Andrew Newberg & Mark Robert Waldman, How God Changes Your Brain: Breakthrough Findings From A Leading Neuroscientist (New York: Ballantine Books, 2009).
“Saya memiliki pengharapan dan perasaan bahwa Allah atau suatu realitas dasariah, dalam bentuk apapun yang dapat diambilnya, sebetulnya ada. Saya tidak tahu apakah intuisi saya ini benar, tetapi saya sangat senang dengan ketidakpastian saya ini.” (Andrew Newberg)
“Bagi saya, tidaklah menjadi suatu masalah jika Allah itu sebuah ilusi atau suatu fakta, sebab jika pun Allah itu suatu metafora, Allah merupakan segala sesuatu yang menjadi tujuan kita yang kita mampu capai, suatu ideal yang menawarkan pengharapan kepada jutaan orang di seluruh dunia.” (Andrew Newberg)
“Secara pribadi, saya dapati sains lebih memuaskan dan lebih misterius ketimbang filsafat dan teologi. Jadi bagi saya, Allah adalah sebuah metafora, bukan sebuah fakta. Namun saya memandang pencarian seseorang akan Allah adalah suatu pencarian yang mulia, dan mempertanyakan keberadaan Allah adalah suatu bagian esensial dari pencarian itu.” (Mark Robert Waldman)
Sejak kita dilahirkan, sudah ada suatu “perintah kognitif” yang tertanam secara biologis dalam otak untuk kita berupaya keras belajar sebanyak mungkin tentang dunia ini. Belajar adalah sebuah dorongan dan kesadaran neurologis yang sudah tertanam dalam otak kita. Dalam dunia keagamaan, sejak masa kanak-kanak dini, Allah menjadi ada di dalam otak setiap manusia sebagai suatu kombinasi gagasan-gagasan, gambar-gambar, perasaan-perasaan, sensasi-sensasi, dan hubungan-hubungan, yang ditanamkan ke dalam otak lewat kegiatan pembelajaran yang terbuka atau lewat indoktrinasi satu arah. Sejauh menyangkut fungsi mekanis neuron-neuron (= sel-sel saraf otak; jumlahnya 100 milyar) dalam organ otak kita, tidaklah penting apakah yang mengaktifkan bagian-bagian otak kita adalah Allah sebagai suatu konsep (= teologi/dogma/akidah), ataukah Allah sebagai suatu perasaan dalam mental kita (misalnya bahwa Allah adalah cinta), ataukah Allah sebagai suatu pengalaman rohani (misalnya pengalaman mistikal kaum sufi menyatu dengan Allah, atau pengalaman berbahasa lidah di kalangan Kristen pentakostal). Ketika Allah kita pikirkan, atau kita hayati atau kita alami dengan nyata, maka Allah ini mengaktifkan bagian-bagian tertentu otak kita, dan melalui aktivitas neurologis yang terus berulang kepribadian religius kita terbentuk, entah kepribadian yang keras atau kepribadian yang lembut.
Berikut ini sketsa struktur-struktur dan sirkuit-sirkuit neurologis penting dalam organ otak manusia yang membentuk persepsi manusia mengenai Allah, dan yang sekaligus membentuk kepribadian kita sebagai manusia. Sebaliknya, doktrin-doktrin tentang Allah (entah Allah sebagai sosok yang kejam, atau Allah sebagai sosok yang penuh cinta) perlahan-lahan juga membentuk otak anda, dan jika pembentukan ini sudah berlangsung lama dan panjang, otak anda, dus pembawaan religius anda, akan sulit sekali untuk berubah lagi, kendatipun neuroplastisitas otak masih memungkinkan perubahan terjadi.
Sirkuit “Allah” dalam Otak Manusia
(1) Sirkuit occipital-parietalis
Sirkuit ini, yang terdapat di bagian belakang otak, mengidentifikasi Allah sebagai suatu objek yang ada di dalam dunia. Sirkuit ini memberikan kemampuan untuk membayangkan Allah secara antropomorfis (= dalam wujud manusia). Anak-anak kecil memandang Allah sebagai sebuah wajah karena otak mereka belum dapat memproses konsep-konsep spiritual yang abstrak. Lobus parietalis —bagian otak yang memproses pertanyaan tentang “apa” dan “di mana”— pada kanak-kanak sangat aktif jika mereka sedang memikirkan kodrat Allah. Dalam masa beberapa tahun permulaan kehidupan, kita umumnya membentuk paham kita sendiri yang serupa mengenai realitas spiritual, misalnya bahwa pada masa kita kanak-kanak, Allah kita bayangkan sebagai seorang tua berjenggot yang berdiam di angkasa, di suatu kawasan yang dapat dilihat.
