Friday, November 2, 2012

Mana yang lebih terbatas: Ilmu pengetahuan atau agama?

Mempertahankan misteri-misteri jagat raya hanya akan menghasilkan orang-orang beragama yang malas mencari, malas meneliti, dan malas berpikir, atau malah takut berpikir dan takut mengetahui hal-hal baru.
─ ioanes rakhmat


Kemahatahuan Tuhan, itulah yang membuat sains dan agama dapat berjabat tangan...


Umumnya kalau para agamawan, dari semua agama, diperhadapkan pada sains (ilmu pengetahuan), mereka akan serta-merta menyatakan: Jangan berpegang pada sains, berpegang saja pada agama, pada iman. Posisi ini dinamakan fideisme (kata Latin fidem, artinya iman). Fideisme ada di mana-mana.

Fideisme adalah pemujaan pada iman, dan, sebaliknya, penistaan pada akal, pada nalar. Bagi para fideis, jangan sekali-kali percaya pada akal dan nalar. Pegang saja iman-- itu sudah cukup.

Loh, kenapa tak boleh berpegang pada sains? Sebab sains selalu terbatas, bisa salah, tak menawarkan hal-hal yang mutlak dan pasti, selalu berubah. 

Sebaliknya, agama menawarkan kepada anda hal-hal yang pasti benar, mutlak, absolut, tak bisa salah, tidak berubah, terjamin (oleh Allah sendiri), sehingga menenteramkan batin dan pikiran anda. Jadi, peluklah agama dan jangan percaya sains!

Betulkah demikian? Mari kita cari jawabannya dengan kalem dan cermat.



Semua agama menawarkan iklan yang sama: Kecap Bango kami kecap nomor satu di dunia, tak ada tandingannya! Pilihlah kecap Bango keluaran pabrik kami! Dijamin halal dan lezat! 

Jadi, ada banyak sekali agama kecap Bango nomor satu di dunia. Dari antara banyak agama kecap Bango ini, mana agama kecap Bango yang benar-benar nomor satu di dunia, yang benar-benar paling lezat, benar-benar paling higienis? Sangat susah dan ruwet menjawabnya, bukan? 

Paling baik adalah membangun relasi dalam kemajemukan agama-agama, dan menjauhkan diri dari kompetisi tanpa akhir untuk memunculkan agama juara pertama.

Lalu, semua klaim tentang kebenaran (supernatural) yang diajukan agama-agama adalah klaim iman (Latin: fidem), klaim yang diterima benar hanya karena diimani atau dipercaya benar sebagai wahyu (Latin: revelationem) ilahi, tanpa dilandaskan bukti-bukti objektif autentik. Ini dinamakan epistemologi revelatif fideis. Tak perlu ada pembuktian atas semua kepercayaan keagamaan, kata para agamawan dengan yakin, sebab kebenarannya sudah dijamin oleh Allah sendiri yang memberi wahyu. 

Tahukah mereka, bahwa keyakinan mereka ini adalah keyakinan pada keyakinan yang mereka sendiri bangun tentang wahyu ilahi, keyakinan yang tanpa bukti? You believe in your beliefs. 

Tentu kita tetap memerlukan kepercayaan dalam banyak bidang dan urusan kehidupan. Tanpa kepercayaan, kehidupan bisa berjalan tersendat-sendat, atau bahkan macet. 

Saya mempercayai banyak hal dalam kehidupan ini, termasuk mempercayai ilmu pengetahuan sebagai suatu jalan kokoh dan penuh kegembiraan untuk menemukan kebenaran-kebenaran. 

Ya, baiklah, jika kita mau mempercayai sesuatu yang tak perlu dibuktikan, percayailah hal-hal yang akan menjadikan kita insan-insan yang agung, mulia, terhormat, punya harga diri, bermartabat, terpelajar, berpikiran terbuka, berwawasan jauh, penuh kebajikan dan kasih sayang.

Nah, sesuatu yang tak ada buktinya, apakah sudah pasti benar? Ya, bisa pasti benar tapi hanya dalam keyakinan.

Apakah kepercayaan itu, sekuat apapun, adalah fakta, atau hanya harapan dan angan-angan dan kemudah-mudahan? 

Watak kepercayaan atau watak iman itu bisa dicontohkan berikut ini. “Semoga besok kamu jadi sarjana”, kata seorang ayah kepada putra tunggalnya. Apakah si anak sudah pasti akan menjadi sarjana nantinya? Belum tentu tokh. Masih diharapkan. Masih mudah-mudahan. Si anak masih harus membuktikan dirinya dulu sudah jadi sarjana, barulah harapan atau iman si ayah terbukti benar. 

“Besok mudah-mudahan tidak turun hujan, supaya pesta kawinmu lancar”, kata seorang ibu kepada putrinya yang semata wayang. Apakah sudah terjamin pasti bahwa besok tidak akan turun hujan? Tidak tokh. Masih mudah-mudahan. Besoklah baru akan ada buktinya, apakah hujan turun, ataukah tidak. 

Bahasa iman, atau bahasa keagamaan, adalah bahasa mudah-mudahan, bahasa semoga, bahasa cita-cita, bahasa angan-angan, bahasa impian dan harapan, bahasa keinginan, bukan bahasa fakta. 

Bagaimana halnya dengan sains? Sains bekerja dalam kerangka epistemologi evidensialis (Latin: evidentia, bukti). Semua klaim tentang kebenaran yang diajukan sains, baru sahih jika diajukan berdasarkan bukti-bukti objektif autentik. Tentu juga ditopang oleh pemikiran yang logis kausatif yang runtut, teori-teori besar yang sudah diterima, koherensi argumen-argumen yang diajukan, dan metodologi keilmuan yang sahih.

Ketika sebuah klaim kebenaran saintifik sudah dilandaskan bukti-bukti yang sahih dan autentik, klaim ini sudah sangat pasti, tak akan bisa salah lagi. Jika ada bukti-bukti baru penopang ditemukan, pandangan saintifik yang sudah relatif established akan makin lebih solid, lebih unifying, lebih integratif, lewat reformulasi.

Dalam dunia sains, tak ada bahasa “mudah-mudahan”, tak ada bahasa “semoga benar”, sebab bahasa sains bermodus indikatif, bukan bermodus subjungtif. Bahasa sains "It is", bukan "It might be", kendati ada hierarki kepastian dalam dunia ilmu pengetahuan, dari hal yang paling pasti, menurun ke hal yang pasti, lalu kurang pasti, dan paling bawah sama sekali tidak pasti.

Jadi, mana yang lebih pasti, sains yang bekerja dalam koridor epistemologi evidensialis, atau agama yang berdiri di atas epistemologi revelatif fideis? Ya jelas, sains jauh lebih pasti dibandingkan agama. 

Sesuatu yang belum terbukti benar, lewat pengajuan bukti-bukti, jika dipandang probable benar, dalam dunia sains disebut sebagai hipotesis. Dan, sekali lagi, ada hierarki kepastian dalam dunia sains. Kepastian yang berada di bagian-bagian teratas hierarki ini, itulah yang menjadi opsi utama.

Dalam sains, banyak hipotesis diajukan yang menunggu verifikasi (hipotesisnya terbukti positif/benar), atau falsifikasi (hipotesisnya terbukti negatif/salah). Ini dinamakan prinsip verifikasionisme. 

Dalam dunia sains, sebuah hipotesis tetap akan diperlakukan sebagai sebuah hipotesis, menunggu falsifikasi atau verifikasi, lewat bukti-bukti autentik objektif yang berhasil dikumpulkan.

Nah, karena semua klaim tentang kebenaran (supernatural) dalam dunia agama tidak dilandaskan bukti-bukti, atau belum dilandaskan bukti-bukti, maka semua klaim ini paling banter bisa diterima hanya sebagai hipotesis-hipotesis. Dunia agama, adalah dunia hipotesis-hipotesis. Ya, tak apa-apa. Wajar saja.

Tapi, sayangnya, fakta ini sering tidak mau diterima kalangan agamawan. Mereka suka melakukan “lompatan iman” dengan memperlakukan hipotesis-hipotesis keagamaan sebagai kepastian-kepastian mutlak meskipun tak didukung bukti-bukti objektif autentik. Pemutlakan-pemutlakan inilah yang sering menjadi sumber ketidakharmonisan sosial dan ketertinggalan.

Lompatan iman yang kejauhan, ya bisa membuat semua orang terperosok ke dalam kubangan yang airnya hitam dan berbau amis. 

Nah, apakah ilmu pengetahuan terbatas dan bisa salah? Ya, ilmu pengetahuan, juga para saintis, memang terbatas, dan bisa salah, bisa keliru. Dalam dunia sains, berlaku fallibilisme. Tak ada yang menyangkal fakta ini.

Keterbatasan dan kemungkinan salah, sama sekali bukanlah hal-hal yang menakutkan para saintis. Sama sekali bukan momok.

Justru karena dalam dunia sains keterbatasan dan kemungkinan salah diakui, hal ini memicu para saintis untuk menyelidiki segala fenomena alam lebih jauh, mengadakan eksperimen dan observasi lebih banyak, berpikir lebih keras, merumuskan teori-teori dan model-model baru yang lebih kuat, menyusun prediksi-prediksi ke depan yang lebih akurat dan mengujinya berdasarkan bukti-bukti, dan mencari dan mengumpulkan bukti-bukti lebih banyak, membangun instrumen-instrumen peneliti yang lebih maju. 

Semua langkah itu akan menghasilkan pandangan-pandangan saintifik yang lebih unifying, lebih overarching, lebih integratif, lebih kokoh, dan lebih bisa menjelaskan berbagai hal, dari waktu ke waktu.

Jadi, ada sifat melakukan "koreksi diri" atau "self correction" dalam semua ilmu pengetahuan. Sifat inilah yang membuat ilmu pengetahuan apapun terus maju dan berkembang, tidak pernah bantut.

Karena sains punya kemampuan mengoreksi diri, maka setiap ilmuwan yang baru mengajukan sebuah teori atau posisi keilmuan yang lebih maju, akan sangat menginginkan ilmuwan-ilmuwan lain sedunia untuk meninjau dengan kritis dan memperdebatkan posisi keilmuan barunya itu. 

Peninjauan bisa dilakukan dalam forum-forum ilmiah umum yang di dalamnya para ilmuwan mendiskusikan posisi ilmiah yang baru itu, bahkan memperdebatkannya dengan terbuka dan bermartabat, tanpa adu jotos. 

Atau lewat jurnal-jurnal ilmiah internasional (cetakan dan/atau online) yang dikhususkan untuk para ilmuwan sedunia meninjau dengan kritis ("critical reviews" atau "peer reviews") posisi-posisi keilmuan yang dipandang baru atau sebagai suatu terobosan, breakthrough.

Nah, jika sains yang berpijak pada bukti-bukti terbatas sifatnya dan bisa salah, apalagi agama, yang semua klaim supernaturalnya tidak dilandaskan bukti-bukti objektif dan autentik apapun.

Kalau kaum agamawan mengajukan teks-teks kitab suci sebagai bukti, ketahuilah teks-teks kitab suci adalah teks-teks iman, bukan teks-teks fakta. 

Bahwa ihwalnya demikian, dapat diperlihatkan lewat berbagai analisis kritis atas teks-teks suci apapun. 

Tentu saja, tetap ada fakta dalam bangunan setiap agama, tapi juga ada banyak hal yang bukan fakta. Ada yang bisa dibedakan dengan jelas; tapi ada pula yang sukar karena sudah bercampur.

Semakin kaum agamawan suka berkhayal mengembangkan imajinasi mereka tentang hal-hal gaib adikodrati, semakin sedikit fakta-fakta yang bisa dibela dan dipertahankan agama. Semakin banyak asumsi yang mendasari suatu bangunan ide, semakin lemah ide ini. Semakin sedikit asumsi, semakin kokoh. Ini bagian yang dinamakan Lex Parsimoniae, "kaidah hemat kata", yang berlaku dalam dunia sains. 

Semua saintis memakai dan menjalankan kaidah hemat kata ini, dengan membuat penjelasan-penjelasan yang simpel (bukan naif) dan gamblang atas fenomena-fenomena alam yang semula tampak ruwet, rumit, kompleks dan sukar dijelaskan. Makin simpel dan makin kurang asumsi yang dipakai dalam suatu bangunan teori, teori inilah yang dipilih sebagai teori yang benar, dari antara teori-teori lain yang menjelimet dan penuh asumsi.

