Thursday, June 14, 2012

Asal-usul Agama: Sebuah Sketsa



Thor, Dewa guntur, dalam kostum modern


N.B. Dibaca kembali dan diedit 5 Agustus 2024

N.B. Jangan dilewatkan, baca dan pahami juga buku Robert N. Bellah, Religion in Human Evolution: From the Paleolithic to the Axial Age (2011; 744 halaman). Kajian atas buku luar biasa ini, lihat Ioanes Rakhmat, "Kelahiran Agama menurut Robert N. Bellah", Freidenk Blog, 3 Agustus 2012, https://ioanesrakhmat.blogspot.com/2012/08/kelahiran-agama-menurut-robert-n-bellah.html?m=0.



Agama adalah salah satu pranata primordial yang bisa membangun solidaritas demi survival (ketahanan hidup) manusia, dulu sekali, ketika baru muncul.

Sejauh ada bukti arkeologisnya, agama tertua muncul 70.000 tahun yang lalu di Afrika Selatan./1/ Dus, dibandingkan umur Bumi 4,5 milyar tahun, dan umur spesies Homo sapiens 300.000 tahun,/2/ agama adalah suatu fenomenon yang masih sangat muda belia. Hal ini berarti bahwa selama 230.000 tahun Homo sapiens hidup tanpa menganut agama apapun. 

Karena setiap masyarakat pasti memerlukan seperangkat aturan moral untuk mengelola kehidupannya, kita jadi bertanya, dari manakah moyang kita selama 230.000 tahun memperoleh moralitas, sementara agama belum dilahirkan? Ihwal tentang apa yang sesungguhnya menjadi sumber moralitas, telah penulis beberkan dalam sebuah tulisan lain./3/

Jika moralitas muncul dari suatu sumber, demikian jugalah agama. Dari mana agama pada awalnya dilahirkan? Salah satu faktor penyebab lahirnya agama pada awalnya adalah pertanyaan etiologis dari mana asal segala yang ada yang bisa dilihat manusia dengan mata telanjang, yang bisa ditangkap lima indra atau dengan bantuan instrumen-instrumen. Untuk menjawab pertanyaan tentang asal-usul segala yang ada, termasuk asal-usul dirinya, moyang Homo sapiens belum sanggup berpikir saintifik.

Sebagai jawaban atas pertanyaan dari mana asal-usul semua yang ada, moyang kita dulu menyusun mitologi-mitologi, atau kisah-kisah, bukan membangun sains. Mitologi tertua yang disusun 70.000 tahun lalu menjawab: manusia berasal dari kandungan ular python, dan karena itu mereka menyembah ular ini dalam ritual keagamaan mereka.

Kemampuan bertanya dari mana asal-usul segala yang ada sudah disediakan oleh sistem saraf dalam otak Homo sapiens, berupa kuriositas, yakni dorongan ingin tahu segalanya. Dorongan ini menyebabkan manusia ingin tahu hubungan-hubungan yang ada antar segala fenomena kehidupan yang mereka temukan. Kemampuan mencari sebab (cause) dari segala yang ada (effect), atau kemampuan berpikir kausal, telah tertanam dalam otak kita. Kemampuan menganalisis hubungan sebab-akibat (atau kausalitas) adalah fondasi sains yang terpenting di zaman yang jauh kemudian. Moyang Homo sapiens baru mampu mengonstruksi mitologi atau kisah-kisah ketika mereka menganalisis hubungan sebab-akibat.

Kebutuhan survival, atau kebutuhan bertahan hidup dalam kondisi-kondisi yang sulit, menyebabkan moyang kita menyelidiki hubungan-hubungan kausal antar berbagai fenomena kehidupan. Ketika fakta didapati anak sakit lalu mati tak tertolong, atau tetumbuhan didapati tak memberi hasil, fakta ini memacu timbulnya dorongan survival dengan kuat. Dorongan untuk survival ditanam oleh gen Homo sapiens dalam sel-sel saraf organ otak. Sekali lagi, pada awal kehidupan Homo sapiens, berpikir analitis kausal tidak melahirkan sains tapi kisah-kisah mitologis. Para moyang kita dulu bertanya, Mengapa turun hujan, Mengapa guntur menggelegar, Mengapa Matahari mendadak gelap, Mengapa anak sakit lalu mati, Mengapa tumbuh-tumbuhan tak mengeluarkan buah, Mengapa ada siang dan mengapa ada malam, Mengapa kalah dalam perang, dst. Semua pertanyaan ini dijawab lewat mitologi, lewat kisah-kisah, dengan semua fenomena alam dan benda-benda hebat dalam kosmos dipersonifikasi dan dideifikasi. Maka jadilah guntur yang menggelegar, misalnya, dipersonifikasi dalam diri Thor, sang Dewa perkasa yang memegang sebuah martil besar yang dahsyat, yang bisa mengeluarkan halilintar. Mengapa guntur menggelegar dan halilintar menyambar-nyambar? Lewat mitologi moyang kita menjawab: Karena Dewa Thor sedang geram!

Kuriositas atau dorongan ingin tahu segalanya yang diungkap dalam pertanyaan Mengapa, membuat Homo sapiens berpikir analitis kausal. Kuriositas adalah juga salah satu faktor penting yang di zaman yang jauh kemudian melahirkan cara berpikir saintifik, observasi, dan eksperimen-eksperimen. Namun dalam zaman moyang Homo sapiens, kuriositas hanya bisa menghasilkan mitologi, kisah-kisah, bukan sains. Agama tertua yang lahir di Afrika Selatan 70.000 tahun lalu adalah sebuah mitologi, demikian juga agama-agama lain yang tersusun seterusnya, sampai sains modern muncul menantang semua mitologi ini dan menggantikannya dengan penjelasan-penjelasan saintifik. 

Meski begitu, kita tetap membutuhkan kisah-kisah, sejak kita kanak-kanak, termasuk kisah-kisah keagamaan. Manusia adalah organisme pembuat dan penikmat kisah-kisah, termasuk kisah-kisah keagamaan; dan sejarah kehidupan spesies ini sendiri adalah gabungan berbagai kisah. Tanpa kisah-kisah, kehidupan akan terasa kering dan menimbulkan rasa haus. Karena itulah, meski penjelasan-penjelasan saintifik sudah tersedia, kita kini masih juga memerlukan kisah-kisah keagamaan yang kita tafsirkan terus-menerus, dari berbagai sudut pandang yang baru, sebagai respons proaktif terhadap zaman dan tempat yang terus berubah dan berpindah.

Selain karena didorong oleh pertanyaan etiologis tentang dari mana asal segala yang ada, dan oleh kebutuhan survival, agama lahir juga karena pertanyaan lain. Pertanyaan berikutnya tak lagi etiologis (yakni pertanyaan tentang asal-usul), tapi teleologis: Ke mana segalanya akan berakhir? Apa tujuan semua yang ada? Sejalan dengan musim-musim yang bersiklus silih berganti, pertanyaan teleologis juga dijawab dalam kerangka siklus alam. Memandang waktu bergerak lurus linier, ada titik awal dan ada titik akhir, bukan siklikal, baru muncul jauh belakangan.

Ketika moyang kita mendapati semua anggota komunitas mereka yang mati akhirnya menyatu dengan tanah, mereka menemukan teleologi. Tubuh manusia yang mereka lihat menjadi tanah di akhirnya, membuat mereka juga menemukan asal-usul manusia, yang dituangkan ke dalam kisah-kisah etiologis tentang manusia, diri mereka sendiri. Kalau di ujungnya setiap manusia dilihat kembali menjadi tanah, maka, dalam cara berpikir siklikal, asal-usul manusia pastilah tanah juga. Kisah Taman Eden dalam kitab suci Yahudi-Kristen, kisah yang ditulis pada abad 10 SM, adalah etiologi yang ditulis berdasarkan teleologi.

Salah satu perkembangan dan mutasi genetik sel-sel saraf otak manusia yang memunculkan spesies Homo sapiens adalah terbangunnya kesadaran diri, atau self-consciousness. Kesadaran diri yang kontemplatif, contemplative consciousness, hanya ada dalam hewan spesies Homo sapiens, tak ada dalam jenis hewan mamalia lain. Dari self-consciousness ini, muncullah pertanyaan-pertanyaan: Siapa saya? Dari mana saya? Ke mana saya akan pergi? Apa tugas saya? Mengapa saya hidup? Mengapa saya ada di sini? Maka, kontemplasi pun dijalankan.

Kesadaran diri yang muncul dalam diri Homo sapiens adalah juga sebuah faktor lain yang mendorong lahirnya agama, dari yang primitif sampai yang sudah berkembang. Harus dicatat, consciousness yang muncul ini, pada zaman moyang Homo sapiens, tidak membuat mereka memandang diri terpisah dari alam. Dalam agama-agama alam tertua, tak ada pandangan bahwa manusia adalah makhluk atau organisme tertinggi, lebih superior dari makhluk lain atau dari alam. Moyang Homo sapiens memahami diri mereka sebagai bagian tak terpisah dari alam, bahkan tak terpisah dari dunia dewa-dewi. Nah, consciousness ini membuat moyang Homo sapiens mengonstruksi agama yang di dalamnya tempat manusia dalam jagat raya direnungi dan dibeberkan, lewat mitologi atau kisah-kisah eksistensial.

Apakah anda tahu filosofi Jawa sangkan paraning dumadi?

Kita tahu, pertanyaan-pertanyaan tentang identitas diri, yang muncul dari kesadaran diri, jika tak dijawab, sangat meresahkan siapapun dari antara kita. Nah, salah satu tujuan agama dibangun pada awalnya adalah untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang identitas dan status diri manusia sendiri, dan kehidupan mereka, serta tempat mereka dalam jagat raya. Ketika pertanyaan-pertanyaan ini terjawab lewat mitologi, lewat kisah-kisah keagamaan, rasa resah pun sirna. Dalam setiap agama pasti ada antropologi dan psikologi kuno, yang menjadi bagian dari worldview agama ini.

Bersamaan dengan munculnya pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan jati diri eksistensial manusia sendiri, muncul juga pertanyaan-pertanyaan serupa tentang setiap benda dan fenomena lain dalam alam ini. Benda dalam alam yang paling kuat menimbulkan pertanyaan dalam diri Homo sapiens di zaman kuno adalah bintang Matahari kita. Benda apakah Matahari ini? Mengapa benda ini begitu dahsyat dan penuh kuasa? Mengapa benda ini menjadi raja dalam alam raya? Maka tidaklah heran, jika pemujaan Matahari menjadi salah satu unsur terkuat dalam agama-agama, sejak zaman kuno. Bahkan kekristenan yang muncul jauh kemudian, mengenakan gelar Sol Invictus, sang Matahari tak terkalahkan, kepada Yesus Kristus, junjungan mereka, gelar yang diambilalih dari paganisme Nordik dan Romawi. Semua benda di angkasa, bagi moyang kita, bukan hanya benda, tetapi makhuk-makhluk hidup, dewa dan dewi, allah-allah dan tuhan-tuhan, yang mereka sembah, yang mereka pandang sebagai pemberi energi kehidupan dan cahaya terang.

Tapi, jangan sampai lupa, pada awalnya agama-agama muncul juga karena kebutuhan politik komunitas. Sang pemimpin komunitas, yang dipilih karena kharismanya, dan karena keunggulannya dalam leadership, dalam pertarungan dan dalam perang, perlu diberi legitimasi ilahi. Dalam zaman kuno, legitimasi ilahi kepada sang pemimpin diungkap dalam kisah-kisah suci tentang asal-usul dirinya, kehebatannya, jalan kehidupannya, capaian-capaiannya, dan akhir kehidupannya.

Dalam zaman kuno, legitimasi ilahi tidak saja diberikan kepada sang pemimpin, tapi juga kepada asal-usul komunitas dan tugas serta peran mereka dalam dunia. Mengasal-usulkan sang pemimpin dan komunitas dari dunia ilahi (sebagai anak Allah, titisan Dewa, bangsa pilihan, umat yang kudus, dlsb) sangat membantu timbulnya dorongan survival. Jika anda dipilih Presiden SBY sebagai satu-satunya wakil Indonesia untuk suatu tugas internasional, status anda ini menimbulkan dorongan kuat dalam diri anda untuk tampil unggul. Pada zaman kuno sekularisme belum dikenal dan tidak dipraktekkan, sehingga sorga, dewa-dewi, Allah, manusia, dunia, berinteraksi, lewat mitologi, lewat kisah-kisah mitologis atau kisah-kisah teologis. Dalam dunia kuno yang semacam ini, Allah atau Dewa menjadi manusia dan bahkan manusia menjadi Allah atau Dewa.

Dalam sejarah perkembangan pemikiran keagamaan, dewa-dewi atau tuhan-tuhan yang semula, dalam kurun yang sangat panjang, banyak jumlahnya (politeisme), akhirnya dengan sadar disusutkan sehingga hanya tinggal satu Dewa atau satu Tuhan yang dipandang mahaesa dan mahakuasa. Ada banyak faktor yang berperan dalam kelahiran monoteisme. Kebutuhan untuk mengunggulkan sang Dewa suatu suku bangsa di atas semua dewa lain dari suku-suku bangsa lain yang ada di sekitar membuat, mula-mula, dewa-dewa suku-suku bangsa lain disubordinasikan di bawah sang Dewa dari suku yang mengklaim (atau menganggap) diri paling unggul, lalu, kemudian, dewa-dewi lain ini bukan hanya disubordinasikan tetapi dihilangkan sama sekali. Jelas, dalam hal ini monoteisme lahir karena kebutuhan politik: sang Dewa dari suku bangsa yang terunggul (atau yang menganggap diri terunggul) haruslah satu-satunya sang Dewa penguasa jagat raya. Jika di Bumi suatu bangsa unggul (atau menganggap diri unggul), maka di langit Dewa bangsa ini harus juga unggul! 

Selain itu, monoteisme juga lahir dari pertarungan politik domestik antar-para pemimpin suatu suku bangsa yang diakhiri dengan kemenangan sang pemimpin terkuat. Sang pemimpin terkuat yang tampil sebagai pemenang ini lalu menegakkan monoteisme untuk dua kebutuhan: pertama, untuk mempersatukan bangsanya, yang semula menyembah banyak dewa, di bawah payung hanya satu Dewa, yaitu sang Dewa yang disembah sang pemimpin pemenang, yang dipandang sebagai Dewa terunggul; kedua, memberi legitimasi ilahi pada sang pemimpin pemenang sebagai utusan atau wakil eksklusif satu-satunya dari satu-satunya Dewa yang kini disembah seluruh bangsanya, tentu lewat tindakan represif militeristik juga. Monarkhi dan monoteisme semula berjalan beriringan. Lewat monoteisme, monarkhi dilanggengkan, dan lewat monarkhi, monoteisme juga dilanggengkan. 

Itulah sketsa yang jauh dari lengkap mengapa manusia mengonstruksi agama, sejak zaman kuno hingga zaman yang lebih kemudian. Semula, tujuan agama disusun oleh moyang kita adalah untuk survival komunitas. Tapi di zaman modern ini, agama, sayangnya, kerap tampil dalam wajah yang lain, yakni sebagai faktor pemecah belah umat manusia dan pemicu kekerasan dan perang.


Catatan-catatan

/1/ Reportase tentang temuan arkeologis ini tersedia online di http://www.afrol.com/articles/23093.

/2/ Lihat L. Vigilant et al., “African Populations and the Evolution of Human Mitochondrial DNA”, dalam Science 253, no. 5027 [1991], hlm. 1503-1507.

/3/ Lihat Ioanes Rakhmat, "Asal-usul Moralitas", Freidenk Blog, 27 Mei 2012, https://ioanesrakhmat.blogspot.com/2012/05/asal-usul-moralitas.html?m=0.




Monday, June 11, 2012

Stephen Hawking dan Albert Einstein: Apakah yang satu dikutuk, dan yang lain diberkati?



Editing mutakhir 4 Juni 2018


Pada 14 Maret 2018, Prof. Stephen Hawking, Ph.D., telah wafat dalam usia 76 tahun. Dia menanggung dengan kalem penyakit ALS sejak 1963 yang membuatnya lumpuh total, tapi tetap mampu menghasilkan sekian buku yang laku keras dan berkomunikasi lisan lewat synthesizer suara.

Hidupnya telah berakhir. Abu jasad Stephen Hawking disimpan di Gereja Anglikan Westminster Abbey, London, Inggris.

Tapi warisan pemikirannya dalam fisika dan kosmologi teoretis akan bertahan lama bahkan mungkin abadi. Inilah transhistorical eternity atau historical transcendence, bergantung anda melihatnya dari kacamata apa.




Tulisan ini menyoroti beberapa segi pemikiran Stephen Hawking sebagai seorang pemikir besar di dunia fisika teoretis abad ke-20/21. Supaya lengkap, pemikiran Albert Einstein juga akan disajikan, tentu saja hanya segi-segi tertentunya. 

Mari kita mulai dengan Stephen Hawking.

Kaum agamawan umumnya suka memakai contoh diri mahafisikawan Stephen Hawking (lahir 8 Januari 1942) sebagai seorang ateis yang terkena kutuk Tuhan. Kata kaum agamawan, “Lihatlah, barangsiapa ateis, dia akan terkena kutuk Tuhan, seperti diri Stephen Hawking yang dibuat lumpuh total. Sudah sejak awal Tuhan tahu kalau Hawking akan jadi ateis. Maka itu, dia dijadikan lumpuh.”

Ya, Stephen Hawking di tahun 2004 saat ditanya oleh seorang wartawan The New York Times apakah dia percaya Allah, pendek saja dia menjawab, “Aku tidak percaya pada suatu Allah personal.”/1/

Dalam video Discovery Channel Curiosity S01E01 yang berjudul Did God Create the Universe? Compelling Explanations, yang ditayangkan premier 7 Agustus 2011, Hawking menyatakan hal berikut ini:

“Aku percaya, penjelasan yang paling sederhana adalah tidak ada Allah. Tidak ada yang menciptakan alam semesta dan tidak ada yang mengarahkan nasib kita. Ini membawa aku ke suatu kesadaran yang sangat dalam bahwa mungkin sekali juga tidak ada sorga dan tidak ada kehidupan setelah kematian juga. Kita punya satu kehidupan saja untuk menghargai dan mengagumi Desain Akbar jagat raya, dan untuk itu aku sangat bersyukur.”/2/

Baru-baru ini dengan tegas dan jelas di muka umum Hawking menyatakan kembali dirinya ateis. Saat diwawancara oleh koran Spanyol El Mundo (dipublikasi 26 Oktober 2014), sang mahafisikawan ini menyatakan,

“Sebelum kita memahami sains, adalah hal yang wajar untuk percaya bahwa Allah telah menciptakan alam semesta. Tapi kini sains mengajukan sebuah penjelasan yang lebih meyakinkan. Apa yang dulu saya maksudkan dengan ‘kita akan tahu pikiran Allah’ [dalam buku A Brief History of Time, terbit 1998] adalah bahwa kita akan ketahui segala sesuatu yang Allah tahu [sebagai the theory of everything], seandainya Allah ada, tapi faktanya dia tidak ada. Saya kini seorang ateis.”/3/

Ihwal mengapa sains tidak memerlukan sosok Allah supernatural dalam terjadinya jagat raya, dijelaskan oleh Hawking dalam video Discovery Channel yang berjudul Did God Create the Universe? yang sudah dirujuk di atas. Antara lain dia menyatakan hal berikut ini:

“Peran yang dimainkan sang waktu pada permulaan jagat raya adalah, aku percaya, kunci terakhir untuk menyingkirkan keperluan adanya suatu Perancang Akbar [ilahi], dan untuk menyingkapkan bagaimana jagat raya menciptakan dirinya sendiri [lewat fluktuasi quantum]…. Waktu itu sendiri haruslah akhirnya berakhir. Anda tidak dapat tiba di suatu waktu sebelum big bang, karena tidak ada sang waktu sebelum big bang.

Kita akhirnya menemukan sesuatu yang tidak memiliki suatu penyebab karena tidak ada waktu bagi suatu penyebab untuk ada di dalamnya. Bagiku, ini berarti tidak ada kemungkinan bagi adanya suatu pencipta [ilahi] berhubung tidak ada waktu bagi suatu pencipta untuk dulu ada. Karena waktu itu sendiri dimulai pada momen big bang, maka big bang itu sendiri adalah suatu kejadian yang tidak dapat disebabkan atau diciptakan oleh seseorang atau suatu hal apapun….

Maka, ketika orang bertanya kepadaku apakah suatu allah telah menciptakan jagat raya, aku katakan kepada mereka bahwa pertanyaan anda itu sendiri tidak punya makna. Waktu belum ada sebelum big bang, dengan demikian tidak ada waktu bagi Allah untuk membuat jagat raya di dalamnya. Ini bak bertanya arah menuju pinggir Bumi. Planet Bumi itu suatu bulatan. Sebagai bulatan, Bumi tidak punya suatu tepi, alhasil mencari tepi Bumi adalah suatu usaha yang sia-sia.”/4/

OK-lah, para agamawan tentu bebas menilai Stephen Hawking. Tapi apa komentar saya terhadap kaum agamawan yang berpendapat demikian keras tentang diri Stephen Hawking?

Pertama, jika Stephen Hawking jadi lumpuh total karena dia dikutuk Tuhan, karena dia ateis, maka, menurut saya, betapa kejamnya Allah kaum agamawan.

Jika anda membutuhkan teologi tentang Allah yang kejam, ingatlah bahwa teologi anda adalah juga psikologi anda yang sebenarnya: anda sendirilah yang sebenarnya berjiwa kejam, bukan Allah manapun.

Seandainya Allah yang kejam semacam ini ada, Allah ini bukan hanya kejam, tetapi juga tidak mau ilmu pengetahuan berkembang, lewat pikiran Hawking, dalam dunia manusia. Allah semacam ini kejam dan anti-sains, atau karena anti-sains, Allah ini jadi kejam.

Hemat saya, Allah dalam agama-agama besar bukanlah Allah yang kejam semacam itu.

Semakin anda yakin bahwa Allah anda itu Allah yang mahatahu, hemat saya pastilah dia Allah yang, seperti semua orangtua kepada anak-anak mereka, juga menghendaki anda semua bertumbuh untuk menjadi serbatahu seperti dirinya dengan belajar dan meraih ilmu pengetahuan seumur kehidupan anda dan dengan tanpa batas.

Kedua, meskipun tubuhnya lumpuh total karena serangan berkelanjutan penyakit neuron motoris yang berhubungan dengan penyakit sclerosis lateral amyotrofik (ALS) sejak dia berusia 21 tahun, semangat hidupnya tidak mati dan pikirannya tidak lumpuh.

Kenyataan seperti itu pada diri Stephen Hawking menunjukkan dia tidak dikalahkan oleh Allah kaum agamawan yang kata mereka telah mengutuknya.

Bahwa Hawking terkena sakit semacam ini, memperlihatkan dirinya sama dengan manusia lain, bisa terkena penyakit, bukan karena dia berdosa terhadap Tuhan apapun.

Tentu saja, sebagai seorang manusia, Hawking mengakui bahwa dia terpukul juga oleh apa yang dideritanya. Kepada wartawan The New York Times yang mewawancarainya di tahun 2004, dia menyatakan,

“Harapan-harapanku lenyap saat aku berusia 21 tahun. Sejak waktu itu, segala sesuatu adalah sebuah bonus.” 

