Wednesday, February 6, 2008

Seluk-beluk Studi Yesus Sejarah
― Antara Sejarah dan Mitos


“Cari dan temukanlah diri-Ku di antara sedimen bebatuan tua dan sedimen teks-teks kuno.”

 

by Ioanes Rakhmat

N.B. Diedit 30 Oktober 2021


Sejarah itu cair, mudah diubah, dan fleksibel, berubah terus sementara ingatan kita menafsirkan dan menjelaskan kembali hal-hal yang telah terjadi.(Peter L. Berger)  

Kepercayaan keagamaan itu, seperti halnya sejarah sendiri, adalah sebuah kisah yang senantiasa mengungkapkan diri, selalu tunduk pada penyelidikan dan selalu siap untuk dipertanyakan. Sebab tanpa keragu-raguan, iman itu tidak ada. (Jon Meachem) 



Pendahuluan

Kekristenan selama ini telah terlanjur menekankan bahwa Yesus itu Allah 100 persen; padahal pada sisi lainnya Kitab Suci Kristen dan ajaran Kristen Ortodoks juga dengan sangat kuat menegaskan bahwa Yesus itu seorang manusia juga. Kekristenan Ortodoks tidak pernah hanya menegaskan bahwa Yesus itu Allah, melainkan merumuskan bahwa Yesus itu “Allah sepenuhnya dan manusia sepenuhnya.”


Pada satu pihak, dalam Injil Yohanes 1:1 memang ditegaskan Yesus itu adalah sang Firman (ho logos) yang adikodrati, yang telah ada “pada mulanya” dan telah ada “bersama-sama dengan Allah dan adalah Allah”. Tetapi, pada pihak lain, dalam Yohanes 1:14 dinyatakan juga bahwa “sang Firman itu telah menjadi daging (maksudnya: menjadi manusia) dan diam di antara kita”. 

Dalam Perjanjian Baru ditegaskan bahwa sang Firman yang telah ada “pada mulanya” itu telah tampil dalam tubuh, masuk ke dalam sejarah dunia ini, sehingga Dia dapat “dilihat dan disaksikan dengan mata” dan dapat “didengar” dan dapat “diraba dengan tangan” (1 Yohanes 1:1-4). Jika orang menolak realitas kedagingan Yesus dalam sejarah dunia ini, orang itu dikategorikan sebagai “anti-Kristus” dan “penyesat” (1 Yohanes 4:2-3; 2 Yohanes 7).

Selain itu, kemanusiaan dan kebersejarahan Yesus juga dikokohkan oleh dipakainya bentuk sastra berupa Injil-injil Kristen intrakanonik (Markus, Matius, Lukas dan Yohanes) sebagai narasi-narasi teologis biografis historis tentang Yesus yang hidup dalam dunia ini, tentang ajaran-ajaran, karya-karya-Nya dalam dunia nyata ini semasa Dia hidup dan tentang peristiwa-peristiwa penting yang bermuara pada kematian-Nya. 

Narasi-narasi teologis biografis historis tentang Yesus yang menjadi bagian dari kanon Kitab Suci Kristen ini memang telah diabaikan begitu saja oleh kalangan-kalangan dalam kekristenan yang hanya mau melihat dan mempercayai Yesus sebagai Allah, dan melupakan kemanusiaan-Nya yang sebenarnya (kalangan yang pada masa kekristenan perdana disebut sebagai kalangan Kristen doketis). Ibaratnya, mereka sedang main enjot-enjotan, tapi sendirian, tidak bersama seorang lain di ujung satunya lagi. Ya, jomplang.

Jadi, kekristenan sendiri sebenarnya mengakui bahwa Yesus itu seorang manusia juga. Pengakuan ini membuka jalan bagi kekristenan untuk meneliti atau melakukan pengkajian terhadap Yesus sebagai seorang figur insani yang hidup dalam sejarah manusia. 

Kalau Yesus adalah Allah yang ada di sorga, yang tidak bersentuhan dengan realitas sejarah dunia manusia, ilmu manusia apa pun tidak akan bisa menjangkau-Nya. 

Yesus hanya bisa diteliti kalau Dia seorang manusia yang hidup dalam sejarah dunia ini. Bahwa Yesus itu seorang manusia, tidaklah ditolak oleh kekristenan. 

Jadi, penelitian atas Yesus sebagai manusia dalam sejarah juga adalah tugas keilmuwan kekristenan sendiri. 

Yesus bukan hanya Tuhan gereja yang jadi isi kepercayaan gereja, tapi juga seorang manusia yang terbuka untuk dikaji secara ilmiah. Iman dan studi tidak boleh dipisahkan. Harus ada dialektika dinamis antara keduanya. Kemanapun dialektika ini menuntun, ya ikutilah.

Melakukan studi ilmiah terhadap Yesus sebagai seorang manusia dengan demikian sejalan juga dengan kepercayaan gereja. Sebetulnya, bukan itu saja. 

Pengkajian ilmiah terhadap manusia Yesus akan mambawa kekristenan pada pengenalan lebih mendalam dan meluas terhadap Yesus, seorang pemuda Yahudi orang Nazareth yang meyakini diri-Nya menerima tugas pengutusan dari Tuhan Allah sendiri.


Istilah teknis: Yesus sejarah


Dalam injil-injil intrakanonik Markus, Matius, Lukas, dan Yohanes (yang ditulis dalam rentang waktu tahun 70 sampai akhir abad pertama) terkandung teologi masing-masing penulis kitab injil atau teologi yang berasal dari tradisi-tradisi pra-injil (pra-Markus), dan elemen-elemen sejarah yang dapat diasalkan atau dikaitkan pada (attributable to) Yesus dari Nazareth. 

Studi Yesus sejarah, dengan demikian, berusaha untuk memanfaatkan seefektif mungkin dan seilmiah mungkin bahan-bahan sejarah yang tersedia tentang Yesus untuk menghasilkan gambar-gambar atau potret-potret alternatif tentang Yesus, selain yang telah diberikan oleh para penulis kitab-kitab injil atau penulis-penulis lainnya dalam Perjanjian Baru. 

Pengkajian terhadap Yesus sejarah muncul tidak lain karena para pakar menyadari bahwa Yesus Kristus yang dipercaya gereja awal dulu dan diberitakan dalam Perjanjian Baru dalam banyak perspektif tidak otomatis sama dengan sosok Yesus dari Nazareth sebagai seorang manusia yang real yang hidup dalam dunia yang juga real. Selalu terbuka kemungkinan adanya kesenjangan antara Yesus Kristus yang menjadi isi kepercayaan-kepercayaan gereja dan Yesus dari Nazareth sebagai sosok sejarah. 

Pendek kata, iman atau kepercayaan tidak serta-merta sama dengan sejarah. Selalu ada jurang pemisah antara sejarah dan kisah teologis, antara fakta dan mitos.

Dengan demikian, frasa “Yesus sejarah” adalah suatu istilah teknis yang mengacu pada Yesus orang Nazareth yang berhasil direkonstruksi dari bahan-bahan sastra dan sumber-sumber material yang tersedia, dengan memakai metode penelitian ilmiah interdisipliner yang dapat diandalkan. 

Tidak ada yang salah dengan rekonstruksi. Kita melakukan banyak rekonstruksi, mental atau ragawi, dalam banyak bidang kehidupan, bahkan dalam aktivitas-aktivitas kita sehari-hari.

Yesus sejarah tidak otomatis sama dengan Yesus Kristus yang dipercaya gereja dalam banyak sudut pandang atau, dengan kata lain, dalam banyak kristologi

Sejak bersama murid-murid-Nya, Yesus sudah dipandang dari berbagai sudut, dan ketika Dia mulai dikisahkan dan direnungkan pasca-kehidupan-Nya dalam dunia, dalam era kelisanan dan dalam era keaksaraan, pengisahan dan perenungan ini dilakukan dalam banyak sudut pandang dan memunculkan banyak kisah dan kristologi yang beranekaragam. 

Keanekaragaman atau diversitas perspektif, tak terelakkan ketika orang mau memahami dan menjelaskan dan mengungkapkan hal-hal yang menjadi bagian dari kehidupan.

Karena itu, setiap pengkajian terhadap sosok Yesus sejarah selalu kritis terhadap iman atau kepercayaan gereja yang umumnya diabsolutkan. Kriitis tidak sama dengan destruktif.
 
Dalam metode merekonstruksi Yesus sejarah ini tercakup unsur-unsur berikut: 

• Penentuan awal bahan-bahan tulisan apa saja yang dapat digunakan; 

• Kriteria (atau tolok-tolok ukur) untuk menentukan keaslian atau autentisitas bahan-bahan tulisan tentang Yesus (the Jesus material); 

• Pemakaian disiplin-disiplin ilmu yang saling mengisi (antara lain: kritik teks, sejarah, antropologi dan arkeologi) untuk menghasilkan suatu potret tentang Yesus yang tajam fokusnya; 

• Penentuan epistemologi yang digunakan, yakni, penentuan apakah suatu gambar sejarah itu bisa betul-betul objektif seratus persen (epistemologi positivis atau objektivis atau historisis), atau malah subjektif seratus persen (epistemologi subjektivis atau fenomenalis atau narcissis atau solipsisme historis), atau merupakan hasil interaksi berimbang antara objektivitas faktual dan subjektivitas si perekonstruksi fakta sejarah (epistemologi interaktivis); 

• Pengidentifikasian teologi si sejarawan peneliti Yesus sejarah yang pasti berperan dalam dia merekonstruksi siapa Yesus dari Nazareth itu sebenarnya. 

Unsur-unsur metodologis ini akan diuraikan; lalu setelahnya usaha-usaha menemukan relevansi kajian Yesus sejarah bagi kehidupan Kristen di masa kini juga akan diketengahkan. 



Mencari masa lampau ...


Sumber-sumber Sastra Kristen

Sumber utama bagi pengkajian Yesus sejarah adalah ketiga Injil Sinoptik (Markus, Matius, Lukas) dalam Perjanjian Baru. Dari pembandingan antar ketiga Injil Sinoptik ini, dapat diketahui adanya tiga sumber lain: yakni Injil “Q” sebagai sumber ucapan-ucapan Yesus;/1/ sumber “M” (sumber yang khusus dipakai Matius); dan sumber “L” (sumber yang khusus dipakai Lukas). 

Injil Q dan dua sumber lainnya ini (M dan L) memuat ucapan-ucapan dan tradisi-tradisi tentang Yesus pra-Injil, dari kurun tahun 30-an sampai awal tahun 50-an abad pertama M.

Di luar Injil-injil intrakanonik, tulisan-tulisan rasul Paulus juga dipakai sebagai sumber. Karena sorotan utama teologi Paulus adalah kematian dan kebangkitan Yesus, maka dari dalam tulisan-tulisannya ditemukan tidak banyak bahan yang dapat dikaitkan dengan ucapan-ucapan dan tindakan-tindakan Yesus./2/ 

Ada sejumlah tradisi parenetis/wejangan di dalam surat Yakobus (misalnya 5:12; bdk. Matius 5:34-37) dan surat 1 Petrus yang kurang lebih paralel dengan ucapan-ucapan Yesus./3/ 

Ada sedikit rujukan kepada Yesus dalam surat Ibrani (7:14; juga 5:7-8; bdk. Markus 14:32-34 par.; juga Yohanes 12:27-36a). 

Dalam Wahyu Yohanes ditemukan gambaran-gambaran apokaliptik yang sudah muncul dalam ucapan-ucapan eskatologis apokaliptis Yesus dalam Injil-injil (lihat Wahyu 3:3; 16:15; dan Q 12:39 [Matius 24:43])./4/

Sejenis dengan Injil “Q” adalah Injil Thomas (disusun paling telat tahun 140 M; edisi pertamanya beredar pada abad pertama) yang berisi 114 ucapan yang diasalkan pada Yesus, yang susunannya dibuat berdasarkan asosiasi kata. 

Injil Thomas adalah salah satu dari sejumlah besar tulisan gnostik (terdiri atas 13 buku, yang mencakup 52 traktat) yang ditemukan tahun 1945 di Nag Hammadi./5/ 

Separuh dari 114 ucapan dalam Injil Thomas ini, meskipun di antaranya ada yang bercorak gnostik, paralel dengan ucapan-ucapan Yesus yang ditemukan dalam Injil-injil Sinoptik. Meskipun paralel, ucapan-ucapan dalam Injil Thomas ini tidak memperlihatkan ketergantungan pada Injil-injil intrakanonik, bahkan beberapa di antaranya tampak lebih tua. Ada juga sedikit ucapan Yesus lainnya dalam Injil ini (seperti logia 97, 98, 113) yang tidak terdapat di dalam Injil-injil intrakanonik, tetapi dipandang sebagai ucapan-ucapan autentik Yesus.

Injil Thomas jelas menjadi salah satu sumber sangat penting bagi studi Yesus sejarah./6/ 

Bahkan sekelompok pakar internasional peneliti Yesus sejarah di Amerika Utara yang dikenal sebagai the Jesus seminar (didirikan 1985 oleh Robert W. Funk, dengan mula-mula didukung tiga puluh pakar; kini sudah mencapai dua ratus orang lebih) telah menyatukan Injil Thomas dengan keempat Injil intrakanonik lainnya (Markus, Matius, Lukas, Yohanes) sehingga menjadi lima Injil, dan menerbitkan kelimanya sekaligus dalam satu buku dalam terjemahan baru dalam bahasa Inggris yang disebut terjemahan Scholars Version. Terbitan inovatif ini diberi judul The Five Gospels: The Search for the Authentic Words of Jesus./7/

Orang tidak perlu tersentak kaget dengan penempatan Injil Thomas ini sederajat dengan Injil-injil kanonik, sebab bagi suatu kajian sejarah tentang Yesus, semua sumber yang tersedia, baik yang ada di dalam kanon Kitab Suci (= sastra-sastra intrakanonik) mau pun yang ada di luar kanon Kitab Suci (= sastra-sastra ekstrakanonik), dipandang memiliki nilai historis yang sama dan berkedudukan setara dan diperlakukan sederajat.

Sastra-sastra ekstrakanonik lainnya dari kepustakaan gnostik yang juga dapat digunakan sebagai sumber pengkajian Yesus adalah kitab Yakobus Apokrif (awal abad kedua),/8/ kitab Dialog Sang Penyelamat (abad kedua),/9/ dan Injil Orang Mesir (paruhan pertama abad dua)./10/ Ketiga tulisan gnostik ini tidak menunjukkan ketergantungan pada Injil-injil Sinoptik.

Injil kanonik yang dapat dikaitkan dengan pandangan (anti-)gnostik adalah Injil Yohanes. Injil ini umumnya tidak dipandang sebagai sumber utama bagi pengkajian Yesus sejarah; bahkan ada yang menyingkirkannya sama sekali, seperti yang dilakukan the Jesus seminar. 

Tetapi, seperti dicatat Gerd Theissen dan Annette Merz,/11/ ada sejumlah info di dalam Injil ini yang berbeda dari yang disajikan Injil-injil Sinoptik, tetapi dapat merupakan tradisi-tradisi tua, yakni: 

• Tradisi tentang murid-murid pertama Yesus yang berasal dari murid-murid Yohanes Pembaptis (Yohanes 1:35-42); 

• Tradisi tentang Petrus, Andreas dan Filipus yang berasal dari Betsaida (1:44); 

• Catatan-catatan tentang pengharapan-pengharapan politis yang dibangkitkan Yesus di antara orang banyak dan motif-motif politis yang menyeret-Nya kepada kematian diungkapkan dengan lebih jelas di dalam Injil Yohanes ketimbang di dalam Injil-injil Sinoptik (bdk. Yohanes 6:15; 11:47-53; 19:12); 

• Sebagai ganti suatu pengadilan Yahudi terhadap Yesus, di dalam Yohanes 18:19-24 dilaporkan berlangsungnya suatu pemeriksaan yang dilakukan Sanhedrin terhadap Yesus yang mendahului pengadilan Romawi oleh Pilatus; 

• Menurut kronologi dalam Injil Yohanes, Yesus mati saat hari persiapan perayaan Paskah (18:28; 19:31), dan ini dipandang kebanyakan pakar sebagai lebih mungkin ketimbang penyaliban pada hari perayaan itu sendiri.

Terdapat juga fragmen-fragmen tulisan yang berbentuk injil, yang memuat suatu kombinasi tradisi-tradisi Yohanes dan Sinoptik, yang dapat digunakan dalam pengkajian Yesus sejarah, yakni: Papirus Egerton 2 (ditulis sekitar tahun 200) yang memuat suatu debat antara Yesus dan para ahli Taurat dan para pemuka Yahudi yang menuduh Yesus telah melanggar Taurat, dan debat ini berakhir dengan suatu usaha yang gagal untuk melempari Yesus dengan batu; Injil Markus Rahasia; Injil Petrus (disusun paruhan pertama abad kedua); Papirus Oxyrhynchus 840 (dari abad pertama)./12/

Ada tiga Injil Kristen Yahudi yang juga dapat dimanfaatkan bagi usaha-usaha menelusuri figur Yesus sejarah,/13/ yakni: 

• Injil Orang Nazorean yang isinya kurang lebih sama dengan Injil Matius, tetapi ditulis dalam bahasa Aram atau bahasa Syria, pada awal abad dua (antara 80-180); 

• Injil Orang Ebion (abad dua) yang merupakan suatu revisi atas Injil Matius, tetapi juga memakai dan menyunting bahan-bahan dari Injil Markus dan Injil Lukas, tetapi membuang kisah kelahiran Yesus sehingga pengisahan kehidupan Yesus dimulai dari tampilnya Yohanes Pembaptis dan pembaptisan Yesus yang melaluinya Yesus diangkat menjadi anak Allah; 

• Injil Orang Ibrani (disusun dalam paruhan pertama abad dua) yang isinya dekat dengan pandangan gnostik, antara lain menggambarkan bahwa Yesus Kristus dan Ibu-Nya sudah ada sebelum tampak di muka Bumi dalam wujud manusia; pada waktu Yesus dibaptis, Yesus disebut sebagai anak, bukan oleh Allah, tetapi oleh Roh (Ruakh) yang ternyata adalah ibu-Nya sendiri./14/

Bahan-bahan Kristen lainnya yang berasal dari paruhan pertama abad kedua dan yang dapat dipakai untuk menelusuri tradisi-tradisi tentang ajaran-ajaran dan kehidupan Yesus ditemukan dalam tulisan-tulisan para “Bapak Apostolis
”./15/ 

Papias, Uskup dari Hieropolis di Asia Kecil, misalnya, pada permulaan abad dua (sekitar 100-150) menyatakan dirinya sedang mengumpulkan tradisi-tradisi lisan tentang Yesus, dengan cara menanyai orang-orang yang masih mengenal murid-murid perdana Yesus. Tradisi-tradisi yang sedang dikumpulkannya ini dikatakan “berasal dari suara yang hidup dan menetap” yang diturunalihkan dari “para penatua”, yang telah dia “pelajari” dan “ingat”. 