Sejalan dengan pertambahan usia menuju dewasa dan dengan kebebasan manusia untuk menemukan diri dan spiritualitasnya kembali, otak manusia mengalami evolusi neurologis sehingga gambaran-gambaran simbolik yang makin abstrak dan makin merangsang secara emosional mengenai Allah akhirnya muncul. Menurut James Fowler (dalam bukunya Stages of Faith: The Psychology of Human Development [Harper SanFrancisco, 1981]), jika kita merenungi makna kehidupan dengan mendalam, maka gagasan-gagasan kita tentang Allah berevolusi dari gagasan-gagasan yang kongkret pindah ke kepercayaan-kepercayaan mitologis yang lebih abstrak, dan dari sini ke nilai-nilai tanggungjawab sosial yang lebih universal.
Ide-ide tentang Allah (atau ide-ide tentang hal-hal lain apapun) tidak ada yang menetap permanen dalam otak kita, tetapi sejalan dengan neuroplastisitas neuron-neuron otak kita, kita terus mengubah ide-ide ini, dan kemampuan ini menjadikan kita manusia yang unik. Neuron-neuron otak kita tidak bersifat menetap, selama masih sehat, tetapi tetap berubah sepanjang masa, karena otak kita memiliki suatu helaian DNA yang dapat bermutasi. Di samping itu, perilaku kompetitif, pengaruh lingkungan, pendidikan, atau bahkan sebuah khotbah yang membangkitkan semangat, atau sebuah teks dalam kitab suci yang dibaca, dapat memicu pembentukan kembali dengan cepat tenunan sirkuit-sirkuit neurologis dalam otak kita. Tidak ada dua orang yang mempersepsi dunia atau Allah dengan cara yang sama, sebab tidak ada dua otak manusia yang bermula dengan kode genetik yang sama.
Jika lobus occipitalis dan lobus temporalis (berlokasi di bawah lobus parietalis, di atas telinga) luka, maka orang akan merasakan sedang melihat atau mendengar segala macam fenomena yang ditafsirnya sebagai fenomena religius, mistikal atau demonik. Di bawah lobus parietalis terdapat lobus temporalis yang memungkinkan orang mendengarkan suara-suara Allah.
(2) Sirkuit parietal-frontalis
Sirkuit ini membangun sebuah hubungan di antara dua objek yang dikenal sebagai “anda” dan “Allah.” Sirkuit ini menempatkan Allah dalam ruang dan memungkinkan anda mengalami kehadiran Allah. Jika anda mengurangi aktivitas di dalam lobus parietalis melalui meditasi atau melalui doa yang khusuk, batas-batas antara anda dan Allah lenyap, dan anda merasakan suatu pengalaman mistikal telah menyatu dengan Allah, memasuki suatu suasana yang tidak dibatasi ruang dan waktu lagi. Anda merasakan suatu kesatuan dengan objek kontemplasi dan dengan kepercayaan-kepercayaan spiritual anda.
Sebaliknya, jika lobus parietalis sangat aktif, orang dimungkinkan untuk membayangkan suatu Allah yang terpisah dari dirinya, yang berada di luar batas-batas keberadaan dirinya pribadi. Ketika, misalnya, seorang Kristen pentakostal karismatik terbenam dalam penyembahan intensif kepada Allah dan mulai berbahasa lidah (= glossolalia), aktivitas di sirkuit parietalis meningkat tajam, dan dia mulai merasakan ada suatu “kehadiran ilahi” (= Roh Kudus) di sampingnya yang sedang berkomunikasi dengan dirinya. Ketika hal ini terjadi, aktivitas di lobus frontalis menurun, tetapi sebaliknya aktivitas di kawasan sistim limbik (tentang ini, lihat di bawah) meningkat sehingga membuatnya makin terbenam ke dalam pengalaman-pengalaman emosional yang memblokir kesadaran kritis rasional.