Tetapi kendatipun demikian, hingga saat ini Hawking mampu menikmati kehidupannya. Baginya, banyak hal yang lucu dan menarik dari kehidupan ini. Katanya kepada wartawan yang sama, “Kehidupan ini akan jadi tragis seandainya kehidupan ini tidak lucu.”/5/

Ketiga, dalam kenyataannya Stephen Hawking, meskipun lumpuh, lebih hebat dan lebih berprestasi dibandingkan anda yang sehat jasmaniah.

Meskipun dia secara bertahap menjadi lumpuh total, sekian buku berkualitas best seller telah ditulisnya lewat pikirannya yang brillian. Teknologi modern telah membantu Stephen Hawking melampaui kelumpuhannya sehingga dia bisa berbicara dan tetap produktif menulis.

Ya, Hawking tetap seorang bebas; katanya lisan dalam sebuah video di Youtube,

“Walau saya tidak dapat bergerak dan saya harus berbicara lewat sebuah komputer, dalam pikiran saya, saya seorang bebas.”/6/

Ya, hemat saya, walaupun tubuh anda sehat tetapi jika pikiran anda terbelenggu oleh ideologi-ideologi dan kebodohan, anda bukan orang bebas. Kondisi pikiran-lah yang menentukan apakah seseorang itu bebas ataukah seseorang itu terpenjara. Periksalah diri anda.

Bagaimana dengan anda kaum agamawan yang suka melecehkannya jika anda menderita seperti Hawking secara fisik?

Saya membayangkan, kalau anda yang menjadi Stephen Hawking, mungkin sekali anda telah lama memutuskan untuk melakukan euthanasia, yakni memilih mati dengan disengaja sebagai pilihan terbaik ketimbang menanggung penderitaan berat dalam jangka waktu yang panjang.

Pendek kata, bagi saya, Stephen Hawking lebih sehat dari orang sehat, lebih hidup dari orang hidup, dan... lebih tangguh dari pahlawan perang manapun, dan orang tercerdas di planet Bumi untuk saat ini. Karena itu pantaslah jika saya sangat mengaguminya.

Setelah Albert Einstein, orang umumnya memandang Stephen Hawking sebagai orang tercerdas di dunia kita masa kini.

Saat ditanya berapa peringkat IQ-nya, Hawking menjawab,

“Aku tidak tahu. Orang yang membangga-banggakan IQ mereka adalah para pecundang.”/7/

Jika anda sebagai agamawan suka melecehkan Stephen Hawking, cobalah periksa diri anda sendiri, apakah anda bisa menulis buku-buku sains dengan kualitas seperti yang telah ditulis sang mahafisikawan ini: A Brief History of Time (1998); The Universe in A Nutshell (2001); A Brief History of Time: From the Big Bang to Black Holes (2009); dan The Grand Design (bersama Leonard Mlodinow, 2010)?

Tapi pastilah terlalu muluk, bak pungguk merindukan bulan, jika saya meminta anda menulis buku-buku sejenis yang telah ditulis Hawking. OK-lah, sekarang saya hanya menganjurkan anda untuk membaca dan memahami buku-buku sang mahafisikawan ini. Setelah itu, sikap dan pandangan anda terhadapnya kali-kali saja akan berubah total.

Sekarang, sebagai sebuah ujian untuk anda, coba jawab, apakah anda bisa memahami apa yang dinamakan “radiasi Hawking”, yang ditemukan olehnya tahun 1974?

Jika anda tidak tahu, baiklah saya jelaskan. Menurut Hawking, black holes dapat memancarkan energi, partikel dan cahaya kendatipun sebuah black hole itu memiliki forsa gravitasi yang sangat kuat sehingga tak ada sesuatupun yang bisa luput dari sedotannya, bahkan juga cahaya.

Keberadaan black holes adalah suatu keniscayaan yang diprediksi oleh teori relativitas umum Albert Einstein sebagai sebuah teori tentang gravitasi yang sampai saat ini dipandang sebagai teori gravitasi yang terbaik yang kita miliki.

Dalam sebuah black hole atau lubang hitam terdapat massa positif yang terlepas keluar darinya sebagai panas dan memancarkan radiasi dan cahaya. Selain itu, terdapat juga massa negatif yang jatuh ke dalam black hole sendiri, yang secara bertahap menyusutkan massa keseluruhan sebuah black hole hingga akhirnya black hole ini sendiri akan menjadi satu titik (lebih kecil dari atom) sangat massif dan berenergi besar yang akan mendentum― inilah singularitas.

Jika singularitas ini terus mengecil, tanpa batas, infinite, maka kita memperoleh infinitesimal, sesuatu yang infinitely small, dan jika terus mengecil sampai akhirnya lenyap, menjadi nothing, maka nothing menjadi infinity. Menakjubkan, bukan?

Para saintis baru saja (Oktober 2014) mengonfirmasi temuan yang sejalan dengan teori “radiasi Hawking”. Menurut mereka, partikel-partikel (yang memancarkan frekuensi radio) yang dipancarkan “lubang-lubang hitam” yang sangat massif nyaris dalam kecepatan cahaya dapat mencegah terbentuknya bintang-bintang baru di dalam galaksi-galaksi tua. Gas panas yang bebas oleh partikel-partikel ini dicegah mendingin, alhasil bintang-bintang bayi tidak dilahirkan./8/

Pahamkah anda? Jika tidak, ya akuilah bahwa diri anda terlalu kecil jika dihadapkan kepadanya; jadi, jangan menghakiminya hanya karena dia lumpuh total.

Tapi saya positif terbeban untuk memperluas pengetahuan anda tentang lubang-lubang hitam, “black holes”. Yang ada bukan saja lubang-lubang hitam rata-rata, tetapi juga lubang-lubang hitam “supermasif”. Apa itu?

Lubang hitam supermasif adalah sebuah “pipa” kosmik yang dengan sangat kuat menghisap segala materi dan menjadikannya sebuah titik yang densitasnya tidak terbatas, infinite, yang dibentuk dari massa ratusan ribu hingga milyaran bintang yang terkompresi.

Para astronom kini berpendapat bahwa ada jutaan lubang hitam supermasif dalam jagat raya kita, jauh lebih banyak dari yang diperkirakan semula.

Pendapat ini muncul setelah baru-baru ini ditemukan lima lubang hitam supermasif pada pusat-pusat lima galaksi, yang semula tersembunyi dalam selubung debu dan gas kosmik, oleh tim astronom Inggris yang dipimpin George Lansbury yang bekerja di Centre for Extragalactic Astronomy, Universitas Durham.

Temuan itu didapat dengan menggunakan Nuclear Spectroscopic Telescope Array (NuSTAR) milik NASA, yang mengorbit sebuah observatorium yang diluncurkan tahun 2012. Teleskop ini dirancang untuk dapat menangkap sinar X yang berenergi sangat besar yang dipancarkan objek-objek yang jauh./9/



Sumbu tebal warna putih tegak lurus pada pusat galaksi, itulah lubang hitam supermasif



Pipa kosmik itu sebetulnya jet atau semburan kuat plasma atau gas-gas yang terionisasi


Di penghujung Januari 2014 Stephen Hawking menyatakan bahwa “lubang hitam tidak ada”, dan akibatnya banyak orang kebingungan karena tidak menempatkan pernyataannya ini dalam konteks seluruh pendapatnya tentang lubang hitam, “Event Horizon” (EH), dan “Paradoks ‘Firewall’ Lubang Hitam”.

EH adalah batas-batas yang tidak kasat mata yang dipikirkan berbentuk sebuah kubah yang menyelubungi setiap lubang hitam. Melampaui batas-batas kubah EH tidak ada sesuatupun, termasuk cahaya dan informasi, yang akan bisa luput dari tarikannya.



Event horizon


Kepada jurnal Nature, Stephen Hawking menyatakan bahwa menurut teori fisika klasik, tidak ada sesuatupun yang bisa lepas dari daya sedot sebuah lubang hitam. 

Tapi teori quantum memungkinkan energi dan informasi luput dari tarikan sebuah lubang hitam, berhubung efek-efek quantum di sekitar sebuah lubang hitam menyebabkan ruangwaktu berfluktuasi dengan sangat liar sehingga suatu batas tajam tidak akan terbentuk atau tidak akan ada; atau, dengan kata lain, menurut mekanika quantum EH tidak akan pernah ada.

Sebagai ganti EH, Stephen Hawking mengusulkan sebuah pilihan lain yang dinamakannya “Apparent Horizon” (AH), yakni kubah pembatas yang hanya untuk sementara waktu saja menggenggam materi dan energi sebelum akhirnya melepaskan kembali keduanya meskipun sudah dalam bentuk yang tidak rapih lagi, tetapi kacau.

Pendapat baru Stephen Hawking ini tentang AH dimaksudkannya untuk memecahkan apa yang selama ini dikenal sebagai “Paradoks ‘Firewall’ Lubang Hitam” yang ditemukan oleh fisikawan Joseph Polchinski dari Kavli Institute dan kawan-kawannya berdasarkan teori quantum.

Menurut teori quantum, EH haruslah berubah menjadi suatu kawasan yang berenergi sangat besar, yang akan membakar sampai habis apapun yang masuk ke dalam batas-batas EH. Kawasan yang berenergi sangat besar ini dinamakan kawasan “Firewall” (“Dinding Api”?).

Di mana paradoksnya? Berdasarkan relativitas umum Einstein, para fisikawan telah lama beranggapan bahwa jika seorang astronot dengan sial terjatuh ke dalam sebuah lubang hitam, sang astronot ini akan dengan riang melewati EH (dengan sama sekali tidak menyadari nasib akhirnya!) sebelum akhirnya perlahan-lahan disedot ke dalam lubang hitam yang berakhir pada singularitas (inti sangat padat tanpa batas dari sebuah lubang hitam).

Paradoksnya adalah hukum-hukum dalam mekanika quantum (yang mengendalikan partikel-partikel yang berukuran subatomik) yang mengharuskan terbentuknya Firewall tidak memungkinkan sang astronot itu bisa dengan gembira melewati kubah EH yang juga menjadi Firewall; alhasil, begitu masuk ke EH, sang astronot langsung dibakar sampai kering bak sepotong ayam goreng krispi KFC.

Usul baru Stephen Hawking tentang AH, yang mengharuskan EH dianulir, membuat Paradoks Firewall tidak ada lagi.

Kata Stephen Hawking, batas-batas yang real bukanlah EH, tetapi AH; alhasil, karena EH tidak ada, maka lubang hitam juga tidak ada, dalam arti: tidak ada sistem yang darinya cahaya tidak dapat lepas selamanya./10/

Tapi Joseph Polchinski yang sudah dirujuk di atas bersikap skeptis terhadap gagasan baru AH Stephen Hawking, bahwa suatu lubang hitam dapat ada dalam alam kendatipun tidak memiliki EH.

Menurut Polchinski, fluktuasi ruangwaktu yang berlangsung keras, yang diperlukan untuk meniadakan EH sangat jarang terjadi dalam jagat raya. Secara teoretis, penggabungan gravitasi dan mekanika quantum dapat menyingkirkan EH, tetapi dalam kenyataannya efek-efek mekanika quantum yang dibayangkan Stephen Hawking terhadap ruangwaktu jarang terjadi.

Kembali ke pribadi Stephen Hawking. Fisiknya memang lumpuh, tapi ternyata dia juga memiliki jiwa yang relung-relungnya dalam, yang tersentuh oleh kebesaran jagat raya dan keajaiban semua yang ada. Kata sang mahafisikawan ini kepada anda,

“Ingatlah untuk menatap ke atas, ke bintang-bintang, dan jangan menatap ke bawah ke kaki anda. Cobalah pahami apa yang anda lihat, dan tetaplah terpesona seperti kanak-kanak saat anda bertanya-tanya apa yang telah membuat jagat raya ini ada.” 

Sedalam itukah jiwa anda yang suka merendahkannya?

Hawking juga respek pada kaum perempuan. Meskipun pernah bercerai, Hawking dapat mengakui bahwa kaum perempuan memiliki kedalaman jiwa yang tidak terukur ketika dia menyatakan bahwa misteri terbesar dalam jagat raya ini bukan misteri fenomena fisika, tetapi misteri kaum perempuan.

Selain itu, perhatian Hawking terhadap ketahanan kehidupan manusia dan peradaban yang mereka telah bangun juga besar.

Saat ditanya, kelemahan apa yang ada pada manusia yang akan bisa membahayakan dunia di masa depan, dia menjawab bahwa sifat agresif manusia itulah yang paling berbahaya, sebab agresi akan bisa memicu perang nuklir dalam waktu dekat. Katanya,

“Kita perlu mengganti agresi dengan empati yang akan membawa kita bersama ke suatu keadaan damai yang memberi kebahagiaan dan cinta.”

Katanya lagi,

“Agresi pada masa kehidupan manusia goa dapat bermanfaat untuk mendatangkan ketahanan hidup, untuk mendapatkan lebih banyak makanan, wilayah kekuasaan atau seorang teman hidup untuk mendatangkan keturunan; tapi kini agresi adalah ancaman yang akan membinasakan kita semua.”/11/

Dus, jika Stephen Hawking sebagai sang fisikawan jenius terbesar abad ke-21 memiliki hati yang sangat lembut dan perhatian besar pada masa depan umat manusia, bahkan pada kaum perempuan, anda benci, saya tidak bisa memahami anda.

Jika anda membencinya karena dia ateis, anda salah besar. Bersama Peter Higgs yang menerima Hadiah Nobel untuk teorinya tentang partikel Higgs boson yang sudah terbukti benar, Stephen Hawking adalah seorang ateis yang tidak agresif, tetapi berhati lembut dan mampu bersahabat dengan semua orang.

Jangan anda bandingkan ateis Peter Higgs dan ateis Stephen Hawking dengan ateis Richard Dawkins yang agresif dan suka menyerang agama-agama dan Tuhan meskipun Dawkins tidak percaya Tuhan itu ada!

Walaupun ketiganya ateis, Higgs dan Hawking adalah ateis yang kalem dan tenang, tidak agresif dan tidak meledak-ledak gaya Dawkins sebagai seorang ateis fundamentalis. Richard Dawkins dkk dikenal sebagai para pendiri dan pembela agresif New Atheism yang sudah saya bongkar habis dalam sebuah tulisan panjang akademik saya./12/

Di lain pihak, kaum agamawan suka memanfaatkan Albert Einstein (1879-1955) yang diperlawankan dengan Stephen Hawking oleh mereka.

Kita tahu, Einstein dikenal agung terutama selain lewat persamaannya yang hebat E=mc2, juga lewat dua teori relativitasnya: relativitas umum dan relativitas khusus.

Teori relativitas umum menyatakan bahwa ruangwaktu (spacetime) dibuat terceruk atau terlipat (warped) oleh objek-objek yang massif dan berenergi besar, dan bahwa forsa gravitasi adalah hasil dari pencerukan ruangwaktu ini.

Suatu benda massif seperti sebuah planet (yang memiliki massa dan energi) mendistorsi ruangwaktu, alhasil benda-benda yang terletak berdekatan ditarik oleh cerukan atau cekungan yang ditimbulkan oleh distorsi ini― tarikan inilah forsa gravitasi.

Mudahnya begini: jika ada sebuah lubang cekung yang dalam di permukaan tanah, maka air hujan yang turun deras di berbagai tempat ditarik dan mengalir masuk ke dalam cekungan itu. Tarikan inilah, menurut teori Einstein, forsa gravitasi.

Forsa gravitasi ini tidak bergerak linier, tapi bergelombang, ibarat riak gelombang air di danau yang bergerak konsentrik dari titik jatuhnya sebuah batu yang kita lemparkan ke tengah danau. Inilah gravitational waves.




Cermati gambar di atas. Sebuah benda massif seperti sebuah planet membuat dimensi ruangwaktu terceruk, membuat cekungan; alhasil benda-benda lain yang dekat dengan planet itu ditarik masuk ke dalam kawasan atau medan cekung itu; tarikan inilah forsa gravitasi. Karena enerji itu ekuivalen dengan massa, forsa gravitasi memiliki massa (sekalipun sangat ringan) dalam wujud partikel graviton.

Teori relativitas khusus menyatakan bahwa tidak ada sesuatu apapun yang bisa bergerak melebihi kecepatan cahaya.

Dalam teori relativitas khusus, pengukuran waktu dipandang bergantung pada si pengamat yang melakukan pengukuran itu; dengan demikian, waktu tidak bisa mutlak, sebagaimana dipikirkan Newton sebelumnya, atau dengan kata lain, tidaklah mungkin untuk memberikan kepada setiap peristiwa waktu yang setiap pengamat akan setujui.

Ruang dan waktu saling merangkul, tidak terpisah, membentuk dimensi ruangwaktu atau spacetime dimension. Ditambah dengan cahaya sebagai sebuah dimensi, kita hidup dalam kungkungan lima dimensi ini.

Dengan berdasar pada teori Einstein, Stephen Hawking menyatakan sesuatu yang menarik; katanya,

“Perjalanan lintas-waktu biasanya dipandang sebagai fiksi sains belaka. Tapi teori relativitas umum Einstein memungkinkan kita mencerukkan ruangwaktu sehingga anda dapat lepas landas dalam sebuah roket dan kembali lagi sebelum anda berangkat.”/13/

Untuk kepentingan mereka, kaum agamawan suka sekali mengutip sebuah pernyataan Albert Einstein bahwa “sains tanpa agama lumpuh, dan agama tanpa sains buta”.

Sehabis mengutipnya, mereka langsung berkata, “Lihatlah Einstein itu saintis yang saleh beragama, maka itu hidupnya lurus, sehat dan bugar, tak seperti Stephen Hawking yang lumpuh.” Malah ada agamawan yang sangat eksentrik sampai bisa menyatakan bahwa Einstein adalah seorang Muslim syiah yang hidupnya diberkati Allah.

Pada sisi lain, banyak juga orang Kristen evangelikal menyatakan bahwa Einstein adalah seorang Kristen saleh yang hidupnya diperkenan dan diberkati Yesus.

Kaum agamawan Buddhis juga mengklaim bahwa Einstein pernah menyatakan Buddhisme non-theis adalah agama yang sejalan dengan sains modern.

Harus diakui bahwa Einstein melihat kemungkinan Buddhisme adalah agama yang paling akomodatif terhadap sains modern setelah sang saintis hebat ini membaca tentang Buddhisme lewat tulisan-tulisan Schopenhauer.

Tulis Einstein,

“Jika ada agama yang dapat berhadapan dengan kebutuhan-kebutuhan saintifik modern, agama ini adalah Buddhisme.”

Juga,

“Buddhisme, sebagaimana kami telah pelajari dari tulisan-tulisan hebat Schopenhauer, berisi jauh lebih kuat elemen-elemen perasaan keagamaan kosmik.”/14/

Rupanya kaum agamawan berkepentingan untuk menarik Einstein ke kubu agama mereka masing-masing lalu membaptisnya dan memanfaatkannya.

Pertanyaan pentingnya adalah apakah Einstein seorang saintis yang beragama.

Kalau kita telusuri tulisan-tulisan Einstein tentang Allah dan agama, kita harus simpulkan bahwa Einstein tidak percaya pada Allah yang diberitakan agama-agama monoteistik, termasuk Allah bangsa Yahudi, bangsanya sendiri. Dia bukan seorang monoteis.

Kalau Einstein memunculkan kata “Allah” dalam tulisan-tulisannya, kata ini diberi makna metaforis olehnya, bukan makna ontologis. Umumnya memang begitu: Kalau seorang saintis memakai kata Allah, kata ini bermakna metaforis, tidak bermakna literal.

Kalau Einstein berkata-kata tentang Allah, bagi dia Allah adalah struktur kosmologis yang sangat mempesonanya, yang ditata oleh hukum-hukum kosmologis.

Bagi sang saintis agung ini, Allah adalah kemahabesaran jagat raya, yang terungkap dalam strukturnya yang sangat menakjubkan, yang dibangun dan ditata dengan berfondasi hukum-hukum kosmik, dan yang bekerja juga lewat hukum-hukum alam ini.

Hanya sebagian kecil saja dari kemahabesaran kosmik ini yang kita sudah dapat pahami lewat sains modern.

Einstein, meski berdarah Yahudi, dengan tegas menolak untuk percaya pada suatu Allah personal yang diberitakan tiga agama monoteistik, Yahudi, Kristen dan Islam.

Pada 22 Maret 1954 Einstein menerima sebuah surat dari Joseph Dispentiere, seorang imigran asal Italia yang telah bekerja sebagai seorang masinis eksperimental di New Jersey. Sang masinis ini telah menyatakan dirinya ateis dan sangat kecewa ketika membaca sebuah berita yang menggambarkan Einstein sebagai seorang yang beragama konvensional. Pada 24 Maret 1954, Einstein menjawab, tulisnya:

“Tentu saja suatu dusta jika anda membaca tentang keyakinan-keyakinan keagamaan saya, suatu kebohongan yang dengan sistimatis diulang-ulang. Saya tidak percaya pada suatu Allah personal dan saya tidak pernah menyangkali hal ini tetapi telah mengungkapkannya dengan jelas. Jika ada sesuatu dalam diri saya yang dapat disebut religius, maka ini adalah suatu kekaguman tanpa batas terhadap struktur dunia yang sejauh ini sains dapat menyibaknya.”/15/

“Saya tidak pernah mengenakan pada Alam suatu maksud dan tujuan, atau apapun yang dapat dipahami sebagai antropomorfisme. Apa yang saya lihat dalam Alam adalah suatu struktur yang menakjubkan, yang dapat kita pahami hanya dengan sangat tidak sempurna, dan hal itu harus mengisi seorang pemikir dengan suatu perasaan kerendahan hati. Ini adalah suatu perasaan religius murni yang tidak ada hubungannya dengan mistisisme.”/16/

Apa yang dimaksud dengan “religius” oleh Einstein, sangat tidak terduga dalam pikiran kaum agamawan, karena sang saintis ini menyatukan religiositas dengan nalar dan pengetahuan rasional. Einstein menulis,

“Melalui hikmat dan pemahaman, manusia mendapatkan pembebasan yang berjangkauan luas dari segala belenggu pengharapan dan hasrat pribadi, dan dengan itu mereka memperoleh sikap dan perilaku pikiran yang penuh kerendahan hati terhadap keakbaran Nalar yang mewujud dalam kehidupan, dan yang, sedalam-dalamnya, dapat dimasuki manusia.

Sikap dan perilaku akal budi yang rendah hati inilah yang tampak bagiku religius, dalam arti setinggi-tingginya kata ini…. Semakin jauh perkembangan evolusi spiritual manusia, semakin pasti bagiku bahwa jalan menuju religiositas yang murni tidak terletak pada ketakutan akan kehidupan atau ketakutan akan kematian dan iman yang membuta, melainkan pada usaha keras untuk mendapatkan pengetahuan rasional.”

