Sunday, July 22, 2012

Isu Puluhan Ribu Muslim Rohingya Di Burma Sedang Dibantai: Di Mana Posisi Saya?

“Aku tidak membuka mulut bukan karena kalkulasi politis. Aku membisu karena di pihak manapun aku berdiri, darah akan tetap tumpah lebih banyak lagi. Jika aku berbicara demi HAM, para Muslim Rohingya hanya akan menderita. Akan lebih banyak darah yang tertumpah.”  (Aung San Suu Kyi, 4 Desember 2012)

*** update terbaru Kamis, 12 Oktober 2017
*** Versi pertama tulisan ini dipublikasi 22 Juli 2012



Surat terbuka 

Saya sudah mengirim sebuah surat terbuka (dalam bahasa Inggris) kepada Ms. Aung San Suu Kyi, 22 May 2015, yang kini sudah dibaca ratusan orang, dan sudah saya munculkan di Facebook Aung San Suu Kyi sendiri. Teman-teman ateis juga sudah saya ajak untuk ikut sebarkan surat terbuka saya ini. Ini link ke suratnya http://ioanesrakhmat.blogspot.com/2015/05/my-open-short-letter-to-ms-aung-san-suu.html. Kalau anda tidak bisa memahami bahasa Inggris, saya sudah buat versi bahasa Indonesia surat tersebut; ini link-nya http://ioanesrakhmat.blogspot.com/2015/05/aung-san-suu-kyi-mana-kata-katamu-kini.html.

Rasanya, surat saya tersebut sudah tidak relevan lagi sekarang ini lantaran di tahun 2016 telah dibentuk organisasi gerliyawan Muslim pemberontak yang diberi nama Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) yang bertujuan mendirikan negara Islam di Negara Bagian Arakan, Myanmar. Tentang ARSA, saya beberkan lebih jauh di bagian akhir tulisan panjang saya ini yang secara berkala saya mutakhirkan. 

Mari sekarang kita masuk ke berbagai berita dan meme dari berbagai medsos akhir-akhir ini, 2012.


Penyebaran hoax

Di sebuah Facebook, foto di bawah ini muncul dengan keterangan “Seorang Muslim dibakar di Burma dan wartawan-wartawan memotretnya alih-alih menyelamatkannya.” Keterangan ini HOAX (klik fotonya, perbesar, dan baca komentarnya). Foto ini adalah foto seorang aktivis Tibet, bernama Jamphel Yeshi, yang membakar dirinya sendiri sebagai wujud protes selama demo menentang Presiden China Hu Jintao menjelang kedatangannya ke ibukota India, Delhi. Foto asli tersedia online di http://www.ibtimes.com/articles/320319/20120327/tibetan-activist-fire-protest-chinese-president-photos.htm

Bisa jadi, umat Muslim sukar atau malah tidak bisa memahami tradisi heroik Buddhis bakar diri saat orang-orang Buddhis, termasuk para rahib Buddhis, sedang memperjuangkan hal-hal yang mereka pandang agung dan benar, sebagai sebuah tindakan simbolik yang real dalam menyampaikan pesan-pesan mereka kepada dunia luas. Mereka tidak punya tradisi bom bunuh diri yang diledakkan di saat massa dalam jumlah besar sedang terhimpun.



Di bawah ini foto yang sama, yang dilengkapi dengan sebuah penjelasan konteks historis peristiwa pembakaran diri ini: Tibetan activist and exile Jamphel Yeshi, 27, runs through the streets on fire in protest of the arrival of China’s president, Hu Jintao. Reuters. Kalau keterangan konteks historis ini masih anda tidak percayai, coba pandang tajam-tajam wajah pemuda Jamphel Yeshi ini, temukan apakah ini wajah seorang pemuda Muslim asal Bangladesh, atau wajah seorang pemuda Tibet. 



Berita-berita mutakhir di koran-koran tertentu di Indonesia (Republika, misalnya), bahkan pernyataan penguasa Iran baru-baru ini, tentang pembasmian ribuan sampai puluhan ribu Muslim Rohingya di Burma sekarang ini oleh umat Buddhis di sana, adalah hoax, kibul besar, bulsar, kabar bohong, penipuan keji!

Berita-berita yang dilengkapi dengan foto-foto yang diberi keterangan menyesatkan, tentang apa yang disebut pembantaian Muslim Burma oleh teroris Buddhis, beredar ke mana-mana lewat media sosial Facebook, Twitter, BBM, dan sejumlah blog Muslim, dan surat-surat kabar.

Saya kutipkan sebuah pernyataan yang dimuat dalam sebuah Facebook (http://www.facebook.com/groups/topmuslims/permalink/264705716969023/), berikut ini:

“Lima puluh ribu Muslim dibantai di Burma (Mayanmar) oleh para teroris Buddhis, tapi dunia diam saja. Kaum Muslim dibunuh oleh orang-orang lain dan mereka juga dipersalahkan sebagai para teroris―Di mana kemanusiaan?”

Bahwa berita-berita itu adalah bulsar, sudah ditegaskan oleh sebuah bantahan yang terpasang online di web Skeptical Science (20 Juli 2012), di http://www.skeptical-science.com/religion/massacre-muslims-burma-debunked/. Menjelang akhir bantahan ini, ditulis,  

“Dunia tetap berdiam diri bukan karena mereka tidak peduli sama sekali, tapi karena pembantaian itu memang tidak pernah terjadi. Ada contoh-contoh real genosida, misalnya yang terjadi di bekas negara Yugoslavia, di mana NATO turun tangan menyelamatkan penduduk Muslim, lalu banyak bangsa Eropa menyusul masuk membawa banyak bantuan kemanusiaan. Mereka melakukan ini karena mereka perduli; dan karena para korban adalah manusia-manusia yang sedang dalam kesukaran, maka tak ada seorangpun dari antara para penolong yang mempersoalkan apa yang mereka percayai, mereka hanya membantu saja.”


Mr. Muslim Cool

Bukan hanya ada bantahan mutakhir terpercaya dari web Skeptical Science di atas, ada juga sekian lagi bantahan yang sangat cool dan cerdas. Bantahan dingin dan cerdas, dari seorang Muslim Indonesia, yang saya dengan hormat namakan Mr. Muslim Cool, tersedia online di http://unik-aneh.lintas.me/go/bodrexcaem.blogspot.com/inilah-kumpulan-foto-pembantaian-muslim-di-burma-myanmar-yang-ternyata-hoax/. Di bagian akhir bantahannya, Mr. Muslim Cool menulis, 

“Sebelum menerima sebuah berita maka sebaiknya kita harus melakukan pengecekan terhadap berita tersebut, apakah benar adanya atau tidak, apalagi jika kabar tersebut hanya dari mulut ke mulut atau situs jejaring sosial yang disampaikan secara berantai.”

“Tulisan ini saya buat untuk memberitahukan apa yang sebenarnya terjadi. Membela sesama muslim itu memang penting tapi membela dengan kebohongan yang berujung pada kerusuhan yang tidak berujung juga bukanlah hal yang baik.”

Mr. Muslim Cool ini memakai sumber-sumber autentik terpercaya yang dikumpulkan dari sebuah situs yang dikelola oleh seorang Muslim bernama Faraz Ahmed Siddiqui, di http://farazahmed.com/muslims-killing-in-burma-and-our-social-media-islamic-parties-1010.aspx. Pada bagian akhir bantahannya, Faraz menyatakan,

“Lagi saya mau katakan bahwa kalau saya memasang foto-foto gadungan ini, tidaklah berarti bahwa Muslim tidak dibunuh di Burma. Satu-satunya alasan saya membagi foto-foto itu kepada anda adalah untuk menunjukkan bahwa media sosial dan partai-partai politik sedang memanipulasi foto-foto.”

Selain itu, web yang bernama Pakistan Defence juga memuat bantahan sejenis, tersedia online di http://www.defence.pk/forums/bangladesh-defence/196614-social-media-lying-you-about-burma-s-muslim-cleansing.html. Di bagian akhir bantahan ini, ditulis:

“Saya tidak menyangkali adanya pembunuhan Muslim di Burma; sejenakpun tidak.... Tapi saya tidak mau dibohongi. Bayangkan jumlah kebohongan yang sedang diumpankan kepada anda lewat foto-foto ini. Bagaimana orang bisa dapat mempercayai gambar apapun yang terpasang online di Internet jika manipulasi dan editing yang drastis semacam itu sedang dilakukan untuk memenuhi agenda politik atau agenda pribadi seseorang?.... Foto-foto ini palsu dan hanya membakar kebencian dan prasangka di antara kaum muda kita. Kita perlu lebih waspada dan sadar terhadap kredibilitas dan autentisitas foto-foto yang kita lihat-lihat dan baca-baca. Hanya lewat satu foto palsu saja, kita bisa tergelincir jatuh ke dalam ekstrimisme.”

Nah, jika anda, sebagai umat Muslim, setelah membaca bantahan-bantahan di atas dengan cermat dan memeriksa semua foto yang dipasang, masih tetap yakin bahwa bantahan-bantahan itu semuanya salah, silakan bantah lagi dengan memakai bukti-bukti autentik, bukan memakai prasangka atau bukti-bukti palsu hasil rekayasa.


Tidak ada bukti

Tentu saya juga tahu bahwa sedang terjadi pelanggaran HAM terhadap kaum Muslim di Burma yang menelan sejumlah korban dari antara mereka, dan bahwa Amnesty International juga sudah memberi reaksinya (lihat http://www.amnesty.org/en/news/myanmar-rohingya-abuses-show-human-rights-progress-backtracking-2012-07-19; lihat juga http://www.bbc.co.uk/news/world-asia-18921960), demikian juga New Human Rights Watch Report (lihat http://rohingyathai.blogspot.com/2012/07/new-human-rights-watch-report.html?m=1). 

Tapi saya tak menemukan satu bukti autentik pun bahwa ribuan sampai puluhan ribu Muslim Rohingya di Burma sedang dibasmi tanpa sebab oleh kaum Buddhis di sana secara sepihak, hal yang dikenal sebagai genosida. Sebagaimana kita ketahui, Muslim Rohingya kini berjumlah 1,3 juta orang dan mendiami Negara Bagian Rakhine/Arakan. Menurut PBB, mereka termasuk salah satu kelompok etnis yang teraniaya sekarang ini, di samping misalnya kaum minoritas Muslim Ahmadiyah dan Muslim Syiah di sejumlah negara lain. 

Anda harus tahu, konflik belakangan ini yang menelan sejumlah korban Muslim di Burma pada dasarnya bukan konflik keagamaan, tapi konflik yang timbul karena politik diskriminatif etnis yang dijalankan oleh pemerintah Burma, yang tidak mengakui Muslim Rohingya sebagai warganegara Burma, antara lain karena alasan-alasan kesejarahan tertentu (tentang ini, ada sebuah tulisan pendek yang sangat jelas menggambarkan duduk perkaranya, tersedia online di http://www.rnw.nl/bahasa-indonesia/article/etnis-rohingya-tetap-tidak-diakui-di-myanmar). Konon, mungkin pernah terjadi Muslim Rohingya dibantai dalam jumlah sangat besar, tapi itu pada era Perang Dunia II, bukan sekarang ini.

Jadi, harus dinyatakan bahwa sedang berlangsung kampanye hitam terhadap umat Buddhis Burma lewat berita-berita di Internet yang disebarkan kaum Muslim tertentu dengan memanfaatkan foto-foto peristiwa lain, yang diberi keterangan dan komentar yang sangat menyesatkan. 

Tentu saja, sebagaimana semua umat beragama di dunia ini, umat Buddhis di Burma bukanlah umat yang sudah sempurna. Umat Buddhis di Burma juga bisa terpancing melakukan kekerasan terhadap umat Muslim di sana karena provokasi-provokasi yang dibuat kaum Muslim Rohingya sendiri. 


Bangkitnya Buddhis militan

Yang sedang terjadi di Burma sekarang ini adalah kerusuhan besar antar-etnis, yang menelan korban dari semua pihak yang terlibat, bukan genosida terencana atas Muslim Rohingya oleh umat Buddhis di sana. Tentu saja di negara manapun, jika terjadi kerusuhan besar, kerusuhan ini tidak bisa dilepaskan dari campur tangan pemerintah atau militer, dan juga memerlukan intervensi pemerintah untuk mengakhirinya. 

Reportase The Independent tanggal 25 Juli 2012 (lihat http://www.independent.co.uk/news/world/asia/burmas-monks-call-for-muslim-community-to-be-shunned-7973317.html) dengan jelas menggambarkan bagaimana komunitas Buddhis Burma memberi reaksi yang sangat mengagetkan dunia atas apa yang dipersepsi mereka sebagai “rencana untuk mengeksterminasi kelompok-kelompok etnis lain” yang sedang disiapkan kaum Muslim Rohingya, dan bagaimana pemerkosaan dan pembunuhan atas seorang perempuan Buddhis oleh tiga pemuda Muslim Rohingya telah menimbulkan letupan kekerasan oleh umat Buddhis di sana terhadap kaum Muslim Rohingya, letupan yang muncul dari ketegangan antar-etnis di sana yang sudah berlangsung lama, dan terus melahirkan letupan-letupan lain sambung-menyambung. 

