Thursday, October 25, 2012

Merenung-renung mengenai Allah dan Setan


Orang yang sangat percaya bahwa Setan itu ada, seringkali menjadi kesetanan sehingga mereka tidak dapat lagi dengan kritis bertanya, Apakah Setan itu betulan ada dalam dunia objektif? Atau, Apakah Setan itu diinvensi oleh manusia sendiri untuk menstigmatisasi lawan-lawan mereka yang dianggap sebagai setan-setan, musuh Allah mereka? Ketika stigmatisasi ini sudah dilakukan, bukankah mereka, atas nama Allah mereka, bebas membantai semua musuh mereka, tanpa bisa dijerat oleh hukum positif apapun? 
― ioanes rakhmat

Penyakit mental kepribadian ganda dan fenomena psikosomatik dapat dengan memuaskan menjelaskan fenomena kesurupan; sebaliknya, sama sekali tak masuk akal, tidak ada teori ilmiahnya, jika anda harus membayangkan Setan atau roh-roh jahat, sebagai makhluk-makhluk immaterial (jika ada), dapat menyerbu dan mengganggu jalannya kerja otak, kerja sel-sel saraf di dalam tempurung kepala anda yang jumlahnya  100 milyar, yang semuanya material, untuk menimbulkan fenomena kesurupan!  
― ioanes rakhmat 


Bermula, antara lain, dari agama Persia kuno yang dikenal sebagai Zoroastrianisme, dikonseplah apa yang dinamakan dualisme etis kosmologis: dalam jagat raya ini terdapat dua wilayah yang saling bertentangan, wilayah kebaikan dengan sang ilahnya sendiri sebagai penguasanya, dan wilayah kejahatan juga dengan sang ilahnya sendiri sebagai penguasanya. Masing-masing penguasa ini, dalam berbagai agama, diberi berbagai nama; untuk mudahnya, orang dapat menyebutnya Allah (bersama bala tentaranya) sebagai sang penguasa kawasan kebaikan, dan Setan (beserta bala tentaranya) sebagai sang ilah yang menguasai kawasan kejahatan. Jadi, dua bentuk moralitas (kebaikan dan kejahatan) dikaitkan entah dengan Allah atau pun dengan Setan.

Apakah kedua oknum spiritual ini, yakni Allah dan Setan, sungguh ada dalam realitas objektif? Sama seperti orang hanya bisa mempercayai bahwa Allah itu ada, dan tidak bisa membuktikan secara empiris objektif keberadaan Allah ini, demikian juga halnya dengan Setan: orang hanya bisa mempercayai adanya Setan, tanpa bisa membuktikan secara empiris objektif keberadaan Setan ini. Allah dan Setan berada pada wilayah teologi, bukan pada wilayah sosiologi, berada pada wilayah mitologi, bukan pada wilayah sejarah.

Kalaupun orang mau mengajukan bukti objektif bahwa Allah itu ada, umumnya akan ditunjuk pertama-tama sifat-sifat baik yang ada dalam diri manusia. Kata sementara orang, bahwa orang itu bisa berbuat baik, membuktikan Allah ada di dalam orang itu. Sebaliknya, kejahatan yang ada dalam dunia ini, yang dilakukan oleh manusia, juga dipakai sebagai bukti bahwa Setan itu ada. Jadi, dari watak moral manusia, orang berargumentasi bahwa Allah itu ada, atau bahwa Setan itu ada. Tetapi argumentasi ini bukanlah argumentasi logis historis, tetapi sebuah lompatan iman, sebab adanya orang baik membuktikan hanya adanya orang baik; begitu juga, adanya orang jahat membuktikan hanya adanya orang jahat. Adanya orang baik dan adanya orang jahat tidak bisa ditarik lebih jauh untuk menyimpulkan hal-hal yang hanya ada dalam teologi atau dalam mitologi. Jika dipaksa ditarik lebih jauh untuk menyimpulkan hal-hal yang ada dalam wilayah teologi/mitologi, maka yang terjadi adalah sebuah lompatan iman, yang tidak membuktikan hal apapun dalam dunia empiris objektif.

Selain itu, harus diingatkan bahwa watak baik atau watak jahat seseorang itu sangat kuat dibentuk oleh lingkungan kehidupan dan pergaulannya, dan oleh jenis serta isi pendidikan yang diterimanya, yang sudah berlangsung sejak tahap-tahap dini perkembangan mentalnya. Kenyataan-kenyataan sosiologis ini sudah lama diobservasi dan diperlihatkan secara saintifik dalam kajian-kajian mengenai perkembangan psikologis perilaku manusia, sehingga kita juga harus sangat berhati-hati untuk tidak sepenuh-penuhnya mengasalkan secara genetik atau secara neurologis semata terbentuknya watak-watak manusia. Genetika dan neurosains yang terfokus penuh pada nature (kodrat) manusia, juga memerlukan sosiologi dan ilmu-ilmu humaniora lain yang berkaitan, yang fokus pada beranekaragam faktor sosiologis yang ikut membangun watak-watak manusia (faktor-faktor nurture).

Meminjam metafora yang digunakan Herbert Simon, psikolog yang meraih Hadiah Nobel, kita dapat menggambarkan nature dan nurture sebagai sebuah gunting yang terdiri atas dua bilah mata: bilah pertama nature, dan bilah kedua nurture. Sebuah gunting bisa dipakai untuk menggunting hanya apabila kedua bilah matanya ini bekerjasama, dalam suatu interaksi yang seimbang. Begitu juga halnya dengan manusia: dalam kehidupannya sehari-hari, faktor nature dan faktor nurture berinteraksi, dan lewat interaksi inilah dia dapat menjalankan berbagai fungsinya sebagai manusia dalam masyarakat.