Apa yang menjadi sikap religiusnya, yang terikat erat dengan nalar dan keindahan, dengan ringkas ditulisnya dalam suatu bagian bukunya yang terbit 1949, The World As I See It, demikian:

“Suatu pengetahuan tentang keberadaan sesuatu yang kita tidak dapat tembus, tentang wujud-wujud nalar terdalam dan keindahan yang paling bercahaya, yang hanya dapat dimasuki oleh nalar kita dalam bentuk-bentuknya yang paling elementer―pengetahuan dan emosi inilah yang membentuk sikap religius sejati; dalam arti inilah, dan hanya dalam arti inilah, aku seorang religius yang sedalam-dalamnya.”/17/

Kalau Einstein menyatakan bahwa “Allah tidak sedang bermain dadu”, Allah dalam pernyataannya ini adalah hukum-hukum sains yang deterministik, hukum-hukum sebab-akibat, causal laws, dalam jagat raya./18/

Ucapannya itu dilatarbelakangi oleh penolakan dan ketidaksepakatannya terhadap fisika dunia mikroskopik partikel yang dikenal sebagai mekanika quantum. Dalam fisika quantum, kalau kita mengacu misalnya ke Prinsip Ketidakpastian Heisenberg yang dibangun berdasarkan observasi atas perilaku partikel, tampaknya determinisme saintifik dirobohkan padahal Einstein memegangnya dengan kuat.



Ada suatu perasaan mistikal muncul di saat foto ini kupandang dalam-dalam: dua pemikir besar sedang ngobrol...!


Tentang determinisme saintifik dan perasaan religius yang istimewa yang timbul dari pencarian ilmu pengetahuan, dalam jawabannya (24 Januari 1936) terhadap pertanyaan seorang anak perempuan yang bernama Phyllis (kelas enam sekolah Minggu Gereja Riverside, Amerika) apakah Einstein sebagai seorang saintis berdoa (19 Januari 1936), Einstein menulis demikian:

“Para saintis percaya bahwa setiap peristiwa, termasuk berbagai urusan manusia, terjadi karena hukum-hukum alam. Karena itu, seorang saintis tidak dapat cenderung percaya bahwa jalannya peristiwa-peristiwa dapat dipengaruhi oleh doa, yakni oleh suatu permintaan yang ditujukan ke suatu Oknum Supernatural.

Tapi kita harus akui bahwa pengetahuan kita yang sebenarnya mengenai daya-daya kekuatan alam ini tidak sempurna, sehingga pada akhirnya kepercayaan pada keberadaan suatu roh fundamental yang paling menentukan berpijak pada semacam iman. Kepercayaan ini dipegang banyak orang di mana-mana, bahkan ketika ilmu pengetahuan sudah maju seperti sekarang ini.

Tetapi juga, setiap orang yang terlibat dengan serius dalam usaha-usaha mencari ilmu pengetahuan menjadi yakin bahwa suatu roh menyatakan diri di dalam hukum-hukum alam semesta. Roh ini jauh lebih tinggi dibandingkan roh manusia. Dengan demikian, pengejaran ilmu pengetahuan juga membawa orang ke suatu perasaan religius yang istimewa, yang tentu saja sangat berbeda dari religiositas seseorang yang kurang pengetahuan.”/19/

Lebih lanjut tentang determinisme saintifik, Einstein menulis,

“Aku tidak dapat membayangkan suatu Allah personal yang langsung mempengaruhi tindakan-tindakan orang per orangan, atau secara langsung duduk mengadili semua ciptaan yang telah dibuatnya sendiri. Aku tidak dapat membayangkan semua ini kendatipun kausalitas mekanistik [/deterministik] dalam batas tertentu telah diragukan oleh sains modern [Dalam hal ini, yang Einstein maksudkan adalah mekanika quantum yang dipandang menolak determinisme saintifik].

Religiositasku memberi tempat utama pada kekaguman dan kerendahan hati terhadap roh yang mahaagung tanpa batas, yang menyatakan dirinya sendiri di dalam sedikit hal mengenai realitas yang kita dapat pahami dengan akal kita yang lemah dan fana. Yang terpenting adalah moralitas, untuk kita tentunya dan bukan untuk Allah.”/20/

Dalam surat-suratnya kepada fisikawan quantum Max Born, Albert Einstein mengungkapkan kepercayaannya yang kokoh pada hubungan-hubungan kausal sebab-akibat dalam suatu dunia objektif. Tulisnya, antara lain:

“Anda percaya pada suatu Allah yang bermain dadu [dengan alam ini], sedangkan aku percaya pada hukum kausal dan orde yang lengkap dan teratur dalam suatu dunia yang secara objektif ada, dunia yang aku coba tangkap dan pahami sekalipun dengan cara yang sangat spekulatif. Aku dengan kokoh percaya ini, tetapi aku sungguh berharap bahwa seseorang nanti akan menemukannya dengan cara yang lebih realistik, atau dengan landasan yang lebih real ketimbang yang dengan untung-untungan telah kutemukan.

Bahkan sukses awal yang besar dari teori quantum tidak membuatku percaya pada permainan dadu yang mendasar, meskipun aku sadar betul bahwa beberapa rekan sejawat kita yang lebih muda menafsirkan posisiku ini sebagai konsekwensi dari usiaku yang sudah uzur.”/21/

Begitu juga, kalau Einstein menyatakan “sains tanpa agama lumpuh, dan agama tanpa sains buta” (Albert Einstein, 1941), dia tidak sedang membela agama-agama monoteistik atau menyamakan sains dan agama atau sebaliknya.

Ucapannya itu terikat erat dengan pendapatnya bahwa spiritualitas atau religiositas tertinggi diraih lewat nalar dan ilmu pengetahuan rasional. Juga penting diingat terus bahwa kalau Einstein menulis tentang Allah, baginya Allah adalah ungkapan metaforis dari daya pesona yang muncul dari struktur kosmologis yang taat pada hukum-hukum sains, sejauh hukum-hukum ini sudah dapat dipahami.

Hemat saya, posisi Einstein ini memiliki suatu landasan teologis yang kuat. Begini: Jika anda percaya pada Tuhan Yang Mahatahu, dus Tuhan adalah sumber kemahatahuan, maka ilmu pengetahuan yang dibangun lewat penalaran logis dan rasional, adalah jalan agung tanpa ujung menuju Tuhan Yang Mahatahu. Religiositas semacam ini tinggi, tidak terpenjara dalam dikotomi klasik agama versus ilmu pengetahuan dan akal budi.

Dalam religiositas ini, keingintahuan atau kuriositas sebagai salah satu pendorong lahirnya ilmu pengetahuan modern diberi tempat luas untuk bergerak tanpa dihalangi. Tuhan dalam metafora Taman Eden yang melarang keras Hawa mengikuti keingintahuannya tentang khasiat buah Pohon Pengetahuan (moral), yang mendorongnya ingin mencicipi buah itu, bukanlah Tuhan yang dipikirkan Einstein.

Kepada Eric Gutkind yang pada 1954 telah mengirimkannya sebuah buku yang berjudul Choose Life: The Biblical Call to Revolt, tentang Allah bahkan Einstein menulis,

“Kata Allah bagiku tidak lebih dari sekadar ungkapan dan produk kelemahan-kelemahan manusia, dan Alkitab tidak lebih dari sekadar sebuah kumpulan legenda yang mulia tetapi masih primitif. Tidak ada penafsiran, betapapun tajam, yang dapat mengubah hal ini.”/22/

Dalam banyak segi, Allah dalam pandangan Einstein sejalan dengan Allah dalam pandangan Baruch de Spinoza (1632-1677), Allah sebagai hukum-hukum sains yang menata jagat raya ini dalam suatu harmoni yang menakjubkan. Tulis Einstein,

“Aku percaya pada Allah Spinoza yang mewahyukan diri dalam harmoni dan keteraturan segala yang ada, bukan pada Allah yang sibuk mengurusi nasib dan tindakan manusia.”/23/

Lagi dia menulis:

“Tampak olehku bahwa ide tentang suatu Allah personal adalah suatu konsep antropologis yang aku tidak dapat ambil dengan serius. Aku juga merasa bahwa aku tidak dapat membayangkan adanya suatu kehendak atau suatu tujuan di luar kawasan kehidupan manusia.

Pandangan-pandanganku dekat dengan pandangan-pandangan Spinoza: kekaguman pada keindahan, dan kepercayaan terhadap, simplisitas logis dari orde semesta yang kita dapat pahami dengan rendah hati dan hanya dengan tidak sempurna.

Aku percaya bahwa kita harus memuaskan diri kita dengan pengetahuan dan pemahaman yang tidak sempurna dan memperlakukan nilai-nilai dan kewajiban-kewajiban moral sebagai sebuah masalah yang murni manusiawi― masalah terpenting dari semua masalah manusia.”/24/

Dus, dalam dunia sains, ada dua metafora tentang Allah, yakni Allah Baruch de Spinoza dan Allah Einstein, yakni hukum-hukum kosmologis yang menata dan membangun jagat raya dengan sangat menakjubkan dan deterministik dan belum terpahami semuanya.

Kalaupun Einstein mempunyai visi tentang suatu agama masa depan, agama ini dirumuskannya demikian:

“Agama masa depan akan berupa suatu agama kosmik. Agama ini harus melampaui Allah personal dan menghindari dogma dan teologi. 

Mencakup baik yang natural maupun yang spiritual, agama ini harus didasarkan pada suatu perasaan keagamaan yang muncul dari pengalaman bahwa segala sesuatu yang alamiah dan yang spiritual ada dalam suatu kesatuan yang bermakna. 

Buddhisme menjawab gambaran tentang agama yang demikian. Jika ada agama apapun yang dapat berhadapan dengan kebutuhan-kebutuhan saintifik modern, agama ini adalah Buddhisme.”

“Agama kosmik” ini menjadi suatu sistem kepercayaan (belief system) yang dipegang Einstein.

Dia mendefinisikan sistem kepercayaannya ini sebagai suatu “orde yang ajaib, yang mempesona, yang menyatakan dirinya di dalam keseluruhan alam dan juga di dalam dunia ide-ide” yang tidak berisi suatu Allah personal yang memberi pahala atau yang menghukum berdasarkan kelakuan setiap manusia./25/

Bagi Einstein jelaslah bahwa agamanya, atau sistem kepercayaannya, bukan teisme, tetapi suatu sistem kepercayaan yang tidak terpisah dari alam, nalar, pengetahuan rasional, ide-ide, dus dari alam dan ilmu pengetahuan. Inilah agama Einstein, agama kosmik.

Dalam agama kosmiknya ini, dia mempersatukan agama dan ilmu pengetahuan, tidak mempertentangkan keduanya. Dari sudut pandang ini sajalah Einstein dengan tegas dapat menyatakan bahwa “sains tanpa agama lumpuh, dan agama tanpa sains buta.”/26/

Dalam sistem kepercayaannya ini, kalau nama “Allah” dipakai, maka, tulis Einstein,

“Allah adalah suatu misteri, tetapi misteri yang dapat dipahami. Aku hanya bisa terpesona saat aku mengobservasi hukum-hukum alam. Tentu tidak akan ada hukum-hukum jika tidak ada pemberinya. Tapi siapa sang pemberi hukum-hukum alam ini? Tentu saja bukan seperti seorang manusia yang diagungkan.”/27/

Dengan menyatakan ini, jelaslah bahwa Einstein menolak antropomorfisme teologis dalam teisme (Yahudi, Kristen dan Islam) yang menggambarkan dan membahasakan suatu sosok adikodrati yang dinamakan Allah dalam wujud-wujud dan sifat-sifat seperti manusia.

Jadi, siapa pemberi hukum-hukum alam itu? Sesuatu yang impersonal dan alamiah. Einstein membahasakannya sebagai “sang keindahan, sang keagungan, sang orde yang mempesona, yang menyatakan diri di dalam alam”, yang dialami sebagai “jagat raya dalam satu kesatuan yang signifikan dan menyeluruh.”/28/

Sekalipun Einstein berbicara tentang hal-hal yang spiritual, sang saintis ini tidak percaya bahwa manusia memiliki roh yang akan meninggalkan tubuh ketika manusia mati, salah satu kepercayaan kuat dalam teisme. Tulisnya,

“Aku tidak dapat membayangkan suatu Allah yang memberi pahala dan yang menghukum objek-objek ciptaannya, yang memiliki tujuan-tujuan yang disusun berdasarkan model dari kita sendiri, suatu Allah, pendek kata, yang hanya merupakan suatu cerminan kelemahan moral manusia. Aku juga tidak dapat percaya bahwa kita orang per orangan akan bertahan kekal, meninggalkan tubuh kita, setelah kematian, kendatipun jiwa-jiwa yang ringkih memegang pikiran-pikiran semacam itu karena rasa takut atau karena egotisme yang memalukan.”/29/

Lagi, tulis Einstein,

“Aku tak dapat membayangkan suatu Allah yang memberi pahala dan menghukum ciptaan-ciptaannya, atau yang memiliki kehendak semacam itu yang kita sendiri sadari dalam diri kita sendiri.

Juga aku tidak dapat membayangkan atau, sebaliknya, menginginkan bahwa seorang manusia akan bertahan setelah kematian tubuh jasmaniahnya; biarlah jiwa-jiwa yang ringkih, karena rasa takut atau karena egotisme yang tak masuk akal, berharap pada pemikiran semacam itu.

Aku puas dengan misteri keabadian kehidupan, bersama dengan kesadaran dan penglihatan sekilas atas struktur yang menakjubkan dari dunia yang sekarang ada, bersama dengan usaha yang serius untuk memahami Nalar sebagian saja, sekalipun sangat sedikit, yang menyatakan dirinya sendiri dalam alam.”/30/

Lagi,

“Aku tidak percaya pada keabadian seorang manusia individual, dan aku memandang etika sepenuhnya adalah perkara manusia tanpa ditopang oleh suatu otoritas adiinsani di baliknya.”/31/

Jelaslah, etika atau moralitas yang diperlukan manusia untuk mengatur masyarakat, bagi Einstein, bukanlah moralitas yang bersumber pada agama, melainkan, tulisnya,

“Perilaku moral manusia harus dilandaskan secara efektif pada simpati, pendidikan, dan kebutuhan-kebutuhan serta ikatan-ikatan sosial; untuk moralitas, basis keagamaan tidak diperlukan. Sesungguhnya betapa malangnya manusia jika tindakan-tindakan moralnya dikendalikan oleh ketakutan akan penghukuman dan pengharapan akan mendapatkan pahala setelah kematian.”/32/

Dan lagi,

“Tidak ada yang ilahi pada moralitas; melainkan moralitas itu sepenuhnya adalah urusan manusia.”

Penolakan Einstein atas peran Allah dalam perilaku moral manusia, yang akan menentukan apakah seseorang akan dibenarkan atau dipersalahkan oleh-Nya, tentu saja tidak terhindar mengingat dia memegang kepercayaan penuh pada determinisme saintifik.

Dalam determinisme ini, semua kelakuan manusia dan bagaimana mereka akan bertanggungjawab atas semua kelakuan mereka tidak ditentukan oleh suatu kuasa eksternal di dunia supernatural, tetapi oleh hukum-hukum sebab-akibat, hukum-hukum kausal, yang merupakan hukum-hukum alam yang baginya berlaku abadi dan tidak pandang bulu.

Namun hal itu tidak berarti tidak ada tanggungjawab manusia untuk menghasilkan moralitas. Bagi Einstein, salah satu tugas terpenting dari pendidikan adalah menjadikan kita semua bermoral dalam semua tindakan kita. Tulisnya,

“Usaha terpenting yang manusia harus lakukan adalah berjuang keras untuk menghasilkan moralitas dalam semua tindakan kita. Keseimbangan batin kita bahkan kehidupan kita sendiri bergantung pada moralitas. Hanya jika semua tindakan kita bermoral, keindahan dan martabat akan muncul dalam kehidupan. Menjadikan ini sebagai suatu daya kehidupan dan membuat kita menyadarinya dengan jelas mungkin adalah tugas terpenting dari pendidikan.

Fondasi moralitas haruslah tidak dibuat bergantung pada mitos atau diikatkan pada otoritas apapun supaya keraguan atas mitos itu atau keraguan akan legitimasi otoritas itu tidak membahayakan fondasi yang berupa pertimbangan dan tindakan yang matang.”/33/

Jadi, hai kaum agamawan, janganlah kalian, ringkas kata, mengagamakan Einstein atau berusaha menariknya ke kubu kalian. Let Einstein be Einstein.

Sangat jelas, Einstein menolak monoteisme Yahudi, agama moyangnya. Suatu Allah personal baginya adalah sebuah konsep teologis yang tidak bermakna, bahkan tidak masuk akalnya.

Tetapi, pada sisi lain, saya juga mencatat ada banyak orang ateis yang selalu memanfaatkan dan kerap mengutip Einstein untuk mendukung keyakinan-keyakinan ideologis ateisme mereka.

Bisa jadi, orang yang telah membaca apa yang saya sudah kemukakan di atas akan menyimpulkan dengan keliru bahwa sang saintis akbar ini adalah seorang ateis.

Celakanya, mereka juga salah memahami Einstein. Karena itu, saya juga mau memperingatkan: Hai kaum ateis, janganlah tarik Einstein ke kubu kalian untuk membenarkan ideologi ateisme kalian. Let Einstein be Einstein!

Jika Einstein bukan seorang teis, dan juga bukan seorang ateis, lantas apa keyakinannya tentang Tuhan?

Dengan sangat jelas Einstein menyatakan posisinya sebagai seorang agnostik, seorang yang tidak dapat dengan yakin menyatakan Allah ada dan juga tidak dapat dengan yakin menyatakan Allah tidak ada.

Pendek kata, seorang agnostik adalah seorang yang mengaku tidak dapat mengetahui dengan pasti apakah Allah ada atau apakah Allah tidak ada. Seorang agnostik hanya akan menjawab, saya tidak tahu (Yunani: a-gnosis) apakah Allah ada ataukah Allah tidak ada.

Sebagai respons atas pertanyaan apakah Einstein percaya atau tidak percaya pada Allah, dalam sebuah wawancara yang diterbitkan 1930 dalam buku G. S. Viereck, Glimpses of the Great, Einstein menyatakan hal berikut ini.

“Pertanyaan anda [tentang Allah] adalah pertanyaan yang paling sulit dalam dunia ini. Ini bukanlah sebuah pertanyaan yang saya dapat jawab dengan ya atau tidak. Saya bukan seorang ateis.

Saya juga tidak tahu apakah saya dapat mendefinisikan diri saya sebagai seorang panteis. Masalah yang terkandung dalam pertanyaan ini terlalu luas untuk pikiran-pikiran kita yang terbatas. Bolehkah saya menjawabnya dengan sebuah perumpamaan?

Pikiran manusia itu, betapapun tingginya telah dilatih, tidak dapat memahami jagat raya. Kita berada dalam posisi sebagai seorang anak kecil yang memasuki sebuah perpustakaan besar yang dinding-dindingnya tertutup sampai ke langit-langit oleh buku-buku yang ditulis dalam banyak bahasa yang berbeda.

Sang anak ini tahu bahwa seseorang pastilah telah menulis semua buku itu. Tetapi dia tidak tahu siapa para penulis semua buku itu dan bagaimana cara menulis isi buku-buku itu. Si anak tidak memahami bahasa-bahasa yang dipakai dalam buku-buku itu.

Tetapi si anak menemukan buku-buku itu disusun lewat sebuah perencanaan tertentu, ditata dengan cara yang misterius, yang tidak dapat dipahaminya, tetapi hanya dapat diduga-duganya dengan samar-samar.

Itulah, menurut saya, suatu sikap pikiran manusia, bahkan pikiran manusia yang terbesar dan paling beradab, terhadap Allah.

Kita melihat suatu jagat raya yang tersusun dengan menakjubkan, yang patuh pada hukum-hukum tertentu, tapi kita memahami hukum-hukum itu hanya samar-samar. Pikiran kita yang terbatas tidak dapat memahami forsa misterius yang menggerakkan rasi-rasi bintang-bintang.

Saya terpesona pada panteisme Spinoza. Saya bahkan lebih kagum lagi pada sumbangan-sumbangannya bagi pemikiran modern. Spinoza adalah filsuf modern terbesar, sebab dialah filsuf pertama yang memikirkan tubuh dan jiwa sebagai satu kesatuan, bukan sebagai dua hal yang terpisah.”/34/

Bahwa Einstein itu agnostik dan menolak baik posisi ateis maupun posisi teis, dengan sangat tajam dinyatakan olehnya, demikian:

“Berulangkali aku telah katakan bahwa dalam pendapatku ide tentang suatu Allah personal adalah ide yang kekanak-kanakan. 

Anda dapat menyebut saya agnostik, tapi saya tidak ikut menghayati semangat tempur dan fanatisme dari orang-orang yang mengaku ateis. 

Semangat dan fanatisme mereka itu timbul dari keinginan membara dan kepedihan hati untuk melepaskan diri dari belenggu-belenggu indoktrinasi keagamaan yang mereka telah terima sewaktu masih remaja. 

Saya memilih untuk bersikap rendah hati sejalan dengan kelemahan pemahaman intelektual kita terhadap alam dan hakikat kehidupan kita sendiri.”/35/

“Meskipun terdapat harmoni dalam jagat raya, yang dengan pikiran insaniku yang terbatas dapat kupahami, masih saja ada orang yang berkata bahwa Allah itu tidak ada. 

Tapi hal yang sungguh-sungguh membuatku marah adalah bahwa mereka mengutip aku untuk menunjang pandangan-pandangan mereka yang seperti itu.”/36/

Dengan sangat keras, Einstein menulis tentang orang-orang ateis, demikian:

“Orang-orang ateis yang fanatik itu... bak budak-budak yang masih merasa beratnya rantai-rantai yang pernah membelenggu mereka, yang sebetulnya mereka telah lepaskan dan buang setelah berjuang sangat keras. Dalam sakit hati mereka terhadap ‘candu masyarakat’, mereka adalah makhluk-makhluk yang tidak dapat tahan mendengar berbagai musik yang disenandungkan dunia-dunia.”/37/

Kendatipun Einstein tidak mempercayai suatu Allah personal dalam teisme, dia menyatakan bahwa dia tidak akan pernah berusaha untuk menyerang kepercayaan ini karena

“aku lebih menyukai kepercayaan teistik ini ketimbang orang melepaskan sama sekali pandangan-pandangan yang transendental.”/38/

Itulah Albert Einstein, seorang yang dengan jelas menyatakan diri agnostik.

Selanjutnya jangan lagi anda membenturkan Albert Einstein dengan Stephen Hawking.

Para saintis sejati tidak akan berkelahi satu sama lain, sebab semua cabang sains bisa berkembang dan bertambah maju karena semuanya dibangun secara kolektif, akumulatif dan dialektis, hasil kerjasama berbagai saintis di banyak lokasi geografis dan di sepanjang sejarah perkembangan sains, sejak dulu hingga terus ke masa depan tanpa batas.

Akhirnya, pesan saya adalah, kalau anda mau menunjukkan bahwa agama anda sejalan dengan sains modern, caranya bukan dengan merangkul atau membajak saintis-saintis besar seperti Einstein ke dalam kubu agama anda, sebab sains itu tidak berafiliasi dengan agama apapun.

Apapun agama seseorang, jika orang ini memakai metode-metode dan penalaran-penalaran saintifik yang sama dalam menyelidiki suatu fenomena empiris, hasil-hasilnya akan selalu sama di manapun dan kapanpun. Jika temuan-temuan ilmiahnya sudah teruji kebenarannya, sudah terverifikasi, maka temuan-temuan yang sama akan juga diperoleh meski metode-metode riset yang digunakan berbeda.

