Wednesday, June 4, 2014

Daud melawan Goliath !!!

Daud versus Goliath!


Dengan resminya Partai Demokrat memihak ke Koalisi Merah-Putih (diumumkan 30 Juni 2014) yang dipimpin Partai Gerindra dan pasangan Prabowo-Hatta Rajasa, langsung saja kelihatan bahwa sekarang ini kompetisi politis pasangan JKW-JK versus pasangan Prabhara adalah bak kompetisi Daud melawan Goliath. Daud si penggembala domba bertubuh sangat kecil, memiliki hanya sebuah katapel, dan dia maju dengan gagah berani untuk bertempur dengan Goliath si raksasa yang dilengkapi dengan baju besi perang. 


Anda tahu kisahnya ya, dan bagaimana si kecil Daud mampu mengalahkan si raksasa Goliath. Tetapi itu kisah, yang faktanya kini sudah mustahil diverifikasi atau difalsifikasi. Bagaimanapun juga, kisah ini, entah faktual atau fiktif, telah memberi banyak tenaga, kekuatan, motivasi dan keberanian bagi banyak orang yang sedang berjuang. Kisah heroisme Daud ini, setelah disekularisasi radikal, mampu membangun kepercayaan diri yang besar di kalangan orang kecil saat mereka harus menghadapi hal-hal besar dan berat.

Jurnalis yang berbasis di New York, penulis buku terkenal The Tipping Point: How Little Things Can Make a Big Difference (2000), Malcolm Gladwell, menegaskan bahwa raksasa-raksasa itu kondisinya tidaklah seperti yang kita pikirkan. Sifat-sifat yang tampak memberi mereka kekuatan ternyata kerap kali adalah sifat-sifat yang menjadi sumber semua kelemahan besar mereka.” Pengamat politik dari Universitas Indonesia, Boni Hargens, baru saja menyatakan bahwa dengan bergabungnya Partai Demokrat ke kubu Prabowo, makin bertambah bukti yang memperlihatkan bahwa kubu ini adalah tempat berkumpulnya partai-partai politik yang sarat dengan masalah, khususnya masalah korupsi. Kubu ini besar dalam jumlah, tetapi sangat lemah secara moral. Bukan hanya itu. Seperti baru saja telah juga dinyatakan pengamat politik dari UI, Irwansyah, dalam berkampanye kubu Prabowo telah dan sedang dan akan menghalalkan segala cara. Dus, bagi dua ilmuwan UI ini, kubu ini memang tidak bermoral.
 
Kalau misalnya anda menyaksikan pertempuran yang tidak seimbang secara fisik antara Daud dan Goliath, tentu saja anda harus memihak. Memihak ke siapa? Nah ajaklah semua orang yang berhati baik dan jujur untuk memutuskan ke mana kita harus memihak. Pakailah pengetahuan objektif (tentang rekam jejak para kandidat dan kondisi negara), akal sehat, hati nurani dan martabat diri, dalam kita memutuskan ke mana harus memihak. Hanya dengan memakai empat sarana evaluatif ini, keputusan anda tidak akan lahir dari fanatisme buta. Fanatisme buta lazimnya dilandaskan pada dengkul dan pentung. Anda tidak boleh ke situ. Dapatkanlah juga inspirasi dari ucapan Gladwell di atas. Gunakanlah tenaga besar si raksasa justru untuk mengalahkannya!

Pak Jokowi, bak Daud, belum lama ini menyatakan bahwa dia siap bertarung menghadapi koalisi gemuk. Ini videonya http://youtu.be/Dj62zRDqOXA

Jika anda ragu, apakah harus bersikap netral, atau malah harus memihak, saya mencoba meyakinkan anda bahwa dalam politik tidak ada netralitas,
No neutrality in politics!”  Resapi uraian saya berikut ini. 


Saat anda melihat seorang petinju berbadan besar sedang memukuli seorang anak kecil, anda tidak bisa berdiri pasif menonton saja, dengan dalih anda ingin netral. Sejauh anda seorang yang sehat jasmaniah dan rohaniah, anda harus memihak ke si anak, harus menolongnya, dan melawan si petinju, dengan mempertaruhkan nyawa anda sendiri. Jika anda bersikap netral, dan hanya melihat saja kebrutalan ini, itu berarti anda memihak si petinju keji itu dan mendukungnya untuk membunuh si anak. Pada dasarnya hal ini berarti anda sama dengan si pembunuh.

Renungkan ucapan ini, “Tragedi terburuk bukanlah penindasan dan kekejian orang jahat, tetapi didiamkannya hal itu oleh orang baik” (Marthin Luther King, Jr. [1929-1968]).


Juga ini, “Jika dalam suatu situasi ketidakadilan anda bersikap netral, maka anda telah memutuskan untuk berpihak pada si penindas. Jika seekor gajah menginjak buntut seekor tikus, dan anda berkata bahwa anda netral, sang tikus tidak akan menghargai sikap netral anda. (Desmond Tutu)

Begitu juga dalam dunia politik. Dalam politik anda sebagai orang yang baik harus memihak, tidak bisa netral. Saya memihak kejujuran, kebenaran, keadilan, integritas dan martabat. Politik saya politik cinta kasih. Cinta dalam konteks dunia politik adalah cinta yang kritis, bukan syahwat hewani yang tak terkontrol.


Saat anda melihat dan merasakan begitu kuatnya politik kebencian dan kebohongan dijalankan di negeri ini sampai-sampai para pembela politik cinta kasih dan kejujuran terdesak dan menjadi korban-korban tak bersalah, anda tidak bisa berdiri netral. Anda harus memihak, membela dan mendukung para pembela politik cinta kasih dan kejujuran.