Hasil penyelidikan oleh Papias ini disajikannya dalam lima jilid buku yang dinamakan “Tafsiran atas Ucapan-ucapan Tuhan” (logiōn kuriakōn eksēgēsis); tetapi semuanya ini kini telah hilang, dan yang ada pada kita adalah kutipan-kutipan dari buku-buku ini yang ditemukan di dalam tulisan-tulisan Irenaeus dan Eusebius (Historia Ecclesiastica III. 39. 1-17)./16/

Di dalam 1 Klemen 13:1b, 2 kita temukan tujuh ucapan Yesus yang dijadikan satu sebagai bahan pelajaran katekisasi, yang kelihatan dekat dengan sebagian isi Khotbah di Bukit, tetapi tidak memperlihatkan ketergantungan pada Injil Matius, Lukas atau pun Injil Q; bunyinya: 

“... khususnya kita ingat kata-kata Tuhan Yesus yang disampaikannya ketika Dia mengajar tentang kelemah-lembutan dan penderitaan panjang. Sebab Dia telah berkata demikian: ‘Hendaklah kamu penuh kasih karunia, supaya kamu beroleh kasih karunia. Ampunilah, supaya kamu diampuni. Apa yang kamu lakukan kepada orang lain, itulah juga yang akan dilakukan kepadamu. Apabila kamu memberi, maka kamupun akan diberi. Sebagaimana kamu menghakimi, begitu juga kamu akan dihakimi. Jika kamu berbaik hati, kebaikan akan juga diperlihatkan kepadamu. Ukuran yang kamu pakai, itu juga yang akan dikenakan kepadamu.’”/17/

Dalam suratnya, Kepada Jemaat di Smyrna 3.2, Ignatius melaporkan perjumpaan Yesus yang sudah bangkit dengan murid-murid-Nya dalam suatu bentuk yang dekat dengan Lukas 24:36-43, tetapi tidak menunjukkan ketergantungan: 

“Dan ketika Dia datang kepada mereka bersama Petrus, Dia berkata kepada mereka: ‘Peganglah, sentuhlah aku dan lihatlah bahwa aku bukanlah hantu tanpa tubuh.’ Maka mereka segera menyentuh-Nya dan percaya, bahwa Dia tampil utuh sebagai daging dan roh... Dan setelah kebangkitan-Nya, Dia makan dan minum bersama mereka sebagai suatu makhluk berjasad, meskipun Dia dipersatukan dalam roh dengan sang Bapa.”

Dalam 2 Klemen terdapat kutipan-kutipan gabungan dari Matius dan Lukas atau dari suatu sumber ucapan-ucapan independen; di antaranya ada yang berbunyi demikian, 

“Karena itulah, jika kamu mengerjakan hal-hal ini, Tuhan katakan, ‘Jika kamu berada dalam dekapan Aku, tetapi kamu tidak melakukan perintah-perintah-Ku, Aku akan mencampakkan kamu, dan akan berkata kepadamu, Enyahlah dari-Ku, Aku tidak tahu darimana asalmu, kamu pelaku kejahatan.’” (2 Klemen 4:5; bdk. 2 Klemen 5:2 dyb.; 8:5; 12:2).

Dalam tulisan-tulisan para “Bapak Apostolis”, ada sekian ucapan yang tidak diklaim berasal dari Yesus, tetapi dikutip dalam Injil-injil Sinoptis sebagai ucapan-ucapan Yesus: tentang perintah rangkap dua untuk mengasihi (Surat Barnabas 19:2,5; bdk. Markus 13:30 dyb); Hukum Emas (Didakhe 1:2b; bdk. Matius 7:12; Lukas 6:31; 1 Klemen 13:2); tentang kuasa doa (Ignatius, Kepada Jemaat di Efesus 5:2; Gembala Hermas VI, 3, 6b; bdk. Matius 18:19 dyb; Markus 11:22-24 dan par.); tentang dosa melawan Roh Kudus (Didakhe 11:7; bdk. Markus 3:28-29); dan formula baptisan trinitarian (Didakhe 7:1; bdk. Matius 28:19).


Sumber-sumber Sastra Non-Kristen

Sumber non-Kristen pertama yang bermanfaat untuk pengkajian Yesus sejarah adalah rujukan-rujukan pendek dari seorang sejarawan Yahudi, Flavius Yosefus (Yosef ben Matthias; hidup 37/38–setelah tahun 100), kepada Yesus, di dalam bukunya yang selesai ditulis tahun 93/94, Antiquitates Judaicae atau Jewish Antiquities (18.63-64; 20.200). 

Di dalam Antiquities 20.200, Yosefus menyebut perajaman dengan batu atas diri Yakobus dan orang-orang lain yang telah melanggar Taurat setelah mereka melewati suatu pemeriksaan Sanhedrin di bawah pimpinan imam besar Ananus di tahun 62. Di situ, Yosefus memperkenalkan Yakobus sebagai “saudara dari Yesus yang disebut Kristus”, dan dengan demikian mengidentifikasinya sebagai saudara seorang yang bernama Yesus yang mungkin lebih dikenal, atau karena nama Yesus sudah disebut sebelumnya.

Di dalam buku yang sama, memang sebelum penyebutan pada Yakobus ini, Yosefus sudah memuat catatan-catatan pendek tentang Yesus, yakni dalam 18:63-64 yang dikenal sebagai Testimonium Flavianum (= kesaksian atau testimoni Flavius Yosefus tentang Yesus). 

Isi testimoni Flavius ini selengkapnya berikut ini (dengan bagian-bagian yang ditempatkan dalam dua tanda kurung sebagai bagian-bagian yang ditambahkan belakangan pada teks semula):

“Kira-kira pada waktu ini, hiduplah Yesus, seorang yang bijaksana, (jika memang orang harus menyebutnya seorang manusia). Sebab Dia adalah seorang yang telah melakukan tindakan-tindakan luar biasa, dan seorang guru bagi orang-orang yang telah dengan senang menerima kebenaran dari-Nya. Dia telah memenangkan banyak orang Yahudi dan banyak orang Yunani. (Dia adalah sang Messias). Setelah mendengar Dia dituduh oleh orang orang-orang terkemuka dari antara kita, maka Pilatus menjatuhkan hukuman penyaliban atas diri-Nya. 

Tetapi orang-orang yang mula-mula telah mengasihi-Nya itu tidak melepaskan kasih mereka kepada-Nya. (Pada hari ketiga Dia menampakkan diri kepada mereka dan membuktikan diri-Nya hidup. Nabi-nabi Allah telah menubuatkan hal ini dan hal-hal ajaib lainnya tentang diri-Nya yang tidak terhitung banyaknya). Dan bangsa Kristen ini, disebut demikian dengan mengikuti nama-Nya, sampai pada hari ini tidak lenyap.” (Antiquities 18:63-64)/18/

Sumber-sumber sastra non-Kristen lainnya adalah tulisan-tulisan para rabbi/guru Yahudi. 

Berbeda dari Yosefus yang memberi catatan-catatan simpatik tentang Yesus, sumber-sumber rabbinik (yang ditulis dalam periode Tannaitik, sampai dengan tahun 220) tentang Yesus berisi catatan-catatan penolakan sebagai reaksi Yahudi terhadap provokasi-provokasi yang dibuat orang-orang Kristen terhadap Yudaisme. 

Sejumlah pakar menilai ada tradisi-tradisi tua dan dapat dipercaya sebagai sumber sejarah tentang Yesus di dalam Talmud/19/ Babilonia, di antaranya bSanhedrin 43a yang bunyinya demikian:/20/

“Pada Sabat perayaan Paskah, Yeshu orang Nazareth digantung. Sebab selama empat puluh hari sebelum eksekusi dijalankan, muncul seorang pemberita yang mengatakan: ‘Inilah Yesus orang Nazareth, yang akan dirajam dengan batu sebab Dia telah mempraktekkan sihir dan magi [bdk. Markus 3:22] dan mempengaruhi orang Israel untuk murtad. Barangsiapa yang dapat mengatakan sesuatu untuk membela-Nya, hendaklah tampil dan membela-Nya.’ 

Tetapi karena tidak ada sesuatu pun yang tampil untuk membela-Nya, Dia pun digantung sehari sebelum Paskah [sejalan dengan kronologi dalam Injil Yohanes]..... Rabi-rabi kami mengajarkan: Yeshu memiliki lima murid, Matthai, Nakai, Nezer, Buni dan Toda. 

Ketika Matthai dibawa [ke hadapan pengadilan], dia berkata kepada mereka [para hakim]: Akankah Matthai dihukum mati? Bukankah ada tertulis: [Matthai] Kapankah aku akan datang dan tampil di hadirat Allah!? [Mazmur 42:3]. Maka mereka pun berkata, Ya, Matthai akan dieksekusi, sebab ada tertulis: Kapankah [matthai], kapankah dia akan dibunuh dan namanya dilenyapkan? [Mazmur 41:6] (permainan kata-kata yang serupa seterusnya muncul untuk empat murid Yesus lainnya)....”

Seorang filsuf stoik kebangsaan Syria, yang berasal dari Samosata, bernama Mara bar Sarapion, menulis surat kepada anaknya, Sarapion, dari tempatnya di sebuah penjara Roma, mungkin segera setelah tahun 73. 

Di dalam suratnya itu, dia menegaskan bahwa satu-satunya yang paling berharga untuk dimiliki dan diperjuangkan adalah kebijaksanaan, dan bahwa kendati pun orang bijak itu dapat dianiaya, kebijaksanaan itu tetap kekal. Sebagai model orang-orang bijak, dia mengutip Sokrates dan Phytagoras, dan juga Yesus meskipun nama Yesus tidak disebutnya:

“Perbuatan baik apa yang dilakukan orang-orang Athena ketika mereka membunuh Sokrates, yang mengakibatkan mereka dihukum dengan bahaya kelaparan dan penyakit menular? Manfaat apa yang diperoleh orang-orang Samian ketika mereka membakar Phytagoras, karena kemudian negeri mereka seluruhnya dikubur pasir dalam sekejap saja? Atau apa keuntungannya ketika orang-orang Yahudi membunuh raja mereka yang arif, karena kerajaan mereka setelah itu direnggut dari mereka [mengacu ke Perang Yahudi I tahun 66-73/74]? 

Allah telah dengan adil membalas perbuatan-perbuatan jahat yang telah dilakukan kepada tiga orang bijaksana ini. Orang-orang Athena mati kelaparan; bangsa Samian dilanda banjir dari laut; orang-orang Yahudi dibunuh dan diusir dari kerajaan mereka, lalu tinggal di tempat-tempat lain dalam perserakan. Sokrates itu tidak mati; tetapi tetap hidup melalui Plato; begitu juga Phytagoras, karena patung Hera. Begitu juga raja yang bijak itu tidak mati, karena setelah Dia tidak ada muncul hukum baru yang Dia telah berikan.”

Ada catatan-catatan pendek sekilas tentang Yesus buah tangan tiga penulis Roma dari periode antara 110 sampai 120, yakni: senator Pliny yang Lebih Muda (61-c.120); Cornelius Tacitus (55/56-c.120), dan C. Suetonius Tranquillus (70-c.130)./21/ 

Ketiganya menampilkan Yesus dan kekristenan dalam nada-nada yang sangat negatif, sebagai orang dan gerakan yang mempercayai takhayul dan berbahaya buat negara.

Pliny yang pada tahun 111 diangkat sebagai gubernur provinsi Bithynia dan Pontus di Asia Kecil, sedang menangani kasus orang-orang Kristen di sana yang diadukan orang kepadanya, dan, untuk meminta nasihat dari kaisar Trajanus (98-117) dia mengirim surat resmi (Pliny, Surat-surat, Buku X). Di dalam suratnya ini dia menyebut nama “Kristus” dua kali, dan menjuluki kekristenan sebagai suatu bentuk “takhayul yang sangat berlebihan.” 

Sebagai metodenya menangani orang-orang Kristen, dikatakannya dalam suratnya itu bahwa barangsiapa yang telah dengan keliru dituduh sebagai seorang Kristen, dapat menolak tuduhan ini dengan cara memberi hormat kepada patung-patung dewa-dewa dan gambar sang kaisar, dengan mempersembahkan kemenyan dan menuangkan anggur kepada patung-patung dan gambar ini sambil menghujat nama “Kristus” (Christo male dicere), sebab masyarakat telah tahu bahwa orang-orang Kristen sejati tidak dapat dipaksa untuk melakukan hal-hal ini. 

Pliny juga mencatat bahwa “ ... adalah kebiasaan mereka [orang-orang Kristen itu] untuk pada hari yang sudah ditetapkan berkumpul bersama sebelum fajar dan di saat itu mereka mengulangi kata-kata pengakuan kepada Kristus sebagai suatu allah (Christo quasi deo dicere); dan mereka mengikat diri dengan sumpah, untuk tidak melakukan tindakan kejahatan apa pun, untuk tidak mencuri atau merampok atau berzina, untuk tidak melanggar kata-kata mereka sendiri, ....”

Dengan bantuan Pliny yang Lebih Muda, C. Suetonius Tranquillus diangkat menjadi seorang pejabat tinggi administratif dalam pemerintahan Trajanus dan Hadrianus; dan jabatan ini memungkinkannya untuk mengakses segala arsip yang tersedia untuk mendapatkan data dan informasi yang diperlukannya dalam menyusun karyanya tentang biografi duabelas kaisar, dari Yulius Kaisar sampai Domitianus, dalam delapan jilid (De vita Caesarum), yang ditulis antara 117-122. 

Dalam konteks peristiwa pengusiran orang-orang Yahudi dari kota Roma di bawah pemerintahan Klaudius (41-54), peristiwa yang disebut juga dalam Kisah Para Rasul 18:2, Suetonius menyebut Kristus: 

“Karena orang-orang Yahudi itu telah terus-menerus, di bawah pengaruh Krestus [Chresto], menimbulkan keresahan, maka ia [Klaudius] mengusir mereka dari kota Roma.” (Klaudius 25.4).

Cornelius Tacitus adalah seorang senator dan sejarawan Roma yang terkenal karena dua karya sejarahnya, Histories (c.105-110) dan Annals (c.116/117). 

Untuk membelokkan kecurigaan dan dakwaan terhadap dirinya sendiri atas terbakarnya kota Roma selama sembilan hari dalam tahun 64 (seperti dilaporkan Tacitus dalam Annals 15.38-44), Nero (54-68) menjadikan orang-orang Kristen di sana sebagai “kambing hitam.” Dalam konteks inilah Tacitus menyebut nama “Kristus” sebagai pendiri gerakan Kristen yang dihukum mati: 

“Karena itu, untuk menepis kabar angin itu, Nero menciptakan kambing-kambing hitam dan menganiaya orang-orang yang disebut orang-orang Kristen [Chrestianos], yaitu sekelompok orang yang dibenci karena tindakan-tindakan kriminal mereka yang memuakkan. Kristus, dari mana nama itu berasal, telah dihukum mati (supplicio adfectus) dalam masa pemerintahan Tiberius [14-37] di tangan salah seorang prokurator kita, Pontius Pilatus [26-36], dan takhayul yang paling merusak itu karenanya untuk sementara dapat dikendalikan, tetapi kembali pecah bukan saja di Yudea, sumber pertama dari kejahatan ini, tetapi juga di Roma, di mana segala sesuatu yang buruk, menjengkelkan dan yang menimbulkan kebencian dari segala tempat di dunia ini bertemu dan menjadi populer.” (Annals 15.44).

Selain tiga nama di atas, seorang satiris yang bernama Lucian dari Samosata (c.115-c.200) perlu juga disebut; orang ini dalam tulisannya The Passing of Peregrinus mengisahkan tentang orang-orang Kristen yang sangat terpikat pada Peregrinus sehingga mereka menyembahnya sebagai suatu allah; selanjutnya dia menulis: 

“... sesungguhnya, selain dia, juga orang yang disalibkan di Palestina karena memperkenalkan kultus baru ini ke dalam dunia, kini masih mereka sembah.” 

Lucian juga menggambarkan orang-orang Kristen sebagai orang-orang “yang menyembah sofis yang disalibkan itu sendiri dan hidup di bawah hukum-hukum-Nya.”/22/




Para kristolog dengan bebas melukis wajah Yesus mereka sendiri-sendiri. Ada satu dari gambar-gambar di atas yang dihasilkan lewat rekonstruksi lintasilmu. Manakah wajah yang asli?


Kriteria Autentisitas/23/

Kriteria autentisitas adalah kriteria untuk menentukan autentisitas atau keaslian bahan-bahan tulisan tentang Yesus, baik bahan-bahan tentang ucapan-ucapan-Nya, maupun bahan-bahan yang mempersaksikan tindakan-tindakan Yesus dan hal-hal yang dialami dalam hidup-Nya. 

Penting dicatat bahwa setiap kriterion autentisitas memiliki kekuatan sekaligus keterbatasan masing-masing. Karena itu, seluruh kriteria ini harus dipakai bersama-sama, saling mengisi dan melengkapi, untuk menghasilkan simpul-simpul konvergensi.

Kriterion “bahan bukti terdapat di berbagai sumber independen” (the criterion of multiple independent attestation)

Jika suatu ucapan Yesus atau catatan atau berita tentang tindakan dan perbuatan-Nya muncul di lebih dari satu sumber yang tidak menunjukkan kergantungan yang satu terhadap yang lainnya (= sumber-sumber independen) (misalnya, ditemukan serentak pada Paulus, Markus, Injil “Q”, sumber khusus Matius, sumber khusus Lukas, dan Yohanes), ucapan atau catatan dan berita itu dipandang autentik, bukan ciptaan gereja perdana sesudah Yesus. 

