Monday, April 14, 2008

Yudas menurut Injil-injil Perjanjian Baru dan Injil Yudas


Baca juga teks Injil Yudas.

N.B. editing paragraf 26 Desember 2021

Dalam tulisan ini, saya menelusuri peran yang dimainkan Yudas Iskariot dalam hubungannya dengan penyerahan diri Yesus kepada para pemimpin Yahudi untuk ditangkap dan diadili, dan akhirnya dieksekusi oleh penguasa Romawi dengan menyalibkan-Nya. 

Pertama-tama akan ditelusuri bagaimana Injil-injil intrakanonik (= di dalam kanon Perjanjian Baru), Markus, Matius, Lukas (plus Kisah Para Rasul), dan Injil Yohanes, menampilkan figur Yudas. 





Buku karya April D. DeConick, The Thirteenth Apostle: What the Gospel of Judas Really Says (revised edition; London/New York: Continuum, 2007, 2009).


Sesudah itu, akan diangkat gambaran Injil gnostik (aliran Setian) Injil Yudas (teks asli Yunani ditulis pada abad kedua) tentang Yudas sendiri dan perannya dalam rangka penyerahan diri Yesus kepada para pemuka Yahudi. Akhirnya, akan dicoba dicari dan ditemukan bagaimana sebetulnya diri Yudas itu dalam sejarah.


Yudas menurut Injil-injil Perjanjian Baru

Injil Markus

Dalam Injil Markus, pada awal sekali sudah dikatakan bahwa “orang-orang Farisi … segera bersekongkol dengan orang-orang Herodian untuk membunuh Dia (= Yesus)” (Mrk 3:6). Dan kepada murid-murid-Nya, tiga kali Yesus memberitahukan bahwa Dia akan menderita dan mati dibunuh:



Yudas Iskariot mencium Yesus


Kemudian mulailah Yesus mengajarkan kepada mereka, bahwa Anak Manusia harus (dei) menanggung banyak penderitaan dan ditolak oleh tua-tua, imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat, lalu dibunuh dan bangkit sesudah tiga hari. Hal itu dikatakan-Nya dengan terus-terang. Tetapi Petrus menarik Yesus ke samping dan menegor Dia (Mrk 8:31-32).

… Dia sedang mengajar murid-murid-Nya. Dia berkata kepada mereka: “Anak Manusia akan diserahkan (paradidotai) ke dalam tangan manusia, dan mereka akan membunuh Dia, dan tiga hari sesudah Dia dibunuh Dia akan bangkit. Mereka tidak mengerti perkataan itu, namun segan menanyakannya kepada-Nya (Mrk 9:31-32).

Pemberitahuan ketiga paling rinci:

Sekali lagi Yesus memanggil kedua belas murid-Nya, kata-Nya:
Sekarang kita pergi ke Yerusalem dan Anak Manusia akan diserahkan (paradothēsetai) kepada imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat, dan mereka akan menjatuhi Dia hukuman mati. Dan mereka akan menyerahkan (paradōsousin) Dia kepada bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah, dan Dia akan diolok-olokkan, diludahi, disesah dan dibunuh, dan sesudah tiga hari Dia akan bangkit.” (Mrk 10:32-34)

Dengan tiga pemberitahuan ini, para murid, termasuk Yudas Iskariot, jelas tahu bahwa Yesus akan diserahkan ke tangan para penguasa Yahudi dan mereka akan menjatuhkan atas-Nya hukuman mati (ini sudah dikatakan Markus pada 3:6), dan di tangan bangsa-bangsa lain Dia akan dibunuh. Tetapi murid-murid tidak mengerti atau tidak dapat menerima kalau Yesus harus mengalami itu semua. 

Yesus sendiri melihat penderitaan dan kematiannya sebagai sesuatu yang diharuskan oleh Allah sendiri (dei), “untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang” (Mrk 10:45; bdk. 1 Kor 15:3-4).

Dua hari menjelang hari raya Paskah dan hari raya Roti Tidak Beragi, para pemimpin Yahudi kembali bermufakat untuk membunuh Yesus dengan tipu muslihat:

Imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat mencari jalan untuk menangkap dan membunuh Yesus dengan tipu muslihat, sebab mereka berkata: “Jangan pada waktu perayaan, supaya jangan timbul keributan di antara rakyat.” (Mrk 14:1-2)

Pada waktu Yesus mengadakan perjamuan Paskah bersama murid-murid-Nya, terjadilah adegan ini:

Ketika mereka duduk di situ dan sedang makan, Yesus berkata: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya seorang di antara kamu akan menyerahkan (paradōsei) Aku, yaitu dia yang makan dengan Aku.” 

Maka sedihlah hati mereka dan seorang demi seorang berkata kepada-Nya: “Bukan aku, ya Tuhan?” 

Dia menjawab: “Orang itu ialah salah seorang dari kamu yang dua belas ini, dia yang mencelupkan roti ke dalam satu pinggan dengan Aku. Anak Manusia memang akan pergi sesuai dengan yang ada tertulis tentang Dia, akan tetapi celakalah orang yang olehnya Anak Manusia itu diserahkan (paradidotai). Adalah lebih baik bagi orang itu sekiranya dia tidak dilahirkan.” (Mrk 14:18-21)

Yesus tahu bahwa Dia akan diserahkan oleh salah seorang dari dua belas murid-Nya, yaitu murid yang akan mencelupkan roti ke dalam satu pinggan dengan-Nya. Adegan mencelupkan roti memang tidak digambarkan. 

Berbeda dari para murid Yesus lainnya, pembaca Injil Markus sudah tahu sebelumnya siapa murid yang akan menyerahkan-Nya itu dari Markus 14:10-11, dan ini akan terbukti nanti ketika sudah tiba pada adegan di Taman Getsemani, kalau murid yang dimaksudkan Yesus itu adalah Yudas Iskariot. 

Dalam Markus 14:10-11 dinyatakan bahwa para pemimpin Yahudi berjanji akan memberi uang suap kepada Yudas:

Lalu pergilah Yudas Iskariot, salah seorang dari kedua belas murid itu, kepada imam-imam kepala dengan maksud untuk menyerahkan (paradoi) Yesus kepada mereka. Mereka sangat gembira waktu mendengarnya dan mereka berjanji akan memberikan uang kepadanya. Kemudian dia mencari kesempatan yang baik untuk menyerahkan (paradoi) Yesus.

Dalam perjamuan itu sendiri, Yesus kembali menegaskan bahwa kesengsaraan dan kematiannya adalah kehendak Allah (“sesuai dengan yang ada tertulis tentang Dia”). 

Tetapi Markus menampilkan Yesus mengecam dan mengutuk murid yang akan melakukan tindakan penyerahan itu: 

“Celakalah orang yang olehnya Anak Manusia itu diserahkan. Adalah lebih baik bagi orang itu sekiranya dia tidak dilahirkan.” 

Kecaman dan kutukan inilah yang selanjutnya menempatkan Yudas Iskariot sebagai figur yang terkena stigma buruk dari antara dua belas murid Yesus, sepanjang sejarah kekristenan. 

Orang sebetulnya bisa bertanya, bukankah Yudas Iskariot telah berperan untuk menggenapkan Kitab Suci, melaksanakan kehendak Allah dengan dia menyerahkan Yesus ke tangan para pemimpin Yahudi? 

Bukankah, dengan demikian, Yudas dilahirkan untuk tujuan itu; jika demikian, mengapa dirinya dan kelahirannya dikecam dan dikutuk? 

Bukankah kalau Yudas tidak dilahirkan, tidak akan ada orang yang menyerahkan Yesus, dan dengan demikian kehendak Allah akan tidak terpenuhi. Memang selalu ada ketegangan dalam setiap perkara hidup antara kehendak Allah dan tanggungjawab manusia.

Pada sisi tanggungjawab manusia, bagi Markus sudah jelas bahwa Yudas Iskariot memang harus dipersalahkan, karena dia, dalam narasi Markus, memang ambil bagian di dalam persekongkolan para pemimpin Yahudi untuk membunuh Yesus. Di sini Yudas Iskariot terlibat tindakan kriminal berkomplot dengan orang-orang yang mau membunuh Yesus. 

Yudas tentu saja sudah tahu setidaknya dari pemberitahuan Yesus sendiri (sampai tiga kali) bahwa Yesus akan disengsarakan dan dijatuhi hukuman mati oleh para pemimpin Yahudi, dan akan disalibkan oleh tangan bangsa lain. 

Dalam studinya tentang Yudas, William Klassen menyatakan bahwa keterlibatan Yudas di dalam penangkapan Yesus dimaksudkan Yudas supaya Yesus dan para pemimpin Yahudi dapat bertemu, dan di dalam pertemuan itu mereka dapat mewawancarai Yesus mengenai visi dan misi pembaharuan-Nya, dan Yesus juga dapat diyakinkan akan perlunya menempuh cara-cara tradisional dalam melakukan pembaruan kehidupan bangsa Yahudi. 

Dengan kata lain, Yudas Iskariot, dengan tindakannya menyerahkan Yesus, bermaksud menghasilkan titik-titik temu antara pandangan Yesus dan pandangan para pemimpin Yahudi melalui percakapan bersama./1/

Jelas, menyangkut narasi Markus, Klassen keliru, sebab para pemimpin Yahudi memperalat Yudas bukan dengan maksud supaya dapat bertemu Yesus dan mewawancarai-Nya, tetapi untuk membunuh-Nya; hal ini ditegaskan Markus sampai dua kali (Mrk 3:6; 14:1-2)./2/

Adapun adegan penangkapan Yesus di Taman Getsemani dengan jelas dilukiskan Markus, di dalam mana Yesus menegaskan kembali bahwa kejadian ini adalah untuk menggenapi apa yang tertulis dalam Kitab Suci (Mrk 14:49b). 

