Saturday, March 21, 2009

Bincang-bincang LSAF dengan Ioanes Rakhmat

Membincang Ihwal Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme
(Dilangsungkan di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, Indonesia, 
Senin, 21 Mei 2007, mulai pkl. 13.30)

Dialogue is the way to enlightenment
LSAF (Lembaga Studi Agama dan Filsafat):
Pertama-tama, kami ingin mendapatkan gambaran yang jelas perihal sekularisme dari sudut sejarah. Bagaimanakah sejarahnya sehingga sekularisme muncul di Eropa dan dipraktikkan?

Ioanes Rakhmat:

Proses sekularisasi di Eropa ditandai: Pertama, oleh keyakinan bahwa akal budi harus diberi tempat utama. Kalau sebelumnya kitab suci dan lembaga-lembaga keagamaan mendominasi penjelasan atas realitas kehidupan, kini dominasi itu diambil alih oleh akal budi yang melahirkan ilmu pengetahuan. Kedua, munculnya kesadaran sejarah yang kemudian berpengaruh terhadap cara pandang orang atas kitab suci, khususnya di kalangan Kristen. Kitab suci tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang murni berasal dari wahyu Allah, tetapi didekati secara historis sebagai produk literer dari berbagai komunitas keagamaan. Ketiga, modernisasi dan usaha mengejar progres, kemajuan, dalam membangun peradaban manusia. Keempat, tersingkirnya peran lembaga keagamaan seperti gereja dari dalam kehidupan sosial dan politik dalam masyarakat. Sebelumnya agama Kristen mendominasi pelayanan publik, seperti pendidikan, pelayanan terhadap orang-orang miskin (
diakonia), serta pelayanan karitatif di bidang lain untuk kepentingan warga gereja dan masyarakat. Sekarang, dengan berlangsungnya sekularisasi, fungsi-fungsi sosial yang semula diemban oleh gereja itu diambil alih oleh negara dan lembaga-lembaga swasta di luar gereja.

Dengan tersingkirnya peran sosial yang semula dimiliki gereja, orang juga kemudian menganggap bahwa gereja tidak bisa lagi dijadikan instansi utama untuk mencari pertolongan. Orang kemudian tidak lagi menggantungkan diri kepada gereja. Dulu orang mencari pinjaman kepada gereja untuk memenuhi kebutuhan hidup. Sekarang telah ada lembaga negara dan swasta yang mengelola kebutuhan itu. Hal-hal inilah yang membuat warga gereja kurang merasa perlu terlalu dekat lagi dengan gereja. Ini juga disebut sekularisasi, yakni keluarnya orang dari gereja lalu mencari lembaga-lembaga lain untuk mendapat pertolongan.

Yang mempercepat dan memperkuat proses sekularisasi adalah kemajuan sains (ilmu pengetahuan), terutama mengenai hal yang berkaitan dengan pertanyaan dari mana manusia berasal, dan bagaimana alam semesta terjadi. Sebelum proses sekularisasi berlangsung gencar, orang mendapatkan penjelasan atas pertanyaan-pertanyaan itu pada agama; sekarang, dengan proses sekularisasi yang ditandai dengan kemenangan ilmu pengetahuan atas agama, ilmu pengetahuanlah yang menjadi penjawabnya. Fakta ini jelas dicontohkan oleh teori evolusi yang mampu menjelaskan asal-muasal manusia secara natural. Menurut teori ini, adanya manusia dan terciptanya alam semesta tidaklah memerlukan eksistensi sang pencipta adikodrati sebagai perancangnya. Ilmu fisika menggantikan dominasi agama dalam menjelaskan kejadian alam semesta. Dengan capaian di bidang ini, penjelasan asal-usul kejadian alam semesta tidak lagi diambil dari Kitab Kejadian pasal 1 dan pasal 2 dari kitab suci Perjanjian Lama. Itulah dampak proses sekularisasi terhadap gereja dan otoritas kitab suci. 


Satu lagi fase penting dalam proses sekularisasi adalah ketika kitab suci mulai diperlakukan sebagai dokumen-dokumen yang lahir dalam sejarah. Dari sini, lahirlah pendekatan yang bersifat kritis-historis dalam memahami kitab suci. Ini menandai sebuah era yang sangat luar biasa dalam perkembangan ilmu tafsir dan hermeneutika Kristen. Kini, dogma tidak bisa lagi apriori menguasai penjelasan terhadap kitab suci, tetapi digantikan oleh penelitian sejarah dan penelitian-penelitian interdisipliner lain mengenai sifat-sifat dokumen tertulis yang menjadi bagian dari kitab suci.

Dari penjelasan di atas, tersirat bahwa Anda membedakan antara sekularisasi yang dimaknai sebagai proses dan sekularisme sebagai sebuah paham atau isme, yang merupakan hal yang berbeda dari sekularisasi. Dari telaah tersebut, dapatkah Anda mengelaborasi lebih lanjut tentang pembedaan itu?

Sekularisme, sesuai dengan namanya, yang mengandung kata “isme“ di dalamnya, berarti sebuah ideologi, sebuah paham, sebuah doktrin atau penjelasan yang mau menyingkirkan Allah dari realitas kehidupan. Sekularisme adalah paham di mana Allah tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang ada; sebaliknya, segala sesuatu dianggap lahir dari proses alamiah, natural; atau, sebagai proses yang berlangsung dalam dunia ini, yang dapat dipahami secara rasional berkat kemampuan akal budi yang melahirkan iptek. Pendeknya, dalam derajat paling ekstrimnya, sekularisme memang merupakan sebuah ideologi yang sangat dekat atau bahkan dapat disejajarkan dengan ateisme. Sedangkan, sekularisasi merupakan proses yang terjadi di dalam kebudayaan di mana fungsi-fungsi yang semula dipegang agama diganti oleh lembaga-lembaga yang non-agama. Sekularisasi adalah proses dimana agama sebenarnya tidak dihilangkan sama sekali, melainkan tidak diberi peran lagi seperti sebelumnya dalam segala kegiatan publik. Orang yang mau beragama tetap diperbolehkan, dan keberadaan Allah sendiri tidak langsung disangkal. Dalam konteks ini, agama diposisikan hanya berkaitan dengan yang privat, dan tidak boleh mencampuri urusan ekonomi, politik, ketatanegaraan dalam mengelola masyarakat. Hal-hal yang disebut terakhir ini, kini, dipegang oleh lembaga-lembaga non-keagamaan.
 

Studi-studi kontemporer mengenai sekularisme dan sekularisasi condong mengatakan bahwa pada kenyataannya negara-negara yang mempraktikkan sekularisme tidak serta-merta memberangus agama, bahkan Amerika Serikat dalam beberapa hal cukup religius. Oleh karena itu, apakah masih relevan untuk membedakan atau memperlawankan antara sekularisasi dan sekularisme?

Kita juga bisa mendefinisikan sekularisme sebagai suatu usaha konsepsional dalam menjelaskan dan memberi uraian sistematis terhadap proses sekularisasi. Sekularisasi, sebagai proses natural dan sosiologis dalam masyarakat, harus dijelaskan asal-usulnya, kecenderungan perkembangannya, dan sifat-sifatnya. Nah, cakupan penjelasan itulah masuk ke dalam ranah sekularisme. Saya tidak berkeberatan terhadap pandangan ini.
 

Penerimaan sekularisasi, sebagaimana juga agama, pada akhirnya menjadi urusan individu yang terjadi secara alamiah, bukan konstruk yang disengaja. Penjelasan proses sekularisasi yang Anda berikan juga menggambarkan bahwa proses sekularisasi itu memang terjadi secara sosiologis, alamiah. Bagaimana dengan proses sekularisasi yang dikonstruk dan didorong secara sengaja oleh negara, sebagaimana kasus Turki?

Di dalam suatu negara yang majemuk, agama tidak boleh diberi kewenangan untuk mencampuri urusan politik, misalnya untuk menentukan pemilihan presiden dan wakilnya, sampai penentuan menteri-menteri, apalagi sampai pada perumusan undang-undang. Dalam negara seperti itu, kalau agama tidak dibatasi, yang akan terjadi adalah persaingan dan pertikaian horizontal yang dapat menjurus pada disintegrasi bangsa. Jika demikian kondisinya, ada baiknya negara mempercepat proses sekularisasi di dalamnya. Sekularisasinya adalah dengan tidak menyingkirkan agama sama sekali, tetapi memberinya tempat tersendiri atau mengalokasikan tempat khusus untuk agama, misalnya sebagai sebuah pranata yang boleh dipakai sejauh berurusan dengan masalah privat, tidak boleh dengan masalah politik. Kalau hal ini dapat dilakukan, ini akan berimbas pada efek yang justru bagus, yaitu melahirkan demokratisasi dan modernisasi kehidupan perpolitikan dan perekayasaan sosial masyarakat.
 