Dalam sikon yang panas dan labil inilah, rasa nasionalisme kebirmaan dengan mudah menyatu dengan berbagai doktrin Buddhisme di negeri Buddhis ini. Dalam konteks inilah muncul Gerakan Nasionalis Buddhis 969 yang dipimpin oleh pemimpin spiritual ultranasionalis Ashin Wirathu, yang berpusat di Mandalay, Burma. Rahib Wirathu dengan kuat mendorong para pengikutnya di sana (berjumlah 2.500 orang) dan 600 rahib yang dipimpinnya untuk menggencet dengan keras komunitas-komunitas Muslim Rohingya dan semua kegiatan bisnis mereka. 

Wirathu dan gerakannya percaya bahwa kaum Muslim Rohingya dan semua Muslim lainnya sedang merencanakan sebuah gerakan untuk menguasai negeri Burma yang nyata-nyata adalah negara Buddhis. Bahkan diberitakan juga bahwa Muslim Rohingya setidaknya telah berencana untuk melepaskan Rohingya dari kekuasaan Burma, lalu mendirikan negara Islam sendiri di situ. Tentu saja Wirathu juga diserang banyak kritik dari kaum Buddhis Burma sendiri, dan pendapat-pendapatnya tentang Muslim Rohingya juga telah diragukan banyak orang. Tentang Ashin Wirathu dan gerakannya, baca lebih jauh di sini http://content.time.com/time/magazine/article/0,9171,2146000,00.html dan juga di sini http://thediplomat.com/2015/01/myanmars-mad-monk-strikes-again/

Saat nasionalisme, patriotisme, politik dan agama menyatu, sebagaimana kita semua tahu, selalu akan muncul para pemimpin spiritual yang radikal. Lagi pula, kita perlu tahu, di Burma kalangan klerus (para rahib) dalam isu-isu tertentu menempati kedudukan lebih tinggi dibandingkan para politikus yang mengurus negara. Karena itu janganlah kita terkejut kalau rahib Wirathu dan para rahib lain yang sejenis juga mendesakkan diri mereka ke muka untuk ikut campur mengurus negara Burma mereka. 

Tetapi, hemat saya, hanya apabila negara Burma sedang berada dalam sikon darurat perang, seluruh umat Buddhis di sana, di negara Buddhis mereka, wajib ambil bagian dengan aktif dalam menjaga, melindungi dan membela negara mereka. Inilah patriotisme dan nasionalisme.

Pertanyaannya: Apakah betul bahwa kini Burma sedang berada dalam sikon darurat perang? Jika ya, siapa musuh negara Burma? Saya tidak tahu jawabannya. 

Tetapi bisa jadi orang akan dipaksa berpikir bahwa betul negara Burma sedang berada dalam sikon darurat perang jika ihwal yang diberitakan dalam sebuah situs Islam wahabi ini benar; ini link-nya http://www.arrahmah.com/news/2013/06/20/mujahidin-rohingya-butuh-personel-mujahidin-dari-indonesia.html

Dinyatakan di situs itu, para pejihad Muslim dari banyak negara di dunia, dan juga dari Indonesia, akan dikerahkan untuk berperang melawan negara Burma demi membela Muslim Rohingya. Hemat saya ini bukan sebuah langkah yang cerdas, sebab hanya akan menimbulkan rasa tidak suka yang lebih dalam lagi kepada Muslim Rohingya di seluruh dunia.

Sebagaimana dikutip dalam Los Angeles Times edisi 24 Mei 2015, Wirathu dengan jelas menyatakan dirinya Islamofobik; katanya, “Telah kubaca Al-Qur'an; tetapi, jujur saja, tidak ada hal apapun di dalamnya yang aku sukai!” Tetapi Wirathu, rahib yang pernah mendekam dalam penjara ini, dengan tegas menolak kalau dirinya dicap Islamofobik; katanya, “Aku bekerja tidak berdasarkan dendam; aku bergerak berdasarkan data. Lihat wajahku jelas-jelas; tidak ada kebencian apapun tampak pada wajahku!” 

Bagi pandangan Buddhis, kelihatan kalau Wirathu menerapkan spiritualitas Nekkhamma (“detachment”), yang membuat setiap Buddhis mengontrol sikap, kelakuan dan tindakan mereka hanya oleh akal, dan hati dan perasaan dicegah untuk ikut campur. 


Tanpa engkau bisa menciptakan kedamaian dalam masyarakatmu, wahai Rahib Wirathu, kedamaian batinmu sesungguhnya palsu!

Tapi hemat saya, sedamai apapun wajah dan batin rahib Wirathu, kalau dia tidak bisa menegakkan kedamaian di luar dirinya, dalam masyarakat, maka kedamaian dalam batinnya itu hanyalah sebuah delusi, sebuah lamunan dan sebuah perasaan yang menipu dirinya sendiri. Ingatlah, sikon mental yang seperti ini dapat muncul dalam diri setiap orang yang memeluk agama apapun!

Anyway, konon, menurut beberapa sumber, kelompok-kelompok garis keras dalam militer Burma diam-diam menopang gerakan Wirathu demi meraih keuntungan-keuntungan besar tertentu dalam Pemilu yang akan datang (awal November 2015) di era pemerintahan kuasi-sipil yang lebih demokratis yang telah mengambilalih kekuasaan dari junta militer di tahun 2011. Situasinya dus tambah pelik. Baca lebih lanjut di http://www.latimes.com/world/asia/la-fg-ff-myanmar-monk-20150524-story.html#page=1.

Hemat saya, rahib Ashin Wirathu bukan saja telah melanggar disiplin etik (Pali: Vinaya) kehidupan monastik Buddhis, tetapi lewat Nekkhamma-nya, dia, dengan eling atau tidak eling, telah membiarkan dirinya diikat lalu menjadi kaki tangan militer garis keras Burma. Ketimbang mengalami pembebasan dan nirvana, hemat saya, Wirathu kini malah sedang diikat dan diperalat kalangan militer hard line Burma dan kalah oleh kekuatan rantai samsara. Sosok Wirathu tentu sangat diperlukan, tetapi hanya apabila negara Burma sedang berada dalam sikon darurat perang. 


Memang separatis!

Kembali saya bertanya, betulkah memang pemerintah Burma sedikit banyak kini sedang memposisikan diri dalam kondisi darurat perang dalam menghadapi Muslim Rohingya? Info-info historis ini yang saya dapat dari Wikipedia atas pertanyaan ini membuat saya makin memahami (tetapi tidak berarti membenarkan) mengapa Muslim Rohingya di Burma harus menderita. 

Ternyata sudah sejak lama Muslim Rohingya memang ingin memisahkan diri dari negara Burma lalu mendirikan negara Islam merdeka sendiri. Dengan kata lain, sudah lama mereka menempatkan diri sebagai kelompok separatis. Di negara manapun di dunia ini, kelompok-kelompok separatis memang ditindas oleh pemerintah pusat. Info historis berikut ini saya peras dari sebuah artikel di Wikipedia. Artikel ini dapat diandalkan karena di dalamnya berbagai kajian sejarah negeri Burma dianalisis dan dievaluasi dengan cermat, apakah objektif non-apologetik ataukah subjektif apologetik. Bacalah selengkapnya di http://en.m.wikipedia.org/wiki/Rohingya_rebellion_in_Western_Burma.
Pemberontakan Muslim Rohingya di Burma Barat adalah suatu konflik bersenjata antara Negara Burma dan minoritas Muslim Rohingya dalam negara itu sejak 1947. Ambisi mereka semula selama gerakan-gerakan Mujahidin (1947-1961) adalah untuk memisahkan kawasan perbatasan Mayu di Arakan yang dihuni Muslim Rohingya dari Burma Barat dan menganeksasi kawasan ini ke dalam negara tetangga Pakistan Timur (sekarang Bangladesh) yang baru dibentuk.  
Pemberontakan ini (1947-1961) terjadi saat Burma diperintah U Nu yang menjalankan demokrasi parlementer, yang tidak memperbolehkan diskriminasi terhadap umat Muslim Burma. Pada era pemerintahan U Nu bahkan sejumlah menterinya yang menduduki posisi-posisi tinggi adalah Muslim.  
Baru pada era pemerintahan Jendral Ne Win (1962-1988) Muslim Burma memang mengalami diskriminasi dan penindasan. Jika begitu, apa yang menjadi penyebab pemberontakan para Mujahidin Burma selama kurun 1947-1961?  
Ada beberapa faktor penyebabnya: dampak Perang Dunia II dan sesudahnya; pembentukan sebuah negara Islam baru, yakni Pakistan Timur, di kawasan tetangga perkampungan-perkampungan Muslim Rohingya di Burma Barat; dan tidak terintegrasinya Muslim Rohingya ke dalam kehidupan masyarakat Burma secara keseluruhan.  
Tidak heran jika dalam kurun Perang Kemerdekaan Bangladesh tahun 1971, kelompok-kelompok Rohingya kembali aktif. 
Belum lama berselang, saat terjadi Huru-hara di Negara Bagian Arakan, kelompok-kelompok militan Muslim Rohingya kembali bertekad untuk membentuk sebuah negara merdeka di bagian utara Arakan. Dalam tahun 2012, para pelarian politik Muslim Rohingya mendeklarasikan pembentukan “Republik Islam Rahmanland”, yang terletak di utara Negara Bagian Rakhine.  
Itu kondisinya. Kalangan Islamis politis bisa diantisipasi akan menolak seluruh fakta sejarah yang saya telah beberkan dalam satu kutipan panjang persis di atas. 

Tentu saja, dalam situasi dan kondisi sekarang ini di Burma, dapat terjadi penyaringan berita oleh pemerintah Burma ke luar Burma. Bantuan-bantuan kemanusiaan pun yang berdatangan dari banyak tempat tidak bisa dengan mudah masuk ke Burma. Bahkan kini sudah dihentikan sama sekali. 

Tapi kampanye hitam kaum Muslim yang sudah saya beberkan pada awal tulisan ini sama sekali tak didukung satu bukti autentik apapun. Juga ingatlah, sekarang dengan teknologi informasi canggih dan modern, juga dengan teknologi drone plus GPS, dan teknologi Internet, nyaris tidak ada informasi dan kejadian apapun yang bisa dikarantina lagi di bagian manapun dunia ini. 

Tanggungjawab kita adalah meneliti dan memeriksa dan menyeleksi semua info yang terbuka di Internet, dan temukan mana yang valid dan mana yang tidak valid, mana yang bulsar dan mana yang menyatakan kebenaran. Demokratisasi informasi adalah sebuah sumbangan agung era modern kepada umat manusia, jika para pelaku demokrasi ini berakhlak agung! 


Kawasan warna jingga: Negara Bagian Rakhine/Arakan

Saya sama sekali tidak anti-Muslim; banyak sekali teman saya yang beragama Islam, dan saya juga menekuni segi-segi tertentu agama Islam. Saya juga tidak sedang membela umat Buddhis di Burma, meskipun saya seorang Tionghoa Indonesia yang dalam dunia kegamaan sedang berusaha menempatkan diri sebagai seorang manusia milik dunia agama-agama.


Menolak jurnalisme hitam

Reaksi saya menyatakan kabar-kabar pembasmian ribuan sampai puluhan ribu Muslim Burma sebagai bulsar didorong bukan oleh kepentingan agama apapun. Saya hanya menolak cara-cara kaum Muslim tertentu dalam menggambarkan apa yang sedang terjadi di Burma atas umat Muslim di sana. Cara-cara jurnalistik hitam dalam menyebarkan berita hoax pembasmian ribuan sampai puluhan ribu Muslim Burma, sangat meresahkan semua pendukung kejujuran.

Jika anda percaya puluhan ribu Muslim Burma sedang dibantai oleh umat Buddhis di sana, saya menunggu bukti-bukti autentiknya. Tunjukkan kepada dunia nama-nama semua korban, lokasi-lokasi penguburan mayat-mayat mereka, DNA masing-masing, dan seterusnya yang bisa dikumpulkan. Jika ada bukti-bukti autentik bahwa puluhan ribu Muslim Rohingya sedang dibantai di sana, maka saya tanpa ragu lagi akan berpihak total kepada umat Muslim di sana.

Sekali lagi, jika anda percaya bahwa puluhan ribu Muslim Rohingya sedang dibantai oleh umat Buddhis di sana, bantahlah kembali dengan jujur semua bantahan yang sudah saya kemukakan di atas.

Saya menunggu bantahan anda dengan memakai bukti-bukti autentik, bukan memakai prasangka dan sentimen keagamaan. Islam itu sudah cukup panjang umurnya, 14 abad; jadi saya percaya Islam juga sudah menghasilkan banyak intelektual yang jujur dan cinta kebenaran. Mr. Muslim Cool yang sudah saya sebut di atas adalah sebuah contoh seorang Muslim Indonesia yang cool, kalem, cerdas, jujur dan proporsional dalam menghadapi dan mengevaluasi isu pembantaian Muslim Rohingya.

Sekali lagi, yang sangat memprihatinkan saya adalah jurnalisme hitam sedang dipakai kaum Muslim tertentu, pasti dengan berbagai tujuan religiopolitik tertentu. Jika umat Muslim lain mau membela umat Muslim Rohingya di Burma, belalah dengan cara-cara yang benar dan jujur, bukan memakai jurnalisme hitam. Jangan menghalalkan segala cara hitam, hanya untuk membela kaum agama sendiri. Pakailah bukti autentik, baru berbicara di pentas dunia dengan jantan dan bermartabat. 


