Tuesday, December 31, 2013

Merenungi objektivitas historiografi bertolak dari kontroversi film Soekarno

Berkaitan dengan film Soekarno, dalam minggu kedua Desember 2013 terjadi perselisihan tajam yang sampai naik ke Pengadilan Niaga Jakarta Pusat antara Hanung Bramantyo (sutradara film ini) dan Rachmawati Soekarnoputri (adik Megawati Soekarnoputri)./1/ Meskipun demikian, film ini sejak 11 Desember 2013 sudah diputar di sejumlah bioskop tanpa kendala. Bersama isteri, saya sudah menonton film ini di bioskop XXI Mal Artha Gading, Jakarta, pada 17 Desember 2013, mulai pukul 21.15 WIB.

Saat acara jumpa pers di Universitas Bung Karno, Cikini, Jakarta, 12 Desember 2013, Rachmawati, yang kecewa karena film ini sedang diputar di bioskop-bioskop, menyatakan bahwa “film tentang Soekarno yang digarap Multivision Plus dan disutradarai Hanung Bramantyo tidak sesuai dengan sosok Soekarno asli. Film Soekarno memalukan.” Pertikaian ini menyangkut juga hak cipta film Soekarno. Menurut Rachmawati, karena dia adalah pengusul pembuatan film ini, dia telah disepakati sebagai pemegang hak ciptanya. 

Ada tiga adegan dalam film ini yang kata Rachmawati tidak pernah terjadi pada ayahnya, Soekarno, semasa hidupnya. Yakni: Adegan Soekarno ditampari oleh seorang polisi militer dan kepalanya dihantam popor senjata sampai dia terjatuh di lantai (kata Rachmawati adegan ini merendahkan ayahnya); adegan Soekarno merayu seorang perempuan yang berpakaian seronok di dalam sebuah kamar (adegan ini kata Rachmawati sangat melecehkan Soekarno); dan adegan Soekarno mendiktekan teks Naskah Proklamasi kepada Hatta yang menjadi penulis naskah, padahal naskah itu dibuat oleh Bung Hatta sendiri, bukan oleh ayahnya (dus, adegan ini menurut Rachmawati telah memutarbalik fakta sejarah)./2/