Dari adegan ini, lahir sebutan terkenal “ciuman Yudas”, ciuman yang membawa maut dari orang yang menyerahkan diri Yesus kepada para pemimpin Yahudi:

Waktu Yesus selesai berbicara, muncullah Yudas, salah seorang dari kedua belas murid itu, dan bersama-sama dia serombongan orang yang membawa pedang dan pentung, disuruh oleh imam-imam kepala, ahli-ahli Taurat dan tua-tua. 

Orang yang menyerahkan Dia telah memberitahukan tanda ini kepada mereka: 

“Orang yang akan kucium, itulah Dia, tangkaplah Dia dan bawalah Dia dengan selamat.” 

Dan ketika dia sampai di situ dia segera maju mendapatkan Yesus dan berkata: “Rabi,” lalu mencium Dia. 

Maka mereka memegang Yesus dan menangkap-Nya. Salah seorang dari mereka yang ada di situ menghunus pedangnya, lalu menetakkannya kepada hamba Imam Besar sehingga putus telinganya. 

Kata Yesus kepada mereka: “Sangkamu Aku ini penyamun, maka kamu datang lengkap dengan pedang dan pentung untuk menangkap Aku? Padahal tiap-tiap hari Aku ada di tengah-tengah kamu mengajar di Bait Allah, dan kamu tidak menangkap Aku. Tetapi haruslah digenapi yang tertulis dalam Kitab Suci. Lalu semua murid itu meninggalkan Dia dan melarikan diri. (14:43-50)

Injil Matius

Sekarang fokus diarahkan pada Injil Matius. Matius memberi tambahan-tambahan penting pada catatan-catatan Markus tentang Yudas Iskariot yang perlu mendapat perhatian. 

Kalau dalam Markus, inisiatif untuk memberi uang suap kepada Yudas ada pada imam-imam kepala (Mrk 14:11), maka dalam Injil Matius, untuk memberi citra lebih buruk kepada Yudas, ditulis Yudaslah yang sebetulnya meminta kepada para imam kepala untuk mereka memberi uang kepadanya: “Apa yang hendak kamu berikan kepadaku, supaya aku menyerahkan (paradōsō) Dia kepada kamu?” 

Mereka membayar tiga puluh uang perak kepadanya. Dan mulai saat itu dia mencari kesempatan yang baik untuk menyerahkan (paradō(i)) Yesus (Mat 26:15-16).

Pada Perjamuan Malam, ketika harus diidentifikasi siapa yang akan menyerahkan Yesus, fokus tertuju pada Yudas: Yudas yang hendak menyerahkan Dia itu menjawab, katanya: “Bukan aku, ya Rabi?” Kata Yesus kepadanya: “Engkau telah mengatakannya” (Mat 26:25). 

Walaupun tidak secara eksplisit diakui Yudas sendiri, jawaban Yesus segera membuat pembaca paham, bahwa memang Yudaslah yang akan menyerahkan Yesus. 

Pertanyaan Yudas, “Bukan aku, ya Rabi?”, menyapa Yesus sebagai Rabi, sementara dalam teks Markus Yesus disapa sebagai “Tuhan” (Mrk 14:19). 

Pemakaian sapaan “Rabi” kepada Yesus dalam Injil Markus kebanyakan dihindari oleh Matius (dan juga Lukas) (bdk. Mrk 10:51 dengan Mat 9:28 dan Luk 18:41; Mrk 9:5 dengan Mat 17:4 dan Luk 9:33; Mrk 11:21 dengan Mat 21:20). 

Sebetulnya, Matius memang secara eksplisit menolak pemakaian seruan Rabi di antara Yesus dan para murid-Nya, dengan alasan bahwa para ahli Taurat dan orang Farisi saja yang ingin dipanggil sebagai Rabi karena panggilan ini menempatkan mereka sebagai orang-orang terhormat (Mat 23:5-7). 

Yesus, dalam Injil Matius, dengan tegas menyatakan: “Tetapi kamu, janganlah kamu disebut Rabi; karena hanya satu Rabimu dan kamu semua adalah saudara” (Mat 23:8). 

Hanya di dalam dua konteks yang berkaitan dengan Yudas saja Matius menggunakan kata panggilan Rabi untuk Yesus: 

Pertama, dalam Mat 26:25 di atas (dalam konteks Perjamuan Malam; tanpa teks paralel satu pun)

Kedua, dalam Mat 26:49 (// Mrk 14:45) dalam konteks Yudas mencium Yesus sebagai tanda penyerahan diri-Nya kepada para penangkap-Nya: “Dan segera dia (Yudas) maju mendapatkan Yesus dan berkata: ‘Salam, Rabi,’ lalu mencium dia.” 

Jelas, dua kali pemakaian sebutan Rabi untuk Yesus oleh Yudas ini dimaksudkan Matius untuk menegaskan bahwa Yudas adalah murid yang tidak patut.

Di antara Injil-injil lainnya, hanya dalam Injil Matius saja dilaporkan bahwa Yudas menyesal atas perbuatannya menyerahkan Yesus; sekaligus dengan ini dosa Yudas diteguhkan dan cara kematiannya dicatat:

Pada waktu Yudas, yang menyerahkan (ho paradidous) Dia, melihat bahwa Yesus telah dijatuhkan hukuman mati, menyesallah dia. Lalu ia mengembalikan uang yang tiga puluh perak itu kepada imam-imam kepala dan tua-tua, dan berkata: 
Aku telah berdosa karena menyerahkan (paradous) darah orang yang tidak bersalah.” 

Tetapi jawab mereka: “Apa urusan kami dengan itu? Itu urusanmu sendiri!” Maka dia pun melemparkan uang perak itu ke dalam Bait Suci, lalu pergi dari situ dan menggantung diri.” (Mat 27:3-5)

Injil Lukas

Dalam Injil Lukas, dilaporkan bahwa setelah Iblis gagal mencobai Yesus, dia mundur daripada-Nya dan “menunggu waktu yang baik” (Luk 4:13). 

Waktu yang baik ini tiba ketika Kisah Sengsara akan dimulai, yaitu ketika Iblis masuk ke dalam diri Yudas Iskariot:

Maka masuklah Iblis ke dalam Yudas, yang bernama Iskariot, seorang dari kedua belas murid itu. Lalu pergilah Yudas kepada imam-imam kepala dan kepala-kepala pengawal Bait Allah dan berunding dengan mereka, bagaimana dia dapat menyerahkan (paradō(i)) Yesus kepada mereka. 

Mereka sangat bergembira dan bermufakat untuk memberikan sejumlah uang kepadanya. Dia menyetujuinya, dan mulai dari waktu itu dia mencari kesempatan yang baik untuk menyerahkan (paradounai) Yesus kepada mereka tanpa setahu orang banyak.” (Luk 22:3-6)

Yudas, orang yang akan menyerahkan Yesus itu, adalah orang yang dirasuk Iblis, sementara murid-murid Yesus sendiri sudah diberi kemampuan untuk melakukan eksorsisme, seperti dilaporkan dalam Luk 10:17-18:

Kemudian ketujuh puluh murid itu kembali dengan gembira dan berkata: “Tuhan, juga setan-setan takluk kepada kami demi nama-Mu.” Lalu kata Yesus kepada mereka: “Aku melihat Iblis jatuh seperti kilat dari langit….”

Gambaran Yudas yang dirasuk Iblis dengan demikian adalah gambaran yang sangat menghancurkan Yudas, karena murid yang seharusnya mengalahkan Iblis malah kena dirasuk Iblis, dan tidak ada seorang pun dari antara para murid yang berinisiatif membebaskan Yudas dari kekuasaan Iblis. 

Yudas sepenuhnya dikuasai Iblis. Karena itu, orang bisa jadi tidak akan berkeberatan jika terhadap Yudas yang semacam ini, Yesus, pada kesempatan Perjamuan Malam, berkata:

Tetapi, lihat, tangan orang yang menyerahkan (tou paradidontos) Aku, ada bersama dengan Aku di meja ini. Sebab Anak Manusia memang akan pergi seperti yang telah ditetapkan, akan tetapi, celakalah orang yang olehnya Dia diserahkan (paradidotai)!” 

Lalu mulailah mereka mempersoalkan, siapa di antara mereka yang akan berbuat demikian. (Luk 22:21-23)

Meskipun dari kayu salib Yesus berdoa dengan penuh kemurahan: “Ya, Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” (Luk 23:34); namun akhir hidup Yudas yang dilukiskan dengan sungguh mengenaskan dan menyeramkan membuat kita bertanya adakah pengampunan telah diterima Yudas:

Yudas ini telah membeli sebidang tanah dengan upah kejahatannya, lalu dia jatuh tertelungkup, dan perutnya terbelah sehingga semua isi perutnya tertumpah ke luar (Kis 1:18)

Injil Yohanes

Di dalam Injil Yohanes, pendiskreditan atas Yudas terjadi menyeluruh. Yudas adalah Iblis, dan hal ini sudah diketahui Yesus “dari semula.” Ini berarti Yudas memang sudah disiapkan dari awal untuk akhirnya menyerahkan Yesus:

Tetapi di antaramu ada yang tidak percaya. Sebab Yesus tahu dari semula, siapa yang tidak percaya dan siapa yang akan menyerahkan (ho paradōsōn) Dia.… Jawab Yesus kepada mereka: “Bukankah Aku sendiri yang telah memilih kamu yang dua belas ini? Namun seorang di antaramu ialah Iblis.” Yang dimaksudkan-Nya ialah Yudas, anak Simon Iskariot; sebab dialah yang akan menyerahkan (paradidonai) Yesus, dia seorang di antara kedua belas murid itu. (Yoh 6:70-71)

Yudas selanjutnya muncul dalam kisah pengurapan Yesus di Betania (Yoh 12:1-8), yang oleh James M. Robinson dipandang bukan sebagai fakta sejarah tetapi sebagai suatu polemik dari komunitas Yohanes terhadap Yudaisme:/3/


Enam hari sebelum Paskah, Yesus datang ke Betania, tempat tinggal Lazarus yang dibangkitkan Yesus dari antara orang mati. Di situ diadakan perjamuan untuk Dia dan Marta melayani, sedang salah seorang yang turut makan dengan Yesus adalah Lazarus. 

