwalkan November 2015 ini, ekstrimisme keagamaan, hak-hak kaum minoritas, dan hal-hal lain. Perhatikan sebagian wawancara berikut ini. 

T: Mengapa nasionalisme Buddhis kini sedang bangkit?

 
J: Aku pikir, kita harus membedakan nasionalisme dan ekstrimisme. Hal yang kami khawatirkan adalah ekstrimisme. Nasionalisme, ketika terkendali dan digunakan dengan cara yang benar, bukanlah suatu hal yang buruk. Yang menjadi masalah adalah ekstrimisme.

T: Apakah sekarang ekstrimisme menjadi sebuah masalah di Burma?

 
J: Menurutku, semua ekstrimisme di seluruh dunia, bukan hanya di Burma, di dalam masyarakat manapun, dapat menjadi sebuah masalah.

T: Apa sumber esktrimisme di negeri anda? Kenapa kita sekarang sedang menyaksikannya?

 
J: Ya, akupun bertanya-tanya. Tetapi tentu saja, jika anda sedang membicarakan negara bagian barat Rakhine, masalah-masalah ini telah berlangsung selama berdekade-dekade. Masalah-masalah ini memang terus membara, dan pemerintah belum bertindak cukup untuk mengurangi ketegangan dan menyingkirkan sumber-sumber konflik.

T: Menurut anda, apakah orang Rohingya harus mendapatkan kewarganegaraan?

 
J: Pemerintah Burma kini sedang melakukan verifikasi status kewarganegaraan di bawah UU Kewarganegaraan 1982. Aku pikir, mereka harus melakukannya dengan sangat cepat dan sangat transparan, lalu memutuskan apa langkah-langkah selanjutnya yang harus diambil dalam prosesnya.

T: Apa yang anda akan katakan kepada rekan-rekan anda di luar Burma yang menyatakan bahwa anda harus terus-menerus berbicara tentang kondisi sangat buruk yang sedang dialami orang Rohingya dan minoritas-minoritas lain?

 
J: Dalam negara Burma, ada banyak minoritas. Aku selalu mendukung hak-hak kalangan minoritas, perdamaian dan harmoni, dan juga kesetaraan, dan banyak hal lain, yang semuanya termasuk dalam nilai-nilai demokratis yang NLD dan kalangan lain sedang perjuangkan sejak tiga dekade lalu hingga kini. Kami sendiri selama bertahun-tahun ini telah mengalami tindakan-tindakan keras pelanggaran HAM, begitu juga kalangan-kalangan lainnya. Banyak sekali dari kalangan minoritas kami yang melawan berhubung hak-hak mereka tidak dilindungi. Perlindungan hak-hak kaum minoritas adalah suatu isu yang harus ditangani dengan sangat, sangat hati-hati, dan juga dengan secepat dan seefektif mungkin. Aku tidak yakin pemerintah sudah mengambil langkah-langkah yang cukup terhadap isu ini. Sebetulnya, menurutku, mereka belum melakukan hal-hal yang cukup mengenai isu ini.

T: Apa yang anda maksudkan dengan “sangat, sangat hati-hati”? 


J: Maksudku hanyalah bahwa itu adalah suatu isu yang sangat sensitif, dan ada sangat banyak kelompok rasial dan keagamaan, sehingga apapun yang kami lakukan terhadap suatu kelompok, akan selalu ada dampaknya pada kelompok-kelompok lain juga. Jadi, situasinya memang sangat rumit, sehingga tidak bisa diselesaikan dalam satu malam saja.

T: Apakah partai-partai ekstrimis merupakan sebuah risiko politis bagi NLD, dan apakah bisa ada satu alasan untuk sentimen semacam itu ditimbulkan dan ditunggangi? 


J: Itu mungkin saja, sebab NLD tidak pernah mendukung ekstrimisme dalam bentuk apapun. Jadi, kelompok-kelompok ekstrimis tidak akan memandang diri mereka sebagai sahabat-sahabat NLD. Jadi, sangatlah mungkin ada suatu motif politis di balik apa yang dinamakan kebangkitan gerakan-gerakan keagamaan.