Jadi, semakin luar biasa klaim-klaim keagamaan yang diajukan, semakin harus diberi bukti-bukti yang juga luar biasa. Extraordinary claims demand extraordinary evidence. Ini salah satu prinsip utama juga dalam dunia sains untuk bekerja dengan sedikit atau tanpa asumsi.

Jadi, mana yang lebih terbatas: agama atau sains? Jelas, agama lebih terbatas dibandingkan sains. 

Para rohaniwan umumnya merasa ditugaskan oleh Yang Ilahi untuk menjaga dan melindungi misteri-misteri jagat raya, karena mereka berkeyakinan bahwa misteri-misteri ini hanya Allah yang tahu, dan tak boleh dipecahkan. 

Dalam kekristenan, pernah Santo Augustinus (354-430 M) melarang umatnya mengikuti rasa ingin tahu (kuriositas), karena katanya, rasa ingin tahu ini hanya membuat orang masuk ke wilayah-wilayah yang hanya boleh dimasuki Allah, dan tak akan menghasilkan apa-apa jika dicoba disingkap. Persisnya kata sang Santo, begini: 

“Ada satu bentuk godaan lagi, bahkan lebih berbahaya, yakni penyakit ingin tahu. Rasa ingin tahu inilah yang selalu mendorong kita untuk mencoba menemukan rahasia-rahasia alam, rahasia-rahasia yang sebetulnya berada di luar kemampuan kita untuk memahaminya, yang hanya akan membuahkan kesia-siaan jika dicari, yang seharusnya manusia tidak ingin pelajari.”/1/

Sejarah perkembangan sains sesungguhnya menunjukkan bahwa kuriositas atau rasa haus untuk tahu adalah mesin besar dan kuat pendorong kemajuan sains dan teknologi. Semakin tinggi kuriositas seorang anak, semakin cepat dia menjadi cerdas lewat eksplorasi-eksplorasi segala sesuatu di sekitarnya, yang dilakukannya sendiri. Berbahagialah jika anda mempunyai anak seperti ini.

Dalam tradisi Kristen yang berasal dari Yesus, ada dorongan untuk orang "mencari" (Yunani: zētein) dan "mengetuk pintu" (Yunani: krouein) supaya dibukakan. Penjelasan yang diperluas, diberikan di bawah ini.

Ucap Yesus, "Carilah dahulu kerajaan Allah (Yunani: zeteite de prôton tēn basileian tou theou) dan kebenarannya (Yunani: tēn dikaiosunēn autou),..." (Matius 6:33; dan par). Juga, "Ketuklah (Yunani: krouete), maka pintu akan dibukakan (Yunani: anoigēsetai) bagimu." (Matius 7:7; dan par).

Alih-alih terfokus cuma pada kebutuhan hidup rutin sehari-hari (makanan, minuman, pakaian dll), Yesus mendorong murid-murid-Nya untuk lebih dahulu mencari kerajaan Allah dan kebenarannya. 

Kerajaan Allah adalah kawasan Allah berkarya dengan kuasa-Nya, bukan hanya dalam kawasan kehidupan murid-murid Yesus dan orang banyak, tapi juga mencakup seluruh jagat raya "yang menceritakan kemuliaan Allah". 

Kebenaran Allah tersedia di situ, tentu bukan hanya kebenaran etis moral, tapi juga kebenaran-kebenaran yang ditaruh Allah dalam jagat raya. Pintu-pintu misteri kebenaran Allah yang tertutup, jika kita ketuk, maka Allah akan membuka (Yunani: anoigein) pintu-pintu itu bagi kita.

Jadi, Yesus tidak mematikan kuriositas manusia, malah Dia mendorong untuk rasa ingin tahu ini dipenuhi oleh manusia, murid-murid-Nya. Barangsiapa mencari, akan mendapatkan. Barangsiapa mengetuk, pintu akan dibukakan.

Pada pihak lain, hanya dengan mematikan kuriositas, dan mempertahankan misteri-misteri jagat raya, kaum rohaniwan di mana pun dan kapan pun jadi tetap mempunyai tugas dan kewajiban yang dapat mereka pikul: menjaga misteri-misteri ilahi. 

Sebagai para penjaga misteri ilahi, mereka merasa makin berwibawa. Ya, itu sesungguhnya pekerjaan utama mereka. Mau apa lagi?

Mereka seharusnya tahu, mempertahankan dan memagari misteri-misteri jagat raya hanya akan menghasilkan orang-orang beragama yang malas mencari, malas meneliti, dan malas berpikir, atau malah takut berpikir dan takut mengetahui hal-hal baru. Alhasil, sains dan teknologi tidak akan berkembang di tangan mereka! Peradaban tak akan maju. Ketertinggalan akan menjadi pemandangan sehari-hari. Kebodohan akan menjadi mahkota. Ujung-ujungnya: kekalahan total!

Menutup pintu-pintu yang membawa masuk ke dalam misteri-misteri jagat raya, hanya akan membuat agama apa pun terhambat maju, terkungkung di masa silam, dan tidak bisa membantu menjawab pergumulan umat manusia dalam zaman modern yang terus bergerak maju, tanpa akhir. 

Jadi, ya ketuklah pintu-pintu ini, maka akan dibukakan, dan jalan masuk ke perziarahan yang panjang akan terlihat di depan, memasuki hal-hal yang semula tidak diketahui. Nah, jalan ilmu pengetahuan itulah jalan dan kembara menuju yang tidak diketahui, "a voyage to the unknown".

Bagaimana dengan para saintis, dengan watak sains? 

Sains dan para saintis justru menghendaki semua misteri jagat raya diungkap, tentu tak bisa sekaligus, tapi bertahap, progresif, berdialektika tesis versus antitesis, dan akumulatif, dan makin integratif. Tak boleh ada misteri yang tetap tinggal misteri, di hadapan sains. 

Dengan demikian, sekali lagi, pengetahuan manusia terus berkembang, bertahap, tambah maju, makin unifying, makin overarching, makin integratif, makin menjawab banyak pertanyaan, terus ke depan, tanpa titik akhir, tanpa batas. Maka, peradaban akan terus melesat.

Jadi, mana yang lebih terbatas: sains atau agama? Jelas, agama sangat jauh lebih terbatas dibandingkan sains.

Poin terakhir. Para agamawan juga kerap menyatakan bahwa sains tidak bisa dipercaya, karena salah satu watak sains yang kuat adalah skeptisisme, bukan absolutisme.

Kata mereka, skeptisisme, yakni sikap meragukan dan mempertanyakan segala sesuatu, pasti membuat anda tidak akan pernah tiba pada kebenaran mutlak yang justru dijamin oleh absolutisme dalam dunia agama-agama. Pasti akan membuat anda gelisah, terombang-ambing.

Ya, benar, skeptisisme adalah watak sains yang sangat mendasar, tetapi watak ini sangat membangun, bukan menghancurkan. Skeptisisme, itulah bahan bakar penggerak mesin perkembangan sains. Skeptisisme membuat orang bertanya, lalu mencari jawaban, alhasil otak terlatih cerdas dan horison pengetahuan terus mengembang.

Hanya dengan meragukan dan mempertanyakan posisi-posisi sains yang sudah mapan, yang sudah relatif established, posisi-posisi saintifik baru akan dicapai, dengan makin kaya dan makin unifying, bukan makin miskin, bukan makin disintegrating dan bukan makin divisive

Ketahuilah, temuan-temuan terobosan baru dalam dunia sains kerap dihasilkan di ujung kegelisahan dan kebimbangan besar para saintis besar. Albert Einstein salah satunya. 

Ketika mereka menemukan masih ada celah” atau "gap" dan missing link dalam suatu konstruksi teori besar keilmuan, maka pasti mereka menjadi gelisah, dan bimbang terhadap kebenaran pengetahuan yang sudah ada. 

Para ilmuwan tidak akan mengisi celah atau "gap" atau tautan yang hilang itu dengan figur-figur dari "dunia lain". Praktek ini, yang dinamakan "God of the gaps", sebaliknya, umum dilakukan para agamawan. Ini sia-sia dan melelahkan, sebab sudah banyak kali terjadi "gaps" yang ada dalam dunia ilmu pengetahuan akhirnya, lewat banyak riset, observasi, eksperimen dan pemikiran-pemikiran baru, bisa diisi dengan fakta-fakta ilmiah, bukan oleh "God of the gaps".

Jika masih ada "celah-celah", apakah para saintis lalu memutuskan untuk tidur saja dengan berselimut tebal karena stres psikologis sedang melanda mereka? Ya tentu tidak. Para saintis adalah para pejuang dan petempur tangguh, bukan pecundang.

Kegelisahan dan kebimbangan malah mendorong mereka untuk mengadakan riset lebih jauh dan lebih dalam lagi, mencari bukti-bukti baru, meninjau posisi-posisi keilmuan yang sudah ada, mengajukan hipotesis-hipotesis baru lalu menguji semuanya. Alhasil, mesin sains akan berputar dan berjalan lebih enerjik lagi, lebih powerful lagi.

Tanpa skeptisisme, sains jelas tidak akan ada, dan, jika sudah ada, tidak akan berkembang; dan lewat skeptisisme kebenaran-kebenaran akan makin lebih banyak didapat. 

Tentu saja, para saintis tahu, kapan harus bersikap skeptik, dan kapan tidak perlu, tidak hantam kromo meragukan segala hal. 

Skeptisisme diajukan, jika ada bukti-bukti yang mendukungnya, dan jika pandangan-pandangan lama terbukti tidak sejalan lagi dengan bukti-bukti baru, atau jika pandangan-pandangan lama tampak terbatas dalam menjelaskan fenomenon-fenomenon yang baru dipantau lewat instrumen-instrumen baru keilmuan dan ditemukan lewat observasi dan eksperimentasi yang tak pernah selesai, atau jika orang mengajukan klaim-klaim yang luar biasa tanpa didukung bukti-bukti yang juga luar biasa apapun. 

Semua orang, bukan hanya para saintis, pasti pernah berada dalam sikon skeptik, bahkan dalam hal-hal lain yang bukan menjadi subjek kajian keilmuan. Kita semua pernah skeptik, sejak TK hingga lansia.

Kalau ada orang yang menyatakan bahwa mereka sejak lahir tak pernah merasa ragu, tak pernah skeptik dalam urusan apapun, aahhh... mereka membual, hidup dengan penuh penyangkalan atas fakta-fakta, hidup in denial.

Kemampuan bersikap skeptik adalah karunia alam, bagian terpadu dari sistem dan mekanisme neurologis dalam otak kita. Dan tak sedikit perannya dalam survival atau ketahanan hidup spesies Homo sapiens, dari zaman ke zaman.

Keraguan memicu kita bersikap hati-hati, memikirkan kemungkinan-kemungkinan, mencari pilihan-pilihan lain, melakukan analisis dan evaluasi, mengaktifkan fungsi kesiagaan dan kewaspadaan dalam bagian-bagian otak kita.

Pendek kata, seorang saintis sejati pada hakikatnya adalah seorang skeptik yang cermat dan arif.

Nah, bagaimana dengan absolutisme yang didesakkan para agamawan kepada anda? 

Hemat saya, absolutisme hanya mempermiskin dan mengerdilkan horison pengetahuan manusia, dan pada wilayah politik hanya akan menghasilkan para diktator dan tiran religiopolitik. 

Ditinjau dari sudut teologi, absolutisme bukan saja tidak bisa sejalan dengan pluralisme keagamaan yang menawarkan banyak kebenaran khas, tetapi juga mengerangkeng dan mematikan kebenaran. 

Pada dasarnya absolutisme juga memenjarakan sosok Allah yang dipercaya agama-agama sebagai sosok yang mahatahu, yang pengetahuan-Nya yang mahaluas tidak bisa dikuasai satu agama saja atau satu doktrin kepercayaan saja atau oleh satu lembaga keagamaan saja, apalagi oleh satu orang suci saja dari zaman kuno di manapun. 

Alih-alih memberi kepastian mutlak, absolutisme, ironisnya, malah memporakporandakan kepercayaan pada adanya Allah yang mahatahu, dan memusnahkan kebenaran-kebenaran. 

Jika ini faktanya, masihkah kita percaya bahwa absolutisme itu menjamin kepastian mutlak tentang Allah, kepastian pada iman keagamaan kita? 