Maka Maria mengambil setengah kati minyak wangi narwastu murni yang mahal harganya, lalu meminyaki kaki Yesus dan menyekanya dengan rambutnya; dan bau minyak wangi semerbak di seluruh rumah itu. 

Tetapi Yudas Iskariot, seorang dari murid-murid Yesus, yang akan segera menyerahkan (paradidonai) Dia, berkata: “Mengapa minyak narwastu ini tidak dijual tiga ratus dinar dan uangnya diberikan kepada orang-orang miskin?” 

Hal itu dikatakannya bukan karena dia memperhatikan nasib orang-orang miskin, melainkan karena dia adalah seorang pencuri; dia sering mengambil uang yang disimpan dalam kas yang dipegangnya. 

Maka kata Yesus: “Biarkanlah dia melakukan hal ini mengingat hari penguburan-Ku. Karena orang-orang miskin selalu ada pada kamu, tetapi Aku tidak akan selalu ada pada kamu.”

Dalam Perjamuan Terakhir (Yoh 13:1-30), Yudas ditampilkan dengan citra yang sangat negatif sebagai orang yang dibisiki dan dirasuk Iblis untuk segera menyerahkan Yesus:

Sementara itu sebelum hari raya Paskah mulai, Yesus telah tahu, bahwa saat-Nya sudah tiba untuk beralih dari dunia ini kepada Bapa. Sama seperti Dia senantiasa mengasihi murid-murid-Nya demikianlah sekarang Dia mengasihi mereka sampai kepada kesudahannya. 

Mereka sedang makan bersama, dan Iblis telah membisikkan rencana dalam hati Yudas Iskariot, anak Simon, untuk mengkhianati (paradoi) Dia.…Lalu bangunlah Yesus dan menanggalkan jubah-Nya. 

Dia mengambil sehelai kain lenan dan mengikatkannya pada pinggang-Nya, kemudian Dia menuangkan air ke dalam sebuah basi, dan mulai membasuh kaki murid-murid-Nya lalu menyekanya dengan kain yang terikat pada pinggang-Nya itu.… 

Kata Yesus kepadanya (Simon Petrus): 

“Barangsiapa telah mandi, dia tidak usah membasuh diri lagi selain membasuh kakinya, karena dia sudah bersih seluruhnya. Juga kamu sudah bersih, hanya tidak semua.” Sebab Dia tahu, siapa yang akan menyerahkan (paradidonta) Dia. Karena itu Dia berkata: “Tidak semua kamu bersih.” 

“… Bukan tentang kamu semua Aku berkata. Aku tahu, siapa yang telah Kupilih. Tetapi haruslah genap nas ini: Orang yang makan roti-Ku, telah mengangkat tumitnya terhadap Aku. Aku mengatakannya kepadamu sekarang juga sebelum hal itu terjadi, supaya jika hal itu terjadi, kamu percaya, bahwa Akulah Dia. 

… Setelah Yesus berkata demikian Dia sangat terharu, lalu bersaksi: 

“Aku berkata kepadamu, sesungguhnya seorang di antara kamu akan menyerahkan (paradōsei) Aku.” 

Murid-murid itu memandang seorang kepada yang lain, mereka ragu-ragu siapa yang dimaksudkan-Nya. 

…Murid yang duduk dekat Yesus itu berpaling dan berkata kepada-Nya: “Tuhan, siapakah itu?” Jawab Yesus: “Dialah itu, yang kepadanya Aku akan memberikan roti, sesudah Aku mencelupkannya.” 

Sesudah berkata demikian Dia mengambil roti, mencelupkannya dan memberikannya kepada Yudas, anak Simon Iskariot. 

Dan sesudah Yudas menerima roti itu, dia kerasukan Iblis. Maka Yesus berkata kepadanya: “Apa yang hendak kau perbuat, perbuatlah dengan segera.” 

Tetapi tidak ada seorang pun dari antara mereka yang duduk makan itu mengerti, apa maksud Yesus mengatakan itu kepada Yudas. 

Karena Yudas memegang kas ada yang menyangka, bahwa Yesus menyuruh dia membeli apa-apa yang perlu untuk perayaan itu, atau memberi apa-apa kepada orang miskin. Yudas menerima roti itu lalu segera pergi. Pada waktu itu hari sudah malam.

Menjelang adegan penangkapan Yesus, ada rujukan ke belakang kepada Yudas di dalam doa Yesus dalam pasal 17: 

“Selama Aku bersama mereka, Aku memelihara mereka dalam nama-Mu, yaitu nama-Mu yang telah Engkau berikan kepada-Ku; Aku telah menjaga mereka dan tidak ada seorang pun dari mereka yang binasa selain dari pada dia yang telah ditentukan untuk binasa, supaya genaplah yang tertulis dalam Kitab Suci.” (17:12)

Di sebuah taman di seberang sungai Kidron, Yudas muncul untuk menyerahkan Yesus, namun tanpa didahului ciuman Yudas kepada Yesus:

Setelah Yesus mengatakan semuanya itu keluarlah Dia dari situ bersama-sama dengan murid-murid-Nya dan mereka pergi ke seberang sungai Kidron. 

Di situ ada suatu taman dan Dia masuk ke taman itu bersama-sama dengan murid-murid-Nya. Yudas, yang mengkhianati (ho paradidous) Yesus, tahu juga tempat itu, karena Yesus sering berkumpul di situ dengan murid-murid-Nya. 

Maka datanglah Yudas juga ke situ dengan sepasukan prajurit dan penjaga-penjaga Bait Allah yang disuruh oleh imam-imam kepala dan orang-orang Farisi lengkap dengan lentera, suluh dan senjata. 

Maka Yesus, yang tahu semua yang akan menimpa diri-Nya, maju ke depan dan berkata kepada mereka: “Siapakah yang kamu cari?” Jawab mereka: “Yesus dari Nazareth.” 

Kata-Nya kepada mereka: “Akulah Dia.” 

Yudas yang mengkhianati (ho paradidous) Dia berdiri juga di situ bersama-sama mereka. 

Ketika Dia berkata kepada mereka: “Akulah Dia,” mundurlah mereka dan jatuh ke tanah. Maka Dia bertanya pula: “Siapakah yang kamu cari?” Kata mereka: “Yesus dari Nazareth.” 

Jawab Yesus: “Telah Kukatakan kepadamu, Akulah Dia. Jika Aku yang kamu cari, biarkanlah mereka ini pergi.” 

Demikian hendaknya supaya genaplah firman yang telah dikatakan-Nya: “Dari mereka yang Engkau serahkan kepada-Ku, tidak seorang pun yang Kubiarkan binasa.” 

Lalu Simon Petrus, yang membawa pedang, menghunus pedang itu, menetakkannya kepada hamba Imam Besar dan memutuskan telinga kanannya. Nama hamba itu Malkhus. 

Kata Yesus kepada Petrus: “Sarungkanlah pedangmu itu; bukankah Aku harus minum cawan yang diberikan Bapa kepada-Ku?” 

Maka pasukan prajurit serta perwira dan penjaga-penjaga yang disuruh orang Yahudi itu menangkap Yesus dan membelenggu Dia. (Yoh 18:1-12)


Rangkuman

Dalam kajiannya atas Yudas Iskariot, khususnya atas pemakaian kata kerja paradidōmi, William Klassen menemukan bahwa kata kerja ini tidak pernah dipakai dalam bahasa Yunani klasik untuk pengertian “mengkhianati” atau (sebagai kata bendanya) “pengkhianat”. Kata kerja ini hanya berarti “menyerahkan”, menyerahkan seseorang kepada orang lainnya./4/

Dalam Injil-injil, jika kata kerja ini muncul sudah seharusnya tidak diterjemahkan “mengkhianati” melainkan “menyerahkan”; kecuali dalam Lukas 6:16 di mana muncul kata benda prodotēs, “pengkhianat”, yang ditujukan kepada Yudas. 

Jadi, Yudas digambarkan dalam Injil-injil Perjanjian Baru sebagai seorang yang menyerahkan Yesus kepada para pemimpin Yahudi karena peran ini, pada satu pihak, sudah dinubuatkan dalam Kitab Suci, sudah dilihat oleh Yesus atau bahkan sudah diperintahkan Yesus sebelumnya (dalam perjamuan terakhir seperti dicatat dalam Injil Yohanes 13:1-30). 

Jadi, Yudas berfungsi sebagai agen Allah atau seorang murid yang melakukan kehendak Allah sendiri. Meskipun demikian, Injil-injil juga menegaskan Yudas tetap bersalah atas tindakannya menyerahkan Yesus. 

Masing-masing Injil memberi tekanan yang berbeda pada bobot kesalahan Yudas. 

Tekanan yang keras muncul di dalam Injil Lukas dan khususnya di dalam Injil Yohanes, ketika digambarkan bahwa Yudas menyerahkan Yesus karena dia dirasuk Iblis. 

Secara umum, dalam Injil-injil PB Yudas dicitrakan negatif, dan citra ini masih tetap kuat dipegang oleh orang-orang Kristen sepanjang sejarah gereja hingga kini. 