Nah, saya berharap, kita jadi makin bisa lebih empatetis dalam memahami posisi Aung San Suu Kyi, dan tetap yakin bahwa dia berkomitmen untuk membela dan melindungi hak-hak kaum minoritas Burma yang memang sedang banyak dilanggar. Semoga NLD akan menang telak dalam Pemilu November mendatang ini, dan hasilnya tidak akan dianulir oleh militer Burma yang masih belum bisa melepaskan diri dari kekuasaan politik, sementara pemerintah yang sekarang berkuasa menjalankan sistem pemerintahan demokratis semu. Dan semoga juga, seusai Pemilu nanti, Daw Suu tidak akan dikenakan tahanan rumah kembali oleh pihak militer, dan demokrasi menang mutlak di negerinya. Hanya lewat demokrasi, hak-hak kelompok-kelompok minoritas di Burma akan dihargai sepenuhnya, dan kewajiban-kewajiban mereka akan juga dapat dijalankan dengan baik. 


Jika Aung San Suu Kyi sekarang gagah-gagahan melawan dengan frontal rezim yang tengah berkuasa dan kekuatan militer yang masih sangat kokoh di baliknya, demokrasi yang Suu Kyi sedang perjuangkan, akan kandas lagi, terkubur makin dalam di tanah Burma. Hemat saya, Daw Suu sangat cermat membaca peta geopolitik Burma masa kini; dia berwawasan jauh, profesional, cerdas membaca situasi dan kondisi, hanya demi satu hal: kemenangan langgeng demokrasi di negeri Burma.
 

Jadi, gantilah cacian dan sumpah serapah dengan berkat, doa, dan dukungan semangat! Sebar energi positif ke dalam masyarakat. Padamkan api cacian dan gelegak amarah dalam masyarakat. Hanya dengan cara ini, dunia akan lebih baik dari saat ke saat. Orang yang terus-menerus mencaci orang lain jelas sekali adalah orang yang belum memiliki kedamaian dalam batinnya sendiri; dus, otomatis dia tidak akan bisa membawa kedamaian ke dalam masyarakat dan dunia. Start peace with your own self!

Salam,
ioanes rakhmat
 


Jangan dilewatkan pemantauan saya terhadap kasus Muslim Rohingya sejak 2102!

Baca selengkapnya wawancara di atas di http://www.washingtonpost.com/opinions/aung-san-suu-kyi-on-the-state-of-democracy-in-burma/2015/06/16/b3bfa124-141c-11e5-89f3-61410da94eb1_story.html.


Tuesday, June 16, 2015

Teologi pembebasan, Óscar Romero, dan Paus Fransiskus kini . . .

 
Óscar Romero


Di Amerika Latin, teologi pembebasan yang dirumuskan banyak pakar teologi Gereja Roma Katolik di sana (antara lain Gustavo Gutiérrez, Leonardo Boff, dan Jon Sobrino) pada era 1960-an hingga era 1970-an, adalah suatu bentuk kontekstualisasi pemikiran teologis Kristen dalam konteks sosial-politik dan ekonomi negara-negara di sana yang dibuat bangkrut oleh kapitalisme, yang menimbulkan kemiskinan parah di kalangan penduduk. 

Pada masa-masa itu, karena Perang Dingin, dunia boleh dikata terbelah jadi dua, blok Amerika Serikat (yang kapitalis) versus blok Uni Soviet (yang sosialis). Sudah jelas, Vatikan adalah sahabat dan sekutu Amerika Serikat. Tembok Berlin masih kokoh berdiri.

Sesuai namanya, teologi pembebasan, pendek saja, memang dimaksudkan untuk mendorong gereja bersama rakyat mencapai atau merebut kemerdekaan ekonomi dan politik dari penjajahan kapitalisme global dan antek-antek lokalnya, dengan menimba inspirasi pastoral, moral, etik dan spiritual dari teks-teks Alkitab dan khususnya dari kiprah-kiprah kejuangan Yesus dari Nazareth. 