Fondasi dari sekularisme bisa bermacam-macam. Dalam lingkungan Protestan sendiri, apakah teologi menyediakan landasan bagi tumbuhnya sekularisasi, sebagaimana tesis Weber bahwa kapitalisme lahir sebagai sebuah proses yang didorong oleh Protestantisme?

Di dalam kitab suci Perjanjian Lama, pasal-pasal 1 dan 2, sudah sejak awal ditegaskan dengan kuat bahwa dunia atau natur tidak boleh diilahikan. Kekuatan-kekuatan di angkasa yang menguasai proses bekerjanya alam semesta, lalu benda-benda langit seperti bulan, bintang dan matahari, yang di masa Pembuangan Israel di Babilonia abad ke-6 S.M, semuanya dianggap ilahi, oleh Perjanjian Lama tidak lagi dipandang demikian. Justru untuk melawan pengilahian alam, lahirlah perintah, kredo, pengakuan iman, atau syahadat, dalam Kitab Kejadian pasal-pasal awal itu, yang menegaskan bahwa alam tidak boleh diperilah. Matahari, bintang, atau bulan adalah benda-benda ciptaan saja yang tidak boleh dijadikan ilah yang mengatur hidup manusia. Keilahian disingkirkan dari dunia semesta; ini adalah sekularisasi: dunia adalah dunia, bukan Allah. Disamping itu juga ada perintah untuk tidak mengeramatkan dunia. Dunia bukan bagian dari yang ilahi yang tidak bisa disentuh dan dieksplorasi oleh kemampuan kebudayaan manusia. Misalnya perintah “penuhilah bumi”, “beranak-cuculah”, “kuasailah” dan sebagainya, melahirkan sebuah visi dan praktik kehidupan sosial untuk tidak membiarkan dan memandang alam sebagai yang ilahi, tak tersentuh. Justru sebaliknya, visi ini mendorong manusia untuk menggali, mengeksplorasi dan memanfaatkan alam. Di sinilah terjadi apa yang Weber sebut sebagai disenchantment of the world
, yang melahirkan sekularisasi.

Jadi ada dasar skriptural yang kuat dalam tradisi Yahudi-Kristen untuk membenarkan proses sekularisasi. Dunia tidak ilahi, tidak keramat, tetapi harus digali, dieksplorasi dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan manusia. Kalau sebelumnya dunia didekati dengan gentar, seolah manusia berhadapan dengan
numinosum, cahaya keilahian yang memancar begitu kuat dari alam semesta dan dari dunia tempat manusia diam, yang melahirkan sikap hormat dan tunduk terhadap alam, oleh kitab suci Yahudi-Kristen diubah: manusia tidak boleh tunduk kepada alam melainkan hanya kepada sang pencipta. Alam harus dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk memenuhi kebutuhan manusia. Ini yang ikut mendorong proses sekularisasi, yang kekuatannya baru disadari kemudian ketika zaman Pencerahan tiba. 

Kalau berbicara dalam alam modern, di berbagai belahan dunia, khususnya di Eropa, bahkan bisa kita lihat juga di Indonesia, ada kecenderungan bahwa kini lembaga keagamaan muncul di ranah publik dengan membawa kemasan yang lain (public religion). Di Amerika Utara dan Selatan, agama dikemas sedemikian rupa sehingga menampilkan sesuatu yang berbeda: teologi pembebasan, misalnya. Apakah perubahan strategi ini tidak malah dapat mengikis sekularisme atau sekularisasi itu?

Orang yang yakin bahwa proses sekularisasi sedang berlangsung sangat kuat, umumnya akan melihat masa depan sebagai masa di mana agama kehilangan perannya di masyarakat atau bahkan jadi tidak diperlukan lagi. Tetapi faktanya, setelah melewati beberapa dekade, agama tidak juga hilang, malah bermunculan agama-agama lama dan agama-agama yang dikemas secara baru. Fenomena ini, saya kira, menggambarkan suatu bentuk kesadaran baru bahwa ternyata diri manusia, sekalipun dikendalikan oleh akal budinya tanpa batas, pada akhirnya akan tetap mengakui adanya suatu kebutuhan spiritual dalam diri yang sudah built in, yang merupakan bagian dari gen manusia yang diturunkan. Makanya, kalau kita perhatikan bagian-bagian otak manusia, di dalamnya ada bagian-bagian yang membutuhkan pengisian dari hal-hal yang non-logic, yang supra-rasional, yang bisa jadi hanya bisa dipenuhi oleh agama. Inilah yang membuat agama tidak serta-merta lenyap, kendatipun proses sekularisasi sudah berlangsung dengan sangat kuat.

Yang melawan proses sekularisasi juga adalah agama-agama itu sendiri, yang kalau mau dihilangkan dari luar, ditentang, dan direpresi oleh kekuatan sekular, malah menimbulkan usaha-usaha untuk tegar bertahan dengan mengambil bentuk gerakan-gerakan dari yang ekstrim politis sampai yang hanya melayani urusan batin. Yang pertama, terlihat pada aliran-aliran fundamentalistik dalam semua agama. Dalam kasus pertama ini, proses sekularisasi justru makin memunculkan model-model agama yang disebut dengan fundamentalisme religius. Di lain pihak, muncul agama-agama zaman baru (New Age), yang lebih bernuansa mistikal. Allah tidak hanya dicari di luar, di langit, di surga (sebagaimana perspektif ortodoks), tetapi lebih di dalam batin.

Saya kira ini merupakan sebuah fenomena menarik yang layak untuk dikaji lebih jauh, bahwa ternyata akal budi tidak bisa menyingkirkan kebutuhan manusia akan yang supra-rasional,
trans-historis, mistikal dan adikodrati, yang merupakan kebutuhan inheren manusia yang sudah terpatri secara genetis-biologis. Hal inilah yang menyebabkan kenapa hingga saat ini agama tidak bisa dihilangkan. Hal lain yang menjadi penyebabnya adalah timbulnya reaksi sadar umat beragama untuk tidak dikalahkan oleh sekularisasi. Kesadaran itu dibuktikan dengan membangun doktrin-doktrin keras dan strategi perlawanan baru, dimana titik yang terekstrimnya, lagi-lagi, melahirkan fundamentalisme religius politik, yang sekarang bermunculan di banyak negara, termasuk di negara yang menjadi sumber sekularisasi itu sendiri, Amerika Utara dan Eropa Barat. 

Teori sekular klasik hampir mengabsolutkan sekularisme sebagai privatisasi agama. Fenomena belakangan justru memperlihatkan bahwa deprivatisasi, sebagai lawan privatisasi, tidak bisa lagi dikatakan bertentangan dengan sekularisasi. Gereja di Polandia dan Filipina, misalnya, malah mendukung demokratisasi dan mengedepankan semangat kebebasan sebagaimana gereja-gereja di Amerika. Namun, ketika agama diberi ruang yang teramat luang dan begitu riuh, baik pada ranah privat maupun pada ranah publik, justru ini memunculkan fundamentalisme, sebagaimana pelarangan terhadap para intelektual al-Azhar untuk mendiseminasikan wacana liberalisme atau pemberangusan hak individu dalam kasus Iran. Bagaimanakah agar upaya mempublikkan kembali agama-agama itu tidak bertentangan dengan nilai-nilai sekularisme, yang, sebaliknya, di samping meletakkan agama pada ranah individu sekaligus juga tidak menjadi pandangan totaliter, mengeksklusi yang lain?

Dalam situasi seperti ini, lebih baik kalau sekularisasi terus berjalan dan desekularisasi juga tidak disingkirkan. Paling baik agama mengambil peran sebagai pembawa pencerahan di berbagai bidang dan ranah kehidupan, termasuk ranah publik-politik. Jadi, berilah tempat untuk agama sesuai dengan fungsi kognitif, moral dan etisnya di kancah sosial-politik dengan tidak menjadikan agama sebagai kendaraan politik, melainkan kendaraan untuk mencerahkan para pelaku politik, agar berpolitik dengan baik dan cerdas, memiliki hati nurani sekaligus watak yang bagus dan terpuji.
 

Sebagaimana teori klasik mengatakan, kemunculan sekularisasi dilatari dengan modernisasi. Kami minta Anda mengelaborasi lebih lanjut tentang hal itu, khususnya dalam konteks Indonesia. Karena Indonesia, meski sebagian telah mengenal dan mempraktikkan modernisasi, belum menjadi negara yang sepenuhnya modern. Sebagian besar rakyat Indonesia masih berada dalam alam kehidupan agraris. Dengan kondisi seperti ini, apakah sekularisasi bisa diterapkan di Indonesia?