Jadi, mengasalkan watak baik manusia pada adanya Allah atau watak jahatnya pada adanya Setan dalam diri manusia, berarti mengabaikan atau bahkan meniadakan sama sekali sangat banyak faktor empiris objektif (genetis, neurologis, dan sosiologis) yang sangat dominan membentuk berbagai jenis watak manusia. Reduksionisme semacam ini sesungguhnya mengerdilkan manusia hanya sebagai objek pasif permainan kekuatan-kekuatan yang dibayang-bayangkan saja (entah kekuatan yang diasalkan pada Allah, atau yang diasalkan pada Setan), kekuatan-kekuatan yang tidak real ada dalam dunia kehidupan manusia. Dalam kenyataan sosiologisnya, setiap manusia bukanlah objek pasif yang pasrah saja dipermainkan dan diatur oleh kekuatan-kekuatan di luar dirinya yang diasalkan dari dunia spiritual, melainkan subjek yang sangat aktif dalam menjadikan siapa dan bagaimana dirinya dari waktu ke waktu di dalam masyarakatnya. Ada kehendak bebas dalam diri setiap manusia, meskipun kehendak bebas yang absolut hanya ada dalam ilusi, bukan dalam realitas sosiologis, realitas yang sangat kuat membentuk diri setiap orang, dengan dikehendaki atau dengan tidak dikehendaki olehnya.

Kaum agamawan umumnya akan, bisa dalam batas-batas tertentu atau bisa juga dalam segala hal, mengidentikkan Allah dengan agama (meskipun mereka bisa saja sudah tahu  bahwa praktek semacam ini, yang dalam dunia Islam dikenal sebagai dosa syirik, dilarang oleh agamanya sendiri). Dengan demikian, adanya agama dalam dunia ini dipakai oleh mereka untuk menjadi dasar penarikan kesimpulan bahwa Allah itu ada; dan lewat agamalah, kata mereka, Allah membentuk watak baik manusia. Pandangan semacam ini mengenai hubungan Allah dan agama, atau yang menyatukan Allah dengan agama, memiliki banyak persoalan, antara lain berikut ini.

Pertama, setiap agama, bagaimanapun juga, dapat dengan tepat dipandang sebagai sebuah lembaga sosial yang semuanya memiliki sedikitnya lima unsur sosiologis (objektif ada dan dipercaya komunitas keagamaan yang real), yakni unsur syahadat, unsur kitab suci, unsur kode moralitas, unsur kultus pemujaan dan ritual, unsur komunitas. Kelima unsur ini dapat dengan baik dibangun sekalipun keberadaan dunia adikodrati disangkal, seperti misalnya dalam apa yang sosiolog beken Robert N. Bellah dan sosiolog Martin E. Marty namakan agama sipil, civil religion./1/ Dipandang dari sudut sosiologis, adanya agama yang mewartakan tentang adanya Allah tidak otomatis membuktikan bahwa Allah itu ada di dunia adikodrati yang tak kasat mata, melainkan hanya membuktikan bahwa ada suatu komunitas manusia yang mempercayai bahwa Allah itu ada. Kepercayaan adalah kepercayaan, sesuatu yang subjektif, dan bukan fakta objektif selama isi kepercayaan ini belum faktual terbukti.

Kedua, kalau kita tidak mengidealisir agama, maka kita dapat dengan objektif menyatakan bahwa agama-agama, dalam kenyataannya, tidak hanya menghasilkan kebaikan tapi juga keburukan dalam dunia ini, tidak hanya menghasilkan orang baik tetapi juga orang jahat dalam dunia ini, tidak hanya mendatangkan pencerahan tapi juga kegelapan dalam dunia ini, tidak hanya memperjuangkan kedamaian tapi juga menimbulkan perang dalam dunia ini, dan seterusnya. Jadi, dalam agama juga terdapat unsur-unsur demonik, bukan hanya unsur-unsur ilahi; dengan demikian, adalah sebuah usaha yang sangat berbahaya bagi teologi  jika orang begitu saja menyamakan agama dengan Allah yang umumnya dipercaya oleh orang beragama sebagai suatu Oknum Adikodrati yang mahabaik. Jika Allah itu mahabaik, maka agama, sebagai perwujudan Allah sepenuhnya dalam dunia manusia, haruslah hanya menghasilkan kebaikan, tetapi kenyataannya tidaklah demikian. Jadi, adanya agama dalam dunia ini sebetulnya dapat dipakai sebagai sebuah bukti baik bagi adanya Allah maupun bagi adanya Setan. Tapi sudah diingatkan di atas bahwa kita akan terjatuh ke dalam reduksionisme atas diri manusia jika watak baik atau watak jahatnya diasalkan pada Allah atau pada Setan.