Dr. Tonggo Meaty Fransisca dan Heri Aryanto

Seorang relawan dari Indonesia, Dr. Tonggo Meaty Fransisca, ketua Divisi Relawan MER-C (Medical Emergency Rescue Committee), telah dua kali berhasil mendatangi langsung Negara Bagian Rakhine; kali kedua di tahun 2015 dengan membawa dua unit ambulans, obat-obatan dan uang tunai. Dokter Fransisca telah peduli pada berita-berita tentang genosida atas Muslim Rohingya sejak tahun 2012, saat berita-berita ini santer terdengar dan tersebar ke seluruh penjuru Bumi lewat berbagai media. 

Pada Minggu malam, 31 Mei 2015, kepada Mi’raj Islamic News Agency (MINA), dokter Fransisca menyatakan hal-hal berikut ini (sumber http://mirajnews.com/id/internasional/asia/relawan-merc-tidak-temukan-cerita-pembantaian-di-myanmar/): 
“Yang salah dari pemberitaan media adalah pada 2012 diberitakan banyak Muslim yang telah dibantai dan tergeletak di mana-mana. Tapi saat kami datang ke Myanmar, kami tidak menemukan bukti-buktinya. Memang ada bekas-bekas pembakaran yang tampak jelas: bekas masjid dibakar ada, bekas kuil dibakar juga ada, dan juga rumah-rumah di perkampungan. Bahkan orang-orang Muslim yang ada di Myanmar tidak pernah mendengar berita tentang pembakaran yang meluas.  
Ketika kami masuk, kami tanya yang dibakar di mana, ternyata tidak ada yang dibakar. Itu yang mengatakan orang Rohingya sendiri di dalam kamp. Saya berkesimpulan, ada pihak ketiga yang sengaja menyebarkan berita pembantaian terhadap Muslim Rohingya di Rakhine, Myanmar. Memang ada kamp-kamp, tapi bukan hanya kamp-kamp Muslim, juga kamp-kamp Buddha. Ya, ada perbedaan yang sangat jauh dari segi fasilitas dan kenyamanan di kamp-kamp Buddha jika dibandingkan di kamp-kamp Muslim yang sangat padat dan tidak layak.  
Jika keluarnya Muslim Rohingya dari negeri Myanmar membuat mereka pada akhirnya mendapat simpati dari berbagai negara yang bisa menekan Myanmar untuk memberikan status kewarganegaraan kepada mereka, berarti tindakan mereka sangat tepat.”  
Ya, Bu dokter, kesimpulan Ibu tepat. Memang ada pihak-pihak ketiga yang sedang mengompori kasus Muslim Rohingya ini untuk tujuan-tujuan religiopolitis mereka lewat pembentukan opini publik yang keliru dan berbahaya! 

Tetapi, pada 1 Juni 2015, advokat dan koordinator Advokasi Pengungsi SNH Advocacy Center, Heri Aryanto, menyatakan tidak sependapat dengan dokter Fransisca. Dalam pernyataan-pernyataannya yang juga dimuat dalam Mi’raj Islamic News Agency edisi 2 Juni 2015 (lihat http://mirajnews.com/id/indonesia/advokat-mengaku-terima-bukti-adanya-pembantaian-rohingya/), Aryanto menyatakan bahwa pada saat dia mengadakan penyelidikan di dalam Negara Bagian Rakhine, Meikhtila dan Yangon dalam bulan Mei 2013, dia telah menemukan bukti-bukti bahwa pembantaian memang terjadi atas Muslim Rohingya. Tidak jelas, apakah pembantaian yang dimaksudkannya adalah genosida. 

Dan juga sangat mengherankan bahwa hingga di tahun 2015 ini sang advokat ini, setahu saya, belum menyingkapkan dan membeberkan kepada publik Indonesia apa yang dikatakannya sebagai bukti-bukti adanya pembantaian. 

Seharusnya sang advokat ini sudah lama bisa memperlihatkan kepada publik Indonesia dan dunia bukti-buktinya: kuburan-kuburan massal baru di Burma, mayat-mayat yang dikuburkan, identifikasi mayat-mayat, uji DNA atas mayat-mayat, lokasi-lokasi kuburan-kuburan, saksi-saksi yang disumpah, dan bukti-bukti lain yang valid apapun yang dapat dihimpunnya.

Sementara itu, kita sudah tahu, Jusuf Kalla sebagai ketua umum PMI, yang pernah meninjau Burma secara langsung, pada16 Agustus 2012 menyatakan bahwa hal yang terjadi di Negara Bagian Rakhine, Burma, murni persoalan konflik etnis antara orang Rakhine dan orang Rohingya, bukan konflik agama. Menurutnya, konflik etnis terjadi hanya antara kaum Buddhis dan kaum Muslim Rohingya; umat Islam lainnya (total di Burma, menurut Jusuf Kalla, ada 2,5 juta Muslim) berhubungan baik dengan umat Buddhis Burma, sama sekali tidak berkonflik. Tentang pendapat Jusuf Kalla ini, baca di http://nasional.tempo.co/read/news/2012/08/16/078424065/Kalla-Konfllik-Rohingya-Bukan-Konflik-Agama


Straw Man Fallacy

Sebaiknya juga anda tahu bahwa belakangan ini, karena didorong oleh kepentingan-kepentingan tertentu, ada sejumlah orang yang sudah membuat berbagai definisi baru dan model baru dari apa yang dinamakan genosida. Lalu berbagai definisi dan model baru genosida ciptaan mereka ini, mereka terapkan pada kasus kematian Muslim Rohingya di Burma, lalu mereka menyimpulkan bahwa genosida sudah terjadi atas Muslim Rohingya. 

Hemat saya, ini sebuah langkah lihai dari apa yang, sayangnya, dinamakan Straw Man Fallacy: membangun ide-ide sendiri tentang sesuatu, lalu menyerang ide-idenya itu sendiri! Ibaratnya, anda membangun sebuah orang-orangan dari jerami, lalu orang-orangan jerami ini anda tembaki dengan pistol anda ketika anda sedang berlatih menembak! Fallacy atau cacat nalar semacam ini sebetulnya menunjukkan si pemakainya sedang depresi dan galau berat, dan dia perlu berkatarsis, memuntahkan ludah, isi perut dan unek-uneknya ke wajah orang lain yang dibayang-bayangkannya sendiri.

Saya sendiri berharap kita sebagai warganegara Indonesia (Buddhis dan non-Buddhis), dengan cara-cara yang benar, bisa membantu perjuangan kaum Muslim Rohingya di Burma untuk dapat diakui sebagai warganegara Burma yang memiliki hak-hak sipil yang diakui. 

Tetapi perjuangan kita ini harus jujur dan berpijak pada kebenaran dan fakta, dan dengan kesadaran sejarah yang tinggi, tak bisa dengan cara-cara hitam dan cara-cara yang sangat mempersempit persoalannya hanya sebagai persoalan konflik keagamaan antara umat Muslim dan umat Buddhis di sana. Saya berharap, jika politik diskriminasi etnik terhadap kaum Muslim Rohingya di Burma sudah dihapuskan, hubungan antar komunitas Buddhis dan komunitas Muslim di sana akan bisa harmonis.


Bukan genosida, tapi exodus

Tetapi, jujur saja, saya sangat tidak yakin sekarang ini bahwa harapan saya ini akan terpenuhi. Saya malah yakin bahwa bagaimana pun caranya pemerintah Burma pasti akan lambat laun berhasil membuang seluruh Muslim Rohingya dari negeri Burma sendiri. Jika ini terjadi, tentu saja ini adalah kebijakan politik domestik pemerintah Burma. Ini bukan genosida, melainkan pembuangan sistematis atas Muslim Rohingya dari negeri Burma, alias exodus

Sejauh saya tahu, exodus sudah terjadi berulangkali sebelumnya sejak konflik-konflik terjadi, tetapi beberapa di antarnya gagal sebab para Muslim Rohingya yang telah meninggalkan Burma oleh intervensi PBB dipaksa masuk kembali ke Burma dan diterima kembali oleh pemerintah Burma dengan berat hati. 

Jika exodus Muslim Rohingya bukan kebijakan pemerintah Burma, sangat mungkin exodus ini, dan juga penyebaran hoax tentang genosida atas Muslim Rohingya, adalah bagian dari perencanaan besar pihak-pihak lain untuk membentuk opini dunia. Faktanya, baru saja diberitakan (4 Juni 2015) bahwa militer Burma telah menyelamatkan 700 manusia perahu setelah sekian hari mereka terapung-apung di laut (sumber http://portalkbr.com/internasional/06-2015/myanmar_selamatkan_700_lebih_manusia_perahu/71720.html).

Pihak-pihak ketiga itu tampaknya, dengan positif, mau memaksa pemerintah Burma untuk meninjau ulang perlakuan mereka terhadap Muslim Rohingya sebagai suatu segmen dalam masyarakat yang tidak punya kewarganegaraan, atau opini dunia ini malah akan dipakai mereka, dengan negatif, sebagai sebuah dalih untuk membenarkan pendirian negara merdeka bagi Muslim Rohingya. Tetapi mereka lupa, dunia sekarang ini adalah dunia yang cerdas, bukan dunia yang dungu.

Tidak sedikit tentunya jumlah kaum Muslim Rohingya yang setelah meninggalkan Negara Bagian Arakan akhirnya menjadi korban-korban mafia perdagangan manusia; kisah-kisah kesengsaraan mereka sudah banyak diungkap, antara lain di sini http://www.themalaymailonline.com/what-you-think/article/the-rohingyas-illegal-immigrants-or-victims-of-trafficking-jules-rahma7


Mafia perdagangan manusia

Tetapi sebagaimana diberitakan dalam Aljazeera America, 29 Mei 2015, “para pejabat pemerintah Burma tegas berpendapat bahwa akar masalah krisis manusia-manusia perahu bukanlah perlakuan pemerintah Burma terhadap Muslim Rohingya, melainkan para mafia perdagangan manusia yang korup, yang telah membujuk mereka untuk memakai perahu-perahu mereka dan menjanjikan pekerjaan-pekerjaan yang baik di luar negeri bagi mereka.” Selengkapnya baca di sini http://america.aljazeera.com/articles/2015/5/29/in-myanmar-attacking-the-rohingya-is-good-politics.html

Bisa diperkirakan, dalam tahun 2015 ini manusia-manusia perahu Muslim Rohingya akan semakin banyak terapung-apung di lelautan di kawasan Asia, setelah mereka meninggalkan negeri Burma. Hanya dengan tekanan dunia internasional, kebijakan-kebijakan politik yang langsung atau tidak langsung menimbulkan exodus dan perdagangan manusia, baik dari Myanmar maupun dari Bangladesh, mungkin akan dapat ditinjau ulang oleh pemerintah dua negara ini. Dalam hal ini, saya sebagai individu, apalagi saya bukan seorang politikus, tentu saja tidak bisa berbuat apa-apa yang signifikan.

Tetapi saya teringat Ibu Aung San Suu Kyi. Mungkin dialah kunci utama penyelesaian kasus besar ini. Maka jari-jemari saya pun telah menari-nari di atas keyboard notebook saya, menulis surat terbuka kepada Ms. Suu Kyi dalam bahasa Inggris, mendesaknya untuk segera bertindak dan berbicara untuk menolong manusia-manusia perahu Muslim Rohingya. Hanya dengan bantuan Allah yang mahatinggi, surat terbuka saya ini niscaya akan dibacanya dan berhasil menggerakkan hati dan pikirannya. Insyaallah!

Bisnis empuk jasa perdagangan manusia ada di dalam sebagian isi perahu itu! Wajah memelas tidak otomatis melarat! 

Dari hasil pemantauan saya, sekarang ini terlihat banyak Muslim, dan juga para pegiat HAM, yang mencemooh bahkan mengatai-ngatai Aung San Suu Kyi dengan keras, lantaran, kata mereka, sang Ibu pemenang Hadiah Nobel perdamaian ini ternyata hanya berdiam diri saja ketika berhadapan dengan kondisi buruk Muslim Rohingya. 


Wawancara dengan Aung San Suu Kyi

Untuk mereka yang semacam ini, baiklah saya ketengahkan sebuah cuplikan wawancara terbaru dengannya di bawah ini, dengan didahului sebuah pengantar pendek dari saya. 

Namun, sebelum ke situ, penting untuk diketahui dulu bahwa sejak Maret 2016 sedang beredar sebuah petisi di Internet yang ditulis dalam bahasa Indonesia yang menuntut Hadiah Nobel perdamaian Ms. Suu Kyi dicabut (loh, bisakah?) dengan dalih atau tuduhan bahwa Ms. Suu Kyi rasis. Ms. Suu Kyi menerima anugerah Nobel perdamaian ini tahun 1991 (selain namanya jadi harum, beliau juga menerima uang sebesar 1,3 juta USD).

Orang yang akalnya jalan tentu akan bertanya, apakah kaum Muslim Rohingya menderita karena Nobel Prize yang diterima Aung San Suu Kyi? Lagipula, apakah ada manfaatnya bagi para Muslim Rohingya jika Anugerah Nobel Aung San Suu Kyi (andaikanlah bisa) dicabut sementara orang-orang Muslim Rohingya ini tidak mengalami perubahan keadaan? Sungguh kekanak-kanakan para penggagas petisi itu! Petisi yang, maaf, meaningless!