John Dominic Crossan telah membuat sebuah daftar (inventori) tradisi-tradisi tentang Yesus (tentang ucapan-ucapan dan tindakan-tindakan serta peristiwa-peristiwa dalam hidup-Nya) yang disusun baik berdasarkan “usia teks” (by chronological stratification), dari yang paling tua (tahun 30-60 M) sampai yang termuda (tahun 120-150 M), maupun berdasarkan frekuensi kemunculannya di dalam sumber-sumber independen yang ada, dari yang muncul di lebih dari tiga sumber (multiple independent attestation), muncul di tiga sumber (triple independent attestation), di dua sumber (double attestation), sampai yang hanya terdapat di satu sumber (single attestation)./24/

Kriterion “bahan bukti muncul di dalam berbagai bentuk atau jenis sastra” (the criterion of multiple literary forms/genres)

Terdapatnya bahan-bahan tentang Yesus (tentang ucapan-ucapan atau tindakan-tindakannya) dalam lebih dari satu bentuk atau jenis sastra (literary form/genre) menunjukkan bahwa bahan-bahan ini sudah ada sebelum muncul di dalam berbagai bentuk/jenis sastra ini di dalam Injil-injil; dan ini berarti bahwa bahan-bahan ini sangat boleh jadi berasal dari Yesus. Sebagai contoh, misalnya, karena frasa “kerajaan Allah” muncul serentak dalam perumpamaan, ucapan bahagia, doa, aforisme/kata-kata bijak, kisah mujizat, kisah berita, ini menunjukkan bahwa memang Yesus memakai frasa ini dalam ajaran-ajaran-Nya.

Kriterion “bahan memiliki kekhasan atau orisinalitas” (the criterion of dissimilarity or discontinuity or originality)

Suatu tradisi tentang Yesus yang kontras, berbeda tajam bahkan bertolak-belakang, dengan ajaran dan praktek agama Yahudi zaman Yesus dan dengan kekristenan perdana sesudah Yesus, sangat mungkin berasal dari Yesus. Kontras ini menunjukkan kekhasan atau orisinalitas Yesus. 

Bahan-bahan yang memenuhi kriterion ini, antara lain, larangan Yesus untuk orang bersumpah (Matius 5:34-37; bdk. Yakobus 5:12); penolakan Yesus untuk murid-murid-Nya berpuasa (Markus 2:18-22, dan par.), dan penolakan-Nya terhadap perceraian (Markus 10:2-12 dan par.; Lukas 16:18 dan par.). 

Kriterion ini harus digunakan dengan hati-hati, dan harus bersamaan dengan kriteria lainnya, sebab Yesus bukan saja harus diandaikan “berbeda” dari Yudaisme zaman-Nya dan dari kekristenan perdana, tetapi juga bahwa Dia dapat sejalan dan seirama dengan Yudaisme zamannya dan dengan gereja perdana.

Kriterion “bahan yang menyulitkan atau memalukan gereja perdana” (the criterion of embarrassment)


Jika terdapat bahan-bahan atau tradisi-tradisi tentang Yesus yang kemunculannya menyulitkan komunitas-komunitas Kristen perdana dalam berargumentasi dengan lawan-lawan mereka, atau malah mempermalukan gereja perdana sendiri, bahan-bahan itu tentu bukan buatan gereja perdana sendiri, melainkan berasal dari Yesus sendiri atau berasal dari situasi pelayanan Yesus sendiri. 


Misalnya, tradisi Injil tentang pembaptisan Yesus oleh Yohanes Pembaptis dengan “suatu baptisan pertobatan bagi pengampunan dosa.” Tradisi ini menyulitkan dan mempermalukan gereja perdana sendiri, sebab dengan dibaptis oleh Yohanes Pembaptis, Yesus diperlakukan sebagai orang berdosa, dan dibaptis oleh orang yang oleh gereja perdana dipandang lebih rendah kedudukannya daripada Yesus. 

Tradisi tentang Yesus yang dibaptis Yohanes Pembaptis ini condong ditekan dan kemudian disingkirkan oleh gereja perdana. Tradisi ini muncul di Markus 1:4-11 tanpa penjelasan teologis; di dalam Matius pembaptisan didahului suatu dialog antara Yohanes Pembaptis dan Yesus, di dalam mana Yohanes Pembaptis menegaskan bahwa bukan Yesus, tetapi dirinya sendirilah yang patut dibaptis, tetapi pembaptisan Yesus dilakukan juga setelah Yesus memintanya untuk menggenapkan seluruh kehendak Allah (Matius 3:13-17). 

Di dalam Lukas, sebelum Yesus dibaptis, diceritakan bahwa Yohanes Pembaptis telah dimasukkan ke dalam penjara oleh Herodes Antipas, dan Lukas tidak mencatat oleh siapa Yesus dibaptis (Lukas 3:19-22). 

Di dalam Injil Yohanes, yang penulisnya terlibat pergumulan menghadapi murid-murid Yohanes Pembaptis yang tidak mau mengakui Yesus sebagai sang Messias, tradisi Yesus dibaptis Yohanes Pembaptis tidak muncul sama sekali. 

Ucapan Yesus bahwa Dia tidak tahu kapan akhir itu tiba, menyulitkan gereja, sehingga ada beberapa manuskrip Yunani yang membuang frasa “dan anakpun tidak [tahu]” yang muncul di dalam Markus (13:32). 

Sejumlah besar manuskrip Matius mengeliminasi frasa “dan anakpun tidak [tahu]” (Matius 24:36). 

Dalam Injil Yohanes malah Yesus digambarkan serba tahu tentang hal-hal masa kini dan hal-hal masa depan (Yohanes 5:6; 6:6; 8:14; 9:3; 11:11-15; 13:1-3, 11). 

Tradisi-tradisi lain yang memalukan gereja perdana antara lain adalah: pengkhianatan Yudas Iskariot dan penyaliban Yesus oleh orang-orang Romawi. Dengan memakai kriterion ini, kedua peristiwa ini harus dipandang historis.

Kriterion “penolakan dan penyaliban Yesus” (the criterion of rejection and execution)

Karena dalam sejarah, hidup Yesus itu berakhir tragis, ditolak dan dieksekusi di kayu salib oleh orang Romawi yang bekerja sama dengan para pemuka Yahudi, jika terdapat tradisi-tradisi tentang ucapan-ucapan dan tindakan-tindakan Yesus yang bisa menjelaskan mengapa Dia sampai diadili lalu dijatuhi hukuman mati, tradisi-tradisi itu harus dipandang berasal dari Yesus sendiri atau dari konteks kehidupan-Nya sendiri. 

Dengan demikian, tradisi-tradisi tentang Yesus yang menampilkan Yesus sebagai orang yang kiprah-kiprah-Nya revolusioner, menantang, mengganggu dan menimbulkan kemarahan orang sehingga akhirnya disusun sebuah rencana untuk membunuh-Nya, harus dipandang sebagai tradisi-tradisi historis dari masa kehidupan Yesus sendiri.

Kriterion “lingkungan Palestina” (the criterion of Palestinian environment)

Jika ada ucapan-ucapan Yesus yang mencerminkan adat-istiadat, kepercayaan-kepercayaan, prosedur-prosedur hukum, praktek-praktek perdagangan dan agrikultural, kondisi-kondisi domestik sosial, politik dan kultural, dari dunia sosial Palestina zaman Yesus, ucapan-ucapan itu harus dipandang autentik. 

Jika dirumuskan negatif, maka jika ada ucapan-ucapan Yesus yang mencerminkan keadaan-keadaan sosial, politis, ekonomis dan religius yang terdapat hanya di luar Palestina (di dunia Yunani-Romawi) atau hanya sesudah kematian Yesus, ucapan-ucapan itu harus dipandang tidak otentik. 

Sebagai contoh: jika ada bagian-bagian dari perumpamaan-perumpamaan Yesus yang berbicara tentang penundaan kedatangan kembali Yesus (parousia), maka bagian-bagian ini harus dipandang tidak berasal dari Yesus. 

Demikian juga, jika ada ucapan-ucapan Yesus yang mengarahkan misi gereja ke bangsa-bangsa bukan-Yahudi, ucapan-ucapan ini harus dipandang sebagai produk gereja perdana. 

Atau juga, jika ada ucapan-ucapan Yesus yang memuat aturan-aturan untuk memimpin jemaat atau untuk memberlakukan disiplin gereja, ucapan-ucapan itu tidak berasal dari Yesus.

Kriterion “linguistik” atau kriterion “jejak-jejak bahasa Aram” (the criterion of traces of Aramaic)

Karena Yesus berbicara bahasa Aram, dan tradisi-tradisi tentang-Nya kemudian diteruskan dalam bahasa Yunani atau bahasa-bahasa lainnya, maka makin dekat suatu tradisi tentang Yesus di dalam Injil-injil kepada gaya bahasa, idiom-idiom dan unsur-unsur linguistik lainnya (kosa kata, tata bahasa, sintaksis, ritme/irama, sajak, bentuk puitis) dari bahasa Aram, makin besar kemungkinannya tradisi itu berasal dari Yesus sendiri. Sebaliknya, makin sulit suatu ucapan dikembalikan ke dalam bahasa Aram, semakin kuat kemungkinannya bahwa ucapan itu bukan ucapan Yesus.

Kriterion “isi yang lebih radikal” (the criterion of the more radical form)

Jika suatu ucapan atau tindakan Yesus dilaporkan dalam lebih dari satu tradisi atau sumber, dan dengan mengandaikan bahwa tradisi-tradisi tentang Yesus mengalami perubahan dan pelunakan atau “penjinakan” ketika diturunalihkan, maka bentuk atau isi yang “lebih radikal” atau “lebih keras” dipandang sebagai bentuk atau isi yang lebih tua atau lebih mendekati kehidupan Yesus.

Kriterion “kecenderungan tradisi Injil mengalami perkembangan” (the criterion of the tendencies of the developing synoptic tradition)

Umumnya orang berpandangan bahwa ketika suatu tradisi tentang Yesus disebarluaskan dan diturunalihkan dari satu generasi ke generasi berikutnya, tradisi itu akan menjadi: 1) lebih panjang dan 2) lebih terinci, dan 3) ciri semitisnya (ciri bahasa Aramnya) condong makin melemah dan berkurang, dan cenderung 4) untuk mengganti ucapan tidak langsung menjadi ucapan langsung, dan 5) untuk menggabungkan versi-versi tradisi yang berlainan menjadi satu. 


Dengan demikian, kalau di antara tradisi-tradisi yang serupa ditemukan tradisi-tradisi yang lebih pendek, lebih sederhana dan tidak rumit, lebih kuat corak semitisnya, dan menggunakan kalimat tidak langsung, maka tradisi-tradisi yang semacam ini harus dipandang “lebih tua” dan karenanya lebih mendekati masa kehidupan Yesus sendiri. 

Tetapi, ada kasus-kasus yang menunjukkan bahwa hal-hal kebalikannya juga terjadi: ada tradisi-tradisi yang dalam proses transmisinya mengalami penyusutan, bertambah pendek, makin kurang terinci, ciri semitiknya makin menguat. 

Di dalam Injil-injil sinoptik sendiri, tidak selalu terjadi perubahan dari kalimat tidak langsung menjadi kalimat langsung, ketika suatu tradisi dikutip. 

Meskipun demikian, pada umumnya memang ditemukan bahwa makin jauh suatu tradisi dari masa kehidupan Yesus, tradisi itu akan makin panjang, makin terinci, dan corak semitisnya makin melemah dan makin condong untuk memakai kalimat langsung dan makin lebih rumit karena merupakan penggumpalan dari pelbagai varian tradisi. 

Untuk sampai pada tradisi yang lebih tua, tambahan-tambahan redaksional yang dilakukan para penulis Injil terhadap tradisi-tradisi yang mereka terima sebagai sumber-sumber penulisan Injil, harus dikenali. 

Jika “tambahan-tambahan redaksional” yang sudah bisa diidentifikasi ini dieliminasi, maka tradisi yang lebih tua akan didapati.

Kriterion “penelusuran sejarah tradisi sampai kembali ke bentuk yang paling awal” (the criterion of a plausible “Traditionsgeschichte”)

Untuk sampai kepada bentuknya yang sekarang terdapat dalam Injil-injil, setiap tradisi tentang Yesus telah melewati perjalanan sejarahnya sendiri (dari masa Yesus sendiri, lalu bergerak masuk ke periode lisan, dan akhirnya masuk ke, dan dituliskan, dalam Injil-injil). 

Dengan demikian, setiap tradisi memiliki “silsilah”-nya sendiri. Maka, untuk sampai kepada bentuk terawal yang dipakai oleh Yesus sendiri, sejarah atau “asal-usul” suatu tradisi harus ditelusuri dan direkonstruksi secara diakronik, “melintasi waktu” balik ke belakang. Bentuk terawal atau tertua yang diperoleh dari usaha penelusuran atau rekonstruksi sejarah tradisi ini dapat dipandang sebagai bentuk yang digunakan Yesus sendiri.

Kriterion “hermeneutik yang adekuat” (the criterion of hermeneutical adequacy)/25/

Karena ada banyak variasi gambaran tentang Yesus dalam Injil-injil, dan ada banyak pula interpretasi yang telah dibuat untuk melahirkan gambaran tentang siapa Yesus, sementara Yesusnya satu, maka kalau bisa dirancangbangun sebuah “gambaran besar” (meganarrative) yang bisa menampung atau menyedot semua gambaran yang bervariasi itu, gambaran besar atau “meganarrative” ini bisa dibayangkan sebagai gambaran dari masa kehidupan Yesus sendiri. Atau, sebuah tradisi yang bisa menjelaskan terjadinya, dan menampung atau menyerap, berbagai macam tradisi lain, adalah tradisi yang otentik dari Yesus.

Kriterion “koherensi” atau “konsistensi” (the criterion of coherence or consistency)

Kriterion ini digunakan setelah sekian kriteria yang telah disebutkan di atas telah digunakan untuk mendapatkan suatu gambaran tentang Yesus sejarah. Gambaran yang telah diperoleh ini dapat digunakan sebagai “basis data” tentang siapa Yesus itu, tentang apa yang dikatakan dan diperbuat-Nya. 

Bahan-bahan lain yang sejalan atau konsisten dengan basis data ini dapat dipandang sebagai bahan-bahan yang bernilai historis, dan selanjutnya dapat digabungkan ke dalam basis data yang tersedia. 

Tetapi kriterion ini tidak boleh dipergunakan secara negatif untuk menyatakan bahwa tradisi-tradisi tentang Yesus yang tidak sejalan dengan basis data ini pasti bukan dari Yesus.


Pendekatan Lintas-ilmu


Dalam bagian ini, fokus ditujukan kepada John Dominic Crossan, anggota the Jesus seminar, sebab dialah seorang pakar yang telah meneliti Yesus sejarah selama lebih dari tigapuluh tahun, dan yang paling serius menekankan perlunya dibangun sebuah metodologi yang dapat diandalkan, yang bersifat lintasilmu, dalam penelitian Yesus sejarah.

Epistemologi yang Dipilih, dan Peran Teologi

Crossan menolak baik epistemologi objektivis positivis (bahwa pengetahuan tentang kenyataan itu dapat dicapai seratus persen objektif, tanpa keterlibatan subjektif si peneliti), maupun epistemologi subjektivis narcissis (bahwa pengetahuan tentang kenyataan itu tidak akan pernah bersifat objektif, sebab pengetahuan ini tidak lain adalah proyeksi kepentingan-kepentingan subjektif dari si peneliti). 

Sebagai gantinya, Crossan mengajukan epistemologi interaktif atau dialektis historis,/26/ bahwa pengetahuan tentang kenyataan itu senantiasa dibentuk dari interaksi atau dialektika berimbang dari objektivitas faktual sebuah fakta (misalnya, fakta bahwa Yesus itu ada sebagai manusia dalam sejarah) dan subjektivitas si peneliti (hipotesis kerja, sudut pandang, prapaham-prapaham, ideologi atau teologi, lokasi sosial dan kepentingan-kepentingan si peneliti dan komunitasnya).

Dengan epistemologi interaktif ini, Crossan mengakui bahwa dalam dia merekonstruksi Yesus sejarah, faktor-faktor subjektif dalam dirinya ikut berperan dalam melahirkan potret tentang Yesus yang direkonstruksinya dari bahan-bahan yang tersedia. 

Crossan dengan terus terang menyatakan, “Tidak ada seorang pun memulai penelitian terhadap Yesus sejarah tanpa memiliki ide-ide apa pun tentang Yesus sebelumnya. Karena itu sedikit naif jika seseorang memulai penelitian dengan bertolak dari teks-teks tertentu dan bertindak seolah-olah dia menemukan Yesus sejarah di akhir kegiatan analisisnya. Sesungguhnya ada dan akan selalu ada sebuah hipotesis awal yang orang uji dengan memperhadapkannya pada data yang tersedia.”/27/

Sejalan dengan Crossan, John P. Meier juga menegaskan bahwa “ketika orang menerima atau menyingkirkan dokumen-dokumen tertentu dari daftar mengenai sumber-sumber yang relevan, orang itu sudah mulai dan sedang menentukan ciri-ciri khas dari potret tentang Yesus yang akan dihasilkan.”/28/ 

Begitu juga, N. T. Wright, yang dijuluki Meier sebagai “seorang musuh abadi dari the Jesus Seminar”, berpandangan bahwa “teori-teori tentang Injil-injil selalu berinteraksi, dan akan terus berinteraksi, dengan teori-teori mengenai Yesus./29/ 

M. Eugene Boring juga berpendapat bahwa “data yang lolos dari kriteria autentisitas dan juga ‘basis data’ darimana segala hal lainnya muncul, telah dikondisikan (kalau tidak mau dikatakan telah ditentukan) oleh pandangan-pandangan teologis.” /30/ 

Sejalan dengan para pakar ini, John S. Kloppenborg menegaskan bahwa banyak keputusan yang berkaitan dengan “cara para pakar bergerak dari pemilahan bahan-bahan yang otentik tentang Yesus sampai pada usaha menggabung bahan-bahan itu untuk menghasilkan sebuah potret Yesus yang harmonis” adalah “fungsi-fungsi dari komitmen-komitmen teoretis atau ideologis (teologis).”/31/

Jelas, dalam merekonstruksi Yesus sejarah, akan selalu ada interaksi yang harus diupayakan berimbang antara data tekstual dan material yang sedang ditafsir (= objektivitas) dan teologi si perekonstruksi (= subjektivitas). 