Seseorang menjadi ilmuwan bukan karena ada teori-teori ilmiah modern di dalam kitab suci agamanya yang ditulis di era prailmiah dan pramodern, yang tinggal dia comot dari sana sini dalam kitab sucinya, lalu dia menerima Anugerah Nobel sains. Tetapi karena dia memiliki kecakapan dan kecerdasan untuk membangun metode-metode pengkajian ilmiah yang digunakan untuk menjelaskan atau memecahkan hal-hal dalam dunia empiris yang sebelumnya tidak dapat dijelaskan.

Tidak akan pernah terjadi seseorang tiba-tiba menjadi seorang saintis besar hanya karena dia hafal seluruh ayat kitab sucinya.

Selain itu, temuan-temuan seorang saintis juga harus bisa diuji kebenarannya oleh para saintis lain yang sezaman atau lintaszaman di bagian-bagian dunia yang berbeda.

Ilmu pengetahuan itu universal. Tidak ada ilmu pengetahuan yang esoteris, hanya berlaku dan benar bagi lingkungan sendiri yang terbatas dan rahasia. Cinta rahasia ada. Ilmu pengetahuan rahasia tidak ada.

Jika ada seseorang yang mengklaim telah sukses membangun sebuah ilmu pengetahuan rahasia dan teknologi yang juga rahasia, temuannya ini bukan iptek tetapi ngelmu klenik yang esoteris atau, seperti sudah banyak terbukti, suatu penipuan. Di Barat dan di Timur orang semacam ini banyak dan selalu lahir, datang dan pergi, pergi dan datang.

Ke depan ini, hal yang seharusnya anda lakukan adalah: pelajari sains dengan mendalam, lalu pahami dengan objektif, dan temukan dengan jujur apakah agama anda sejalan dengan sains atau malah berbenturan.

Jangan anda berlelah-lelah berusaha mencocok-cocokkan agama teistik yang tertutup anda dengan sains. Agama anda ya agama anda, dan sains ya sains. Keduanya punya wilayah kewenangan masing-masing yang tidak perlu dicampuraduk atau dikumpulkerbaukan.

Hanya jika anda setuju dengan ide Einstein tentang agama kosmik sebagai agama masa depan, barulah anda punya harapan untuk mempertemukan ilmu pengetahuan dengan agama.

Dan ketahuilah juga bahwa bukan hanya Einstein pada masanya yang memikirkan agama semacam ini.

Dalam zaman kita, sosiolog agama yang terkenal, Robert N. Bellah, juga memikirkan hal yang serupa ketika dia belum lama ini mengajukan idenya tentang “religious naturalism”: melepaskan agama-agama dari referensi-referensi ke dunia supernatural, mengganti semuanya dengan referensi-referensi natural sehingga agama-agama dapat mengambil pandangan-pandangan sains modern dan mengungkapkan pandangan-pandangan sains ini dalam bahasa keagamaan yang sepenuhnya natural, sesuai dengan bahasa sains juga.

Hanya dengan pendekatan naturalisme religius ini, perang kebudayaan antara agama dan sains modern, kata Bellah, akan dapat diakhiri./39/

Bagaimanapun juga, jika anda mau beragama dengan cerdas, anda tidak bisa lagi menutup mata anda terhadap sains modern yang terus berkembang dan makin maju, dan anda perlu merumuskan kembali agama anda dengan memakai sains modern sebagai matriksnya atau sebagai rahimnya― inilah juga yang dimaksudkan Einstein sebagai agama kosmik.

Enam dasawarsa setelah Einstein, sehubungan dengan Buddhisme sosok agung Dalai Lama XIV menyatakan bahwa jika Buddhisme kedapatan tidak sejalan lagi dengan sains modern, Buddhisme harus segera disusun ulang. Katanya,

“Jika sains membuktikan kepercayaan-kepercayaan Buddhisme salah, maka Buddhisme akan harus diubah. Hemat saya, sains dan Buddhisme sama-sama mencari kebenaran dan berusaha memahami realitas. Dengan belajar dari pemahaman yang lebih maju dari sains tentang aspek-aspek realitas, saya percaya Buddhisme akan memperkaya pandangan dunianya sendiri.”/40/

Adakah sosok agung dalam agama anda sendiri yang telah atau akan menyatakan hal yang sama sehubungan dengan agama anda sendiri?

Jika ada, bergabunglah dengannya. Jika tidak ada, andalah yang perlu ambil inisiatif untuk melaksanakannya. Orang-orang masa depan lahir dari masa depan.

Jakarta, 11 Juni 2012
Ioanes Rakhmat

Editing mutakhir 4 Juni 2018


Catatan-catatan

/1/ Lihat wawancara oleh Deborah Solomon, “The Science of Second-Guessing”, The New York Times Magazine, 12 December 2004, http://www.nytimes.com/2004/12/12/magazine/12QUESTIONS.html?_r=0.

/2/  Video Discovery Channel Curiosity SO1EO1, Did God Create the Universe? Compelling Explanations, tayangan perdana 7 Agustus 2011, http://youtu.be/fmYlbqtAYOQ. Lihat penggalannya di video Youtube “Stephen Hawking There Is No God. There Is No Fate” http://youtu.be/7L7VTdzuY7Y. Video yang sama yang terpasang utuh (42 menit 28 detik), dapat diperoleh di sini http://www.dailymotion.com/video/xmc55o_curiosity-s01e01-did-god-create-the-universe_tech.

/3/ Lihat kolom Alan Boyle, “‘I’am an Atheist’: Stephen Hawking on God and Space Travel”, NBCNews, 24 September 2014, http://www.nbcnews.com/science/space/im-atheist-stephen-hawking-god-space-travel-n210076. Lihat juga kolom Chris Matyszczyk, “Stephen Hawking makes it clear: There is no God”, CNET, 26 September 2014, http://www.cnet.com/news/stephen-hawking-makes-it-clear-there-is-no-god/. Teks lengkap wawancara Hawking dengan El Mundo lihat Pablo Jáuregui, ‘No hay ningún dios. Soy ateo’, El Mundo, 26 Oktober 2014, http://www.elmundo.es/ciencia/2014/09/21/541dbc12ca474104078b4577.html.

/4/ Video Discovery Channel Curiosity SO1EO1, Did God Create the Universe? Compelling Explanations, tayangan perdana 7 Agustus 2011, http://youtu.be/fmYlbqtAYOQ.

/5/ Deborah Solomon, “The Science of Second-Guessing”, The New York Times Magazine, 12 December 2004.

/6/ Saksikan video youtube berjudul “Into the Universe With Stephen Hawking―Season 1 Full”, http://youtu.be/4GcmbFb8afQ. Pernyataan ini juga diucapkan Hawking pada awal video Discovery Channel Curiosity SO1EO1, Did God Create the Universe? Compelling Explanations, tayangan perdana 7 Agustus 2011.

/7/ Deborah Solomon, “The Science of Second-Guessing”, The New York Times Magazine, 12 December 2004.

/8/ Dennis O‘Shea, “Big Black Holes Can Block New Stars”, John Hopkins University, 21 October 2014, http://releases.jhu.edu/2014/10/21/starmaking-shutdown/. Selengkapnya kajian ini dimuat dalam jurnal Monthly Notices of the Royal Astronomical Society (MNRAS), vol. 445, Issue 1, 21 November 2014, hlm. 460-478. Terbit online pertama kali 29 September 2014.

/9/ Lihat reportase “Astronomers find five supermassive black holes”, RTE News, 6 July 2015, http://www.rte.ie/news/2015/0706/713000-astronomers-find-five-supermassive-black-holes/.

/10/ Lihat Stephen Hawking, “Information Preservation and Wheather Forecasting for Black Holes”, Cornell University Library, 22 January 2014, http://arxiv.org/abs/1401.5761. Untuk uraian tentang Apparent Horizon yang digagas Stephen Hawking, lihat Zeeya Merali, “Stephen Hawking: ‘There are no black holes’”, Nature, 24 January 2014, http://www.nature.com/news/stephen-hawking-there-are-no-black-holes-1.14583.

/11/ Lihat reportase Nick Clark, “Stephen Hawking: Agression could destroy us”, The Independent, 19  February 2015, http://www.independent.co.uk/news/science/stephen-hawking-aggression-could-destroy-us-10057658.html. Lihat juga Ed Mazza, “Stephen Hawking Warns That Agression Could ‘Destroy Us All’”, HuffingtonPost Science, 23 February 2015, http://www.huffingtonpost.com/2015/02/23/stephen-hawking-aggression_n_6733584.html.

/12/ Ioanes Rakhmat, “Apakah Tuhan itu ada? Sebuah jawaban ilmiah kepada para ateis?”, Freethinker Blog, 12 Agustus 2014, editing mutakhir 5 Maret 2016, https://ioanesrakhmat.blogspot.co.id/2014/08/apakah-tuhan-itu-ada.html?m=0.

/13/ Tentang kemungkinan-kemungkinan yang tersedia untuk bisa mengadakan perjalanan lintas-waktu (time travel), lihat uraian Stephen Hawking, “Stephen Hawking: How to build a time machine”, MailOnline, 27 April 2010, http://www.dailymail.co.uk/home/moslive/article-1269288/STEPHEN-HAWKING-How-build-time-machine.html.

/14/ Albert Einstein, “Religion and Science”, New York Times Magazine, 9 November 1930; juga idem, Ideas and Opinions (1954).

/15/ Helen Dukas dan Banesh Hoffman, eds., Albert Einstein: The Human Side (Princeton: Princeton University Press, 1954, 1981), hlm. 43 (“Letter to an atheist”, 24 March 1954).

/16/ Helen Dukas dan Banesh Hoffman, eds., Albert Einstein: The Human Side (Princeton: Princeton University Press, 1954, 1981), hlm.39.

/17/ Albert Einstein, The World As I See It (New York: Philosophical Library, 1949), hlm. ??

/18/ Martin Gardner, The Night Is Large: Collected Essays 1938-1995 (1996), hlm. 430.

/19/ Lihat reportase “‘Dear Einstein, Do Scientists Pray?’ Asks Sixth Grader―See His Amazing Response”, HuffingtonPost 30 January 2014, http://www.huffingtonpost.com/2014/01/30/einstein-scientists-pray_n_4697814.html. Mengenai korespondensi Einstein dengan anak-anak, lihat Alice Calaprice, ed., Dear Professor Einstein: Albert Einstein’s Letters to and from Children. Pengantar oleh Evelyn Einstein (Amherst, N.Y.: Prometheus Books, 2002).

/20/ Helen Dukas dan Banesh Hoffman, eds., Albert Einstein: The Human Side (Princeton: Princeton University Press, 1954, 1981), hlm. 66.

/21/ John Adams, Risk (London: University College London Press, 1995), hlm. 17.

/22/ Lihat berita “Einstein letter calls Bible ‘pretty childish’”, NBCNews. Associated Press, http://www.msnbc.msn.com/id/24598856/ns/us_news-faith/t/einstein-letter-calls-bible-pretty-childish/. Lihat juga Alice Calaprice, The Ultimate Quotable Einstein (Princeton, New Jersey: Princeton University Press, 2011), hlm. 342.

/23/ Walter Isaacson, Einstein: His Life and Universe (New York: Simon and Schuster, 2008), hlm. 388-389. Pernyataan Einstein ini, yang ditulisnya 24 April 1929, adalah jawabannya kepada Rabbi Herbert S. Goldstein di kota New York yang, lewat sebuah telegram, bertanya kepadanya apakah dia percaya kepada Allah. Einstein diminta menjawab dalam 50 kata; tetapi Einstein cukup menjawabnya hanya dalam 27 kata (dalam bahasa Jerman). Lihat juga arsip reportase “Einstein believed in ‘Spinoza’s God’”, New York Times, 25 April 1929, https://mobile.nytimes.com/1929/04/25/archives/einstein-believes-in-spinozas-god-scientist-defines-his-faith-in.html.

/24/ Banesh Hoffmann, ed., Albert Einstein: Creator and Rebel (New York: New American Library, 1972), hlm. 95.

/25/ Alice Calaprice, The Einstein Almanac (Baltimore: JHU Press, 2005), hlm. 91.

/26/ Albert Einstein, “Religion and Science”, New York Times Magazine, Nov 9, 1930, hlm. 1-4. Lihat http://www.sacred-texts.com/aor/einstein/einsci.htm.

/27/ William Hermanns, Einstein and the Poet: In Search of the Cosmic Man (Brookline Village MA: Branden Books, 1983), hlm. 60.

/28/ Albert Einstein, “Religion and Science”, New York Times Magazine, Nov 9, 1930, hlm. 1-4. Lihat http://www.sacred-texts.com/aor/einstein/einsci.htm.

/29/ Albert Einstein, obituari dalam New York Times, April 19, 1955. Lihat juga George Seldes, The Great Thoughts (New York: Ballantine Books, 1996), hlm. 134.

/30/ Albert Einstein, The World as I See It (Secaucus, NJ: Citadel Press, 1999), hlm. 5.

/31/ Helen Dukas dan Banesh Hoffman, eds., Albert Einstein: The Human Side (Princeton: Princeton University Press, 1954, 1981), hlm.39.

/32/ Albert Einstein, “Religion and Science” dalam New York Time Magazine, November 9, 1930, hlm. 3-4. Lihat juga Alice Calaprice, The Expanded Quotable Einstein (Princeton: Princeton University Press, 2000), hlm. 216.

/33/ Helen Dukas dan Banesh Hoffman, eds., Albert Einstein: The Human Side (Princeton: Princeton University Press, 1954, 1981), hlm. 95. Lihat juga surat Einstein, “Letter to a Brooklyn Minister”, 20 November 1950.

/34/ George Sylvester Viereck, Glimpses of the Great (Duckworth, 1930), hlm. 372-373.

/35/ Walter Isaacson, Einstein: His Life and Universe (New York: Simon and Schuster, 2008), hlm. 390.

/36/ Prinz Hubertus zu Löwenstein, Towards the Further Shore (London: Victor Gollancz, 1968), hlm. 156. Lihat juga Walter Isaacson, Einstein: His Life and Universe, hlm. 389. Ronald W. Clark, Einstein: The Life and Times (New York: World Publishing Company, 1971), hlm. 425. Max Jammer, Einstein and Religion: Physics and Theology (Princeton: Princeton University Press, 2002), hlm. 97.

/37/ Max Jammer, Einstein and Religion: Physics and Theology, hlm. 97. Lihat juga Walter Isaacson, “Einstein and Faith”, Time 169: 47, 5 April 2007. Pernyataan Einstein ini disampaikan ke seseorang yang tidak disebutkan namanya olehnya pada 7 Agustus 1941 (lihat Einstein Archive, reel 54-927). Untuk memudahkan anda terfokus pada pandangan Einstein terhadap orang ateis, saya telah memotong bagian-bagian lain dari ucapannya ini yang tidak relevan.

/38/ Max Jammer, Einstein and Religion: Physics and Theology, hlm. 51.

/39/ Robert N. Bellah, Religion in Human Evolution: From the Paleolithic to the Axial Age (Cambridge/London: The Belknap Press of Harvard University Press, 2011), hlm. 97-104. Ringkasan buku tebal ini (744 halaman) sudah saya buat, termuat dalam buku saya Beragama dalam Era Sains Modern (Jakarta: Pustaka Surya Daun, 2013), Lampiran 2, hlm. 437-442.

/40/ Tenzin Giyatso, “Our faith in science”, The New York Times, 12 November 2005, http://www.nytimes.com/2005/11/12/opinion/12dalai.html?pagewanted=all&_r=0.





Tuesday, June 5, 2012

Mengenal Metode Penyebaran Agama Kristen dan Bagaimana Umat Muslim Perlu Cerdas Menyikapinya

Alkitab dalam banyak bahasa: Membantu melanggengkan 
bahasa-bahasa suku-suku bangsa di dunia!

Penulis mau menyoroti tujuh metode utama penyebaran agama Kristen, khususnya yang terpantau di Indonesia, dan mengusulkan langkah-langkah proaktif untuk umat Muslim di Indonesia dapat menyikapi metode-metode ini.

Sebelum bermuara ke situ, akan diulas dulu ihwal mengapa orang Kristen memandang agama mereka sebagai agama yang terbaik dan terbenar sehingga mereka terdorong kuat untuk menyebarkannya, dorongan yang makin diperkuat oleh sejumlah amanat penyebaran agama yang tertulis dalam kitab suci Perjanjian Baru.

Setelah dengan singkat dikemukakan apa tujuan orang Kristen menyebarkan agama mereka, penulis menegaskan bahwa di ujung semua kegiatan penyebaran agama apapun muncul persoalan demografis dan sosial politis, yang jika tidak ditangani dengan baik dapat memunculkan konflik fisik horisontal antar umat beragama di suatu kawasan.

Selanjutnya penulis membeberkan bentuk-bentuk penyebaran agama Kristen yang umumnya dipakai orang Kristen di Indonesia; disusul dengan usul-usul tentang ihwal bagaimana umat Muslim di Indonesia dapat menyikapinya dengan kritis dan prokatif, tidak dengan membuta dan reaktif.

Yang dimaksud dengan penyebaran agama dalam tulisan ini adalah kegiatan-kegiatan gereja atau orang Kristen yang terarah ke luar, go structure, gerak sentrifugal, masuk ke dalam kehidupan orang-orang non-Kristen di luar gereja, atau ke kawasan-kawasan non-Kristen, untuk membuat orang-orang non-Kristen di situ pindah agama, masuk Kristen setelah berlangsung kegiatan siar agama Kristen, dalam waktu singkat ataupun dalam waktu yang lebih panjang.

Sedangkan semua kegiatan gereja yang diadakan di dalam gedung gereja sendiri, yang dihadiri oleh orang-orang Kristen sendiri (dari aliran apapun), atau oleh orang-orang lain yang dengan keinginan sendiri mendatangi gereja untuk mengenal gereja dan ajaran-ajarannya (ini yang disebut come structure, gerak sentripetal), dalam tulisan ini tidak dikategorikan sebagai penyiaran agama.

Sama seperti semua orang beragama apapun, orang Kristen meyakini bahwa agama mereka adalah agama yang terbaik, atau paling benar, jika dibandingkan dengan semua agama lain. Keyakinan ini muncul sebagai kesimpulan dari empat keyakinan Kristen lainnya yang terpenting, yakni:
  • keyakinan bahwa Yesus Kristus adalah Allah sendiri yang telah datang ke dalam dunia ini dengan menjelma sebagai manusia. Dengan demikian, Yesus Kristus adalah sosok terpenting dari antara semua manusia, dulu maupun kini, sehingga dia tak boleh diabaikan atau tak dikenal oleh seluruh umat manusia; 
  • keyakinan bahwa untuk menyelamatkan manusia yang berdosa dengan menghapuskan dosa mereka dan mendamaikan diri mereka dengan Allah, Yesus Kristus telah mati disalibkan sebagai pengganti semua manusia lainnya. Bagi orang Kristen, ini adalah jalan keselamatan satu-satunya yang paling realistik (berhubung, menurut akidah Kristen, manusia tak memiliki daya apapun untuk menyelamatkan diri mereka sendiri) yang disediakan Allah di bawah kolong langit bagi seluruh umat manusia sehingga harus diberitakan dan diperkenalkan kepada seluruh umat manusia (atau kepada segenap bangsa di dunia) demi mengubah dunia dan seluruh umat manusia (kegiatan pemberitaan keyakinan nomor dua inilah yang disebut gereja sebagai pemberitaan injil atau evangelisasi); 
  • keyakinan bahwa seluruh tulisan dalam Perjanjian Baru, yang dipercaya sebagai firman Allah yang tak bisa salah, dengan bulat dan kuat mempersaksikan keyakinan-keyakinan tentang Yesus Kristus yang telah disebutkan dalam dua poin di atas; 
  • keyakinan bahwa agama Kristen telah membentuk kebudayaan Barat modern yang diperlukan umat manusia untuk mencapai kemajuan dan kesejahteraan. Hal ini membuat orang Kristen sering melihat diri mereka sebagai orang-orang yang ditugaskan untuk menyelamatkan dunia dari segala anasir buruk yang dapat membuat dunia jatuh ke dalam stagnasi, penderitaan dan kehancuran. Bagi mereka, bukan hanya Yesus Kristus yang menjadi penyelamat dunia, mereka sebagai para pengikutnya juga adalah para penyelamat dunia yang memegang mandat religio-politik dan kultural untuk menyelamatkan peradaban dunia dengan menaklukkannya di bawah peradaban Barat.
Jadi, ada dua alasan yang membuat orang Kristen percaya bahwa agama mereka adalah agama yang terbaik, yakni alasan skriptural (tiga poin pertama di atas) dan alasan kultural (poin keempat di atas). 

Tentu saja, jika dilakukan evaluasi tekstual kritis atas teks-teks Perjanjian Baru dan evaluasi komparatif kritis antara agama Kristen dan agama-agama dunia lainnya, serta kajian-kajian mengenai peradaban dunia, empat keyakinan ini bisa dipersoalkan kesahihannya atau kebenarannya, atau paling tidak bisa direlativisirkan, menjadi tak mutlak./1/

Bagaimanapun juga, jika dalam kitab suci Perjanjian Baru tidak ditemukan satu pun amanat penyebaran agama Kristen, semua orang Kristen dengan sendirinya akan menyebarkan agama mereka ke seluruh dunia karena didorong oleh empat keyakinan tersebut di atas. Penyebaran agama inilah yang memang terjadi sejak berbagai bentuk kekristenan muncul pertama kalinya di Palestina pada abad pertama Masehi, yang lalu meluas ke kawasan-kawasan asing di luar Palestina dalam dunia Yunani-Romawi kuno, dan terus berlangsung hingga sekarang di abad ke-21 di mana-mana, termasuk di Indonesia.

Kenyataannya, dalam Perjanjian Baru sendiri ada sejumlah amanat untuk orang Kristen menyebarkan agama mereka ke seluruh dunia, kepada segenap bangsa: amanat-amanat yang menurut penulis-penulis injil diucapkan oleh Yesus Kristus sendiri (Matius 28: 18-20; Lukas 9:60b; juga Kisah Para Rasul 1:6; 10:42), dan amanat-amanat yang disampaikan para rasul atau para penulis Perjanjian Baru (misalnya Roma 10:14-15; 1 Korintus 9:16; 2 Timotius 4:2). Teks-teks ini jelas makin membangun semangat orang Kristen untuk mengabarkan injil, menyebarkan agama mereka, bagaimanapun juga keadaan yang mereka akan hadapi, seperti tertulis dalam 2 Timotius 4:2, “Beritakanlah firman, siap sedialah baik atau tidak baik waktunya.”