Ketiga, lima unsur sosiologis yang membentuk agama, yang sudah disebut di atas, dalam kenyataannya juga ditemukan dalam ritual dan kultus yang bukan menyembah Allah, tetapi dengan sengaja menyembah Setan, sehingga ritual atau kultus pemujaan ini dapat juga disebut sebagai “agama Setan”. Tetapi sama seperti agama-agama yang diklaim para penganutnya sebagai agama Allah tidak otomatis membuktikan adanya Allah, begitu juga halnya dengan agama-agama Setan: agama-agama Setan tidak otomatis membuktikan adanya Setan, tetapi hanya membuktikan bahwa para penganutnya memang mempercayai Setan dan menyembah Setan. Mempercayai dan menyembah Setan itu hanya membuktikan adanya kepercayaan dan penyembahan jenis ini, dan sama sekali tidak membuktikan bahwa Setan itu, sebagai objek yang dipercaya dan disembah, betulan ada. Jika fakta adanya agama-agama Setan dijadikan sebagai landasan untuk menyatakan bahwa Setan itu ada di dunia adikodrati yang tak kasat mata, ini juga sebuah lompatan iman. Menyatakan bahwa dunia adikodtrati yang tidak kasat mata itu ada, juga sebuah lompatan iman, sebab keberadaan dunia adikodrati semacam ini tidak bisa dibuktikan secara faktual empiris, tetapi hanya ada dalam iman atau dalam kepercayaan manusia.

Keempat, jangan dilupakan bahwa dalam satu agama saja, atau dalam satu kitab suci yang dipakai dalam satu agama, terdapat lebih dari satu gambaran mengenai Allah dan wataknya. Jangan disangkal, ada lebih dari satu watak Allah yang digambarkan dalam satu agama atau dalam satu kitab suci; dan di antara watak-watak Allah yang digambarkan ini, ada watak-watak Allah yang tidak baik, bahkan jahat dan merusak serta membinasakan kehidupan. Dalam kepercayaan Yahudi yang bertumpu pada kitab suci Yahudi yang dinamakan Tanakh, selain dilukiskan mahakasih dan mahapenyayang, Allah bangsa Yahudi juga di banyak tempat dalam Tanakh digambarkan sebagai Allah yang kerap memerintahkan umatnya berperang dan membunuh semua musuh mereka tanpa ampun, bahkan, dalam mitologi Air Bah yang sudah dikenal umum, Allah bangsa Yahudi digambarkan membinasakan seluruh umat manusia, dan menyelamatkan hanya Nabi Nuh dan keluarganya serta hewan-hewan yang masuk ke dalam bahtera sebelum air bah didatangkan untuk memusnahkan semua bentuk kehidupan.

Nah, persoalannya adalah: Jika dalam diri Allah terdapat watak-watak yang tidak baik, jahat, kejam dan mematikan (bukan menghidupkan), bagaimana mungkin Allah yang semacam ini bisa memunculkan watak baik dalam diri manusia yang mempercayai Allah semacam ini; bagaimana bisa agama yang mempercayai dan menyembah Allah yang semacam ini bisa melahirkan manusia-manusia yang baik dan pencinta kehidupan? Renungkanlah dalam-dalam, dan terimalah fakta-fakta ini!

Kelima, juga jangan dilupakan, dalam dunia kita sekarang ini ada banyak dan beranekaragam agama dan kitab suci. Adanya beranekaragam agama dan kitab suci dalam dunia ini juga memunculkan bermacam-macam pemikiran (baca: teologi) manusia  mengenai oknum adikodrati yang antara lain dinamakan Allah atau Tuhan (bisa esa dan bisa juga banyak). Teologi yang beranekaragam ini tentu saja makin memperbanyak gambaran manusia mengenai Allah dan watak-wataknya, gambaran-gambaran yang dalam banyak segi tidak harmonis, tidak konsisten, bahkan bertentangan dan bertabrakan satu sama lain. Nah, dalam hutan rimba agama-agama ini, dengan kitab sucinya masing-masing yang memiliki kekhasan sendiri-sendiri, Allah agama dan Allah kitab suci yang manakah yang harus diterima dan dipercaya sebagai Allah yang membentuk watak manusia? Allah bangsa Yahudikah? Allah umat Kristenkah? Allah yang disembah Nabi Muhammadkah? Atau beranekaragam allah atau tuhan atau dewa dalam agama Hindukah, dalam agama Tridharmakah, atau dalam Buddhisme yang mempertahankan teologi apofatikkah, ataukah dewa-dewi dan makhluk-makhluk halus yang dipercaya agama-agama alam atau agama-agama suku, ataukah Dewa Zeus dalam panteon Yunani?

Selain itu, juga muncul sebuah pertanyaan lain: Kebajikan moral yang bagaimanakah atau yang manakah, yang dibela dan dikehendaki oleh masing-masing Allah dalam hutan rimba teologi untuk dipunyai setiap manusia? Pertanyaan ini sangat sukar untuk dijawab dengan satu jawaban tunggal, sebab kebajikan dan moralitas agung yang paling didambakan dan dicita-citakan oleh satu agama (dan oleh satu kebudayaan) akan bisa berbeda tajam dari yang didambakan dan dicita-citakan oleh satu agama lain (dan oleh satu kebudayaan lain).

Jadi, ketimbang berhasil meyakinkan orang bahwa Allah atau Setan itu ada jika orang memakai bukti watak-watak yang dipunyai manusia, cara berargumentasi semacam ini, sebagaimana sudah dibeberkan di atas, malah menimbulkan lebih banyak pertanyaan dan persoalan alih-alih memberi sebuah kesimpulan kuat.