Dalam teologi ini, analisis sosial (perjuangan kelas) yang memakai model Marxis digunakan bersama dengan refleksi-refleksi kritis atas teks-teks kitab suci dan konteks masa kini. Teologi ini mengarahkan masyarakat dunia ke suatu tatanan sosial yang sama sekali berbeda dari tatanan masa itu, tatanan transendental yang akan masuk ke dalam dunia lewat aksi-aksi sosialpolitis, suatu ide yang dikenal sebagai utopi.

Pada masa Paus Yohanes Paulus II berkuasa di Vatikan, dan Kardinal Joseph Ratzinger menjadi ketua Kongregasi Doktrin Iman (belakangan menjadi Paus Benediktus XVI), teologi pembebasan Amerika Latin dihambat dan para pembelanya, terutama pendirinya Gustavo Gutiérrez, mengalami banyak tekanan, karena mereka dinilai sudah teracuni ideologi Marxisme. Maklum saja, mereka berdua adalah dua orang pemuka teratas Vatikan, dan mereka adalah bagian dari blok Barat Amerika Serikat (yang kapitalis) yang sedang berperang dingin dengan blok Timur Uni Soviet (yang sosialis).

Kini di bawah kepemimpinan yang cerdas Paus Fransiskus, teologi pembebasan mulai diberi tempat leluasa dalam GRK dan para teolognya kini bebas untuk bergerak. Dalam sebuah acara di Vatikan bulan Mei 2015, Gustavo Gutiérrez telah diundang sebagai seorang pembicara penting./1/

Bahkan Paus Fransiskus pada 3 Februari 2015 sudah menetapkan Uskup Kepala (ke-4) San Salvador, Óscar Arnulfo Romero y Galdámez (lebih dikenal sebagai Oscar Romero; lahir 15 Agustus 1917), yang tewas ditembak persis pada jantungnya pada 24 Maret 1980 saat dia sedang menyelenggarakan missa, sebagai seorang martir. Tidak lama sesudah itu, pada 23 Mei 2015, Paus Fransiskus menetapkan Romero sebagai seorang santo./2/ Kejadian-kejadian ini menunjukkan bahwa teologi pembebasan kini sedang bangkit kembali di GRK lewat langkah-langkah Paus Fransiskus.

Kita tahu, Óscar Romero adalah korban paling terkemuka dari antara 75.000 orang yang dipercaya telah dibunuh dalam perang saudara di El Salvador yang berlangsung 1980-1992. 

Romero disejajarkan dengan dua sosok beken lainnya di Amerika Tengah: Salvador Allende (presiden Chile aliran Marxis yang dibunuh) dan Ernesto “Che” Guevara. 

Tapi, apakah betul Óscar Romero mati sebagai seorang pendukung teologi pembebasan Amerika Latin?

Menurut mantan sekretaris Romero sendiri, Msgr. Jesus Delgado, Uskup Kepala Romero sendiri tidak tertarik pada teologi pembebasan Amerika Latin./3/ Tentang Romero, Msgr. Delgado menyatakan hal-hal berikut ini:

“Ketika aku sedang menulis biografinya, aku memeriksa perpustakaannya. Jelas sekali, para pendukung teologi pembebasan selalu mengunjunginya, dan memberinya buku-buku mereka. Aku telah memeriksa buku-buku pemberian itu semuanya, dan tampak semuanya masih baru, belum pernah dibukanya dan belum pernah dibacanya, dan belum pernah diperhatikannya. 

Sebaliknya, jelas juga bahwa semua buku yang ditulis para bapak gereja sudah tampak lusuh, dan telah menjadi sumber insiprasinya. 

Dia tidak tahu apapun tentang teologi pembebasan; dan dia tidak ingin mengetahuinya. Dia telah dengan setia tetap menganut ajaran GRK, dan terutama ajaran-ajaran para paus.”

Ada beberapa ucapan besar Óscar Romero yang disampaikannya sehari sebelum dia ditembak mati saat sedang menyelenggarakan missa. Yang terkenal dua ucapannya ini. 