Kalau ditanyakan kepada orang Kristen, apa tujuan mereka mengabarkan injil atau menyebarkan agama Kristen, mereka akan menjawab: Pekabaran injil atau penyebaran agama Kristen harus dilakukan untuk dua tujuan: 
  • membuat banyak orang mengenal Yesus Kristus sehingga mereka akan menerima keselamatan, yakni nantinya (sesudah kematian, atau sesudah dunia kiamat) akan masuk surga, dan sekarang dalam dunia ini mengalami perubahan tabiat, perilaku dan moral secara radikal. Perubahan akhlak dan tabiat ini menjadikan mereka orang-orang yang “diciptakan baru” atau “dilahirkan kembali” dalam kemurnian: dari yang semula jahat menjadi baik, dari yang semula koruptor menjadi dermawan (mungkin dengan membagi-bagi uang hasil korupsi), dari yang semula maling menjadi polisi yang lalu menangkap maling lalu menjebloskan si maling ke dalam penjara, dan seterusnya; 
  • membuat orang yang sudah mengenal dan menerima Yesus Kristus sebagai sang juruselamat pribadi masuk ke dalam gereja Kristen dengan diawali penerimaan ritual inisiasi baptisan Kristen. Ritual ini dijalankan di dalam suatu ibadah gereja, setelah mereka menerima, menyetujui dan mengakui di depan umat sejumlah kepercayaan dasariah Kristen yang sebelumnya sudah disampaikan dan diperbincangkan dalam suatu kegiatan belajar agama Kristen (untuk para pemula) yang berlangsung berbulan-bulan bahkan bisa sampai 1 tahun. Jadi, mampu dan mau mengucapkan syahadat Kristen saja (yang dinamakan Pengakuan Iman Rasuli) tidak lantas bisa membuat orang jadi Kristen. 
Ada kelompok-kelompok Kristen (umumnya kalangan yang dengan bangga menyebut diri Kristen evangelikal) yang memandang tujuan kedua di atas tidak perlu, sebab menurut mereka yang terpenting adalah kepercayaan dan pengakuan pribadi bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan dan juruselamat buat diri si pengaku; dus, masuk ke dalam dan menjadi bagian dari institusi gereja dinilai mereka kurang atau sama sekali tak penting. Karena itu mereka menolak jika pekabaran injil Kristen (= penyebaran ‘berita gembira’, injil, bahwa Yesus Kristus telah mati untuk menebus dosa manusia) dipandang sebagai kegiatan kristenisasi, dengan alasan bahwa mereka hanya mau menjadikan semua bangsa murid-murid atau para pengikut Yesus Kristus, pribadi demi pribadi, bukan mau menanam gereja (church planting) atau menumbuhkan gereja (church growing) di mana-mana,/2/  dan bukan untuk mengkristenkan suatu masyarakat atau suatu negara atau dunia ini. Mereka menyebut kegiatan mereka “disciple making”, memuridkan, bukan “christianizing”, mengkristenkan

Sebetulnya alasan itu sangat dicari-cari dan merupakan dalih saja, sebab setiap orang yang menjadi murid atau pengikut Yesus Kristus adalah orang Kristen, pengikut Kristus, sebutan yang diambil dari nama orang yang diikuti atau digugu dan ditiru, yaitu Yesus Kristus. Lagi pula, seorang yang sudah jadi Kristen ini (secara pribadi sekalipun) akan menjadikan orang lain Kristen pula, sebuah aktivitas yang disebut penggandaan murid, disciple multiplication./3/ Nah, jika lewat pekabaran injil makin banyak orang secara pribadi menjadi Kristen dan akhirnya suatu masyarakat seluruhnya menjadi masyarakat Kristen, bukankah ini adalah kristenisasi? Jadi dengan dalih itu, mereka sebenarnya hanya mau menutup-nutupi kegiatan kristenisasi yang sedang berlangsung. Kalau kepada orang Kristen diajukan pertanyaan, Selanjutnya apa yang akan dilakukan jika sudah banyak orang masuk Kristen dan menjadi anggota gereja?, mereka tentu akan menjawab: Ya, selanjutnya mendirikan bangunan gereja lebih banyak lagi untuk menampung orang-orang yang sudah pindah agama, masuk Kristen. Kalau ditanya lagi, Kalau bangunan gereja sudah semakin banyak, dan jumlah orang Kristen makin meningkat di mana-mana, apa lagi yang harus dilakukan?, maka mungkin mereka akan mulai ragu dan bingung menjawabnya. Mengapa mulai ragu dan bingung? 

Ya, sebagaimana juga akan terjadi dalam kehidupan umat-umat beragama lain, kegiatan menyebarkan agama apapun pada akhirnya akan bermuara pada persoalan demografis dan persoalan sosial-politik―inilah fakta yang tak mau atau sukar diakui orang Kristen manapun!

Ketika penganut sebuah agama makin banyak dan makin banyak terus, maka statistik demografis sebuah negara akan berubah; dan ketika penganut sebuah agama menjadi bagian mayoritas besar dari demografi suatu kawasan, maka bagian yang mayoritas ini mulai memikirkan ihwal bagaimana mengatur kehidupan di kawasan bukan berdasarkan keyakinan-keyakinan keagamaan orang lain, melainkan berdasarkan keyakinan-keyakinan agama mereka sendiri. Akan terjadi pengambilalihan manajemen sosial-politis suatu masyarakat atau suatu negara, di ujung setiap kegiatan penyebaran agama yang sukses besar.

Dengan demikian, di ujung semua kegiatan penyebaran agama apapun, akan muncul persoalan sosial politik tentang siapa yang harus mengatur masyarakat dan bagaimana mengaturnya, sistem sosial apa yang harus dibangun dan sistem ekonomi apa yang harus ditegakkan. Tidak ada kegiatan penyebaran agama yang tidak akan bermuara pada persoalan sosial-politik dan ekonomi di ujungnya. Agama apapun yang diklaim hanya mengurus perkara rohani saja, pada akhirnya tetap akan berhadapan dengan persoalan sosial-politik dan ekonomi ketika umat agama ini sudah menguasai demografi suatu masyarakat atau suatu negara.

Kalaupun negara yang di dalamnya kegiatan-kegiatan penyebaran agama gencar dilakukan umat-umat dari berbagai agama adalah negara sekuler, bentuk negara yang semacam ini bagaimanapun juga tidak dapat mengelakkan diri dari persoalan sosial politis yang ditimbulkan oleh perubahan komposisi demografis yang terjadi karena kegiatan-kegiatan siar agama. Kita tahu, bentuk apapun yang diambil suatu negara, apakah berbentuk sekuler demokratis atau berbentuk teokratis (negara agama), ini adalah hasil konsensus politis nasional dari rakyat negara tersebut. Jika rakyat, lewat wakil-wakilnya yang duduk di dalam suatu lembaga kenegaraan, memandang bentuk negara harus diganti, misalnya menjadi negara teokratis, maka konsensus yang lama akan dibatalkan, lalu konsensus yang baru akan dicapai, lewat mekanisme dan prosedur hukum yang sah. Perubahan menjadi  negara teokratis ini tentu saja bisa terjadi karena kemauan kuat kelompok keagamaan mayoritas besar di dalam negara itu. Tetapi harus dicatat, usaha kelompok mayoritas manapun untuk mengubah sebuah negara menjadi negara teokratis bukanlah usaha yang mudah, sebab kelompok-kelompok minoritas sangat mungkin akan tampil menentang usaha ini, lalu melakukan perlawanan terbuka yang dapat berakhir dengan kehancuran sebuah negara.

Kenyataan demografis dan sosial-politik yang baru digambarkan di atas, yang akan menjadi muara semua kegiatan penyebaran agama yang sukses, tentu saja diketahui semua umat beragama di manapun, termasuk di Indonesia. Maka bisa dipahami jika timbul perasaan was-was, terancam, takut, khawatir, curiga, bahkan amarah, di dalam diri setiap kelompok umat beragama jika mereka melihat kelompok-kelompok umat beragama lainnya sangat aktif  dalam menyebarkan agama dan memperluas wilayah teritorial mereka.

Perasaan-perasaan yang destruktif ini bisa memicu konflik fisik horisontal antar umat beragama yang berbeda di suatu kawasan, cepat atau lambat, dengan dipicu pihak luar atau tidak, dengan direkayasa penguasa atau tidak. Jika konflik ini meluas dan membesar, suatu negara bisa pecah berantakan.

Urusan mencari penumpang yang akan dibawa masuk surga ternyata bisa berubah menjadi urusan saling tabrak yang memakan banyak korban manusia, harta, rasa aman masyarakat dan keutuhan sebuah bangsa.

Untuk mencegah dan menghindari hal-hal buruk yang sudah digambarkan dalam alinea di atas, setiap umat beragama perlu menilai kembali semua bentuk kegiatan penyebaran agama yang selama ini mereka lakukan, dan mampu mengenali, memahami dan mengevaluasi serta memberi sikap yang proaktif (tidak reaktif) terhadap berbagai bentuk penyebaran agama yang dilakukan umat-umat beragama lain.

Sejauh penulis dapat pantau dan telah pelajari, orang Kristen di Indonesia menyebarkan agama mereka dengan menggunakan metode-metode atau bentuk-bentuk berikut, dari yang “hard” atau “overt”, terang-terangan, sampai yang “soft” atau “covert”, diam-diam dan tersamar.


(1) Penyebaran agama lewat kesaksian pribadi (personal testimony) 

Umumnya orang Kristen mengklaim memiliki pengalaman pribadi dengan Yesus Kristus yang mereka klaim sebagai Tuhan yang hidup, the living Lord. Pengalaman ini umumnya beranekaragam, dari (konon) mendengar sendiri langsung suara Yesus di dalam hati atau lewat telinga ketika seorang Kristen sedang mencari bimbingan spiritual, atau melihat Yesus sendiri menampakkan diri dalam wujud laki-laki berjubah putih dan bercahaya, sampai mendapatkan kesembuhan ilahi dari penyakit-penyakit berat yang menurut pendekatan medis sudah tak akan dapat disembuhkan, atau konon berubah jadi kaya raya begitu menjadi orang Kristen (padahal Yesus dari Nazareth meminta setiap orang yang mau menjadi pengikutnya untuk menjual seluruh hartanya dan memberikannya kepada orang miskin!).

Nah, orang yang mengklaim memiliki pengalaman pribadi dengan Yesus yang sejenis ini umumnya akan dengan yakin dan penuh gelora mempersaksikannya secara pribadi kepada orang lain sebagai sebuah personal testimony, lewat kesempatan tatap muka langsung berduaan, atau di dalam suatu kelompok orang yang sedang santai (misalnya sedang berekreasi di kawasan-kawasan hijau), atau di dalam suatu acara ibadah gereja yang salah satu unsurnya adalah penyampaian kesaksian pribadi tentang keterlibatan Yesus dalam kehidupan seseorang.

Tentu adalah hak setiap orang untuk menceritakan pengalaman pribadi apapun (tidak harus pengalaman spiritual) kepada orang lainnya; tetapi adalah juga kewajiban setiap orang untuk menghormati privasi orang lain yang tidak mau diganggu, dan adalah juga hak dan kewajiban orang yang tak mau diganggu ini untuk dengan halus (atau jika sudah tak tahan, dengan tegas) menyuruh si pemberita Kristen ini pergi. Jadi, jika seorang Kristen mendatangi seorang Muslim atau sekelompok Muslim untuk menyebarkan agama, dia atau mereka dapat memintanya dengan halus (atau dengan tegas) untuk segera pergi, dengan tak perlu melakukan tindak kekerasan fisik apapun, dan dengan dibarengi permintaan agar si Kristen ini menghormati orang lain yang sudah beragama.

Tetapi jika ada Muslim yang mau berdiskusi soal agama dengan seorang Kristen yang kebetulan mendatanginya, dia dapat membangun suatu percakapan dialogis dengan si Kristen ini. Jika dia mau berdialog, maka tujuannya bukanlah perpindahan atau pelepasan agama/keyakinan semula, melainkan untuk meningkatkan dan memperkaya pengetahuannya mengenai agama Kristen. Syukur-syukur kalau mitra dialognya yang Kristen juga mau diperkaya olehnya secara timbal-balik (tentang hal ini, akan diulas lebih lanjut di bawah).

Sebetulnya jika seseorang bertemu dengan seorang beragama lain yang mau menceritakan pengalaman spiritualnya yang diklaimnya real, diskusi dapat masuk ke dalam pandangan-pandangan sains modern (khususnya neurosains) tentang pengalaman-pengalaman spiritual.

Menurut neurosains, pengalaman keagamaan, pengalaman spiritual, atau semua fenomena supernatural atau paranormal, adalah pengalaman-pengalaman dan fenomena yang normal dan natural, yang muncul karena berlangsungnya aktivitas neural dalam neuron-neuron pada bagian-bagian tertentu otak manusia (yakni bagian temporal lobes, wilayah neural yang terletak persis di atas telinga)./4/

Jika ditinjau dari sudut pandang neurosains, pengalaman seorang Kristen bertemu dengan Yesus yang berjubah putih dan bercahaya sama sifat dan jenisnya dengan pengalaman seorang pencari wangsit yang mengklaim bertemu dengan suatu hantu besar penunggu sebuah kawasan pekuburan. Begitu juga, dilihat dari perspektif neurosains, klaim seorang Kristen bahwa dia mendengar suara roh kudus atau suara roh Yesus langsung di telinganya sama jenis dan sifatnya dengan klaim seorang Muslim bahwa di telinganya dia mendengar suara-suara jin atau suara-suara seorang sakti zaman dulu setelah dia bertapa sekian hari di tempat-tempat keramat.

Bagaimanapun juga, kesaksian pribadi terkuat bukanlah lewat propaganda agama, melainkan lewat teladan bagaimana orang hidup bijak, bajik, apik, laik dan heroik. 


(2) Penyebaran agama dari rumah ke rumah 

Ada kelompok-kelompok Kristen yang menjalankan penyebaran agama dari rumah ke rumah, door-to-door evangelism, dan hal ini umumnya dipandang sebagai gangguan terhadap privasi dan ketenangan rumah yang didatangi, yang bisa bermuara pada tindak kekerasan yang dilakukan pihak pemilik rumah, yang akhirnya bisa juga menimbulkan kemarahan orang sekampung terhadap para penyebar agama ini, khususnya jika yang didatangi mereka adalah rumah-rumah Muslim yang sama-sama tidak toleran. Tetapi umumnya, yang kerap didatangi para penyebar agama jenis ini bukanlah rumah-rumah Muslim, melainkan rumah orang-orang non-Muslim (misalnya rumah keluarga penganut agama Tridharma, atau malah rumah orang Kristen aliran lain), seperti yang sudah diketahui umum dilakukan oleh anggota-anggota perorangan Saksi Yehovah.

Untuk mencegah didatangi mereka, pihak Muslim dapat menempel pada dinding depan rumah mereka pernyataan pendek Tidak Menerima Penyebar Agama Apapun. Atau melaporkan mereka ke ketua RT/RW setempat untuk mendapat teguran dan pembinaan moral Pancasila yang mengharuskan setiap warganegara menghormati orang yang sudah beragama. Menempelkan stiker yang bertuliskan Awas Ada Anjing Galak memang tak bisa terjadi di rumah Muslim; susahnya, kalau menempelkan stiker Awas Ada Kambing Galak, ya tampaknya tak akan berpengaruh.

Tetapi jika ada keluarga Muslim yang mau menerima dan melayani mereka, ya terimalah dan layanilah mereka dengan bermartabat, berintegritas dan cerdas, untuk justru membuat mereka malah dengan ikhlas dan sadar bertobat, pindah agama, masuk Islam, ketimbang sebaliknya. Supaya ini terjadi, keluarga Muslim yang didatangi tentu saja harus sudah memiliki basis kuat dalam akidah Islam dan pengalaman bagaimana hidup sebagai Muslim penyebar kedamaian, dan sudah terbiasa hidup dalam keanekaragaman pandangan keagamaan, dan tentu saja memiliki hati yang lemah lembut, sabar dan welas asih. Akidah yang benar dan mendewasakan manusia, dan akhlak yang jempolan, adalah dua modal utama untuk memenangkan orang ke agama sendiri, jika memindahkan orang lain ke agama sendiri memang dipandang sebagai suatu kebajikan, dan bukan sebagai suatu persoalan.


(3) Penyebaran agama lewat apologetika 

Apologetika adalah sebuah cabang dalam disiplin “ilmu” teologi yang isinya adalah konstruksi-konstruksi teologis dogmatis yang dibangun untuk membela agama sendiri dari serangan-serangan lawan dan memperlihatkan atau membuktikan kebenaran dan keunggulan agama sendiri, dan kesalahan serta kelemahan posisi pihak lawan yang menyerang. Apologetika Kristen bukan kekecualian, malah memiliki tujuan akhir yang sudah jelas: diharapkan dan didoakan agar orang non-Kristen jadi meyakini  kebenaran agama Kristen lalu memutuskan pindah agama, masuk Kristen, yang oleh kaum Muslim disebut murtad, sementara orang Kristen memandangnya sebagai rakhmat dan hidayah ilahi bagi si mantan Muslim.

Dalam lingkungan Kristen, banyak orang disekolahkan ke luar negeri, dengan memakan biaya yang sangat besar dan waktu yang panjang (bisa sampai delapan tahun), untuk meraih gelar doktor dalam ilmu apologetika, dengan kepiawaian satu-satunya adalah membela agama sendiri dengan segala cara dan bentuk, yang harus dituangkan dalam tulisan-tulisan yang diklaim berbobot akademik tinggi, dan menunjukkan kelemahan atau kesalahan atau inferioritas agama pihak lawan.

Dalam debat-debat sengit antara pakar-pakar agama yang bertitel doktor, yang umumnya ditugaskan berdebat adalah para apologet yang berkacamata kuda, yang memiliki telinga separuh tuli atau keduanya tuli, dan yang mempunyai mulut yang piawai menjual Kecap Bango nomor satu di dunia. Kalau kepada kedua belah pihak diberi sepasang sarung tinju atau sepasang kelewang, debat-debat agama ini akan berubah menjadi sangat seru, tetapi bersimbah darah./5/

Sudah jelas Muslim yang eling, yang memiliki wawasan akademik dan biasa hidup toleran dan damai di tengah kemajemukan, tidak akan mau masuk ke dalam debat agama kalangan apologet.

Kita semua sudah tahu, bahwa debat-debat agama kalangan apologet semacam ini tidak pernah berakhir dengan rasa damai di hati masing-masing pihak yang berdebat, tidak pernah berhasil memindahkan orang lain ke agama sendiri, tidak pernah bisa memperkaya khazanah pengetahuan pihak-pihak yang berdebat mengenai agama-agama lain, melainkan hanya membuat para apologet makin fanatik dan picik dalam beragama, dan membuat mereka mudah histeris karena alasan-alasan sepele yang menyangkut agama mereka masing-masing. 


(4) Penyebaran agama lewat dialog bermartabat 

Lawan dari apologetika adalah dialog. Dalam dialog, pihak-pihak yang aktif saling menghormati dan menghargai posisi masing-masing, memandang pihak lain bukan sebagai lawan tetapi sebagai mitra yang sederajat, dan keduanya akan sama-sama mengalami perluasan wawasan dan pengayaan intelektual dan spiritual. Keduanya akan sama-sama tumbuh dan berkembang menuju kematangan, keagungan, keterbukaan yang makin luas, dan akan mengalami pengalaman-pengalaman baru yang akan merevitalisasi, mentransformasi dan menguniversalisasi kepercayaan-kepeercayaan yang semula dipegang masing-masing mitra, dan, pada saat yang sama, tidak akan terjadi proselitisasi atau pemurtadan terhadap pihak manapun./6/

Lewat dialog yang intensif dan ekstensif, seorang Kristen akan menjadi Kristen plus, seorang Muslim akan menjadi Muslim plus, seorang Buddhis akan menjadi Buddhis plus, seorang Hindu akan menjadi Hindu plus, seorang Yudais (Yahudi) akan menjadi Yudais plus, seorang Bahai akan menjadi Bahai plus, dan seterusnya. Mengapa? Karena lewat dialog yang jujur, terbuka dan bermartabat, setiap pihak yang terbenam di dalamnya akan diperkaya oleh agama-agama lain, tanpa mereka masing-masing harus pindah ke agama lain. Nilai plus di sini bukan hanya dalam ranah intelektual kognitif, melainkan juga dalam ranah spiritualitas, ranah moralitas dan ranah praktis.

Agamawan-agamawan yang telah mengalami keadaan ini sangat diperlukan dalam masyarakat, sebagai orang-orang yang bisa melintasi batas-batas agamanya sendiri (yang disebut passing over), tanpa pindah agama, sehingga mereka bisa menjadi figur-figur pemersatu umat-umat beragama yang berbeda-beda.

Figur-figur semacam ini sangat diperlukan di dalam masyarakat-masyarakat yang sering terancam terpecah belah karena masalah-masalah agama, yang anggota-anggotanya yang berlainan agama kerap terjebak dalam berbagai konflik dan konfrontasi yang bisa memakan banyak korban manusia. Figur-figur semacam ini benar-benar wakil Tuhan dalam dunia ini, jika memang Tuhan tidak bisa meninggalkan kantor dan kesibukan-Nya sehingga Dia perlu mengirim wakil.

Dengan demikian, salahlah anggapan banyak agamawan konservatif bahwa dialog antar agama-agama tidak akan bergerak ke mana-mana, goes to nowhere, dan pihak-pihak yang berdialog hanya akan makin terbenam dalam aktivitas tukar pikiran saja, yang tidak memberi buah berharga apapun buat agama dan umat mereka masing-masing: tidak ada konversi, tak ada pertambahan jumlah anggota umat, malah sebaliknya umat beragama yang minoritas akan makin tak berdaya dalam mengembangkan agama dan jumlah umat mereka. Faktanya, anggapan mereka ini justru terbukti benar malah di dalam debat-debat sengit antar para apologet konservatif, sebagaimana sudah dikemukakan di atas.

Juga ada sebuah keberatan lain dari banyak agamawan konservatif terhadap aktivitas dialog yang menghasilkan agamawan-agamawan plus, yakni bahwa lewat dialog dan pengayaan timbal balik terjadilah apa yang mereka sangat tentang, yakni sinkretisme./7/ Keberatan ini mudah dijawab.

Sebagaimana kita alami, jalani dan lakukan setiap hari dalam kehidupan kita di luar bidang keagamaan, baik sebagai individu maupun sebagai bangsa, kita semua akan meniru baik perbuatan-perbuatan baik orang lain atau bangsa lain, maupun langkah-langkah mereka  menuju keberhasilan-keberhasilan. Kita mau tahu dan mau mempelajari pengetahuan-pengetahuan dan teknologi mereka yang telah membuat mereka berhasil dan menjadi terpandang dan besar. Kita mau tahu dan mau memeluk nilai-nilai moral dan nilai-nilai sosial yang membuat mereka teguh, kokoh, cerdas dan sukses dalam berbagai bidang kehidupan. Kita mau tahu dan mengadopsi strategi-strategi ekonomi dan politik mereka yang telah mengangkat nama mereka di panggung internasional, dan seterusnya. Nah, analogi dengan ini, jika ada hal-hal positif dan bernilai dalam agama-agama lain, maka tak ada alasan yang masuk akal dan dapat dibenarkan jika kita menolak untuk mengadopsi hal-hal positif ini!

Selain itu, kita semua tahu bahwa tidak ada agama apapun dalam dunia ini yang ketika lahir, tumbuh dan berkembang tidak memakai atau meminjam atau menyerap pandangan-pandangan dunia (worldviews) dari kebudayaan-kebudayaan lain, baik yang menjadi latarbelakang kelahirannya maupun yang menjadi tempat-tempat persemaian baru ketika agama ini disebarkan ke kawasan-kawasan lain yang asing. Memakai istilah-istilah baku dalam dunia misiologi agama-agama, akan selalu terjadi inkulturasi (atau indigenisasi) dan kontekstualisasi baik ketika sebuah agama baru dilahirkan maupun ketika sebuah agama disebarkan dan masuk ke wilayah-wilayah yang baru dan asing.

Hanya dengan melewati semua proses antropologis kultural ini, sebuah agama baru akan cepat diterima masyarakatnya dan ketika disebarkan akan juga cepat dan mudah diterima dan dihayati oleh masyarakat asing yang menjadi sasaran penyebaran agama ini.