Meskipun sekarang ini kita hidup dalam zaman modern, di mana sains dan teknologi modern sudah menjadi bagian integral dari kehidupan kita sehari-hari dan tanpa keduanya kita sudah tidak mungkin bisa hidup, masih ada sangat banyak orang, khususnya orang beragama, yang percaya bahwa Setan (atau roh jahat, atau roh-roh jahat) kerap masuk ke dalam tubuh dan pikiran manusia dan berbicara dan melakukan bermacam-macam hal yang destruktif lewat tubuh yang dimasukinya. Fenomena ini di Indonesia dikenal sebagai kesurupan atau kerasukan Setan (Inggris: “possessed”); dan selalu dirujuk oleh para agamawan sebagai sebuah bukti kuat bahwa Setan itu betulan ada. Selanjutnya argumennya ditarik oleh mereka lebih jauh: Jika Setan itu ada, dan Setan ini bisa diusir keluar dari tubuh orang yang dirasuknya oleh seorang (atau lebih) rohaniwan dengan memakai nama Allah (atau nama-nama lain yang diyakini lebih tangguh dan lebih kuat), maka kesimpulannya lainnya adalah bahwa Allah juga ada, dan Allah ini mengalahkan Setan.

Tetapi pertanyaan-pertanyaannya adalah: Apakah kerasukan Setan itu sebuah kejadian objektif, dalam arti bahwa Setan (atau roh jahat) memang ada, lalu bisa merasuki seorang manusia, masuk ke dalam tubuh dan pikirannya lalu mengendalikan keduanya dan menimbulkan kejadian-kejadian yang destruktif, khususnya atas diri orang yang sedang kerasukan? Apakah tubuh manusia itu memang bisa diumpamakan sebagai sebuah botol kosong yang bisa diisi dengan air (baca: setan sebagai roh), atau sebuah balon karet yang belum ditiup, yang bisa digelembungkan dengan memasukkan udara (baca: setan sebagai roh) ke dalamnya? Pertanyaan-pertanyaan ini berkaitan dengan konsep-konsep psikologis tentang diri manusia:

  • Apakah manusia itu dualistik, dalam arti: tubuh dan jiwanya terpisah, keduanya bisa diceraikan satu sama lain, dan “jiwa” menempati “ruang khusus”, di mana ruang khusus ini juga bisa dihuni Setan atau roh-roh jahat? 
  • Ataukah manusia itu monistik, dalam arti: tubuh dan jiwa tak dapat dipisahkan, keduanya menyatu dan saling berkaitan, saling mencengkeram, serta saling memengaruhi, dan kalau tubuh binasa/lenyap, menyatu dengan tanah setelah kematian, jiwa juga dengan sendirinya lenyap, tanpa bekas, tak pergi ke mana-mana? 

Kalau kita menerima bahwa untuk mencari dan menemukan kebenaran, orang harus berpaling ke sains (karena sains selalu jujur, meskipun si saintis bisa tergoda untuk  tidak jujur, perilaku yang akan menghancurkan kredibilitasnya sebagai seorang saintis!), maka bagi sains, manusia adalah insan yang monistik.

Dalam pandangan yang monistik, tidak ada “ruang khusus” untuk tempat tinggal jiwa atau “roh” dalam tubuh manusia, yang terpisah dari bagian-bagian tubuh lainnya, sehingga fenomena yang dinamakan “kesurupan” (yakni masuknya Setan atau roh jahat ke dalam tubuh manusia) tidak mungkin ada. Berbagai kajian klinis neurosains menunjukkan bahwa manusia sebetulnya adalah makhluk yang monistik: tubuh dan jiwanya, atau tubuh dan pikirannya, menyatu, tak terpisah; apa yang menjadi gerak-gerik jiwa, adalah juga apa yang menjadi gerak-gerik otak, dan sebaliknya; dan semua hal yang menyangkut apa yang dinamakan “pengalaman-pengalaman rohani” diproduksi oleh neuron-neuron (sel-sel saraf, berjumlah 100 milyar sel) yang membentuk organ otak manusia, sehingga sesungguh-sungguhnya pengalaman-pengalaman ini berlangsung hanya di dalam tempurung kepala kita, dalam organ otak kita, tidak di dalam dunia yang dinamakan dunia adikodrati. Jadi, ketika otak lenyap, lenyap jugalah jiwa kita; tak ada apa yang dinamakan “roh” dalam diri manusia yang masuk ke dalam tubuh (pertama kali mungkin, harus diandaikan, ketika manusia masih berbentuk janin dalam rahim seorang perempuan), lalu meninggalkan tubuh ini kembali ketika manusia mati (atau saat mengalami apa yang diklaim sebagai “out-of-body experience”, pengalaman jiwa/roh keluar dari tubuh)./2/ 

Belakangan ini saya sudah menyaksikan sedikitnya dua buah film Barat tentang kerasukan Setan. Film yang pertama berjudul The Exorcism of Emily Rose, yang disutradarai oleh Scott Derrickson (produksi tahun 2005, Amerika); yang kedua berjudul Exorcismus, dengan sutradaranya Manuel Carballo (produksi tahun 2010, Spanyol). Tentu saja dalam dua film ini Setan (atau roh jahat) digambarkan betul-betul ada (film yang terdahulu bahkan diklaim dibuat berdasarkan kisah nyata), dan kerasukan Setan sebagai fenomena fisikal dan mental juga dilukiskan objektif terjadi. Tetapi harus diingat: sosok Setan, kejadian kerasukan Setan beserta indikasi-indikasinya, dan dampaknya yang destruktif, dan eksorsisme (ritual pengusiran setan), menjadi begitu real, sangat grafis, umumnya hanya di dalam film-film, bukan dalam dunia nyata sehari-hari.