Jika seseorang mengabsolutkan sesuatu, maka dia telah mengerangkeng sesuatu yang diabsolutkannya itu dalam kandang keyakinannya sendiri. Allah yang mahabesar tak mungkin bisa dikandangkan. Tak mungkin! Oleh siapa pun. Syukur kepada Tuhan.

Harus ditegaskan sekuatnya, absolutisme membuat agama dan iman anda menjadi kurus kering dan ringkih. Tanpa skeptisisme, agama anda akhirnya hanya pantas ditempatkan dalam sebuah museum fosil agama, atau dimakamkan di dalam tanah sedalam-dalamnya dan selamanya. Dan ketahuilah, banyak agamawan sesungguhnya absolutis! Positifkah ini?

Sekali lagi, jika skeptisisme diperhadapkan pada absolutisme, kelihatan bahwa agama jauh lebih terbatas jika dibandingkan sains. Mana yang anda mau rangkul, agama yang mandek karena diabsolutkan, atau sains yang terus maju dan merangkul makin banyak kebenaran karena selalu diragukan?

Di ujung semua keraguan, akan muncul Mentari yang bercahaya makin terang. Keraguan adalah pelayaran di lelautan bergelombang, menuju cakrawala terbitnya sang Matahari pagi.
      
Ketika sains makin maju, makin solid, makin bisa menjelaskan semua fenomena alam, maka sumbangan sains bagi kehidupan manusia yang makin baik dan makin sehat, akan makin banyak. 

Fakta anda bisa berdiskusi lewat Internet di Facebook atau di Twitter atau lewat WA dll juga adalah prestasi sains, bukan prestasi agama, bukan prestasi iman keagamaan. 

Ya, kaum agamawan mengklaim akan dapat mengirim umat ke sorga setelah kematian. OK-lah, kalau memang iman mereka menyatakan begitu. Tapi, bukankah lebih baik jika kita dapat menurunkan atau mendatangkan sorga ke bawah, ke Bumi, sewaktu kita masih hidup dan ingin berguna bagi umat manusia?

Nah, yang saya ingin lihat adalah, apakah agama dan iman keagamaan anda bisa mengirim dan menerbangkan para astronot ke Bulan, atau ke planet Mars, sekarang, sementara dunia masih ada, sementara kita masih hidup? 

Yang sudah terbukti adalah, sains dan teknologi modern-lah yang telah mengirim para astronot ke Bulan, dan tak lama lagi ke planet Mars! 

Lalu akan dilanjutkan dengan kolonisasi planet-planet lain dalam sistem Matahari kita demi keabadian organisme cerdas Homo sapiens dalam jagat raya, apalagi seandainya Homo sapiens adalah satu-satunya spesies cerdas pembangun peradaban di seluruh jagat raya! Kita sudah tahu, semakin langka suatu spesies, semakin spesies ini harus dilindungi dan dijaga supaya tetap lestari bertahan hidup.

Oh ya, beberapa orang mengingatkan bahwa  iman keagamaan juga telah berhasil mengirim para martir, terbang menuju dua gedung pencakar langit di New York, dan merobohkan keduanya lewat tabrakan dengan pesawat-pesawat jet yang mereka kendalikan! Peristiwa 11 September yang tak pernah terlupakan bagi orang Amerika dan dunia yang beradab.

Realistis saja, sekarang, tanpa sains dan teknologi modern, sangat mungkin anda tidak akan bisa hidup lagi, atau anda akan lebih cepat mati. Ujilah! Ketahuilah, bentuk dan struktur tubuh kita mengharuskan kita memakai teknologi untuk bisa hidup sehat dan baik, dan bertahan lebih lama. 

Karena itu, janganlah lagi menjauhkan umat dari ilmu pengetahuan. Kasihan mereka jika kita berbuat begitu.

Saya himbau, sebarkanlah ajaran-ajaran agama yang makin membuat umat anda haus ilmu pengetahuan dan mendapatkan tempat untuk kuriositas mereka makin kuat dan dapat dipenuhi. Beragamalah, tapi dengan cerdas! Dan juga dengan riang, damai dan kalem.

Usahakanlah, komunitas keagamaan anda tahu dan terbuka untuk menerima sains sekalipun banyak pandangan saintifik yang tak klop dengan dunia ide dan dunia simbolik keagamaan anda. 

Tahukah anda, Tuhan itu bekerja dialektis dalam menyingkap kebenaran-kebenaran untuk kebaikan dan kemajuan semua insan yang diciptakan-Nya. Beragama, seperti sejarah sudah perlihatkan, berarti hidup dalam dialektika tesis-antitesis-sintesis, yang dijalani dengan hepi dan penuh semangat seperti halnya para ilmuwan.

Sudah saatnya, mabuk kepayang agama di mana pun diakhiri, juga di negeri sendiri jika negeri kita mau maju dan terpandang di dunia dan mampu berkompetisi kecerdasan dan kejeniusan di aras global. 

Cerdaskan bangsa anda lewat ilmu pengetahuan, dan jangan lagi memperbodoh dan meninabobokan mereka lewat ajaran-ajaran agama yang anti-sains atau lewat ajaran-ajaran agama yang penuh takhayul.

Hal berikut ini penting diingat. 

Jika anda mencintai Tuhan YMTahu dan MTakterbatas, maka anda akan seharusnya cinta juga pada ilmu pengetahuan yang memberi anda pengetahuan-pengetahuan yang terus berkembang tanpa batas tentang segala hal dalam jagat raya ini, sejalan dengan ketakterbatasan dan kemahatahuan Tuhan. 

Kemahatahuan Tuhan yang tanpa batas itulah sumber segala ilmu pengetahuan. Tentu ini suatu kepercayaan, ya kepercayaan yang agung dan mulia, suatu kebajikan luhur. Menyangkal ilmu pengetahuan, ya berarti menyangkal kemahatahuan Tuhan. Apakah anda mau begitu? Saya yakin, tidak.

Dus, ilmu pengetahuan adalah jalan agung dan mulia tanpa ujung menuju Tuhan YMTahu dan MTakterbatas. 

Makin dekat Tuhan, makin cinta dan makin haus ilmu pengetahuan. 

Tak ada benturan antara beribadah kepada Tuhan dan berilmu tinggi. Ini kabar baik buat kita semua setelah kita dihadapkan pada benturan-benturan antara skeptisisme dunia sains dan absolutisme dunia agama.

Setiap ilmuwan niscaya adalah hamba Tuhan, kawan seperjalanan Tuhan YMTahu menuju kawasan-kawasan baru ilmu pengetahuan yang tak memiliki batas akhir.

Ucapkanlah: Karena saya mencintai Tuhan YMTahu, saya juga mencintai ilmu pengetahuan dan kecerdasan.

Salam,
ioanes rakhmat

Editing mutakhir 
7 Maret 2020
6 Maret 2021

---------------------

/1/ Pernyataan Agustinus ini dikutip dalam Charles Freeman, The Closing of the Western Mind: The Rise of Faith and the Fall of Reason (London: Heinemann, 2002), hlm. vii.

Thursday, November 1, 2012

Stephen Hawking dan Leonard Mlodinow,
The Grand Design (2010)




Di bawah ini sebuah ringkasan buku Stephen Hawking dan Leonard Mlodinow, The Grand Design (New York: Bantam Books, 2010). Diringkas oleh Ioanes Rakhmat. Jika ada masukan untuk merevisi bagian-bagian tertentu dalam ringkasan ini, akan pasti saya pertimbangkan. 

Buku ini telah dibedah (saya sebagai seorang pembedahnya) dalam acara diskusi buku yang diadakan oleh Freedom Institute, Jalan Proklamasi No 41, Jakarta Pusat, pk. 19.00-22.00 WIB, 17 Desember 2010. Jadi, sudah dua tahun lalu. Ringkasan bukunya baru saya pasang di tahun 2012. 




Buku ini terdiri atas delapan bab; ringkasan setiap babnya diberikan di bawah ini (dengan setiap judul bab dipertahankan dalam bahasa Inggris). Silakan di-copy-paste untuk keperluan pribadi. Terjemahan Indonesia buku ini (penerjemahnya saya tak kenal) terbit di awal Januari 2011, dengan penerbitnya PT Gramedia Pustaka Utama. Salam.

 

Benda-benda bermassa mencerukkan ruang-waktu, alhasil gaya gravitasi tercipta (menurut teori Einstein)


(1) The Mystery of Being

Menyangkut pertanyaan-pertanyaan mengenai jagat raya, menurut SH&LM, “filsafat sudah mati”, karena apa yang dipikirkan para filsuf tidak sejalan dengan perkembangan-perkembangan mutakhir dalam sains modern, khususnya fisika.


Pendekatan yang dipakai SH&LM adalah realisme-yang-bergantung-pada-model (
model-dependent realism). Pendekatan ini didasarkan pada gagasan bahwa otak kita menafsirkan input data yang berasal dari organ indrawi kita dengan membuat suatu model tentang dunia. Jika dua teori atau model fisika memprediksi dengan akurat peristiwa-peristiwa yang sama, teori atau model yang satu tidak dapat dikatakan lebih real dari yang lainnya; melainkan kita bebas menggunakan model mana yang paling cocok.


Syarat sebuah model yang baik (dipindahkan dari bab 3)

Sebuah model dinilai baik jika model ini: (a) sederhana dan cerdas (elegan); (b) berisi sedikit unsur yang acak dan dapat disesuaikan; (c) sejalan dengan dan menjelaskan semua observasi yang ada; (d) membuat prediksi yang rinci mengenai observasi-observasi pada masa yang akan datang yang dapat menolak atau menyalahkan model ini jika observasi-observasi ini tidak didapatkan.

 
M-theory (suatu jaringan berbagai teori)


Bagi SH&LM, “M-theory” adalah teori atau model yang menjadi puncak dan merangkumi semua teori fisika yang pernah ada (dari Plato ke teori klasik Newton ke teori-teori quantum modern), teori atau model pamungkas untuk menjelaskan seluruh jagat raya, teori atau model untuk segala sesuatu (“the ultimate theory of everything”), yang mencakup semua gaya yang ada dalam jagat raya (gaya gravitasi, gaya elektromagnetik, gaya nuklir kuat, dan gaya nuklir lemah) dan memprediksi setiap observasi yang dapat kita buat. M-theory menyediakan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mengenai jagat raya. Menurut teori ini, jagat raya kita bukanlah satu-satunya jagat raya, melainkan ada banyak jagat raya yang diciptakan dari ketiadaan. Penciptaan banyak jagat raya tidak memerlukan intervensi suatu makhluk supernatural atau allah; melainkan muncul dengan sendirinya dari hukum fisika, terprediksikan oleh sains.


Tiga pertanyaan


Dalam buku GD, kedua penulisnya berusaha menjawab 3 pertanyaan “mengapa” (bukan hanya “bagaimana”): Mengapa ada sesuatu ketimbang tidak ada apapun? Mengapa kita ada? Mengapa seperangkat hukum yang khusus dan bukan hukum yang lainnya?



(2)
The Rule of Law

Dalam bab ini SH&LM menelusuri kemunculan dan perkembangan kesadaran saintifik manusia dalam “periode klasik” (mulai kira-kira tahun 500 SM) yang menyingkirkan pemikiran mitologis atau teologis atas jagat raya: Thales dari Miletus (ca. 624 SM-ca. 546 SM) dari Ionia, sebagai orang pertama yang mengajukan suatu konsep bahwa jagat raya ini diatur bukan oleh para dewa, tetapi oleh hukum-hukum alam yang dapat dipahami dan dijelaskan melalui observasi dan nalar; Pythagoras (ca. 580 SM-ca. 490 SM); Archimedes (ca. 287 SM-ca. 212 SM); Anaximander (ca. 610 SM-ca. 546 SM), Empedocles (ca. 490 SM-ca. 430 SM); Demokritus (ca. 460 SM-ca. 370 SM) yang memperkenalkan konsep atom (kata Yunani, yang artinya “tak dapat dipotong”); Aristarkhus (ca. 310 SM-ca. 230 SM) sebagai orang pertama yang berpendapat bahwa Bumi bukanlah pusat sistem planetari kita, tetapi Bumi dan planet-planet lain mengorbit Matahari yang jauh lebih besar.