Lain halnya kalau kita memperhatikan Injil Yudas, di dalam mana Yudas tampil sebagai seorang pahlawan yang melakukan perintah Yesus sendiri.


Figur Yudas menurut Injil Yudas

Dalam Injil Yudas, sosok Yudas Iskariot digambarkan sebagai rasul yang bisa bertahan berdiri di hadapan Yesus (= Yesus dalam pandangan aliran Gnostik Setian)
,/5/ sementara rasul-rasul yang lain tidak bisa. 

Bahkan hanya Yudaslah yang dikatakan mengenal siapa Yesus dan dari mana Dia datang. Karena kelebihannya ini, Yesus memisahkannya dari murid-murid yang lainnya, dengan maksud untuk mengungkapkan dan membeberkan rahasia-rahasia kerajaan (= kerajaan Allah dalam paham gnostik Setian) hanya kepada Yudas, rahasia-rahasia yang belum pernah diketahui dan dilihat siapa pun. 

Dilaporkan, Yudas juga memperoleh suatu penglihatan besar, yang antara lain menyingkapkan apa yang akan terjadi padanya di akhir kehidupannya (yakni dilempari batu dan disakiti dengan kejam oleh murid-murid lainnya). 

Diingatkan juga oleh Yesus bahwa Yudas akan dikutuki oleh generasi-generasi lainnya yang tidak terpilih (dikarenakan oleh apa yang mereka dengan keliru pahami sebagai “pengkhianatan” Yudas terhadap Yesus). 

Namun, meskipun Yudas mengalami banyak kekejaman, dia akan tetap berkuasa atas mereka bahkan dia akan mengalami pemuliaan, kembali ke asalnya di dalam Generasi terpilih yang kudus (Generasi Set). 

Menegaskan keunggulan Yudas, Yesus berkata kepada Yudas, “Lihatlah, segala sesuatu sudah diberitahukan kepadamu. Angkatlah matamu dan lihatlah awan itu dan terang yang ada di dalamnya dan bintang-bintang yang mengitarinya. Bintang yang memimpin di depan adalah bintangmu.” 

Setelah itu, Yudas pun masuk ke dalam awan kemuliaan.

Dalam Injil Yudas ini, tidak ada kisah kesengsaraan, penyaliban dan kematian Yesus; yang dikisahkan adalah perbuatan Yudas (atas perintah Yesus sendiri) untuk memisahkan Yesus yang sejati dari tubuh-Nya yang fana, yang menjadi penjara Jiwa-Nya yang agung, dengan cara menjual Yesus kepada para pemimpin bangsa Yahudi untuk akhirnya Dia dibunuh. 

Yudas diperintahkan Yesus untuk melakukan langkah pembebasan dan penyelamatan bagi Yesus sendiri. 

Manfaat kematian Yesus hanyalah untuk diri Yesus sendiri: yakni sebagai jalan untuk jiwa-Nya kembali ke asalnya, kawasan ilahi Barbelo. 

Dengan Yudas mengorbankan Yesus, Yudas menjadi rasul paling unggul. Kata Yesus kepadanya, “Tetapi engkau akan mengungguli mereka semua. Sebab engkau akan mengorbankan tubuh insani yang membungkus Aku.” 

Injil Yudas diakhiri dengan catatan: 

Mereka, beberapa ahli taurat, mendekati Yudas dan berkata kepadanya, “Apa yang engkau sedang kerjakan di sini? Engkau murid Yesus.” Yudas menjawab mereka seperti yang mereka kehendaki. 

Dan dia pun menerima sejumlah uang dan menyerahkan Yesus kepada mereka. 

Tampaknya Yudas berkhianat, serakah terhadap uang, namun, di balik semuanya itu, adalah perintah Yesus sendiri supaya dengan perbuatannya itu Yesus dibebaskan dari pakaian (= tubuh) yang membungkus diri-Nya yang sebenarnya. 

Dalam Injil Yudas, figur Yudas dus tampil sebagai seorang pahlawan ― suatu posisi dan status yang tidak bisa dilihat oleh kalangan luar, selain oleh kalangan Kristen gnostik Setian.

Bagaimana Yudas yang sebenarnya?

Tentu saja, dalam pandangan para ahli,/6/ yang ditemukan dalam Injil Yudas bukanlah kisah sejarah yang terjadi pada masa akhir kehidupan Yesus ketika Dia diserahkan oleh Yudas kepada para pemimpin Yahudi (pada awal tahun 30-an), melainkan kondisi-kondisi internal yang sedang berlangsung dalam komunitas-komunitas Kristen gnostik Setian pada abad kedua, ketika mereka berhadapan dengan kekristenan (proto-)ortodoks yang sedang mulai berkembang (yang kelak menetapkan kanon Perjanjian Baru). 

Meskipun demikian, kita masih bisa menarik gambaran-gambaran sejarah tentang figur Yudas Iskariot sendiri, dengan membandingkan gambaran dalam Injil Yudas dengan gambaran-gambaran yang terdapat dalam Injil-injil Perjanjian Baru.

Dalam Injil-injil dalam kanon Perjanjian Baru, dilaporkan bahwa Yesus tahu diri-Nya pada akhirnya akan diserahkan kepada para pemimpin Yahudi, dan yang akan melakukan hal itu adalah Yudas Iskariot. 

Bahkan di dalam Injil Yohanes juga dikatakan bahwa Yesus meminta Yudas segera melakukan hal itu. 

Dalam Injil Yudas, Yesus meminta hal yang sama dilakukan Yudas. Tetapi, bedanya, dalam Injil-injil Perjanjian Baru [yakni Injil-injil kalangan Kristen (proto-) Ortodoks yang sedang mulai berkembang], Yudas yang melakukan pekerjaan yang dikehendaki Allah atau yang diperintahkan oleh Yesus itu dikecam dan dikutuk; sedangkan dalam Injil Yudas perbuatan penyerahan diri Yesus itu dipuji, dan Yudas menjadi seorang hero bagi kekristenan gnostik Setian.

Kelima sumber ini (4 Injil dalam PB dan 1 Injil Yudas) yang berbeda satu sama lain, sama-sama mencatat bahwa Yudas menyerahkan Yesus, dengan menerima imbalan uang, ke tangan para pemimpin Yahudi. 

Adanya lima kesaksian literer ini membuat orang harus menyimpulkan bahwa Yudas, dalam sejarah, memang betul-betul menyerahkan (paradidōmi) Yesus kepada para pemuka Yahudi, dan untuk perbuatan ini Yudas menerima imbalan uang. 

Akibat perbuatan Yudas ini, yang menyetarakan Yesus dengan sejumlah uang, oleh kekristenan (proto-) Ortodoks Yudas dalam sejarahnya dikecam dan dikutuk (sebagaimana Yesus mengecam dan mengutuk Yudas) dan untuk selanjutnya dalam sejarah gereja dia terkena stigma sebagai “pengkhianat”. 

Sedangkan oleh kekristenan gnostik aliran Setian, Yudas, akibat perbuatannya, dalam sejarah kekristenan gnostik ini, dipuja dan dipandang sebagai rasul yang paling unggul dari antara rasul-rasul lainnya (sebagaimana juga ada kalangan gnostik yang memuja Kain, Esau, Korah dan penduduk Sodom dan Gomora, orang-orang atau kalangan yang terkenal berperilaku buruk dalam kesaksian Perjanjian Lama). 

Injil-injil PB meninggalkan ketegangan di antara permintaan atau kehendak Yesus untuk Yudas menyerahkan diri Yesus dan kecaman serta kutukan Yesus (dan kutukan kekristenan proto-Ortodoks PB) terhadapnya. Dalam Injil Yudas, ketegangan semacam ini tidak dijumpai.

Apa motivasi yang paling kuat mendorong Yudas sendiri untuk menyerahkan Yesus kepada para pemuka Yahudi? 

Tentang hal itu, empat Injil intra-kanonik berbeda: ada yang mengasalkan perbuatan Yudas ini pada keserakahannya sendiri (terhadap uang), dan ada juga (Injil Lukas dan Injil Yohanes) yang mengasalkannya pada dorongan Iblis yang merasuk diri Yudas. 

Gambaran seperti itu tentang Yudas (khususnya yang disajikan Lukas dan Yohanes) sangat mungkin lebih mencerminkan polemik yang tajam antara kekristenan (proto-)Ortodoks Perjanjian Baru terhadap Yudaisme yang dilihat terrepresentasikan dalam figur Yudas (patut diperhatikan, Yudaisme dan Yudas berasal dari kata yang sama!) ketimbang menampilkan pribadi Yudas yang sebenarnya. 

Dalam Injil Yudas, penyerahan diri Yesus kepada para pemuka bangsa Yahudi oleh Yudas, dan untuk ini dia menerima imbalan uang, jelas digambarkan tidak dimotivasi oleh keserakahan Yudas, tetapi oleh ketaatan Yudas terhadap kehendak dan permintaan Yesus sendiri supaya Yesus dilepaskan dari tubuh insani yang membungkus-Nya. 

Kalau Yudas dibutuhkan sebagai pahlawan, maka motivasi Yudas akan digambarkan dengan positif (seperti dalam Injil Yudas); tapi kalau Yudas dibutuhkan sebagai sasaran kebencian kekristenan (proto-) Ortodoks perdana terhadap Yudaisme, maka Yudas ditampilkan dengan sangat memalukan dan merendahkan. 

Apa motivasi Yudas yang sebenarnya dalam sejarah ketika dia menyerahkan Yesus, jelas kita tidak bisa mengetahuinya. 