Dari perspektif sosioreligius, ada yang meyakini bahwa Indonesia, meski belum sepenuhnya modern, telah memasuki era pascamodern. Kalau dalam dunia modern agama tersingkir, karena sekularisme dan sekularisasinya, maka dalam era Indonesia seperti sekarang, agama tidak tersingkir atau lenyap, tetapi tidak juga menjadi pranata yang totaliter atau otoriter menguasai semua sendi kehidupan. Ini dicontohkan dalam bentuk negara yang di dalamnya agama diberi tempat untuk menjadi dasar dan sumber moral dan etik bagi pembangunan, namun tidak boleh mengendalikan politik, atau sebaliknya orang tidak boleh memolitisasi agama. Agama hanya dibutuhkan untuk menerangi dunia politik, tanpa berpretensi mencampuri. Hal seperti inilah sebetulnya yang sedang terjadi di kawasan dunia luar, yang sudah menyebut diri pascamodern. Agama tidak disingkirkan, tetapi juga tidak menjadi fungsi dan penentu tunggal dalam politik. Diberi peran, tapi juga dibatasi. Dibatasi, tapi juga diberi peran. Sebuah proses dimana sekularisasi dan desekularisasi dijalankan secara bersama-sama. Untuk Indonesia, kalau situasi seperti ini sedang dijalani, alangkah baiknya diteruskan.

Dari pilihan antara negara sekular atau negara agama, untuk negara Indonesia kita telah menolak dua-duanya. Pilihannya adalah negara Pancasila. Di dalamnya, agama diberi tempat untuk memberi sumbangan pencerahan dalam dunia politik, tetapi tidak menjadikan Indonesia sebagai negara agama. Indonesia juga bukan negara sekular karena agama diberi tempat penting. Sekarang kita telah kehilangan otoritas Pancasila karena penyalahgunaannya di masa Soeharto. Kini kita berada dalam zaman Reformasi. Belakangan saya bersyukur, karena orang seperti mantan rektor UIN Jakarta, Azyumardi Azra, pernah menulis di koran bahwa kita perlu merejuvenisasi, meremajakan, Pancasila. Tulisan ini lantas disambut dengan banyak dukungan meski banyak juga yang kontra. Tapi ini adalah sebuah langkah yang sangat bagus. Sarana lain seperti siaran radio juga dapat menjadi sarana-sarana rejuvenasi Pancasila, seperti dilakukan Radio Utan Kayu (Green Radio) yang juga terus menayangkan iklan layanan publik yang menginginkan kembali Pancasila untuk menjadi landasan filosofis hidup bangsa. Saya setuju dengan hal-hal itu, dan bagi saya, negara Pancasila adalah negara jalan tengah, di mana negara tidak menjadi sepenuhnya sekular dan tidak juga menjadi totaliter agamawi.
 

Kita tahu bahwa liberalisme, dalam sejarahnya, adalah anak kandung dari sekularisme sendiri. Kebebasan berpikir, penghargaan terhadap akal budi, sains dan penafsiran kritis-historis kitab suci, lahir setelah kemunculan sekularisasi. Kalau di atas sedikit telah disinggung masalah tafsir, dalam proses liberalisasi sendiri, bagaimanakah perkembangan tafsir kitab suci khususnya, yang tak bisa dipisahkan dari Reformasi Protestan itu?

Sekularisasi, dalam dunia tafsir kitab suci Kristen, telah melahirkan tafsir liberal. Tafsir model ini dan pandangan liberal, oleh sebagian kalangan Kristen dianggap hendak menyingkirkan dimensi adikodrati dalam dunia manusia. Orang-orang liberal itu, kata mereka, menolak mukjizat sehingga segala sesuatu harus hanya dijelaskan secara natural-historis-sosiologis, tidak perlu menerima adanya intervensi yang ilahi. Ini yang dijuluki sebagai posisi liberal. Walaupun demikian, sebetulnya liberalisme maupun penafsiran liberal terhadap kitab suci tidak bermaksud menyingkirkan Allah, tetapi ditempuh lebih karena ketaatan terhadap prosedur menjalankan ilmu pengetahuan. Ketika mau menjelaskan kitab suci, orang-orang yang meneliti dengan semangat liberal seperti ini, harus taat kepada prosedur penelitian ilmiah. 


Artinya, kalau sedang meneliti suatu peristiwa yang dikisahkan oleh kitab suci si penafsir tidak boleh tiba-tiba melakukan “lompatan iman” dengan mengklaim adanya intervensi ilahi sebagai penyebab terjadinya peristiwa itu. Jika dia melakukan hal seperti ini, si sejarawan Kristen yang sedang menafsirkan kitab suci secara critical-historical ini telah tidak menaati asas-asas penerapan ilmunya. Oleh karena itu kalau ada suatu peristiwa dalam kitab suci yang bisa dijelaskan dengan mengacu pada sumber-sumber historis atau pada proses-proses alamiah, kita tidak perlu memostulatkan adanya intervensi yang adikodrati ke dalam realitas sejarah. Semaksimal mungkin si penafsir harus menjelaskan hal-hal yang terjadi di dunia ini dengan menggunakan sumber-sumber historis dan analisa sosiologis-kultural-historis. Inilah salah satu ciri penafsiran liberal dalam kitab suci.

Lantas apa akibat dari penafsiran liberal seperti ini? Penafsiran liberal memang membuat akal budi dinomorsatukan dan Allah disingkirkan. Kaum liberal mengatakan bahwa kalau sesuatu bisa dijelaskan dengan masuk akal, dengan memakai referensi historis-sosio-kultural, kenapa ini tidak dilakukan. Kalau Anda menjadi dokter sekaligus seorang muslim atau seorang Kristen yang taat, yang percaya pada Yang Maha Kuasa yang bisa melakukan mukjizat, maka ketika mau menyembuhkan pasien, Anda tetap harus dengan konsisten menempuh prosedur ilmu kedokteran. Kita tidak boleh mengatakan bahwa orang yang sakit itu tidak usah diobati, cukup menunggu mukjizat saja; bahwa kita tidak usah menempuh prosedur umum ilmu kedokteran, cukup menunggu intervensi yang ilahi. Orang yang seperti itu, jika ada, dia akan dapat ditangkap, dan dapat dituduh melakukan malpraktik dan tidak bertanggung jawab. Posisi hermeneutik orang liberal juga seperti itu. Bukan dia tidak lagi mengakui kemahakuasaan Allah, tetapi karena dia ingin taat-asas menerapkan ilmu penafsiran kitab suci yang memakai referensi natural-sosio-kultural.

Sehubungan dengan teks-teks tentang mukjizat, tafsir kitab suci sendiri, dalam kalangan Kristen khususnya, terbagi ke dalam tiga posisi:
posisi naturalis, di mana semua hal mau dijelaskan secara alamiah; ini disebut juga posisi rasionalis. Lalu posisi supranaturalis, yang belum apa-apa mengembalikan semuanya kepada intervensi yang ilahi, sebagai mukjizat, sehingga kebenarannya tidak boleh diganggu-gugat, tinggal diterima dalam iman. Dan terakhir, posisi yang melihat teks-teks kitab suci itu sebagai teologi yang dikemas dalam bahasa mitis metaforis. Sekalipun bercerita tentang sejarah atau menyaksikan intervensi yang ilahi, dengan pendekatan teologis, semuanya dilihat dalam kerangka teologi, yang tidak sama dengan sejarah. Posisi terakhir inilah yang dipegang oleh kelompok liberal dalam menafsir kitab suci. Pasti ada maksud teologis ketika sang penulis bercerita tentang terjadinya mukjizat. Maksud teologis inilah yang dicari. Dari sini lahirlah beberapa pendekatan yang sangat ilmiah-kritis-historis, yang umumnya ditentang oleh kaum fundamentalis keagamaan, yang ingin kembali kepada pendekatan literalistik terhadap teks-teks kitab suci. Bagi kalangan fundamentalis literalis biblis, apa yang ditulis, itulah sejarah, itulah yang harus diterima dengan iman sebagai kebenaran. Tidak boleh dilawan dengan akal budi. Kitab suci dikembalikan lagi untuk memiliki otoritas tunggal untuk menjelaskan dan mengarahkan ilmu pengetahuan. Ini kembali ke zaman pra-kritikal sebelum era Pencerahan. 

Dari tulisan-tulisan Anda yang tersebar di beberapa media, terlihat bahwa ternyata, dalam kalangan Kristen, ada versi-versi kitab suci atau penafsiran kitab suci yang di luar mainstream. Kami ingin mendapat penjelasan tentang hal itu, kemudian bagaimana dampaknya terhadap agama, karena agama, kalau tidak lagi memiliki pegangan absolut, bisa dikatakan sudah bukan lagi agama. Dengan penafsiran liberal, apakah peran agama tidak malah terkikis?