Tetapi pemikiran Yunani yang sudah dimulai sekitar tahun 500 SM ini hanya berpengaruh selama beberapa abad saja karena berbagai alasan. Pertama, teori-teori yang dikembangkan para pemikir Ionian tampak tidak memberi tempat pada kemauan bebas atau tujuan atau pada konsep tentang dewa-dewa yang mencampuri kerja jagat raya. Kedua, mereka belum menemukan metode saintifik; teori-teori mereka tidak dikembangkan dengan pendasaran pada verifikasi eksperimental. Ketiga, pada masa itu belum dibuat pembedaan antara aturan-aturan manusia dan hukum-hukum alam. Keempat, kalkulasi matematis dan pengukuran yang akurat sulit dilaksanakan pada zaman kuno.


Tampillah sejumlah pemikir yang menolak pemikiran-pemikiran Ionian. Beberapa di antaranya dapat disebutkan. Epikurus (341 SM-270 SM) menolak atomisme yang diperkenalkan Demokritus. Aristoteles juga menolak konsep tentang atom karena dia tidak bisa menerima kalau manusia terdiri atas objek-objek yang tak bernyawa atau tak berjiwa. Pemikiran heliosentrisme Aristarkhus ditolak selama berabad-abad, dan baru muncul kembali dan diterima secara umum ketika Galileo Galilee (1564-1642) menghidupkannya kembali hampir dua puluh abad sesudahnya. Pada abad ketigabelas, filsuf Kristen Thomas Aquinas (ca. 1225-1274) memasukkan kembali allah yang sudah dikeluarkan para pemikir Ionian, ketika dia menyatakan, “Sudahlah jelas bahwa benda-benda tak bernyawa mencapai tujuan mereka bukan secara kebetulan, melainkan karena suatu maksud…. Karena itu, pastilah ada suatu hakikat personal yang cerdas yang olehnya segala sesuatu dalam alam ditata menuju tujuannya.” 

Bahkan astronom besar Jerman, Johannes Kepler (1571-1630), percaya bahwa planet-planet memiliki persepsi indrawi dan dengan sadar mengikuti hukum-hukum gerak yang ditangkap oleh ‘pikiran’ mereka. Pada tahun 1277, Uskup Tempier dari Paris, yang bertindak atas perintah Paus Yohanes XXI, menerbitkan sebuah daftar 219 kekeliruan atau bidah yang harus dikutuk, di antaranya adalah gagasan bahwa alam mengikuti hukum-hukum tertentu, karena gagasan ini dinilai berkonflik dengan kemahakuasaan Allah.

Konsep modern


Konsep modern tentang hukum-hukum alam muncul di abad ketujuhbelas. Tampaknya Johannes Kepler adalah seorang saintis pertama yang memahami terminologi "hukum-hukum alam" dalam pengertian sains modern, meskipun dia mempertahankan suatu pandangan animistik mengenai objek-objek fisik. Galileo menyingkapkan banyak hukum alam, dan mempertahankan sebuah konsep penting bahwa observasi adalah dasar sains dan bahwa tujuan sains adalah menyelidiki hubungan-hubungan kwantitatif yang ada antara fenomena fisika.


Tetapi orang pertama yang dengan eksplisit dan dengan kuat merumuskan konsep tentang hukum-hukum alam sebagaimana kita memahaminya adalah René Descartes (1596-1650). Descartes percaya bahwa semua fenomena fisikal harus dijelaskan dari sudut tabrakan antara massa-massa yang bergerak, yang diatur oleh tiga hukum (pendahulu hukum-hukum gerak Newton yang terkenal). Dia menegaskan bahwa hukum-hukum alam berlaku di semua tempat dan di segala waktu, dan menyatakan dengan eksplisit bahwa ketaatan pada hukum-hukum ini tidak berarti bahwa benda-benda yang bergerak memiliki pikiran. 

Menurut Descartes, Allah dapat dengan kemauannya sendiri mengubah kebenaran atau kesalahan proposisi-proposisi moral atau teorem-teorem matematis, tetapi tidak dapat mengubah alam. Dia percaya bahwa Allah menjadikan hukum-hukum alam tetapi tidak memiliki pilihan dalam hukum-hukum ini; Allah menetapkan hukum-hukum ini karena hukum-hukum ini, sebagaimana kita alami, adalah satu-satunya hukum-hukum yang mungkin. Baginya, tidak peduli bagaimana materi diatur pada permulaan jagat raya, lambat laun suatu dunia yang identik dengan dunia kita akan berevolusi. Menurutnya, sekali Allah membuat jagat raya ini jalan, Allah selanjutnya meninggalkan jagat raya ini sendirian sama sekali.

Isaac Newton (1643-1727) mengambil posisi yang serupa, dengan beberapa kekecualian. Konsep-konsep Newton mengenai suatu hukum saintifik dengan tiga hukum geraknya, dan hukum gravitasinya yang dengannya orang dapat menjelaskan orbit-orbit Bumi, bulan dan planet-planet, dan juga fenomena seperti pasang surut air laut, adalah konsep-konsep yang diterima secara luas sebagai konsep-konsep saintifik modern. 

Dalam dunia sehari-hari, di mana kecepatan-kecepatan gerak benda-benda yang kita temui berada jauh di bawah kecepatan cahaya, hukum-hukum Newton merupakan hukum-hukum sebab berlaku pada kondisi ini; tetapi hukum-hukum Newton harus dimodifikasi jika objek-objek bergerak dengan kecepatan-kecepatan mendekati kecepatan cahaya. Meskipun Newton mengajukan konsep-konsep saintifik modern, dia percaya juga bahwa Allah dapat dan telah mencampuri kerja jagat raya.

Tiga pertanyaan


Jika alam diatur oleh hukum-hukum, muncul tiga pertanyaan: (1) Dari mana asal-usul hukum-hukum ini? (2) Apakah ada kekecualian-kekecualian apapun terhadap hukum-hukum ini, yakni mukjizat-mukijzat? (3) Apakah hanya ada satu perangkat hukum-hukum yang mungkin?


Jawaban tradisional yang diberikan kepada pertanyaan pertama (yakni jawaban Kepler, Galileo, Descartes, dan Newton) adalah bahwa hukum-hukum alam diciptakan oleh Allah; namun jawaban ini sebenarnya tidaklah lebih dari sebuah definisi tentang Allah sebagai suatu penubuhan atau pengejawantahan hukum-hukum alam. Bagi SH&LM, memakai Allah sebagai suatu jawaban terhadap pertanyaan pertama hanyalah mengganti satu misteri dengan satu misteri lainnya: Maka, timbul pertanyaan pengganti: Dari mana Allah berasal? Siapa yang menciptakan Allah?


Determinisme saintifik


Terhadap pertanyaan kedua, SH&LM menjawab berdasarkan determinisme saintifik.


Laplace (nama lengkapnya Pierre-Simon, marquis de Laplace, 1749-1827) adalah orang pertama yang dengan jelas mempostulatkan determinisme saintifik: jika keadaan jagat raya pada satu waktu diterima, maka seperangkat lengkap hukum-hukum akan dengan sepenuhnya menentukan baik masa depannya maupun masa lampaunya. Karena masa lampau dan masa depan segala sesuatu ditentukan oleh hukum-hukum alam, maka tidak terbuka kemungkinan bagi adanya mukjizat-mukjizat atau adanya suatu peran aktif Allah. Determinisme saintifik adalah jawaban saintifik bagi pertanyaan kedua, dan sesungguhnya merupakan dasar bagi semua sains modern, sebuah prinsip yang diklaim SH&LM sebagai prinsip penting bagi seluruh buku GD. Tulis mereka, “sebuah hukum saintifik bukanlah sebuah hukum saintifik jika hukum ini hanya berlaku kalau suatu hakikat supernatural memutuskan untuk tidak mencampurinya.”


Adakah kehendak bebas?


Apakah determinisme saintifik juga berlaku bagi manusia, sehingga tidak ada kehendak bebas pada manusia (dan semua makhluk hidup lainnya)? Pemahaman kita atas basis molekuler dari biologi memperlihatkan bahwa proses-proses biologis diatur oleh ilmu fisika dan ilmu kimia dan karena itu tunduk pada determinisme saintifik, seperti juga halnya dengan orbit planet-planet. Eksperimen-eksperimen mutakhir dalam neurosains mendukung pandangan bahwa otak fisikal kitalah, yang bekerja dengan mengikuti hukum-hukum sains, menentukan tindakan-tindakan kita, bukan suatu agensi yang berada di luar hukum-hukum itu. Jadi, sukar untuk membayangkan bagaimana kehendak bebas akan dapat beroperasi jika perilaku kita ditentukan oleh hukum-hukum fisika, sehingga tampaklah bahwa kita ini tidak lebih daripada mesin-mesin biologis dan bahwa kehendak bebas hanyalah sebuah ilusi.


Teori efektif


Tetapi karena tubuh manusia terdiri atas ribuan trilyun trilyun molekul yang harus diperhitungkan, dan ada banyak variabel yang ikut bekerja, maka dalam prakteknya sangat sulit bahkan mustahil memprediksi hasil atau akibat yang ditimbulkan oleh kerja hukum-hukum alam di dalam diri manusia, yang menentukan perilaku manusia. Karena sangat tidak praktis menggunakan hukum-hukum fisika sebagai suatu landasan untuk menentukan atau memprediksi perilaku manusia, maka dipakai apa yang dinamakan teori efektif (
effective theory). 

Dalam fisika, suatu teori efektif adalah sebuah kerangka atau sebuah perancah yang diciptakan sebagai model bagi fenomena yang diobservasi tanpa menggambarkan dengan rinci semua proses yang mendasarinya. Misalnya, kita tidak dapat memperinci dengan persis persamaan-persamaan yang mengatur interaksi gravitasi dari setiap atom dalam tubuh seseorang dengan setiap atom dalam Bumi. Tetapi untuk kepentingan praktis, gaya gravitasi di antara seseorang dan Bumi dapat digambarkan hanya dalam beberapa bilangan saja, seperti total massa seseorang. Demikian juga, kita tidak dapat memperinci persamaan-persamaan yang mengatur perilaku atom-atom yang rumit dan molekul-molekul, tetapi kita telah mengembangkan sebuah teori efektif yang dinamakan ilmu kimia yang menyediakan sebuah penjelasan yang memadai tentang bagaimana atom-atom dan molekul-molekul berperilaku di dalam reaksi-reaksi kimiawi tanpa memperhitungkan setiap rincian interaksi ini. Dalam hal manusia, karena kita tidak dapat memperinci persamaan-persamaan yang menentukan perilaku kita, kita menggunakan teori efektif bahwa manusia memiliki kehendak bebas. Kajian atas kehendak kita, dan atas perilaku kita yang muncul dari kehendak kita, adalah ilmu psikologi.

Terhadap pertanyaan ketiga di atas, SH&LM merujuk ke Plato dan Aristoteles yang, seperti Descartes dan kemudian Einstein, percaya bahwa hukum-hukum alam ada karena “keharusan”, maksudnya, hukum-hukum ini ada karena hukum-hukum inilah satu-satunya hukum-hukum yang secara logis bermakna. Galileo mengamati, hukum-hukum alam inilah satu-satunya hukum-hukum alam yang alam jalankan pada dirinya sendiri, bukan harus ada karena alasan-alasan logis saja.



(3)
What Is Reality?

Persepsi kita atas realitas jagat raya tidak pernah lepas dari keterlibatan diri kita melalui observasi di dalam proses pembentukan persepsi itu. Kita membentuk sebuah model tertentu atas realitas yang sejalan dengan dan menjelaskan persepsi kita atas realitas itu. Inilah yang disebut
model-dependent realism: gagasan bahwa suatu teori fisika atau gambaran tentang dunia adalah sebuah model (umumnya bersifat matematis) dan seperangkat aturan yang menghubungkan unsur-unsur model dengan observasi-observasi. Bukan hanya di dalam sains kita membentuk model-model, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari. 

Realisme-yang-bergantung-pada-model berlaku bukan hanya pada model-model saintifik, tetapi juga pada model-model mental yang sadar dan yang tak sadar, yang kita ciptakan untuk menafsirkan dan memahami dunia sehari-hari. Tidak ada kemungkinan untuk menyingkirkan orang yang mengobservasi (yaitu kita) dari persepsi kita tentang dunia ini, yang diciptakan melalui proses pengindraan kita dan melalui cara kita berpikir dan bernalar. Persepsi kita, dan karenanya observasi-observasi yang padanya kita mendasarkan teori-teori kita, tidaklah langsung, melainkan dibentuk oleh semacam lensa, yakni struktur interpretif yang dibentuk oleh otak kita. Beberapa contoh model fisika dapat dikemukakan.