Agama yang murni datang dari surga, yang seratus persen tidak bersentuhan dengan dunia nyata tempat kehidupan kita, jika agama semacam ini ada, agama ini tidak akan dimengerti oleh orang manapun di dalam dunia ini, yang berjalan dengan menginjak muka Bumi dan yang masih terus-menerus belajar untuk menjadi lebih bijak dan bajik. Agama yang tidak dimengerti jelas akan ditolak, dan agama yang ditolak tentu akhirnya akan lenyap dari dunia ini, cepat atau lambat. 

Jadi, jika memang penyebaran agama tidak bisa dilarang, demikian juga perpindahan agama, maka lakukanlah ini lewat dialog untuk menghasilkan agamawan-agamawan lintas agama, yang punya basis kuat dalam agamanya sendiri tetapi juga bisa menyeberang sementara ke agama-agama lain demi memikul tugas luhur mempersatukan umat manusia.


(5) Penyebaran agama lewat inkulturasi dan kontekstualisasi teologi 

Jika sebuah agama disebarkan lewat inkulturasi (juga disebut indigenisasi), maka si penyebarnya akan mengungkapkan kisah-kisah skriptural dan ajaran-ajaran agamanya dalam berbagai bentuk ekpresif kesenian dan kebudayaan yang diambil dari kebudayaan masyarakat sasaran penyebaran agama. Misalnya dalam bentuk gaya lukisan, madah, pantun, alat-alat musik, bentuk pakaian, bentuk bangunan, bahasa, kisah-kisah, olah raga, upacara-upacara, sampai ke gaya hidup, yang semuanya berurat dan berakar dalam kehidupan masyarakat-masyarakat lokal yang menjadi sasaran penyebaran agama.

Memakai analogi metaforis, inkulturasi bisa mengambil bentuk percampuran air dan minyak, atau bentuk percampuran air dan susu./8/

Sebagaimana air dan minyak tak bisa larut menyatu, tetapi tetap terpisah meskipun berada dalam satu wadah, inkulturasi bentuk ini masih menampilkan dengan kuat kekhususan agama si penyebar, yang disatukan tanpa terlebur dengan agama atau kebudayaan masyarakat lokal sasaran penyebaran agama.

Contoh: gamelan dipakai, tetapi lagu-lagu yang dinyanyikan tetap lagu-lagu Kristen Barat sehingga terdengar aneh, tak klop, tak enak, dan asing, di telinga penduduk asli. Atau, lukisan dibuat dengan memakai wujud-wujud orang setempat yang memakai pakaian-pakaian lokal, atau memakai latarbelakang lingkungan alam setempat, tetapi tema lukisannya nyata sekali tema Kristen, yang dulu muncul dan bertahan di Palestina atau di wilayah Eropa pada abad-abad pertama Masehi atau Eropa zaman Renesans, atau yang terdapat di dalam Alkitab.

Kita tahu, orang Kristen di Indonesia, yang dipelopori orang Katolik Indonesia, sudah lama memakai metode penyebaran agama Kristen lewat strategi inkulturasi jenis percampuran air dan minyak; dan strategi ini sudah terbaca dan diketahui umat Muslim di mana-mana, lalu diberi reaksi keras dan tak sedikit yang agresif. Inkulturasi jenis ini telah masuk ke kehidupan orang Betawi asli, orang Jawa, orang Sunda, orang Papua, dan sebagainya, untuk menyebut beberapa contoh saja.

Sebagaimana air dan susu bercampur dan lebur menjadi satu, inkulturasi jenis kedua menghasilkan bentuk-bentuk perpaduan jenius dan kreatif antara tema-tema lokal dan tema-tema Kristen sehingga tak  bisa dibedakan lagi mana tema-tema lokal dan mana tema-tema Kristen, mana lukisan lokal dan mana lukisan Kristen, mana madah pribumi dan mana madah Kristen, dan seterusnya.

Contoh: Yesus Kristus ditampilkan sebagai seorang penari Bali, dengan wajah dan pakaian serta lenggak-lenggok Bali, menarikan tari Bali dengan latarbelakang pemandangan alam Bali, dan memerankan diri sebagai dewa-dewa yang disanjung dalam agama Hindu Bali. Tema khas Kristen hampir tak nyata terlihat dalam lukisan ini; dan jika si pelukis tak menjelaskan secara lisan atau lewat tulisan bahwa figur yang sedang menari itu adalah Yesus Kristus, siapapun tak akan bisa menemukan bahwa sosok utama dalam lukisan itu adalah Yesus. Ketika sudah menerima atau membaca penjelasan si pelukis, maka si pengamat lukisan itu segera saja bisa menghubungkan semua yang dilihatnya ada pada lukisan itu dengan tema-tema Kristen tertentu, atau tema-tema alkitabiah.

Ini lukisan pelukis Bali yang terkenal, I Nyoman Darsane (1978). Siapa yang langsung bisa menemukan bahwa sang pria yang sedang menari dengan berlatarbelang Matahari yang bersinar kuning (simbol dunia adikodrati), yang di hadapannya bersujud seorang perempuan Bali, adalah Yesus Kristus?

 
Lukisan pelukis Filipina, Emmanuel Garibay. Siapa yang bisa langsung menemukan bahwa sang perempuan PSK pada gambar ini dimaksudkan sang pelukisnya sebagai Yesus Kristus? Hanya tanda bekas lubang paku pada tapak tangannya membuat orang menghubungkan sang perempuan ini dengan diri Yesus Kristus.

Nah, pertanyaannya: Apakah penyebaran agama Kristen lewat dua jenis inkulturasi ini harus dilarang? Jawabnya: Tak bisa dilarang, sebab yang disajikan kepada masyarakat adalah lukisan atau karya seni lain atau bentuk-bentuk ekspresif kultural, yang meskipun lokal, tetap merupakan bagian dari kebudayaan global yang dilindungi oleh PBB untuk dipelihara malah disebarluaskan sehingga menjadi milik global.

Kebudayaan dan kesenian yang sangat dipingit, yang dibatasi hanya untuk satu suku tertentu yang kecil populasinya, akan bisa hilang dari dunia, cepat atau lambat sekalipun dilindungi oleh UU suatu negara. Sebaliknya, bentuk-bentuk kesenian dan kebudayaan lokal yang oleh para penyebar agama diangkat ke peringkat dunia, sehingga dikenal dunia luas, akan lebih besar kemungkinannya untuk bertahan dalam jangka waktu yang sangat panjang.

Jadi, ketimbang melarang paksa dua jenis strategi inkulturasi ini, sebaiknya umat Muslim di Indonesia mempersilakan keduanya dijalankan oleh para pemberita Kristen lewat tangan para seniman, lokal maupun mancanegara. Dan kepada umat Muslim, para pemuka Muslim dapat menjelaskan bahwa semua yang mereka lihat ada dalam wilayah kesenian dan kebudayaan, sehingga tak perlu dilarang, malah harus didorong supaya kebudayaan dan kesenian Indonesia yang sangat pluralistik bisa dikenal dunia luas di luar Indonesia.

Jika semua hasil inkulturasi ini dipandang demikian, setiap Muslim yang memiliki basis kuat dalam akidah-akidah dasariah Islam, yang menyaksikan bentuk-bentuk ekspresif kesenian dan kebudayaan hasil inkulturasi, tak akan pindah agama, dan malah bisa menghargai seni sebagai seni, meskipun si senimannya atau orang yang memesan karya seni titipan ini punya tujuan lain, yakni mau mengkristenkan orang lain lewat karya-karya kesenian dan kebudayaan. Tujuan ini tidak bisa diabaikan atau dihilangkan, tetapi setiap Muslim yang bebas, bisa menentukan sendiri dengan merdeka apa pesan karya seni dan karya kebudayaan hasil inkulturasi, yang sedang dipandang dan ditafsirkannya.

Kalau mau melangkah lebih jauh dan lebih kreatif, para pelukis Muslim juga dapat melakukan inkulturasi Islam ke dalam bentuk-bentuk kultural dan kesenian lokal, yang sangat banyak ragamnya di bumi Indonesia. Tentu hal ini akan dapat dilakukan jika hambatan-hambatan akidah dan tradisi Islam dapat diatasi atau dilampaui.

Lalu, bagaimana dengan kontekstualisasi teologi?

Ada banyak orang Kristen, khususnya para misiolog (= kalangan pakar yang memikirkan, mengonsep, merencanakan dan membuat strategi-strategi, landasan-landasan ideologis/teologis dan kebijakan-kebijakan penyebaran agama secara efektif sebagai misi gereja), yang tidak membedakan kontekstualisasi dari inkulturasi. Tetapi ada banyak juga yang membedakan keduanya.

Bagi kalangan yang kedua, kontekstualisasi adalah inkulturasi yang dijalankan dalam wilayah politik dan ekonomi suatu negara, tidak lagi dalam wilayah kesenian dan kebudayaan sebagaimana sudah diurai di atas./9/ Ini mungkin mengagetkan dan merisaukan hati banyak Muslim di Indonesia, hal yang sebenarnya tak perlu terjadi, mengingat agama Islam sendiri adalah agama yang sangat politis.

Di Amerika Latin, teologi pembebasan yang dirumuskan banyak pakar teologi Gereja Roma Katolik di sana (antara lain Gustavo Gutiérrez,/10/ Leonardo Boff,/11/ dan Jon Sobrino/12/) pada era 1960-an hingga era 1970-an, adalah suatu bentuk kontekstualisasi pemikiran teologis Kristen dalam konteks sosial-politik dan ekonomi negara-negara di sana yang dibuat bangkrut oleh kapitalisme, yang menimbulkan kemiskinan parah di kalangan penduduk. Pada masa-masa itu, dunia yang sedang berada dalam Perang Dingin dapat dikatakan terbagi ke dalam dua blok yang bermusuhan, blok Amerika Serikat (yang kapitalis) dan blok Uni Soviet (yang sosialis). Tembok Berlin masih berdiri dengan sangat kokoh. Dan Vatikan adalah sekutu Amerika Serikat; dus, tidak heran jika Vatikan melawan teologi pembebasan yang memang berhaluan sosialis-Marxis jika ditinjau dari analisis sosial.   

Sesuai namanya, teologi pembebasan, pendek saja, memang dimaksudkan untuk mendorong gereja bersama rakyat mencapai atau merebut kemerdekaan ekonomi dan politik dari penjajahan kapitalisme global dan antek-antek lokalnya, dengan menimba inspirasi pastoral, moral, etik dan spiritual dari teks-teks Alkitab dan khususnya dari kiprah-kiprah kejuangan Yesus dari Nazareth. Dalam teologi ini, analisis sosial (perjuangan kelas) yang memakai model Marxis digunakan bersama dengan refleksi-refleksi kritis atas teks-teks kitab suci dan konteks masa kini. Teologi ini mengarahkan masyarakat dunia ke suatu tatanan sosial yang sama sekali berbeda dari tatanan masa itu, tatanan transendental yang akan masuk ke dalam dunia lewat aksi-aksi sosialpolitis, suatu ide yang dikenal sebagai utopi.

Metode berteologi yang dijalankan para penganjur teologi pembebasan pertama kali dirumuskan oleh seorang pastur Jesuit yang terkenal, Juan Luis Segundo. Olehnya, metode ini dinamakan siklus hermeneutis praksis pastoral, yang terdiri atas empat langkah yang saling mengisi dan berinteraksi:  
Pertama, setiap usaha berteologi harus bertolak dari situasi pengalaman nyata yang real dialami; ini disebut sebagai teologi dengan perspektif from below, atau bermetode induktif. Dengan perspektif ini, dunia dan segala hal yang berlangsung di dalamnya dilihat dan ditafsirkan dari sudut pandang orang yang miskin dan sedang ditindas, demi mengubah nasib dan jalan kehidupan mereka lewat aksi-aksi pastoral pembebasan. The preferential option for the poor adalah tulang punggung teologi pembebasan.
Kedua, situasi yang real ini selanjutnya dianalisis secara sosial untuk menemukan problem-problem mendasar dalam masyarakat. Di sinilah, ilmu-ilmu sosial menjadi penting untuk digunakan sebagai pisau-pisau bedah untuk membedah masyarakat dan semua interaksi sosial.
Ketiga, setelah problem-problem mendasar ditemukan, hermeneutik kecurigaan diterapkan sehingga menghasilkan kecurigaan-kecurigaan ideologis terhadap ideologi-ideologi yang sedang mengendalikan masyarakat, yang mendorong orang untuk mempertanyakan dengan kritis ideologi-ideologi atau ajaran-ajaran yang selama ini dipegang dan mengendalikan kehidupan manusia.
Keempat, kecurigaan-kecurigaan ideologis yang timbul memunculkan sudut-sudut pandang baru hermeneutis yang diterapkan saat kitab suci sedang ditafsirkan untuk ditafsirkan kembali in a new way, saat doktrin, dogma dan teologi-teologi ditinjau ulang untuk dirumuskan secara baru. Perspektif-perspektif baru ini kemudian digunakan untuk menjadi landasan baru dan segar dalam menyusun langkah-langkah pastoral dan advokasi. Supaya itu terjadi, juga diperlukan analisis struktural terhadap faktor-faktor mediasi yang terlibat dalam perencanaan aksi-aksi pastoral dan advokasi. Pemilihan mediasi menjadi sangat penting dalam mencapai target-target teologi pembebasan.
Pada masa Paus Yohanes Paulus II berkuasa di Vatikan, dan Kardinal Joseph Ratzinger menjadi ketua Kongregasi Doktrin Iman (belakangan menjadi Paus Benediktus XVI), teologi pembebasan Amerika Latin dihambat dan para pembelanya, terutama pendirinya Gustavo Gutiérrez, mengalami banyak tekanan, karena mereka dinilai sudah teracuni ideologi Marxisme. 

Kini di bawah kepemimpinan Paus Fransiskus, teologi pembebasan mulai diberi tempat leluasa dalam GRK dan para teolognya kini bebas untuk bergerak. Dalam sebuah acara di Vatikan bulan Mei 2015, Gustavo Gutiérrez telah diundang sebagai seorang pembicara penting./13/ Bahkan Paus Fransiskus pada 3 Februari 2015 sudah menetapkan Uskup Kepala (ke-4) San Salvador, Óscar Arnulfo Romero y Galdámez (lebih dikenal sebagai Oscar Romero; lahir 15 Agustus 1917), yang tewas ditembak persis pada jantungnya pada 24 Maret 1980 saat dia sedang menyelenggarakan missa, sebagai seorang martir. Tidak lama sesudah itu, pada 23 Mei 2015, Paus Fransiskus menetapkan Romero sebagai seorang santo./14/ Orang-orang Katolik yang kini merasa sedang tertindas dan kere dapat berdoa kepada Santo Romero untuk memohon uluran tangannya langsung dari sorga. Bagaimanapun juga, kejadian-kejadian ini menunjukkan bahwa teologi pembebasan kini sedang bangkit kembali di GRK lewat langkah-langkah Paus Fransiskus yang berkuasa di saat Perang Dingin sudah lama berlalu dan Tembok Berlin sudah lama roboh.   

Kita tahu, Óscar Romero adalah korban paling terkemuka dari antara 75.000 orang yang dipercaya telah dibunuh dalam perang saudara di El Salvador yang berlangsung 1980-1992. Romero disejajarkan dengan dua sosok beken lainnya di Amerika Tengah: Salvador Allende (presiden Chile aliran Marxis yang dibunuh) dan Ernesto “Che” Guevara. Tapi, apakah betul Óscar Romero mati sebagai seorang pendukung teologi pembebasan Amerika Latin?  

Menurut mantan sekretaris Romero sendiri, Msgr. Jesus Delgado, Uskup Kepala Romero sendiri tidak tertarik pada teologi pembebasan Amerika Latin. Tentang Romero, Msgr. Delgado menyatakan hal-hal berikut ini:/15/ 
“Ketika aku sedang menulis biografinya, aku memeriksa perpustakaannya. Jelas sekali, para pendukung teologi pembebasan selalu mengunjunginya, dan memberinya buku-buku mereka. Aku telah memeriksa buku-buku pemberian itu semuanya, dan tampak semuanya masih baru, belum pernah dibukanya dan belum pernah dibacanya, dan belum pernah diperhatikannya. Sebaliknya, jelas juga bahwa semua buku yang ditulis para bapak gereja sudah tampak lusuh, dan telah menjadi sumber insiprasinya. Dia tidak tahu apapun tentang teologi pembebasan; dan dia tidak ingin mengetahuinya. Dia telah dengan setia tetap menganut ajaran GRK, dan terutama ajaran-ajaran para paus.”
Ada beberapa ucapan besar Óscar Romero yang disampaikannya sehari sebelum dia ditembak mati saat sedang menyelenggarakan missa. Yang terkenal dua ucapannya ini. Yang pertama disampaikannya kepada angkatan bersenjata yang sebagian besar dibentuk dari kaum tani yang saat itu malah mereka sedang bunuh-bunuhi: 
“Tidak ada prajurit yang wajib mentaati suatu perintah yang bertentangan dengan kehendak Allah!”
Ucapannya yang lainnya ini, yang diutarakannya saat sedang melayankan missa: 
“Orang harus tidak mencintai dirinya sendiri terlalu besar sehingga membuatnya tidak mau ambil risiko kehidupan yang sebetulnya dituntut sejarah atas setiap kita. Dan mereka yang menghindari risiko yang berbahaya ini, akan kehilangan kehidupan mereka sendiri.”
Lalu, apa yang menjadi inspirasi gerakan politik sang Uskup Kepala ini? Gerakan sosialpolitik Romero di El Salvador mendapat inspirasi spiritualnya dari Opus Dei. Bahwa Uskup Kepala Romero menerima banyak manfaat spiritual dari pelatihan spiritual Opus Dei di El Salvador, diungkap sendiri olehnya dalam suratnya kepada Paus, tanggal 12 Juli 1975. Surat ini berisi permohonannya kepada Paus untuk mempertimbangkan kanonisasi dan beatifikasi/16/ Monsignor Josemaria Escriva de Balaguer, yang mendirikan Opus Dei pada 2 Oktober 1928. Dalam suratnya itu, Romero menyatakan hal berikut ini tentang Opus Dei./17/ 
“Selama beberapa tahun hingga kini, aku telah mengenal kegiatan Opus Dei di sini di El Savador. Dan aku dapat mempersaksikan ada kekuatan supernatural yang menghidupinya dan kesetiaannya terhadap magisterium gereja yang mencirikan kegiatannya. Secara pribadi, aku menyatakan terima kasihku yang dalam kepada para imam yang terlibat di dalam kegiatan Opus Dei. Aku telah mempercayakan dengan kepuasaan yang penuh arah kehidupan spiritualku dan para imam lainnya kepada Opus Dei. Orang dari berbagai kelas sosial menemukan di dalam Opus Dei suatu panduan dan tuntunan yang aman untuk hidup sebagai anak-anak Allah di tengah kehidupan keluarga mereka sehari-hari dan di saat menjalankan kewajiban-kewajiban sosial mereka. Tidak diragukan lagi, ini semua timbul dari kehidupan dan ajaran sang pendirinya. Di dalam dunia yang penuh badai ini, yang dikendalikan oleh bahaya dan keraguan, kesetiaan yang kokoh terhadap doktrin gereja yang menjadi ciri Opus Dei adalah suatu tanda kasih karunia khusus yang berasal dari Allah. Sebagai pendiri Opus Dei, Monsignor Escriva de Balaguer mampu dalam kehidupannya mempersatukan suatu dialog yang terus-menerus dengan Tuhan Kita dan dengan kemanusiaan yang agung. Orang dapat menyatakan bahwa dia adalah orang yang berasal dari Allah, dan perilakunya penuh dengan kepekaan, kebaikan, dan humor yang baik. Sejak kematiannya, banyak orang secara pribadi mempercayakan kebutuhan-kebutuhan mereka kepadanya.”   
Apapun yang telah menginspirasi Óscar Romero, dan sekalipun Romero bersikap tegas tidak mau berpihak ke para kapitalis, Vatikan kini menempatkannya sebagai salah satu martir teologi pembebasan. Karena Paus Fransiskus berasal dari Argentina, sang Paus ini tentu memahami betul apa isi teologi pembebasan dan hal-hal apa saja yang mendorong teologi ini dibangun, tidak seperti Paus Yohanes Paulus II dan Paus Benediktus XVI. Selain itu, jangan dilupakan, Perang Dingin sekarang ini sudah lama berlalu, dan Tembok Berlin sudah lama runtuh. Di tahun 2015 ini dan seterusnya, ihwal setuju atau menolak teologi pembebasan, tidak lagi punya dampak yang signifikan bagi siapapun, dan juga bagi lembaga gereja manapun. Kapitalisme sudah menang telak. Sosialisme nyaris bangkrut total di mana-mana; dan di beberapa tempat bersimbiosis dengan kapitalisme. 

Sementara teologi pembebasan menyemangati gerakan gereja-gereja rakyat di benua Amerika Latin, bagaimana dengan keadaan di Asia di era yang sama? Di Asia, kemiskinan yang besar yang melanda banyak rakyat benua ini diberi respons sosial-politik dan religius oleh para teolog pembebasan Asia, antara lain dengan memanfaatkan nilai-nilai moral dan sosial yang ditawarkan Buddhisme, yang disandingkan dengan nilai-nilai moral dan sosial yang ditawarkan Yesus dari Nazareth dan para penulis Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. 

Dari usaha kontekstualisasi di Asia ini, lahirlah sebuah tawaran untuk orang, khususnya para penguasa dan pengusaha, sementara mengelola politik dan ekonomi negara, juga sanggup mengambil jarak (detachment) dari mammon ekonomi dan sifat korupnya kekuasaan, seperti diperlihatkan para rahib Buddhis dan juga Yesus dari Nazareth. Malah dianjurkan, supaya kalangan kaya dengan rela mengambil jalan hidup miskin dengan rela, jalan kehidupan monastik para rahib Buddhis, lewat kerelaan mereka memakai uang mereka untuk memberdayakan rakyat miskin tanpa pamrih./18/

Di Indonesia, pada masa Soeharto berkuasa selama lebih dari tiga dekade, teologi pembebasan sempat dicurigai sebagai teologi yang berbahaya, bahkan subversif, yang dianggap bisa menggerakkan rakyat miskin melawan rezim ini; akibatnya sempat terjadi debat sengit antara pemikir teologi Kristen yang membela teologi pembebasan (Amerika Latin) dan yang menolaknya.

Sebagai jalan yang lebih aman, kebanyakan pemikir teologi Kristen pada era rezim ini, antara lain T.B. Simatupang (alm.) dan Victor Tanya (alm.), mengembangkan apa yang dinamakan teologi pembangunan, sebab teologi jenis ini cenderung melegitimasi politik pembangunan ekonomi rezim Orba, yang demi mencapai pertumbuhan ekonomi relatif tinggi kebebasan, demokrasi dan HAM dikorbankan. Di samping itu, ada sedikit teolog Indonesia pada masa itu berusaha mengembangkan pemikiran teologi Kristen yang dikawinkan dengan nilai-nilai moral, kultural, sosial-politik dan ekonomi yang termaktub dalam Pancasila, sehingga muncullah sebuah nama yang pada waktu itu dirasakan aneh: teologi Pancasila. Eka Darmaputera (alm.) dan Th. Sumartana (alm.), antara lain, dikenal pada masa itu sebagai para penganjur usaha-usaha berteologi dalam payung besar ideologi dan falsafah Pancasila.