(3) Lobus Frontalis
Lobus frontalis menjadikan kita manusia yang unik. Di bagian korteks neuron inilah berakar imajinasi, kreativitas, orisinalitas dan kemampuan bernalar dan berkomunikasi dengan orang lain, dan kemampuan untuk menjadi lebih damai, lebih berbelarasa, dan lebih termotivasi. Bagian ini memungkinkan kita untuk membuat sebuah konsep logis mengenai suatu Allah yang rasional, bijaksana dan pengasih. Jika aktivitas lobus frontalis meningkat, sementara aktivitas sistim limbik menurun, maka orang akan merasakan kedamaian dan ketenteraman. Semakin orang giat dalam kegiatan intelektual, semakin kuat lobus frontalis-nya.
Bagian ini menciptakan dan mengintegrasikan semua gagasan anda tentang Allah—gagasan yang positif atau gagasan yang negatif—termasuk logika yang anda gunakan untuk mengevaluasi kepercayaan-kepercayaan spiritual dan keagamaan anda. Bagian ini memprediksi masa depan anda dalam hubungan anda dengan Allah dan berupaya secara intelektual untuk menjawab semua pertanyaan “mengapa, apa, dan di mana” yang muncul di bidang-bidang spiritual. Orang yang memiliki lobus frontalis yang sangat aktif dapat terbenam ke dalam usaha membuktikan keberadaan Allah secara filosofis dan matematis. Berbeda dari sirkuit occipital-parietalis otak kanak-kanak, lobus frontalis orang dewasa yang sudah matang bertanggungjawab menimbulkan imajinasi, kreativitas dan orisinalitas yang digunakan orang dewasa ketika mereka mencoba menggambarkan sifat-sifat abstrak non-bendawi dan misterius Allah.
(4) Thalamus
Thalamus adalah suatu stasiun pemroses besar dalam organ otak manusia: segala pengindraan, suasana atau modus dan isi pikiran melewati organ otak ini ketika informasi diteruskan ke bagian-bagian lain otak. Semakin anda terbenam ke dalam perenungan tentang suatu objek khusus, semakin aktif thalamus anda. Jika thalamus tidak berfungsi lagi, maka orang akan mengalami keadaan koma. Bahkan kerusakan kecil saja pada thalamus, akan menghambat kinerja bagian-bagian lain otak manusia.
Pada bagian inilah otak kita memberi kita kemampuan untuk merasakan sesuatu yang kita sedang pikirkan sebagai sebuah kenyataan, seolah gagasan-gagasan kita adalah suatu objek yang nyata di dalam dunia ini. Semakin anda memikirkan suatu gagasan berulang kali dan dengan sangat serius, maka thalamus memberi respons berupa sebuah impresi dalam diri anda bahwa gagasan ini adalah suatu objek nyata. Di dalam thalamus inilah makna emosional diberikan kepada pikiran-pikiran kita yang muncul di dalam lobus frontalis, sehingga kita tidak ingin dipisahkan dari pikiran-pikiran kita. Sehubungan dengan agama, thalamus memberi suatu makna emosional pada konsep-konsep anda tentang Allah: organ inilah yang membuat anda mencinta Allah anda (atau sebuah gagasan anda tentang Allah) dan tidak ingin dipisahkan darinya. Thalamus memberi anda suatu makna menyeluruh mengenai dunia ini dan tampaknya merupakan suatu organ kunci yang membuat Allah terasa objektif dan nyata.
Jika thalamus terus diaktifkan melalui meditasi (yang di dalamnya kita sungguh-sungguh memikirkan gagasan-gagasan kita sebagai kenyataan real dalam dunia objektif), maka kita akan memandang kenyataan secara berbeda dari pandangan yang normal dan biasa. Jika seorang praktisi meditasi tingkat tinggi sungguh-sungguh memikirkan dan memandang Allah, ketenteraman dan kesatuan dengan segala yang ada dalam jagat raya sebagai kenyataan-kenyataan real dalam kehidupannya, maka (salah satu) organ thalamus-nya terus aktif (sekalipun dia tidak sedang bermeditasi) dan keadaan ini memberi kepadanya suatu kesadaran yang melampaui keadaan sadar yang biasa: pikiran-pikiran dan keyakinan-keyakinannya bukan lagi ada hanya dalam dunia gagasan, tetapi betul-betul dialaminya dengan jelas dalam dunia nyata.