Namun yang sudah pasti, adanya beragam versi tentang pribadi Yudas ini menunjukkan bahwa pada masa-masa kekristenan baru bertumbuh, kekristenan itu beragam jenis, plural, dan terlibat persaingan, tetapi belum ada yang dikalahkan atau yang mendapatkan kemenangan.

Bagaimana dengan akhir kehidupan Yudas sendiri? 

Matius mencatat bahwa Yudas memilih mati dengan menggantung diri akibat dari rasa bersalahnya yang amat dalam; Lukas (dalam Kisah Para Rasul) melaporkan Yudas jatuh tertelungkup (bisa jadi dengan sengaja!) dan isi perutnya terburai ke luar semua. 

Injil Yudas tidak melaporkan bagaimana akhir kehidupan Yudas; namun dalam suatu penglihatan (Injil Yudas 45), Yudas melihat dirinya dirajam dengan batu dan disakiti oleh murid-murid Yesus lainnya (yang merepresentasikan kekristenan proto-Ortodoks). 

Jadi, ada tiga laporan berbeda tentang bagaimana akhir kehidupan Yudas. 

Catatan dalam Injil Yudas tidak meyakinkan, sebab kalau memang akhir hidup Yudas adalah kematian di tangan para murid lainnya, seharusnya Injil-injil dalam Perjanjian Baru mencatat hal yang sangat tragis itu. 

Adanya tradisi tua dalam Kis 5:28 yang paralel dengan catatan Matius yang berkaitan dengan Yesus yang tidak bersalah yang telah diserahkan Yudas (Matius 27:4), membuat kita harus lebih memperhatikan catatan Matius tentang bagaimana Yudas mengakhiri kehidupannya: Yudas mati dengan bunuh diri.

Kita dapat yakin bahwa dengan mati bunuh diri, Yudas dibebani rasa bersalah dan penyesalan yang sangat besar dan dalam, yang dia tidak dapat tanggung, karena perbuatannya terhadap Yesus. Pastilah, perbuatan yang tercela dan aib.


Catatan-catatan

/1/ William Klassen, Judas: Betrayer or Friend of Jesus? (London: SCM, 1996) 69-74.

/2/ Bdk. James M. Robinson, The Secrets of Judas: The Story of the Misunderstood Disciple and His Lost Gospel (San Francisco: HarperSanFrancisco, 2006) 15.

/3/ James M. Robinson, The Secrets of Judas, 28.

/4/ William Klassen, Judas: Betrayer or Friend of Jesus?, 47-58.

/5/ Hal ini berarti Yudaslah yang dipenuhi Roh unggulan, berasal dari generasi terpilih, Generasi Set (= anak bungsu, ketiga, dari Adam dan Hawa, yang memulai kembali generasi manusia yang membawa harapan).

/6/ James M. Robinson, The Secrets of Judas, 78, 175, 177, 183; Gregor Wurst, “Irenaeus of Lyon and The Gospel of Judas” dalam Rodolphe Kasser et al., The Gospel of Judas, 133 [121-135]; Hal Taussig, “The Significance of the Gospel of Judas” dalam The Fourth R, Vol. 19, Number 4 (July-August 2006) 9 

Taussig menyebut 3 karakteristik Injil-injil gnostik: 1) menggunakan ajaran-ajaran rahasia; 2) sebuah kritik terhadap kepemimpinan apostolik dari sudut pandang kelompok minoritas; 3) gambaran tentang murid-murid Yesus bersifat simbolik ketimbang historis.



Monday, March 17, 2008

Bagaimana Kanon Perjanjian Baru Ditetapkan?



Proses Penetapan Kanon Perjanjian Baru 

N.B. Diperiksa kembali dan diedit 22 Februari 2021.

(Disusun oleh Ioanes Rakhmat, bersumber pada Roy W. Hoover, “How The Canon Was Determined”, The Fourth R, January 1992, 1-7).

Bagaimana dulu gereja memutuskan kitab-kitab mana yang termasuk ke dalam Perjanjian Baru? Kapan keputusan itu dibuat? Ini adalah pertanyaan-pertanyaan di seputar apa yang secara tradisional disebut sebagai kanonisasi atau pembentukan kanon.

Arti kata Yunani kanōn adalah “norma” atau “kaidah”, “patokan” atau “standar” yang dengannya sesuatu dapat diukur. Arti aslinya "buluh/tongkat pengukur".

Dalam menyebut dua puluh tujuh kitab dalam PB sebagai sebuah kanon, gereja awal dulu menyatakan bahwa kumpulan 27 kitab itu berfungsi sebagai “kaidah” atau “standar” yang dengannya gereja merumuskan iman dan doktrin dan menjalankan kehidupan praktis dan pengelolaan lembaga gereja. Dus, kanon adalah kumpulan tulisan/kitab yang “normatif” bagi gereja.

Faktanya, ternyata tidak ada hanya satu kanon; kanon ada dalam berbagai versi, semuanya ditetapkan berdasarkan konsensus.

Panjang Prosesnya  

Daftar ("list") pertama kitab-kitab “kanonik” yang memuat 27 kitab yang sama dengan yang kita temukan dalam PB, muncul di dalam sebuah Surat Paskah dari Athanasius, Bishop dari Aleksandria, Mesir, tahun 367 M. Dia menyebut semua kitab dalam PB dengan urutan yang berbeda dari yang kita punyai sekarang. Meskipun demikian, daftar pertama yang cocok dengan yang ada pada kita sekarang akan muncul masih jauh di depan, setelah melewati proses yang panjang.

Pada masa Athanasius, atau tidak lama sebelumnya, gereja telah mencapai suatu konsensus informal atas kebanyakan tulisan yang kemudian masuk ke dalam Perjanjian “Baru”. Bahkan sebetulnya, kesepakatan tentang daftar kanon telah dicapai lebih dari satu abad sebelumnya. Malah proses membentuk sebuah kanon telah dimulai lebih awal lagi.

Ada bukti yang menunjukkan surat-surat Paulus telah dikoleksi oleh gereja-gereja di beberapa lokasi geografis pada akhir abad pertama M. Di dalam sebuah surat yang dikirim dari gereja di Roma kepada gereja di Korintus, si penulisnya menulis (1 Klemen 47:1):

“Periksalah surat yang ditulis Paulus, rasul yang diberkati. Apa yang mula-mula dia telah tulis kepadamu, ketika dia baru saja mulai mengabarkan Injil?”

Itu adalah sebuah rujukan kepada surat 1 Korintus yang ditulis Paulus. Ini menunjukkan bahwa gereja-gereja di Roma masih memiliki sebuah salinan surat Paulus itu, setengah abad setelah Paulus menulisnya. Pengarang surat 2 Petrus juga mengenal sebuah kumpulan surat Paulus (3:15-16) dan menganggap pembacanya juga mengenalnya. 2 Petrus ditulis pada awal abad kedua M.

Pada awal abad kedua juga, Ignatius, Bishop Antiokhia, menulis surat-surat kepada tujuh gereja sementara dia dalam perjalanan menuju Roma, di mana dia kemudian mati syahid. Di dalam surat-suratnya ini, dia menggunakan bahasa yang dengan jelas memperlihatkan pengenalannya atas surat-surat Paulus. Dia sering kali mengacu kepada Paulus dengan menyebut namanya.

Bukti-bukti di atas menunjukkan dengan jelas bahwa pada pergantian abad pertama M, sejumlah gereja telah memperoleh salinan-salinan dari surat-surat Paulus untuk mereka gunakan. Tahap formatif dari kumpulan surat-surat Paulus telah berlangsung.

Bahkan lebih awal lagi dari itu, orang-orang Kristen lainnya telah juga membuat koleksi-koleksi ucapan-ucapan Yesus dan kisah-kisah tentang diri-Nya. Injl Ucapan-ucapan, atau "sayings gospel", yang diberi nama Injil Q (= Quelle = sumber; sekarang terdapat di dalam Injil Matius dan Injil Lukas), adalah sebuah kompendium/kumpulan ucapan-ucapan Yesus. Juga termasuk injil ini adalah Injil Thomas, kumpulan 114 ucapan Yesus yang lepas-lepas, tidak terangkai membentuk sebuah narasi seperti Injil-injil Naratif Markus, Matius, Lukas dan Yohanes dalam PB.

Lalu ada Injil Tanda-tanda, "the Gospel of Signs" atau "Semeia source" ― yang menjadi salah satu sumber penulisan Injil Yohanes ― yang berupa kumpulan kisah-kisah perbuatan ajaib atau "tanda-tanda" yang ditautkan kepada Yesus.

Dua jenis kumpulan tulisan itu telah dimasukkan ke dalam kitab-kitab injil yang berisi narasi-narasi tentang Yesus.

Para penulis kitab-kitab injil PB telah menata ulang kumpulan-kumpulan ucapan-ucapan dan kisah-kisah tentang Yesus itu (Injil Q dan Injil Tanda-tanda) untuk membuat kisah-kisah yang bersambungan.

Seperti surat-surat Paulus, kitab-kitab injil ini, bersama dengan tulisan-tulisan lain, telah dikumpulkan oleh berbagai gereja.

Pada pertengahan abad kedua, ada banyak sekali ragam tulisan yang telah dikenal gereja-gereja, yakni: Injil-injil naratif (Matius, Markus, Lukas, Yohanes), setidaknya satu Injil Ucapan-ucapan (Injil Thomas), dialog-dialog dan wahyu-wahyu yang diasalkan pada Yesus (disebut "discourse gospels"), bermacam-macam kisah kelahiran Yesus, beberapa kisah perbuatan para Rasul, khotbah-khotbah, dan banyak lagi.