Yang pertama disampaikannya kepada angkatan bersenjata yang sebagian besar dibentuk dari kaum tani yang saat itu mereka malah sedang bunuh-bunuhi:

“Tidak ada prajurit yang wajib mentaati suatu perintah yang bertentangan dengan kehendak Allah!”

Ucapannya yang lainnya ini, yang diutarakannya saat sedang melayankan missa:

“Orang harus tidak mencintai dirinya sendiri terlalu besar sehingga membuatnya tidak mau ambil risiko kehidupan yang sebetulnya dituntut sejarah atas setiap kita. 

Dan mereka yang menghindari risiko yang berbahaya ini, akan kehilangan kehidupan mereka sendiri.”

Lalu, apa yang menjadi inspirasi gerakan politik sang Uskup Kepala ini? 

Gerakan sosialpolitik Romero di El Salvador mendapat inspirasi spiritualnya dari Opus Dei. 

Bahwa Uskup Kepala Romero menerima banyak manfaat spiritual dari pelatihan spiritual Opus Dei di El Salvador, diungkap sendiri olehnya dalam suratnya kepada Paus, tanggal 12 Juli 1975. 

Surat ini berisi permohonannya kepada Paus untuk mempertimbangkan beatifikasi dan kanonisasi/4/ Monsignor Josemaria Escriva de Balaguer, yang mendirikan Opus Dei pada 2 Oktober 1928. 

Dalam suratnya itu, Romero menyatakan hal berikut ini tentang Opus Dei. /5/  

“Selama beberapa tahun hingga kini, aku telah mengenal kegiatan Opus Dei di sini di El Savador. Dan aku dapat mempersaksikan ada kekuatan supernatural yang menghidupinya dan kesetiaannya terhadap magisterium gereja yang mencirikan kegiatannya. Secara pribadi, aku menyatakan terima kasihku yang dalam kepada para imam yang terlibat di dalam kegiatan Opus Dei. Aku telah mempercayakan dengan kepuasaan yang penuh arah kehidupan spiritualku dan para imam lainnya kepada Opus Dei. 

Orang dari berbagai kelas sosial menemukan di dalam Opus Dei suatu panduan dan tuntunan yang aman untuk hidup sebagai anak-anak Allah di tengah kehidupan keluarga mereka sehari-hari dan di saat menjalankan kewajiban-kewajiban sosial mereka. 

Tidak diragukan lagi, ini semua timbul dari kehidupan dan ajaran sang pendirinya. 

Di dalam dunia yang penuh badai ini, yang dikendalikan oleh bahaya dan keraguan, kesetiaan yang kokoh terhadap doktrin gereja yang menjadi ciri Opus Dei adalah suatu tanda kasih karunia khusus yang berasal dari Allah. 

Sebagai pendiri Opus Dei, Monsignor Escriva de Balaguer mampu dalam kehidupannya mempersatukan suatu dialog yang terus-menerus dengan Tuhan Kita dan dengan kemanusiaan yang agung. 

Orang dapat menyatakan bahwa dia adalah orang yang berasal dari Allah, dan perilakunya penuh dengan kepekaan, kebaikan, dan humor yang baik. Sejak kematiannya, banyak orang secara pribadi mempercayakan kebutuhan-kebutuhan mereka kepadanya.”  

Apapun hal yang telah menginspirasi Óscar Romero, dan sekalipun Romero bersikap tegas tidak mau berpihak ke para kapitalis, Vatikan kini menempatkannya sebagai salah satu martir teologi pembebasan. 

Karena Paus Fransiskus berasal dari Argentina, sang Paus ini tentu memahami betul apa isi teologi pembebasan dan hal-hal apa saja yang mendorong teologi ini dibangun, tidak seperti Paus Yohanes Paulus II dan Paus Benediktus XVI. 

Selain itu, jangan dilupakan, Perang Dingin sekarang ini sudah lama berlalu, dan Tembok Berlin sudah lama runtuh. 