(5) Amygdala
Amygdala adalah bagian otak yang paling tua dalam perjalanan sejarah evolusi biologis otak manusia, terbentuk 450 juta tahun yang lalu. Amygdala menjadi suatu bagian dari sistim limbik organ otak. Jika aktivitas amygdala meningkat, maka gelombang rasa takut dan kecemasan menyerbu anda, karena zat-zat neuro-kimiawi yang destruktif mengalir deras masuk ke dalam otak. Jika orang berpikir negatif terhadap dirinya sendiri, atau memandang kehidupan ini dengan negatif, aktivitas di amygdala makin meningkat. Ketika dirangsang secara berlebihan, amygdala menciptakan suatu impresi emosional tentang suatu allah yang menakutkan, autoritatif, dan menghukum, dan menekan serta mematikan kemampuan lobus frontalis untuk berpikir logis mengenai Allah.
(6) Striatum
Struktur ini menghambat dan menekan aktivitas dalam amygdala sehingga memungkinkan anda merasa aman di dalam kehadiran Allah, atau di dalam kehadiran objek atau konsep apapun yang anda sedang kontemplasikan. Bersama dengan anterior cingulate (tentang ini, lihat di bawah), striatum mengendalikan amarah dan rasa takut. Jika aktivitas di dalam anterior cingulate dan striatum terhambat, maka amygdala mengambil kendali dan keadaan ini membangkitkan respons “tempur atau mundur” (fight or flight response) yang menyebar ke dalam setiap bagian otak anda.
(7) Anterior cingulate
Korteks ini masih berusia sangat muda, berusia 15 juta tahun dalam perjalanan sejarah evolusi biologis otak manusia, yang berlangsung bersamaan dengan evolusi kebudayaan dan pemikiran keagamaan manusia. Korteks anterior cingulate adalah “jantung” (atau “hati”) dan “jiwa” neurologis manusia. Korteks ini memainkan suatu peran yang menentukan di dalam praktek-praktek spiritual, dan terlibat dalam pembelajaran, memori, perhatian yang terfokus, pengaturan emosi, koordinasi motoris, jumlah detak jantung, pendeteksian kesalahan, pengantisipasian ganjaran, pemonitoran konflik, evaluasi moral, perencanaan strategi, empati dan kasih sayang.
Korteks ini menjadi suatu perantara atau sebuah titik tengah jungkat-jungkit antara perasaan-perasaan dan emosi-emosi yang muncul dalam sistim limbik pada satu pihak dan logika serta nalar yang diproses dalam lobus frontalis pada pihak lainnya. Kesadaran sosial dan intuisi juga dibangun dalam korteks ini. Jika bagian otak ini diaktifkan terus-menerus, maka anda akan menjadi seorang yang toleran dan pluralis, dan dapat berumur panjang. Perempuan memiliki struktur anterior cingulate lebih besar ketimbang pria; karena itulah kaum perempuan umumnya lebih empatis, lebih mudah merasakan keadaan diri orang lain, lebih terampil bersosialisasi, tetapi juga lebih reaktif terhadap rangsangan-rangsangan yang menimbulkan ketakutan.
Struktur ini memungkinkan anda mengalami Allah sebagai Allah yang pengasih, penyayang dan berbela rasa. Struktur ini mengurangi kecemasan, rasa bersalah, ketakutan dan kemarahan religius dengan cara menekan aktivitas di dalam amygdala.
(8) Sistim limbik
Sistim ini terdiri atas amygdala, hippocampus, hypothalamus, dan thalamus, selain bagian-bagian lain yang tidak diperlihatkan dalam gambar. Jika sistim limbik makin aktif, intensitas emosional meningkat. Orang yang memiliki sistim limbik yang sangat aktif dapat terbenam ke dalam perenungan tentang ajaran tentang dosa warisan yang bermula dari suatu Allah pemurka terhadap nenek moyang manusia. Allah yang tercipta dalam sistim limbik adalah Allah yang kejam, keras, agresif, pemarah, pendendam, penghukum dan menakutkan. Selain itu, orang yang memiliki sistim limbik yang sangat aktif mudah terserang penyakit jantung dan penyakit otak; dan karenanya akan berumur pendek (tetapi tentu tidak selalu demikian).