Geosentrisme Ptolemeus (ca. 85-ca. 165), yang diikuti antara lain oleh Aristoteles (yang karena alasan mistikal percaya bahwa Bumi harus menjadi pusat jagat raya), dan yang diadopsi oleh Gereja Katolik dan dipegang sebagai sebuah doktrin resmi selama empat belas abad, adalah sebuah model kosmologis. Model ini kemudian berhadapan dengan model heliosentrisme yang pada tahun 1543 diajukan oleh Kopernikus dalam bukunya
De revolutionibus orbium coelestium (On the Revolutions of the Celestial Spheres). Menurut SH&LM, orang dapat menggunakan kedua gambaran kosmologis ini sebagai sebuah model jagat raya, sebab observasi-observasi kita atas angkasa luar dapat diterangkan dengan mengasumsikan entah Bumi atau Matahari sebagai benda langit yang diam, yang diedari benda-benda langit lainnya.

Sebuah model lama (yang kemudian digantikan oleh sebuah model lain yang lebih cocok dengan observasi) adalah model yang memandang jagat raya ini statis, tidak berubah ukurannya, sebagaimana dipertahankan kebanyakan saintis pada tahun 1920-an. Tetapi, di tahun 1929, Edwin Hubble menerbitkan observasi-observasinya yang menunjukkan jagat raya ini mengembang,
expanding. Tentu saja Hubble tidak langsung mengamati kalau jagat raya ini mengembang. Dia mengobservasi cahaya yang dipancarkan galaksi-galaksi. Cahaya ini membawa suatu tanda tangan yang khas, yakni spektrum cahaya, yang terbentuk berdasarkan komposisi masing-masing galaksi, yang berubah dengan suatu jumlah yang dikenal jika galaksi ini bergerak terkait dengan diri kita sebagai pengamat. Karena itu, dengan menganalisis spektra galaksi-galaksi yang jauh, Hubble dapat menentukan kecepatan-kecepatan mereka. Dia berharap untuk menemukan galaksi-galaksi yang menjauh dari kita sama banyaknya dengan galaksi-galaksi yang mendekati kita. Tetapi yang ditemukan Hubble tidak demikian, melainkan bahwa hampir semua galaksi bergerak menjauh dari kita, dan semakin jauh mereka, semakin cepat gerakan mereka. Hubble menyimpulkan bahwa jagat raya mengembang.


 
(4)
Alternative Histories

Teori-teori saintifik klasik seperti teori-teori Newton dibangun di atas suatu perancah atau kerangka yang merefleksikan pengalaman sehari-hari, yang di dalamnya objek-objek material memiliki suatu eksistensi individual, dapat ditempatkan di lokasi-lokasi yang pasti, bergerak mengikuti jalan-jalan yang pasti, dan seterusnya. Tetapi ketika kita telah mengembangkan teknologi kita dan memperluas ruang kisaran fenomena yang kita dapat observasi, sampai ke dunia atomik atau dunia sub-atomik, kita mulai menemukan bahwa alam ini bertindak dengan cara-cara yang makin kurang sejalan dengan pengalaman kita sehari-hari dan karenanya dengan intuisi kita.


Ternyata apa yang berlangsung dalam dunia atomik atau dunia sub-atomik, tidak bisa lagi dijelaskan oleh teori-teori fisika klasik Newton. Atom-atom dan molekul-molekul individual beroperasi dengan suatu cara yang sangat berbeda dari pengalaman kita sehari-hari. Ketika teori-teori fisika Newton tidak bisa lagi menjelaskan hal-hal yang diobservasi para saintis dalam dunia atomik/sub-atomik, prinsip-prinsip fisika quantum dikembangkan dalam beberapa dekade awal abad ke-20, dengan mengetengahkan skema konseptual yang sama sekali lain, skema yang di dalamnya posisi suatu objek, jalan yang ditempuhnya, dan bahkan masa lalu dan masa depannya, tidak dapat ditentukan dengan persis. Fisika quantum adalah sebuah model baru mengenai realitas yang memberi kita sebuah gambaran mengenai jagat raya dengan makin lengkap.


Ada beberapa fitur penting dari aspek-aspek fisika quantum yang digunakan SH&LM untuk mendasarkan argumen-argumen dalam buku mereka. Pertama, dualitas gelombang/partikel: partikel-partikel materi berperilaku seperti sebuah gelombang. Kedua, prinsip ketidakpastian yang dirumuskan Werner Heisenberg pada tahun 1926. Menurut prinsip ini, ada keterbatasan-keterbatasan pada kemampuan kita untuk serentak mengukur suatu data, seperti posisi dan kecepatan (velositas) suatu partikel. Menurut prinsip ketidakpastian ini, jika anda mengalikan ketidakpastian posisi suatu partikel dengan ketidakpastian momentumnya (= massa-nya dikali kecepatannya), hasilnya tidak pernah dapat lebih kecil dari suatu kuantitas yang sudah ditentukan dengan pasti, yang disebut konstan Planck. Intinya: Semakin persis anda mengukur kecepatan suatu partikel, semakin kurang persis anda dapat mengukur posisinya, demikian juga sebaliknya. Ketiga, prinsip yang menyatakan bahwa jika suatu sistem diamati, maka sistem ini akan harus mengubah jalannya. Menurut fisika quantum, anda tidak dapat “hanya” mengamati sesuatu, maksudnya bahwa jika anda membuat suatu pengamatan, anda harus berinteraksi dengan objek yang sedang anda amati.


Dalam bingkai prinsip ketidakpastian quantum, hasil-hasil dari suatu proses fisika tidak dapat diprediksi dengan pasti karena hasil-hasil ini tidak ditentukan dengan pasti, tak perduli berapa banyak informasi yang kita dapatkan atau berapa kuat kemampuan komputasi kita. Jika keadaan awal (“initial state” atau “initial condition”) suatu sistem diperhitungkan, maka alam menentukan masa depannya melalui suatu proses yang pada dasarnya tidak pasti. Dengan kata lain, alam tidak menentukan hasil dari suatu proses atau eksperimen apapun, bahkan di dalam situasi-situasi yang paling sederhana sekalipun. Melainkan, alam memungkinkan sejumlah hasil akhir yang berbeda, dengan masing-masing memiliki suatu kemungkinan tertentu untuk terwujud. Memakai parafrasis atas ungkapan Einstein, seolah Allah melempar dadu sebelum memutuskan hasil dari setiap proses fisika.


Suatu bentuk baru determinisme saintifik


Apa yang baru dikemukakan dalam alinea di atas tampak seolah merongrong gagasan bahwa alam diatur oleh hukum-hukum; tetapi sebenarnya tidak demikian. Melainkan hal ini membawa kita kepada suatu keadaan untuk menerima suatu bentuk baru determinisme saintifik. Jika keadaan awal suatu sistem pada suatu waktu diperhitungkan, maka hukum-hukum alam menentukan kemungkinan-kemungkinan (probabilities) masa depan dan masa lampau yang beranekaragam ketimbang menentukan satu masa depan dan satu masa lampau dengan pasti. Kemungkinan-kemungkinan di dalam teori-teori quantum berbeda jika dibandingkan dengan kemungkinan-kemungkinan dalam fisika Newton atau dalam pengalaman sehari-hari, karena mencerminkan suatu keacakan fundamental di dalam alam. Model quantum mengenai realitas mencakup prinsip-prinsip yang berkontradiksi bukan hanya dengan pengalaman sehari-hari kita, tetapi juga dengan konsep intuitif kita mengenai realitas.


Sejarah-sejarah alternatif


Dalam teori quantum, khususnya dalam suatu pendekatan terhadap teori quantum yang dinamakan “sejarah-sejarah alternatif” (
alternative histories), jagat raya dipandang tidak memiliki hanya satu eksistensi atau hanya satu sejarah atau hanya satu masa lampau tunggal, tetapi setiap versi yang mungkin dari jagat raya berada serentak dalam apa yang dinamakan suatu superposisi quantum (a quantum superposition). Fisika quantum menyatakan bahwa tak perduli berapa luas dan menyeluruh observasi kita atas atas masa kini (jagat raya), masa lampau (yang tak terobservasi), seperti juga masa depan, tidaklah pasti dan ada hanya sebagai suatu spektrum kemungkinan-kemungkinan.


(5)
The Theory of Everything

“Teori tentang segala sesuatu” yang disarankan para saintis merupakan suatu teori puncak yang sejalan dengan teori quantum, yang merangkumi empat gaya dalam jagat raya:


Pertama,
gaya gravitasi

Hukum gravitasi Newton, yang dipublikasi tahun 1687, menyatakan bahwa setiap objek dalam jagat raya menarik setiap objek lainnya dengan suatu kekuatan yang sebanding atau proporsional dengan massanya.


Tetapi, oleh Albert Einstein, yang melakukan penelitian dari 1905 sampai 1916, teori gravitasi Newton diganti dengan sebuah teori baru gravitasi yang disebut teori relativitas umum (
general relativity theory): “ruang-dan-waktu” (sebagai suatu dimensi keempat selain dimensi-dimensi “atas-bawah”, “depan-belakang” dan “kiri-kanan”) tidaklah datar, tetapi melengkung atau menceruk dan terdistorsi oleh massa dan energi di dalamnya. Dalam teori gravitasi Einstein, objek-objek bergerak pada suatu geodesik, yakni jarak terpendek di antara dua titik pada suatu permukaan atau ruang yang melengkung. Teori relativitas umum adalah suatu model tentang jagat raya yang sangat berbeda, yang memprediksi efek-efek seperti gelombang-gelombang gravitasi dan lubang-lubang hitam; dengan demikian, teori ini mengubah fisika menjadi geometri.

[Sebelumnya, di dalam suatu makalah yang ditulis tahun 1905, yang berjudul “Zur Elektrodynamik bewegter Körper” (“Tentang Elektrodinamika Benda-benda Bergerak”), Einstein memperkenalkan suatu teori yang dinamakan teori relativitas khusus,
special relativity theory, yang menyatakan bahwa pengukuran waktu bergantung pada si pengamat yang melakukan pengukuran itu; dengan demikian, waktu tidak bisa mutlak, sebagaimana dipikirkan Newton sebelumnya, atau dengan kata lain, tidaklah mungkin untuk memberikan kepada setiap peristiwa waktu yang setiap pengamat akan setujui. Ruang dan waktu saling merangkul.]

Kedua,
gaya elektromagnetik

Gaya ini bekerja sebagai gaya gravitasi, dengan suatu perbedaan penting bahwa dua muatan listrik atau dua magnit dari jenis yang sama menolak satu sama lain, sedangkan dua muatan yang tak sejenis atau dua magnit yang tidak sejenis saling menarik. Gaya elektrik dan gaya magnetik jauh lebih kuat dari gaya gravitasi, tetapi kita biasanya tidak memperhatikan kedua gaya ini dalam kehidupan sehari-hari karena suatu tubuh makroskopik berisi muatan elektrik positif dan negatif yang jumlahnya hampir sama. Hal ini berarti bahwa gaya elektrik dan gaya magnetik di antara dua tubuh makroskopik hampir membatalkan satu sama lain, tidak seperti gaya-gaya gravitasi yang semuanya berkombinasi. (James Clerk Maxwell, seorang fisikawan Skotlandia, pada tahun 1860-an, berhasil memperlihatkan secara matematis bahwa gaya elektrik dan gaya magnetik adalah manifestasi-manifestasi dari satu entitas fisika yang sama, yakni medan elektromagnetik; dengan demikian, dia telah berhasil menyatukan elektrika dan magnetika ke dalam satu gaya, gaya elektromagnetik).


Ketiga,
gaya nuklir lemah

Gaya ini menyebabkan radioaktivitas dan memainkan suatu peran vital dalam formasi elemen-elemen bintang-bintang dan jagat raya pada tahap dininya. Kita tidak bersentuhan dengan gaya ini dalam kehidupan sehari-hari.


Keempat,
gaya nuklir kuat

Gaya ini menyatukan proton dan neutron di dalam nukleus sebuah atom. Gaya ini juga menyatukan proton dan neutron itu sendiri, yang perlu terjadi karena keduanya terbuat dari partikel-partikel yang lebih kecil, yakni
quark. Gaya nuklir kuat adalah sumber energi bagi matahari dan daya nuklir, tetapi kita tidak bersentuhan langsung dengannya.

