Thursday, June 12, 2014

Mitos tentang Joko Widodo (2)

Aku cinta ibu, dus aku perduli dia!


Tak ada yang salah jika Joko Widodo petugas partai!

by ioanes rakhmat 

Jangan terpojok jika ada pihak sana yang menyindir Joko Widodo itu petugas partai, seolah dengan menjadi petugas partai hancurlah reputasi dirinya. Ini sebetulnya sindiran yang sangat bodoh. Jika bukan penugasan partai, justru JW tidak akan menjadi capres.

Sistem politik dan persepsi rakyat pada masa kini belum memungkinkan ada capres independen, terlepas sama sekali dari parpol. Justru karena penugasan partai, capres JW berada dalam bingkai politik yang sekarang berlaku di RI, dus melegitimasinya secara hukum. Karena UU tidak memungkinkan ada capres independen, ketahuilah banyak petualang politik membangun partai hanya dengan satu tujuan, yakni untuk mengorbitkan dirinya sendiri jadi presiden, dengan mula-mula sebagai batu loncatan menjadi ketua umum partainya. JW tidak termasuk politikus tipe ini! Bukankah ini hal yang hebat?

Tidak ada yang jelek jika PDIP banteng moncong putih menugaskan JW menjadi capres. Reputasi partai ini sudah teruji dalam sejarah sebagai partai anti-kemapanan dan kebusukan rezim Orba. Sejauh akal sehat dan nurani anda masih bekerja, anda tentu tidak ingin rezim Orba dengan segala cara bangkit lagi dari makamnya, bukan? Jadi, bagus sekali jika JW ditugaskan oleh partai semacam ini. Juga harus diingat, JW bukan ditugaskan oleh pribadi Ketua Umum partainya. Karena penugasan partai, JW tidak mungkin menjadi boneka pribadi sang Ketua Umum partainya sekalipun, andaikan, sang Ketum ini sangat mendominasi partainya.

Selain itu Ibu Megawati juga sosok besar dari PDIP, sebab beliau telah berani mengambil keputusan mencalonkan JW, dan bukan dirinya sendiri, sebagai capres. Saya heran sekali, mungkin karena masih mengidap misogini, sekian orang seringkali mencemooh Megawati dengan keras. Jika Megawati tidak bisa membaca peta politik dewasa ini, dia pasti telah mendesakkan dirinya untuk jadi capres dari PDIP. Karena memiliki kecerdasan politis, Megawati tidak memilih dirinya atau anggota keluarganya menjadi capres untuk Pilpres 2014. Setiap orang yang cerdas mampu belajar dan menarik hikmah dari pengalaman-pengalaman masa lalu mereka. Maka itu saya heran, mengapa Megawati yang cerdas ini malah dicemooh, bahkan oleh sekian pendukung JW sendiri.

Sebagai petugas partai, JW memegang trilogi tugas partai yang betul-betul hebat: kedaulatan politik, kemandirian ekonomi, kebudayaan yang berkepribadian. Apa ada yang keliru jika JW memegang dan akan melaksanakan trilogi tugas partai itu? Tidak ada! Malah JW dan partainya hebat! Sebagai petugas partai, jika JW sudah menjadi presiden RI kurun 2014-2019, trilogi tugas partainya akan menjadi bagian integral bahkan esensial dari keseluruhan programnya bagi RI. Trilogi ini menjadi tiga pilar utama bagi tegaknya negara dan bangsa Indonesia. Visi partai yang hebat dan presiden yang bermartabat, akan menjadikan RI negara yang hebat juga!

Martabat JW sebagai pejabat publik sudah teruji bertahun-tahun sejak bertugas sebagai walikota Solo (dua kali masa jabatan) dan gubernur DKI hingga saat ini. Tidak ada seorangpun cukong kapitalis yang telah, dengan uangnya yang banyak, mengorbitkan JW menjadi gubernur DKI. Kita perlu akui, JW bukanlah pelayan publik dan politikus ABG. Bukan anak ingusan yang masih perlu digendong sang enyak. Beliau sudah cukup kawakan di dunia pelayanan publik dan politik. Dus, tidak mungkin dia akan mau menjadi boneka siapapun. Tidak adanya politik transaksional saat PDIP membangun koalisi, juga sebuah nilai tambah yang besar buat kredibilitas JW sebagai sosok politikus yang percaya diri dan mampu mandiri.