Pengalaman spiritual
Pengalaman spiritual seseorang, entah pengalaman yang nyata atau yang dibayang-bayangkan saja, mengubah neuron-neuron di organ otaknya sehingga orang ini memandang kenyataan dan hubungan dirinya dengan dunia berbeda secara signifikan dari sebelumnya. Dibandingkan kemampuan alam sadar yang memproduksi pandangan tentang kenyataan secara terbatas dan terfragmentasi, proses tak sadar dalam otak manusia melahirkan pandangan yang lebih menyeluruh atas kenyataan.
Pengalaman-pengalaman spiritual mendorong bekerjanya sistem saraf otak yang membangkitkan perasaan seseorang (sistem saraf simpatetis) dan yang menenangkan batinnya (sistem saraf parasimpatetis). Pengalaman spiritual sangat beraneka ragam dan distimulasi oleh (dan menstimulasi) beraneka ragam aktivitas neurologis dalam lebih dari satu bagian organ otak manusia. Dan setiap orang memiliki “sidik jari” neurologis yang unik di dalam otaknya yang menggambarkan Allah yang dipercayanya. Hampir tidak ada seorangpun menggunakan kata-kata, frasa-frasa, atau ungkapan-ungkapan yang sama dengan yang dipakai orang lain dalam mendeskripsikan pengalaman spiritual berjumpa dengan suatu Allah. Setiap pengalaman keagamaan dan pengalaman spiritual adalah unik, karena tidak ada satupun helaian DNA otak manusia yang sama dengan helaian DNA otak manusia lainnya dan juga karena perbedaaan kebudayaan yang membesarkan dan membentuk kesadaran kognitif setiap manusia.
Bisa terjadi bahwa teks-teks suci yang berbeda-beda pada hakikatnya menggambarkan suatu pengalaman rohani universal, tetapi ketika pengalaman ini ditulis, penulisannya menggunakan bahasa yang unik, yang diangkat dari kebudayaan dan denominasi organisasi keagamaan masing-masing penulisnya yang berlain-lainan. William James (dalam bukunya The Varieties of Religious Experience: A Study in Human Nature [Longman, 1902]) berpendapat bahwa pengalaman-pengalaman spiritual manusia dalam perjalanan sejarah relatif tetap konsisten. Neurosains juga menemukan bahwa otak manusia selama ribuan tahun telah melahirkan secara spontan pengalaman-pengalaman spiritual dan mistikal. Meskipun ada suatu elemen universal dalam setiap agama, namun manusia tidak memiliki kemampuan linguistik untuk mengekspresikan pengalaman-pengalaman ini dengan tingkat akurasi yang tinggi, sehingga terciptalah keanekaragaman gagasan-gagasan teologis.
Orang fundamentalis
Jika orang terlibat terus-menerus dalam kegiatan-kegiatan keagamaan yang terfokus pada kemarahan dan rasa takut yang mengaktifkan organ amygdala dalam otak, seperti terjadi pada kalangan beragama fundamentalis, anterior cingulate akan mengalami kerusakan permanen. Jika hal ini terjadi, seorang fundamentalis religius akan kehilangan rasa peduli pada orang lain dan akan menyerang orang lain dengan sangat agresif. Jika anda mengharapkan suatu kejadian negatif di masa depan yang mengancam nyawa banyak orang, maka aktivitas di anterior cingulate akan menurun dan sebaliknya aktivitas di amygdala meningkat. Keadaan neurologis semacam ini menimbulkan kecemasan dan neurotisisme sangat tinggi. Orang yang menderita keadaan mental semacam ini akan tertarik pada agama-agama fundamentalis karena agama-agama sejenis ini menawarkan suatu sistem kepercayaan religius yang sangat terstruktur yang mengurangi perasaan-perasaan serba tidak pasti, dan yang memungkinkannya untuk menyalurkan semua dorongan agresif yang dibangkitkan oleh amygdala.