Di tahun 2015 ini, ihwal setuju atau menolak teologi pembebasan, tidak lagi punya dampak yang signifikan bagi siapapun, dan juga bagi lembaga gereja manapun. 

Kapitalisme sudah menang telak. Sosialisme nyaris bangkrut total di mana-mana; dan di beberapa tempat bersimbiosis dengan kapitalisme. 

Sekarang ini, bukan teologi pembebasan lagi yang laku, tetapi teologi kemakmuran, the prosperity theology atau the gospel of wealth

Muncul juga sebuah masalah teologis dan moral berat dalam teologi kemakmuran: Tuhan dan agama Kristen dipakai untuk melegitimasi kapitalisme dan gaya hidup hedonistik bermewah-mewahan. Kalau teologi pembebasan memihak ke orang miskin yang tertindas, teologi kemakmuran berpihak ke orang kaya kapitalis yang menindas. Selalu ada masalah! 

Bagaimana dengan teologi Yesus dari Nazareth? Tuhan gereja ini, Tuhan yang hidup, menghayati teologi belarasa ilahi, theology of the compassionate God, hingga titik akhir kehidupan-Nya.


Sumber-sumber

/1/ Lihat Stephanie Kirchgaessner dan Jonathan Watts, “Catholic church warms to liberation theology as founder heads to Vatican”, The Guardian, 11 May 2015, pada  http://www.theguardian.com/world/2015/may/11/vatican-new-chapter-liberation-theology-founder-gustavo-gutierrez; lihat juga Nicole Winfield, “Pope Francis Rehabilitates Liberation Theology”, TPM News, 7 May 2015, pada http://talkingpointsmemo.com/news/pope-francis-liberation-theory-vatican.

/2/ Tentang penetapan Óscar Romero sebagai seorang martir GRK dan sebagai seorang santo, lihat reportase Inés San Martin, “Pope declares Óscar Romero hero to liberation theology, a martyr”, Crux, 3 Febuary 2015, pada http://www.cruxnow.com/church/2015/02/03/pope-declares-oscar-romero-hero-to-liberation-theology-a-martyr/. Lihat juga reportase Devin Watkins, “Pope Francis sends letter for the beatification of Óscar Romero”, Vatican Radio, 23 May 2015, pada http://en.radiovaticana.va/news/2015/05/23/pope_francis_letter_for_the_beatification_of_%C3%B3scar_romero/1146203.

/3/ Bahwa Romero tidak tertarik pada teologi pembebasan sebagaimana dikatakan Msgr. Jesus Delgado, lihat Alvaro de Juana, “Archbishop Romero had no interest in Liberation Theology, says secretary”, Catholic News Agency, Vatican City, 21 February 2015, pada http://www.catholicnewsagency.com/news/archbishop-romero-had-no-interest-in-liberation-theology-says-secretary-79788/.

/4/ Kanonisasi adalah pernyataan yang dibuat Gereja-gereja Ortodoks, Ortodoks Timur, Roma Katolik, atau Gereja Anglikan, bahwa seseorang yang telah wafat adalah seorang santo atau santa, yakni orang-orang yang dipandang sangat suci. Pada saat penyataan ini disampaikan, orang yang telah dijadikan santo atau santa itu dimasukkan ke dalam daftar (atau kanon) orang-orang yang sangat suci, yang diakui gereja. 

Beatafikasi (Latin: beatus, artinya “berbahagia atau terberkati; dan kata kerjanya beatificare, artinya membuat berbahagia dan terberkati) adalah suatu pengakuan yang diberikan GRK kepada seseorang yang telah wafat bahwa orang tersebut sudah masuk ke sorga dan selanjutnya memiliki kemampuan untuk bertindak demi kebaikan orang-orang lain yang berdoa dengan memanggil nama orang yang telah menjadi santo/santa itu.  

/5/ Kanonisasi atas Monsignor Escriva sendiri baru terjadi dalam masa kepemimpinan Paus Yohanes Paulus II, persisnya pada 6 Oktober 2002. Mengenai isi surat Romero selengkapnya, lihat Gloria.tv, 2 June 2015, pada http://gloria.tv/media/a8cg2iuDpt4; juga di http://www.josemariaescriva.info/article/letter-to-the-pope-on-escriva27s-death.