Orang-orang kalangan Kristen liberal tidak menyangkal adanya yang Absolut, yaitu Allah. Oleh karena itu mereka masih disebut teolog. Kalau seorang teolog tidak lagi percaya adanya theos, Allah, Yang Maha Absolut, maka dia bukan lagi seorang teolog melainkan, katakanlah, seorang sosiolog atau fenomenolog. Masalahnya, Alkitab itu bukanlah pengejawantahan dari yang Absolut menjadi teks seluruhnya. Ini mungkin berbeda dari pandangan mainstream di kalangan Muslim tentang Al-Quran. Dalam lingkungan penganut agama Kristen, kitab suci umumnya dipandang sebagai kesaksian-kesaksian tentang yang Absolut. Yang Absolut sendiri mutlak, tetapi kesaksian tentangnya tidak. Kesaksian itu dikondisikan, ditentukan dan dipengaruhi zaman. Ketika si penulis kitab suci menafsir apa yang dia dengar sebagai suara yang Absolut atau suara Allah, dia harus memakai kerangka ilmu pengetahuan zamannya, yang tentu sudah berbeda dari ilmu pengetahuan zaman kita. Lebih dari itu, dia juga hidup dalam suatu lingkungan natural-kultural yang berbeda dari lingkungan kita sekarang. Misalnya ada agama yang lahir di kawasan pegunungan di Nepal, di India, di gurun pasir, di gurun Sinai seperti agama Musa, lalu ada yang di padang gurun Saudi Arabia―inilah kondisi-kondisi sosio-kultural yang memengaruhi sekaligus membatasi bagaimana dulu si penafsir menyuarakan apa yang diyakini sebagai suara yang Absolut itu.

Akhirnya, sekalipun wahyu itu ada dan mutlak, masalahnya ada pada keterbatasan si penerima wahyu, manusia, yang menulis. Ketika si penerima ini menulis, keterbatasannya juga tersalurkan ke dalam tulisannya. Karena itu, posisi yang paling bertanggung jawab adalah tidak menolak adanya yang Absolut, seraya tidak mengabsolutkan kesaksian-kesaksian manusia tentang yang Absolut itu. Karena kesaksian itu dikondisikan oleh budaya dan zaman masing-masing penulis kitab suci. Umumnya para teolog liberal memandang halnya secara demikian. Ada juga segmen dalam kekristenan yang memandang lahirnya Alkitab sama seperti mainstream muslim memandang lahirnya Al-Quran. Mereka parallelkan saja keduanya. Seolah-olah di surga ada mesin fax. Allah via fax surgawi mengirim tulisannya ke bumi, lalu manusia menerima firman yang sama persis dengan aslinya. Tetapi orang-orang yang berada pada posisi penafsiran liberal-historis-kritis, tidak lagi memandang kitab suci seperti itu. Mungkin juga kalangan muslim di dalam Jaringan Islam Liberal (JIL) tidak lagi memandang Al- Quran sebagaimana kalangan mainstream muslim memandangnya.
 

Dalam kalangan Kristen, konon, ada teks-teks suci temuan baru di luar kitab suci yang dipercayai umat Kristiani mainstream sekarang. Dengan kasus ini, posisi tafsir liberal bagaimana? Lantas, bagaimana dengan posisi umat sendiri?

Jumlah dokumen dalam kitab-kitab suci Protestan berbeda-beda. Dalam kalangan umum Protestan (mengikuti Martin Luther dan Yohanes Calvin), jumlahnya 27 kitab untuk Perjanjian Baru atau untuk tulisan-tulisan Kristen yang menjadi kanon (= “ukuran” atau “standar” untuk merumuskan ajaran yang benar; kumpulan dokumennya disebut dokumen-dokumen kanonik). Di dalam gereja-gereja Protestan sendiri masalahnya ada lebih dari satu kanon. Kanon Protestan arus utama itu hanya salah satu saja. Ada juga gereja-gereja Protestan, seperti gereja-gereja di Ethiopia, dengan tradisinya sendiri-sendiri, yang memiliki kitab suci yang jumlah tulisannya jauh lebih banyak. Di samping itu, ada Gereja Roma Katolik yang memiliki kanon lebih tebal lagi, karena diantara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, masih ada sejumlah kitab yang disisipkan ke dalamnya sebagai kanon kedua; disebut sebagai Deutero-Kanonika. Belum lagi ada kanon-kanon Gereja-gereja Ortodoks (Mesir, Rusia, Yunani). Kalau ada yang berkeras “Kitab suci kita jumlah dokumennya harus hanya segini”, itu hanya mewakili tradisi gerejanya. Masih ada gereja-gereja lain dengan tradisi berbeda yang juga memiliki jumlah tulisan suci yang berbeda.

Sebetulnya alangkah baiknya jika kita menganut prinsip “kanon terbuka”, bahwa kanon itu sebetulnya terbuka, bukan dibatasi oleh Allah tetapi oleh sejarah, oleh kepentingan politis gerejawi masing-masing aliran gereja; karena itu bersifat selalu terbuka bagi penambahan di kemudian hari. Posisi seperti ini membuat orang tidak boleh menuduh apa yang tidak ada dalam kanon sendiri sebagai tulisan sesat. Kalau dikatakan bahwa Deutero-Kanonikanya adalah kumpulan tulisan sesat, orang Katolik sendiri akan segera bersikap: yang emosional akan marah, dan yang lebih intelektual akan menjelaskan mengapa perlu ada tambahan kanon.

Dalam buku The Complete Gospels
(suntingan Robert J. Miller, 1992, 1994), dimuat lebih dari lima belas dokumen injil lain selain yang ada di dalam Perjanjian Baru. Injil-injil Yahudi-Kristen saja, bisa saya sebutkan, ada tiga, yaitu Injil orang Ibrani, Injil orang Ebion, dan Injil orang Nazorean. Pengetahuan tentang hal itu sebenarnya bukan hanya muncul ketika ada penemuan-penemuan baru dalam abad XX, yang menggemparkan gereja itu. Orang-orang yang belajar kitab suci Yahudi-Kristen secara luas, sudah lama mengetahui bahwa ada sekian dokumen lain yang non-kanonik, yang ketika dulu lahir dan dipakai memiliki fungsi kanonik dan berwibawa buat masing-masing komunitas yang memakainya.

Kita sekarang mengatakan bahwa kitab-kitab yang diluar kitab suci itu tidak kanonik, bukan firman Allah. Padahal, pada zamannya, ketika kanon 27 kitab Perjanjian Baru itu belum ditetapkan, masing-masing dokumen itu dipakai di dalam gereja dan komunitas-komunitas keagamaan lain sebagai dokumen-dokumen yang kanonik dan berwibawa. Baru ketika kanonisasi membatasi jumlah, yang di luar itu dianggap non-kanonik. Mengacu pada isu mutakhir, di kalangan gereja sekarang mencuat diskusi tentang antara lain Injil Maria Magdalena, Injil Filipus, Pistis Sofia, Injil Yudas, Injil Thomas,
dan Akta Filipus

Yang marak didiskusikan juga dan masih terus akan berlangsung sampai sekian puluh tahun ke depan adalah penemuan makam keluarga Yesus pada tahun 1980, yang pada tahun 2006-2007 diangkat kembali ke permukaan melalui film dan buku-buku. Ini semua melahirkan kontroversi yang panas, yang membuat orang Kristen merasa diombang-ambingkan. Keamanan yang selama ini diperoleh dengan 27 kitab, sekarang dirongrong oleh sejumlah kitab lain yang pernah berwibawa dan yang sekarang dicoba diangkat lagi kewibawaannya. Ini memang gejala yang umum terjadi. Begitu sebuah agama yang fondasi-fondasinya sudah sangat kuat dan mapan selama ratusan bahkan ribuan tahu tiba-tiba dihadapkan pada pengetahuan baru, penemuan arkeologi baru, penemuan kitab-kitab baru yang setelah diselidiki berusia sangat tua, bahkan lebih tua dari kitab-kitab resmi, tentu saja agama tersebut (dalam hal ini agama Kristen) akan terguncang dengan sangat serius.

Lantas sikap positif bagaimana yang harus diambil? Saya kira bukan dengan atas nama iman atau atas nama sebuah doktrin, suatu umat beragama kemudian buru-buru menolak semua penemuan baru. Itu sikap kekanak-kanakan, tidak konstruktif, tidak bertanggungjawab, yang pernah gereja jalankan dulu pada masa Abad Pertengahan. Sekarang, dengan zaman yang sudah maju, dengan keterbukaan informasi melalui Internet dan media elektronik serta media cetak lain yang tak bisa dibendung oleh siapapun, tidak ada jalan lain yang masuk akal dan konstruktif selain memberikan pengetahuan baru dan membeberkan analisa-analisa, penelitian-penelitian, dan kesimpulan-kesimpulan tentang penemuan baru itu kepada warga gereja. Jangan menganggap warga gereja atau warga agama pada umumnya sebagai orang yang bodoh, yang tidak tahu apa-apa.