Sebaliknya, jika anda ingin memiliki anterior cingulate, korteks frontalis dan sistim limbik yang sehat, anda perlu dengan teratur melakukan meditasi atau tekun berdoa, dengan terus-menerus merenungi konsep-konsep yang dapat membawa anda masuk ke dalam cinta kasih, sukacita, toleransi, optimisme dan pengharapan. Dengan bermeditasi secara teratur dan terus-menerus, otak akan semakin sehat, sebab melalui meditasi otak kita melawan kecenderungan biologis manusia untuk bereaksi penuh amarah dan permusuhan terhadap situasi-situasi yang berbahaya dan yang mengancam.
Orang ateis
Jika orang berkontemplasi tentang Allah, Allah dapat dirasakannya tidak bermakna atau tidak bernilai; hal ini disebabkan oleh tidak aktifnya lobus frontalis dan sistim limbik dalam otak. Orang dapat tidak beragama atau menjadi ateis jika lobus frontalis dan sistim limbik tetap dibiarkan tidak aktif ketika kepadanya diajukan soal-soal spiritual. Kalangan ateis mengalami pola aktivitas neuron otak yang berbeda-beda dari satu orang ke orang lainnya ketika mereka memikirkan konsep tentang Allah. Jadi, apa yang dinamakan “God spot” yang terpatri dalam organ otak kita sebetulnya tidak ada.
Kalau pun terdapat neuron-neuron dalam organ otak kita yang sensitif terhadap Allah, sehingga dapat disebut sebagai “God neuron”, neuron-neuron ini tidak dapat dilokalisasi secara statis dan permanen di satu tempat, tetapi terdapat di tempat-tempat yang berbeda dari orang yang satu ke orang lainnya. Bagi orang yang satu, neuron semacam ini dapat berkaitan dengan perasaan senang dan terpesona; tetapi bagi orang lainnya, dengan perasaan kecewa dan dengan rasa sakit. Ihwal siapa dan bagaimana Allah bagi anda, bergantung pada pola neurologis khas yang terbentuk di otak anda, dan pola ini berkorelasi dengan gaya perilaku emosional pribadi anda. Juga bisa ada orang yang tidak memiliki sirkuit neurologis apa pun yang memungkinkannya mengonstruksi suatu citra positif atau suatu citra negatif mengenai Allah. Untuk orang semacam ini yang tidak memiliki “God neuron”, dia harus mencari makna dan tujuan kehidupannya di bidang-bidang lain, misalnya melalui pengabdian diri dalam dunia sains dan melalui pelayanan karitatif advokatif kepada umat manusia dan semua makhluk hidup lainnya.
“Dua binatang” dalam otak manusia
Memakai sebuah metafora, ada dua binatang di dalam otak kita, yakni satu binatang jahat dan satu binatang baik. Bagaimana sifat otak kita, dan dengan demikian juga bagaimana sifat kepribadian dan orientasi religius kita, ditentukan oleh binatang mana yang kita beri makan paling banyak sehingga menjadi jauh lebih besar dari binatang yang satunya lagi. Binatang jahatnya berdiam dalam sistim limbik otak kita; dan binatang baiknya ada dalam struktur lobus frontalis dan anterior cingulate.
Sistim limbik, yang di dalamnya terdapat amygdala, terbentuk sudah sangat lama dalam sejarah evolusi otak manusia, yakni 450 juta tahun yang lalu, dan sudah menguasai kehidupan manusia sejak 150 juta tahun yang lalu. Jika sistim limbik terlalu aktif dan organ amygdala menguasai semua kegiatan neurologis, dan lobus frontalis serta anterior cingulate tidak mengambil alih kendali atas kegiatan neurologis dalam otak, maka Allah yang dimunculkan adalah Allah yang keras, kejam, egoistik, agresif, pendendam, pemarah, penghukum, menakutkan dan mematikan; dan orang yang membesarkan Allah semacam ini di otaknya juga tumbuh menjadi seorang fundamentalis yang agresif sebagaimana juga sifat Allah yang dipujanya.