Gereja sedang dengan cepat menjadi gereja yang membaca berbagai bahan tulisan. Dalam waktu satu abad setelah kematian Yesus, orang-orang Kristen telah menghasilkan sejumlah kecil, tetapi beranekaragam, perpustakaan religius yang memuat tulisan-tulisan yang dipakai untuk kehidupan mereka. Meskipun demikian, sampai pada waktu itu belum ada saran untuk menciptakan suatu daftar resmi tulisan-tulisan suci, suatu kanon.

Marcion dan Kanon Pertama 

Gerak pertama yang penting menuju pada pembentukan sebuah kanon Kristen dimulai oleh Marcion, seorang pemilik kapal dan pedagang, anak dari seorang bishop dari gereja di Asia Kecil.

Marcion (wafat tahun 160 M) mengusulkan untuk gereja menolak Kitab Suci Yahudi dan menerima sebuah kanon baru yang dimilikinya sendiri. Kanon itu harus terdiri dari hanya satu Injil, yaitu Injil Lukas, dan satu rasul, yakni Paulus.

Berdasarkan tafsirannya atas Paulus, Marcion berpendapat bahwa Kitab Suci Yahudi hanya berkaitan dengan Allah yang membuat perjanjian dengan Israel, dan Kitab Suci ini tidak sah bagi orang-orang Kristen. Menurutnya, demi kepentingan menjaga kesatuan gereja dan kebenaran Injilnya, maka gereja harus menentukan tulisan-tulisan normatifnya sendiri dan harus tidak lagi menggunakan Kitab Suci Yahudi.

Marcion yakin bahwa rujukan-rujukan kepada Allah yang disembah orang Yahudi yang muncul dalam Injil Lukas dan tulisan-tulisan Paulus adalah penyimpangan-penyimpangan dari apa yang semula ditulis Lukas dan Paulus. Alhasil, Marcion menghapus rujukan-rujukan yang semacam itu dari versi-versi yang dia masukkan ke dalam Perjanjian Baru yang diusulkannya.

Marcion memakai Paulus sebagai pandunya dalam dia merumuskan pandangan Kristen yang benar tentang hal-hal itu. Ditumpasnya oleh Roma pemberontakan Bar Kokhba tahun 132-135 M, yang merupakan suatu usaha terakhir orang-orang Yahudi memperoleh kemerdekaan mereka (Perang Yahudi ke-2), bisa jadi telah memegang andil dalam Marcion menentukan pandangannya tentang Kitab Suci Yahudi.

Jika Kitab Suci Yahudi hanya berkaitan dengan sejarah bangsa Yahudi dan Bait Allah, dan jika pranata-pranata ini telah berakhir, maka gereja tidak perlu lagi berurusan dengan Kitab Suci Yahudi. Penyingkiran atas Kitab Suci Yahudi ini telah dibenarkan oleh peristiwa-peristiwa yang telah menimpa bangsa Yahudi. Itu logika historisnya.

Gerak radikal Marcion ini telah mendorong gereja untuk dengan sadar mengangkat untuk pertama kalinya persoalan penentuan kanon. Marcion jelas adalah orang pertama yang menyarankan perlunya ada sebuah kanon baru yang khusus bagi gerakan Kristen.

Usul Marcion memang sangat mengejutkan bagi banyak orang pada zamannya; rationale (alasan-alasan) teologisnya heterodoks ―bahkan heretik, bidaah. Ini perlu diberi tanggapan. Ini telah memaksa gereja untuk menentukan sikap atas nilai dan status Kitab Suci Yahudi yang telah diambilnya sebagai Kitab Sucinya sendiri. Dan ini juga telah mempercepat gereja untuk menentukan mana dari antara tulisan-tulisan yang dimilikinya yang harus dipandang kanonikal ―normatif―dan mengapa.

Daftar-daftar Pertama  

Gereja menghadapi tantangan Marcion dengan cara menentukan daftar-daftar dari kitab-kitab yang telah disetujui untuk dibaca dalam gereja-gereja. Yang paling awal dari daftar-daftar ini adalah Kanon Muratori, yang biasanya dipandang disusun pada akhir abad kedua.

Yang paling memberi pencerahan dari sekian daftar yang ada adalah daftar yang dibuat Eusebius, Bishop Kaisarea, di dalam karya multi-jilidnya tentang sejarah gereja yang diterbitkan tahun 325 M.

Daftar buatan Eusebius menunjukkan bahwa sebuah konsensus telah dicapai atas sedikitnya dua puluh kitab yang dimasukkan ke dalam koleksi baru tulisan-tulisan suci, yang dikenal sebagai Perjanjian Baru.

Dia membagi tulisan-tulisan ke dalam tiga kategori: tulisan-tulisan yang “diakui”, “diperdebatkan”, dan “ditolak”. Pembagian semacam ini juga berlaku bagi daftar-daftar yang lebih awal. 

Kita tahu, misalnya, Irenaeus, Bishop dari Lyon di Gaul (Perancis), dalam karyanya yang dihasilkan tahun 185 M, memandang sebagai kanonikal kedua puluh kitab yang kemudian muncul dalam kategori Eusebius sebagai kitab-kitab yang “diakui”.

Selain itu, Irenaeus juga mengakui Kitab Wahyu dan Gembala Hermas, sehingga totalitas tulisan yang diakui dua puluh dua buah.

Pada awal abad ketiga, Origenes dari Aleksandria mendukung kedua puluh dua kitab itu sebagai kanonik. Daftar buatan Origenes hampir sama dengan yang diterima Irenaeus dan terdaftar sebagai kitab-kitab yang “diakui” oleh Eusebius.

Maka dapat dikatakan, bahwa tidak lebih dari dua puluh lima atau tiga puluh tahun setelah Marcion mengusulkan kanonnya, Irenaeus telah mengusulkan sebuah daftar “ortodoks” yang mencakup dua puluh tulisan sebagai kanonik. Daftar ini kemudian ditambahkan, tetapi tidak pernah diubah dalam perdebatan-perdebatan tentang kanon yang terjadi di kemudian hari.

Gereja menerima dua kategori mendasar yang diusulkan Marcion, yakni “injil” dan “rasul”, tetapi tidak sependapat dengan definisi-definisi minimalistik atas keduanya yang diusulkan Marcion. Bukan satu injil, tetapi empat; bukan satu rasul, tetapi “semua” rasul, yang harus dimasukkan ke dalam kanon. Kisah Para Rasul masuk ke dalam daftar sebagai kitab rasuli juga, bersama dengan surat-surat Paulus dan dua surat umum (surat-surat edaran).

Empat Injil, Satu Injil 

Adanya empat Injil dalam pandangan beberapa orang akan membahayakan kesatuan Injil gereja. Marcion telah mengusulkan suatu injil tunggal, yang memberikan keuntungan berupa terhindarnya kesenjangan-kesenjangan dan inkonsistensi-inkonsistensi apa pun.

Sekitar tahun 165 M, Tatian di Syria telah menghasilkan Diatessaron (secara harfiah berarti “satu melalui empat”). Tatian telah menciptakan suatu Injil tunggal gabungan, lewat kombinasi dan harmonisasi teks-teks Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes. Teks selengkapnya dari karya inovatif ini telah hilang, tetapi ini menyingkapkan suatu dorongan lain untuk membuat kesatuan Injil sebagai kenyataan.

Tetapi gereja perdana dulu menolak dorongan-dorongan semacam ini dan memilih untuk memahami keempat Injil sebagai empat kesaksian berbeda terhadap satu kisah injil, satu berita keselamatan.

Bahkan Irenaeus menambahkan dengan berargumentasi bahwa sama seperti adanya empat penjuru bumi dan empat arah mata angin, maka begitu juga harus ada empat pilar Injil yang Allah telah berikan kepada dunia.

Jumlah empat dipakai Irenaeus sebagai bukti langsung dari otentisitas Injil-injil: gereja sedunia dapat memiliki sebuah Injil rangkap empat, tidak boleh kurang dan tidak boleh lebih.

Eusebius (Penasihat Kaisar Konstantinus) 

Pada waktu Eusebius menghasilkan “daftar”-nya dalam tiga golongan di tahun 325 M, dia menggunakan tolok-tolok ukur (kriteria) yang lebih rasional dibandingkan yang dipakai Irenaeus lebih dari satu abad sebelumnya.

Eusebius bertanya, sebagai kriteria,

• apakah tulisan-tulisan telah disebut oleh generasi-generasi terdahulu para pemimpin gereja,

• apakah gaya penulisannya sejalan dengan tulisan-tulisan yang diketahui telah ditulis pada masa awal sejarah gereja,

• dan apakah isinya konsisten dengan ortodoksi yang sudah mapan.

Jika ada tulisan-tulisan yang mengklaim mengetengahkan iman gereja tetapi tidak memenuhi kriteria ini, maka dia melabelkan tulisan-tulisan itu sebagai “pemalsuan yang dilakukan oleh orang-orang sesat.”

Status sebagai kanon disediakan hanya untuk karya-karya awal, sejauh kekunoan karya-karya itu dapat ditentukan. Makin tua suatu dokumen, makin kuat posisinya dalam kanon. Ini menambah satu kriteria lagi.

Para pengumpul Kanon Muratori telah menolak tulisan Gembala Hermas, meskipun tulisan ini populer, karena tulisan ini diketahui disusun “baru-baru ini”.

Beberapa orang berpendapat, dengan dasar yang lebih beranekawarna, bahwa empedu harus tidak dicampur dengan madu, di mana madu dianggap menggambarkan karya-karya yang lebih ortodoks.

Tetapi tidak satu pun dari daftar-daftar yang ada menyebut pengilhaman (inspirasi atau "theopneustos") sebagai sebuah tolok ukur untuk menentukan tulisan-tulisan mana yang harus dimasukkan ke dalam kanon.