Sikap saya dan sebagian besar orang yang berpikir positif terhadap ilmu pengetahuan juga seperti itu. Memberi pengetahuan kepada umat tentang penemuan baru, lalu mempertimbangkan apa implikasi dan konsekuensinya bagi iman. Itu harus dihadapi secara tegar, berani, kritis, terbuka, dan tidak defensif ataupun ofensif. Kalau ada bagian dari iman yang sudah dipegang selama ratusan bahkan ribuan tahun ternyata tidak cocok dengan fakta sejarah yang berhasil disusun ulang melalui penemuan-penemuan dan teori-teori serta metode-metode baru, maka tidak ada jalan lain selain meredefinisi iman. Begitulah caranya beriman. Selalu tanggap pada setiap perkembangan zaman, jika kita meyakini Allah adalah Roh yang hidup dan selalu berfirman secara baru untuk setiap zaman. Selain memperhatikan tradisi yang diwariskan, juga harus mempertimbangkan apa yang sedang berlangsung pada zaman sekarang. Ini yang dinamakan berteologi secara responsif, bertanggung jawab dan tanggap terhadap panggilan zaman. Inilah posisi liberal. Tidak ada jalan lain yang lebih baik selain yang seperti ini. Mengambil jalan yang ekstrim fundamentalistik sama sekali tidak akan konstruktif dan tidak bertanggungjawab. Mengatasnamakan iman, gereja, Yesus, dan Allah, untuk menolak semua pengetahuan dan semua penemuan baru sama sekali tidak tepat, tidak bertanggungjawab dan tidak produktif. Sekali lagi, yang terbaik adalah dengan menghadapkan fakta-fakta yang ada kepada warga gereja atau umat beragama: ajak mereka juga mengetahui, diskusikan bersama-sama apa akibat dan implikasinya bagi iman, serta berani meredefinisi iman dan doktrin kalau itu memang diperlukan.
 

Kalau liberalisme dikaitkan dengan kehidupan politik, kita mengenal adanya civil liberties dan civil rights. Di situ dikatakan bahwa beragama merupakan kebebasan paling dasar bagi manusia. Bagaimanakah Anda melihat hak dan kebebasan sipil dalam konteks negara, karena dalam praktik kehidupannya, umat beragama juga selalu berhubungan dengan pemerintah dan negara?

Untuk praktik ini, saya kira negara kita harus bisa mencontoh negara-negara maju. Di situ, semua agama diberi kesempatan luas untuk dapat diekspresikan dan dianut oleh siapa saja; negara tidak akan mencampuri. Namun, atas nama hukum ditegaskan dengan kuat, tidak boleh umat yang satu menghina dan membatasi, apalagi membantai umat agama lain. Hak sipil untuk beragama dengan bebas harus dilindungi dan dijamin di samping oleh undang-undang, hukum atau peraturan yang berlaku, juga oleh kemauan politik pemerintah. Bahkan untuk memeluk agama yang baru diilhamkan seperti “agama” Lia Aminuddin sekalipun. Dalam negara modern dan demokratis yang menjamin kebebasan warganya sebagaimana disebutkan di atas, definisi sah dan tidaknya suatu agama tidak boleh ditentukan oleh negara. Sebaliknya, negara harus melindungi, mengayomi dan mendukung setiap warga negaranya untuk beragama, apapun agamanya, sambil, tentu saja, mendorong umat agama baru yang ada untuk menghayati keberagamaan mereka sebegitu rupa sehingga tidak menyinggung atau menghina umat agama-agama lain yang sudah lama ada.

Yang kedua, bagaimana agama-agama baru yang dilindungi oleh hukum dan negara ini tetap bisa hidup damai dalam suatu masyarakat tanpa menyinggung agama-agama lain? Di sinilah persoalannya. Ini sulit, sebab umumnya, agama yang baru lahir akan mengklaim menggenapkan atau bahkan mengabrogasi agama yang sudah ada. Kalau keadaan damai ini sulit dicapai dan umat agama yang telah ada sebelum agama baru itu tersinggung, pemerintah bisa berperan sebagai katalisator pendamaian, bukan merepresi salah satunya. Inilah posisi negara yang cukup sulit dijalankan untuk negara kita sekarang ini. Terlebih lagi, marak munculnya fenomena agama baru sekarang-sekarang ini tidak hanya terjadi di dalam Islam, tetapi juga di dalam Kekristenan. Ini adalah hal serius yang harus dipikirkan pemerintah dan oleh umat beragama pada umumnya.
 

Kalau melihat ke pemerintahan kita senyatanya, kita masih melihat berbagai tindak pemihakan terhadap kelompok-kelompok yang sebetulnya bukan mayoritas, tapi punya peran politik yang cukup signifikan sehingga bisa memengaruhi kebijakan-kebijakan pemerintah. Dalam hal ini, apakah Anda melihat bahwa negara kita sudah punya cukup legitimasi atau justifikasi (capacity state) atau malah sebenarnya sama sekali belum punya? Tegasnya, apakah konstitusi kita tidak menjamin hak-hak sipil untuk bebas beragama?

Secara konstitusional sebenarnya kita punya landasan yang sangat kuat dalam hal kebebasan sipil beragama. Undang Undang Dasar (UUD) negara kita menjamin setiap individu untuk mengamalkan dan menghayati agama yang dipercayai. Cuma, masalahnya memang, siapa yang menafsir UUD atau perangkat hukum lainnya itu? Lalu apakah si penafsir itu memiliki posisi politik yang kuat di negeri ini atau tidak? Karena kekuatan posisi politik seringkali mengalahkan kekuatan hukum. Artinya, secara hukum, bukan hanya di bidang agama, tetapi juga di bidang-bidang lain, negara kita belum tertib. Masih sering terlihat bahwa pada akhirnya kekuatan mayoritaslah yang menentukan mana yang benar dan mana yang salah. Ini adalah tantangan bagi kita, semua umat beragama yang berbeda-beda ini, untuk berjuang bersama agar kebebasan sipil beragama dihargai murni sebagai hak sipil dan hak asasi yang harus dilindungi. Kelompok-kelompok politik yang mempunyai kekuatan besar dan berafiliasi dengan agama tertentu juga harus ingat bahwa mereka hidup dalam negara yang majemuk, bukan dalam negara agama juga bukan dalam negara sekular.

Jadi, kebebasan beragama akan terjamin jika dibangun dengan kemauan dan kemampuan politik yang serius dan riil, artinya, bukan hanya dijamin oleh UU, tetapi juga direalisasikan dalam praktik kehidupan. Pada pihak lain, adalah kewajiban kita bersama dan pemerintah secara umum untuk mencerdaskan bangsa dan membangun mentalitas yang toleran, yang jujur, dan mengakui bahwa kebebasan beragama itu milik semua orang, bukan hanya milik umat beragama sendiri saja. Untuk membangun suasana seperti ini perlu kerjasama antara semua umat beragama. Saya kira jalannya adalah pemerintah harus memiliki kemauan politik untuk berkiprah konsekwen dengan UUD dan peraturan yang ada. Kalaupun ada UU ataupun peraturan pemerintah yang dibuat baru atau disusun ulang, wacananya harus dibicarakan terlebih dahulu secara umum. Jangan hanya memihak kepada salah satu agama yang mempunyai kekuatan politik lebih besar dari kekuatan politik umat beragama lain. Pikirkan juga umat-umat lain yang lebih kecil, yang minoritas, baik di lingkungan internal suatu agama, maupun dalam hubungan antar agama.

Negara yang maju melindungi semua umat beragama di dalamnya, baik yang mayoritas maupun yang minoritas. Bahkan justru terhadap minoritas yang lemahlah, dukungan dan perlindungan pemerintah seharusnya lebih ditampakkan, bukan pada yang mayoritas itu. Kalau kita mempunyai anak yang lemah dalam rumah tangga, misalnya, karena dia sakit atau cacat jasmani, perhatian ekstra harus diberikan kepada yang lemah ini, bukan kepada yang kuat, meskipun juga tidak membenci yang kuat. Namun, ketika mengatur kehidupan, perhatian, perlindungan dan pengayoman harus lebih banyak diberikan kepada yang lemah ini.
 

Kalau kita lihat kasus yang terjadi beberapa waktu lalu, seperti penerbitan Peraturan Bersama 2 Menteri (No 9 dan No 8 Tahun 2006) tentang pemeliharaan kerukunan umat beragama dan pendirian rumah ibadah, tampak bahwa kebijakan yang diambil oleh pemerintah itu masih terkesan sebatas affirmative action. Di situ masih menyisakan diskriminasi, meski telah dikompromikan. Di atas segalanya, tampaknya, negara kita masih belum bisa berbuat apa-apa untuk menjamin hak atau kebebasan sipil dalam beragama. Bagaimana Anda sendiri melihat hal ini?