Pertemuan kreatif dan kritis antara subjektivitas dan objektivitas ini melahirkan suatu sosok Yesus sejarah yang pada satu segi setia terhadap sumber-sumber tekstual dan material yang dipakai dan yang pada segi lainnya relevan untuk kehidupan beriman kontemporer.

Dengan demikian, setiap pengkajian Yesus sejarah adalah juga sebuah usaha hermeneutik, untuk menemukan Yesus di masa lalu (horison 1) yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan teologis yang diajukan si peneliti terhadap teks-teks yang tersedia, pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari lokasi sosial si peneliti di masa kini (horison 2). 

Pendek kata, dalam kerangka epistemologi interaktif, Yesus sejarah adalah hasil interaksi Yesus di masa lalu (Jesus of Nazareth) dan Yesus yang dibutuhkan di masa kini (the risen Lord; atau the Christ of faith). Suatu interseksi kreatif dan cerdas horison 1 dan horison 2.

Karena itu, Crossan bisa berkata, bahwa Yesus sejarah itu adalah juga Tuhan yang bangkit, “the Historical Jesus as Risen Lord.” 

Bagi Crossan, jalan “iman” untuk menemukan Yesus yang bangkit untuk kehidupan masa kini adalah jalan “penelitian ilmiah” untuk mendapatkan Yesus sejarah yang ajaran-ajaran dan tindakan-tindakannya dapat diikuti dalam kehidupan masa kini. 

Crossan mengekspresikan ini, demikian: 

“Saya hendak katakan bahwa saya tidak lagi dapat membedakan antara doa dan studi. Jika fungsi doa adalah untuk memungkinkan Allah datang kepada anda, maka kini kegiatan meneliti sebagai seorang sarjana (scholarship) adalah tempat di mana itu terjadi pada saya.”/32/ 

Dengan demikian, baginya, di samping melalui “keadilan dan perdamaian, doa dan liturgi, meditasi dan mistisisme”,/33/ usaha merekonstruksi Yesus sejarah adalah juga jalan atau pintu gerbang untuk mengalami perjumpaan dengan Yesus yang bangkit, sang transenden, atau “the Holy as Wholly Other.”/34/

Usaha penelitian Yesus sejarah adalah juga usaha berteologi untuk menemukan potret-potret alternatif tentang Yesus yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan masa kini, yang tidak bisa diberikan oleh konstruksi-konstruksi kristologis yang dihasilkan pada zaman dulu. 

Usaha-usaha penelitian untuk menemukan gambar-gambar alternatif ini memusatkan perhatian pada tradisi-tradisi atau bahan-bahan yang memuat ajaran-ajaran Yesus dan laporan-laporan tentang tindakan-tindakan-Nya; hal-hal yang dikatakan dan diperbuat-Nya dalam masa kehidupan-Nya di dunia ini. 

Kata-kata dan tindakan-tindakan Yesus dalam kehidupan-Nya sebagai manusia yang real dan kongkret di dunia inilah yang sangat kurang diperhatikan oleh Rasul Paulus dan yang sama sekali telah diabaikan dalam perumusan dogma-dogma kristologis pada abad-abad empat dan lima (dogma-dogma Nicea-Konstantinopel dan Khalsedon).



Wajah sejarah itu tidak selalu terang; ada sisi-sisi gelapnya yang perlu diteliti dengan mendalam, lewat ilmu sejarah!


Pendekatan Interdisipliner

Dalam bukunya The Historical Jesus (1991), Crossan memakai pendekatan interdisipliner dalam merekonstruksi Yesus sejarah.
/35/

Pendekatan Crossan mencakup tiga langkah analitis yang semuanya bekerjasama sepenuhnya, seimbang dan saling terkait, untuk menghasilkan suatu sintesis yang kokoh dan efektif. 

Langkah pertama adalah melakukan suatu analisis antropologis lintas-budaya dan lintas-zaman, dengan menerapkan beberapa model dan tipologi antropologis. 

Langkah kedua, melakukan suatu analisis sejarah zaman Hellenistik dan Yunani-Romawi, dengan memakai kajian-kajian sinkronik dan diakronik atas bahan-bahan yang relevan. 

Kedua langkah itu dimaksudkan untuk mendapatkan konteks historis dan kontemporer dan sesudahnya (sampai tahun 70) yang di dalamnya Yesus dapat dengan mantap ditempatkan. 

Langkah ketiga, melakukan suatu analisis tekstual dan literer atas bahan-bahan tentang Yesus; langkah ini paling mendasar sebab “setiap kajian tentang Yesus sejarah akan bertahan atau gugur tergantung pada bagaimana si peneliti menangani langkah analisis literer atas teks yang ada.”/36/

Duabelas tahun sebelum publikasi The Historical Jesus, Crossan telah mengembangkan sebuah metode yang serupa di dalam karyanya Finding Is the First Act (1979). 

Dalam karya yang lebih awal ini, dia menafsirkan perumpamaan Yesus tentang Harta Terpendam (Matius 13:44) dengan memakai pendekatan literer, lintas-budaya, lintas-sejarah, sinkronik-sinoptik, dan dengan memakai tradisi Yahudi lainnya tentang harta terpendam sebagai latarbelakang yang terdekat, dan sebagai latarbelakang yang lebih luas dia memakai seluruh tradisi tentang harta terpendam yang tersedia di dalam kisah-kisah rakyat sedunia, melintasi periode-periode sejarah, kawasan-kawasan geografis, dan jenis-jenis sastra./37/ 

Dalam tahun 1973, Crossan, dalam bukunya, In Parables,/38/ telah menafsir perumpamaan yang sama dan perumpamaan-perumpamaan lainnya, dengan pada umumnya memakai suatu pendekatan diakronik transmisional, dengan menelusuri ke belakang sampai ke bentuk paling awal dari perumpamaan-perumpamaan yang diteliti. 

Dengan memakai kriterion “dissimilarity”, bentuk paling awal dari setiap perumpamaan dinilai autentisitas historisnya, yang dapat dikaitkan pada Yesus sejarah. Pendekatan diakronik-transmisional ini juga dipakainya dalam bukunya In Fragments (1983)./39/

Di dalam karyanya yang diterbitkan 1998, The Birth of Christianity, Crossan memakai metode interdisipliner yang sama. 

Dengan memakai kritik sastra, dia mendapatkan lapisan paling tua dari teks-teks tentang Yesus, yang harus dibedakan dari lapisan-lapisan yang lebih kemudian dan yang paling muda. 

Dengan pendekatan interdisipliner yang mencakup arkeologi kawasan Galilea, sejarah Yahudi-Romawi, dan antropologi lintas-budaya sebagai matriks sosial yang menaungi semuanya, Crossan merekonstruksi gambaran paling tajam dari konteks kehidupan Yesus. 

Interseksi atau pertemuan yang paling jelas dan kokoh, yang bisa dengan meyakinkan diperoleh, antara lapisan tertua teks dan gambaran tertajam konteks Yesus, menjadi sangat mutlak menentukan dalam menilai autentisitas dari isu-isu historis apapun mengenai Yesus dan kelanjutan paling awal dari gerakan-Nya sesudah dan kendati pun Dia sudah dihukum mati. 

Crossan menegaskan bahwa “metodenya mulai bukan dengan teks, tetapi dengan konteks”, sebab konteks yang diperolehnya akan mendisiplinkannya untuk tidak menafsirkan “data hampir semaunya.”/40/ 

Buku mutakhir Crossan tentang Yesus sejarah, yang direkonstruksinya dengan memakai bantuan arkeologi, telah diterbitkan, dengan ditulis bersama arkeolog Jonathan L. Reed, berjudul Excavating Jesus: Beneath the Stones, Behind the Texts./41/


Sumbangan bagi Kehidupan Kristen Masa Kini


Sudah pasti bahwa usaha-usaha para pakar dari berbagai bangsa yang berbiaya mahal untuk meneliti Yesus sejarah selama ini telah dan akan terus memberikan sumbangan-sumbangan penting bagi pembentukan kehidupan Kristen masa kini, kehidupan Kristen perorangan maupun kehidupan gereja-gereja. 


Berikut ini akan diajukan lima pokok pendahuluan penting yang dihasilkan dari kajian-kajian tentang Yesus sejarah yang akan bisa memberi sumbangan penting bagi pembaruan kehidupan Kristen di masa kini, kehidupan internal maupun kehidupan eksternal. Tentu saja masih banyak pokok penting lainnya yang perlu diperhatikan; tetapi untuk sekarang ini, apa yang diberikan berikut ini cukuplah.

Pentingnya Kata-kata dan Perbuatan-perbuatan Yesus bagi Perumusan Kristologi Masa Kini

Perlu ditegaskan kembali bahwa gereja-gereja di Indonesia masa kini umumnya masih kuat berpegang pada kredo-kredo atau pengakuan-pengakuan iman yang dirumuskan pada abad-abad empat dan lima, yang perumusannya mengabaikan sama sekali suatu fakta yang sudah sangat tidak bisa terbantahkan bahwa Yesus itu betul-betul seorang manusia di Bumi ini, yang kata-kata dan tindakan-tindakan-Nya dapat ditemukan kembali dengan lebih dapat diandalkan melalui kajian-kajian Yesus sejarah./42/ 


Pengkajian-pengkajian Yesus sejarah telah memberikan sumbangan penting dan berharga berupa penemuan kembali kekayaan-kekayaan eksistensial, kearifan dan spiritual dari ucapan-ucapan dan tindakan-tindakan Yesus, sebagai wajah insani Allah yang telah menyatakan diri dalam pentas sejarah dunia ini.

Ucapan-ucapan dan tindakan-tindakan Yesus semasa Dia hidup―bukan hanya kematian dan kebangkitan-Nya, dan juga bukan hanya “kepraadaannya”―juga mampu membawa orang ke dalam pengalaman-pengalaman keselamatan, pengalaman pertemuan dengan Allah, sang Bapa yang diberitakan Yesus, yang mendatangkan pembebasan dan pembaruan kehidupan. 

Untuk merumuskan kredo-kredo atau pengakuan-pengakuan iman Kristen dan kristologi-kristologi masa kini, ucapan-ucapan dan tindakan-tindakan Yesus jelas perlu diperhatikan dengan bersungguh-sungguh. 

Seperti diingatkan Stephen J. Patterson, “Apa yang membuat Yesus, dan agama Yesus, unik dan mendesak, adalah tidak lain daripada kata-kata yang Dia ucapkan dan hal-hal yang Dia kerjakan.” /43/ 

Tentu saja, suatu figur Yesus yang muncul dari kajian-kajian Yesus sejarah ini akan secara radikal berbeda dari figur yang ditampilkan oleh bahasa-bahasa konfesional yang termuat di dalam kredo-kredo Kristen zaman abad-abad pertama./44/

Ada alat-alat bantu yang praktis untuk menemukan mana ucapan-ucapan yang betul-betul Yesus ucapkan, dan mana tindakan-tindakan atau peristiwa-peristiwa yang betul-betul dilakukan dan dialami-Nya. Yakni dua buku tebal yang diterbitkan oleh the Jesus Seminar. 

Seperti sudah dicatat di atas, buku yang pertama adalah buku The Five Gospels yang kini sudah dilengkapi dengan buku kedua, The Acts of Jesus./45/ Yang pertama, fokusnya adalah ucapan-ucapan Yesus; yang kedua, tindakan-tindakan Yesus.

Dalam buku The Five Gospels, semua ucapan Yesus yang terdapat dalam Injil-injil Markus, Matius, Lukas, Yohanes dan Injil Thomas diberi salah satu warna dari empat warna ini: merah, merah muda, abu-abu, dan hitam. 

Warna “merah” (red) berarti Yesus pasti mengatakan hal ini atau sesuatu yang sangat menyamai ini; warna “merah muda” (pink) berarti Yesus mungkin sekali mengatakan sesuatu seperti ini; warna “abu-abu” (gray) menunjukkan Yesus tidak mengatakan hal ini, tetapi gagasan-gagasan yang terdapat di dalamnya dekat dengan gagasan-gagasannya sendiri; warna “hitam” (black) menyatakan Yesus sama sekali tidak mengatakan hal ini; ucapan-ucapan yang termuat di situ menampilkan pandangan atau isi dari suatu tradisi yang berbeda atau yang lebih kemudian./46/ 

Untuk lebih mudah diingat, warna “merah” dapat diungkapkan sebagai “Itulah Yesus!”; warna “merah muda”, sebagai “Ya, kedengaran seperti Yesus!”; warna “abu-abu” sebagai “Ya, mungkin.”; warna “hitam” sebagai “Telah terjadi kesalahan.”/47/

Dalam buku The Acts of Jesus, semua peristiwa dan tindakan Yesus, dan kejadian-kejadian lainnya apa pun yang terjadi dalam kaitan dengan kisah-kisah tentang Yesus, juga diberi warna-warni, seperti dalam The Five Gospels

Selain berisi Injil-injil Markus, Matius, Lukas, Yohanes dan Injil Thomas, The Acts of Jesus memuat juga Injil Q dan Injil Petrus, serta kisah-kisah intrakanonik dan ekstrakanonik tentang kubur kosong, penampakan serta kenaikan Yesus sesudah kematian-Nya, dan kisah-kisah kelahiran dan masa kanak-kanak Yesus. 

Dalam The Acts Jesus, warna “merah” menunjukkan bahwa bagian ini memuat informasi yang kesejarahannya dapat dipercaya dan pasti karena didukung oleh bukti yang berlimpah; warna “merah muda” berarti bahwa bagian ini memuat informasi yang kesejarahannya mungkin dapat dipercaya; informasi ini cocok dengan bukti lain yang dapat diperiksa; warna “abu-abu” menunjukkan bahwa informasi ini mungkin saja tetapi tidak dapat dipercaya, sebab kekurangan bukti pendukung; warna “hitam” menegaskan bahwa informasinya sama sekali tidak mungkin; tidak cocok dengan bukti yang dapat diperiksa; sebagian besar atau seluruhnya fiktif./48/

Tentu saja, sebagai karya-karya ilmiah, kedua buku tebal ini tidak boleh diperlakukan, seperti diingatkan Marcus J. Borg, sebagai kata-kata final yang sudah menyelesaikan segala perkara yang berkaitan dengan Yesus./49/ 

Paling tidak, kedua buku itu dapat digunakan untuk “menimbulkan kesadaran yang lebih besar di antara warga gereja mengenai penelitian ilmiah terhadap Alkitab dan untuk memulai suatu percakapan serius di antara orang-orang Kristen tentang apa itu Alkitab”; atau, dengan kata lain, kedua buku ini dapat berfungsi sebagai sarana-sarana bagi warga gereja untuk mereka dapat menjadi Kristen sekaligus cerdas dan paham apa itu Alkitab./50/

Alkitab Harus Dipahami Lain

Metodologi penelitian lintasilmu yang dikembangkan dalam pengkajian Yesus sejarah, prapaham-prapaham yang dipakai mengenai hubungan antara kitab-kitab Injil, kriteria penentuan autentisitas bahan-bahan tentang Yesus, serta pemakaian luas sumber-sumber ekstrakanonik, menimbulkan implikasi-implikasi luas terhadap pemahaman tradisional tentang apa itu Alkitab./51/ 


Pandangan bahwa Alkitab adalah firman Tuhan yang tidak bisa berisi kesalahan apapun dalam bidang apa pun (doktrin inerrancy of the Bible), jelas sudah meninggalkan terlalu jauh apa hakikat Alkitab yang sebenarnya itu, yakni kumpulan beranekaragam teologi yang dibuat oleh umat Israel kuno dan gereja-gereja perdana. 

Pembatasan isi Alkitab dalam 66 kitab sebagai kanon juga harus diperhadapkan pada kenyataan bahwa ada sekian informasi autentik tentang Yesus yang juga bisa diperoleh dari luar Perjanjian Baru. 

Tentu saja, pembatasan jumlah kitab dalam kanon ada manfaat praktisnya, yakni mencegah kesimpangsiuran sumber-sumber ajaran. Tetapi kenyataan bahwa kajian-kajian Yesus sejarah juga memakai sumber-sumber di luar kanon Kitab Suci setidaknya membuat orang dapat bertanya, apakah tidak dimungkinkan bagi gereja-gereja Protestan untuk memperluas sedikit jumlah kitab dalam kanon Kitab Suci mereka.

Superiorisme dan Triumfalisme Kristen Ditumbangkan

Sangat relevan untuk merenungi kembali posisi kekristenan di hadapan agama-agama dunia lainnya. 


Kalau diperhatikan, ternyata hampir semua ucapan Yesus dalam Injil Yohanes dalam The Five Gospels diberi warna “hitam”; padahal Injil ini adalah Injil yang paling disukai kalangan Kristen superior dan triumfalistis. 

Hanya Yohanes 4:44 (“Seorang nabi tidak dihormati di negerinya sendiri”) diberi warna “merah muda”; Yohanes 12:24-25 diwarnai “abu-abu”; dan Yohanes 13:20 juga mendapat warna “abu-abu.” 

Nas triumfalistik dan eksklusif seperti Yohanes 14:6 tentang Yesus sebagai satu-satunya jalan menuju Allah jelas diberi warna “hitam”; artinya Yesus sama sekali tidak mengucapkan kata-kata di situ. 

Dalam buku yang sama, nas triumfalistis, ekspansionistis dan proselitis Matius 28:18-20 juga diberi warna hitam; artinya nas ini bukan berasal dari Yesus. 

Data ini menunjukkan bahwa superiorisme, triumfalisme, eksklusivisme dan praktek-praktek proselitisasi Kristen sama sekali tidak berdasar pada kehidupan Yesus orang Nazareth. 