Saya sudah mempelajari asal-usul tuduhan ini, lalu saya menyimpulkan justru isi petisi itu yang rasis. Respons saya terhadap petisi itu saya telah pasang di Kompasiana; ini link-nya http://www.kompasiana.com/ioanesrakhmat.blogspot.com/betulkah-ms-aung-san-suu-kyi-rasis_56f990d2a523bda30853f263.

Sehabis perkunjungannya ke China beberapa waktu lalu, Ibu Aung San Suu Kyi pada 16 Juni 2015 diwawancara lewat telpon oleh jurnalis The Washington Post, Mr. Fred Hiatt. Ada sejumlah hal yang dibicarakan, misalnya hubungan partai Liga Nasional untuk Demokrasi (National League for Democracy, NLD) yang dipimpinnya dengan RRC, Pemilu Burma yang dijadwalkan November 2015 ini, ekstrimisme keagamaan, hak-hak kaum minoritas, dan hal-hal lain. 

Perhatikan sebagian wawancara berikut ini (selengkapnya, anda bisa baca di sini http://www.washingtonpost.com/opinions/aung-san-suu-kyi-on-the-state-of-democracy-in-burma/2015/06/16/b3bfa124-141c-11e5-89f3-61410da94eb1_story.html). 

Tanya: Mengapa nasionalisme Buddhis kini sedang bangkit? 

Jawab: Aku pikir, kita harus membedakan nasionalisme dan ekstrimisme. Hal yang kami khawatirkan adalah ekstrimisme. Nasionalisme, ketika terkendali dan digunakan dengan cara yang benar, bukanlah suatu hal yang buruk. Yang menjadi masalah adalah ekstrimisme.

Tanya: Apakah sekarang ekstrimisme menjadi sebuah masalah di Burma? 

Jawab: Menurutku, semua ekstrimisme di seluruh dunia, bukan hanya di Burma, di dalam masyarakat manapun, dapat menjadi sebuah masalah.

Tanya: Apa sumber esktrimisme di negeri anda? Kenapa kita sekarang sedang menyaksikannya?

Jawab: Ya, akupun bertanya-tanya. Tetapi tentu saja, jika anda sedang membicarakan negara bagian barat Rakhine, masalah-masalah ini telah berlangsung selama berdekade-dekade. Masalah-masalah ini memang terus membara, dan pemerintah belum bertindak cukup untuk mengurangi ketegangan dan menyingkirkan sumber-sumber konflik.

Tanya: Menurut anda, apakah orang Rohingya harus mendapatkan kewarganegaraan? 

Jawab: Pemerintah Burma kini sedang melakukan verifikasi status kewarganegaraan di bawah UU Kewarganegaraan 1982. Aku pikir, mereka harus melakukannya dengan sangat cepat dan sangat transparan, lalu memutuskan apa langkah-langkah selanjutnya yang harus diambil dalam prosesnya.

Tanya: Apa yang anda akan katakan kepada rekan-rekan anda di luar Burma yang menyatakan bahwa anda harus terus-menerus berbicara tentang kondisi sangat buruk yang sedang dialami orang Rohingya dan minoritas-minoritas lain? 

Jawab: Dalam negara Burma, ada banyak minoritas. Aku selalu mendukung hak-hak kalangan minoritas, perdamaian dan harmoni, dan juga kesetaraan, dan banyak hal lain, yang semuanya termasuk dalam nilai-nilai demokratis yang NLD dan kalangan lain sedang perjuangkan sejak tiga dekade lalu hingga kini. 

Kami sendiri selama bertahun-tahun ini telah mengalami tindakan-tindakan keras pelanggaran HAM, begitu juga kalangan-kalangan lainnya. Banyak sekali dari kalangan minoritas kami yang melawan berhubung hak-hak mereka tidak dilindungi. 

Perlindungan hak-hak kaum minoritas adalah suatu isu yang harus ditangani dengan sangat, sangat hati-hati, dan juga dengan secepat dan seefektif mungkin. 

Aku tidak yakin pemerintah sudah mengambil langkah-langkah yang cukup terhadap isu ini. Sebetulnya, menurutku, mereka belum melakukan hal-hal yang cukup mengenai isu ini.

Tanya: Apa yang anda maksudkan dengan “sangat, sangat hati-hati”?

Jawab: Maksudku hanyalah bahwa itu adalah suatu isu yang sangat sensitif, dan ada sangat banyak kelompok rasial dan keagamaan, sehingga apapun yang kami lakukan terhadap suatu kelompok, akan selalu ada dampaknya pada kelompok-kelompok lain juga. Jadi, situasinya memang sangat rumit, sehingga tidak bisa diselesaikan dalam satu malam saja.

Tanya: Apakah partai-partai ekstrimis merupakan sebuah risiko politis bagi NLD, dan apakah bisa ada satu alasan untuk sentimen semacam itu ditimbulkan dan ditunggangi?  

Jawab: Itu mungkin saja, sebab NLD tidak pernah mendukung ekstrimisme dalam bentuk apapun. Jadi, kelompok-kelompok ekstrimis tidak akan memandang diri mereka sebagai sahabat-sahabat NLD. Jadi, sangatlah mungkin ada suatu motif politis di balik apa yang dinamakan kebangkitan gerakan-gerakan keagamaan.

Nah, saya berharap, kita jadi makin bisa lebih empatetis dalam memahami posisi Aung San Suu Kyi, dan tetap yakin bahwa dia berkomitmen untuk membela dan melindungi hak-hak banyak kaum minoritas Burma yang memang kini banyak dilanggar. Semoga NLD akan menang telak dalam Pemilu November mendatang ini, dan hasilnya tidak akan dianulir oleh militer Burma yang masih belum bisa melepaskan diri dari kekuasaan politik, sementara pemerintah yang sedang berkuasa sekarang menjalankan politik demokrasi semu. 

Semoga Daw Suu dilindungi oleh kekuatan Langit, sehingga seusai Pemilu yang akan datang ini, dia tidak akan dikenakan tahanan rumah lagi, dan demokrasi menang telak di negerinya. Hanya di dalam demokrasi, hak-hak kelompok-kelompok minoritas apapun akan dihargai, dan kewajiban-kewajiban mereka akan juga dapat dijalankan dengan baik.  


Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD)  

Jika Aung San Suu Kyi sekarang gagah-gagahan melawan dengan frontal rezim yang tengah berkuasa dan kekuatan militer yang masih sangat kokoh di baliknya, demokrasi yang Suu Kyi sedang perjuangkan, akan kandas lagi, terkubur makin dalam di tanah Burma.

Hemat saya, Daw Suu sangat cermat membaca peta geopolitik Burma masa kini; dia berwawasan jauh, profesional, cerdas membaca situasi dan kondisi, hanya demi satu hal: kemenangan langgeng demokrasi di negeri Burma. Tidak akan pernah ada orang bodoh yang menerima Anugerah Nobel, tentu saja.

Jadi, buanglah cacian dan sumpah serapah, ganti dengan berkat, doa dan dukungan semangat. Sebarkan energi positif ke dalam masyarakat. Padamkan api cacian dan teduhkan gelegak amarah. Hanya dengan cara ini, dunia akan bisa lebih baik dari saat ke saat. 

Jika anda hanya bisa terus-menerus mencaci orang-orang lain, itu tanda bahwa anda tidak punya kedamaian dalam batin anda sendiri. Jika demikian halnya, bagaimana mungkin anda bisa mendatangkan kedamaian dalam masyarakat anda dan dunia ini? 

Jika anda punya sebuah visi besar untuk menegakkan kedamaian dalam dunia ini, itu sangat bagus. Tetapi supaya realistik, mulailah kedamaian itu dalam batin dan pikiran anda dulu.

Syukurlah, dalam Pemilu bebas pertama yang diadakan di Myanmar, Minggu, 8 November 2015, partai Aung San Suu Kyi, Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), menang mutlak dengan memperoleh total 364 kursi pada kedua parlemen (sementara dibutuhkan 329 kursi untuk menang mutlak). 

Kemenangan ini mengakhiri kekuasaan junta militer yang telah berkuasa setengah abad lamanya. Meskipun NLD menang mutlak, Aung San Suu Kyi oleh Konstitusi Myanmar tidak dimungkinkan untuk menjadi presiden (karena dua anaknya berkewarganegaraan Inggris). Meski demikian, Dauw Suu menegaskan bahwa dia de facto akan berkuasa “melampaui kedudukan presiden”. Sebagai jalan tengah, Suu Kyi ditetapkan sebagai pemimpin de facto Burma dalam kedudukan sebagai state councillor. Sumber berita https://www.theguardian.com/world/2015/nov/13/aung-san-suu-kyi-wins-myanmar-landmark-election

Kita berharap, di bawah kepemimpinan NLD, demokrasi bisa ditegakkan di Burma tanpa diskriminasi SARA. Tetapi, jalan ke situ masih panjang, dan belum tentu Aung San Suu Kyi bisa mewujudkannya, karena konflik-konflik antaretnis di Burma adalah bagian sejarah panjang negara Burma yang tidak akan bisa diselesaikan dalam satu malam oleh satu sosok dewa besar sekalipun. Diskriminasi terhadap Muslim Rohingya mungkin akan masih terjadi terus di masa depan. 


Problem multidimensional

Problemnya tidak hanya problem geopolitik Myanmar atas Rakhine atau Arakan, tapi juga melibatkan berbagai bidang lain seperti ekonomi, sumber-sumber daya alam, keamanan perbatasan negara, supremasi kedaulatan pemerintah, integrasi kaum Muslim Rohingya ke dalam kehidupan sosial budaya Burma secara keseluruhan, penyusupan migran-migran gelap dari negara-negara lain yang berbatasan dengan Myanmar, keadilan sosial ekonomi bagi seluruh penduduk Myanmar, dan keharusan mempertahankan hubungan yang tetap baik dengan pihak militer yang masih sangat kuat dan berkuasa yang kini dikomandoi oleh Jendral Senior Min Aung Hlaing (diangkat 2011).

Ada sementara kalangan yang menyatakan bahwa problem di Arakan/Rakhine yang menimbulkan arus exodus kaum Muslim Rohingya adalah problem UUD: problem yang ujung-ujungnya duit, terkait kompetisi banyak korporat internasional dalam memperebutkan hak pengelolaan dan kepemilikan sumber-sumber daya alam yang konon berlimpah di sana, khususnya korporat-korporat dari RRC.

Pendapat ini naif, karena faktanya problem yang sedang muncul bersifat multidimensional. Lagi pula, adalah hak dan wewenang pemerintah Myanmar untuk membangun kerjasama internasional dengan negara asing manapun dan memilih sistem yang tepat dan menguntungkan Myanmar dalam pengelolaan sumber-sumber daya alam yang potensial terdapat di kawasan Arakan/Rakhine negara Burma. 

Di bawah kepemimpinan de facto Aung San Suu Kyi, saya bisa perkirakan kekayaan sumber-sumber daya alam di Arakan/Rakhine akan dikelola dengan bertanggungjawab bagi pembangunan bangsa dan negara Burma yang demokratis dan multietnik. Dalam konteks ini, adalah suatu penghinaan jika seseorang menyatakan bahwa Aung San Suu Kyi adalah budak Amerika Serikat!

Jadi, sekali lagi, saya ingin menegaskan bahwa ada sejumlah Muslim menjadi korban konflik internal di Burma sekarang ini, dan bahwa Muslim Rohingya sekarang ini hidup sangat, sangat sulit di sana sebagai orang-orang tanpa negara, dibuang ke sana dan ke sini, ditolak di sana dan sini―ini adalah fakta-fakta yang menimbulkan keprihatinan banyak orang. Juga adalah fakta bahwa kelompok-kelompok minoritas lain di Burma juga mengalami banyak hambatan dalam memperoleh hak-hak mereka sebagai minoritas; kelompok Muslim Rohingya hanya salah satunya.


Bangladesh dan Australia

Adalah juga fakta bahwa negara Bangladesh yang penduduknya 90 persen beragama Islam, dan merupakan negara tempat asal Muslim Rohingya, hingga sekarang ini sama sekali tidak mau menampung kaum Muslim Rohingya yang mau pindah ke sana, dan kalaupun ditampung mereka ditempatkan di tenda-tenda di kawasan yang sangat menyedihkan. 

Baru saja, 25 Mei 2015, PM Bangladesh Ms. Sheikh Hasina mengecam keras para migran Rohingya dan Bangladesh yang telah meninggalkan negeri mereka (Bangladesh) lewat jasa makelar perdagangan manusia (dengan membayar tinggi). Kata sang PM, para migran itu sakit jiwa karena memilih meninggalkan negeri sendiri untuk bekerja di negeri-negeri lain (dengan membayar mahal) padahal dalam negeri sendiri tersedia pekerjaan yang lebih baik. Dan lagi, katanya dengan marah, mereka telah mencoreng nama baik Bangladesh. Beritanya masih anyar, terpasang di Sydney Morning Herald 25 May 2015 (ini link-nya http://www.smh.com.au/world/bangladesh-pm-sheikh-hasina-slams-starving-migrants-as-mentally-sick-20150525-gh8ua0.html). Di tahun 2012 dengan tegas PM Hasina menolak para pelarian Muslim Rohingya dari Burma untuk memasuki negeri Bangladesh. 