Kebebasan sipil dalam beragama hanya bisa efektif dan akan terjamin kalau didukung oleh kedewasaan beragama dan berelasi sosial antarumat beragama sendiri. Maka untuk kasus Peraturan Bersama 2 Menteri itu, di satu sisi, karena pertimbangan-pertimbangan tertentu, saya setuju bahwa pembangunan rumah ibadah harus dibatasi. Karena pembatasan ini berarti juga membatasi cara-cara penyebaran agama, yang dalam kalangan Kristen di Indonesia sering dilakukan dengan agresif dan ekstensif oleh golongan ekstrimis. Kalau tidak ada pembatasan pembangunan rumah ibadah oleh pemerintah, maka hal ini hanya akan memberi kesempatan kalangan ekstrimis Kristen untuk “menyapu” Indonesia. Karena mereka memiliki power dan dana yang cukup besar. Kaum fundamentalisme religius ekstrim ini sangat kuat dalam gereja Kristen di Indonesia. Dan bagi saya, tindakan mereka yang selalu ingin memindahkan agama seseorang dari suatu agama lain masuk ke agama Kristen, baik dilakukan secara paksa maupun melalui bujukan, memang harus dibatasi. Kalau tidak dibatasi dengan peraturan yang kuat, legal dan mengikat, maka ini akan bisa membuat banyak pihak direpotkan, karena militansi penginjilan dan pengkristenan sangat kuat dimiliki di tingkat grass root orang Kristen Indonesia, meski mereka bukanlah kelompok mainstream. Pada sisi yang lain, yang perlu diingat dan diperhatikan oleh para pembuat kebijakan adalah bahwa Peraturan Bersama 2 Menteri itu juga hendaknya jangan sampai menindas agama apapun. Peraturan ini seharusnya dimaksudkan agar relasi sosial-religius dapat berjalan dengan harmonis antara agama-agama yang ada di Indonesia.

Contoh paling dekat, sekarang kita baru saja mengadapi masalah politis-keagamaan di Papua dengan didesakkannya Perda Injil oleh masyarakat dan Pemda di sana. Di daerah mayoritas Kristen ini muncul suatu tuntutan tandingan yang merupakan kebalikan dari tuntutan di tempat-tempat lain yang mayoritas Islam. Kalau di tempat lain kekristenan tertekan karena kesepakatan dua menteri itu, di Papua justru hal itu dipakai untuk membatasi masyarakat muslim. Umat Kristen di sana, yang memang menjadi kekuatan mayoritas, ingin menegakkan “syariat” Kristen. Bahkan wakil-wakil PGI dan lain-lain yang datang ke sana untuk coba menentramkan dan merestorasi keadaan dengan baik-baik, malah dituduh sebagai agen-agen BIN. Bukannya dapat mendamaikan keadaan dan memulihkan persatuan dan kesatuan, mereka malah mendapatkan demonstrasi yang cukup keras.

Di luar kasus yang terjadi di Papua itu, menurut saya, kalangan mainstream Kristen sebenarnya sudah mengerti kalau gerakan-gerakan di tingkat grass root Kristen itu memang harus diatur. Kalau tidak, semangat kristenisasi dan politisasi agamalah yang akan sangat mewarnai kehidupan keagamaan di sana, sebagaimana juga terjadi di Islam melalui kalangan FPI dan lain-lain yang paralel. Kalangan Islam moderat sekarang mengalami kebingungan sekaligus kesal dengan gerakan-gerakan ekstrimis Islam, sebagaimana kalangan moderat Kristen juga dibuat jengkel oleh kalangan ekstrimis yang ada di dalamnya. Kalau kita tidak menginginkan terjadinya benturan frontal di lapangan antara FPI dan kalangan-kalangan ekstrimis Kristen, maka negara harus mengatur, bukan menindas penganut-penganut agama-agama. Di negara yang plural seperti negara kita, peran negara tidak bisa ditiadakan. Kalau umat-umat beragama dibiarkan untuk mengatur dirinya sendiri, orang pasti akan kecewa dan terkejut dengan hasil yang akan dicapai nanti. Jika ini yang dibiarkan terjadi, maka kita akan menyaksikan lebih banyak bentrokan dan konflik daripada harmoni dan perdamaian. Di sinilah fungsi katalisator sosial-politis dari negara itu berperan, misalnya melalui Departemen Agama jika lembaga ini memang layak diandalkan.
 

Apakah di situ Anda sama sekali tidak melihat adanya ketegangan antara nilai-nilai kebebasan sipil dan hak-hak sipil. Artinya, menurut Anda, apakah negara kita memang sudah cukup baik?

Dari sejak kita masih sebagai bangsa yang dijajah, memang sudah ada perlakuan diskriminatif terhadap kalangan agama tertentu seraya membela kalangan yang lain. Hal ini terus masuk dan berjalan sampai ke zaman kita, khususnya kalau kita memperhatikan campur tangan Barat untuk membela kekristenan di Indonesia. Di situ ada pembelaan terhadap satu pihak yang dilakukan oleh Barat, sementara menekan pihak yang lain. Namun, pada sisi lain, pengalaman kita dalam konflik antaragama seperti Islam-Kristen yang sangat tajam mencuat di zaman Soeharto, dapat memberikan pelajaran bahwa tidak semua pengambil kebijakan, aparat pemerintah, benar-benar mau menghargai hak sipil untuk beragama. Justru mereka memakai agama-agama hanya sebagai wahana untuk memperjuangkan kepentingan politik. Mereka akan bermanuver, melakukan politik adu domba antaragama, hanya untuk mengambil keuntungan darinya. Artinya, ada segi gelap, buruk dan jahat dari para pelaku politik negara kita ketika mereka memainkan agama-agama demi kepentingan politik mereka.

Namun, pada level ideal kita tetap masih mempunyai harapan. Hal ini karena negara kita bukanlah negara agama ataupun negara sekular sama sekali. Negara kita adalah negara yang memberi tempat pada agama namun tidak menjadikan suatu agama sebagai agama negara. Pada saat yang sama, negara kita juga tidak menyingkirkan agama sama sekali untuk menjadi negara sekular. Dalam posisi seperti ini, jika peraturan-peraturan tentang agama dibuat dengan memerhatikan kepentingan dan konsensus nasional, maka mungkin ini tidak akan menyakitkan agama tertentu, seperti yang sekarang terjadi. Sekarang, dengan capaian baru otonomi daerah, justru banyak yang memanfaatkan kondisi ini untuk membangun peraturan-peraturan daerah yang sangat diskriminatif, yang merugikan umat tidak seagama, seperti halnya dengan praktik penerapan perda-perda yang bernafaskan Syariat Islam. Inilah yang harus benar-benar diperhatikan.

Namun, keyakinan akan keterjaminan hak-hak dan kebebasan sipil warga negara, termasuk hak beragama, tetap ada dan akan terwujud di negara kita, karena berdasarkan pengalaman sejarah, bangsa kita adalah bangsa yang sangat sensitif dan sadar perlunya pluralisme dipertahankan, baik dalam kebudayaan, agama, maupun dalam pandangan politik. Yang oleh karenanya juga para pendiri negara kita kemudian bertekad untuk mengayomi semua umat beragama dalam satu ideologi yang pluralistik inklusif, yaitu Pancasila. Dalam konteks kita sekarang, maka yang patut ditunggu adalah kemauan baik dari para penyelenggara negara dan pelaksana kehidupan pemerintahan untuk menelurkan peraturan-peraturan yang melindungi umat beragama. Oleh karena itu, kini, sudah saatnya dialog dan percakapan yang lebih serius itu dibuka oleh pemerintah dan lembaga-lembaga keagamaan.
 

Terkait dengan dialog dan hubungan antar-agama, kita masuk ke tema pluralisme. Kita tahu, Indonesia adalah negara yang majemuk, terdiri dari banyak sekali suku bangsa, bahasa dan agama. Secara konseptual, apakah pluralisme itu menurut Anda?

Pluralisme adalah suatu model, posisi, keyakinan, way of life, doktrin, ajaran, atau ideologi yang mengakui semua agama adalah agama-agama yang otentik, valid, benar, dan mempunyai nilai dan daya untuk mengubah watak manusia, berfungsi positif untuk mengarahkan manusia kepada kehidupan yang utuh, yang disebut keselamatan. Pengakuan bahwa semua agama adalah jalan keselamatan yang baik, yang berbeda-beda, yang dianugerahkan Tuhan, sehingga harus dihargai secara sama rata, tidak boleh ada yang dianggap nomor satu dan yang lainnya dianggap sekunder. Tegasnya, pluralisme menganggap bahwa masing-masing agama merupakan jalan keselamatan yang unik.
 

Kalau kita lihat di Indonesia, banyak sekali orang yang resisten terhadap pluralisme. Contoh yang terdekat adalah fatwa MUI yang mengharamkan sekularisme, liberalisme dan pluralisme. Pengharaman itu difatwakan dengan alasan bahwa, misalnya, pluralisme akan membawa kepada sinkretisme dan relativisme, karena semua dianggap benar, tidak ada yang absolut. Lantas agamawan yang tertutup bertanya, kalau seperti itu, di manakah kebenaran agama? Berangkat dari penolakan itu, apakah dengan mengatakan bahwa semua agama memiliki kebenaran dan jalan keselamatan, ini tidak malah terjatuh pada relativisme dan sinkretisme?