Sebaliknya, jika lobus frontalis dan anterior cingulate (yang berusia masih muda dalam sejarah evolusi biologis otak manusia) dilatih terus-menerus untuk aktif mengendalikan semua aktivitas neurologis dalam otak kita, dan kita terus-menerus memberinya makanan berupa konsep-konsep, perasaan-perasaan dan pengalaman-pengalaman kehidupan yang berisi cinta kasih, empati, kepercayaan, bela rasa, logika rasional, nalar, toleransi, kesadaran dan tanggungjawab sosial, maka Allah dalam neuron-neuron otak kita adalah Allah yang maha pengasih dan penyayang, penuh kemurahan, empatis, penyabar, pelindung, dan terbuka untuk dikaji dan dipikirkan oleh akal dan dibaharui oleh akal. Orang yang memiliki lobus frontalis dan anterior cingulate yang aktif akan menjadi orang beragama yang liberal, kritis, rasionalis, progresif, terbuka, toleran, berbela rasa dan pluralis, dan karenanya akan lebih mungkin berumur panjang (tetapi tentu tidak selalu demikian).
Masa depan Allah
Gagasan tentang Allah terus berevolusi dalam perjalanan sejarah makhluk homo sapiens sapiens: semula moyang makhluk cerdas ini memandang Allah sebagai suatu Allah yang otoritarian dan pemarah serta penghukum, tetapi kemudian gagasan ini lambat laun berevolusi sehingga muncullah konsep tentang Allah yang bijaksana, pengasih dan penyayang. Evolusi kultural pemikiran tentang Allah ini mengikuti evolusi neurologis dalam organ otak manusia. Karena evolusi dalam kebudayaan dan organ otak manusia terus berlangsung, maka gagasan dan pengalaman tentang Allah tidak akan lenyap di masa depan peradaban manusia.
Tetapi Allah di masa depan tentu tidaklah harus sama dengan Allah yang digambarkan dalam kitab-kitab suci kita sekarang. Allah masa depan adalah Allah yang penuh misteri, yang tidak dapat ditangkap oleh kata-kata manusia, tetapi dialami oleh manusia dalam suatu pengalaman kesatuan mistikal yang tak dapat diekspresikan oleh kata-kata manusia, dan karenanya orang akan berbicara bukan lagi tentang agama-agama lembaga yang terkotak-kotak, tetapi tentang spiritualitas yang sangat kaya dengan makna, nilai, tujuan, dan simbol-simbol yang dihayati melalui jalan-jalan yang majemuk dan tak terhabiskan. Allah masa depan akan memegang banyak peran dan mentransendir banyak tafsiran tradisional atas teks-teks suci keagamaan. Allah masa depan, karenanya, adalah sebuah metafora yang tak pernah habis dimaknai dan diungkap, jika memang dapat dimaknai dan dapat diungkap, dalam usaha manusia mencari kebenaran dan makna yang paling mendasar buat kehidupannya.
Evaluasi
Sudah menjadi suatu pandangan umum di kalangan orang beragama bahwa sains dan agama tidak bisa dipertemukan, keduanya selalu bertentangan. Sains terfokus pada kajian-kajian terhadap segala sesuatu yang objektif dan empiris; sedangkan agama terfokus pada kepercayaan atau iman tanpa bukti objektif empiris apapun tentang adanya suatu Allah (atau banyak Allah) dan dunia supernatural. Sains berkutat dalam dimensi logismos (= logika), sedangkan agama dalam dimensi pistis (= iman). Pandangan ini sebenarnya sangat keliru, sebab agama dan kepercayaan keagamaan bisa dikaji secara ilmiah. Dewasa ini minimal ada tiga bidang ilmu yang menjadikan agama dan kepercayaan keagamaan sebagai objek-objek kajian ilmiah objektif.