Dengan mudah kita dapat memperkirakan, manusia-manusia perahu yang belakangan ini sedang terapung-apung di lelautan atau yang sudah terdampar di pantai-pantai di sejumlah negara lain di Asia tidak hanya terdiri atas Muslim Rohingya yang baru meninggalkan Burma, tetapi juga Muslim-muslim lain yang baru meninggalkan Bangladesh. 

Kondisinya memang demikian bahkan sejak tahun 2012, seperti dilaporkan oleh UNHCR, 22 Januari 2013, bahwa “Dalam tahun 2012, sejumlah orang yang diestimasi sekitar 13.000 orang, di antara mereka adalah Muslim Rohingya dari Burma barat, telah meninggalkan Teluk Bengali dengan menggunakan perahu-perahu para penyelundup, dan bersama dengan mereka terdapat juga warganegara Bangladesh” (laporan lengkap UNHCR ada di http://www.unhcr.org/cgi-bin/texis/vtx/search?page=search&docid=50fe9b4f6&query=rohingya). 

Bahwa para pengungsi Rohingya sudah bercampur dengan para pengungsi dari Bangladesh, diberitakan juga di beberapa media Indonesia, antara lain ini http://pribuminews.com/30/05/2015/para-pengungsi-bangladesh-lakukan-pelecehan-seksual-kepada-relawan-wanita-di-aceh/ dan juga ini https://www.islampos.com/pemuda-langsa-pengungsi-bangladesh-perlakukan-relawan-wanita-tidak-senonoh-186555/. Ditemukan bahwa dari antara mereka yang sudah ditampung di Kuala Langsa, Aceh, para pengungsi pria dari Bangladesh suka berbuat tidak senonoh kepada para relawan perempuan

Semua imigran Muslim asal Rohingya yang ditampung di Kuala Langsa ini memilih untuk menetap selamanya di Indonesia, dan tidak mau pulang lagi ke sana karena semua pengalaman buruk mereka di sana selama ini (sumber berita http://www.merdeka.com/peristiwa/pengungsi-rohingya-ogah-pulang-pilih-ingin-jadi-warga-indonesia.html). 

Saya dapatkan info terbaru bahwa pemerintah Indonesia telah memberitahu Australia bahwa kebanyakan migran yang terdampar di pantai-pantai di Asia Tenggara adalah para pekerja ilegal yang meninggalkan Bangladesh, bukan Muslim Rohingya yang ditindas di Burma. Hal ini dikatakan Menteri Luar Negeri Australia Julie Bishop, Sabtu kemarin (23 Mei 2015). 

Lebih dari 3.500 migran telah berenang ke pantai atau diselamatkan saat terdampar di pantai-pantai Malaysia, Indonesia, Thailand dan Bangladesh sejak pemerintah Muangthai membongkar perdagangan manusia awal Mei ini sehingga perdagangan gelap ini menjadi kacaubalau. Sejumlah kuburan massal telah ditemukan di kawasan-kawasan perbatasan beberapa negara Asia Tenggara (antara lain di Thailand selatan), yang berisi mayat-mayat Muslim Bangladesh yang tewas saat mereka sedang disiapkan untuk diselundupkan ke luar negeri mereka oleh mafia-mafia perdagangan manusia. 

Menteri Bishop menyatakan ke koran Australia, The Weekend Australian, bahwa diestimasi hanya ada 30 sampai 40 persen dari ribuan orang yang terdampar adalah Muslim Rohingya, yang berasal dari komunitas-komunitas Muslim miskin di bagian barat Negara Bagian Rakhine, Burma. Info selengkapnya baca di sini http://www.abs-cbnnews.com/global-filipino/world/05/23/15/indonesia-believes-most-migrants-sea-not-rohingya-australia.

Berkaitan dengan para manusia perahu Muslim Rohingya, PM Australia, Tony Abbott, 21 Mei 2015, menegaskan bahwa pemerintah Australia tidak akan menampung para pengungsi Rohingya manapun. 

Abbott memperingatkan bahwa para pencari suaka politik yang memakai perahu tidak akan diberikan kehidupan baru di suatu negara Barat. “Tidak, tidak, tidak!”, kata Abbott kepada para wartawan saat ditanya apakah Australia akan memberikan tempat penampungan kepada ribuan Muslim Rohingya yang terdampar di pantai-pantai negeri-negeri Asia Tenggara, yang datang dari Burma dan Bangladesh. Katanya lebih lanjut, 
“Kami tidak akan melakukan hal apapun yang akan mendorong orang menjadi manusia perahu. Hal sekecil apapun yang kami lakukan, yang mendorong orang untuk mengungsi lewat perahu-perahu, akan membuat masalahnya jadi memburuk, bukan membaik. Peran kami adalah melakukan hal apapun yang perlu untuk dengan cara-cara yang manusiawi menyetop penyelundupan manusia. Hal terbaik yang harus dilakukan adalah menyatakan dengan sejelas-jelasnya bahwa jika anda menumpang sebuah perahu yang bocor, anda tidak akan mendapatkan hal yang anda kehendaki, yakni suatu kehidupan baru di sebuah negara Barat.” 
Baca sepenuhnya di http://abcnews.go.com/International/wireStory/latest-rohingya-indonesia-malaysia-migrants-31166986

Rupanya pemerintah Australia memang sudah tahu bahwa umumnya para manusia perahu Muslim Rohingya memilih meminta suaka politik pada negara Australia. 

Saat ditanya VOA-Islam di tahun 2012 kenapa pemerintah Indonesia tidak memberi suaka politik kepada pengungsi Muslim Rohingya yang sempat transit di Aceh dan Lampung, K.H. Muhyidin Junaidi (Ketua MUI Pusat bidang luar negeri) menyatakan bahwa “pada umumnya, pengungsi Muslim Rohingya minta suaka ke negara Australia dan negara New Zealand, sedangkan Indonesia hanya dijadikan tempat transit saja. Namun demikian, pemerintah Indonesia harus menghormati dan melayani mereka dengan baik.” Lebih jauh tentang ini, bacalah ini http://www.voa-islam.com/read/indonesiana/2012/07/26/20009/muslim-rohingya-dibantai-pendekar-ham-di-republik-ini-kenapa-bungkam/#sthash.vmDLcGgG.dpbs


Amerika, Saudi Arabia, dan Indonesia

Departemen Biro Kependudukan, Pengungsi dan Migrasi Amerika Serikat menyatakan bahwa pemerintah Amerika Serikat telah menerima masuk para pengungsi Muslim Rohingya sejumlah 54 orang di tahun fiskal 2010, lalu meningkat mencapai 1.129 orang di tahun fiskal 2015. Selama lima tahun terakhir, Amerika telah menerima mereka total 2.613 orang. Data ini dimuat dalam Aljazeera America 29 Mei 2015 (sumber http://america.aljazeera.com/articles/2015/5/29/in-myanmar-attacking-the-rohingya-is-good-politics.html).

Dari kalangan Muslim dan non-Muslim, saya tahu, banyak yang bertanya-tanya, mengapa mereka tidak meminta suaka politik ke Arab Saudi saja, sebuah negara sesama Muslim yang sangat kaya. Mengapa mereka malah meminta suaka ke negara-negara yang mereka sendiri kategorikan negara-negara kafir? 

Sebaiknya mereka yang bertanya demikian tahu bahwa negara-negara Barat yang menerima mereka tidak memandang mereka sebagai Muslim-muslim, tetapi sebagai manusia-manusia yang memang perlu ditolong. Bukan agama, tetapi kemanusiaan, itu fondasi dasar kebaikan hati negara-negara Barat dalam kasus ini. Saya sendiri berpendapat, dibandingkan kemanusiaan, persaudaraan global antarmanusia itu lebih real sebagai dasar etis untuk kita bersama saling menolong dan saling membangun. 

Oh ya, ihwal mengapa orang Muslim Rohingya yang meninggalkan Myanmar tidak mencari dan meminta suaka politik ke Arab Saudi dan negara-negara teokratis Islam di Timteng, kita sudah tahu jawabannya.

Sementara itu, di Indonesia, Ketua MPR, Zulkifli Hasan, melarang pemerintah RI untuk memberikan sebuah pulau kepada para pengungsi Muslim Rohingya. Alasannya: Jika sebuah pulau diberi kepada mereka, maka akan tidak terbendung nantinya arus pengungsi Rohingya memasuki Indonesia. Dengan larangan ini, ditutuplah wacana yang sebelumnya sudah dihembuskan (oleh sosok-sosok di MUI) untuk memberikan sebuah pulau kepada mereka. Baca lebih jauh di http://nasional.tempo.co/read/news/2015/05/29/078670449/zulkifli-hasan-larang-pemerintah-beri-pulau-ke-pengungsi-rohingya


Memberi kewarganegaraan RI?

Senada dengan Zulkifli Hasan, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Prof. Hikmahanto Juwana menegaskan bahwa ide sejumlah pihak untuk mengganti kewarganegaraan etnis Rohingya menjadi WNI bisa saja membawa dampak lain bagi Indonesia, meski pun pemerintah bermaksud baik menolong warga Rohingya. Bila mereka dijadikan warga Indonesia, bisa jadi akan ada eksodus besar-besaran masyarakat Rohingya. Selain itu, Indonesia bisa saja berubah menjadi negara tujuan transit bagi para pengungsi lainnya. Orang-orang  yang tadinya masih di Myanmar bisa jadi akan datang ke Indonesia. 

Menerima warga asing untuk menjadi warga negara di tengah-tengah masih banyak warga miskin di negeri sendiri bukanlah hal yang mudah. Kecemburuan sosial bisa muncul berikut berbagai konsekuensi lainnya. Ini dikhawatirkan akan menimbulkan dampak lain berupa diskriminasi terhadap warga asli Indonesia. Hikmahanto juga mengingatkan, Indonesia bukanlah peserta dari Konvensi tentang Pengungsi 1951. Dengan begitu, tidak ada kewajiban RI untuk menerima warga Rohingya sebagai warga negara baru (sumber berita http://m.jpnn.com/news.php?id=305778). 

Hal-hal yang baru saja saya ungkap di beberapa alinea persis di atas semuanya fakta! Tapi berita yang dilengkapi foto-foto aspal bahwa puluhan ribu (bahkan beritanya kini sudah berkembang menjadi ratusan ribu) Muslim Rohingya sedang dibantai di Burma oleh orang-orang Buddhis di sana, bukanlah fakta tapi fiksi dan mitos! Saya heran, lebih banyak Muslim yang memilih percaya pada fiksi dan mitos, ketimbang mencari kebenaran dan fakta! Entah apa penyebabnya.

Ada seseorang di Twitter beberapa jam lalu menanggapi saya dengan menyatakan bahwa dia akan membela jika ada 1 orang Muslim dibunuh di Burma, tak menunggu sampai puluhan ribu. Saya sangat salut dengan rasa kemanusiaan dan solidaritasnya ini; tapi saya telah meminta dia untuk membela dulu umat Ahmadiyah dan umat Syiah di negerinya sendiri, yang sering ditindas bahkan dibunuh oleh sesama Muslim lain aliran. Jangan sampai bakteri di seberang benua kelihatan, dinosaurus di pelupuk mata tak nampak. Mau terkenal di dunia antarbangsa, tetapi kerdil di dalam negara sendiri!


ISIS kok diabaikan?

Selain itu, kita juga tahu ISIS kini sedang membantai sangat banyak orang, sesama Muslim (lelaki, perempuan dan anak-anak), di sejumlah negara di Timur Tengah. Kita tahu, para Muslim yang dengan membuta sedang membela Muslim Rohingya sama sekali tidak bisa melihat bahwa ISIS-lah yang sebetulnya sedang melakukan genosida secara bertahap, terhadap sesama Muslim. Hal ini, bagi saya, tidak mengherankan sama sekali. Juga tidaklah mengherankan jika perlakuan brutal ISIS terhadap kaum ibu dan anak-anak perempuan Muslim dibiarkan saja oleh mereka. Kita sudah tahu jawabannya!  

Wakil khusus PBB yang menangani kasus-kasus kekerasan seksual dalam konflik-konflik yang diprakarsai ISIS, Ms. Zainab Bangura, menyatakan bahwa ISIS “melembagakan kekerasan seksual. Memperlakukan dengan brutal kaum ibu dan anak-anak perempuan adalah bagian esensial ideologi mereka” (tentang ini lihat http://www.washingtonpost.com/blogs/worldviews/wp/2015/05/22/islamic-state-burned-a-woman-alive-for-not-engaging-in-an-extreme-sex-act-u-n-official-says/). 

Sejumlah analis memandang ISIS sebagai “a mass death cult fired by an intoxicating vision of Islamic purity”, suatu sekte pemuja kematian massal yang disemangati oleh suatu visi yang memabukkan tentang kemurnian Islam (baca di sini https://barbadosunderground.wordpress.com/2015/04/22/isis-irrationality-unexplained/; juga di sini http://mickhartley.typepad.com/blog/2015/02/a-mass-death-cult.html; dan di sini http://www.theguardian.com/world/2014/sep/30/tony-abbott-intensifies-rhetoric-about-isis-calling-it-an-apocalyptic-death-cult). 