SH&LM membuat beberapa catatan berkaitan dengan teori-teori di atas. Jika kita mau memahami perilaku atom-atom dan molekul-molekul, kita memerlukan suatu versi quantum atas teori elektromagnetisme Maxwell; dan jika kita ingin memahami jagat raya pada tahap dininya (
the early universe), ketika semua materi dan energi dalam jagat raya terhimpun padat dalam suatu volume yang kecil, kita harus memiliki sebuah versi quantum atas teori relativitas umum. Dalam fisika quantum, jagat raya dapat memiliki sejarah apapun yang mungkin, masing-masing dengan amplitudo intensitas dan probabilitasnya sendiri. Kita dengan demikian harus menemukan versi-versi quantum atas semua hukum alam; teori-teori semacam ini disebut teori-teori medan quantum (quantum field theories).

Quantum electrodynamics (QED)

Versi quantum atas medan elektromagnetik dinamakan
quantum electrodynamics (QED) atau elektrodinamika quantum, yang dikembangkan pada tahun 1940-an oleh Richard Feynman dan para saintis lainnya, dan QED ini telah menjadi sebuah model bagi semua teori medan quantum. 

Kalau dalam teori-teori klasik gaya-gaya ditransmisikan oleh medan-medan (fields), dalam teori medan quantum medan-medan gaya digambarkan terbuat dari aneka ragam partikel elementer yang dinamakan boson, yakni partikel yang membawa gaya, yang terbang ke depan dan ke belakang di antara materi-materi partikel, sehingga gaya-gaya ditransmisikan. Partikel-partikel materi dinamakan fermion. Elektron dan quark adalah contoh-contoh fermion. Foton, atau partikel cahaya, adalah sebuah contoh boson. Gaya elektromagnetik ditransmisikan oleh boson. 

Dalam apa yang dinamakan Diagram Feynman, digambarkan cara-cara yang mungkin ditempuh elektron ketika satu sama lain menyebar melalui gaya elektromagnetik. Dalam diagram ini, garis-garis lurus tak putus menggambarkan elektron-elektron, sedangkan garis-garis berombak/keriting menggambarkan foton.




Di atas ini salah satu Diagram Feynman yang sangat termashyur. Richard Phillips Feynman (11 Mei 1918–15 Februari 1988) adalah salah seorang peletak dasar dan teoretikus agung fisika quantum, khususnya elektrodinamika quantum. Dia seorang saintis kebangsaan Amerika, dan juga seorang pemain drum, berjiwa eksentrik dan bebas ... I love his freedom and intelligence.... 

Gaya elektrolemah


Pada 1967, Abdus Salam dan Steven Weinberg tanpa bergantung satu sama lain mengusulkan sebuah teori yang mempersatukan elektromagnetisme dengan gaya nuklir lemah, dan gaya yang dipersatukan ini dinamakan gaya elektrolemah.


Quantum chromodynamics
(QCD)

Versi quantum atas gaya nuklir kuat disebut
quantum chromodynamics (QCD) atau kromodinamika quantum. Menurut QCD, proton, neutron, dan banyak partikel materi elementer lain terbuat dari quark, yang memiliki suatu sifat yang jelas yang para fisikawan sebut sebagai warna (karena itulah muncul nama chromodynamics), yang tak ada hubungannya dengan warna yang kasat mata. QCD memiliki kebebasan asymptotik (asymptotic freedom), maksudnya adalah bahwa gaya-gaya kuat yang terdapat di antara elemen-elemen quark volumenya kecil ketika elemen-elemen quark ini dekat satu sama lain, tetapi bertambah besar ketika quark berjauhan satu sama lain, seolah semua quark terhubung dengan pita-pita karet. Kebebasan asymptotik ini menjelaskan mengapa kita tidak melihat quark yang terisolasi dalam alam dan tidak dapat memproduksinya di dalam laboratorium.

Grand unified theory
(GUT)

Setelah menggabung gaya nuklir lemah dan gaya elektromagnetik, para fisikawan di tahun 1970-an mencari suatu jalan untuk memasukkan daya nuklir kuat ke dalam suatu teori gabungan. Dalam hal ini, ada sejumlah teori yang dinamakan
grand unified theory atau GUT, teori besar penyatuan, yang mempersatukan gaya nuklir kuat dengan gaya nuklir lemah dan gaya elektromagnetik, yang bagian terbesarnya memprediksi bahwa proton haruslah membusuk/lenyap rata-rata setelah 10 pangkat 32 tahun. Ini adalah suatu usia yang sangat lama, mengingat jagat raya saja berusia hanya 10 pangkat 10 tahun.

Karena bukti-bukti yang diperoleh dari observasi-observasi sebelumnya gagal juga mendukung GUT, maka kebanyakan fisikawan mengadopsi suatu teori ad hoc yang dinamakan model standard, yang mencakupi teori gabungan gaya-gaya elektrolemah dan QCD sebagai sebuah teori gaya-gaya kuat. 

Tetapi di dalam model standard ini, gaya elektrolemah dan gaya nuklir kuat bertindak sendiri-sendiri dan belum sungguh-sungguh dipersatukan. Model standard sangat sukses dan sejalan dengan semua bukti yang didapat dari observasi sekarang ini, tetapi pada dasarnya tidak memuaskan karena, selain belum berhasil menyatukan gaya elektrolemah dan gaya nuklir kuat, juga belum mencakup gaya gravitasi. 

Terbukti sangat sulit memadukan gaya nuklir kuat dengan gaya elektromagnetik dan gaya nuklir lemah; tetapi masalah ini bukanlah apa-apa jika dibandingkan dengan masalah menyatukan gaya gravitasi dengan tiga gaya lainnya, atau dengan masalah yang lebih besar lagi dalam menciptakan suatu teori gravitasi quantum yang berdiri sendiri.

Fluktuasi quantum: tak ada ruang yang sama sekali kosong


Alasan mengapa suatu teori gravitasi quantum terbukti sulit untuk diciptakan berkait dengan prinsip ketidakpastian Heisenberg. Berkaitan dengan prinsip ini, nilai suatu medan dan besaran angka perubahannya memainkan peran yang sama seperti yang dimainkan posisi dan kecepatan suatu partikel. Semakin akurat hal yang satu ditentukan, dapat semakin kurang akurat untuk hal yang lainnya. Salah satu akibat penting dari hal ini adalah bahwa tidak ada ruang yang sama sekali kosong. 

Halnya demikian karena ruang kosong berarti bahwa baik nilai suatu medan maupun besaran angka perubahannya persis nol. Karena prinsip ketidakpastian tidak memungkinkan nilai-nilai medan dan besaran angka perubahan sama persis, ruang tidak pernah kosong. Setiap ruang dapat memiliki suatu energi minimum yang dinamakan vakum. Tetapi keadaan vakum ini bergantung pada apa yang dinamakan quantum jitter (fluktuasi quantum) atau vacuum fluctuation, yaitu suatu kondisi di mana partikel-partikel dan medan-medan gaya bervibrasi atau berfluktuasi di dalam dan keluar dari suatu eksistensi.

Fluktuasi vakum dapat dipikirkan sebagai pasangan-pasangan partikel yang muncul bersamaan pada suatu waktu, bergerak terpisah, lalu menyatu lagi dan saling melenyapkan. Partikel-partikel ini dinamakan partikel-partikel virtual. 

Tidak seperti partikel nyata, partikel virtual tidak dapat diobservasi langsung dengan sebuah detektor partikel. Namun, efek-efek tidak langsung dari partikel virtual, seperti perubahan kecil di dalam energi orbit elektron, dapat diukur, dan sejalan dengan prediksi-prediksi teoretis dengan tingkat akurasi yang luar biasa. Masalahnya adalah bahwa partikel-partikel virtual memiliki energi, dan karena pasangan partikel-partikel virtual ini ada dalam suatu jumlah tak terbatas, partikel-partikel ini memiliki suatu jumlah energi tanpa batas. Menurut teori relativitas umum, ini berarti bahwa partikel-partikel virtual dapat melengkungkan jagat raya sampai ke suatu ukuran kecil tak terbatas.

Supergravitasi dan supersimetri


Pada tahun 1976, para fisikawan mengusulkan apa yang dinamakan supergravitasi. Prefiks “super” ditambahkan bukan karena dianggap teori gravitasi quantum ini dapat betul-betul bekerja, melainkan mengacu pada sejenis simetri yang dimiliki teori ini, yang dinamakan supersimetri. Dalam fisika, suatu sistem dikatakan memiliki suatu suatu simetri jika sifat-sifatnya (properties) tidak terpengaruh oleh suatu transformasi tertentu seperti merotasikannya di dalam ruang atau mengambil gambar cerminnya.  


Supersimetri adalah sejenis simetri yang lebih halus yang tidak dapat dihubungkan dengan suatu tranformasi ruang biasa. Salah satu implikasi penting dari supersimetri adalah bahwa partikel-partikel gaya dan partikel-partikel materi, dan dengan demikian gaya dan materi, sesungguhnya adalah dua sisi dari satu hal yang sama. Kongkretnya, ini berarti bahwa setiap partikel materi, misalnya sebuah quark, harus memiliki suatu partikel mitra berupa suatu partikel gaya, dan setiap partikel gaya, seperti foton, harus memiliki suatu partikel mitra berupa sebuah partikel materi. 

Dalam kenyataannya, partikel-partikel mitra ini belum berhasil diamati. Namun berbagai kalkulasi yang telah dibuat para fisikawan mengindikasikan bahwa partikel-partikel mitra yang bersanding dengan partikel-partikel yang kita amati haruslah seribu kali lebih massif dari massa proton, jika malah bukan lebih berat lagi. Ini terlalu berat bagi partikel-partikel semacam ini untuk dapat dilihat di dalam eksperimen apapun yang telah dilakukan, tetapi diharapkan partikel-partikel semacam ini akan akhirnya dapat diciptakan di dalam Large Hadron Collider di Jenewa. Kebanyakan saintis percaya bahwa supergravitasi mungkin sekali adalah jawaban yang benar terhadap masalah menyatukan gaya gravitasi dengan gaya-gaya lainnya.

Teori dawai (string theory)


Konsep supersimetri sebetulnya bermula beberapa tahun sebelumnya ketika para teoretikus mempelajari suatu teori yang belum matang, yang dinamakan teori dawai, string theory. Menurut teori ini, partikel-partikel bukanlah berbentuk butiran-butiran (
points), melainkan pola-pola (patterns) vibrasi yang memiliki panjang tetapi tidak mempunyai tinggi atau lebar, seperti helai-helai dawai yang ketipisannya tak terbatas. Banyak versi teori dawai; tetapi semuanya konsisten hanya jika ruang-waktu memiliki sepuluh dimensi, ketimbang biasanya hanya empat. Sepuluh dimensi kedengarannya sangat menantang, tetapi hanya betul-betul menjadi masalah kalau anda lupa di mana anda memarkir kendaraan anda. 


Jika memang ada sepuluh dimensi, kenapa kita tidak melihat dimensi-dimensi lainnya? Menurut teori dawai, dimensi-dimensi lainnya ini melengkung atau melipat masuk ke angkasa luar, atau ke ruang internal (internal space), dalam ukuran yang sangat kecil. 

Suatu masalah lagi dalam teori-teori dawai adalah bahwa tampaknya ada sedikitnya lima teori dan jutaan cara dimensi-dimensi lainnya ini melengkung masuk ke dalam ruang internal, sehingga menyulitkan para teoretikusnya yang mau mempertahankan bahwa teori dawai adalah teori unik tentang segala sesuatunya. Kini para fisikawan yakin bahwa teori-teori dawai yang ada lima versi dan teori supergravitasi hanyalah pendekatan-pendekatan yang berbeda dari suatu teori yang lebih mendasar, yang masing-masing valid di dalam situasi-situasi yang berbeda.