Pertama, adalah kajian di bidang ilmu-ilmu sosial seperti sosiologi agama dan antropologi kultural. Kedua bidang ilmu sosial ini memperlakukan agama dan kepercayaan keagamaan sebagai fenomena sosiologis dan antropologis dan karenanya terbuka untuk dikaji secara ilmiah. Apapun klaim orang beragama tentang agamanya (misalnya bahwa agamanya “diturunkan” dari langit sebagai wahyu ilahi, dan karenanya bukan buatan atau ciptaan manusia), setiap agama, dilihat dari kajian sosial, memiliki unsur-unsur sosiologis antropologis buatan manusia, yang terbuka untuk dikaji secara ilmiah, objektif dan empiris. Secara objektif, setiap agama memiliki lima unsur sosiologis empiris yang membuatnya setara dengan organisasi-organisasi sosial lainnya, yakni 5 unsur K: komunitas sosial, kultus ritual, kanon (= kitab suci), kode etik moral, dan kredo. Kelima unsur ini menjadikan setiap agama terbuka untuk dikaji secara sosial antropologis, yakni mengenai asal-usul sosiologis kulturalnya, sejarahnya, konteks sosio-budayanya, strategi beradaptasinya, strategi pertahanan dirinya, agenda perjuangannya, arah dan tujuannya, ideologi atau pandangan dunia-nya (world view), nilai-nilai sosio-kulturalnya, tantangannya, kepemimpinannya, perilaku sosial anggota-anggotanya, karya-karyanya, kehidupan ekonomi anggota-anggotanya, relasi antara pengalaman kehidupan sosial, ideologi dan kepercayaannya pada hal-hal supernatural, dlsb.
Kedua, adalah psikologi agama, yang secara ilmiah mengkaji setiap fenomena keagamaan sebagai suatu fenomena yang bersumber pada dan berkaitan dengan kondisi-kondisi psikologis umat (individual maupun kolektif) yang menganutnya, yang hidup dalam suatu konteks sosial yang memengaruhi dan dipengaruhi oleh kondisi-kondisi psikis ini. Psikologi agama memperlakukan semua pengalaman keagamaan sebagai pengalaman psikologis manusia, inheren dalam jiwa manusia, terlepas dari ada atau tidak adanya suatu Allah supernatural yang dipercaya umat beragama.
Ilmu yang ketiga berkait erat dengan psikologi agama, yakni neurosains (atau neurobiologi). Neurosains adalah suatu kajian ilmiah terhadap otak manusia dan sistim saraf rumit yang bekerja di dalamnya. Kalau neurosains diterapkan pada agama dan semua gejala spiritual, ilmu terapannya ini dinamakan neuroteologi. Nah, buku yang isi pokoknya sudah dikemukakan di atas adalah buku tentang neurosains dan neuroteologi, yang ditulis oleh dua orang neurosaintis terpandang, Andrew Newberg dan Mark Robert Waldman. Kita tentu harus berterima kasih kepada keduanya.
Neurosains dan neuroteologi tidak bisa membuktikan apakah Allah secara objektif ada atau tidak ada sebagai suatu realitas supernatural. Tetapi uraian di atas telah memperlihatkan kepada kita bahwa semua pengalaman keagamaan dan setiap perilaku keagamaan (entah yang bercorak fundamentalis pemberang ataupun yang bercorak liberal pengasih) dapat dicari sumber-sumbernya pada aktivitas neuron-neuron otak manusia dan pada bagian-bagian struktural otak manusia yang sudah terbentuk selama perjalanan panjang evolusi biologis otak manusia. Ada atau tidak adanya Allah secara objektif sebagai suatu realitas adikodrati, otak manusia memampukan manusia untuk membangun sebuah agama dan memikirkan serta memilih sifat-sifat Allah yang diperlukannya, yang dipandangnya dapat membuat dirinya bertahan dalam lingkungan alam dan lingkungan kebudayaannya sendiri.
Karena setiap kehadiran suatu bentuk agama berdampak pada kehidupan masyarakat sepanjang sejarahnya, maka kita yang mencintai kehidupan, bukan kematian dan kehancuran di muka Planet Bumi, tentu perlu mengarahkan kehidupan agama kita ke arah yang benar, yakni agama kita harus menghasilkan ketahanan kehidupan yang baik untuk semua spesies di planet ini. Kita perlu memompa gagasan-gagasan tentang suatu Allah yang maha baik dan maha berbela rasa dan maha bijaksana ke dalam organ otak kita sehingga aktivitas di lobus frontalis dan di anterior cingulate terus meningkat, dan aktivitas neurologis kuat di bagian-bagian organ otak ini pada gilirannya semakin membentuk kepribadian sosio-religius kita yang terbuka pada cinta kasih, tanggungjawab sosial, toleransi, empati, pluralisme, kesatuan umat manusia, kemajemukan religiokultural, kecerdasan religius, dan rasionalitas manusia serta sains.
Jakarta, 09 Agustus 2010
by Ioanes Rakhmat