Tampaknya, alasannya adalah bahwa karena semua orang Kristen dipenuhi Roh, sebuah klaim pengilhaman tidak akan berguna sebagai suatu cara untuk membedakan tulisan-tulisan Kristen yang kanonikal dari yang ekstra-kanonikal (di luar kanon).

Sering kali dicatat bahwa satu tulisan di dalam PB yang mengklaim diilhamkan adalah kitab Wahyu Yohanes, tapi justru kitab inilah yang persisnya paling sering diperdebatkan di antara tulisan-tulisan lainnya yang diusulkan masuk ke dalam PB.

Daftar yang dibuat Eusebius tahun 325 M memuat dua puluh satu tulisan yang dinyatakan “diakui”, atau diterima sebagai kanonikal, jika kita menganggap bahwa dia memasukkan Surat Ibrani di antara surat-surat Paulus, dan jika kita memperhitungkan Wahyu Yohanes di antara tulisan-tulisan yang diperdebatkan.

Dia tidak mengatakan surat-surat-surat apa yang termasuk ke dalam surat-surat Paulus; dan dia mendaftarkan Wahyu Yohanes dua kali, pertama sebagai tulisan yang ada di antara tulisan-tulisan yang diakui, dan sekali lagi di antara tulisan-tulisan yang diperdebatkan. 

Athanasius 

Daftar berikutnya yang masih ada dari zaman kuno adalah daftar yang dibuat Athanasius yang diterbitkan tahun 367 M. Daftarnya memuat dua puluh tujuh kitab, yang sama dengan yang membentuk PB kita sekarang.

Di antara masa Eusebius dan masa Athanasius, enam kitab yang diperdebatkan atau ditolak (Yakobus, Yudas, 2 Petrus, 2 dan 3 Yohanes dan Wahyu Yohanes) akhirnya menjadi kitab-kitab yang termasuk kategori diakui.

Dari zaman Athanasius sampai zaman kita sekarang, kedua puluh tujuh kitab ini tetap berada di dalam kanon, meski pun kitab-kitab itu telah ditantang dari waktu ke waktu oleh para pemimpin gereja dan teolog. Martin Luther (abad 16), misalnya, memandang surat Yakobus, surat Ibrani, surat Yudas dan Wahyu Yohanes tidak pas untuk dimasukkan ke dalam kitab-kitab kanonik.

Alkitab dan Kiat Politik 

Apa yang terjadi di antara masa Eusebius dan masa Athanasius untuk kita dapat menerangkan langkah terakhir yang diambil yang membawa gereja pada suatu konsensus? Bagaimana akhirnya gereja sampai bisa memutuskan apa yang bisa masuk ke dalam kanon dan apa yang harus dikeluarkan dari dalamnya? Sayangnya, sumber-sumber yang bisa kita pakai tidak mengatakan apa-apa tentang hal ini.

Konsili Nicea di tahun 325 M tidak membahas masalah ini, dan baik Eusebius maupun Athanasius atau pun para penulis lainnya dari periode ini tidak menceritakan kepada kita mengapa ini bisa terjadi.

Ada satu perkembangan di abad keempat yang bisa memberikan sebuah penjelasan yang menarik dan masuk akal.




Pada tahun 331 M, Kaisar Roma, Konstantinus, mengirim sebuah surat (teksnya ada pada kita) kepada Bishop Eusebius di Kaisarea, memintanya untuk mengatur penerbitan lima puluh Alkitab.

Lima puluh Alkitab ini haruslah merupakan salinan-salinan dari “Kitab Suci ilahi” yang dibuat dengan mahir pada perkamen (kertas kulit) yang baik, untuk digunakan di dalam gereja-gereja dari kapitol yang baru dari kekaisarannya, Konstantinopel.

Konstantinus bukan hanya menjanjikan akan membayar semua biaya yang dikeluarkan untuk proyek ini; dia juga menyediakan dua kereta kuda untuk menjamin pengapalan yang cepat untuk salinan-salinan yang sudah selesai dikerjakan, supaya dia pribadi dapat memeriksanya.

Eusebius adalah seorang penasihat dan orang kepercayaan sang Kaisar. Dia di mana-mana dipandang sebagai arsitek utama dari filsafat politik kekaisaran yang dibentuk Konstantinus. Dia adalah seorang sekutu terpercaya sang Kaisar dalam membela dan menerapkan kebijakan-kebijakan untuk mengatur negara yang baru dikristenkan.

Eusebius tahu bahwa Konstantinus peduli terhadap kesatuan gereja dan kesatuan kekaisarannya. Eusebius juga tahu bahwa lima puluh Alkitab yang baru itu yang telah disiapkan untuk ibu kota kekaisarannya akan memainkan suatu peran penting dalam membangun kesatuan gereja.

Tak lama setelah Kaisar Konstantinus wafat (337 M), Eusebius dari Kaisarea (dikenal juga sebagai Eusebius Pamfili), sebagai orang kepercayaan sang Kaisar, menulis sebuah karya pujian ("eulogia") tentang sang Kaisar, yang diberi judul Kehidupan Konstantinus. Karya ini lebih dekat sebagai hagiografi ketimbang sebagai karya historiografi.

Nah, inklusivitas daftar kanon buatan Athanasius tampak merupakan akomodasi atau penyesuaian politis. Daftar ini mengatasi silang-sengketa mengenai status kanonik dari surat Ibrani dan Wahyu Yohanes dengan cara memasukkan keduanya ke dalam kanon.

Karena itu, tampak masuk akal jika kita menduga bahwa penambahan enam buku terakhir ini ke dalam daftar kanon bukanlah hasil dari argumen historis atau teologis, tetapi didesak oleh kebutuhan negara, sebagai kiat politik konsolidasi.

Dengan kata lain, kanon PB dimantapkan demi tujuan-tujuan praktis ketika Konstantinus memberi perintah untuk memproduksi lima puluh Alkitab. Penerbitan lima puluh Alkitab ini adalah bukti yang jelas dari kesatuan gereja dan karenanya juga kesatuan kekaisaran.

Alkitab: Kanon Yang Terbuka

Kanon abad keempat telah dapat bertahan lama, tetapi kanon ini tidak dipandang sebagai final dan tidak pernah diterima secara universal.

Di antara gereja-gereja Ortodoks Timur keanekaragaman kanon nyata terjadi, sebelum Konstantinus bergerak lebih jauh.

Kanon gereja Syria, misalnya, adalah Peshitta, sebuah versi Syria dari PB yang ditetapkan pada abad kelima. Dalam Peshitta tidak ada 2 Petrus, 2 dan 3 Yohanes, Yudas, dan Wahyu Yohanes.

Luther menempatkan Ibrani, Yakobus, Yudas, dan Wahyu Yohanes terakhir di dalam terjemahan PB yang dibuatnya tahun 1522, karena dia meragukan klaim berstatus kanonik dari tulisan-tulisan ini.

Alkitab Gustavus Adolphius (Stockholm, 1618) memperlakukan keempat tulisan itu sebagai tulisan-tulisan apokrif.

William Tyndale, “Bapak Alkitab berbahasa Inggris”, menempatkan keempat tulisan yang sama itu di tempat terakhir dalam terjemahan PB yang dibuatnya tahun 1526, tampaknya mengikuti langkah Luther.

Gereja Roma Katolik (GRK) tidak mengeluarkan sebuah pernyataan otoritatif mengenai isi Alkitab sampai 8 April 1546, ketika Konsili Trente, dengan voting 24 lawan 15, dengan 16 abstein, menyatakan tulisan-tulisan di dalam versi Latin Vulgata, yang disusun Jerome, sebagai kanon resmi gereja.

Namun, kanon GRK berbeda dari Alkitab yang diterima kebanyakan gereja Protestan: kanon GRK mencakup Apokrifa PL, serangkaian kitab antar-perjanjian yang tidak diterima kanon Protestan. Di GRK, kitab-kitab antar-perjanjian ini (era dua abad sebelum masuk ke abad pertama M) dinamakan deuterokanonika, artinya dijadikan kanon pada tahap kedua.

Sebetulnya, tidak ada suatu kanon tunggal yang diterima sebagai final oleh seluruh gereja. Untuk gereja am/katolik/universal, status kanon pada masa kini menyerupai statusnya pada masa Eusebius: status ini menyangkut masalah konsensus dan masalah perbedaan. Di dalam mencapai konsensus, tentu saja berbagai kepentingan insani dan duniawi bermain sangat kuat.

Lampiran 1: Eusebius mengenai Kanon PB 

Tapi sekarang ketika kita sudah mencapai pokok ini, maka masuk akal jika kita meringkaskan tulisan-tulisan mana yang masuk ke dalam PB seperti telah disebutkan sebelumnya. Maka, pertama-tama kita harus menempatkan empat Injil kudus, yang diikuti oleh Kisah Para Rasul. Setelah ini, kita harus memperhitungkan surat-surat Rasul Paulus, sesudahnya kita harus menyatakan sebagai asli surat/epistle Yohanes, demikian juga surat Petrus.

Setelah semua tulisan ini, kita harus menempatkan, jika ini sungguh tampak benar, Wahyu Yohanes, pandangan-pandangan yang sudah dipegang tentang ini kita akan paparkan pada waktu yang tepat.

Semua tulisan ini termasuk ke dalam tulisan-tulisan yang diakui. Tetapi ada tulisan-tulisan yang diperdebatkan, meski pun sudah dikenal oleh mayoritas, yakni: Surat Yakobus, surat Yudas, dan surat 2 Petrus; dan 2 dan 3 Yohanes, entah apakah keduanya milik penulis Injil atau mungkin milik orang lain yang memiliki nama yang sama.