Jangan dilupakan bahwa setiap film, apalagi yang dibuat dengan kualitas prima dalam segala seginya, memiliki kemampuan besar untuk menghanyutkan para penonton ke dalam dunia maya yang dirasakan mereka sangat real, ke dalam pikiran-pikiran yang imajinatif, yang melampaui pikiran-pikiran sehat dalam dunia kehidupan sehari-hari yang normal, ke dalam situasi-situasi mental yang tak biasa, “gaib” dan “mencengkeram”─fenomena ini, yang dialami ketika seseorang sedang menyaksikan sebuah film dan ketika usai menontonnya bahkan sampai jauh ke depan dalam perjalanan kehidupan seseorang, dinamakan “altered state of consciousness” (ASC): kesadaran manusia yang berubah, dibawa masuk ke tatanan yang lain, yang berbeda, yang tidak sama dengan tatanan dunia sehari-hari yang wajar. 

Ada manusia yang dengan mudahnya menyamakan begitu saja ASC dengan realitas faktual objektif (karena kecondongan-kecondongan mentalnya yang diwarisinya secara genetik, atau karena tidak memiliki pengetahuan yang cukup); dan ada juga manusia yang tahu dan sadar penuh, dan bersikap sangat kritis, bahwa ASC hanya berlangsung dalam otak di dalam tempurung kepala mereka, bukan dalam dunia nyata sehari-hari. Jika anda termasuk manusia tipe pertama, maka anda akan bisa sangat yakin bahwa kesurupan itu suatu fenomena yang real, hanya karena anda habis menyaksikan dua film yang sudah disebut di atas, yang anda telan mentah-mentah sebagai fakta-fakta, dan anda sama sekali tak sanggup untuk menilainya dengan kritis, dengan memanfaatkan apa yang menjadi pandangan ilmu pengetahuan.

Di negeri-negeri maju, di mana sains dan teknologi mengarahkan segala sesuatu dalam kehidupan manusia, apa yang di Indonesia dinamakan “kesurupan”, yang penyebabnya diasalkan pada Setan atau makhluk-makhluk adikodrati lain yang tak kasat mata, yang rohani, dijelaskan secara saintifik dan diperlihatkan secara klinis sebagai suatu penyakit mental yang dinamakan schizophrenia, yang mencakup berbagai jenis mental disorder. Untuk mudahnya, penyakit mental ini disebut sebagai penyakit kepribadian ganda, yang jika timbul orang yang mengidapnya akan memperlihatkan gejala-gejala yang disebut “kesurupan”. Selain itu, penyakit mental kepribadian ganda, ketika sedang muncul, biasanya juga dibarengi dengan fenomena psikosomatik: keadaan-keadaan kejiwaan yang menekan dengan sangat kuat, merembes keluar, lalu menampakkan diri dalam berbagai kondisi tubuh (stigmata, misalnya). Fenomena psikosomatik menunjukkan dengan sangat jelas bahwa jiwa (Yunani: psykhē) dan tubuh (Yunani: sōma) manusia menyatu, tak terpisahkan; apa yang terjadi dalam jiwa mempengaruhi dengan kuat, atau tampak pada, keadaan-keadaan jasmani, begitu juga sebaliknya.

Ada banyak sekali faktor objektif yang dapat membuat seseorang mengalami penyakit mental kepribadian ganda ini, faktor-faktor yang bahkan bisa sudah bekerja semenjak dia masih kanak-kanak. Selain itu, kehidupan yang setiap hari dijalani dengan perasaan stres, dari yang ringan sampai yang sudah berat, juga potensial menimbulkan fenomena kesurupan, khususnya ketika orang yang stres ini sudah tak tahan lagi dan tak bisa menahan luapan perasaannya yang penuh gejolak dahsyat. Kesurupan itu, dilihat dari sudut ini, tak lain adalah jebolnya bendungan pertahanan diri untuk berkelakuan sehat dan terkendali, yang membuat seseorang mengumbar kegeraman dan kebenciannya tak kepalang tanggung, habis-habisan, sehingga dia tampil dan bersuara seperti seorang lain yang tak dikenal sebelumnya, dan dalam kondisi-kondisi yang ekstrim bahkan desakan-desakan kejiwaan yang hebat ini dapat mengubah keadaan-keadaan tubuhnya. Stres kejiwaan tidak hanya sering menimpa orang perorangan, tetapi juga bisa dialami secara massal, yang melibatkan banyak orang sekaligus, dan ketika stres massal ini tak tertangani dengan baik, stres kolektif ini akan meledak sebagai kerasukan massal.

Biasanya para pakar akan memberi nasihat bahwa orang yang menderita penyakit mental kepribadian ganda ini lambat-laun akan dapat disembuhkan, selain dengan meminum obat-obatan khusus, juga dan terutama lewat kasih sayang dan empati yang dalam terhadap si sakit, di dalam kehidupannya dalam keluarganya dan juga ketika berkonsultasi dengan para ahli yang memakai pendekatan holistik lintasilmu. Nyanyian yang syahdu dan sejuk, musik yang menimbulkan relaksasi, juga bisa meredakan gejolak-gejolak jiwa yang muncul ketika seseorang terserang penyakit ini. Selain itu, para pakar juga akan pasti memeriksa kondisi organ otak si sakit, otak sebagai sebuah “mesin neurologis” yang bisa menghasilkan berbagai macam perilaku mental yang patologis. Jika memang ditemukan, lewat alat-alat pemindai, ada bagian-bagian tertentu otaknya yang cedera atau rusak atau memiliki kelainan struktural dan fisiologis, yang didiagnosis sebagai pemicu fenomena kesurupan, bagian-bagian neural ini tentu saja akan ditangani untuk menolong si penderita. Karena semua pendekatan saintifik ini adalah pendekatan “evidence-based”, tentu saja tak ada seorang pun dari antara mereka yang akan menyatakan bahwa si sakit mengalami penyakit mental ini karena dia dirasuk Setan atau dirasuk roh-roh jahat.