Kemurnian agama itu beda dari kemurnian suatu logam mulia. Makin murni sebatang logam mulia, makin berharga dan makin mahal harganya. Sebaliknya, agama-agama yang mau dimurnikan malah kehilangan cahaya, berubah menjadi akar dan sarang persoalan-persoalan besar dan gelap di dunia modern!

Untuk menutupi impotensi mereka terhadap ISIS, tidak sedikit apologet Muslim dari berbagai belahan dunia, terkait ISIS, menyatakan bahwa ISIS adalah boneka buatan USA dan NATO untuk merongrong dan menjatuhkan Islam dari dalam! Siapa yang tidak keleyengan mendengar jawaban ini?! Hanya para apologet Muslim yang membiarkan dirinya dimabuk teori-teori konspirasi akan menjawab demikian. Tentu ada keterlibatan Barat dalam nyaris semua perkara politik dan militer dalam dunia kita dewasa ini. 

Tetapi hanya bangsa dan negara yang bodoh dan tidak punya visi besar kenegarawanan masa depan negeri sendiri yang akan mudah diobok-obok Barat. Jika mau melawan Barat, senjatanya sama sekali bukan agama-agama kuno, tetapi sains-teks modern, ekonomi negeri sendiri yang kuat, kesatuan nasional, dan pemerintahan demokratis yang bersih, kuat dan bermartabat dan berwawasan jauh ke depan, dan kecerdasan rakyat! 

Strategi playing the victim hanya akan menjerumuskan lebih dalam kalangan-kalangan Muslim yang tidak cerdas dan tidak mau mereformasi diri ke dalam jurang kejatuhan mereka. Bagaimanapun juga, mereka tetap saudara-saudara saya dalam kemanusiaan!

Kebodohan mereka ya juga kebodohan saya; tapi kecerdasan saya juga perlu jadi kecerdasan mereka. Dari kebodohan, kita jadi bisa belajar dan tahu bahwa kebodohan yang dipelihara akan terus tumbuh dan membiakkan kebodohan yang tanpa batas. Dari kecerdasan, kita dapat belajar untuk makin cerdas bahkan melesat jauh lebih cerdas dibandingkan para jenius yang sudah mengajar kita. 


Tujuan tulisan ini

Itulah semua penjelasan saya tentang di mana posisi saya berada sehubungan dengan berita hoax bahwa ribuan sampai puluhan ribu Muslim Rohingya kini sedang dibantai umat Buddhis di Burma.

Penjelasan ini saya tulis dan saya pasang online di Internet hanya dengan satu maksud, yakni untuk mencegah umat Muslim Indonesia, khsususnya kaum mudanya, terpengaruh oleh berita-berita bohong yang sangat dibesar-besarkan yang dilengkapi dengan foto-foto aspal yang beredar lewat berbagai jejaring media sosial, yang dapat memotivasi mereka untuk tanpa berpikir panjang melakukan tindakan-tindakan ekstrim terhadap umat Buddhis Indonesia, yang tak melakukan satu kesalahan apapun terhadap umat Muslim Rohingya di Burma. 

Tapi saya juga tidak menyangkal bahwa umat Muslim Rohingya di Burma sekarang ini telah banyak menjadi korban dalam konflik internal antara komunitas Muslim dan komunitas Buddhis di sana, konflik yang berakar dalam pada politik diskriminasi etnis pemerintah Burma terhadap kaum Muslim Rohingya di sana, yang semuanya oleh penguasa militer Jendral Ne Win pada 15 Oktober 1982 lewat UU Kewarganegaraan Burma dinyatakan stateless, tidak memiliki negara. 

Baiklah saya kutipkan dari Facebook saya reply saya (26 Mei 2015) kepada seseorang yang sedang dimabuk cinta buta kepada Muslim Rohingya. 
“Bagi orang yang sedang dibutakan oleh cinta buta, ya tidak ada kesalahan dan kekurangan apapun pada Muslim Rohingya yang kini banyak yang sedang meninggalkan Burma dan menjadi manusia-manusia perahu lewat jasa-jasa perdagangan manusia. Mereka telah menjadi malaikat-malaikat suci tanpa noda dan dosa, sedangkan kaum Buddhis Burma telah menjadi setan-setan penuh noda dan dosa. Karena cinta buta inilah, tulisan saya yang dingin ini dilihatnya sebagai tulisan yang salah secara logis. Tidak aneh bin ajaib.”
Apapun juga, mari kita memandang ke depan. Atas nama kemanusiaan dan persaudaraan semesta sesama manusia, sudah saatnya kita semua, dan juga Ibu Aung San Suu Kyi, ikut menolong kaum Muslim Rohingya yang kini menjadi manusia-manusia perahu dan sebagian sudah terdampar di pantai-pantai negara-negara lain. Apapun hal yang baik yang anda bisa lakukan, sekecil apapun, lakukanlah dengan syukur. 


Peran umat-umat beragama lain

Kita bersama pemerintah RI dapat melakukan banyak hal yang baik terhadap para pengungsi Muslim Rohingya yang sudah terdampar di Indonesia. 

Sebagaimana baru saja, Selasa 26 Mei 2015, dikatakan Menag Lukman Hakim Saifuddin, pemerintah Indonesia sudah memiliki sikap yang jelas terhadap mereka: anak-anak kecil yang sudah kehilangan kedua orangtua mereka dimasukkan ke pesantren-pesantren untuk menerima pendidikan dan pengasuhan; orang-orang dewasa atas nama kemanusiaan disantuni oleh negara untuk sementara waktu sampai nanti mereka harus meninggalkan Indonesia lagi. Jalan keluar definitif untuk orang dewasa Muslim Rohingya yang sudah terdampar di Indonesia akan dibahas dan diambil bersama-sama negara-negara ASEAN lainnya, termasuk Burma dan Bangladesh, dan juga PBB. Lebih lanjut baca beritanya di http://beritaintrik.com/read/pesantren-siap-tampung-anak-rohingya.html#sthash.dLd7kTjn.dpbs

Hemat saya, umat-umat beragama lain juga, atas nama kemanusiaan dan persaudaraan global, dapat ambil bagian dalam usaha-usaha ini, lewat kerjasama antarumat dan dengan pemerintah. 

Gayung bersambut! Umat Buddhis Sulsel, lewat koordinasi FKUB, berencana akan memberi bantuan kepada para pengungsi Rohingya dalam tiga bentuk. Pertama, mengusahakan pemberangkatan mereka untuk memperoleh suaka ke negara ketiga. Kedua, mendesak pemerintah Burma untuk mengakhiri konflik berdarah yang membuat kelompok minoritas itu kabur meninggalkan negara mereka. Atau, ketiga, para pengungsi Rohingya dibiarkan tinggal di Indonesia. Selanjutnya baca di http://nasional.tempo.co/read/news/2015/06/01/058671133/umat-buddha-indonesia-bantu-rohingya-ini-3-opsinya. Semoga saja, niat baik umat Buddhis Sulsel ini tidak disalahpahami pihak-pihak tertentu.

Belakangan kita tahu, sejumlah pengungsi Muslim Rohingya telah ditampung di sebuah wilayah Sulsel. Kehadiran mereka di sana ternyata telah menimbulkan rasa tidak senang yang meluas. Para pengungsi Muslim Rohingya ini menuntut kebutuhan makan mereka dipenuhi menurut standard UNHCR, bahkan mereka berani turun ke jalan untuk demo. 


Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA)

Sayang seribu kali sayang! Kondisi yang tidak menguntungkan terjadi Oktober 2016 ketika para Muslim Rohingya ekstrimis bergabung membentuk suatu kelompok pemberontak yang mereka beri nama Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) sebagai sekelompok gerilyawan pemberontak terhadap pemerintah Myanmar yang bergerak di pegunungan Yo dan hutan-hutan yang berbatasan dengan Bangladesh. Menurut International Crisis group, ARSA tidak lain adalah kelanjutan dari Rohingya Solidarity Organization (RSO) yang didirikan menyusul kerusuhan etnis di Rakhine State tahun 2012. ARSA sebelumnya menamakan diri Harakah al-Yakin, atau Gerakan Para Mukmin.

Tujuan ARSA adalah mendirikan Negara Islam di Arakan. Mereka menyatakan bahwa mereka tidak akan menyerah sampai tujuan mereka tercapai. Organisasi militer pemberontak ini memiliki hubungan dengan sejumlah tokoh di Arab Saudi dan Pakistan. Selain itu, ARSA juga didukung sejumlah ulama di India. Mereka juga menjalankan pelatihan militer terhadap banyak Muslim Rohingya yang berdiam di kawasan-kawasan perbatasan dengan Bangladesh dengan melibatkan petempur-petempur dari Afghanistan dan Pakistan. ARSA didirikan dan dipimpin oleh Ata Ullah, seorang Muslim Rohingya, yang lahir di Karachi, Pakistan, dan dibesarkan di Mekkah, Arab Saudi. Info lebih jauh tentang ARSA tersedia di https://en.m.wikipedia.org/wiki/Arakan_Rohingya_Salvation_Army.

Kelompok-kelompok Muslim ekstrimis Rohingya telah berulangkali melakukan serangan-serangan terorganisir terhadap pos-pos polisi Burma yang dibangun di kawasan-kawasan perbatasan (Okt 2016; 15 Nov 2016; 22 Juni 2017). Serangan oleh 150 gerilyawan ARSA terhadap 30 pos polisi dan 1 markas tentara di kawasan perbatasan Myanmar di Rakhine, Myanmar utara, terjadi lagi Jumat, 25 Agustus 2017. 

Gerilyawan Muslim Rohingya ini, yang sekarang digolongkan sebagai para teroris Bengali oleh pemerintah Myanmar, membawa senjata dan bahan-bahan peledak rakitan sendiri; dan mereka berhasil merebut sejumlah senjata, sementara 77 orang dari para gerilyawan ini tewas. Di pihak Burma sendiri, 32 orang tewas dengan di antaranya 12 personil keamanan. Sumber berita http://internasional.kompas.com/read/2017/08/25/16035591/gerilyawan-rohingya-serang-pos-polisi-myanmar-32-orang-tewas.

Ketika suatu pemerintah dan aparat keamanan dan militer negara manapun di dunia diserang oleh gerakan-gerakan bersenjata yang mereka golongkan sebagai teroris dan pemberontak, penumpasan habis-habisan gerakan teroris pemberontak ini tidak akan bisa dibendung. Personil militer itu, di negara manapun, dididik, diajar, dilatih dan diideologisasi untuk sampai titik darah penghabisan membela dan mempertahankan bangsa dan negara mereka dan pemerintah yang sah, dari segala bentuk rongrongan dan ancaman yang akan menghancurkan jika didiamkan. 

Dengan pengetahuan kita mengenai strategi perang para ekstrimis Muslim di Timteng, kita dapat mengantisipasi dengan rasa prihatin yang dalam bahwa ARSA juga akan menjadikan kanak-kanak dan perempuan Muslim Rohingya (dan tentu saja juga orang Burma non-Muslim yang tinggal di kawasan konflik), dan juga kawasan pedesaan padat penduduk, sebagai tameng para penempur lelaki ARSA di kawasan-kawasan konflik bersenjata. Siapapun juga yang masih memiliki nurani, tidak menginginkan hal ini terjadi.

Di akhir September 2017 ini sekitar 30.000 warga Hindu dan Buddhis di Rakhine telah melapor ke kantor berita AFP bahwa mereka diteror oleh milisi ARSA. Selain itu, sebagaimana diberitakan oleh BBC, Senin, 25 September 2017, otoritas militer Burma menyatakan telah ditemukan sebuah kuburan massal baru (yang mengeluarkan bau busuk) di desa Ye Baw Kya yang berlokasi dekat komunitas Muslim dan Hindu di Rakhine utara. Di dalam kuburan itu terdapat mayat 20 perempuan dan 8 laki-laki (termasuk 6 anak di bawah usia 10 tahun) yang semuanya warga Hindu. Menurut pihak militer Burma, mereka semua dibunuh oleh ARSA. Sumber berita http://internasional.kompas.com/read/2017/09/25/10571851/ditemukan-kuburan-massal-di-rakhine-terbanyak-jenazah-perempuan.


Serangan balasan militer Burma

Menyusul serangan kelompok teroris ARSA 25 Agustus 2017 terhadap 30 pos polisi dan 1 basis angkatan bersenjata Myanmar, militer Myanmar (dalam hal ini, Tatmadaw, tentara nasional Burma, yang lebih profesional dibandingkan tentara lokal negara bagian) kini sedang melakukan serangan balasan dan pembersihan massif. Aksi pembersihan oleh militer Burma ini mengakibatkan sekitar 290.000 hingga 300.000 Muslim Rohingya telah lari ke kawasan perbatasan sebelah dalam Bangladesh.

Selama dua minggu terakhir ini, ribuan rumah telah dibakar habis, dan berlusin-lusin desa telah dirobohkan. Militer Bangladesh bergabung dengan Tatmadaw dalam aksi militer pembersihan ini. Menurut militer Burma, sedikitnya ada 10 organisasi Mujahidin dan jaringan ISIS Laut Andaman yang berafiliasi dengan ARSA. 