Yang menolak pluralisme religius pada umumnya adalah kalangan fanatik dalam setiap agama, yang kita sebut fundamentalisme religius. Dalam kalangan Kristen, hal seperti ini juga ditemukan. Saya sendiri, oleh mereka, dianggap sebagai seorang pluralis yang sudah menolak iman Kristen. Hal seperti ini dapat terjadi, bagi saya, tak lain adalah karena kesalahpahaman kelompok tersebut terhadap pluralisme. Pluralisme sebetulnya adalah kemajemukan tanpa meniadakan keunikan. Dalam pluralisme, semua agama tidak dipandang sama, sehingga boleh dilebur menjadi satu, yang disebut sinkretisme. Pluralisme justru mengandaikan bahwa semua agama itu memiliki keunikan, individualitas dan identitas sendiri yang tidak sama dengan agama yang lainnya. Pluralisme sama sekali bukanlah relativisme. Karena itu pluralisme membuka kesempatan bagi orang yang berbeda-beda agama dengan identitas, jati diri dan keunikannya sendiri-sendiri untuk berdialog. Berdialog itu bukan berarti upaya penyeragaman. Dialog diperlukan hanya kalau agama-agama yang ada berbeda-beda dan masing-masing memiliki keunikan yang dapat ditawarkan kepada agama-agama lain dalam proses pengayaan timbal-balik. Kalau semua agama sama, maka dialog menjadi tidak perlu.

Di bagian manakah agama-agama bisa menyumbang pada pluralisme, kalau kita menghayati bahwa semua agama sama-sama unik? Dulu, pertemuan antaragama atau antardua agama diwarnai motivasi untuk memindahkan orang dari agama yang lama ke agama baru. Sekarang, dengan diterimanya pluralisme, dialog akan menghasilkan pertumbuhan timbal-balik antar orang yang berdialog. Misalkan saya yang mewakili Kristen dan Anda yang mewakili Islam berdialog; ketika kita berdialog, saya diperkaya oleh Anda sebagai partner dialog, begitu juga sebaliknya. Akibatnya bukan menimbulkan sinkretisme, melainkan pengayaan. Dari yang semula Kristen menjadi Kristen plus, yang semula Islam menjadi Islam plus, Buddhis menjadi Buddhis plus, dan Hindu menjadi Hindu plus. Faktor plus ini hanya bisa didapat melalui dialog. Apa yang dicapai dalam dialog bukanlah sinkretisme, karena identitas kita masing-masing tetap jelas. Hanya saja, keyakinan dan perspektif keagamaan kita kemudian ditambah dan diperkaya dengan pemahaman yang lain; untuk ini bisa terjadi, orang beragama perlu terbuka terhadap realitas agama lain.

Pertanyaan selanjutnya, apakah perlu semua agama berkembang, tidak statis? Perlu. Sebab beragama, menurut hemat saya, adalah berziarah. Kita belum selesai, belum tiba di titik final; kita tidak bisa mendaku bahwa agama kitalah yang sudah jadi. Semua agama adalah sedang menjadi,
becoming, sedang berada dalam perjalanan menuju masa depan yang penuh dengan segala kemungkinan pembaharuan, redefinisi, kelahiran kembali, rebirth, perumusan kembali doktrin, dan sebagainya. Pemahaman seperti ini akan dimungkinkan kalau semua umat beragama terlibat dalam dialog yang bertujuan untuk memperkaya satu sama lain. Bahwa setelah melewati proses dialog kemudian ada orang yang ingin pindah agama, itu bukan tujuan dari dialog. Tujuan dari dialog sendiri adalah, pada level doktrinal, kita sama-sama tumbuh dan, pada level praktis, kita sama-sama bersatu mengatasi problem-problem kehidupan, seperti bencana alam, perang, kebodohan, kemiskinan, pengangguran, dengan membangun kerjasama sosial, mengonsentrasikan sumberdaya yang ada, waktu, ketrampilan, dan ilmu agar masalah yang dihadapi dapat lebih efektif diatasi. Hal ini akan lebih mungkin berhasil dicapai kalau dilakukan bersama-sama daripada sendiri-sendiri. 

Dalam tradisi Kristen, sekte-sekte itu dianggap sebagai aliran yang lebih rendah dari aliran utama, bahkan ada yang digolongkan sesat. Banyaknya sekte sendiri menandakan adanya perbedaan di dalam tubuh Kristen. Dalam konteks pluralisme, keberbedaan seharusnya tidak menjadi alasan untuk mengeksklusi yang lain. Bagaimanakah pihak Kristen sebenarnya menanggapi perbedaan sekte-sekte itu?

Kalangan puritan, dalam semua agama, selalu akan menolak sekte yang berbeda dari mereka. Maka kita tidak bisa mengharapkan keterbukaan dan penerimaan terhadap aliran baru agama dari kalangan puritan ini. Kita hanya bisa mengharapkannya pada kalangan ekumenikal, kalangan yang bisa menerima keanekaragaman, yang berkonsentrasi dan bekerjasama dalam “dunia yang satu” (
ekumene, dalam bahasa Yunani diartikan sebagai “dunia yang didiami bersama-sama”). Dalam Islam, itu bisa terwujud di kalangan pluralis atau liberal.

Pertanyaannya lantas bagaimanakah posisi orang-orang dari kalangan ini sendiri dalam memandang agama-agama baru yang bermunculan itu? Untuk menjawab pertanyaan ini, saya akan terlebih dulu menguraikan esensi dari agama. Bagi saya, unsur-unsur pokok dari agama sendiri minimal ada tiga, yaitu cult, code
dan creed. Cult adalah kultus atau ritual, code adalah etika, dan creed adalah kredo atau syahadat. Tetapi, di samping ketiga unsur ini, terdapat satu unsur yang lebih mendasar lagi, yaitu spiritualitas dan religiositas. Fundamen dari agama sendiri adalah pengalaman perjumpaan dengan Yang Ilahi. Inilah yang disebut dengan religiositas atau spiritualitas itu. Spiritualitas adalah induk dari semuanya. Spiritualitas berasal dari kata spiritus yang berarti roh. Jadi spiritualitas merupakan perjumpaan dengan roh ilahi yang melahirkan segala sikap kebaikan. Sementara religiositas merupakan sikap tunduk dan hormat kepada yang induk. Dengan kata lain, spiritualitas adalah api dari agama yang selalu menyala, dan tetap harus dipertahankan menyala ketika agama masuk ke zaman-zaman atau tempat-tempat lain.

Menurut saya, kalau agama memang terlahir dari titik tolak pengalaman spiritual seperti ini, maka kita tidak bisa seenaknya membatasi jika ada kalangan atau individu yang mengklaim telah menerima pengalaman baru perjumpaan dengan yang ilahi, the divine, the Sacred. Pengalaman perjumpaan seperti ini, bagi saya, bisa melahirkan agama baru. Kalau kita yakin bahwa roh Allah terlalu besar untuk dikuasai oleh satu agama, maka kita harus terbuka pada kemungkinan munculnya agama-agama baru itu. Kita tidak bisa menolak kemungkinan ini, karena memang sejarah manusia belum berakhir. Abad ke-21 bukanlah abad terakhir. Masih akan ada abad ke-31, abad ke-41 dan seterusnya. Akhir zaman atau kiamat itu mestinya memang tidak akan pernah ada. Berarti agama-agama baru akan terus bermunculan. Nah, kemunculan agama-agama baru ini harus kita pandang sebagai pengalaman-pengalaman individu tertentu terhadap kehadiran Yang Ilahi. Melalui kultus, kode etik dan kredo, pengalaman akan Yang Ilahi ini dirutinisasikan (Max Weber), dan ini melahirkan institusi agama.

Karena yang baru muncul itu menamakan dirinya agama, maka agama yang baru ini pasti akan membangun doktrin, dogma, ritul, menetapkan kitab suci, menetapkan perilaku moral dan etika untuk warganya. Maka, cara menanggapi kemunculannya, bagi kaum ekumenikal, adalah bukan dengan melarang atau memberangusnya, melainkan dengan sikap positif terbuka. Kita menerima sambil terus menguji apakah sebuah agama baru itu memang mendatangkan kebaikan atau malah kebobrokan dan kehancuran bagi manusia. Atau dengan kata lain, karena agama adalah perjumpaan dengan roh ilahi, maka tinggal kita uji saja apakah yang dibawa oleh agama baru tersebut roh Allah atau justru roh setan, roh baik atau malah roh buruk.