Selain itu, kajian tentang Yesus sejarah juga berhasil mengungkapkan bahwa Yesus dalam seluruh ajaran dan kehidupan-Nya tidak memberitakan diri-Nya sendiri, melainkan seluruh pengajaran dan tindakannya dipusatkan-Nya pada pemerintahan atau kerajaan kerahiman Allah, sang Abba, yang diberitakan dan diperlihatkan-Nya sedang mendatangi orang banyak yang mengikut-Nya dan mau menerima undangan-undangan-Nya untuk masuk ke dalam pemerintahan ini. Pemerintahan kerahiman ilahi membentuk jati diri Yesus orang Nazareth sebagai the compassionate Lord. 

Dengan demikian, dengan berpusat pada pemerintahan kerahiman ilahi ini, dan dengan meninggalkan superiorisme, triumfalisme, eksklusivisme dan praktek-praktek proselitisasi Kristen, setiap orang Kristen masa kini bisa menjadi mitra-mitra yang rendah hati dan terbuka dalam kegiatan-kegiatan dialog antaragama, yang akan bermuara pada usaha-usaha bersama untuk membawa umat manusia di dunia ini ke dalam perjumpaan dengan Allah yang sedang memerintah dalam kerahiman-Nya.

Pentingnya Kehidupan di Masa Kini dan di Dunia Ini

Kajian-kajian Yesus sejarah yang diadakan oleh Jesus Seminar telah membuktikan bahwa dalam masa pelayanan-Nya, Yesus dari Nazareth menekankan respon manusia kepada Allah yang sedang memerintah dengan kerahiman-Nya di dalam dunia manusia sekarang ini. Visi eskatologis apokaliptis tentang masuknya manusia ke “sorga” sebagai suatu “dunia lain” di masa depan di akhir sejarah dunia, bukanlah visi Yesus sejarah./52/ 


Dengan berita-Nya yang diwujudkan dalam kiprah-kiprah-Nya bahwa Allah kini sedang memerintah dalam kerahiman-Nya di dunia ini, Yesus telah membetot “sorga” dari tempatnya di atas dan di masa depan, lalu membawanya masuk ke dalam dunia bagi kehidupan masa kini. 

Para pengikut Yesus tidak diminta-Nya untuk menunggu intervensi akhir Allah di ujung waktu, tetapi didorong untuk ambil-bagian aktif di dalam pemerintahan Allah yang sedang datang dalam dunia ini. 

Visi etikal Yesus yang semacam ini (dinamakan sapiential eschatology) tentu akan mendorong setiap orang Kristen untuk memandang penting kehidupan di masa kini di dunia ini, sebagai kesempatan berharga satu-satunya untuk mengalami dan meneruskan pengalaman hidup dalam pemerintahan kerahiman Allah. 

Dunia masa kini sudah begitu dipenuhi banyak persoalan yang sama sekali tidak bisa diselesaikan hanya oleh pandangan ke atas, ke “sorga”, yang akan dimasuki di masa depan di akhir sejarah dunia; ini adalah eskapisme dangkal yang egoistik dan kekanak-kanakan. 

Tetapi persoalan-persoalan dunia ini ini akan dapat dikurangi dengan cukup berarti jika setiap orang Kristen, dalam mengikut Yesus sejarah, menaruh perhatian penuh pada tanggungjawab etikal untuk mendatangkan perbaikan-perbaikan dan perubahan-perubahan dalam dunia ini, seiring dengan pekerjaan kerahiman Allah di dalam dunia ini sekarang ini. 

Suatu kredo atau pengakuan iman Kristen yang baik adalah suatu kredo yang salah satu unsurnya adalah pengakuan akan pentingnya kehidupan masa kini di dunia ini sekarang ini, yang bukan hanya menekankan kepercayaan pada kebangkitan orang mati di akhir zaman.

Yesus itu manusia, Utusan Allah

Seluruh pengkajian Yesus sejarah bermuara pada ditemukannya kembali Yesus sebagai seorang manusia, yang hidup di Palestina pada pertigaan pertama abad pertama Masehi; Yesus sebagai seorang manusia yang karena menaruh komitmen penuh pada kehadiran Allah dalam dunia masa kini, mengisi kehidupan-Nya dengan menabur kasih dan kerahiman ilahi kepada semua orang, khususnya kepada orang-orang yang dalam masyarakat Yahudi zaman Yesus disingkirkan sebagai orang-orang rendahan dan terbuang. 


Visi dan program manusia Yesus untuk mendatangkan dan mewujudkan kerahiman dan kerahmanian dan kebaikan ilahi bagi semua orang adalah juga visi dan program agama-agama luhur untuk menebar kerahiman dan kebahagiaan ilahi bagi seluruh alam, bagi semua makhluk. 

Jadi, misalnya, jika umat Islam di Indonesia berkepentingan untuk makin mengenal manusia yang bernama Isa Al-Masih, maka mereka dan orang-orang Kristen akan bisa membangun hubungan yang lebih bermutu jika orang-orang Kristen juga menaruh perhatian penuh pada Yesus orang Nazareth, yang kata-kata dan perbuatan-perbuatan-Nya sedang ditemukan kembali dalam pengkajian-pengkajian ilmiah terhadap Yesus sejarah.

Perlu diketahui, Marcus J. Borg, salah seorang anggota Jesus Seminar, telah menulis buku Jesus and Buddha: The Parallel Sayings, yang memperlihatkan kesejajaran banyak ucapan Yesus dengan ucapan-ucapan Gautama Buddha./53/ 

Nah, kajian Yesus sejarah membuka pintu makin lebar untuk perjumpaan Yesus orang Nazareth dengan banyak figur besar dalam dunia agama-agama.

Akhir kata, beberapa kata musti ditulis, kata-kata yang sangat mengejutkan, dan karenanya sangat penting. 

Ini: Jika Yesus Kristus bukan sosok sejarah, bukan seorang manusia alamiah, maka kekristenan tidak akan pernah dilahirkan dalam dunia ini, dan gereja-gereja tidak akan pernah didirikan di seluruh dunia. If Jesus Christ was not a figure of history, a natural man, then Christianity would never be born in this world, and churches would never be established all over the world.

Tentu saja setiap agama dalam dunia ini memerlukan bukan hanya fakta-fakta sejarah, tetapi juga kepercayaan-kepercayaan yang dirumuskan dalam dogma-dogma dan kredo-kredo. Dogma dan kredo tidak bisa tidak ada. Jika dogma dan kredo lama menjadi usang, maka akan dikonstruksi dogma dan kredo baru yang relevan dan menjawab tantangan di zaman dan tempat yang berbeda. 

Ukurannya yang terpenting ini: Dogma dan kredo yang baik akan menghasilkan umat yang berkelakuan dan menghayati gaya hidup yang baik pula. Dari buahnya, kita mengenal pohon dan akarnya.    


Catatan-catatan

/1/ Dari kata Jerman Quelle = “sumber”, yaitu Injil yang berisi hanya ucapan-ucapan Yesus, yang digunakan bersama oleh Matius dan Lukas, di samping mereka juga memakai Markus sebagai sumber utama. 

Isi Q dapat direkonstruksi dari ucapan-ucapan Yesus yang pararel yang terdapat baik dalam Injil Matius maupun dalam Injil Lukas. Di dalam Injil Q, tidak terdapat kisah kesengsaraan dan kisah kebangkitan Yesus. Keselamatan dihayati sebagai pembebasan yang didatangkan oleh ucapan-ucapan hikmat Yesus.

/2/ Tentang ini, lihat John P. Meier, A Marginal Jew: Rethinking the Historical Jesus. Volume 1: The Roots of the Problem and the Person (New York, etc.: Doubleday, 1991) 45-47; Gerd Theissen & Annette Merz, The Historical Jesus: A Comprehensive Guide (E.T. by John Bowden; Minneapolis: Fortress Press, 1998) 54f.; lihat juga usaha untuk membandingkan dan mengaitkan Yesus dengan Paulus dalam David Wenham, Paul: Follower of Jesus or Founder of Christianity? (Grand Rapids/Michigan: W. B. Eerdmans, 1995).

/3/ Untuk Surat Yakobus, lihat Helmut Koester, Ancient Christian Gospels: Their History and Development (London/Philadelphia: SCM Press/Trinity Press International, 1990) 71-75; untuk 1 Petrus, lihat Koester, Ancient, 64-66.

/4/ John P. Meier, A Marginal Jew, 47.

/5/ Lih. James M. Robinson, ed., The Nag Hammadi Library in English (revised edition; San Francisco: Harper & Row, 19903) 124-138.

/6/ Theissen & Merz, Historical Jesus, 37-41.

/7/ Robert W. Funk, Roy A. Hooever and the Jesus Seminar, The Five Gospels. The Search for the Authentic Words of Jesus (Polebridge Press Book; New York/Don Mills, Ontario: Macmillan Publishing Co., 1993).

/8/ James M. Robinson, ed., Nag Hammadi Library, 29-37.

/9/ James M. Robinson, ed., Nag Hammadi Library, 244-255.

/10/ James M. Robinson, ed., Nag Hammadi Library, 208-219; Theissen & Merz, Historical Jesus, 42-43.
 

/11/ Lihat Theissen & Merz, Historical Jesus, 36-37.

/12/ Lihat Theissen & Merz, Historical Jesus, 43-51; Robert J. Miller, ed., The Complete Gospels. Annotated Scholars Version (Sonoma, California: Polebridge Press, 1994) 399-421; Wilhelm Schneemelcher & R. McL. Wilson, eds., New Testament Apocrypha. Vol. I: Gospels and Related Writings (Cambridge/ Louisville: James Clarke/ Westminster/ John Knox Press, 1991) 94-95, 96-99, 106-109, 216-227.

/13/ Theissen & Merz, Historical Jesus, 51-54.

/14/ Tentang tiga Injil Kristen Yahudi ini, lihat Philipp Vielhauer and Georg Stecker, dalam Wilhelm Schneemelcher & R. McL. Wilson, eds., New Testament Apocrypha, 153-178; Robert J. Miller, ed., The Complete Gospels, 425-446.

/15/ Tentang ini, lihat Theissen & Merz, Historical Jesus, 56-58.

/16/ Lihat: Ulrich H.J. Körtner, Papias von Hierapolis: Ein Beitrag zur Geschichte des frühen Christentums (Göttingen: Vandenhoeck & Ruprecht, 1983) 159, 182-184. 

Untuk teks lengkap fragmen Papias dalam Eusebius, Hist. Eccl. III, 39.1-17, dan komentar atas teks ini, lihat Josef Khrzinger, Papias von Hierapolis und die Evangelien des Neuen Testaments (Eichstätter Materialien Band 4; Abteilung Philosophie und Theologie; Regensburg: Verlag Friedrich Pustet, 1983) 98-103; Körtner, Papias von Hierapolis, 54-59, 78-79, 114-132, 144-150, 182-184. Teks Papias dalam bahasa Yunani (dari Hist. Eccl. III, 39. 1-7, 14-17) telah dimasukkan ke dalam Synopsis Quattuor Evangeliorum (ed. Kurt Aland; Stuttgart: Deutsche Bibelgesellschaft, 1995 (cet. 14) [1963 (cet.1)]) 531.

/17/ Tentang tradisi-tradisi mengenai Yesus di dalam surat 1 Klemen yang tidak bergantung kepada Injil-injil Sinoptik, lihat lebih jauh Koester, Ancient, 66-71.

/18/ Lihat teks Yunaninya dalam Josephus: Jewish Antiquities, Buku XVIII-XX, diterjemahkan, disunting dan dianotasi Louis H. Feldman (Cambridge, Massachusetts/ London: Harvard Univ. Press/William Heinemann, 1969 [19651]) 48-51, dalam Loeb Classical Library (LCL) 9 (9 vols; diterjemahkan, disunting dan dianotasi oleh Henry St. John Thackeray, Ralph Marcus, Allen Wikgren dan Louis H. Feldman). 

Lihat juga Louis. H. Feldman, “Flavius Josephus Revisited: the Man, His Writings, and His Significance”, Aufstieg und Niedergang der römischen Welt II. 21.2, ed. W. Haase & H. Temporini (Berlin/New York: de Gruyter, 1984) 763-862. 

Lihat pembahasan perihal autentisitas rujukan-rujukan Yosefus terhadap Yesus ini dalam Theissen & Merz, Historical Jesus, 64-74; Meier, A Marginal Jew, 56-88; idem, “Jesus in Josephus: A Modest Proposal”, Catholic Biblical Quarterly 52 (1990) 76-103, khususnya 81f.; bdk. Zvi Baras, “Testimonium Flavianum: The State of Recent Scholarship”, dalam Michael Avi-Yonah and Zvi Baras (eds), Society and Religion in the Second Temple Period (London: W.H. Allen, 1977) 303-13, 378-85; idem, “The Testimonium Flavianum and the Martyrdom of James” in Louis H. Feldman and Gohei Hata (eds.), Josephus, Judaism and Christianity (Leiden: E.J. Brill, 1987) 338-348, khususnya 339; Steve Mason, Josephus and the New Testament (Peabody, Massachusetts: Hendrickson, 1992) 163-175.

/19/ Gabungan tradisi-tradisi lisan para rabbi Yahudi disebut “Mishna” dan tafsiran-tafsiran atas Mishna itu disebut “Gemara”.

/20/ Penilaian atas historisitas sumber rabbinik ini, lihat Theissen & Merz, Historical Jesus, 74-76.

/21/ Lihat Theissen & Merz, Historical Jesus, 79-84.

/22/ Meier, A Marginal Jew, 92.

/23/ Tentang pokok ini, lihat antara lain: M. Eugene Boring, “The Historical-Critical Method’s ‘Criteria of Authenticity’: The Beatitudes in Q and Thomas as A Test Case”, Semeia 44 (1988) 9-44; Dennis Polkow, “Method and Criteria for Historical Jesus Research”, Society of Biblical Literature 1987 Seminar Papers No. 26, ed. Kent H. Richards (Atlanta, Georgia: Scholars Press, 1987) 336-356; Robert H. Stein, “The ‘Criteria’ for Authenticity” in R. T. France & David Wenham, eds., Gospel Perspectives: Studies of History and Tradition in the Four Gospels, volume 1 (Sheffield: JSOT, 19832) 225-263; John P. Meier, A Marginal Jew, 167-195.

/24/ John D. Crossan, The Historical Jesus: The Life of a Mediterranean Jewish Peasant (New York: HarperCollins, 1992) 427-450.

/25/ Tentang ini, lihat juga Crossan, “Divine Immediacy and Human Immediacy: Towards a New First Principle in Historical Jesus Research”, Semeia 44 (1988) 125 [121-140], idem, “Aphorism in Discourse and Narrative”, Semeia 43 (1988) 134 [121-140]; idem, “Materials and Methods in Historical Jesus Research” in Forum 4/4 (1988) 11 [3-24].

/26/ Lihat Crossan, The Birth of Christianity: Discovering What Happened in the Years Immediately After the Execution of Jesus (New York: HarperCollins, 1998) 40-46, 211-213; idem, “Historical Jesus as Risen Lord” di dalam Crossan, Luke Timothy Johnson, dan Werner H. Kelber, The Jesus Controversy: Perspectives in Conflict (Harrisburg, PA: 1999) 3; idem, The Dark Interval. Towards a Theology of Story (Niles, Illinois: Argus Communications, 1975) 37; bdk. idem, A Fragile Craft: The Work of Amos Niven Wilder (SBL # 3, Centennial 1980; Chico, CA: Scholar Press, 1981) 69.

/27/ “Materials and Methods in Historical Jesus Research,” Forum 4/4 (1988) 10.

/28/ John P. Meier, “Dividing Lines in Jesus Research Today” in Interpretation 50/4 (1996) 356 [355-372].

/29/ N.T. Wright, “Doing Justice to Jesus. A Response to J. D. Crossan: ‘What Victory? What God?’” dalam Scottish Journal of Theology 50:3 (1997) 363 [ 359-379]; bdk. idem, Jesus and the Victory of God; vol. 2 of Christian Origins and the Question of God (Minneapolis: Fortress, 1996) 51, 51n. 107. Buku ini telah dipopularisasikan dengan judul The Challenge of Jesus. Rediscovering Who Jesus Was and Is (Downers Grove, Illinois: IVP, 1999); lihat juga Wright, Who Was Jesus? (London: SPCK, 19932 [1992]) khususnya 93-103. 

/30/ M. Eugene Boring, “The ‘Third Quest’ and the Apostolic Faith,” 347.

/31/ John S. Kloppenborg Verbin, “The Life and Sayings of Jesus” in The New Testament Today, ed. Mark Allan Powell (Louisville: Westminster John Knox Press, 1999) 18. 

Demikian pula, Kloppenborg menyatakan bahwa tidak ada “hubungan unidireksional antara fase teknis memilah-milah tradisi tentang Yesus sejarah dan usaha-usaha rekonstruksi untuk menghasilkan potret-potret gabungan; dalam praktek yang sebenarnya, orang tidak pernah masuk ke dalam fase teknis ini tabula rasa, dan, sebaliknya, hasil-hasil dari kritik sejarah memiliki potensi untuk mempengaruhi komitmen-komitmen ideologis seseorang.” (28 n. 37).

/32/ Crossan in Who Is Jesus? Answers to Your Questions about the Historical Jesus (Louisville, Kentucky: Westminster John Knox Press,1996) 142.

/33/ Crossan, Birth of Christianity, 39.

/34/ Crossan, Raid on the Articulate. Comic Eschatology in Jesus and Borges (New York, etc.: Harper & Row, 1976) 43-50. Lihat juga, Crossan, Finding Is the First Act: Trove Folktales and Jesus’ Treasure Parable (Semeia Supplements 9. Philadelphia/ Missoula: Fortress Press/Scholar Press, 1979) 4; idem, The Dark Interval. Towards a Theology of Story (Niles, Illinois: Argus Communications, 1975) 38-50.

/35/ Historical Jesus, xxviii-xxxiv.

/36/ Historical Jesus, xxix.

/37/ Crossan, Finding Is the First Act.