Sekarang, setelah melewati masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan masuk ke era pemerintahan Presiden Joko Widodo, sedikit pemikir teologi Kristen memikirkan dan berusaha mengonstruksi teologi yang bisa mempercepat tumbuhnya kesadaran masyarakat dan para birokrat pemerintah untuk mereformasi bangsa dan negara dalam banyak segi kehidupan, dan memperjuangkan suatu negara yang demokratis non-teokratis dan menjunjung tinggi HAM.

Di samping itu, berhubung filosofi dan ideologi bangsa dan negara, Pancasila, sudah sempat tenggelam karena penyalahgunaannya sebagai ideologi absolutis tertutup dalam masa pemerintahan Orde Baru, kini mulai kembali orang memikirkan untuk merancangbangun teologi Pancasila dalam konteks reformasi bangsa dan negara. Bahkan kini orang, misalnya Azyumardi Azra, dapat berulang-ulang menegaskan perlunya Pancasila di-rejuvenasi, diremajakan kembali! 

Belakangan ini, banyak pemuka Muslim Indonesia, bahkan Presiden Joko Widodo sendiri, mulai mengetengahkan dengan serius wacana-wacana mengonstruksi Islam Cinta dan Islam Nusantara, di saat bangsa dan negara Indonesia sedang diperhadapkan pada gerakan-gerakan Islam radikal yang dengan terang-terangan menolak Pancasila sebagai ideologi dan falsafah bangsa yang tidak bisa ditawar-tawar lagi dan mau mendirikan kilafah Islamiyah di bumi Nusantara. Saya menunggu dengan penuh semangat para sarjana Muslim Indonesia dapat menjabarkan Islam Cinta dan Islam Nusantara secara substantif dan komprehensif dalam bingkai teologi sebagai sebuah disiplin keilmuwan. 

Pada sisi lain, kita semua tahu, teologi politik Islam sangat gencar dipikirkan, ditulis dan dipropagandakan oleh banyak segmen radikal dalam dunia Muslim Indonesia masa kini, yang tujuan akhirnya adalah menghasilkan sebuah negara teokratis Islami yang namanya Indonesia, yang dilandaskan bukan pada Pancasila dan UUD 45, tetapi pada Al-Quran, Syariah Islam dan budaya Arab. Pemberlakuan otonomi daerah makin melicinkan jalan-jalan menuju islamisasi sistem politik Indonesia, padahal bukan itu tujuannya, sebab desentralisasi kekuasaan pusat ke daerah-daerah tidak pernah lepas dari konteks negara kesatuan RI, yang dibangun dengan perjuangan berat semua golongan beragama di Indonesia dan dengan berlandaskan Pancasila dan UUD 45.

Dus, bagaimana kita harus menyikapi kontekstualisasi teologi dalam dunia sosial-politis dan ekonomi Indonesia? Jawabnya sangat jelas: cari dan rumuskanlah teologi sosial-politis dan ekonomis yang tidak separatis sektarian, melainkan dihasilkan bersama oleh para pemikir teologi lintasagama dan lintasilmu, demi kepentingan masa kini dan masa depan NKRI, yang dalam payung Pancasila akan diperjuangkan dan diaktualisasi tidak sendiri-sendiri, melainkan bersama-sama lewat masyarakat sipil Indonesia, sebagai mitra sekaligus oposisi yang santun terhadap pemerintah NKRI kapan pun juga./19/ 

Tidaklah lengkap jika pada kesempatan ini saya tidak menyebut apa yang dinamakan teologi sukses (success theology) atau teologi kemakmuran (prosperity theology) atau injil kekayaan yang berkelimpahan (the gospel of wealth) yang kini, pasca kebangkrutan sosialisme, ambruknya Uni Soviet, dan runtuhnya Tembok Berlin, sangat subur tumbuh di gereja-gereja besar di seluruh dunia dan dipraktekkan dengan konsisten dan tanpa malu-malu oleh banyak pendeta, pekabar injil dan para pemuka gereja-gereja besar itu. Inti pesan teologi jenis ini adalah: Yesus Kristus tidak menghendaki para pengikutnya miskin dan kere, tetapi kaya raya dan semakin kaya raya. Semakin anda setia dan percaya pada Yesus, semakin anda akan menerima banyak berkat materi darinya, hidup anda akan berkelimpahan materi dan serba makmur. Tentu saja teologi-teologi jenis ini berdasarkan pada kapitalisme rakus dan tamak, dan gaya kehidupan hedonistik menjadi ciri para penganjur dan penghayatnya. Saya sendiri menilai, teologi-teologi kemakmuran dan yang sejenisnya tidak memenuhi syarat disebut sebagai teologi, sebab para penganjurnya tidak membangun sebuah sistem pemikiran yang utuh tentang teologi ini, dan di dalamnya moralitas atau etika diabaikan sama sekali.  

Kalau teologi pembebasan berpihak kepada orang miskin dan tertindas, teologi kemakmuran berpihak ke para kapitalis rakus yang menindas dan memeras. Mungkin anda yang Kristen tahu betul, Yesus malah sebetulnya meminta setiap orang yang mau menjadi pengikutnya untuk menjual semua kekayaan mereka, mendermakannya kepada orang miskin, lalu mengikut dia! Jadi, sesungguhnya, teologi kemakmuran itu memutarbalik kehendak dan ajaran Yesus sendiri! Kemurahan Allah disamakan dengan ketamakan manusia. Ketamakan manusia dijadikan jiwa dan esensi injil para penganjur teologi jenis ini.

Baiklah pada kesempatan ini saya sebut saja seorang pendeta gereja di Amerika Serikat aliran teologi kemakmuran, Pdt. Creflo Augustus Dollar. Baru-baru ini telah disetujui oleh majelis gerejanya (World Changers Church International, di Fulton County, Georgia) untuk Pdt. Dollar diberi fasilitas pesawat jet Gulfstream G650 seharga USD 70 juta. Kata gerejanya, “Kami berencana untuk mendapatkan sebuah pesawat jet Gulfstream G650 karena inilah pesawat terbaik, dan mencerminkan tingkat keunggulan yang organisme kami pilih untuk jalankan. Pesawat jet antarbenua yang berbadan panjang dan berkecepatan tinggi adalah sebuah wahana yang perlu untuk memenuhi misi kami mengabarkan injil ke seluruh dunia.” 

Sebetulnya, sebelum persetujuan ini diambil oleh majelis gerejanya, sudah timbul banyak kontroversi tajam atas permintaan sang pendeta ini untuk dibelikan sebuah pesawat jet jenis itu. Tapi sang pendeta tidak mau mundur! Maju tak gentar, sebagai lasykar Yesus, katanya.  Pdt. Dollar tanpa malu-malu menyatakan, “Jika aku mau percaya bahwa Allah akan memberiku sebuah pesawat jet seharga USD 65 juta, anda tidak dapat menghalangi saya. Anda tidak bisa menghentikan impian saya. Saya akan terus bermimpi sampai Yesus datang!”/20/ Sejak Maret 2015, Pdt. Creflo Dollar telah meminta umatnya (di tahun 2007, tercatat berjumlah 30.000 orang) untuk memberi donasi USD 300 per orang untuk mencapai keinginannya ini. Pdt. Creflo Dollar (lahir 28 Januari 1962) kini berdiam di Atlanta, Georgia, AS. 

Pemain bola basket terbesar dunia kebangsaan Amerika, juga orang Amerika-Afrika, Kareem Abdul-Jabbar, memberi komentar-komentar tajam terhadap Pdt. Creflo Dollar. Kareem paham betul bahwa umat yang dipimpin Pdt. Dollar terdiri sebagian besar atas orang Amerika Afrika, kaum evangelikal, dan orang-orang yang kurang terdidik. Kata Kareem, antara lain, bahwa para pemuka gereja yang menganut teologi kemakmuran “terbang di angkasa menuju sorga sudah seperti malaikat-malaikat yang mengurapi diri mereka sendiri, dan mereka berpura-pura menjadi para pemimpin spiritual, padahal mereka sebetulnya dimotivasi oleh ketamakan! Mereka telah menyimpangkan ajaran-ajaran Yesus hanya untuk mengisi penuh kocek-kocek kemeja-kemeja sutera mereka!” Kata Kareem juga dengan tajam bahwa para penganjur teologi kemakmuran “tidak lagi berperang melawan kemiskinan, tapi kini berperang melawan orang miskin.”/21/ Sekalipun Kareem sudah menjadi seorang Muslim, menurut saya komentarnya tentang Pdt. Creflo Dollar sangat pas dan kena! Siapa bapak teologi kemakmuran, “the gospel of wealth”, injil kekayaan berkelimpahan? Mungkin Mr. Adam Smith.  

Bagi saya, jika si Pdt Creflo itu punya uang sendiri, halal, sebesar USD 70 juta untuk membeli sendiri sebuah pesawat jet yang diimpikannya itu, ya tidak ada masalah moral, kendatipun mungkin dia sudah tidak pantas lagi menyebut diri hamba Yesus Kristus. Tetapi, ini, uang itu sedang diperasnya, dengan memperalat nama Yesus, dari warga gerejanya (yang kebanyakan miskin) hanya untuk memuaskan ketamakan dan keinginannya untuk hidup bermewah-mewah. Mungkin betul kata sementara orang, bahwa dia sudah gendeng. Bagi saya, jelas ini adalah masalah moral si pendeta tamak itu, masalah moral yang sangat berat, the mortal sin! Si pendeta tamak ini perlu dingatkan bahwa kemiskinan itu ada batasnya, yakni saat seorang miskin mati mengenaskan dan sendirian dalam penderitaan yang kejam. Kepemilikan juga bisa dibatasi dengan ketentuan-ketentuan hukum. Tetapi syahwat ketamakan itu tidak ada batasnya, infinite. Ketamakan inilah yang telah mendorongnya untuk terbang tinggi ke tingkat-tingkat langit di angkasa tanpa batas, menuju sorga, dengan memakai pesawat jet impiannya itu. Orang yang normal beragama memandang yang tanpa batas itu sosok Tuhan sendiri; tetapi para pembela teologi kemakmuran melihat ketamakan sebagai sang Tuhan mereka yang tanpa batas.    


(6) Penyebaran agama lewat aktivitas diakonia 

Salah satu kegiatan gereja adalah ber-diakonia, artinya: melalui aktivitas gereja orang-orang yang umumnya dianggap sebagai sampah masyarakat, pengganggu, masyarakat apung yang tak memiliki tempat tinggal tetap dan KTP, yang selalu dikejar-kejar oleh para penertib kehidupan dan kebersihan kota, yang hidup miskin, menganggur dan rentan terhadap segala penyakit (fisik maupun sosial) dan ketidakadilan dalam skala luas, diinginkan dapat menerima kerahiman dan kerahmanian Allah sebagaimana diperlihatkan dengan nyata dan efektif oleh Yesus dari Nazareth pada masa kehidupannya dulu di Tanah Israel.

Kata kerja diakoneō, yang diterjemahkan sebagai ‘melayani’, sebenarnya berarti turun mendatangi orang-orang yang butuh pertolongan supaya mereka dapat ambil bagian, berpartisipasi, di dalam sifat-sifat rahimi dan rahmani Allah, khususnya sifat-sifat Allah yang diperlihatkan kepada orang-orang yang miskin dan rentan mengalami perlakuan semena-mena dan tidak adil dari orang-orang yang berkuasa mengatur kehidupan orang lain. Jadi, diakonia itu tak terpisah dari koinonia, dari persekutuan atau kebersamaan antar insan yang berasal dari berbagai macam latarbelakang, yang diikat menjadi satu bukan oleh sebuah agama, tetapi oleh pengalaman bersama, pengalaman menerima kerahiman dan kemurahan Allah. 

Nah, diakonia dilakukan gereja minimal dalam tiga bentuk. Pertama, pelayanan karitatif (amal) lewat, misalnya, pemberian sembako kepada penduduk miskin di suatu kawasan, pemberian sumbangan sejumlah kecil uang, pakaian dan mainan bekas ke panti-panti asuhan, vaksinasi gratis terhadap anak-anak penduduk kawasan-kawasan kumuh, pasar sangat  murah untuk penduduk miskin yang tinggal di sekitar lokasi gereja, sampai ke balai-balai pengobatan sangat murah untuk warga miskin dalam gereja maupun yang berada di luar gereja, dan lain sebagainya.

Kedua, pelayanan vokasional, yakni kegiatan mendidik, menyekolahkan dan melatih para pengangguran dan orang miskin agar mereka memiliki bekal pengetahuan praktis dan keahlian yang dapat membuat mereka menjalani vokasi/panggilan sebagai pekerja-pekerja yang dapat dipercaya dan terampil dalam masyarakat, untuk menghasilkan pendapatan buat kehidupan mereka sendiri minimal, sehingga tidak menjadi parasit yang tak disukai orang lain. Filsafat moral yang dijalankan dalam kegiatan ini adalah: Jangan beri orang miskin ikan, tetapi berilah mereka kail supaya mereka dapat menangkap ikan sendiri, dan jangan lupa sediakan juga empang atau kolam atau danau untuk mereka dapat mengail atau menjala sendiri!

Tentu banyak gereja membuka sekolah-sekolah atau universitas-universitas Kristen yang dapat juga dimasuki oleh orang-orang non-Kristen sebagai siswa/i atau mahasiswa/i.

Kita sudah tahu, sekolah-sekolah dan universitas-universitas semacam ini tunduk pada peraturan pemerintah yang melarang pemanfaatan secara langsung institusi pendidikan umum yang berlatarbelakang agama tertentu untuk kegiatan penyiaran agama kepada orang yang tidak menganut kepercayaan yang melandasi pendirian institusi ini. Kalaupun pemerintah tidak mengaturnya, sangat jarang institusi pendidikan semacam ini akan memakai kegiatan belajar-mengajar sebagai kesempatan mengkristenkan peserta didik yang non-Kristen, berhubung mereka juga menyadari dan paham betul bagaimana perasaan dan reaksi masyarakat non-Kristen terhadap mereka jika institusi pendidikan yang mereka bangun, ketahuan dibangun untuk kegiatan kristenisasi.

Biasanya juga, sangat jarang seorang Muslim mau masuk ke institusi-institusi pendidikan Kristen; kalaupun ada yang mau masuk, biasanya institusi ini akan meminta orangtua peserta didik yang Muslim ini untuk menandatangani sebuah pernyataan bahwa anaknya tidak dilarang untuk mengikuti pelajaran agama Kristen; atau jika orangtuanya berkeberatan, sekolah dapat memberi alternatif untuk si peserta didik mengikuti mata pelajaran agama Islam di sebuah sekolah lain supaya pada rapornya nanti dapat ditulis berapa nilai mata pelajaran agamanya. Ini persoalan sebenarnya: nilai mata pelajaran agama di rapor harus diisi!

Masih dalam bentuk diakonia yang kedua, gereja Kristen juga membuka pusat-pusat pendidikan dan pelatihan bagi orang miskin dan pengangguran, dan juga panti-panti asuhan, yang pada awalnya, ketika belum diganggu oleh kalangan lain yang non-Kristen, banyak diminati mereka, tetapi akhirnya harus ditutup karena tuduhan bahwa diakonia jenis ini dijalankan untuk mengkristenkan penduduk miskin dan pengangguran yang kebanyakan adalah Muslim.

Sebetulnya, semua bentuk diakonia tidak boleh menjadi sarana pengkristenan orang non-Kristen, sebab yang menjadi tujuan satu-satunya diakonia gereja adalah membuat orang miskin dan pengangguran dan kalangan lain yang rentan menerima perlakuan tidak adil dan tak memiliki kesempatan untuk maju sama sekali, mendapat bagian atau berpartisipasi di dalam kerahiman dan kerahmanian Allah, sehingga mereka bisa merasakan bagaimana rupa dan wujud kerahiman, kerahmanian dan kemurahan Allah, dengan nyata dan mengesankan, perasaan yang dapat membangkitkan harga diri dan respek dalam diri mereka.

Tentu saja masih akan selalu ada orang Kristen yang memanfaatkan diakonia gereja untuk mengkristenkan orang-orang yang dilayani, secara diam-diam dan berharap-harap, atau dengan terang-terangan. Penulis mau tegaskan, orang Kristen yang semacam ini salah sama sekali; mereka tidak tahu apa arti sebenarnya diakonia. Jika saya menemukan orang-orang Kristen yang semacam ini, saya selalu menegur mereka dengan tegas!

Karena kesalahan pemahaman orang Kristen yang semacam inilah, akhirnya diakonia gereja sekarang ini dicurigai dan dinilai banyak Muslim sebagai kegiatan amal yang ujung-ujungnya adalah kegiatan pengkristenan. Hal yang patut disayangkan, karena sebenarnya banyak juga orang Kristen yang menjalankan diakonia tanpa pamrih apapun, selain untuk membahagiakan orang-orang yang mereka layani. Kalaupun menginginkan orang lain berbahagia adalah suatu pamrih, ini adalah pamrih yang luhur dan universal, yang bisa diterima dengan rela dan senang oleh semua orang!

Bagaimana kaum Muslim menyikapi dua bentuk diakonia ini? Pertama, cek langsung ke orang-orang, gereja-gereja, atau yayasan-yayasan Kristen, yang mengadakan dua kegiatan diakonia ini, khususnya yang diadakan di kawasan Muslim, apakah mereka bertujuan melakukan pengkristenan kaum Muslim atau tidak. Kedua, jika mereka menjamin (sebaiknya tertulis) bahwa misi mereka bukan kristenisasi sama sekali, percayalah kepada mereka, dan dukung dengan ikhlas, dan jika perlu juga dengan dana, kegiatan-kegiatan diakonia mereka. Tetapi jika mereka ragu-ragu atau sama sekali tidak bisa memberi jaminan, jangan dukung mereka; dan kalau pusat kegiatan mereka ada di kawasan mayoritas Muslim, mintalah mereka dengan baik-baik untuk memindahkan lokasi kegiatan mereka.

Bentuk diakonia yang ketiga adalah diakonia advokatif, diadakan khusus untuk melakukan pendampingan dan pembelaan atas orang-orang miskin jika mereka terlibat atau berhadapan dengan masalah-masalah hukum, yang timbul karena perlakuan-perlakuan tidak adil dan sewenang-wenang yang mereka alami dari para pengusaha, penguasa atau kalangan lain yang tampak mampu menentukan nasib mereka tanpa bisa mereka lawan sendirian. Umumnya pelayanan diakonia advokatif ini tidak langsung ditangani gereja, melainkan lewat yayasan-yayasan bantuan hukum yang didirikan warga gereja, bukan oleh lembaga gereja. Selain itu, karena advokasi perlu membentuk persepsi masyarakat dengan disengaja dan terencana, dan memobilisasi banyak orang untuk mendukung aksi advokasi, gereja-gereja biasanya banyak yang enggan untuk membuka diakonia advokasi.

Bagaimana sikap Muslim terhadap diakonia advokasi? Jika kalangan Muslim sepakat bahwa orang miskin yang mengalami perlakuan tidak adil harus dibela secara hukum, maka dukunglah atau ikutsertalah dalam diakonia advokatif gereja. Dalam diakonia jenis ini, sama sekali tidak ada tujuan pengkristenan, sebab umumnya advokasi ditujukan kepada banyak warga masyarakat miskin sekaligus, bukan  kepada satu atau dua orang miskin. Dan akan jauh lebih baik, jika aksi advokasi dipikul dan dijalankan secara bersama-sama oleh umat-umat lintasagama. 


(7) Penyebaran agama lewat penerjemahan Alkitab 

Poin ketujuh ini tentu ada kaitannya dengan poin lima mengenai evangelisasi lewat inkulturasi dan kontekstualisasi teologi. Jadi, poin tujuh ini tak memerlukan uraian panjang lagi, tetapi dipisahkan dari poin lima karena ada hal-hal penting yang perlu disoroti terpisah.

Banyak reaksi negatif dari kalangan Muslim terhadap penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa-bahasa lokal atau bahasa-bahasa suku-suku bangsa di Indonesia. Mereka khawatir bahwa lewat Alkitab yang ditulis dalam bahasa-bahasa suku atau bahasa-bahasa lokal akan banyak orang Indonesia, lebih-lebih yang tinggal di kawasan-kawasan pedalaman, menjadi Kristen karena mereka bisa membaca sendiri Alkitab dalam bahasa mereka sendiri, lalu memahaminya dan tertawan oleh beritanya, sehingga akhirnya mereka meninggalkan agama-agama suku mereka, menjadi Kristen.

Ketika mereka sudah menjadi Kristen, mereka dikhawatirkan akan mengubah gaya hidup mereka, mengikuti gaya hidup para penyebar agama Kristen yang tidak sedikit di antaranya adalah orang-orang bule/Barat (yang biasa disebut misionaris), yang rela dan senang masuk ke pedalaman-pedalaman Indonesia dan tinggal si sana bertahun-tahun, mempelajari  kebudayaan mereka, bahasa mereka, antropologi dan psikologi mereka, dan akhirnya mengkristenkan mereka ketika waktunya dipandang sudah tiba, dan panen tinggal dituai./22/

Apakah kekhawatiran kaum Muslim semacam ini dapat dibenarkan? Sama sekali tidak dapat dibenarkan, karena beberapa alasan.

Pertama, jika penerjemahan ke dalam bahasa-bahasa suku dipandang berbahaya, bukankah jauh lebih berbahaya penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa Indonesia, mengingat bahasa Indonesia adalah bahasa nasional yang umumnya dipakai di seluruh provinsi Indonesia bahkan sampai juga ke pedalaman-pedalaman oleh segelintir cerdik pandai yang hidup di sana sejak mereka dilahirkan? Dengan memakai logika Muslim yang sudah digambarkan di atas, bukankah Alkitab dalam bahasa Indonesia bisa membuat seluruh Indonesia jadi Kristen karena umumnya bagian terbesar rakyat Indonesia memakai bahasa Indonesia sebagai bahasa pendidikan dan bahasa pergaulan nasional? Faktanya tidak demikian. Dapat dikatakan sejak 1928, hingga kini, Indonesia adalah negara yang mayoritas penduduknya (85 persen) menganut agama Islam.

Kedua, bahasa suku bangsa apapun, dan di manapun, adalah juga bagian dari kekayaan kebudayaan global yang patut dipelihara dan dipertahankan untuk jangka waktu yang lama. Penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa-bahasa suku dapat dikatakan adalah bagian dari usaha-usaha melestarikan bahasa-bahasa suku yang ada dalam dunia ini, khususnya yang ada di Indonesia. Sangatlah salah jika usaha-usaha kultural yang tepat dan bagus ini dihambat karena ketakutan-ketakutan yang ditimbulkan alasan-alasan keagamaan.

Ketiga, Alkitab meskipun berisi sejumlah pandangan religio-kultural dan moralitas yang harus ditolak (misalnya: pandangan bahwa berperang demi nama Tuhan atau atas perintah Tuhan harus dilakukan apapun risikonya, termasuk keharusan melakukan genosida; praktek atas nama agama mengorbankan anak sulung untuk Tuhan; larangan bergaul lintas agama atau menerima pengaruh dari agama-agama lain; posisi manusia yang dipandang lebih tinggi dari alam dan harus menaklukkan alam; dan lain sebagainya), tetap masih memuat pesan-pesan religio-kultural dan moral (khususnya yang tertulis dalam Perjanjian Baru) yang relevan untuk diperdengarkan dan diketahui suku-suku terasing, misalnya suku-suku terasing yang kanibalis (dulu masih ada di Indonesia, sekarang mungkin sekali sudah tak ada) atau yang masih sering terlibat perang antarsuku dan tak bisa diperdamaikan. Supaya terjadi transformasi kultural dan moral, suku-suku di pedalaman Indonesia perlu memiliki Alkitab yang sudah ditulis dalam bahasa-bahasa suku mereka sendiri-sendiri, supaya mereka dapat membaca dan memahaminya secara langsung sendiri, di bawah bimbingan orang-orang yang kompeten di antara mereka.

