Sunday, May 31, 2009

Titulus Crucis

Di dalam kisah Markus mengenai pengadilan Yesus, muncul gelar-gelar kristologis “Mesias" atau “Kristus” dan “Anak dari Yang Terpuji” atau “Anak Allah”, dan juga gelar “Raja”; semua gelar ini, dalam pandangan sejumlah pakar, John Dominic Crossan di antaranya, adalah ciptaan penulis Injil Markus yang menyusun kisah fiktif ini berdasarkan Mazmur 2.[1] Dengan demikian, bagi Crossan, titulus pada salib Yesus (titulus crucis) yang menyebut Yesus sebagai “Raja Orang Yahudi” (Markus 15:26; Matius 27:37; Lukas 23:38), yang menurut Yohanes 19:19-20 ditulis dalam tiga bahasa (Ibrani, Latin dan Yunani), adalah bagian dari kisah fiktif tentang pengadilan Yesus. Namun, mayoritas para ahli berpendapat bahwa titulus pada salib Yesus harus dipandang sebagai suatu bukti bahwa pengadilan Yesus oleh Pontius Pilatus adalah suatu peristiwa sejarah.

Bammel, misalnya, menilai bahwa kata-kata yang dipakai pada titulus, sebagaimana dicatat dalam injil-injil, sangat mungkin autentik, dan harus dipandang sebagai sebuah bukti sejarah yang nilai dan kepentingannya hanya dapat ditentukan dalam hubungan dengan bagian-bagian lain dari kisah pengadilan Yesus.[2]

Mengenai titulus, Raymond Brown menandaskan bahwa “tidak ada sesuatu pun yang tidak masuk akal mengenai titulus ini sebagai suatu tuduhan yang dijatuhkan oleh seorang gubernur Romawi yang mengaitkan tindakannya ini dengan kebijakan umum Lex Iulia de maiestate dalam yurisprudensi Roma yang biasa, ketika dia memutuskan suatu kasus berdasarkan pemeriksaan pengadilan yang umum dijalankan di suatu kawasan kecil seperti Yudea.” Brown menyimpulkan, “Saya tidak menemukan keberatan yang meyakinkan terhadap kesejarahan titulus sebagai suatu pernyataan tertulis atas tuduhan yang menjadi alasan penghukuman mati Yesus oleh orang Roma.”[3]

Untuk mempertahankan autentisitas dan historisitas titulus, Theissen dan Merz mengajukan argumen berikut: pertama, tata krama untuk menuliskan alasan suatu penghukuman pada sebilah perisai ditemukan dalam banyak dokumen (misalnya, Suetonius, Kaligula 32.2, dan Domitianus 10:1; Dio Cassius, Sejarah Roma 54, 3, 7); tetapi praktik seperti ini tidak sangat sering dilakukan sehingga terbuka kemungkinan bahwa hal ini hanya direka-reka oleh seorang narator di dalam suatu kisah tentang penghukuman mati; kedua, titulus pada salib Yesus dirumuskan dari sudut pandang Romawi sebagaimana diindikasikan oleh pemakaian sebutan “raja orang Yahudi” (Markus 15:26) ketimbang “Kristus, raja Israel” (Markus 15:32). Selain itu, kita tahu, hanya orang Romawi saja yang dapat mengklaim ius gladii (“hak pedang”), yakni hak untuk menggelar suatu pengadilan atas kasus-kasus hukuman mati dan untuk mengeksekusi tanpa melakukan banding kepada Kaisar (lihat Yohanes 18:31; Yosefus, Perang Yahudi 2.8.1; # 117).[4] Dan, akhirnya, komunitas Kristen pasca-Paskah tentu tidak ingin merekayasa suatu tuduhan bahwa Yesus mengklaim kedudukan sebagai raja orang Yahudi mengingat tuduhan semacam ini membuka kemungkinan bagi kesalahpahaman politis dan karenanya akan menimbulkan kesulitan berat bagi mereka (bdk. Kisah Para Rasul 17.7).[5]



Catatan-catatan

[1] J.D. Crossan, Who Killed Jesus? Exposing the Roots of Anti-Semitism in the Gospel Story of the Death of Jesus (New York: HarperCollins, 1995) 108-110; idem, The Cross That Spoke: The Origins of the Passion Narrative (New York: Harper & Row, 1988) 56-61.

[2] Ernst Bammel, “The Titulus” in Ernst Bammel & C.F.D. Moule, Jesus and the Politics of His Day (Cambridge, etc.: Cambridge University Press, 1988 [1984]) 363f. (353-364).

[3] R.A. Brown, The Death of the Messiah: From Gethsemane to the Grave. A Commentary on the Passion Narratives in the Four Gospels. AB. 2 vols. (New York, etc.: Doubleday, 1994) 2. 968, lihat juga 1.717-19, 725.

[4] Lihat juga A.N. Sherwin-White, Roman Society and Roman Law in the New Testament. The Sarum Lectures 1960-1961 (Grand Rapids: Baker Book House, 1992 [1963]) 8; Brown, Death of Messiah, 1.337-338; 363-372.

[5] Gerd Theissen and Annette Merz, The Historical Jesus: A Comprehensive Guide (ET by John Bowden; Minneapolis: Fortress Press, 1998) 458.