/38/ Crossan, In Parables: The Challenge of the Historical Jesus (New York: Haper & Row, 19731; Sonoma, California: Polebridge Press, 1992) 37, 38, 53, 81.

/39/ Crossan, In Fragments. The Aphorisms of Jesus (San Francisco: Harper & Row, 1983), khususnya 29-34.

/40/ Birth of Christianity, 213.

/41/ Crossan and Jonathan L. Reed, Excavating Jesus: Beneath the Stones, Behind the Texts (SanFrancisco: HarperSanFrancisco, 2001).

/42/ Bdk. Charles W. Hedrick, “The ‘Good News’ about the Historical Jesus”, dalam the Jesus Seminar, The Historical Jesus Goes to Church (Santa Rosa, CA: Polebridge Press, 2004) 95 [91-103].

/43/ Stephen J. Patterson, “If You Give a Mouse a Cookie ... What the Quest Holds in Store for the Church” dalam the Jesus Seminar, Historical Jesus Goes, 40 [31-41, 124-125].

/44/ Roy W. Hoover, “The Art of Gaining and Losing Everything” di dalam the Jesus Seminar, Historical Jesus Goes, 16 [11-29, 123-124].

/45/ Robert W. Funk dan the Jesus Seminar, The Acts of Jesus: What Did Jesus Really Do? The Search for the Authentic Deeds of Jesus (SanFrancisco: HarperSanFrancisco, 1998).

/46/ Robert J. Miller, The Jesus Seminar and Its Critics (Santa Rosa, CA: Polebridge Press, 1999) 48; Funk dan the Jesus Seminar, Five Gospels, 36.

/47/ Funk dan the Jesus Seminar, Five Gospels, 37; Marcus J. Borg, “The Jesus Seminar and the Church”, bab 8 dari bukunya, Jesus in Contemporary Scholarship (Harrisburg, PA: Trinity Press International) 162.

/48/ Funk dan the Jesus Seminar, Acts of Jesus, 36-37.

/49/ Marcus J. Borg, Jesus in Contemporary Scholarship, 172.

/50/ Marcus J. Borg, Jesus in Contemporary Scholarship, 178.

/51/ Lihat Stephen J. Patterson, “If You Give a Mouse a Cookie” dalam the Jesus Seminar, Historical Jesus Goes, 32-35 [31-41, 124-125].

/52/ Perdebatan tentang pokok ini antara para pakar dalam the Jesus Seminar dan seorang pakar lain di luarnya, lihat Robert J. Miller, ed., The Apocalyptic Jesus: A Debate (Santa Rosa, CA: Polebridge Press, 2001).

/53/ Marcus J. Borg, Jesus and Buddha: The Parallel Sayings (Ulysses Press; edisi cetak ulang 1999). Lihat juga Richard Hooper, Jesus, Buddha, Krishna and Lao Tzu: The Parallel Sayings (Hampton Roads Publishing; edisi cetak ulang 2012).

Tuesday, January 22, 2008

Dari Epistemologi Historis, Kembali ke Makam Yesus

Catatan pengantar
 
Tulisan di bawah ini adalah sebuah tanggapan Ioanes Rakhmat terhadap tulisan Yonky Karman (YK), Menimbang Historiografi Keagamaan, dan tulisan Deshi Ramadhani (DR), Mendisiplinkan Faktualitas Makam Yesus. Tulisan-tulisan YK dan DR ini (yang dapat diminta langsung pada penulis masing-masing) merupakan tanggapan-tanggapan terhadap tulisan Ioanes Rakhmat sebelumnya, Penulisan Sejarah dan Penelitian Makam Keluarga Yesus, yang telah terbit dalam lembaran Bentara Kompas 31 Mei 2007. Karena pertimbangan-pertimbangan tertentu, pihak Kompas sampai kini (22 Januari 2008) belum bisa menerbitkan ketiga tulisan ini.


Tanggapan terhadap YK

Dalam tulisan tanggapannya, YK tampak jelas menyatakan bahwa saya memandang sejarah bisa ditulis objektif seratus persen, yang menurutnya tidak mungkin bisa dilakukan karena dalam penulisan sejarah prasuposisi si sejarawan selalu berperan. Hemat saya, dalam hal ini YK telah tidak cermat membaca tulisan saya yang lalu (Kompas, 31 Mei 2007), yang di dalamnya dengan terang saya menyatakan, “[J]elas tidak ada uraian sejarah yang objektif sepenuhnya, dan selalu akan ada faktor subyektif dari si sejarawan yang ikut berperan.” YK dengan tajam juga menyatakan, “Penganjur Yesus sejarah mengklaim berhasil merekonstruksi Yesus yang historis dan objektif. Padahal, rekonstruksi itu didorong isu-isu kontroversial di masa modern, bukan kontroversi religius dan politis semasa Yesus hidup. Kontroversi modern dimasukkan ke dalam rekonstruksi itu. Yesus dikeluarkan dari lingkungan sosial-Nya dan masuk ke dalam perdebatan modern.” Hemat saya, pernyataan tajam YK ini menunjukkan dirinya tidak mengetahui betul apa yang telah dan sedang dilakukan oleh para peneliti Yesus sejarah dewasa ini.

Para peneliti Yesus sejarah dengan reputasi internasional pada masa kini sudah lama meninggalkan epistemologi objektivis positivis (atau historisisme) dalam usaha-usaha merekonstruksi Yesus yang hidup di masa lalu. Dengan epistemologi objektivis ini, si sejarawan akan mengklaim dapat dengan objektif seratus persen merekonstruksi peristiwa-peristiwa sejarah di masa lalu, tanpa keterlibatan subjektif dirinya di dalamnya. Begitu juga, epistemologi subjektivis (atau fenomenalisme atau narcissisme atau solipsisme historis) sudah tidak diterima lagi. Dengan epistemologi subjektivis ini, semua rekonstruksi sejarah akan dipandang hanya sebagai proyeksi dari lokasi sosial dan kepentingan-kepentingan sosio-politis kultural dan religius si sejarawan sendiri. Inilah yang dituduhkan YK di dalam pernyataannya di atas.

Tuduhan ini, sekali lagi, sama sekali salah sasaran. Para peneliti Yesus sejarah masa kini dengan sadar memegang epistemologi pasca-modernis yang disebut realisme kritikal atau interaktivisme atau relasionisme atau dialektika historis. Dengan epistemologi interaktivis ini, sesuai dengan namanya, setiap rekonstruksi peristiwa di masa lampau dipandang dihasilkan dari interaksi berimbang antara fakta-fakta sejarah objektif di masa lalu dan faktor-faktor subjektif dari si sejarawan sendiri (antara lain, lokasi sosialnya, prasuposisi teologis dan ideologisnya, metodologi penelitian yang dipakainya, serta kriteria otentisitas yang dipilihnya untuk memilah-milah bahan bukti literer tekstual maupun bahan bukti material). Dengan epistemologi interaktivis ini, objektivitas dan subjektivitas berdialektika menghasilkan potret-potret sejarah. Si sejarawan perekonstruksi Yesus sejarah yang memakai epistemologi interaktivis ini akan bersungguh-sungguh berupaya memasuki dunia sosial dan sistem sosial yang di dalamnya Yesus dari Nazaret dulu hidup dan berkarya. Usaha sungguh-sungguh ini tampak antara lain di dalam pemakaian pendekatan lintasilmu yang melibatkan antara lain antropologi lintasbudaya dan lintaszaman, sosiologi, arkeologi, ilmu sejarah dan kajian-kajian literer tekstual. Usaha serius lintasilmu ini diikuti kesadaran penuh si sejarawan untuk menghindarkan diri dari bahaya anakronisme dan etnosentrisme yang bisa timbul dari subjektivitas si sejarawan yang terlalu besar.

YK menekankan bahwa semua kisah Injil tentang mukjizat harus dilihat sebagai kisah-kisah sejarah, bukan semata-mata sebagai kisah-kisah teologis dengan kerugma atau pesan teologis. YK ingin menjadikan teologi Kristen sebagai historiografi Kristen, dan karena itu ia bisa berkata-kata tentang “historiografi injil kanonis” (sementara, kebanyakan pakar biasa menulis “teologi Injil kanonis”). Memasukkan teologi ke dalam historiografi sudah tidak bisa dilakukan lagi dalam historiografi modern, seperti saya sudah tegaskan dalam tulisan yang lalu. Tetapi baiklah, kita turuti saja kemauan YK ini, lalu kita akan sama-sama lihat apa akibat-akibatnya. Sebagai contoh baiklah kita ambil Matius 27:52-53, yang teksnya berbunyi demikian, “… dan kuburan-kuburan terbuka dan banyak orang kudus yang telah meninggal bangkit. Dan sesudah kebangkitan Yesus, merekapun keluar dari kubur, lalu masuk ke kota kudus dan menampakkan diri kepada banyak orang.” Nah, kalau berita Matius ini dipandang sebagai sejarah faktual, bukan teologi, apakah kita siap secara intelektual untuk membayangkan peristiwa yang menyeramkan ini pernah terjadi? Sebaliknya, kalau catatan Matius ini kita dekati menurut literary genre-nya sebagai gambaran apokaliptik kebangkitan Yesus, pesan teologisnya akan dapat kita peroleh dengan baik.

Lalu, ada satu akibat lainnya. Kalau mukjizat-mukjizat dimasukkan ke dalam sejarah sebagai peristiwa-peristiwa sejarah, dan menjadi bagian dari sejarah empiris insani dan natural, semua mukjizat itu tidak bisa hanya sekadar diimani, tetapi harus tunduk pada penelitian-penelitian rasional objektif empiris dan laboratoris, untuk dapat diketahui apakah memang dapat terjadi atau tidak dapat terjadi, seperti biasa dilakukan kepada segala bentuk peristiwa dalam sejarah! Jika mukjizat-mukjizat menjadi bagian dari sejarah, semua mukjizat ini juga harus tunduk kepada hukum-hukum logika naturalis historis dan harus dapat diulang di waktu-waktu lain dan di tempat-tempat yang berbeda. Apakah YK siap dengan ini?

Satu catatan terakhir untuk YK. Saya tidak tahu bagaimana mendamaikan dua pernyataan pertama YK berikut ini dengan sebuah pernyataan berikutnya lagi: “Memang Injil bersifat biografis dan sarat dengan propaganda, namun itu tidak berarti tanpa referensi historis.”; “Karena itu, narasi Injil tidak murni sejarah dan tidak boleh dibaca seperti membaca liputan di surat kabar.”; “Namun, genre sastra injil lebih tepat disebut narasi sejarah (narrated history).” Adalah kewajiban YK, untuk menunjukkan di dalam Injil-injil kanonis mana unsur-unsur “biografi”-nya, mana unsur-unsur “propaganda”-nya, mana unsur-unsur “tidak murni sejarah”-nya, dan mana yang narrated history-nya, sementara dia telah menegaskan bahwa dalam “historiografi injil kanonis” teologi adalah bagian dari sejarah. Apakah YK mampu menunjukkan unsur-unsur yang sudah disebutnya ini?

Tanggapan terhadap DR 

Pertama, penyejajaran novel Dan Brown, The Da Vinci Code (DVC), dengan penemuan dan pengkajian prosopografis makam keluarga Yesus adalah sebuah kesalahan sangat serius dalam mengenal jenis masing-masing subjek. DVC jelas adalah sebuah novel fiksi; sedangkan penemuan dan penelitian makam keluarga Yesus adalah sebuah temuan objektif arkeologis dan kajian saintifik lintasilmu yang masih sedang berlangsung.

Kedua, baik Simcha Jacobovici maupun James Cameron, bukanlah para sejarawan, bukanlah para pakar sains, melainkan para pembuat film. Sebagai para pembuat film tanpa training dalam penulisan sejarah, mereka tidak bisa dipaksa untuk menjadi sejarawan. Interpretasi yang sehat atas karya mereka yang berupa sebuah film dokumenter The Lost Tomb of Jesus harus bisa memperlihatkan di mana kekuatan film mereka dan di mana kelemahannya, di mana fakta dan di mana fiksinya.

Ketiga, ketika mengulas dokumen Kisah Filipus (Acts of Philip) minat Bovon bukanlah pada rekonstruksi historis kehidupan Mariamne yang, dalam Kisah Filipus, adalah sebutan untuk Maria Magdalena, melainkan pada sejarah tradisi yang memuat nama itu. Memang Kisah Filipus memuat bahan-bahan legendaris dan fabel; tetapi tidak berarti di dalamnya tidak ada rujukan-rujukan kepada sejarah. Misalnya, dalam Kisah Filipus dinyatakan bahwa Rasul Filipus mati dan dikuburkan di Hieropolis; ini adalah sebuah catatan sejarah yang sama dengan catatan sejarah Uskup Polykrates dari Efesus dalam suratnya kepada Santo Viktor yang ditulis kira-kira tahun 189-198. Kalaupun Kisah Filipus (abad 4) tidak dipakai, sebutan Mariamne untuk Maria Magdalena masih kita bisa temukan dalam dokumen-dokumen kuno lainnya: 1) Fragmen Yunani dari Injil Maria (akhir abad 2); 2) Tulisan Hippolytus, Refutatio Omnium Haeresium 5.1.7 (awal abad 3); 3) Origenes, Contra Celsum 5.62; dan 4) (dalam aksara Latin) tulisan Priscillian, Apologeticum 1.

Keempat, para arkeolog, paleografer, sejarawan, ahli Kitab Suci, ahli paleo-DNA, ahli statistik, ahli forensik, dan para pakar lain yang sedang meneliti makam keluarga Yesus tidak pernah memakai rujukan dalam Injil Filipus tentang Yesus yang mencium Maria Magdalena (mungkin pada mulutnya) dalam usaha-usaha mereka untuk membuktikan bahwa makam Talpiot itu adalah makam keluarga Yesus. Lagipula, dapat dipastikan Yesus dalam sejarah bukanlah seorang mistikus yang suka memberi “ciuman mistik” kepada para muridnya pada mulut mereka.

Kelima, pemeriksaan mitokondria DNA memang telah dilakukan hanya kepada human residue dari dalam osuarium “Yesus anak Yusuf” dan osuarium “Mariamene e Mara” (=Maria Magdalena); dan tidak dilakukan kepada human residue di dalam semua osuarium lainnya. Ini terjadi bukan karena para peneliti makam keluarga Yesus ini ingin membuktikan bahwa Yesus dan Maria Magdalena tidak bersaudara secara maternal, dan karena itu mereka adalah pasangan suami-istri. Masalahnya adalah karena di dalam semua osuarium lainnya sudah tidak bisa didapatkan human residue sedikitpun, karena bagian dalam dari semuanya telah dibersihkan dengan mesin penghisap debu ketika mau dipamerkan. Pemeriksaan DNA mungkin masih bisa dilakukan terhadap human residue dari osuarium “Yakobus anak Yusuf, saudara dari Yesus”; tetapi sementara ini, hal ini tidak bisa dilakukan karena osuarium ini dan tulang-belulang di dalamnya masih ditahan oleh pemerintah Israel.

Keenam, Prof. Andrey Feuerverger melakukan kajian statistik tidak dengan memperhitungkan enam nama, melainkan empat nama saja (“Yesus anak Yusuf”; “Maria”; “Maria Magdalena”; dan “Yoses”). Probabilitas 1:600 lahir dari kajian statistik atas empat nama ini. Jika osuarium “Yakobus” dimasukkan ke dalam perhitungan Feuerverger, probabilitasnya menjadi 1:30.000. Perhitungan statistik yang dilakukan John Koopmans atas ketujuh nama (termasuk nama “Yakobus”) menghasilkan peluang 1:42.723.672; namun harus dicatat, angka ini dihasilkan setelah melipatgandakan penduduk kota Yerusalem pra-tahun 70 sampai 30 kali angka rata-rata sebenarnya (50.000 orang). Data statistik ini menunjukkan betapa uniknya makam Talpiot itu sebagai makam keluarga Yesus.

Ketujuh, yang berkepentingan terhadap semua osuarium makam Talpiot dan osuarium “Yakobus” bukanlah CIA, tetapi IAA (Israel Antiquities Authorities). IAA berhasil mendapatkan dari Oded Golan foto osuarium Yakobus yang bercap “Expiry 76”; angka 76 ini menunjukkan bukan tahun pengambilan foto itu, tetapi batas kedaluwarsa kertas foto yang dipakai. Kepastian kuat bahwa osuarium “Yakobus” berasal dari makam Talpiot diperoleh dari pemeriksaan (dengan mikroskop elektron) “sidik jari” lapisan mineral patina osuarium ini yang “match” dengan “sidik jari” lapisan mineral patina dari dinding-dinding makam Talpiot dan dari semua osuarium yang ditemukan di dalamnya. Dalam artikel Amos Kloner (‘Atiquot, 1996) memang ditulis bahwa osuarium Yakobus itu “tidak berinskripsi” (Plain); tetapi identifikasi ini dibuat tergesa-gesa di lapangan (“field description”) dan bisa keliru, tidak dihasilkan dari penelitian yang seksama. Joseph Gat (seorang penggali makam Talpiot), misalnya, sebulan setelah penemuan makam itu di tahun 1980, telah keliru menyatakan bahwa hanya ada empat osuarium dari makam Talpiot yang berinskripsi, padahal sebetulnya (sesudah diteliti kembali) ada enam osuarium berinskripsi.

Kedelapan, gagasan bahwa makam Talpiot berisi tulang-belulang dari 35 orang atau lebih, bukan didasarkan pada kajian antropologis apapun atas tulang-belulang yang ada di dalam makam Talpiot, melainkan suatu tafsiran demografis yang diajukan Amos Kloner yang merupakan jumlah rata-rata individu per kuburan dari seluruh kuburan di sekitar Yerusalem yang sudah ditemukan.