Tentu saja, para agamawan atau para rohaniwan, di Barat maupun di Timur, tidak akan pernah puas jika penyakit mental kepribadian ganda, khususnya yang berdampak destruktif pada diri si sakit dan lingkungan sekitarnya, hanya dijelaskan asal-usulnya dan diberikan terapinya berdasarkan bukti-bukti klinis saja atau berdasarkan pandangan-pandangan saintifik saja. Mereka umumnya akan dengan gigih mempertahankan bahwa “kesurupan” bukan hanya suatu penyakit mental, melainkan sebuah fenomena “paranormal” masuknya Setan atau roh-roh jahat ke dalam tubuh dan pikiran si sakit.

Tetapi, sekali lagi, berhubung  hingga sekarang ini tak pernah terbukti bahwa Setan itu ada dan bahwa Setan ini bisa masuk ke dalam tubuh dan pikiran si sakit, dan, khususnya, berhubung manusia itu insan yang monistik, maka pandangan kaum agamawan atau kaum rohaniwan itu hanya bisa ditempatkan dalam wilayah kepercayaan, wilayah keyakinan mitologis, bukan wilayah dunia objektif dan wilayah sains. Jika mereka berkeras untuk percaya bahwa Setan atau roh-roh jahat itu ada, ya mereka percaya pada kepercayaan yang mereka bangun sendiri! Harus diingatkan lagi, penyakit mental kepribadian ganda dan fenomena psikosomatik dapat dengan memuaskan menjelaskan fenomena kesurupan; sebaliknya, sama sekali tak masuk akal, tidak ada teori ilmiahnya, jika anda harus membayangkan Setan atau roh-roh jahat, sebagai makhluk-makhluk immaterial (jika ada), dapat menyerbu dan mengganggu jalannya kerja otak, kerja sel-sel saraf di dalam tempurung kepala anda yang jumlahnya 100 milyar, yang semuanya material, untuk menimbulkan fenomena kesurupan!

Jika gereja (seperti digambarkan dalam dua film tentang kerasukan Setan yang sudah disebut di atas) tidak dapat berterus terang kepada publik mengenai apa yang sebenarnya terjadi pada orang-orang yang diklaim kerasukan Setan, sikap tertutup ini hanya memperkuat kesimpulan bahwa gereja memang tidak bisa membuktikan secara objektif kebenaran klaim ini! Gereja hanya mempercayai kasus kerasukan itu ada, tetapi tak sanggup membuktikannya secara objektif! Dus, mereka bungkam saja, suatu sikap yang sangat bisa dimengerti.

Tentu saja, iman atau kepercayaan seseorang tidak serta-merta harus ditolak dan disingkirkan karena alasan tak memiliki bukti objektif empiris apapun mengenai isi imannya. Sebab, iman seseorang juga bisa memberi dampak positif berupa kestabilan jiwanya atau ketenangan pikirannya, khususnya ketika seseorang, karena imannya, datang dan berdoa kepada Allahnya berhubung dia merasa mentalnya sangat lemah, dan karena itu dia memohon kepada Allahnya kekuatan dan ketegaran. Alhasil, lewat iman dan doanya, dia bisa mengalami penguatan mental, bisa tenang kembali, sehingga pikirannya mulai terbuka kembali, dan akibatnya dia bisa bekerja kembali seperti sebelumnya. Jika iman bekerja seperti ini dan menghasilkan hal-hal yang membangun dan mendewasakan, tentu saja ini adalah iman yang baik dan membangun, dan karenanya perlu dijaga untuk tetap dimilikinya, lepas dari ihwal apakah imannya lebih banyak berisi fiksi atau lebih banyak berisi fakta. Saya mau tegaskan: kekuatan agama memang di situ, membawa orang ke dalam dunia fiksi yang bisa menghibur dan menguatkannya!

Tetapi, jangan pula disangkal bahwa iman atau kepercayaan keagamaan juga bisa menghancurkan kehidupan seseorang, bahkan kehidupan orang lain dan masyarakat secara keseluruhan, jika iman atau kepercayaan seseorang  mendorongnya melakukan hal-hal yang destruktif, atau membuatnya tak lagi bisa memiliki akal sehat dan kesadaran kritis yang tetap terjaga. Watak iman yang berbahaya dan destruktif semacam ini kita dapat lihat bekerja setiap hari dalam kehidupan banyak orang di sekitar kita, mulai dari diri seorang bunda yang lugu namun sangat percaya pada gerejanya yang mengajarkan dengan kuat (ajaran yang tidak ilmiah) bahwa semua penyakit timbul karena gangguan roh-roh jahat, sampai pada banyak orang muda yang memutuskan untuk menjadi teroris atas nama Allah mereka!

Dalam pengalaman saya, kepercayaan bahwa seseorang itu kerasukan roh jahat atau bahwa seseorang itu “dikirimi roh jahat dari jauh ke dalam tubuhnya” oleh seorang praktisi black magic, atau bahwa seseorang itu terkena teluh jahat yang membuatnya sangat menderita atau mengalami banyak keburukan, umumnya membuat si korban dan keluarganya tidak mau lagi mencari penyebab-penyebab objektif dari berbagai kondisi buruk yang sedang dialaminya. Akibatnya, akar-akar masalah yang menimbulkan penderitaan dan keadaan-keadaan yang buruk, yang sangat real dan bisa ditemukan dan bisa ditangani dengan baik, tidak dicari dan tidak dicoba ditemukan. 