Di antara tulisan-tulisan palsu, ada yang juga harus disebut: Kitab Akta Paulus, dan Gembala sebagaimana ini disebut; dan Wahyu Petrus; dan, tambahan lagi, surat Barnabas, dan Pengajaran Para Rasul sebagaimana ini disebut; dan, lagi, seperti saya sudah katakan, Wahyu Yohanes jika ini tampak benar. (Yang terakhir ini, sudah saya katakan, ditolak oleh sejumlah orang, tetapi ada juga kalangan yang memberinya tempat di antara tulisan-tulisan yang diakui).

Dan di antara tulisan-tulisan ini, beberapa orang memperhitungkan juga Injil Orang-orang Ibrani, sebuah karya yang diterima khususnya oleh orang-orang Ibrani yang telah menerima Kristus. Adapun semua tulisan ini masuk ke dalam tulisan-tulisan yang diperdebatkan; namun kita telah dipaksa untuk membuat sebuah katalog dari tulisan-tulisan ini juga, untuk membedakan tulisan-tulisan yang oleh tradisi gereja dipandang benar dan asli dan diakui, dari tulisan-tulisan lain yang tidak termasuk ke dalam tulisan-tulisan yang benar dan asli ini; namun, meski pun tulisan-tulisan lain ini tidak kanonik bahkan diperdebatkan, tulisan-tulisan ini diakui oleh kebanyakan gerejawan. [Dan kita sudah melakukan ini] agar kita dapat mengetahui baik tulisan-tulisan yang sama maupun juga tulisan-tulisan yang oleh para bidaah diajukan di dalam nama para rasul, entah yang berisi Injil Petrus atau pun Injil Thomas dan Injil Matthias, atau bahkan beberapa tulisan lain selain yang telah disebut ini, atau yang berisi Akta Andreas dan Akta Yohanes dan akta rasul-rasul lainnya.

Tidak satupun di antara tulisan-tulisan bidaah ini telah dipandang patut disebut di dalam suatu risalah yang dibuat oleh satu anggota dari serangkaian generasi para gerejawan; dan karakter dari gaya penulisan tulisan-tulisan ini tidak mencerminkan sama sekali gaya penulisan para rasul; dan pemikiran serta tujuan dari isi tulisan-tulisan ini sama sekali tidak selaras dengan ortodoksi yang sejati, sehingga ini menyatakan dengan tegas bahwa tulisan-tulisan ini pastilah tulisan-tulisan palsu yang dibuat para bidaah.

Karena alasan ini, tulisan-tulisan ini bahkan haruslah tidak ditempatkan di antara tulisan-tulisan palsu, tetapi harus ditolak sama sekali sebagai tulisan-tulisan yang buruk, menakutkan dan tidak beriman.

Lampiran 2: Athanasius, Daftar-daftar kanonik 

Haruslah tidak boleh ada keraguan untuk menyatakan lagi [kitab-kitab] dari PB; kitab-kitab ini adalah: Empat Injil, yakni Injil menurut Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes. Selanjutnya, setelah ini, juga Kisah Para Rasul, dan tujuh surat yang disebut Surat-surat Katolik dari para Rasul, sebagai berikut: Surat Yakobus, 1 dan 2 Petrus, lalu 3 surat Yohanes; dan setelah ini, surat Yudas.

Sebagai tambahan dari itu semua, ada empat belas surat dari Paulus, dengan urutan sebagai berikut: Pertama, surat Roma; lalu dua surat Korintus; dan setelah ini surat-surat Galatia, Efesus; lalu surat-surat Filipi dan Kolose dan dua surat Tesalonika; dan surat Ibrani. Selanjutnya dua surat Timotius; dan satu untuk Titus, dan yang terakhir surat Filemon. Juga, Wahyu Yohanes….

Tetapi saya perlu menulis, bahwa saya perlu menambahkan ini demi setidaknya kelengkapan, bahwa ada kitab-kitab lain selain yang telah disebut ini, yang kendatipun tidak kanonik, namun “direkomendir” olah para Bapak Gereja untuk dibaca oleh para pemula dan oleh mereka yang ingin diajar dalam pengajaran kesalehan: Hikmat Salomo, Hikmat Sirakh, Esther, dan Yudit, dan Tobit, dan apa yang disebut Pengajaran Para Rasul, dan Sang Gembala.

Dan, kekasihku, tulisan-tulisan yang sebelumnya telah dikanonisasikan, dan yang kemudian perlu dibaca; akan tetapi, tidak disebutkan tulisan-tulisan apokrifa, tetapi tulisan-tulisan apokrifa adalah suatu alat dari kalangan bidaah, [yang] menulis tulisan-tulisan ini ketika mereka mau lalu menyetujui semuanya dan memberikan waktu penulisan pada periode awal supaya dengan itu mereka dapat menampilkan semuanya sebagai tulisan-tulisan kuno; dengan begitu, mereka mempunyai sebuah dalih untuk menyesatkan orang-orang sederhana melalui tulisan-tulisan ini.

Lampiran 3: Viktor Konstantinus Maximus Augustus kepada Eusebius 

Di dalam kota yang memakai namaku, dengan pertolongan Allah, providentia Penyelamat kita, sejumlah sangat besar orang telah menggabungkan diri mereka ke dalam gereja yang paling kudus.

Karena itu, sementara segala hal yang dilakukan di sana telah meningkat dengan sangat besar, tampaknya sudah sangat wajib bahwa harus ada lebih banyak gereja yang dibangun di dalam kota itu.

Engkau begitu ingin menerima apa yang aku telah putuskan untuk melakukannya. Sebab tampaknya pas, untuk menandakan kebijaksanaanmu, bahwa engkau harus memesan lima puluh salinan Kitab Suci ilahi (tentang persedian dan penggunaannya kamu sudah tahu, akan sangat diperlukan bagi pengajaran gereja) yang harus ditulis pada kertas kulit yang telah disiapkan dengan baik, oleh para penyalin yang paling cakap di dalam seni menulis dengan benar dan tepat; salinan-salinan Kitab Suci itu harus sangat mudah dibaca; dan dapat dengan mudah diangkut sampai pada penggunaannya.

Tambahan pula, surat-surat telah dikirim kepada pejabat kepala keuangan dari keuskupan, yang berisi perintah bahwa dia harus telaten menyediakan segala hal yang diperlukan untuk menyelesaikan salinan-salinan yang telah dikatakan.

Ini, karena itu, akan menjadi tanggungjawabmu, untuk memperhatikan agar salinan-salinan itu dapat dengan segera disediakan. Engkau juga akan diberi kuasa dengan otoritas surat kami ini, untuk menggunakan dua angkutan umum kereta kuda, untuk membantu transportasi.

Sebab, dengan sarana ini, hal-hal yang dituliskan dengan benar, dapat dengan lapang diperlihatkan kepada penglihatan kami, yakni, satu dari para diaken gerejamu dipakai untuk pelaksanaan pekerjaan ini. Yang, ketika dia datang kepada kami, akan dibuat pantas untuk menerima karunia kami. Allah memeliharamu, saudaraku tersayang!

Lampiran 4: Nama-nama dan peristiwa
 
Klemen (abad 1 M): Mungkin bishop ketiga dari kota Roma, dan penulis sebuah surat (1 Klemen) yang ditujukan kepada gereja di Korintus kira-kira tahun 95.

Ignatius (sekitar 35-107 M): Bishop Antiokhia di Syria dan penulis surat-surat kepada beberapa gereja: Efesus, Magnasia, Trallia, Roma, Filadelfia, Smirna. Dia juga menulis sebuah surat kepada Polikarpus, bishop Smirna.

Marcion (wafat sekitar th 160): Seorang penduduk asli Sinope di Pontus dan seorang pemilik kapal yang kaya raya. Dia diekskomunikasikan pada th 144.

Kanon Muratori: daftar tertua yang masih ada dari tulisan-tulisan PB, ditemukan pada abad 18 oleh L.A. Muratori di dalam manuskrip abad kedelapan. Daftar ini umumnya dipandang berasal dari abad kedua M.

Tatian (abad kedua M): Seorang penduduk asli Assyria; dia adalah seorang apologet Kristen dan penulis Diatessaron, sebuah sejarah kehidupan Kristus yang dihimpun dari empat Injil dan dipakai di gereja Syria sampai abad kelima M.

Irenaeus (ca. 130-200 M): Bishop dari Lyon, Gaul (Perancis).

Origenes (ca. 185-254 M): Kritikus Alkitab dari Aleksandria, penafsir, teolog dan penulis soal-soal kerohanian.

Eusebius (ca. 260-340 M): Bishop Kaisarea. Karyanya yang multi jilid, Sejarah Gereja, berisi sejarah gereja sampai sekitar tahun 300 dan diterbitkan tahun 325 M.

Konstantinus (ca. 274-337 M): Kaisar Roma yang kebijakannya adalah menyatukan gereja Kristen dengan Negara melalui ikatan-ikatan yang sedekat mungkin. Hukum-hukum dan surat-suratnya menjadi suatu sumber utama bagi kajian-kajian tentang hubungan-hubungan kekristenan dengan Negara dari tahun 313 ke depan.

Athanasius (ca. 296-373 M): Bishop dari Aleksandria, Mesir.

Konsili Nicea (325 M): Konsili umum pertama dari gereja Kristen yang dihimpun oleh Kaisar Konstantinus yang takut bahwa pertikaian yang terjadi di dalam gereja akan dapat menimbulkan kekacauan di dalam kekaisaran. Kredo/Pengakuan Iman Nicea adalah hasilnya.

Konsili Trente (1545-1563): Sebagai tanggapan terhadap Reformasi Protestan, konsili ini mendefinisikan doktrin Katolik yang berbeda dari doktrin Protestan dan menerapkan pembaruan-pembaruan untuk memulai suatu revitalisasi.