M-theory, dan 10 pangkat 500 (10500) jagat raya yang berbeda


Teori yang lebih mendasar itu dinamakan M-theory, dengan “M” dapat merupakan singkatan dari “master”, “miracle” atau “mystery”. M-theory bukanlah sebuah formulasi teori tunggal, melainkan sebuah jaringan (
network) yang merangkai teori-teori lainnya. Pengharapan tradisional para saintis untuk menemukan sebuah teori tunggal mengenai jagat raya tak dapat dipertahankan lagi, sebab ternyata tidak ada satu formulasi tunggal teori tentang segala sesuatu. Bisa jadi, untuk menggambarkan jagat raya kita harus menggunakan teori-teori yang berbeda di dalam situasi-situasi yang berbeda. Setiap teori dapat memiliki versinya sendiri mengenai realitas; dan menurut realisme yang bergantung pada model, setiap teori tentang jagat raya dapat diterima sejauh teori-teori ini sejalan dengan prediksi-prediksi teori-teori ini ketika semuanya bertumpangtindih.

M-theory memiliki beberapa sifat yang kita sudah ketahui. Pertama, teori ini memiliki sebelas dimensi ruang-waktu, bukan sepuluh seperti dipertahankan dalam teori-teori dawai. Kedua, teori ini dapat memuat bukan hanya dawai-dawai yang bervibrasi, tetapi juga partikel-partikel butiran, membran dua dimensi, tutul tiga dimensi, dan objek-objek lain yang lebih sulit digambarkan, dan menguasai bahkan lebih banyak dimensi ruang, sampai sembilan. Objek-objek ini dinamakan
p-brane (p-dimensi ruang-waktu) (dengan p berkisar dari nol sampai sembilan).

Dalam M-theory, dimensi-dimensi ruang-waktu lainnya itu (di luar dimensi-dimensi panjang, lebar dan tinggi) tidak dapat dilengkungkan dengan segala cara apapun. Matematika teori ini membatasi cara melengkungkan dimensi-dimensi ruang internal. Bentuk persis ruang internal menentukan baik nilai-nilai konstan fisika, seperti muatan elektron, maupun sifat interaksi di antara partikel-partikel elementer.


Hukum-hukum di dalam M-theory memungkinkan adanya jagat-jagat raya yang berbeda, dengan hukum-hukum yang berbeda, yang dapat kita observasi, bergantung pada bagaimana ruang internal dilengkungkan. M-theory memiliki solusi-solusi yang memungkinkan adanya banyak ruang internal yang berbeda, mungkin sebanyak 10 pangkat 500, yang berarti teori ini membuka kemungkinan bagi adanya 10
500 jagat raya yang berbeda, dengan masing-masing memiliki hukum-hukumnya sendiri.


(6)
Choosing Our Universe

Dalam bab 6 ini, SH&LM memberi jawab atas pertanyaan mengapa ada sebuah jagat raya, dan mengapa jagat raya ini berjalan sebagaimana sekarang ada.


Uskup Ussher, uskup agung seluruh Irlandia yang menjabat dari 1625 sampai 1656, dengan memakai Alkitab sebagai landasannya, telah menghitung usia jagat raya dan menempatkan asal mula jagat raya sepersisnya pada 27 Oktober 4004 SM. Sedangkan menurut sains modern, jagat raya sendiri muncul sangat jauh lebih awal, kira-kira 13,7 miliar tahun yang lalu, dan manusia adalah ciptaan yang belum lama ini ada.


The big bang, “dentuman besar”


Bukti saintifik pertama yang sebenarnya bahwa jagat raya ini memiliki suatu permulaan muncul tahun 1920-an, ketika Edwin Hubble melakukan observasi-observasi atas jagat raya dengan memakai teleskop 100 inchi di Gunung Wilson, di kawasan bebukitan di atas Pasadena, California. Seperti sudah dikemukakan di atas, dengan menganalisis spektrum cahaya yang dipancarkan galaksi-galaksi, Hubble dapat menetapkan bahwa hampir semua galaksi bergerak menjauh dari kita, dan semakin jauh galaksi-galaksi ini berada semakin cepat gerakan mereka. Pada 1929 dia mempublikasi suatu hukum yang berhubungan dengan besaran angka gerak menjauh galaksi-galaksi itu dari kita, dan menyimpulkan bahwa jagat raya mengembang,
expanding. Bukan alam semestanya sendiri yang mengembang, melainkan jarak di antara dua titik di dalam jagat raya yang makin bertambah besar. Seorang astronom Universitas Cambridge, Arthur Eddington, di tahun 1931, membuat sebuah metafora untuk menggambarkan jagat raya yang mengembang. Jagat raya divisualisasi oleh Eddington sebagai suatu permukaan sebuah balon yang terus mengembang, dan semua galaksi sebagai titik-titik pada permukaan balon itu. Metafora ini dengan jelas menggambarkan mengapa galaksi-galaksi yang jauh bergerak tambah jauh dengan lebih cepat ketimbang galaksi-galaksi yang dekat.

Penemuan Hubble bahwa jagat raya mengembang membawa kita pada suatu pemahaman bahwa di masa yang sangat lampau jagat raya pastilah lebih kecil ukurannya. Sesungguhnya jika kita bertolak ke masa lampau, maka pada masa itu semua energi dan materi di dalam jagat raya terkonsentrasi di dalam suatu kawasan yang sangat kecil, yang densitas (kepekatan) dan temperaturnya tak terbayangkan besarnya, dan jika kita bertolak cukup jauh ke masa lampau maka ada suatu waktu ketika semuanya berawal, yakni peristiwa yang kini kita namakan
the big bang, “dentuman besar”. Alexander Friedmann, seorang fisikawan dan matematikawan Russia, di tahun 1922, dengan berdasar pada persamaan matematis Einstein, mengajukan sebuah model jagat raya yang berawal dengan ukuran nol lalu mengembang sampai gaya gravitasi memperlambatnya, dan akhirnya membuatnya surut menimpa dirinya sendiri. Pada tahun 1927, seorang professor fisika dan imam Katolik Roma, Georges Lemaître, mengajukan sebuah gagasan yang serupa: jika anda menelusuri sejarah jagat raya ke belakang, ke masa lampaunya, jagat raya ini makin kecil dan makin kecil sampai anda tiba pada suatu peristiwa penciptaan, apa yang sekarang kita namakan the big bang. Istilah “big bang” sendiri diciptakan oleh astrofisikawan Cambridge yang bernama Fred Hoyle pada tahun 1949, sebagai suatu istilah atau deskripsi ejekan. Hoyle sendiri percaya pada suatu jagat raya yang selamanya mengembang.

Fase pertama mengembangnya jagat raya dinamakan oleh para fisikawan sebagai
inflasi. Pada saat inflasi kosmologis ini, jagat raya mengembang dengan suatu faktor yang sangat besar, setara dengan sebuah koin berdiameter 1 cm yang tiba-tiba meledak sampai mencapai sepuluh juta kali lebar galaksi Bima Sakti. Hal ini tampaknya melanggar hukum relativitas (khusus) yang menyatakan bahwa tidak ada sesuatupun yang dapat bergerak lebih cepat dari cahaya; tetapi batas kecepatan itu tidak berlaku bagi pengembangan ruang jagat raya sendiri. Pengembangan atau ekspansi jagat raya yang disebabkan oleh inflasi tidaklah seluruhnya seragam.



Halaman 138-139


Bukti-bukti natural lainnya yang membenarkan adanya “dentuman besar” pada awal mula terbentuknya jagat raya adalah adanya radiasi gelombang mikro kosmik yang melatarbelakangi dan memenuhi seluruh jagat raya (CMBR= Cosmic Microwave Background Radiation). 

Selain itu, para astronom juga telah menemukan sidik-sidik jari lainnya yang mendukung gambaran tentang the big bang sebagai suatu jagat raya awal yang kecil dan panas. Sebagai contoh, selama menit-menit pertama, jagat raya lebih panas ketimbang pusat suatu bintang yang tipikal. Selama periode ini seluruh jagat raya bertindak selaku suatu reaktor fusi nuklir. Reaksi nuklirnya berhenti ketika jagat raya mengembang dan cukup mendingin. Menurut teori, ketika ini terjadi jagat raya yang dihasilkan adalah jagat raya yang terdiri terutama atas hidrogen, tetapi juga 23 persen helium, dengan jejak-jejak lithium (semuanya adalah elemen-elemen yang lebih berat yang tercipta belakangan, di dalam bintang-bintang). Kalkulasi ini ternyata sejalan dengan jumlah helium, hidrogen, dan lithium yang diobservasi manusia.

Teori relativitas umum Einstein, teori quantum, dan the big bang


Teori relativitas umum Einstein memprediksi bahwa ada suatu titik dalam waktu di mana temperatur, densitas, dan peringkat lengkungan/kurvatura jagat raya semuanya tak terbatas (
infinite), suatu situasi yang oleh para matematikawan dinamakan suatu singularitas. Bagi seorang fisikawan, ini berarti bahwa teori Einstein gagal pada titik ini dan karenanya tidak dapat digunakan untuk memprediksi bagaimana jagat raya dimulai, tetapi dapat digunakan hanya sejauh berkaitan dengan ihwal bagaimana jagat raya berevolusi sesudahnya. Selain itu, teori relativitas umum tidak memperhitungkan struktur skala kecil dari materi, yang diatur oleh teori quantum. Fisika quantum bisa diterapkan pada jagat raya pada saat terjadinya the big bang karena jika kita mundur cukup jauh ke waktu masa lampau, jagat raya sangat kecil, sekecil ukuran Planck, yakni sepermilyar trilyun-trilyun centimeter, yang merupakan ukuran yang dapat diperhitungkan oleh teori quantum. 

Dengan demikian, meskipun kita masih belum memiliki suatu teori quantum yang lengkap, kita sungguh tahu bahwa asal usul jagat raya adalah suatu peristiwa quantum. Karena itu, teori relativitas umum harus diganti oleh suatu teori yang lebih lengkap yang bisa menjelaskan “initial state”, keadaan awal, yang melahirkan the big bang. Dalam hal ini, SH&LM melihat bahwa jika kita mau mundur dengan lebih jauh ke dalam waktu masa lampau dan mau memahami asal usul jagat raya, kita harus mengombinasikan teori relatitivitas umum dan teori quantum. Untuk mengetahui bagaimana teori gabungan ini bekerja, kita perlu mengerti prinsip bahwa gravitasi mencerukkan atau melengkungkan (warp) ruang dan waktu.

Materi dan energi mencerukkan ruang, sehingga mengubah jalannya objek-objek. Menceruknya ruang dalam jagat raya memperpanjang atau memperpendek jarak di antara titik-titik dalam ruang, mengubah geometri atau bentuknya, dalam suatu cara yang dapat diukur dari dalam jagat raya. Demikian juga, materi dan energi mencerukkan waktu; menceruknya waktu memperpanjang atau memperpendek interval waktu dengan suatu cara yang analogis. Pencerukan (warpage) ruang dan waktu menyebabkan dimensi waktu “bercampur” dengan dimensi ruang; kedua dimensi ini saling mengait dan saling mengunci. Percampuran atau kesalingmengaitan antara waktu dan ruang ini penting di dalam jagat raya pada awalnya dan merupakan kunci untuk memahami permulaan waktu.

Meskipun teori relativitas umum Einstein menyatukan waktu dan ruang sebagai dimensi ruang-waktu dan melibatkan suatu percampuran tertentu ruang dan waktu, waktu masih berbeda dari ruang, dan keduanya memiliki suatu permulaan dan suatu akhir atau jika tidak demikian keduanya akan berlangsung abadi. Tetapi, kalau kita tambahkan efek-efek teori quantum kepada teori relativitas umum, maka dalam kasus-kasus yang ekstrim pencerukan dapat terjadi dengan sangat besar sehingga waktu berperilaku seperti sebuah dimensi lain dari ruang. Pada permulaan jagat raya, secara efektif ada empat dimensi ruang dan tidak ada dimensi waktu. Ini berarti bahwa kalau kita memandang mundur jauh ke belakang dalam waktu, ke permulaan jagat raya, waktu sebagaimana kita kenal tidak ada! Kita harus menerima bahwa gagasan-gagasan lazim kita tentang ruang dan waktu tidak berlaku bagi jagat raya pada awalnya sekali. Ini berada di luar pengalaman kita, tetapi tidak di luar imajinasi kita, atau matematika kita.