Ketimbang dengan cermat memeriksa ke dalam diri sendiri (dan ke dalam kehidupan rumahtangga sendiri, atau ke dalam lingkungan kehidupannya yang lebih luas), orang yang mengasalkan masalah dan penderitaannya pada pekerjaan Setan atau roh-roh jahat atau pada santet dan teluh sangat kuat terdorong untuk mencari kambing hitam dalam diri orang-orang lain di sekitarnya, yang dituduhnya dengan berbagai macam tuduhan yang tidak rasional dan menyakitkan hati. Tuduhan-tuduhan ini berdampak buruk kepada dirinya sendiri, karena makin menjauhkannya dari realitas, makin memblokir kesadaran kritisnya dan akhirnya mematikan kesadarannya sama sekali. Jika masyarakat tempat tinggal si sakit juga tidak kritis, dan percaya saja pada semua tuduhan si sakit (dan anggota-anggota keluarganya), maka orang-orang yang menjadi kambing hitam ini akan dibunuh ramai-ramai oleh seluruh anggota masyarakat. Wuiiih... mengerikan! Dan di Indonesia, lebih menyedihkan dan menakutkan lagi adalah fakta bahwa para pelaku pembunuhan jenis ini, bisa dibiarkan tetap hidup bebas selamanya, tanpa terkena jerat hukum!

Dengan adanya kejadian-kejadian semacam itu dalam masyarakat, orang yang mempunyai kepekaan sosiologis tentu saja akan menempatkan kasus-kasus kerasukan Setan dan eksorsisme dalam perspektif sosiologis dan menganalisisnya secara sosiologis, seperti sudah saya perlihatkan di tempat lain./3/ Jika dianalisis secara sosiologis, akan dapat terlihat bahwa peperangan rohani melawan Setan yang diklaim merasuk ke dalam diri manusia adalah sebuah sisi dari sekeping koin; sedangkan, pada sisi lainnya dari koin yang sama, peperangan ini sebetulnya adalah peperangan jasmaniah atau pertempuran politis melawan orang-orang yang tidak disenangi atau yang dianggap sebagai musuh dan pengacau, yang distigmatisasi sebagai Setan atau sedang dirasuk Setan atau sebagai antek-antek Setan

Jika kaum agamawan memang benar berkaitan dengan kepercayaan mereka bahwa orang bisa dirasuk Setan, dan Setan yang merasuknya bermaksud menghancurkan kehidupan si korban, muncul sebuah pertanyaan besar dalam diri saya yang mereka harus jawab. Jika Setan memang ada (bukan hanya dipercaya ada, tetapi betulan ada di dunia tak kasat mata), dan semua kegiatan Setan bertujuan untuk membinasakan kehidupan manusia bahkan menghancurkan planet Bumi, mengapa sang Setan ini tidak merasuki saja para pemimpin politik besar dunia ini, merasuk dan merusak pikiran mereka semua sehingga tidak terkendali lagi, lalu, dalam kondisi pikiran yang tak terkontrol ini, mereka mengambil keputusan-keputusan berbahaya dan melakukan berbagai kegiatan nekat yang akan membawa dunia ini ke dalam kebinasaan total, misalnya lewat Perang Dunia Ketiga, perang yang akan tidak konvensional lagi, tetapi memakai senjata-senjata pemusnah massal nuklir, kimiawi dan biologis? Mengapa Setan begitu bodoh, menunda-nunda waktu sedemikian lama, dengan hanya merasuk orang-orang kecil yang tak beken dan tak powerful, orang-orang kecil yang memang sudah punya segudang masalah kejiwaan yang berat?

Begitu juga, jika kaum agamawan benar bahwa Allah, sebagai sang penguasa kebaikan, betulan ada di dalam dunia yang tak kasat mata, bukan hanya ada dalam dunia iman keagamaan, dan Allah ini menginginkan semua penduduk dunia (kini sudah tujuh milyar kepala!) hidup berbahagia, tenteram, damai dan makmur selamanya, maka pertanyaan yang serupa juga muncul: Mengapa sang Allah mahabaik dan mahakasih ini tidak segera saja merasuki dan menguasai tubuh, perasaan dan pikiran semua manusia, tanpa pilih bulu, sehingga semua manusia bekerja dan berjuang hanya untuk kebaikan, perdamaian dan kesejahteraan semua manusia dan segala makhluk, dan meninggalkan sama sekali berbagai tindak kejahatan yang mereka pernah lakukan sebelumnya? Mengapa Allah yang mahabaik dan mahakasih ini menunda-nunda pencapaian tujuannya itu begitu lama, sudah 4,5 milyar tahun jika dilihat dari usia planet Bumi,/4/ sehingga penderitaan, sakit-penyakit dan kemiskinan terus saja menemani dengan setia umat manusia penghuni planet ini? Jika para rohaniwan menyatakan, bahwa Allah tidak mungkin melakukan hal yang saya minta itu karena Allah telah memberi manusia kehendak bebas, maka pertanyaan selanjutnya yang muncul adalah: Jika memang manusia memiliki kehendak bebas, maka apa perlunya lagi orang harus percaya pada keberadaan Allah?