Mungkin sekali anda mau menegaskan bahwa politik itu urusan duniawi, yang tidak boleh dimasuki oleh orang-orang yang mengklaim diri sudah menjadi bagian dari kerajaan rohani, kerajaan Allah. Ajaran ini masih banyak ditemukan dalam gereja-gereja evangelikal, sebagai contoh. Tetapi, benarkah ajaran ini? Seandainya pun ajaran ini benar, faktanya adalah tidak ada seorangpun dari warga gereja yang bisa seratus persen tidak terlibat dalam urusan politik. Anda mempunyai KTP saja sudah menjadi satu bukti bahwa anda ikut dalam urusan negara mengatur penduduknya, urusan politik demografis dan kependudukan. Apakah anda tidak butuh KTP? Bahkan untuk bisa memenuhi tuntutan agama anda, misalnya untuk bisa pergi ke suatu sidang gereja-gereja sedunia di luar negeri, anda butuh paspor yang dikeluarkan oleh negara anda. Atau mungkin anda ingin sekali bisa melihat kota Bethlehem, konon kota tempat kelahiran Yesus Kristus. Untuk keinginan anda ini bisa terwujud, anda perlu punya paspor RI. Jadi, ajaran itu salah, karena tidak bisa diterapkan dengan konsekwen.


Selain salah, ajaran semacam itu juga buruk dan bahkan sakit. Mengapa? Ajaran itu seharusnya membuat anda tidak mau menjalankan kewajiban anda sebagai warganegara RI yang sehat dan bertanggungjawab. Sementara kerajaan Allah yang anda klaim di dalamnya anda tercatat sebagai warganya tidaklah real, fakta yang sudah pasti adalah anda warganegara RI. Kenyataannya adalah anda tunduk pada hukum-hukum yang berlaku dalam negara RI. Jika anda tidak mau tunduk pada hukum-hukum RI, anda pasti sudah lama mengalami banyak persoalan buruk hidup di negeri ini. Ajaran ini juga sakit, karena pasti akan membuat anda sakit jika anda menjalankannya: anda sakit secara mental (karena anda terdelusi sedang hidup di luar dunia real) dan secara sosial (karena anda tidak mau menjalankan norma-norma sosial dan norma-norma hukum yang dijalankan orang lain).

Saya ajak anda untuk juga merenungkan dalam-dalam apa yang dikatakan pujangga dan dramawan Jerman yang terkenal Bertolt Brecht (1898-1956) bahwa “buta terburuk adalah buta politik. Orang yang semacam ini tidak mendengar apapun, tidak melihat apapun, tidak mengatakan apapun, dan tidak berpartisipasi dalam kehidupan politik. Tampaknya dia tidak tahu bahwa biaya hidup, harga kacang-kacangan, harga ikan, harga terigu, besarnya biaya sewa, harga sepatu dan obat-obatan, semuanya bergantung pada keputusan-keputusan politik. Dia bahkan membanggakan kebodohan politisnya dan dengan membusungkan dada berkoar bahwa dia membenci politik. Si pandir ini tidak tahu bahwa dari keengganannya berpolitik lahir para pelacur, anak terlantar, dan para perampok yang terburuk: para politikus busuk dan korup, dan antek-antek perusahaan-perusahaan multinasional yang mengeruk habis kekayaan negara.” 

Semoga anda melihat kebenaran dari apa yang dikatakan Bertolt Brecht itu. Politik menyelubungi kehidupan masyarakat dan kehidupan anda pribadi. Tidak mungkin anda bisa real terlepas sama sekali dari politik. Kalau anda tidak mau ambil bagian sebagai warganegara dalam politik, lebih mungkin dunia ini menjadi lebih buruk, dan setidaknya anda ikut andil dalam kondisi dunia yang memburuk ini.

Ada benarnya jika banyak orang menyatakan bahwa politik itu kotor dan keji. Tetapi tidak selamanya begitu. Politik bisa bersih dan bermartabat, bergantung siapa yang menjalankan mesin-mesin politiknya. Di tangan pemimpin tidak bermoral dan tidak bermartabat, maka politik akan pasti kotor dan keji. Di bawah pemimpin yang bermoral dan bermartabat, politik akan dibenahi sampai mencapai kondisi politik bermoral dan bermartabat. Membenahi mental manusia akan akhirnya melahirkan manusia-manusia berkualitas yang dapat memperbaiki sistem politik yang ada, yang sebelumnya sudah penuh dengan kebusukan.  

Semoga anda bisa dengan cerdas mempertimbangkan semua hal yang sudah dikemukakan di atas. Semoga anda sekarang jadi yakin bahwa anda harus ambil bagian dalam politik. Jika demikian, mari kita maju bersama, ambil bagian dalam kehidupan politik bangsa kita, kendatipun kita harus berat mendaki. Kita harus memihak. Selain itu, mari juga kita bersama-sama merumuskan kembali ajaran-ajaran agama-agama kita. Mari kita hasilkan ajaran-ajaran agama alternatif, yang membuat kita dapat cerdas menjalankan tugas dan tanggungjawab kita baik sebagai umat beragama maupun sebagai warganegara. Jika ini kita lakukan, kita telah berbuat baik untuk negeri kita.  

Selamat berbuat baik!


Baca juga:
Boni Hargens: Dengan resminya PD mendukung kubu Prabowo, semakin tampak jelas kubu ini tempat berkumpulnya partai-partai bermasalah

Irwansyah: Kubu Prabowo halalkan segala cara dalam usaha memenangkan Prabowo