Kesadaran bahwa waktu dapat berperilaku seperti sebuah arah lain dari ruang mengharuskan kita membuang masalah tentang waktu mempunyai sebuah permulaan, dengan cara yang sama kita membuang adanya sisi pinggir dunia yang melengkung. Anggaplah permulaan jagat raya seperti Kutub Selatan Bumi, dengan derajat-derajat garis lintangnya berperan sebagai waktu. Kalau kita bergerak ke utara, lingkaran-lingkaran garis lintang konstan, yang menggambarkan ukuran jagat raya, akan bertambah. Jagat raya dimulai sebagai suatu titik di Kutub Selatan, tetapi Kutub Selatan sama dengan titik lain manapun. Pertanyaan apa yang terjadi sebelum permulaan jagat raya menjadi sebuah pertanyaan yang tak bermakna, karena tidak ada apapun di sebelah selatan Kutub Selatan. Dalam gambaran ini, ruang-waktu tidak memiliki batas. Dengan cara yang sama, ketika kita menggabungkan teori relativitas umum dengan teori quantum, pertanyaan apa yang terjadi sebelum permulaan jagat raya menjadi sebuah pertanyaan yang tak bermakna. Gagasan ini bahwa sejarah-sejarah haruslah merupakan permukaan-permukaan yang tertutup tanpa batas disebut kondisi tanpa batas.


Jagat raya, karena fluktuasi quantum, ada dari ketiadaan


Selama berabad-abad banyak orang, termasuk Aristoteles, percaya bahwa jagat raya harus selalu ada untuk menghindari soal bagaimana jagat raya dibangun. Orang lain percaya bahwa jagat raya mempunyai permulaan, dan menggunakannya sebagai sebuah argumen untuk menerima keberadaan Allah. Tetapi kesadaran bahwa waktu berperilaku seperti ruang menyajikan sebuah alternatif. Alternatif ini menyingkirkan keberatan yang sudah ada sangat lama terhadap jagat raya yang memiliki sebuah permulaan, bahkan juga berarti bahwa permulaan jagat raya diatur oleh hukum-hukum sains dan tidak perlu dibuat bergerak oleh suatu allah.

Jadi, permulaan jagat raya adalah suatu peristiwa quantum. Seperti sudah ditulis di atas tentang “sejarah-sejarah alternatif” dalam teori quantum, jagat raya tidak memiliki sejarah masa lampau tunggal, tetapi, dalam kenyataannya, ada banyak jagat raya dan masing-masing memiliki seperangkat berbeda hukum-hukum fisikanya dan sejarahnya sendiri-sendiri, dan semua jagat raya ini ada dengan spontan, dimulai dengan setiap cara yang mungkin. Gagasan ini disebut oleh sejumlah orang sebagai konsep multiverse.

Gambaran tentang jagat raya yang tercipta spontan dari fisika quantum menyerupai pembentukan gelembung-gelembung uap air di dalam air yang mendidih. Banyak gelembung kecil bermunculan, lalu lenyap lagi. Gelembung-gelembung kecil ini menggambarkan jagat-jagat raya kecil yang mengembang tetapi luruh lagi ketika masih dalam ukuran mikroskopis. Gelembung-gelembung kecil ini menggambarkan jagat-jagat raya alternatif yang mungkin ada, tetapi tidak berlangsung cukup lama untuk berkembang menjadi galaksi-galaksi dan bintang-bintang, apalagi kehidupan cerdas. Tetapi beberapa gelembung kecil akan tumbuh cukup besar sehingga mereka luput dari keruntuhan kembali. Mereka akan berlangsung terus untuk mengembang pada suatu besaran angka kecepatan yang terus makin bertambah dan akan membentuk gelembung-gelembung uap yang dapat kita lihat. Fluktuasi quantum (lihat di atas) bermuara pada penciptaan jagat-jagat raya kecil dari ketiadaan. Sedikit dari antaranya mencapai suatu ukuran kritis, lalu mengembang lewat inflasi kosmologis, membentuk galaksi-galaksi, bintang-bintang, dan, sedikitnya dalam satu kasus, makhluk cerdas seperti kita. Kita semua adalah produk dari fluktuasi-fluktuasi quantum dalam jagat raya yang sangat awal.



(7)
The Apparent Miracle

Gagasan bahwa jagat raya dirancang untuk mengakomodasi umat manusia muncul dalam teologi-teologi dan mitologi-mitologi yang berasal dari ribuan tahun lalu hingga sekarang ini di banyak tempat di muka Bumi. Dalam kebudayaan Barat, Perjanjian Lama, khususnya kisah tentang penciptaan, ditafsirkan memuat gagasan tentang rancangan atau desain yang dibuat Allah dalam rangka memelihara manusia sebagai puncak semua ciptaan. Gagasan Kristen tentang adanya desain ilahi dalam jagat raya kuat dipengaruhi Aristoteles yang percaya “pada suatu dunia alamiah yang cerdas yang berfungsi menurut suatu desain yang seksama.” Teolog Kristen dari Abad Pertengahan, Thomas Aquinas, memakai gagasan Aristoteles mengenai tatanan dalam alam untuk mempertahankan keberadaan Allah. 


Penemuan yang relatif mutakhir yang memperlihatkan bahwa sangat banyak hukum alam, dan faktor-faktor lingkungan (environmental factors) dalam sistem matahari kita (misalnya kita hidup dalam suatu “Goldilocks zone”, zona yang dapat ditinggali manusia), yang dengan ekstrim telah “disetel dengan pas” (fine tuned) sehingga menghasilkan suatu jagat raya yang bersahabat dengan manusia untuk mereka dapat hidup di planet Bumi, dapat membuat orang kembali ke gagasan lama bahwa desain yang agung ini adalah pekerjaan suatu desainer atau perancang agung. Belakangan ini di Amerika Serikat gagasan lama ini muncul kembali dalam apa yang dikenal sebagai gagasan “intelligent design”, dengan sang desainernya tentu adalah Allah.

Tetapi sains modern tidak menjawab demikian. Adanya multiverse, ketimbang universe, membuat kita harus memandang habitat kosmik kita (yakni seluruh jagat raya yang dapat diamati) hanyalah salah satu saja dari banyak habitat kosmik lainnya, sama seperti sistem matahari kita adalah satu sistem bintang saja dari antara bermilyar-milyar sistem bintang dalam galaksi kita saja, belum lagi sistem-sistem bintang di banyak galaksi lain yang tak terhitung banyaknya. 


“Fine tuning” dalam hukum-hukum alam yang manusia dapat observasi dapat dijelaskan dengan mengacu ke multiverse, yang memungkinkan anggapan bahwa “fine tuning” juga dapat ditemukan di jagat-jagat raya lainnya, dalam multiverse yang majemuk. Gagasan tentang multiverse bukanlah suatu gagasan yang ditemukan untuk menjelaskan keajaiban “fine tuning”, tetapi merupakan suatu konsekwensi kondisi tanpa batas (yang sudah disebut di atas) dan banyak teori kosmologi modern lainnya. Jika ini benar, maka prinsip antropik kuat (bahwa fakta kita ada/hidup menimbulkan pembatasan-pembatasan bukan hanya pada lingkungan kita, tetapi juga pada bentuk dan isi yang mungkin dari hukum-hukum alam itu sendiri) dapat dengan efektif dipandang ekuivalen dengan prinsip antropik lemah (bahwa fakta kita ada/hidup membatasi karakteristik jenis lingkungan yang di dalamnya kita menemukan diri kita sendiri), sehingga menempatkan “fine tuning” hukum-hukum fisika pada landasan yang sama dengan faktor-faktor lingkungan yang juga “fine tuned”.

Banyak orang selama berabad-abad pada zaman mereka mengasalkan keindahan dan kompleksitas alam raya pada pekerjaan Allah, sebab mereka tampaknya tidak punya penjelasan-penjelasan saintifik atas fenomena alam ini. Tetapi sama seperti Charles Darwin dan Wallace menjelaskan bagaimana desain yang tampaknya ajaib dari bentuk-bentuk kehidupan dapat muncul tanpa intervensi suatu makhluk agung supernatural, konsep multiverse dapat menjelaskan “fine tuning” hukum-hukum fisika tanpa memerlukan adanya suatu pencipta yang baik hati yang telah membuat jagat raya demi kebaikan dan keuntungan buat manusia.



(8)
The Grand Design

Dalam bab penutup ini, SH&LM menjelaskan The Game of Life yang diinvensi pada tahun 1970 oleh seorang matematikawan muda di Cambridge yang bernama John Conway. Game ini sebenarnya bukan sebuah game (karena dalam game ini tidak ada pemain dan tidak ada yang kalah atau yang menang), melainkan seperangkat hukum yang mengatur suatu jagat raya dua dimensi. Game ini dipakai SH&LM sebagai sebuah contoh yang dapat membantu kita memikirkan soal-soal mengenai realitas dan ciptaan.


Dalam Game ini, jagat raya yang ditampilkan adalah suatu jagat raya yang deterministik, maksudnya: sekali anda mulai membangun suatu konfigurasi awal, atau kondisi inisial/awal, hukum-hukum dalam jagat raya ini menentukan apa yang akan terjadi di masa depan. Dengan memperhitungkan kondisi awal manapun, hukum-hukum ini melahirkan generasi demi generasi. Jagat raya yang dibayangkan Conway adalah suatu bangunan empat persegi, seperti papan catur, tetapi melebar tanpa batas ke segala arah. Sebagaimana dalam jagat raya kita, dalam The Game of Life realitas anda bergantung pada model yang anda gunakan.


Conway dan murid-muridnya menciptakan dunia ini karena mereka ingin mengetahui apakah suatu jagat raya yang lengkap dengan aturan-aturan mendasarnya, sesederhana seperti yang mereka definisikan, dapat berisi objek-objek yang cukup kompleks untuk mereplikasi diri. Conway dan murid-muridnya ingin tahu, apakah dalam dunia The Game of Life ada objek-objek campuran yang akan melahirkan objek-objek lainnya yang sejenis setelah hanya mengikuti hukum-hukum yang berlaku dalam dunia itu selama beberapa generasi. Bukan hanya mereka dapat mendemonstrasikan bahwa hal itu mungkin, tetapi mereka juga bahkan berhasil memperlihatkan bahwa suatu objek semacam itu, dalam arti tertentu, cerdas. Mereka menunjukkan bahwa campuran besar bangunan segi empat yang mereplikasi diri itu adalah “mesin-mesin cerdas universal”. Hal ini berarti bahwa bagi kalkulasi apapun yang sebuah komputer dalam dunia fisikal kita dapat pada prinsipnya jalankan, jika mesin ini diberi input yang cocok (yakni, menyediakannya lingkungan dunia The Game of Life yang cocok), maka beberapa generasi kemudian mesin ini akan berada pada suatu keadaan yang dari dalamnya suatu output dapat dibaca yang sesuai dengan hasil kalkulasi komputer itu. Contoh The Game of Life Conway menunjukkan bahwa seperangkat sederhana hukum-hukum pun dapat menghasilkan fitur-fitur kompleks yang serupa dengan fitur-fitur kehidupan cerdas.


Pada dua halaman terakhir bab penutup, SH&LM bertanya, bagaimana seluruh jagat raya dapat diciptakan dari ketiadaan? Tidak lain, karena ada suatu hukum seperti gravitasi (selain karena adanya fluktuasi quantum seperti telah diulas di atas). Benda-benda langit seperti bintang-bintang dan lubang-lubang hitam tidak dapat ada hanya dari ketiadaan; tetapi seluruh jagat raya dapat. Karena ada suatu hukum seperti gravitasi, jagat raya dapat dan akan menciptakan dirinya sendiri dari ketiadaan, dalam suatu cara yang telah diurai dalam bab 6 buku GD. Penciptaan spontan adalah alasan mengapa ada sesuatu ketimbang tidak ada apapun, mengapa jagat raya ada, dan mengapa kita ada. Tidak perlu melibatkan Allah untuk menyalakan “kertas sentuh biru” dan membuat jagat raya jalan.


Dalam dua alinea terakhir buku GD, kedua penulisnya menyinggung kembali M-theory, dan menegaskan bahwa M-theory adalah teori gravitasi supersimetris yang paling umum dan merupakan satu-satunya kandidat bagi suatu teori lengkap mengenai jagat raya. Jika teori ini dikonfirmasi oleh observasi, maka ini akan merupakan suatu kesimpulan yang sukses dari suatu penyelidikan yang sudah berlangsung lebih dari 3000 tahun. Di dalam M-theory inilah kita menemukan
the grand design.

Peringkas: Ioanes Rakhmat


Kelapa Gading, Jakarta

17 Desember 2010

Edited 15 Juli 2024