Sementara saya menunggu jawaban-jawaban para agamawan dan para rohaniwan atas pertanyaan-pertanyaan saya di atas, dan siap berbantahan dengan mereka di sekitar teodise (doktrin tentang keadilan Allah), saya sekarang sungguh-sungguh bisa mengucap syukur berhubung saya melihat dengan hati yang riang dan hangat, bahwa ada sangat banyak manusia lebih memilih menggantungkan keselamatan semua manusia dan planet Bumi ini bukan pada makhluk-makhluk adikodrati yang tak pernah terbukti ada secara saintifik, tetapi pada usaha-usaha kongkret dan real mereka dalam dunia ini dan sekarang ini, untuk melenyapkan berbagai bentuk penderitaan manusia!  

oleh ioanes rakhmat       

Baca juga:  
Eksorsisme dan demonisasi lawan sebagai strategi pertahanan diri

Catatan-catatan:

/1/ Agama sipil (civil religion) pertama kali dibicarakan panjang lebar oleh Jean-Jacques Rousseau dalam risalahnya yang berjudul The Social Contract (1762), bab 8, buku 4; baginya, agama sipil berfungsi sebagai “suatu fondasi moral dan spiritual yang esensial untuk setiap masyarakat modern”, yang menjadi semacam perekat sosial yang mempersatukan negara lewat pemberian otoritas suci kepada negara. Dalam konteks modern Amerika Serikat, tema agama sipil dibicarakan dengan meluas terutama karena pandangan-pandangan yang dikemukakan Robert N. Bellah dan Martin E. Marty, yang mengkaji agama sipil sebagai sebuah fenomenon kultural atau sebuah fenomenon antropologi kultural. 

Dalam pandangan Marty, orang Amerika mendukung “semua agama pada umumnya” tanpa secara khusus mempersoalkan isi kepercayaan yang dipertahankan agama-agama ini; tetapi dalam praktek berbangsa dan bernegara, orang Amerika sebetulnya merangkul agama sipil (civil religion, atau civic religion) yang menjalankan dua peran utama, yakni peran imamat dan peran kenabian, yang membentuk apa yang disebutnya “teologi publik” (Martin E. Marty, Religion and Republic: The American Circumstance, 1989, hlm. 295). 


Mendahului Marty, Robert N. Bellah memahami agama sipil, dalam fungsi imamatnya, sebagai “sekumpulan terlembaga kepercayaan-kepercayaan suci mengenai Amerika”, dan dalam fungsi profetiknya agama sipil menantang “penyembahan terhadap bangsa sendiri” dan menghendaki “bangsa ini ditempatkan di bawah prinsip-prinsip etis yang mentransendirnya, dan berdasarkan prinsip-prinsip ini bangsa ini harus dinilai.” Menurut Bellah, ada tiga peristiwa besar yang menentukan, yang berpengaruh secara fundamental terhadap isi dan citra agama sipil Amerika, yakni Revolusi Amerika, Perang Saudara, dan Gerakan Hak-hak Sipil. Lihat artikel Bellah, “Civil Religion in America” dalam Daedalus, Journal of the American Academy of Arts and Sciences (Winter 1967; vol. 96, no. 1, hlm. 1-21). 


Dalam agama sipil Amerika, George Washington diperlakukan sebagai semacam imam besar; dokumen-dokumen yang disusun para bapak pendiri negara Amerika sebagai teks-teks suci; bendera Amerika sebagai sebuah totem terpenting dalam kultus nasional; patriotisme dan nasionalisme diekspresikan lewat ritual-ritual suci. Pada pidatonya yang disampaikan di hadapan Young Men's Lyceum Springfield, Illinois, 27 Januari 1838, Abraham Lincoln menyatakan bahwa UUD dan semua hukum Amerika Serikat harus menjadi “agama politik” setiap orang Amerika. Dari Perang Saudara yang pernah berkobar, bangsa Amerika dapat menarik pesan-pesan tentang kematian, pengurbanan dan kelahiran kembali, sebagaimana diekspresikan lewat ritual-ritual suci Hari-hari Peringatan. 

Sejajar dengan ide tentang agama sipil, Robert N. Bellah belakangan ini juga melihat kemungkinan untuk menjadikan agama betul-betul agama alamiah, yang sama sekali tidak memerlukan ide tentang dunia adikodrati, yang disebutnya “naturalisme religius” ; lihat bukunya, Religion in Human Evolution: From the Paleolithic to the Axial Age (Cambridge, Massachusetts/London, England: The Belknap Press of Harvard University Press, 2011) hlm. 97-104. Ringkasan buku tebal ini (746 hlm.) telah saya usahakan, terpasang di http://ioanesrakhmat.blogspot.com/2012/08/kelahiran-agama-menurut-robert-n-bellah.html.  

/2/ Lebih jauh, lihat tulisan yang sudah saya buat, yang dengan detail dan panjang membahas berbagai pengalaman spiritual sebagai pengalaman-pengalaman neurologis, bukan pengalaman-pengalaman yang terkait dengan dunia adikodrati yang tak kasat mata, di http://ioanesrakhmat.blogspot.com/2011/11/pengalaman-pengalaman-spiritual.html.

/3/ Lihat tulisan saya, yang berjudul “Eksorsisme dan Demonisasi Lawan sebagai Strategi Pertahanan Diri”, yang terpasang online di http://ioanesrakhmat.blogspot.com/2009/02/eksorsisme-dan-demonisasi-lawan-sebagai.html.

/4/ Sementara usia planet Bumi 4,5 milyar tahun, spesies homo sapiens, sebagaimana ditunjukkan oleh bukti-bukti arkeologis, baru muncul 300.000 tahun lalu di Afrika. Lihat L. Vigilant et al., “African Populations and the Evolution of Human Mitochondrial DNA”, dalam Science 253, no. 5027 [1991], hlm. 1503-1507.