Penutup: sebuah catatan pastoral 

Sebagai penutup, saya ingin menegaskan bahwa penemuan makam Talpiot dan penelitian-penelitian yang sedang dijalankan terhadap makam ini sama sekali tidak mengganggu iman Kristen pada kebangkitan Yesus, apabila kita mendasarkan diri pada berita Perjanjian Baru dalam 1 Korintus 15:35-58, bahwa Yesus yang bangkit, adalah Yesus yang bangkit dalam tubuh atau raga kemuliaan, raga surgawi, raga rohani, yang tidak akan bisa mati lagi. Hanya dengan raga kemuliaan yang tidak bisa mati lagi ini, dan bukan di dalam raganya yang lama yang dapat mati lagi, Yesus Kristus dapat menjadi Tuhan yang hidup, yang hadir di dalam doa dan kehidupan orang Kristen kapanpun dan di manapun.***


Tulisan kedua 

Tulisan saya di lembaran Bentara Kompas, 5 April 2007, yang berjudul Kontroversi Temuan Makam Keluarga Yesus, telah menyulut berbagai kontroversi dan reaksi meluas. Sebuah tanggapan terbuka terhadap tulisan itu, berjudul Historisasi Makam Kosong Yesus, telah dimuat di lembaran yang sama dalam koran yang sama pada 5 Mei 2007, ditulis oleh Deshi Ramadhani, seorang dosen tafsir Perjanjian Lama dari STF Driyarkara, Jakarta. Berikut ini (sudah terbit di Bentara Kompas, 31 Mei 2007) adalah sebuah tanggapan terhadap tulisan Deshi Ramadhani ini. 

Penulisan sejarah 

Jika ilmu sejarah dipahami dalam pengertian modern, penulisan sejarah adalah penulisan tentang sebuah peristiwa di masa lampau yang asal-usul kejadiannya harus dicari hanya pada penyebab-penyebab empiris natural, sosiologis dan kultural. Penulisan sejarah bukanlah penulisan sebuah teologi. Di dalam teologi (khususnya di dalam agama-agama monoteistik), penyebab-penyebab sebuah kejadian dalam dunia dijelaskan tidak terlepas dari keterlibatan Allah di dalamnya, keterlibatan faktor non-empiris supernatural, non-sosiologis dan non-kultural. Adalah asumsi dasariah dalam teologi bahwa Allah bertindak dalam kehidupan dunia manusia; teologi hanya bisa dijalankan jika asumsi ini diterima. 

Sedangkan asumsi dasariah dalam penulisan sejarah adalah segala sesuatu dapat terjadi dalam dunia ini hanya karena sebab-sebab empiris natural, sosiologis dan kultural. Jikalau seorang sejarawan menulis sebuah uraian sejarah dengan ke dalamnya dia melibatkan intervensi Allah ke dalam dunia kodrati, maka dia berhenti menjadi seorang sejarawan, berubah menjadi seorang teolog, dan karya tulisnya berubah menjadi sebuah teologi. Beberapa ilustrasi dapat diajukan.

Ketika seorang pakar sejarah Indonesia sedang menulis misalnya tentang Perang Diponegoro, dan di dalam tulisannya itu dia menyatakan bahwa Pangeran Diponegoro mendapatkan keberanian dan mampu mengembangkan taktik dan strategi tempur melawan kolonial Belanda karena Allah dan bala tentara surgawi membantu sang Pangeran secara langsung, sang ahli sejarah ini bukan sedang menulis sejarah, melainkan sedang menulis sebuah teologi atau sebuah epos religius. Tentu saja dalam perjuangannya Pangeran Diponegoro bisa saja dipengaruhi sangat kuat oleh imannya kepada Gusti Allah, dan karenanya bisa saja dia mengklaim bahwa Allah telah membantunya dalam perang melawan Belanda. 

Tetapi, ketika seorang sejarawan modern menulis tentang Perang Diponegoro, maka dia akan menyatakan bukan bahwa Gusti Allah dengan kuasa-Nya telah membantu dan menopang Pangeran Diponegoro, melainkan bahwa sang Pangeran sangat dipengaruhi oleh ideologi keagamaannya. Seorang sejarawan tidak berurusan dengan Allah yang dipercaya Pangeran Diponegoro, tetapi dengan ideologi religius sang pangeran sebagai sebuah variabel sosio-kultural historis yang ikut berperan dalam kiprah-kiprah kejuangannya.

Kitab Kisah Para Rasul adalah sebuah dokumen dalam Perjanjian Baru yang mengisahkan kelahiran dan pertumbuhan gereja-gereja Kristen perdana berkat kerja keras para rasul, terutama rasul Paulus, berawal di Palestina lalu meluas ke kawasan dunia Laut Tengah kuno di luar Palestina, sampai ke kota Roma. Dilihat dari perspektif modern tentang penulisan sejarah, apa yang dituturkan penulis kitab Kisah Para Rasul ini bukanlah sebuah tulisan sejarah, tetapi sebuah teologi karena di dalamnya dilaporkan bahwa kelahiran dan perluasan gereja Kristen oleh para rasul itu terjadi karena Roh Kudus atau Roh Yesus Kristus menyertai mereka dan melalui mereka mengadakan banyak mukjizat. “Mirakulisasi” atau pengajuan klaim bahwa suatu kejadian adalah mukjizat (Latin: miraculum) ilahi diperlukan hanya dalam teologi, bukan dalam penulisan sejarah. Tentu ada beberapa catatan sejarah faktual di dalam dokumen yang dinamakan Kisah Para Rasul ini; tetapi secara keseluruhan dokumen ini bukanlah dokumen sejarah dalam pengertian modern.

Ketika seorang dokter Kristen sedang menangani seorang pasien yang sedang sakit berat, dan dia diharapkan dapat menyembuhkan sang pasien, dia tidak bisa berdiam diri secara pasif saja menyerahkan sang pasien kepada Yesus untuk secara ajaib menyembuhkannya. Jika dia melakukan hal ini, dia bisa dituntut dan diajukan ke pengadilan dengan suatu tuduhan bahwa dia telah tidak menjalankan tugas profesionalnya sebagai seorang dokter yang wajib (karena dia berada di bawah sumpah!) melakukan serangkaian prosedur medik ilmiah untuk mengobati sang pasien. Seorang dokter bisa percaya bahwa mukjizat bisa terjadi dalam dunia ini; tetapi, ketika dia menjalankan profesinya sebagai seorang dokter, dia wajib mewujudkan kesembuhan untuk pasiennya dengan memakai segenap kemampuan profesionalnya dan mengikuti semua prosedur keilmuan yang dikuasainya. Sebagai seorang dokter, dia tidak boleh menyerah pada keganasan penyakit yang sedang diderita pasiennya, tetapi harus tetap tekun dan taat asas melaksanakan tugas-tugas profesionalnya sebagai seorang dokter.

Begitulah, seorang sejarawan yang melakukan kajian sejarah terhadap figur Yesus harus tetap konsisten berjalan pada jalur ilmiah dari ilmu sejarah, ilmu yang memperhitungkan hanya faktor-faktor empiris natural, sosiologis dan kultural. Taat asas dalam prosedur keilmuan bidangnya, adalah suatu syarat yang harus dipenuhi oleh setiap orang yang mengklaim diri ilmuwan. Pencampuradukan profesi seorang sejarawan dengan profesi seorang teolog akan menimbulkan ketidakdisiplinan ilmiah, perancuan kategoris dan penyesatan informasi. Meskipun jelas tidak ada uraian sejarah yang obyektif sepenuhnya, dan selalu akan ada faktor subyektif dari si sejarawan yang ikut berperan, namun si sejarawan harus pasti dalam satu hal, yakni bahwa dia akan memperhitungkan hanya faktor-faktor empiris natural, sosiologis dan kultural, dalam dia menyusun suatu historiografi.  

Kisah-kisah tentang mukjizat 

Yang ditemukan dalam Alkitab bukanlah mukjizat-mukjizat, tetapi kisah-kisah tentang mukjizat. Pembaca masa kini bukanlah penyaksi mukjizat-mukjizat yang dikisahkan di dalamnya, tetapi hanya sebagai para pembaca kisah-kisah itu. Kisah-kisah tentang mukjizat harus diterima apa adanya, yakni sebagai kisah-kisah. Memperlakukan kisah-kisah tentang mukjizat sebagai sama dengan fakta-fakta mukjizat empiris obyektif adalah suatu lompatan yang terlampau jauh, melampaui keterbatasan kisah-kisah yang ditulis sebagai karya-karya sastra. Lagi pula, dalam Perjanjian Baru, kisah-kisah tentang mukjizat Yesus ditulis bukan oleh para saksi mata. Selalu akan ada kesenjangan antara apa yang dikisahkan dan apa yang faktual telah terjadi. 

Sebagai kisah-kisah, kisah-kisah tentang mukjizat dapat dianalisis secara rasional ilmiah, dengan mengajukan antara lain pertanyaan-pertanyaan berikut: dalam konteks sosial-kultural historis dan religius apa kisah-kisah itu ditulis; faktor-faktor apa yang berperan di dalam penulisan kisah-kisah itu; untuk kisah-kisah tentang mukjizat dalam Perjanjian Baru, adakah kisah-kisah paralel yang dapat ditemukan dalam dunia Greko-Romawi; apa tujuan penulisan kisah-kisah tentang mukjizat dalam konteks luas dunia Greko-Romawi; di tempatkan dalam konteks zamannya dan dalam konteks temuan-temuan arkeologis mutakhir dan kajian-kajian antropologis lintas-budaya, apakah ada hal-hal yang dikisahkan yang tidak mungkin terjadi dalam sejarah; termasuk ke dalam jenis sastra ( literary genre) apakah kisah-kisah tentang mukjizat itu; dalam konteks seluruh dokumen sastra yang memuat kisah-kisah mukjizat itu, apa fungsi sastrawi dari kisah-kisah tentang mukjizat itu, dan mengapa kisah-kisah ini muncul dalam suatu konteks sastra tertentu dan bukan dalam suatu konteks sastra lainnya.

Mengajukan serangkaian pertanyaan rasional semacam di atas, bukanlah melakukan demirakulisasi (= penghilangan mukjizat) atas kisah-kisah tentang mukjizat, tetapi suatu keharusan prosedural metodologis untuk merekonstruksi sejarah kehidupan dari orang-orang atau komunitas-komunitas yang membuat kisah-kisah tentang mukjizat tersebut.

Yesus memberi makan 5000 orang hanya dengan 5 ketul roti dan 2 ekor ikan. Jika demikian halnya, mengapa kelaparan masih merupakan problem besar dunia masa kini? 

Ambil sebuah contoh, yakni kisah tentang Yesus memberi makan lima ribu orang (laki-laki) dengan lima roti dan dua ekor ikan (Matius 14:13-21 dan paralelnya). Di sini kita berhadapan dengan kisah Injil tentang mukjizat Yesus, bukan dengan mukjizat Yesus itu sendiri. Hanya dalam Injil Yohanes dikatakan bahwa Yesus sendiri langsung membagi-bagikan makanan itu kepada lima ribu orang itu (Yohanes 6:11); sedangkan dalam Injil-injil lainnya para murid Yesuslah yang membagi-bagikan makanan yang sebelumnya mereka telah terima dari Yesus. Bukan tempatnya di sini untuk mengajukan semua pertanyaan di atas kepada kisah ini. Pembahasan tuntas kisah mukjizat ini anda dapat temukan dalam tulisan saya di sini.

Terhimpunnya dalam satu hari orang laki-laki sampai lima ribu orang (belum termasuk perempuan dan anak-anak) bukanlah kejadian mudah; ini adalah sebuah tindakan yang tidak mungkin dilakukan Yesus dengan aman-aman saja, mengingat baik Herodes Antipas (penguasa Galilea dan Perea) maupun Roma (penjajah seluruh tanah Palestina zaman Yesus) akan segera bereaksi secara represif militeristik terhadap setiap usaha menghimpun massa dalam jumlah besar, seperti telah terjadi pada Yohanes Pembaptis yang dibunuh Herodes Antipas karena kekuatirannya atas massa pengikut Yohanes Pembaptis (baca tuturan tentang ini dalam Flavius Yosefus, Antiquities 18.116 dyb) dan pada kegiatan-kegiatan sejenis lainnya seperti telah dilaporkan juga oleh sejarawan Yahudi yang sama, Yosefus. 

Jadi, dilihat dari konteks sosio-politis zaman Yesus, sangat mustahil kalau Yesus bisa menghimpun lima ribu orang laki-laki dengan dirinya tetap aman-aman saja. Selain itu, harus diingat, total penduduk di kawasan-kawasan di sekitar tempat terjadinya pemberian makan lima ribu orang itu jelas tidak mencapai angka lima ribu.

Ada tiga golongan penafsir atas kisah tentang mukjizat pemberian makan lima ribu orang ini. Yang pertama adalah kalangan supernaturalis, yang menyatakan bahwa Yesus, dengan kekuatan supernaturalnya, betul-betul faktual pernah melakukan mukjizat memberi makan lima ribu orang dengan lima roti dan dua ikan, dengan sisa dua belas bakul (dari mana bakul-bakul ini berasal?). Masalah dari tafsiran kalangan supernaturalis ini adalah kesulitan orang entah untuk membayangkan terhimpunnya bergunduk-gunduk roti dan ikan mendadak sehabis makanan-makanan ini (lima ketul roti dan dua ekor ikan) didoakan Yesus, atau pun untuk membayangkan bahwa di tangan para murid yang membagi-bagikan makanan itu akan langsung muncul roti-roti dan ikan-ikan baru tidak habis-habisnya sampai semua orang yang duduk berhimpun mendapat makanan. Para mentalist dan illusionist dalam zaman modern yang piawai memakai trik teknologis dan trik mental untuk memperdaya masyarakat juga pasti tidak bisa mengadakan kejadian semacam ini: mengadakan gundukan roti secara mendadak bergunung-gunung di sekitar diri mereka!

Penafsir kedua adalah dari golongan rasionalis. Mereka menyatakan bahwa prakarsa Yesus dan para murid untuk membagi makanan itu kepada beberapa orang yang sedang duduk di barisan terdepan telah mendorong orang-orang lain di dalam perhimpunan besar itu untuk juga membagi-bagi makanan yang mereka telah bawa dari rumah masing-masing kepada orang-orang lainnya, sehingga akhirnya semua orang mendapatkan roti dan ikan yang cukup, tanpa perlu mukjizat terjadi. Kesulitan tafsiran rasionalis ini adalah teks Injil-injil jelas-jelas tidak berbicara tentang sharing of bread dan sharing of fish semacam itu. Sebaliknya, dalam Injil-injil dikatakan bahwa orang-orang yang berhimpun di situ sama sekali tidak membawa makanan apa pun, kecuali hanya lima roti dan dua ekor ikan (yang ada pada seorang anak).

Tetapi harus diakui bisa saja hal yang dibayangkan kalangan penafsir rasionalis ini secara faktual historis benar; tetapi karena kejadian historis yang semacam ini tidak membuat Yesus tampil sakti mandraguna, maka sejarah diubah oleh para penulis kitab-kitab injil dalam Perjanjian Baru (mulai dari Markus) sehingga lahirlah kisah-kisah hebat tentang Yesus membuat mukjizat pemberian makan 5000 orang ini yang kita dapat baca sekarang dalam injil-injil PB. Sudah menjadi suatu kecenderungan umum di kalangan orang Kristen perdana dulu untuk semakin lama semakin mempermuliakan dan mengagungkan Yesus, bahkan akhirnya sampai menempatkan Yesus setara dengan Allah sendiri, karena mereka dengan tidak mau kalah sedang terlibat dalam suatu persaingan ideologis sengit dengan kalangan-kalangan lain di dunia Yunani-Romawi yang sudah memiliki figur-figur mahaagung mereka sendiri, seperti Kaisar Augustus yang dipandang orang Roma sebagai sang juruselamat dunia yang kelahirannya membawa kabar baik dan keselamatan untuk seluruh kawasan kekaisaran.

Tafsiran ketiga yang paling mungkin diterapkan adalah dengan memperlakukan kisah ini sebagai sebuah kisah teologis mitologis, bukan kisah sejarah. Tafsiran teologis sesuai dengan hakikat setiap Kitab Suci sebagai sebuah kitab keagamaan, sebuah kitab teologis, bukan sebuah kitab sejarah. Bagi teologi penulis Injil Matius, Yesus adalah “Musa yang baru”, yang membawa hukum baru, dan yang mengulangi kembali bahkan melampaui kisah-kisah besar yang pernah dikisahkan tentang Nabi Musa. Kalau dulu untuk memelihara umat Israel yang sedang berada dalam perjalanan di padang gurun di bawah pimpinan Musa (dan Harun) Allah telah memberi mereka makan “daging” dan “roti” (yang disebut manna) (lihat Keluaran 16), kini, untuk umat Allah yang baru, yaitu Israel baru, Yesus sebagai Musa yang baru atau bahkan lebih besar dari Musa juga telah memberi himpunan besar para pengikutnya roti dan daging ikan sampai mereka kenyang, langsung dari tangannya sendiri. Di tangan penulis Injil Matius, Musa adalah tipologi Yesus, Yesus yang muncul kemudian dalam sejarah Israel. Pemberian makan ini hanya ada dalam teks, dalam dunia kisah, dalam dunia ide teologis, bukan dalam sejarah insani faktual.

Nah, memperlakukan kisah tentang mukjizat Yesus memberi makan lima ribu orang ini sebagai kisah teologis, bukan kisah sejarah, bukanlah melakukan demirakulisasi, tetapi diharuskan oleh sifat-sifat kisah tentang mukjizat ini sendiri. 

Makam keluarga Yesus dan kajian sejarah 

Ada pada kita bukti material objektif arkeologis berupa sebuah makam keluarga di Talpiot yang berisi osuarium yang bertuliskan nama “Yesus anak Yusuf” dan osuarium-osuarium lain yang bertuliskan lima nama lain yang berhubungan erat dengan Yesus sebagai satu keluarga, yang hampir semuanya adalah nama-nama yang ditemukan dalam Perjanjian Baru. Dan ada juga pada kita sebuah osuarium lain yang sudah dapat dipastikan berasal dari makam yang sama, yakni osuarium yang berinskripsi “Yakobus anak Yusuf, saudara dari Yesus”. Ini adalah sebuah fakta objektif material arkeologis, bukan rekayasa Yahudi untuk (seperti dituduhkan banyak orang Kristen belakangan ini) menjatuhkan agama Kristen. 