Banyak orang dengan tanpa memakai logika mencemooh JW sebagai pengkhianat penduduk DKI karena telah meninggalkan posisinya sebagai gubernur DKI sebelum masa jabatannya berakhir, lalu menjadi capres pilihan partainya, PDIP. Mereka menuduh JW ambisius kebangetan. Sayangnya mereka sengaja melupakan fakta bahwa JW menjadi capres karena penugasan partainya, dan berulangkali beliau pernah menyatakan tidak pernah berpikir sebelumnya kalau beliau akhirnya menjadi capres dari PDIP. Sosok JW adalah sosok yang tidak haus kekuasaan sama sekali. Kedudukan politis dipandangnya sebagai kesempatan melayani rakyat, bukan melayani dirinya sendiri dan agenda-agenda tersembunyinya. JW blusukan bukanlah sebuah pencitraan murahan dirinya, tapi sebuah bentuk pelayanan dan persahabatannya dengan rakyat kebanyakan. Rakyat yang tulus dan berhati bersih tahu apa makna sejati blusukan Pak JW.

Sebagaimana umumnya dengan setiap cemoohan, cemoohan terhadap JW ini salah logika. Justru jika sudah menjadi presiden sebagai kepala pemerintahan posisi politik JW nanti akan berada di atas semua kepala daerah, termasuk gubernur DKI. Cemoohan itu juga salah logika, sebab Jakarta adalah bagian dari NKRI yang dikepalai oleh presiden RI, tidak berada di luar NKRI, dan bukan sebuah negara kecil di dalam negara besar NKRI. Hanya orang yang bermental separatis akan berpikir provinsi DKI tidak akan bisa lagi diurus oleh JW jika beliau sudah jadi presiden. Kita semua tahu, bagi PDIP bentuk NKRI, UUD 45 serta Pancasila dan “bhinneka tunggal ika” sudah final, tidak bisa ditawar-tawar lagi! Sebagai petugas partai sekaligus presiden NKRI, JW nanti pasti akan mempertahankan komitmen PDIP pada keutuhan NKRI, UUD 45, Pancasila dan kebhinnekaan.

Jadi sejauh sudah diargumentasikan di atas, tidak ada dikotomi atau dualisme antara JW sebagai petugas partai dan capres yang akan kelak menjadi kepala negara dan kepala pemerintahan RI. Malah jika JW nanti bisa memperlihatkan kenegarawanannya sebagai seorang presiden RI, prestasinya ini akan berdampak besar pada PDIP. Gerak pendulum pengaruh akan bisa berbalik. Bisa diprediksi, ketimbang JW menjadi boneka Ketum PDIP dan petugas partai yang membuta, JW nanti akan membentuk ulang watak esensial PDIP!

Kalau terdengar beberapa kali Megawati menasihati JW, JW sebagai seorang yang cinta ibu pasti akan dengan rendah hati perduli pada nasihat ini. Megawati bukankah Megawati jika beliau tidak bisa melihat di mana batas-batas wewenang seorang petugas partai dan seorang presiden RI. JW juga bukanlah JW jika dia tidak bisa menghormati seorang ibu. Sejauh anda masih punya akal sehat dan nurani yang fungsional, tentu anda akan tidak respek pada JW jika beliau bersikap kurang ajar terhadap Ibu Megawati, bukan?

JW juga bukanlah JW jika dia nanti tidak bisa melihat di mana wewenangnya sebagai presiden atas DKI dan di mana wewenang gubernur DKI. Dalam bentuk NKRI, bukan konfrontasi tapi dialog yang akan dijalankan JW jika dia sudah jadi presiden NKRI dengan semua kepala daerah. Pendek kata, hanya orang separatis yang tidak mampu berlogika yang akan terus mencemooh JW sebagai gubernur yang berkhianat pada penduduk DKI. Bukan pengkhianatan, tapi kepedulian yang lebih besar jika kini JW, atas penugasan partai, menjadi capres dengan dia melepaskan tugas-tugasnya sebagai gubernur DKI.

Jadi, mempertentangkan fungsi JW sebagai petugas partai dan sebagai capres adalah sebuah mitos yang harus dibuang, karena mitos ini sangat menyesatkan! Hidup JW! Hidup PDIP! Hormat pada Megawati!

Mungkin untuk menepis anggapan orang bahwa Jokowi tunduk pada Ibu Megawati, dalam kata-kata penutup dalam debat capres 15 Juni 2014, Jokowi menyatakan ini: Kami akan bekerja siang malam untuk baktikan diri bagi berjuta-juta rakyat, hanya tunduk pada Konstitusi dan rakyat. Salam 2 jari!

Makin jelas bukan di mana posisi Pak Joko Widodo.