Selain itu, 30.000 warga sipil non-Muslim telah diungsikan ke wilayah lain. Mereka semula berdiam di wilayah Maungdaw, Rakhine, Myanmar. Mereka etnik bumiputera buddhis Daingnet di desa Yankar Zedi. Diberitakan, dari antara mereka, kanak-kanak dan perempuan, telah banyak yang dibunuh oleh kelompok teroris ARSA yang dibantu para migran Muslim Bangladesh yang sudah dilatih ARSA.

Yang bikin orang prihatin, bukan hanya angka-angka jumlah manusia itu yang telah terdislokasi, tetapi juga sudah ditemukan bahwa ada orang-orang yang masuk ke Rakhine di bawah bendera PBB ternyata juga mendukung para pemberontak ARSA. Alhasil, PBB pun mengevakuasi staf-stafnya yang tidak penting di sana.

Sumber berita https://www.reuters.com/article/us-myanmar-rohingya/red-cross-fills-u-n-void-in-myanmars-violence-torn-region-idUSKCN1BK07T.



India dan Myanmar

Pada 6 September 2017, di Istana Kepresidenan Myanmar, di ibu kota Naypyitaw, pemimpin de facto Myanmar, Aung San Suu Kyi, mengadakan pertemuan kenegaraan dengan PM India, Narendra Modi, untuk membicarakan sejumlah hal, antara lain tentang kerjasama ekonomi dan pengelolaan sumber-sumber daya alam, dalam rangka mengimbangi pengaruh RRC di kawasan regional. Setelah itu, mereka berdua mengadakan suatu konferensi pers bersama. 



Dalam kesempatan itu, PM Modi menyatakan kepada Suu Kyi bahwa 

"Seperti anda, kami juga menaruh perhatian serius terhadap kekerasan yang dilakukan para ekstrimis di negara bagian Rakhine. Khususnya terhadap pasukan-pasukan pertahanan dan keamanan; teristimewa terhadap ihwal bagaimana kehidupan rakyat banyak yang tak bersalah tengah terkena dampaknya.

Kami berharap bahwa semua pihak yang terlibat dapat bersama-sama menemukan suatu jalan keluar yang membuat kesatuan dan keutuhan wilayah kedaulatan Myanmar dihormati dan dijaga. Bersamaan dengan itu, kami dapat memperoleh kedamaian, keadilan, martabat dan nilai-nilai demokrasi bagi semua."


Sebagai balasan, Suu Kyi mengatakan hal berikut ini:

"Kami berterimakasih kepada India khususnya atas posisinya yang kuat yang telah diambil terkait ancaman teroris yang telah masuk ke negeri kami dua minggu lalu.

Kami percaya bahwa bersama-sama, kami dapat bekerja untuk memastikan dan menjamin bahwa terorisme tidak bisa tumbuh berakar di tanah kami."


Sumber berita https://uk.reuters.com/article/uk-myanmar-india/indian-pm-says-shares-myanmars-concerns-over-rakhine-violence-idUKKCN1BH0L7.


Awan mendung jelas makin menutup hari-hari kehidupan Muslim Rohingya ke depan ini. Semoga masih ada jalan keluar yang baik dan tepat bagi kedua belah pihak yang kini sudah menjadi musuh sengit satu sama lain. Sedang terjadi dengan kuat pergeseran pandangan: Muslim Rohingya makin kuat dipandang sebagai etnik non-Burma yang harus dipaksa hengkang dari tanah Burma!

Baik kita bersama mencatat: Ini adalah masalah politik yang panas, sama sekali bukan masalah agama, tentu sejauh kita tidak menyatukan politik dengan agama, dan tidak memperkeruh, membusukkan dan memperhitam politik dengan rempah-rempah agama. 

Sudah diungkap di atas, pemimpin de facto Myanmar kini, Aung San Suu Kyi, yang memiliki basis partai politik yang pro-demokrasi, yakni Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), sama sekali tidak anti-agama-agama, termasuk agama Islam; tetapi dia sama sekali tidak bisa mentolerir gerakan-gerakan politik ekstrimis yang berbasiskan agama apapun, termasuk Buddhisme ekstrim.


Testimoni seorang Muslim Burma

Ada gunanya saat ini saya muat di sini sebuah testimoni yang lugas dari seorang Muslim bumiputera Burma tentang siapa dirinya, keadaan negerinya, dan pendapatnya tentang Muslim Rohingya. Namanya Nyi Min San. Testimoninya ini ditulis aslinya dalam bahasa Inggris, dan dipasangnya pada Facebooknya tanggal 6 September 2017. Ini link ke statusnya tersebut di FB-nya https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=1972063413068384&id=100007942321455.

Testimoninya saya sudah terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia untuk anda.

"Aku Muslim dan ingin hidup di Myanmar dengan damai. Situasi di Rakhine timbul bukan karena agama. Negeri tempat kami tinggal di sini, Myanmar, adalah Bunda Pertiwi kami. Kami telah diam di sini sejak kakek, kakek, kakek, kakek buyut kami dulu. 


Di sini aku mengerjakan hal-hal besar dan menjadi seorang warganegara yang baik. Juga, aku mendukung pemerintahku yang sekarang dan partainya.

Jika anda cuma melakukan berbagai lobi untuk hal-hal yang nonsense, dan membuang waktu untuk berpropaganda, maka anda perlu kerjakan itu semua sendiri di negeri anda. 

Kami sebagai Muslim dapat hidup di Myanmar. Jadi, jangan campuri urusan kami. Allah selalu memberi kami pengharapan dan kedamaian. Kami juga diajar untuk hidup sederhana. Jadilah diri anda sendiri.

Kami dengan kuat tidak mau menerima Rohingya dalam negara kami. Mereka bukan etnis kami. 

Seperti sudah dikatakan di atas, yang sekarang terjadi adalah invasi, penyerbuan. 

Jangan lagi menyebarkan rumor dan informasi yang salah kepada dunia. Sekali lagi kutegaskan, konflik di Myanmar tidak ada hubungannya dengan agama."

Terkait testimoni di atas, catatan saya tak panjang: Tak ada individu dan komunitas etnik Burma apapun dan yang beragama apapun, yang sungguh-sungguh cinta negeri Burma mereka, mau mendukung gerakan separatis ARSA yg di-back tokoh-tokoh Arab Saudi, Afghanistan dan Pakistan, (dan mungkin juga negara-negara Barat tertentu). Hanya musuh Burma dan pengkhianat negeri Burma yang mau dukung dan gabung dengan gerakan teroris Bengali ARSA yang telah menyerbu masuk ke Arakan. Hal ini TAK PERLU DIDISKUSIKAN LAGI.


Bagi siapapun yang masih mampu melakukan analisis yang bernalar, testimoni NSM tersebut mengungkapkan suatu fakta yang makin berat: saudara-saudara sesama manusia kita, para Muslim Rohingya, oleh orang Burma yang multietnik dipersepsi makin luas dan intens sebagai suatu etnis non-Burma yang mengggangu, yang dengan segala cara harus disingkirkan dari Rakhine State seluruhnya. Sikap ini kini tidak lagi hanya sikap militer Myanmar, tapi mulai menjalar mungkin ke seluruh negeri. Ini sunguh-sungguh suatu krisis politik dan kemanusiaan yang merusak dan menghancurkan. 




Sikap pemerintah RI belakangan ini

Apa sikap pemerintah NKRI sekarang ini, di tengah militer Burma sedang menggasak habis ARSA dan migran-migran gelap Muslim dari luar Burma yang bergabung dengan ARSA, dengan tentu saja menimbulkan banyak korban dari orang-orang sipil yang tidak bersalah? 

Presiden Joko Widodo sudah menegaskan bahwa kekerasan dan krisis kemanusiaan di Arakan harus segera diakhiri. 

Atas penugasan Presiden Joko Widodo, Menlu RI Retno Marsudi pada awal September 2017 mengadakan pertemuan dengan pemimpin de facto Myanmar State Councillor Aung San Suu Kyi untuk menyampaikan lima amanah dari pemerintah RI kepada pemerintah Burma terkait krisis kemanusiaan di Arakan. Berikut ini.

Pertama, stabilitas dan keamanan perlu segera dipulihkan. Kedua, semua pihak yang terlibat perlu menahan diri. Ketiga, semua orang di negara bagian Rakhine, tanpa diskriminasi keagamaan dan kesukuan, harus dilindungi. Keempat, akses bantuan kemanusiaan perlu segera dibuka. Kelima, rekomendasi laporan dari Komisi Penasihat Khusus untuk Rakhine State yang dipimpin Kofi Annan (yang dibentuk pemerintah Myanmar) perlu segera dapat diimplementasikan.

Sumber berita https://m.antaranews.com/berita/651780/solusi-tanpa-masalah-baru-bagi-rohingya.

Sebagai WNI yang bertanggungjawab dan masih memiliki nalar dan nurani, kita semua tentu perlu sederap dengan pemerintah negara RI yang telah menyampaikan pesan-pesan tersebut, sambil terus mengikuti perkembangan yang sedang berlangsung. Mungkin akan muncul hal-hal yang tidak kita harapkan di Arakan, Myanmar, terkait dengan ARSA dan eksodus besar-besaran warga Muslim Rohingya. Mungkin tekanan dunia internasional terhadap Myanmar tidak akan pernah efektif.

Pada sisi lain, ketika menolak dengan tak langsung permintaan Sekjen FPI untuk lasykar FPI dipersenjatai dan dilatih untuk berperang di Rakhine state untuk membela warga Muslim Rohingya, Prabowo Subianto menyatakan bahwa bantuan logistik pemerintah RI terhadap para pengungsi Muslim Rohingya yang ditempatkan di perbatasan Bangladesh hanyalah pencitraan dan tidak akan sampai. Betulkah demikian?

Sama sekali tidak betul. Faktanya, bantuan logistik berupa beras itu telah sampai dengan utuh dan sedang dibagikan kepada para pengungsi. Nubuat Prabowo meleset. Menyampaikan nubuat itu memerlukan ketenangan hati dan pikiran, kesabaran, dan kedekatan dengan Tuhan.

Sumber berita https://m.merdeka.com/peristiwa/sekjen-fpi-minta-prabowo-latih-dan-berikan-senjata-untuk-bela-rohingya.html.

https://m.cnnindonesia.com/internasional/20170919073522-106-242621/beras-bantuan-ri-sampai-ke-tangan-120-ribu-pengungsi-rohingya.


Sementara itu, Rabu, 20 September 2017, di sela acara pelaksanaan Sidang Majelis Umum PBB di markas PBB di New York, AS, Menlu RI Retno Marsudi menerima Penghargaan Agen Perubahan dari UN Women. Menurut Deputi Direktur Eksekutif UN Women, Lakhsmi Puri, Retno menerima penghargaan itu antara lain karena kemampuan dan prestasi Retno dalam menjalankan peran diplomatiknya dalam isu yang sangat sensitif di Myanmar, terkait exodus besar-besaran Muslim Rohingya dari Arakan. Kabarnya, jumlah para pengungsi kini sudah mencapai 400.000 orang.

Pertanyaan saya: Apakah pemberian Penghargaan Agen Perubahan dari UN Women kepada Menlu RI adalah pencitraan pemerintah RI sekarang, atau malah pencitraan PBB?

Sumber berita http://m.liputan6.com/news/read/3102634/menlu-retno-raih-penghargaan-agen-perubahan-dunia-dari-pbb.


Vonis the Permanent Peoples' Tribunal

Jumat, 22 September 2017, di Universiti Malaya, Kuala Lumpur, organisasi yang dinamakan Permanent Peoples' Tribunal (PPT) yang didirikan di Italia tahun 1979 (yang kini memiliki 66 anggota) menyatakan bahwa pemerintah Myanmar ditemukan dan divonis bersalah atas "genosida, kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan" terkait perlakuan negara ini terhadap minoritas-minoritas Muslim Burma.

PPT merekomendasi 17 hal yang perlu dilakukan dunia antarbangsa terhadap Myanmar, antara lain mendesak pemerintah Myanmar untuk menghentikan kekerasan terhadap kelompok-kelompok minoritas Muslim di Burma, untuk mengamandemen Konstitusi Myanmar dan menghapus aturan-aturan hukum yang diskriminatif supaya hak-hak dan kewarganegaraan dapat diberikan kepada mereka.

Selain itu, PPT juga menghimbau komunitas-komunitas internasional untuk menyediakan bantuan keuangan bagi negara-negara yang kebanjiran exodus kaum Muslim yang mengungsi dari Myanmar ke negara-negara lain seperti Bangladesh dan Malaysia.

Sejauh telah saya baca, saya tidak menemukan teguran atau desakan PPT untuk ARSA dan kelompok-kelompok minoritas Muslim di Rakhine state tidak anarkis dan juga menghentikan kekerasan. Saya juga tidak tahu apa kriteria yang dipakai PPT untuk menggolongkan jatuhnya korban manusia sebagai genosida. Saya juga menunggu bukti-bukti material on the spot atau in situ kalau genosida sudah betul terjadi di Arakan. Saya juga belum dapat informasi apakah bagi PPT exodus sama dengan genosida. Juga penting untuk saya bertanya, siapa pemasok dana semua kegiatan PPT selama ini.