Friday, June 12, 2015

Siapakah yang paling mudah mengalami pengalaman psikotik?

Realitas yang aneh....

Pengalaman psikotik didefinisikan sebagai pengalaman terlepas dari dunia nyata, masuk ke dalam halusinasi (mendengar suara-suara atau melihat sesuatu yang tidak ada) atau delusi (kepercayaan yang salah, namun dipercaya betul sebagai fakta, misalnya percaya bahwa diri sedang dikuntit oleh sesuatu, makhluk alien misalnya).

Umumnya kondisi psikotik terjadi jika orang mengalami kelainan kepribadian, serangan stres pasca-trauma, mental yang kompulsif dan obsesif, tumor otak, penyakit thyroid, epilepsi, terkena infeksi tertentu atau karena obat-obatan. Kaum perempuan juga kerap mengalami kondisi psikotik setelah ditinggal mati oleh orang yang mereka kasihi, atau setelah melahirkan anak. Kondisi psikotik semacam ini banyak yang bermuara pada penyakit mental skisofrenia, sementara ada yang tidak berkembang ke situ.  

Penelitian lapangan yang baru-baru ini diadakan oleh WHO terhadap 31.261 orang di 18 negara terkait kesehatan mental mereka, menemukan fakta-fakta berikut ini:

1. Pengalaman-pengalaman psikotik sedikit lebih umum di kalangan perempuan ketimbang di kalangan pria. Di antara perempuan yang disurvei, 6,6 persen telah mengalami halusinasi atau delusi pada suatu saat dalam kehidupan mereka, sementara pria hanya 5 persen.

2. Orang yang hidup tidak kawin, dan para pengangguran atau yang berpenghasilan minim, lebih sering terkena pengalaman psikotik, dibandingkan orang yang menikah dan memiliki pekerjaan tetap. Pengalaman psikotik terjadi lebih banyak di negara-negara yang penduduknya memiliki penghasilan tinggi atau menengah, ketimbang di negeri-negeri yang warganya berpenghasilan kecil.

3. Halusinasi atau delusi kadangkala dapat dialami sebagai bagian normal kehidupan mental oleh orang-orang yang bermental sehat, tanpa disebabkan oleh obat-obatan, alkohol, atau mimpi-mimpi atau keadaan ragawi yang buruk. 1 dari antara 20 penduduk pada umumnya mengalami kondisi psikotik semacam ini, khususnya saat mereka sedang mengalami kedukaan mendalam karena ditinggalkan kekasih-kekasih mereka. Dalam kondisi ini, mereka dapat mendengar suara almarhum atau melihat sosoknya lewat di depan mereka. Halusinasi semacam ini wajar dan tidak akan memburuk jadi skisofrenia. Kondisi ini adalah bagian dari proses mental melewati dan mengatasi masa-masa kedukaan yang dalam.   

Masih harus dikaji, mengapa dapat ada dua jenis pengalaman psikotik (yang dapat memburuk dengan muara pada skisofrenia; dan yang wajar terjadi pada orang yang sehat secara mental), dan apakah mekanisme mentalnya sama atau berbeda untuk dua jenis psikosis ini.

Sumber:
(1) Rachael Rettner, “1 in 20 People Has Hallucinated”, Live Science, 27 May 2015, pada http://www.livescience.com/50999-hallucinations-delusions-common.html; dan (2) John J. McGrath, Sukanta Saha, Ronald C. Kessler, et al., Psychotic Experience in the General Population: A Cross-National Analysis Based on 31261 Respondents From 18 Countries, JAMA Psychiatry, 27 May 2015, pada http://archpsyc.jamanetwork.com/article.aspx?articleid=2298236.