Keempat, karena bahasa ibu adalah bagian dari jati diri seseorang, dan mengenal bahasa ibu seseorang dengan demikian adalah mengenal diri orang itu sedalam-dalamnya, maka penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa-bahasa suku adalah suatu tindakan penghargaan yang dalam terhadap jati diri dan martabat mereka. Apakah tindakan yang agung ini harus dihambat dan dihentikan, lagi, karena alasan-alasan persaingan antaragama? Jelas, tidak boleh! Alasan-alasan persaingan antaragama menduduki posisi jauh di bawah alasan penghargaan atas jadi diri dan martabat seseorang.

Jika demikian halnya, maka bagaimana kaum Muslim harus menyikapi penyebaran agama Kristen lewat penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa-bahasa suku?



Alkitab dalam bahasa NTT NA HURATU MATUA

Jelas, kaum Muslim perlu juga menerjemahkan Al-Quran ke dalam bahasa-bahasa suku yang ada di Indonesia, dengan maksud dan tujuan yang bisa serupa dengan maksud dan tujuan Alkitab diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa suku, sebagaimana sudah diuraikan di atas. Mengingat, misalnya, keturunan Tionghoa di Indonesia yang masih berbicara dan  membaca bahasa Mandarin dan berbagai dialeknya yang majemuk, masih banyak, maka supaya Islam makin masuk ke kalangan mereka, Al-Quran juga perlu diterjemahkan oleh para sarjana Muslim Indonesia ke dalam bahasa Mandarin dan dialek-dialeknya untuk dipakai menyiarkan agama Islam ke mereka. Begitu juga, sudah saatnya umat Islam terbuka terhadap fakta bahwa jika pelafalan dan pelantunan ayat-ayat Al-Quran dilakukan lewat langgam-langgam bahasa-bahasa asli yang dipakai berbagai suku bangsa di Indonesia, teks-teks Al-Quran malah akan makin universal dihayati dan makin berakar kuat dan dalam pada tanah berhumus budaya-budaya lokal. Kenapa hal ini harus diributkan dengan sia-sia dan kurang pengetahuan? Saya memuji langkah bagus Ulil Abshar-Abdalla dalam usahanya mengkontekstualisasikan pelantunan teks Surah Maryam Murattal ke dalam budaya Jawa, dengan memakai langgam Jawa (lihat video Youtubenya di sini https://youtu.be/dxbLFHcdG1U, yang diunggahnya 14 Agustus 2014).  

Jadi, bersainglah dengan sehat dan agung dalam usaha menerjemahkan Al-Quran ke dalam bahasa-bahasa suku-suku bangsa yang ada di Indonesia, meskipun usaha ini masih banyak yang menentang karena bahasa Arab Al-Quran (dan kebudayaan Arab pada umumnya) dipandang agung dan tinggi, melampaui bahasa-bahasa lain (dan kebudayaan-kebudayaan lain) apapun dalam dunia ini, suatu sikap mental Muslim yang sangat perlu untuk dievaluasi dengan dingin. Memakai kata-kata Marina Mahathir dalam konteks Islam Malaysia, Arab colonialism”/23/ memang sebuah kendala besar dalam semua usaha mengkontekstualisasikan Islam ke dalam budaya-budaya lokal nusantara.

Inkulturasi teologi masih belum biasa dilakukan di kalangan sarjana teologi Muslim Indonesia sekarang ini, bahkan masih dipandang sebagai kesesatan. Jalan masih panjang buat kaum Muslim Indonesia. Tetapi di depan nanti, Muslim di Indonesia akan bersaing dengan orang Kristen dalam usaha-usaha menerjemahkan Al-Quran ke dalam bahasa-bahasa suku. Kita nanti tak akan heran lagi jika menemukan edisi-edisi Al-Quran dalam berbagai bahasa suku yang ada di Indonesia, karena Islam kontekstual Indonesia akan semakin mengokohkan posisi Islam di negeri ini.

Telah diuraikan di atas tujuh metode penyebaran agama Kristen di Indonesia, serta saran-saran bagaimana seharusnya umat Muslim Indonesia menyikapinya.

Tentu masih ada metode-metode lain yang belum diuraikan di atas, misalnya metode passing over dan coming back./24/ Jika metode ini digunakan, terbatas khususnya oleh para ilmuwan peneliti agama-agama, maka si ilmuwan ini meninggalkan agamanya sendiri, melintasinya, untuk masuk ke dalam agama orang lain, sekian tahun, untuk benar-benar bisa memahami dan merasakan bagaimana menjadi orang beragama lain secara faktual dan empatetis. Setelah itu, dia kembali ke agamanya sendiri, coming back, untuk memperkaya agamanya semula dan membagi pengalamannya selama ber-passing over kepada umatnya, sehingga bukan hanya dirinya, tetapi juga umatnya menjadi warga dua agama, tetapi berdiam di dalam satu rumah agama.

Sikap proaktif terkuat dan paling bertanggungjawab dan bermartabat untuk mencegah pemurtadan di lingkungan Muslim Indonesisa, adalah memperkuat basis akidah, spiritual, moral dan gaya hidup semua Muslim di Indonesia. Jika ini sudah bisa dihasilkan, bisa jadi Muslim di Indonesia akan tampil dengan percaya diri, dan tak mudah curiga, resah dan marah ketika mereka melihat aktivitas penyebaran agama yang dilakukan orang Kristen.

Pada sisi lain, orang Kristen di Indonesia hendaklah menyadari dan paham, bahwa berusaha mengganti agama orang yang sudah beragama dengan agama Kristen adalah sebuah tindakan yang selalu salah jika ditinjau dari sudut apapun. Mengenai hal ini, penulis sudah pernah menulis panjang lebar./25/ Dilihat dari etika pergaulan sosial, niat memproselitisasi orang yang beragama lain adalah suatu niat yang asosial atau anti-sosial, sebab hanya seseorang yang tak bisa menghargai sesamanya yang berlainan agama sebagai sesama manusia yang bermartabat, akan berusaha keras mengonversinya ke dalam agamanya sendiri. Membujuk-bujuk dengan segala cara orang non-Kristen supaya mau menjadi Kristen, sebenarnya bukan suatu tindakan mengagungkan agama sendiri, melainkan suatu tindakan mengerdilkan agama sendiri, yang dipandang kekurangan penganut.

Kalaupun agama apapun perlu terus disebarkan, lakukanlah lewat dialog yang jujur, terbuka, bermartabat dan mencerahkan, dengan hasil bukan pemurtadan atau proselitisasi, melainkan pengayaan timbal balik, mutual enrichment, sehingga yang Kristen menjadi Kristen plus, yang Muslim menjadi Muslim plus, yang Buddhis menjadi Buddhis plus, dan seterusnya. Metode dialog inilah yang pas dijalankan di Indonesia, suatu negara besar yang bisa pecah berantakan jika umat-umat beragama yang berbeda-beda berusaha memperbanyak umat sendiri lewat kegiatan proselitisasi atau pemurtadan. Sayang kan kalau vas bunga indah di rumah anda sampai jatuh pecah berantakan.

oleh Ioanes Rakhmat


Catatan-catatan

/1/ Seperti telah saya lakukan dalam buku kontroversial saya, Membedah Soteriologi Salib: Sebuah Pergulatan Orang Dalam (Semarang: Borobudur Indonesia Publishing, 2010, cetakan kedua diperluas).

/2/ Dalam missiologi Kristen, kegiatan menanam dan menumbuhkan gereja telah menjadi suatu bidang khusus yang dikaji dengan serius, dan ada banyak buku tentang topik ini yang telah ditulis, antara lain Donald Anderson McGavran and C. Peter Wagner, Understanding Church Growth (Grand Rapids: Wm. B. Eerdmans Publishing Co., edisi pertama 1970; edisi ketiga paperback 1990); Gary L. MacIntosh, Biblical Church Growth: How You Can Work with God to Build a Faithful Church (Grand Rapids: Baker Books, 2003); Richard L. Reising, Church Marketing 101: Preparing Your Church for Greater Growth (Grand Rapids: Baker Books, 2006); Nelson Searcy and Jennifer Dykes Henson, Ignite: How to Spark Immediate Growth in Your Church (Grand Rapids: Baker Books, 2009); Billy Hornsby, The Attractional Church: Growth Through a Refreshing, Relational, and Relevant Church Experience (New York: Faith Words, edisi pertama 2011).  

/3/ Tentang kegiatan disciple making, menjadikan orang lain murid Yesus, telah banyak buku ditulis, antara lain LeRoy Eims, The Lost Art of Disciple Making (Grand Rapids, Michigan: Zondervan Publishing House, 1978); Greg Ogden, Transforming Discipleship: Making Disciples a Few at a Time (Downers Grove, IL: InterVarsity Press, 2003); Glenn W. McDonald, The Disciple Making Church: From Dry Bones to Spiritual Vitality (Grand Haven, Michigan: Faith Walk Publishing, 2004, 2007); Sylvia Wilkey Collinson, Making Disciples: The Significance of JesusEducational Methods for Todays Church (Paternoster Theological Monographs, 2005); Sam Rainer, Eric Geiger and Grover Gardner, Simple Church: Returning to Gods Process for Making Disciples (Nashville, Tennessee: B&H Publishing Group, 2006); Aubrey Malphurs, Strategic Disciple Making: A Practical Tool for Successful Ministry (Grand Rapids: Baker Books, 2009).    

/4/ Lihat tulisan saya yang tersedia online di http://ioanesrakhmat.blogspot.com/2011/11/pengalaman-pengalaman-spiritual.html.

/5/ Seorang Muslim dari Afrika Selatan yang ahli debat jenis ini adalah alm. Ahmed Hoosen Deedat (1918-2005), pendiri Islamic Propagation Centre International (IPCI). Deedat sangat bersemangat dalam membela pandangan-pandangan Islam dan dalam melindungi umat Muslim dari praktek-praktek proselitisasi kaum Kristen evangelikal. Banyak topik yang dia perdebatkan dengan para ahli debat sejenis dari kalangan Kristen evangelikal, antara lain mengenai doktrin Tritunggal Kristen (tersedia online di youtube https://www.youtube.com/watch?v=9uF4hoU9HRs) dan mengenai Nabi Muhammad dalam Alkitab (tersedia online 11 seri di youtube http://www.dailymotion.com/video/x3v42v_youtube-muhammed-in-the-bible-ahmed_people).

/6/ Tentang dialog antar-agama, apa hakikatnya, maksud dan tujuannya serta panduan-panduannya sudah banyak ditulis, antara lain David Tracy, Dialogue with the Other: The Inter-Religious Dialogue (Louvain Theological and Pastoral Monographs 1; Louvain/Grand Rapids: Peeters Press/William B. Eerdmans Publishing Co., 1990); Raimon Panikkar, The Intra-Religious Dialogue (Mahwah, New Jersey: Paulist Press, 1999); Francis Xavier Clooney, Comparative Theology: Deep Learning Across Religious Borders (West Sussex: Blackwell Publishing, 2010). Tentang metode dialog dalam konteks demokrasi Amerika, lihat Daniel Yankelovich, The Magic of Dialogue: Transforming Conflict into Cooperation (New York, etc.: Simon and Schuster, 1999); William Isaacs, Dialogue and the Art of Thinking Together (A Currency Book; New York: Doubleday, 1999); Marianne Mille Bojer, Heiko Roehl et al., Mapping Dialogue: Essential Tools for Social Change (A Taos Institute Publication, 2008).

/7/ Buku bagus, yang mengulas sinkretisme secara komprehensif, telah disusun oleh Anita Maria Leopold & Jeppe Sinding Jensen, eds., Syncretism in Religion: A Reader (New York: Routledge, 2005; cetakan pertama 2004). Sinkretisme dalam tiga agama monoteistik Yahudi, Kristen dan Islam telah diperlihatkan oleh Eric Maroney, Religious Syncretism (London: SCM Press, 2006). Perhatikan juga Robert J. Schreiter, Constructing Local Theologies (prawacana oleh Edward Schillebeeckx; Maryknoll, New York: Orbis Books, cetakan pertama 1985; cetakan kedelapan 1999), khususnya bab 7. Ihwal relasi kontekstualisasi dan sinkretisme, telah dikupas oleh Gailyn van Rheenan, ed., Contextualization and Syncretism: Navigating Cultural Currents (William Carey Library Pub., 2006). Tentang aspek-aspek politik dalam sinkretisme, lihat Rosalind Shaw and Charles Stewart, eds., Syncretism/Anti-Syncretism: The Politics of Religious Synthesis (London & New York: Routledge, 1994).

/8/ Dua macam pendekatan inkulturasi ini dijabarkan oleh Volker Küster, Accomodation or Contextualization? Ketut Lansia and Nyoman Darsane Two Balinese Christian Artists, dalam Mission Studies 16 (1999) 157-172. Lihat juga idem, Die Vielen Gesichter Jesu Christi: Christologie Interkulturell (Neukirchen-Vluyn: Neukirchener Verlag, 1999); Ruth Illman, Art and Belief: Artists Engaged in Interreligious Dialogue (Cross Cultural Theologies, 2012) (Equinox Publishing Limited, 2012). 

/9/Tentang kontekstualisasi teologi, telah banyak buku ditulis, antara lain David Jacobus Bosch, Transforming Mission: Paradigm Shifts in Theology of Mission (Maryknoll, New York: Orbis Books, 1991), khususnya bab 3; Stephen B. Bevans and Roger P. Schroeder, Constants in Context: A Theology of Mission for Today (Maryknoll: Orbis Books, 2004) 61-72 [35-72] dan bagian 3. Dalam bagian dua bukunya (hlm. 37-138) yang berjudul Models of Contextual Theology (Maryknoll, New York: Orbis Books, cetakan ketiga 2004), Stephen B. Bevans mengajukan 6 model analitis teologi kontekstual. Kontekstualisasi teologi dari sudut pandang para pemikir teologi evangelikal, lihat A. Scott Moreau, Contextualization in World Missions: Mapping and Assessing Evangelical Models (Kregel Academic and Professional, 2012); David J. Hesselgrave dan Edward Rommen, Contextualization: Meanings, Methods, and Models (William Carey Library Pub., 2003).

/10/ Gustavo Gutiérrez, A Theology of Liberation: History, Politics, and Salvation. Diterjemahkan oleh Sister Caridad Inda dan John Eagleson (Maryknoll, New York: Orbis Books, cetakan ke-13, 2001, cetakan pertama 1973).

/11/ Leonardo Boff, Jesus Christ Liberator: A Critical Christology of Our Time (Maryknoll, New York: Orbis Books, 1978; cetakan ketujuh 1990); idem, Ecclesiogenesis: The Base Communities Reinvent the Church (Maryknoll, New York: Orbis Books, 1986; cetakan kelima 1997).

/12/ Jon Sobrino, Christology at the Crossroad: A Latin American View (Maryknoll, New York: Orbis Books, 1978, cetakan keempat 1987); idem, Spirituality of Liberation: Toward Political Holiness (Maryknoll, New York: Orbis Books, 1988).

/13/ Lihat Stephanie Kirchgaessner dan Jonathan Watts, “Catholic church warms to liberation theology as founder heads to Vatican”, The Guardian, 11 May 2015, pada  http://www.theguardian.com/world/2015/may/11/vatican-new-chapter-liberation-theology-founder-gustavo-gutierrez; lihat juga Nicole Winfield, Pope Francis Rehabilitates Liberation Theology, TPM News, 7 May 2015, pada http://talkingpointsmemo.com/news/pope-francis-liberation-theory-vatican

/14/ Tentang penetapan Óscar Romero sebagai seorang martir GRK dan sebagai seorang santo, lihat reportase Inés San Martin, Pope declares Óscar Romero hero to liberation theology, a martyr, Crux, 3 Febuary 2015, pada http://www.cruxnow.com/church/2015/02/03/pope-declares-oscar-romero-hero-to-liberation-theology-a-martyr/. Lihat juga reportase Devin Watkins, Pope Francis sends letter for the beatification of Óscar Romero, Vatican Radio, 23 May 2015, pada http://en.radiovaticana.va/news/2015/05/23/pope_francis_letter_for_the_beatification_of_%C3%B3scar_romero/1146203

/15/ Bahwa Romero tidak tertarik pada teologi pembebasan sebagaimana dikatakan Msgr. Jesus Delgado, lihat Alvaro de Juana, Archbishop Romero had no interest in Liberation Theology, says secretary, Catholic News Agency, Vatican City, 21 February 2015, pada http://www.catholicnewsagency.com/news/archbishop-romero-had-no-interest-in-liberation-theology-says-secretary-79788/.  

/16/ Kanonisasi adalah pernyataan yang dibuat Gereja-gereja Ortodoks, Ortodoks Timur, Roma Katolik, atau Gereja Anglikan, bahwa seseorang yang telah wafat adalah seorang santo atau santa, yakni orang-orang yang dipandang sangat suci. Pada saat penyataan ini disampaikan, orang yang telah dijadikan santo atau santa itu dimasukkan ke dalam daftar (atau kanon) orang-orang yang sangat suci, yang diakui gereja. Beatafikasi (Latin: “beatus”, artinya “berbahagia” atau “terberkati”; dan kata kerjanya “beatificare”, artinya “membuat berbahagia dan terberkati”) adalah suatu pengakuan yang diberikan GRK kepada seseorang yang telah wafat bahwa orang tersebut sudah terberkati masuk ke sorga dan selanjutnya memiliki kemampuan untuk bertindak demi kebaikan orang-orang lain yang berdoa dengan memanggil nama orang yang telah menjadi santo/santa itu.

/17/ Kanonisasi atas Monsignur Escriva sendiri baru terjadi dalam masa kepemimpinan Paus Yohanes Paulus II, persisnya pada 6 Oktober 2002. Mengenai isi surat Romero yang di dalamnya dia memberi gambaran tentang Opus Dei, selengkapnya lihat Gloria.tv, 2 June 2015, pada http://gloria.tv/media/a8cg2iuDpt4; juga di http://www.josemariaescriva.info/article/letter-to-the-pope-on-escriva27s-death.

/18/ Tentang teologi pembebasan dalam konteks Asia, lihat Aloysius Pieris, An Asian Theology of Liberation (London/New York: T & T Clark International, cetakan pertama 1988; cetak ulang 2004, 2006); Choan-Seng Song, Third-Eye Theology: Theology in Formation in  Asian Settings (Guildford and London: Lutterworth Press, 1980). Lihat juga Michael Amaladoss, Life in Freedom: Liberation Theologies from Asia (Wipf and Stock Publishers, edisi cetak ulang 2010).

/19/ Tulisan saya tentang hal ini tersedia online di http://ioanesrakhmat.blogspot.com/2009/10/pembaruan-pemikiran-dan-kiprah-kristen.html, atau dapat dibaca dalam Elza Peldi Taher (editor), Merayakan Kebebasan Beragama: Bunga Rampai 70 Tahun Djohan Effendi (Jakarta: ICRP dan Kompas, 2009) 570-583. 

/20/ Lihat artikel Steve Siebold, “The Biggest Scam of All: Pastor Creflo Dollar Will Get His USD 65 Million Luxury Jet”, Huffington Post. The Blog, 5 June 2015, pada http://www.huffingtonpost.com/steve-siebold/the-biggest-scam-of-all-p_b_7521170.html.

/21/ Lihat reportase Ray Nothstine, “Kareem Abdul-Jabbar Slams Prosperity Gospel and Creflo Dollar; Says Spiritual Leaders ‘Are Flying the Heavens Like Self-Annointed Angels’”, CP U.S., 15 June 2015, pada http://m.christianpost.com/news/kareem-abdul-jabbar-slams-prosperity-gospel-and-creflo-dollar-says-spiritual-leaders-are-flying-the-heavens-like-self-anointed-angels-140408/. Lihat juga kolom Kareem Abdul-Jabbar, “Prosperity Gospel Is War on the Poor”, Time, 8 June 2015, pada http://time.com/3912366/kareem-abdul-jabbar-prosperity-gospel/

/22/ Tentang missiologi Kristen yang disusun dengan melibatkan ilmu-ilmu sosial, lihat Edward Rommen dan Gary Corwin, eds., Missiology and the Social Sciences: Contributions, Cautions and Conclusions (William Carey Library Pub., 1996); Paul G. Hiebert, Anthropological Insights for Missionaries (Grand Rapids: Baker Academic, 1985); tentang missiologi Kristen dalam perjumpaan dengan budaya-budaya lokal, lihat Don Kulick, Language Shift and Cultural Reproduction: Socialization, Self and Syncretism in a Papua New Guinean Village (Cambridge: The Press Syndicate of the University of Cambridge, 1992; cetak ulang 1995, 1997, 1998, 2002); David Lindenfeld and Miles Richardson, Beyond Conversion and Syncretism: Indigenous Encounters with Missionary Christianity 1800-2000 (Berghahn Books, 2011). Sejumlah biografi para missionaris Kristen telah disusun oleh Ruth A. Tucker, From Jerusalem to Irian Jaya: A Biographical History of Christian Missions (Grand Rapids: Zondervan, 1983, 2004).

/23/ Tentang kolonialisme Arab di Malaysia dan perlawanan Marina Mahathir terhadapnya, lihat: Marina Mahathir: Malaysia undergoing ‘Arab colonialism’ pada http://www.themalaymailonline.com/malaysia/article/marina-mahathir-malaysia-undergoing-arab-colonialism; Marina Mahathir says will leave Malaysia if hudud arrives pada http://www.themalaymailonline.com/malaysia/article/marina-mahathir-says-will-leave-malaysia-if-hudud-arrives, dan Marina: Hudud or not, I’m staying pada http://www.thestar.com.my/News/Nation/2015/05/24/Marina-Hudud-or-not-Im-staying/.

/24/ Frasa “passing over” dan “coming back” berasal dari John S. Dunne. Dalam kata pengantar bukunya, The Way of All the Earth: Experiments in Truth and Religion (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1986), Dunne menulis: “Is a religion coming to birth in our time? It could be. What seems to be occurring is a phenomenon we might call ‘passing over’, passing over from one culture to another, from one way of life to another, from one religion to another. Passing over is a shifting of standpoint, a going over to the standpoint of another culture, another way of life, another religion.” Menurut Dunne, setelah ber-passing over si agamawan melakukan gerak kembali ke agamanya semula: “it is followed by an equal and opposite process we might call ‘coming back’, coming back with new insight to one’s own culture, one’s own way of life, one’s own religion.” Dunne melihat proses ini sebagai sesuatu yang khas berlangsung dalam zaman kita: “Passing over and coming back, it seems is the spiritual adventure of our time.” Lihat juga buku Dunne, A Search for God in Time and Memory (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1987).

/25/ Tulisannya tersedia online di https://www.facebook.com/notes/ioanes-rakhmat-full/memindahkan-orang-ke-agama-sendiri-sebuah-tindakan-yang-tak-dapat-dibenarkan/10150176516849096.