Juga ada data ilmiah dari ilmu statistik modern bahwa temuan arkeologis makam keluarga di Talpiot ini sangat unik, dengan peluang (menurut Feuerverger yang hanya memperhitungkan empat nama saja) hanya satu kali dari antara enam ratus kasus (1:600). Belakangan, John Koopmans juga melakukan perhitungan statistik serupa, tetapi kali ini dengan memperhitungkan tujuh nama yang ada, termasuk nama “Yakobus anak Yusuf, saudara dari Yesus”, dan dengan melipatgandakan penduduk kota Yerusalem sampai tiga puluh kali dari angka rata-rata yang sebenarnya. Menurut Koopmans, peluangnya adalah 1:42.723.672. Artinya, hanya akan ada satu makam keluarga seperti makam Talpiot dari 42.723.672 keluarga di Yerusalem pra-tahun 70. Angka-angka statistik ini telak menunjukkan tidak akan ada lagi kasus semacam makam Talpiot.

Yang baru dicatat di atas adalah fakta-fakta dan data ilmiah, bukan kesimpulan sejarah. Kesimpulan sejarah hanya akan bisa dihasilkan, apakah makam Talpiot adalah makam keluarga Yesus dari Nazareth (Yesus yang dipercaya orang Kristen sebagai Tuhan dan Kristus), apabila dilakukan pengkajian-pengkajian prosopografis lebih lanjut untuk menemukan “fit” atau “kecocokan” antara data material arkeologis dan data dari teks-teks kuno, termasuk teks-teks Perjanjian Baru. 

Jadi, usaha-usaha membuktikan makam Talpiot adalah makam keluarga Yesus dari Nazareth sama sekali bukanlah usaha-usaha demirakulisasi, melainkan usaha-usaha bidang kajian prosopografis untuk menemukan (melalui kajian ilmiah) kecocokan sejarah antara bukti material arkeologis dan keterangan-keterangan di dalam teks-teks kuno. Biarkan mereka yang sedang melakukan pengkajian prosopografis ini bekerja dengan taat asas di alur disiplin ilmu pengkajian arkeologis dan ilmu sejarah; jangan mereka dikecam atas nama teologi atau doktrin Kristen apapun.

Problem terbesar dalam memakai kata demirakulisasi adalah si pemakai kata ini untuk menuduh saya sama sekali belum membuktikan secara empiris bahwa mukjizat-mukjizat yang dia percaya ada, ada betulan dalam dunia ini, bukan hanya ada dalam kepercayaannya. Kepercayaan terhadap adanya mukjizat, sekuat apapun, ya baru terbatas hanya sebagai kepercayaan, bukan fakta-fakta. Sedangkan, yang saya perlukan untuk membantah tulisan-tulisan saya tentang makam Talpiot adalah fakta-fakta tandingan, bukan kepercayaan-kepercayaan keagamaan, entah kepercayaan yang naif atau kepercayaan yang cerdas. Fakta dan sains harus dilawan dengan fakta dan sains, bukan dengan dogma keagamaan atau iman pada adanya mukjizat.   

by Ioanes Rakhmat



Friday, January 11, 2008

Pesan Injil Thomas: Kembali ke Eden Perdana

Kalau dunia yang sekarang manusia diami ini dipandang sudah sangat buruk, jahat dan mengecewakan, apa jalan keluarnya untuk kehidupan manusia? 

Biasanya, orang akan mencari penyelesaiannya pada Apokalipsis, yakni pada suatu Dunia Baru yang sama sekali berbeda, suatu dunia yang sempurna, suatu utopi, yang akan didatangkan di ujung waktu, di akhir zaman, dari langit, di hari kiamat, ketika dunia lama telah dilenyapkan dalam suatu bencana jagat raya. 

Kapan dan bagaimana caranya Dunia Baru ini akan didatangkan, jawabannya diberikan Allah lewat "wahyu" atau "penyingkapan ilahi" atau "divine disclosure" (Yunani: apokalypsis). 

Dipercaya bahwa lewat wahyu-Nya, Allah menyingkapkan hal-hal yang akan terjadi di hari terakhir (Yunani: eskhatos, "akhir" atau "ujung"). Keyakinan inilah yang dinamakan eskatologi apokaliptik.




Sendirian saja, tidak berdua...


Orang-orang yang menganut apokaliptisisme pada umumnya sangat mempercayai bahwa mereka wajib melakukan segala sesuatu yang dapat mempercepat kedatangan Dunia Baru itu. Usaha menarik orang sebanyak-banyaknya untuk masuk ke dalam suatu agama apokaliptik, diyakini para penganut apokaliptisisme sebagai suatu usaha yang dapat mempercepat kedatangan Dunia Baru itu. 

Pada sisi lain, usaha apapun juga yang dapat mempercepat kehancuran dan kebinasaan total dunia lama, misalnya terror, bom bunuh diri, atau pun perang dunia dengan menggunakan weapons of mass destruction, dipandang oleh semua kalangan keagamaan apokaliptik radikal dalam berbagai agama sebagai usaha-usaha mempercepat tibanya Dunia Baru di ujung waktu. Inilah doomsday theology atau teologi kiamat, suatu teologi yang buruk, dus lebih tepat disebut ideologi kiamat.

Adakah jalan keluar lainnya? Kalau apokaliptisisme mencari dan menemukan penyelesaian atas kemelut, kegundahan, kekosongan makna, dan kebobrokan dunia ini pada Dunia Baru di akhir zaman, di ujung waktu, atau pada eskatologi apokaliptik, jalan keluar lainnya dapat ditemukan pada titik sebaliknya, yakni pada titik permulaan kehidupan, pada keadaan paling awal dari kehidupan manusia dan dunia ini, atau pada protologi, pada hal-hal yang ada di permulaan kehidupan. 

Injil Thomas yang memuat 114 “ucapan rahasia” Yesus menawarkan bukan suatu eskatologi apokaliptik, tetapi protologi sebagai suatu jalan untuk manusia dapat keluar dari kemalangan, kegelapan dan kesekaratan dunia ini. 

Prolog injil ini menegaskan bahwa semua ucapan Yesus di dalamnya adalah ucapan-ucapan rahasia dan tersembunyi dari Yesus yang hidup, yang Yudas Thomas si Kembar telah tulis. 

Kemudian, logion (ucapan) pertamanya (#1) menyatakan barangsiapa menemukan penafsiran atau maksud ucapan-ucapan ini, orang itu tidak akan mengecap kematian. 

Penafsiran yang cerdas telah berhasil membuka “rahasia” 114 ucapan Yesus dalam injil ini. 

Protologi adalah “rahasia” yang disembunyikan oleh 114 ucapan Yesus dalam injil ini. 

Bila orang menganut protologi yang ditawarkannya, penyusun injil ini yakin bahwa orang itu telah dan sedang mengalami keselamatan, dunia tidak berkuasa lagi atasnya, dan tidak akan mengecap kematian.

Protologi disodorkan sebagai suatu jalan keluar dari dunia yang dipandang sudah tidak berharga lagi. 

Dunia ini, bagi penyusun Injil Thomas, sudah seperti mayat, tidak ada harganya: 

"Barangsiapa telah memahami dunia ini, dia telah menemukan mayat. Dan barangsiapa telah mendapatkan mayat ini, baginya dunia tidak berharga." (#56). 

Dunia ini dipenuhi oleh orang-orang yang tidak memiliki kesadaran, penglihatan dan kepemilikan spiritual yang benar, orang-orang yang “mabuk,” “buta” dan “miskin” (##28,3). 

Ke dalam dunia yang semacam itu, Yesus telah datang untuk “memeranginya” dengan “pedang” dan membakarnya dengan “api” (##10,16). 

Murid-murid-Nya diminta untuk “berjaga-jaga” terhadap dunia semacam ini (#21), “berpuasa darinya” (#27) dengan melepaskan keterikatan mereka pada hal-hal duniawi, “menyangkalinya” (##110,111) dan menempatkan diri mereka di dalamnya sebagai musafir atau orang yang hanya lewat saja, pengelana (#42).

Ketika murid-murid Yesus memandang ke masa depan, kepada kedatangan kerajaan Allah dari langit di akhir dunia, sebagai penyelesaian apokaliptik atas semua keadaan buruk dunia ini, Yesus menegaskan bahwa jika kerajaan itu akan datang dari langit, maka burung-burung di udara akan mendahului mereka; juga seandainya kerajaan itu akan datang di laut, maka ikan-ikan akan mendahului mereka (#3). 

Jadi, Yesus dalam Injil Thomas menolak suatu penyelesaian apokaliptik, dan, sebaliknya, menekankan bahwa kerajaan itu sudah datang, sudah ada “di dalam dan di luar” diri murid-murid-Nya (#3), meliputi muka bumi kendati pun orang tidak melihatnya (#113). Yesus menegaskan bahwa “Dunia Baru” yang ditunggu para murid telah datang (#51).

Murid-murid yang mencari penyelesaian apokaliptik, bertanya kepada Yesus, “Katakan kepada kami bagaimana akhir kami akan datang.” 

Yesus menjawab mereka,

“Apakah kamu sudah menemukan awal, sehingga kamu mencari akhir? Di tempat di mana ada awal, di situ akan ada akhir. Diberkatilah orang yang berdiri di awal: dia akan mengetahui akhir dan tidak akan mengecap kematian” (#18). 

Jelas, bagi Yesus, yang terpenting adalah “menemukan awal”, menemukan titik yang dinamakan “awal”; pada titik berharga inilah penyelesaian atas semua keadaan buruk dunia ini ditemukan. 

Barangsiapa menemukan awal, dia menemukan akhir, keselamatan, dan tidak akan mengecap kematian. Inilah protologi yang ditawarkan penyusun Injil Thomas. 

Menemukan “awal” sebagai jalan masuk ke dalam kerajaan! “Awal” yang bagaimana? 

Dalam logion #22 (lihat juga ## 23,61,106,114) “awal” ini dengan jelas digambarkan:

Yesus melihat anak-anak yang sedang menyusu, dan Dia berkata kepada murid-murid-Nya, “Anak-anak ini seperti orang-orang yang masuk ke dalam kerajaan.”

Mereka bertanya kepada-Nya, “Jika kami anak-anak, akankah kami masuk ke dalam kerajaan?” 

Yesus menjawab mereka, 

“Pada waktu kamu membuat dua menjadi satu, dan pada waktu kamu membuat bagian yang batiniah seperti bagian yang lahiriah, dan yang lahiriah seperti yang batiniah, dan bagian sebelah atas seperti bagian sebelah bawah, dan ketika kamu membuat yang laki-laki dan yang perempuan menjadi satu tunggal sehingga yang laki-laki bukan lagi laki-laki dan yang perempuan bukan lagi perempuan, ketika kamu menjadikan mata menggantikan mata, tangan menggantikan tangan, kaki menggantikan kaki, dan sebuah gambar menggantikan sebuah gambar, maka kamu akan masuk ke dalam kerajaan.”

“Anak-anak yang sedang menyusu” (lihat juga ## 4,46) adalah suatu model yang sempurna bagi mereka yang akan masuk ke dalam kerajaan Allah, yaitu mereka yang menemukan kembali kodrat aseksual, sebagai bukan laki-laki dan juga bukan perempuan. 

Itulah yang dimaksud dengan ucapan Yesus “ketika kamu membuat yang laki-laki dan yang perempuan menjadi satu tunggal sehingga yang laki-laki bukan lagi laki-laki dan yang perempuan bukan lagi perempuan.” 




Menjadi "satu tunggal". Reunion Adam Hawa, kembali menjadi satu sosok androginik. Itulah jalan keselamatan yang disampaikan Injil Thomas.


Sesuatu yang “satu tunggal” ini mengacu pada keadaan paling awal dari kehidupan manusia, ketika “Adam” (= manusia) ditempatkan di Taman Eden dan belum dipecah menjadi dua: manusia laki-laki dan manusia perempuan; ketika Adam masih dalam kodrat “androginik”, kodrat bukan-laki-laki dan bukan perempuan, atau sekaligus laki-laki (andros) dan perempuan (gynē ); ketika “dua menjadi satu”; ketika Adam belum jatuh ke dalam dosa yang ditimbulkan oleh adanya dua makhluk manusia, laki-laki dan perempuan (bdk. Injil Filipus 64, 71). 

Ituah keadaan perdana atau keadaan paling awal dari Taman Eden, the earliest Eden, ketika arketipe sorgawi (“bagian sebelah atas”) dan manifestasi duniawi (“bagian sebelah bawah”) dari makhluk Adam masih bersifat androginik.

Dengan kembali pada keadaan Eden perdana, manusia masuk ke dalam keselamatan, ke dalam kerajaan. 

Bagi penyusun Injil Thomas, adalah sangat baik, bahkan sangat ideal, jika manusia (masih) sendirian, sebagai makhluk yang secara kodrati tidak mengenal gender. 

Ketika keadaan androginik ini dimasuki, maka fungsi-fungsi indra mengalami perubahan. Mata menggantikan mata; tangan menggantikan tangan, dan kaki menggantikan kaki. Dan citra manusia pun berubah; gambar menggantikan gambar.
 
Tetapi bagaimana caranya, dalam kehidupan nyata, manusia dapat kembali ke dalam kehidupan Eden perdana, ketika Adam masih sebagai makhluk androginik, belum terpecah menjadi dua? 

Taman Eden selamanya adalah mitos. Asal-usul historis Homo sapiens, menurut sains, adalah Afrika Selatan, 300.000 tahun yang lalu. 

Penyusun Injil Thomas memberi petunjuk, yakni dengan cara menempuh kehidupan asketik selibat, hidup “sendirian” (## 49,75), baik bagi laki-laki maupun bagi perempuan, dan menjauhkan diri dari kehidupan duniawi dan menyangkali dunia ini sama sekali. Di dunia ini, orang harus memperlakukan dirinya hanya sebagai musafir yang hanya lewat saja:

“Jika engkau tidak berpuasa dari dunia ini, engkau tidak akan menemukan kerajaan itu. Jika engkau tidak memelihara sabat
sebagai sabat, maka engkau tidak akan melihat sang bapa” (#27).

“Jadilah musafir!” (#42)

“Hendaklah barangsiapa yang telah menemukan dunia ini dan menjadi kaya raya, menyangkali dunia ini.” (#110).

Sabat tidak dipahami sebagai kewajiban keagamaan seminggu sekali, melainkan sebagai sabat primordial, saat ketika Allah pada awalnya, dalam penciptaan dunia, beristirahat. Mengalami kembali “sabat primordial” ini, yaitu saat rehat, rest, primordial, adalah sesuatu yang didambakan (#50; bdk #51).

Dihadapkan pada tuntutan kehidupan asketik selibat radikal, bentuk-bentuk kesalehan religius lainnya menjadi tidak berharga, bahkan menjadi sesuatu yang menghancurkan:

Murid-murid-Nya bertanya kepadanya, 

“Apakah Engkau ingin kami berpuasa? Bagaimanakah kami berdoa? Haruskah kami memberi sedekah? Pantangan apakah yang harus kami perhatikan?” (#6a)

Yesus berkata kepada mereka, 

“Jika kalian berpuasa, kalian akan mendatangkan dosa atas diri kalian sendiri. Dan jika kalian berdoa, kalian akan menghukum diri kalian sendiri, dan jika kalian memberi sedekah, kalian akan melakukan yang jahat terhadap roh kalian sendiri.” (#14a)

Sunat lahiriah pun ditolak:

Murid-murid-Nya berkata kepada-Nya,

“Bermanfaat atau tidakkah sunat itu?” 

Dia berkata kepada mereka, 

“Seandainya bermanfaat, maka ayah mereka akan telah melahirkan mereka dalam keadaan bersunat dari dalam kandungan ibu mereka. Tetapi sunat sejati di dalam roh itu lebih berharga dari segala sesuatunya.” (#53)
 
Jadi, Injil Thomas menawarkan suatu jalan lain yang bukan Apokalipsis dalam orang berusaha menghadapi dunia yang dipandang sudah tidak memiliki kegunaan dan kebaikan lagi. 

Jalan yang ditawarkannya adalah protologi, jalan kembali ke dalam kehidupan Eden perdana, ketika Adam masih berkodrat androginik, ketika dosa dan pelanggaran serta ketidaktaatan belum terjadi dan maut belum berkuasa. 

Untuk tiba di dunia Eden yang semacam ini, orang harus menjalani kehidupan asketik selibat, hidup sendirian, menjadi androginik, dan, alhasil, tidak akan diancam kematian. 

Terkait hal-hal yang feminin, kalangan maskulin perlu mencukupkan diri mereka dengan diri mereka sendiri. Terkait hal-hal yang maskulin, kalangan feminin harus juga mencukupkan diri mereka dengan diri mereka sendiri. Alhasil, hal maskulin dan hal feminin tidak lagi mendefinisikan apa dan siapa itu manusia.

Di saat kembali menjadi manusia androginik, menjadi "penuh", maka orang akan "diisi terang". Tetapi jika tetap "terbagi", yang maskulin tidak menyatu dengan yang feminin dalam diri satu orang, maka orang akan "dipenuhi kegelapan" (#61).

Dalam Injil ini, Yesuslah yang menawarkan jalan ini, melalui 114 ucapan “rahasia”-Nya; yang kerahasiaannya ternyata bisa disibak, sehingga orang tidak akan mengecap kematian seperti yang dijanjikan-Nya. Mereka telah keluar dari "kegelapan", lalu masuk ke dalam "terang".

Return to the earliest Eden for salvation and purity! Itulah pesan Yesus menurut Injil Thomas. 

Tentu saja, dalam era modern, jalan protologi ini juga tidak menyelesaikan persoalan dunia. 

Persoalan dunia kita sekarang sudah sangat kompleks; agama-agama apapun tidak akan bisa tuntas menyelesaikannya; atau bahkan agama-agama kini juga malah menjadi bagian dari persoalan-persoalan berat dunia. 

Yang kita perlu lakukan adalah kerjasama global, dan penggunaan pendekatan lintasilmu, "soft skills" dan "hard skills" sekaligus, kalau kita mau bisa mengatasi persoalan-persoalan modern, tahap demi tahap, dari waktu ke waktu. Esosterisisme tidak memberi sumbangan apapun.


Baca juga:

11 Januari 2008
Diperiksa kembali 14 Agustus 2021