Thursday, June 11, 2015

My poem: In Search of the Goddess



My mystical poem


Ooh Goddess, my longing for you
Is like a wide ocean without a seashore
Waving and rippling continually in search of you
But never reaching any seashore to rest idle 

I fire upward a magical arrow
On its point I embed a love letter for you
It flies away to the empty space in search of you
Never falls back to the Earth below

I am swimming in the water of the empty space above
Dipping deeply into the water of the cosmic voids
From Earth through the edges of the universe
Only to look for you, you, you, ooh my Goddess

Ooh Goddess, if you dwell in heaven
I can reach you immediately 
But you dwell instead higher than heaven
Making me unable to arrive at you closely

Ooh Goddess, if you dwell in hell
I can reach you very swiftly
But you inhabit the region much deeper than hell
Making me unable to meet and kiss you tenderly

Ooh Goddess, if your abode is in the Sun
I surely have visited you there to dance together
But you dwell in the place of no return:
The densest Black Hole in the entire universe ever

Ooh Goddess, it is due to my deep longing for you only
I will bravely enter the Black Hole in haste
Far more powerful is the attraction power of your beauty
Than the sucking power of such a Black Hole

Ooh Goddess, when I am asking you any questions 
Don’t give me any answers to satisfy me
Give me instead more questions about Thee 
You are really more the questions than the answers 

Ooh Goddess, you are like a great conundrum
But nobody can solve it forever
Making me always think deeply about you ad infinitum
No rest and sleep can make me better

When I am praying to you at any silent night
Don’t answer any of my prayers forever and ever
Ooh Goddess, you need only to continue to sleep soundly  
So that I can sleep together with you for eternity

There is nothing better than sleeping with you forever
Sleep now with me, sleep now with me, ooh my dear
Morning will not be broken forever  
Day will not come either

Sleep, sleep, sleep in togetherness
In utter darkness . . .
In utter loneliness . . .
In utter togetherness . . .

Jakarta, 11 June 2015
Ioanes rakhmat

Friday, May 22, 2015

My open short letter to Ms. Aung San Suu Kyi


Dear our beloved Aung San Suu Kyi,

As cited in The Washington Post dated December 4, 2014, the famous Nobel Peace Prize laureate, Aung San Suu Kyi, currently the Burmese politician of the opposition party, once said something about the plight of the Rohingya Muslims in Burma.
“I am not silent because of political calculation. I am silent because, whoever’s side I stand on, there will be more blood. If I speak up for human rights, they (the Rohingya) will only suffer. There will be more blood.”/*/
Due to the fact that the case of the Rohingya Muslims (in Burma, they are called the Bengali) is not the case of interreligious conflicts (Buddhism versus Islam), but the political case, Aung San Suu Kyi (in Burma she is called Daw Suu) then should be able to say more significantly powerful words, in line with her conviction that every human word is powerful to change every reality. In 2012, Daw Suu made a moving statement about the power of words.
“Words allow us to express our feelings, to record our experiences, to concretize our ideas, to push outwards the frontiers of intellectual exploration. Words can move hearts, words can change perceptions, words can set nations and peoples in powerful motion. Words are an essential part of the expression of our humanness. To curb and shackle freedom of speech and expression is to cripple the basic right to realize our full potential as human beings.”
Let me now humbly ask the beloved Daw Suu: Where are now the words of Daw Suu that once were so powerful? Say more powerful words, Daw Suu, to make the world listen and pay attention to you, now, in relation to the fate of Rohingya Muslims in Burma. As you know, Daw Suu, a significantly increasing number of Rohingya Muslims currently are being forced to leave Burma, becoming boatmen adrift in the seas or stranded on the sandbanks of other countries.

Daw Suu, if your own country really cannot accept the existence of Rohingya Muslims any longer, and you have no power at all to change this situation, you still can move the hearts of, among others, the USA and the EU to enable them to accept Rohingya Muslims and then give them political asylum and finally citizenship. If you wish to do that in a noble way, don’t be afraid of losing your face because what you will do is something so noble and so great in the name of compassion, love, virtue, justice, the sisterhood of man, and humanity.   

May peace, strength, courage and wisdom be with you, Daw Suu, forever.  


Warm greetings, 

Jakarta, May 22, 2015

Ioanes Rakhmat