Sebagaimana dinyatakan kepala eksekutif Center for Human Rights Research and Advocacy, Azril Mohd Amin, tentu saja temuan-temuan PPT dan vonis mereka terhadap Myanmar tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat negara Burma.

Sumber berita http://www.thestar.com.my/news/nation/2017/09/22/peoples-tribunal-finds-myanmar-guilty-of-rohingya-genocide/.

Sebagai WNI, saya melihat langkah-langkah pemerintah RI dan pendekatan dialog yang terus dijalankan Menlu Retno Marsudi sejauh ini efektif, dan akan makin efektif untuk jangka lebih panjang mengingat pemerintahan demokratis Myanmar baru saja dibangun, tahun 2015. Lihat saja negeri Indonesia sendiri. Meski (setahu saya) peristiwa G30S telah ditetapkan oleh suatu lembaga pengadilan internasional sebagai genosida, hingga saat ini, akhir September 2017, usaha pemerintah untuk mencari dan menemukan kebenaran historis G30S selalu dijegal dan isu ini malah sedang dijadikan isu gorengan politik terkait Pilpres 2019 yang masih dua tahun lagi.


Akhirnya Aung San Suu Kyi berbicara

Membaca dan memahami sikon politik di Myanmar sekarang ini, dengan posisi militer nasional (Tatmadaw) yang sangat kuat dan dominan, saya jadi iba pada Ms. Aung San Suu Kyi selaku penguasa de facto Myanmar.

Demokrasi Myanmar baru dicoba dijalankan seumur jagung. Tapi dunia ingin Myanmar sudah jadi, ibaratnya, USA. Tampak sekali, ini keinginan yang terlalu berlebihan. Tidak fair. Tidak empatetis.

Posisi Aung San Suu Kyi sekarang ini sangat sulit di Myanmar yang baru jadi demokrasi 2015. Mungkin serupa dengan posisi Presiden Jokowi dalam sikon yang berbeda di NKRI belakangan ini.

Pada 19 September 2017, terkait krisis konflik antaretnik di Myanmar dan exodus besar-besaran Muslim Rohingya, akhirnya Aung San Suu Kyi bersuara lewat pidato nasionalnya yang disampaikan di Naypyidaw, Myanmar. Pidato ini diperdengarkannya dalam bahasa Inggris yang lancar dan sangat garing. Jelas, pidato ini dimaksudkan Aung San Suu Kyi juga untuk dunia luas. Warga Buddhis Burma antusias mendengarkan dan mendukung pendapat-pendapat Aung San Suu Kyi dalam pidatonya itu.

Banyak hal disampaikan pemimpin de facto Myanmar ini. Antara lain berikut ini:

"Kami mengutuk semua pelanggaran HAM dan kekerasan yang melawan hukum. Kami merasakan dengan dalam azab semua orang yang terperangkap dalam konflik.

Angkatan bersenjata telah diperintahkan untuk sepenuhnya memegang aturan hukum saat menjalankan operasi keamanan, untuk mengendalikan diri sebagaimana mestinya, dan untuk sepenuh-penuhnya menghindari kerusakan yang mungkin timbul dan hal-hal lain yang membahayakan warga sipil yang tidak bersalah. Kami akan mencari tahu dan menemukan penyebab exodus sedang terjadi.

Kami adalah sebuah negara yang masih belia dan mudah pecah sementara kami kini sedang menghadapi banyak masalah. Tapi kami harus mengatasi semuanya. Tentu tidak bisa kami berkonsentrasi hanya pada beberapa masalah saja.

Orang mengharapkan kami untuk mengatasi semua tantangan ini dalam waktu sesingkat mungkin. Tapi delapan belas bulan adalah waktu yang sangat pendek untuk mengharapkan kami dapat menangani dan menaklukkan semua tantangan yang kini sedang kami hadapi."

Gundah hati saya saat membaca pernyataan-pernyataan Aung San Suu Kyi ini. Dunia terus memenjara Daw Aung San sebagai sebuah ikon perdamaian penerima Anugerah Nobel; padahal realitanya beliau sekarang adalah kepala pemerintahan negeri Myanmar, sebuah jabatan politis.

Baca lebih lanjut di https://www.vox.com/world/2017/9/19/16332582/rohingya-aung-san-suu-kyi-speech-humanitarian-crisis-refugees dan di https://www.nytimes.com/2017/09/18/world/asia/aung-san-suu-kyi-speech-rohingya.html.


FATIMA BEGUM, 10, a smart girl, a Rohingya orphan, a refugee in Cox's Bazar, Bangladesh. She needs you to adpot her as your legal daughter. Make her future bright!


Pernyataan Dubes RI untuk Myanmar

Perlu kita ketahui hal-hal penting berikut ini yang beberapa minggu lalu (8 Sept 2017) dikemukakan Dubes RI untuk Burma, Ito Sumardi, untuk masyarakat Indonesia.

Myanmar saat ini masih menggunakan pendekatan kedaulatan negara dalam menyelesaikan konflik, sementara pendekatan HAM dan perspektif keamanan regional belum menjadi perhatian penuh. Ito Sumardi melihat ini juga disebabkan oleh kondisi politik domestik Myanmar yang belum stabil dan ajeg untuk menjalankan seluruh prinsip demokrasi.

Katanya, peristiwa ini telah menggugah kemanusiaan kita semua namun perlu pertimbangan yang bijaksana dan lebih cermat dalam mengambil jalan sikap kita sehingga kita tidak gegabah memperlebar isu dan menimbulkan konflik baru.

Tandasnya, di tengah situasi yang demikian itu banyak pihak memfaatkan isu Rohingya sesuai dengan kepentingan masing-masing. Indonesia sejak lama telah melakukan pendekatan kepada pemerintah Myanmar dan melakukan diplomasi non-megaphone dalam menyikapi isu Rohingya.

Jalan yang diambil Indonesia adalah secara simultan memberikan bantuan kemanusiaan yang diberikan kepada masyarakat Rakhine. Karena sangat disadari bahwa di lapangan persoalan kemiskinan menjadi persoalan inti. Jalan ini merupakan kompromi dari pilihan politik luar negeri Indonesia.

Tidak hanya di situ saja. Bantuan kemanusiaan Indonesia yang dikordinasikan dalam Aliansi Kemanusiaan Indonesia-Myanmar, telah melibatkan stakeholders yang lebih luas, yakni tidak hanya pemerintah saja namun juga organisasi keagamaan dan kemanusiaan, seperti Mer-C, Dompet Duafa, Muhamadiyah, NU, DarutTauhid, PMI, Walubi, PKPU dkk.

Secara pro-aktif Indonesia juga melakukan double track diplomasi, yakni tidak hanya mengirimkan bantuan kemanusiaan, namun juga melakukan appeal (tekanan) agar pemerintah Myanmar sebagai kawan baik bisa mengambil langkah yang tepat dan tidak memperuncing keadaan agar stabilitas keamanan regional terjaga.

Ito mengingatkan. Berbeda dengan Negara tetangga kita Malaysia, Malaysia memang telah mengambil sikap untuk membawa persoalan ini secara organisasional ke OKI dan secara eksplisit menyatakan kecaman kepada Myanmar. Namun sangat disayangkan, Malaysia menggandeng isu Islam dalam konflik Rohingya ini. Myanmar balik menuduh Perdana Menteri Malaysia menggunakan isu Islam untuk menaikan grade pemerintahannya yang tengah terpuruk di dalam negeri.

Ito mengakui bahwa dia tergelitik juga kalau di tanah air justru isu Rohingya digeser jadi sentimen keagamaan (Islam) yang diusung oleh beberapa organisasi yang tidak memahami secara utuh apa yang sebenarnya terjadi disana, tapi meminta pemutusan hubungan diplomatik antara Indonesia dan Myanmar.

Pertanyaannya: "Apakah dengan pemutusan hubungan, kita bisa menyampaikan pesan masyarakat Indonesia atau menyalurkan bantuan kemanusiaan kepada kelompok Rohingya maupun masyarakat lain yang membutuhkan disana?"

Setiap orang punya pendapat dan cara menyampaikan pendapat. Tapi apabila kita secara realistis mengedepankan fakta dan keadilan, maka langkah atau upaya yang akan kita lakukan baru akan benar-benar efektif.

Ito mengingatkan bahwa isu Rohingya adalah isu kemanusiaan. Indonesia, PBB, OKI, ASEAN telah turun melihat persoalan ini secara komprehensif. Jadi, ada baiknya kita tak ikut-ikutan memperuncing keadaan dengan dasar penilaian yang cuma berdasarkan berita-berita yang tidak terklarifikasi dan belum tentu kebenarannya.

Pada prinsipnya kita bersepakat, bahwa peristiwa-peristiwa yang merupakan tragedi kemanusiaan ini hendaklah segera dihentikan oleh seluruh pihak yang berkonflik di Myanmar. Kecaman kita, Ito mengingatkan, tentunya tak hanya kepada pemerintah Myanmar saja, namun juga kepada kelompok Muslim Rohingya supaya mereka tidak melakukan tindakan yang anarkis juga.

Ini anjuran Ito: Berikanlah kesempatan kepada pemerintah Myanmar untuk mempertimbangkan dan melaksanakan berbagai rekomendasi dari utusan pemerintah Indonesia sebagai negara sahabat tanpa kita berprasangka buruk terlebih dahulu agar suara kita, pesan kita, dan bantuan kemanusiaan kita dapat didengarkan dan dapat diterima, ketimbang opsi pemutusan hubungan diplomatik yang merupakan langkah diplomasi drastis apabila ada pelanggaran permasalahan prinsip "antar dua negara".

Baca lengkap di https://m.detik.com/news/berita/3633773/dubes-ri-untuk-myanmar-buka-bukaan-soal-latar-belakang-krisis-rohingya.


Usaha selundupkan "pil gila"

GAK TANGGUNG-TANGGUNG, sebanyak 800.000 pil methamphetamine (yang jauh lebih berbahaya dibandingkan ganja dan kokain) telah dicoba diselundupkan dari Myanmar ke Bangladesh oleh sejumlah warga Rohingya yang sedang mengungsi ke Bangladesh lewat jalur Sungai Naf yang membelah Myanmar-Bangladesh. Para petugas gerak cepat Batalyon Aksi Cepat Bangladesh berhasil menangkap para penyelundup itu, di antaranya seorang yang sudah lansia.

Di Thailand, candu meth ini dikenal dengan nama Yaba, artinya "obat gila".

Mudah ditebak, di mana pil-pil meth itu dibuat dan bahan-bahannya dihasilkan.

Baca berita ini http://internasional.kompas.com/read/2017/09/27/17235661/3-warga-rohingya-ditangkap-bawa-800000-pil-meth-ke-banglades.



"Pusat jihad" baru?

Dengan krisis kemanusiaan yang sedang dialami konon 430 ribu pengungsi Muslim Rohingya dari Rakhine State Myanmar, masuk ke Bangladesh, apakah Myanmar akan atau sedang menjadi sebuah magnit baru yang akan membuat para ektrimis Islamis, atau lazim dikenal sebagai jihadis, dari seluruh dunia tumplek di negeri Aung San Suu Kyi ini?

Ada yang berpendapat begitu. Jika ya, perang religiopolitik di Timteng antar kelompok-kelompok radikal Islamis mungkin sedang bergeser ke Asia. Wuuih.

Tapi, hemat saya ini tidak akan terjadi, karena kultur, religiositas dan karakter orang Asia Tenggara beda tajam dari kultur, religiositas dan karakter orang-orang Arab Timteng. Selain itu, teokrasi yang otoritarian dan totalitarian, serta keras, tidak menjadi bagian dari sistem politik ketatanegaraan negeri-negeri di Asia Tenggara. 


Hal yang lebih mungkin terjadi: negara-negara di Asia Tenggara akan bangkit untuk menghalau dan menghabisi para teroris Islamis yang terkait dengan organisasi-organisasi teroris lintasnegara seperti ISIS dan yang sejenis.

Sumber berita http://internasional.kompas.com/read/2017/09/26/09230161/myanmar-berisiko-jadi-magnet-jihad-global.



Penutup

Pada sisi lain, sekarang bersiaplah, hoax alias bulsar, foto-foto yang diedit dan diberi keterangan palsu, fitnah, pemelintiran fakta, dan caci maki serta sumpah serapah dan gerakan-gerakan politik manipulatif akan muncul kembali dengan ramai via berbagai medsos dan via aksi-aksi turun ke jalan-jalan, di level global, apalagi di Indonesia! Ini semua tanda keterbelakangan, ketidakberdayaan, powerlessness, dan keculasan, bukan tanda kematangan, kedewasaan, integritas dan kedigdayaan!

Ini poin penutup sementara ini: Netralkah saya? Tentu saja TIDAK! Saya tidak netral. Saya memihak kepada kejujuran dan kebenaran yang terverifikasi. 

Kerahiman ilahi bagi seluruh alam! Semoga semua makhluk berbahagia! Termasuk rerumputan, bunga teratai, semut, kunang-kunang, penyu, kecebong, katak, dan onta. 


22 Juli 2012 (versi pertama)
ioanes rakhmat 

Agamaku paling tinggi
karena agamaku adalah Cinta

Tulislah dengan otak yang dingin abadi
Rasakan dengan hati yang hangat mesra

Dalam politik, air jernih masih ada
Tapi jauh lebih jernih sepasang mata bayi