Pertanyaannya kemudian, lantas dari manakah kita bisa tahu pada posisi manakah dalam dualisme itu suatu agama baru itu berada? Jawabannya adalah dari dampak yang dihasilkan oleh agama tersebut dalam lingkungan kehidupan manusia yang nyata. Kalau sebuah agama baru lahir dengan menganjurkan umatnya untuk bunuh diri seraya membunuh orang banyak, atau menghendaki umat yang berbeda untuk dibinasakan ―artinya agama ini membawa destruksi bagi manusia― maka agama baru ini harus kita tolak. Tapi kalau sebuah agama baru itu malah makin membuat semarak kegiatan yang mengangkat harkat dan martabat kemanusiaan, maka agama baru itu harus didukung. Jadi, yang perlu kita lihat dari agama baru itu adalah darimana roh yang telah mengilhaminya itu berasal dan apa buahnya. Pohon mangga akan berbuah mangga yang baik kalau akarnya memang baik. Kalau dasar ini yang kita pakai dalam menyikapi kemunculan agama-agama baru, maka akan tidak ada lagi pemakaian dogma dan lain sebagainya untuk menyerang agama yang lain. Sebaliknya, yang akan lebih dikedepankan adalah pemakaian tolok ukur etika yang menyangkut perbuatan hidup di dalam masyarakat. Dari buahnya kita akan mengenal pohonnya.
 

Tetapi, menghasilkan buah yang baik juga pada akhirnya tidak hanya ditentukan oleh akar yang baik, melainkan juga oleh lingkungan, cara kita merawat dan lain sebagainya. Bahkan terkadang, yang lebih esensial justru pada cara perawatannya itu; cara kita memberi pupuk dan bagaimana setiap hari kita memperlakukannya. Selanjutnya, sampai sejauh ini, sekularisme, liberalisme, dan pluralisme adalah penyokong utama tumbuh suburnya demokratisasi di manapun. Sebaliknya, ketiga gagasan tersebut bertentangan dengan keyakinan kaum fundamentalis, meski pluralitas adalah sebuah keniscayaan untuk Indonesia dengan keragaman budaya, bahasa, agama, etnisitas dan lain-lain. Namun, dalam praktiknya, meski keragaman dan persentuhan di antaranya sudah dilakukan bertahun-tahun, sampai sekarang masih tetap tumbuh benih-benih fundamentalisme, selalu muncul orang-orang yang tidak bisa mengiyakan keberadaan orang lain di sekitarnya. Pertanyaan besarnya, format ideal seperti apakah untuk membangun hubungan dalam konteks Indonesia yang sangat plural ini?

Menurut saya, hal itu bisa dilakukan melalui perawatan individu umat beragama. Saya kira tentu peran individu sangatlah besar dalam menentukan arah agama, meski yang lebih besar lagi adalah peran umat atau masyarakat. Saya tidak akan menjadi Kristen kalau lahir di Saudi Arabia atau tinggal dan besar di Al-Azhar. Artinya lingkungan sangatlah menentukan kita untuk menjadi si A atau si B. Namun demikian, lingkungan atau komunitas juga dapat berperan menjadi penopang pertumbuhan karakter individu yang makin sehat, atau sebaliknya juga dapat mengindoktrinasi individu sehingga si individu tidak dapat lagi melihat kemampuan pribadinya dan menyuarakan kepentingannya. Kepentingan pribadinya lebur ke dalam kepentingan komunitas. Hidupnya semata-mata hanya untuk komunitas, bukan untuk diri sendiri. Bagi saya, merawat atau memperhatikan kepentingan individu itu penting, sebagaimana memperhatikan doktrin dan etika komunitas juga penting. Sayangnya, praktik yang sering kita jumpai, dalam agama yang sangat komunal dengan pemimpinnya yang sangat karismatik-totaliter, si individu seringkali kehilangan dirinya. Bahkan ada yang mau menyerahkan nyawa dirinya untuk sang pemimpin dan umatnya. Ada relasi yang sangat kuat antara individu dan komunitas dari sebuah umat beragama.

Selanjutnya saya akan menyoroti persoalan kedua dari pertanyaan Anda. Pertanyaannya, bagi saya kira-kira, bagaimanakah cara agar Indonesia―yang dalam sejarahnya telah begitu banyak memperlihatkan diri sebagai sebuah komunitas besar yang ramah dan terbuka―masih bisa dipertahankan dan dari dalamnya fundamentalisme religius dapat dikikis? 

Jawaban saya, pertama, jangan biarkan ada warga negara kita yang masih terus bodoh. Harus ada pendidikan yang merata dan dilandasi oleh filosofi yang mencintai kehidupan dan sesama manusia, dari tingkat perguruan tinggi sampai ke tingkat paling dasar. Pendidikan yang dijalankan haruslah pendidikan yang berwawasan ekumenis, pluralis, liberal, terbuka, toleran dan menghargai kemajemukan. 

Kedua, jangan biarkan banyak warga negara kita yang terus hidup miskin. Orang seringkali menganalisa fundamentalisme keagamaan itu hanya dengan menganalisa doktrin-doktrin agama saja, yang memang tidak boleh dilupakan, karena memang doktrin yang fundamentalis akan melahirkan orang yang fundamentalis. Tapi, selain doktrin, lingkungan kehidupan juga sebenarnya sangat berpengaruh. Banyak rakyat Indonesia yang masih hidup dalam kantung-kantung kemiskinan; di lingkungan semacam ini, agama yang sebenarnya memang harus melawan kemiskinan telah juga ikut melahirkan orang-orang yang fundamentalis, orang-orang yang sangat keras, yang anti terhadap umat agama-agama lain, yang ingin melihat dunia segera berakhir dalam bencana semesta apokaliptis di saat mana hanya kelompok mereka sendiri saja yang akan diangkat ke surga untuk menerima keselamatan kekal. Jadi, kemiskinan juga harus diatasi oleh kita bersama. 

Ketiga, yang harus kita pelihara dan kembangkan dalam rangka merawat pluralitas adalah tradisi-tradisi dan kearifan-kearifan lokal, yang mengajarkan dan mendidik orang untuk terbuka terhadap orang lain, untuk banyak menabur kasih dan kebajikan, untuk bersikap toleran, bersemangat gotong-royong, dan ramah. Nilai-nilai positif seperti ini jangan sampai terkalahkan oleh budaya global, yang sekarang menguasai hampir segala sektor kehidupan, yang pada dasarnya adalah budaya Barat. 

Keempat, membangun dialog yang dikembangkan bukan hanya pada level para pemuka agama, tapi dialog yang melibatkan umat-umat beragama pada aras grass root. Titik-tolaknya adalah dialog etika-sosial. Contohnya, ketika ada bencana alam, kita yang dari agama Islam, Kristen, Hindu, Buddha, dan dari aliran-aliran kepercayaan dan lain-lain, duduk bersama untuk mengatur langkah-langkah mengatasi problem-problem yang ditimbulkan bencana alam itu. Lalu dialog etika-sosial ini dapat dilanjutkan dengan dialog doktrinal, yang di dalamnya kita mempercakapkan doktrin-doktrin kita. Hal seperti ini yang masih belum dilakukan. Dari dulu, umumnya dialog-dialog hanya dilakukan oleh para pemuka agama-agama. Kini harus diperlebar dengan melibatkan warga. Setelah itu kita bisa masuk pada dialog spiritual―mari kita cerita, apa pengalaman kita masing-masing dengan Yang Ilahi. Dari sini mungkin akan dapat ditemukan bahwa ternyata umat yang lain juga mengalami kehadiran Allah seperti kita. Kalau kita telah tiba pada kesadaran seperti itu, penghinaan terhadap agama lain sebagai agama yang rendahan, yang tidak bertuhan, dan yang tidak bisa memberikan pengalaman rohani, akan terkikis pelan-pelan, diganti dengan pengakuan yang sama bahwa agama-agama kita semua adalah agama-agama yang betul-betul di dalamnya Allah dapat dijumpai, yang di dalamnya betul-betul ada pengalaman iman dan pengalaman spiritual. Dialog pada level grass root inilah yang akan memperkokoh kohesi atau ikatan sosial sehingga umat-umat beragama tidak mudah dicerai-beraikan dan diadudomba kalau ada orang yang ingin memperalat agama-agama.

Dalam konteks ini, harus dicatat, yang tak kalah penting juga adalah peran perguruan-perguruan tinggi. Perguruan tinggi dapat dikatakan merupakan laboratorium eksperimentasi ilmu-ilmu baru untuk menghasilkan sintesis-sintesis baru atas berbagai ilmu dan teknologi, termasuk ilmu-ilmu keagamaan. Perguruan tinggi ini harus melahirkan pemikir-pemikir yang berwawasan lintasagama, lintaskultural, sekaligus lintasilmu. Tidak hanya pintar dalam soal-soal keagamaan, tetapi juga mengikuti perkembangan sains. Tidak saja berkutat dengan sains, tetapi juga peduli dengan persoalan-persoalan kemasyarakatan dan keagamaan. Jika hal ini bisa kita hidupkan, maka kehidupan bernegara dan berbangsa yang dilatari pluralisme, sekularisme, dan liberalisme sangat mungkin dapat tumbuh dengan baik di Indonesia. Saya mendukung ketiga hal ini. Dan bagi saya, kalau ketiga hal ini benar-benar dipraktikkan, ini akan bisa mendukung proses demokratisasi dan modernisasi, penghargaan terhadap HAM, pengembangan civil society, dan penghargaan atas hak-hak sipil dalam beragama.