Friday, July 24, 2009

Fundamentalisme dan
Teks-teks Skriptural Eksklusif Kristen

Sabda Yesus, “Akulah satu-satunya flyover menuju sang Bapa” (parafrasis Yohanes 14:6)

Fundamentalisme adalah suatu ideologi keagamaan eksklusif yang dibangun di atas teks-teks skriptural eksklusif yang dipahami secara literalistik ahistoris, dan yang mendorong suatu umat beragama untuk hidup secara eksklusif dan mengisolasi diri serta memandang diri sendiri sebagai kelompok yang benar satu-satunya, dan memandang kelompok-kelompok berbeda sebagai musuh yang harus dipertobatkan atau dibinasakan demi menciptakan suatu dunia di masa depan yang sama sekali lain, yang hanya dihuni oleh kalangan mereka sendiri. Dengan demikian, fundamentalisme minimal mencakup hermeneutik kitab suci, psikologi dan gaya hidup, serta politik pembinasaan lawan dan penghancuran dunia lama yang akan digantikan oleh suatu dunia yang sama sekali lain yang datang dari “atas” (dikenal sebagai “politik apokaliptik”). Unsur-unsur yang membentuk fundamentalisme ini saling berkaitan. Jelas, setiap upaya kritis untuk menghadapi atau mendekonstruksi fundamentalisme mengharuskan orang untuk masuk ke bidang-bidang hermeneutik kitab suci, psikologi, antropologi kultural, politik dan ekonomi. Pada kesempatan ini, untuk membedah dan mendekonstruksi fundamentalisme dalam kekristenan fokus dibatasi pada hermeneutik kitab suci.

Ada sekian teks skriptural eksklusif utama dan gagasan teologis Kristen dasariah yang umumnya mendorong lahir dan terpeliharanya fundamentalisme Kristen. Teks-teks tersebut dan gagasan-gagasan teologis yang relevan beserta penjelasannya akan disajikan di bawah ini, dan dampak teks-teks tersebut bagi kehidupan orang Kristen akan juga digambarkan dengan singkat. Setelah itu, keabsahan teks-teks dan gagasan-gagasan teologis utama ini akan langsung dipertanyakan atau teks-teks tersebut akan didekonstruksi.

1a) Gagasan teologis besar Kristen: pengampunan dosa dan keselamatan hanya via kematian Yesus di kayu salib 


Tidak berlebihan jika dinyatakan bahwa soteriologi salib, yakni ajaran bahwa keselamatan manusia diperoleh hanya lewat kematian Yesus di kayu salib, telah secara signifikan menjadikan kekristenan sebagai suatu agama yang eksklusif, yang tidak bisa mengakui atau menerima kebenaran yang ada dalam agama-agama lain, dan menghasilkan orang Kristen yang sama sekali tidak bisa toleran terhadap klaim-klaim kebenaran autentik yang diwartakan agama-agama lain kepada dunia.

Mengapa soteriologi salib bisa menghasilkan agama Kristen dan orang Kristen semacam itu? Karena, menurut pandangan orang Kristen, soteriologi salib menawarkan satu-satunya jalan keselamatan yang paling realistik, paling cocok, paling manjur dan paling memberi pengharapan bagi kondisi manusia. Orang Kristen kerap dengan naif mengklaim, tidak ada agama lain yang menawarkan soteriologi sejenis ini. Sebetulnya, orang Kristen yang semacam ini perlu bertanya dengan rendah hati kepada orang yang menganut Buddhisme mengenai para Boddhisatva dan apa yang mereka lakukan sehubungan dengan keselamatan manusia. Tetapi, bagaimana pun juga, kita pada kesempatan ini perlu bertanya, Apa yang diajarkan dan ditawarkan soteriologi salib kepada dunia, sehingga soteriologi ini diklaim orang Kristen sebagai suatu soteriologi yang sangat khas dan istimewa bahkan satu-satunya di dunia ini?

Menurut suatu mitos Kristen, sejak “kejatuhan” Adam dan Hawa, maksudnya: sejak pelanggaran dan perlawanan dua nenek moyang manusia ini di Taman Eden terhadap ketetapan Allah di permulaan kehidupan manusia di muka bumi ini yang mengakibatkan mereka berdua (juga ular dan bumi) terkena kutuk dan penghukuman Allah, semua orang keturunan mereka selanjutnya di segala tempat dan di segala zaman telah ikut berdosa dan harus juga menanggung azab dan kematian sebagai akibatnya (Kejadian 3:14-19; Roma 6:23). Ini adalah doktrin tentang “dosa warisan” atau “dosa asal” yang ditulis Rasul Paulus dalam Roma 5:12-19 sebagai dosa dan hukuman yang terus “menjalar kepada semua orang.”

Di samping dosa warisan yang tidak bisa dielakkan oleh semua manusia, termasuk oleh bayi yang baru dilahirkan, manusia juga berbuat dosa pribadi terus-menerus dan tidak bisa berbuat baik dan benar sama sekali untuk menyenangkan hati Allah. Menurut ajaran Kristen, “gambar dan rupa Allah” yang semula pada waktu penciptaan ditanamkan ke dalam kodrat manusia (Kejadian 1:26; 2:22; 5:1) telah hilang lenyap dari diri mereka sejak “kejatuhan” Adam dan Hawa. Kemuliaan Allah telah hilang dari diri setiap orang, tegas Rasul Paulus (Roma 3:23); akibatnya kapan pun juga manusia tidak akan bisa melakukan kebajikan dan kebenaran lagi (Roma 3:10-12; kutipan dari Mazmur 14:1-3; 53:2-4). Rasul Paulus dengan negatif menyatakan sesuatu tentang dirinya sendiri, tentang manusia pada umumnya, “Sebab aku tahu, bahwa di dalam aku, yaitu di dalam aku sebagai manusia, tidak ada sesuatu yang baik” (Roma 7:18). Sejalan dengan rusaknya citra ilahi dalam diri manusia, hati nurani manusia pun ikut rusak, “suara hati” tidak bisa menyelamatkan manusia; begitu juga, ketika hukum Taurat diberikan kepada manusia, hukum ini juga sama sekali tidak bisa mendatangkan keselamatan pada manusia. Itulah yang diajarkan Rasul Paulus dalam Roma 2:1-3: 20.

Jelas, mitos Kristen ini memberi gambaran yang sangat suram, buruk dan negatif mengenai citra kodrati manusia pasca-“kejatuhan” Adam dan Hawa. Tidak ada harapan keselamatan apapun pada diri manusia jika mereka mengandalkan kekuatan dan kemampuan diri sendiri untuk mencapai keselamatan. Perbuatan manusia, sebaik dan sebenar apapun, menurut mitos ini, tidak memiliki nilai dan potensi soteriologis apapun, karena sehabis melakukan perbuatan baik manusia yang sama juga akan melakukan perbuatan jahat, bahkan dalam porsi yang lebih besar. Inilah kondisi riil seluruh umat manusia yang tidak berisi pengharapan apapun, kondisi riil yang diungkap Rasul Paulus demikian, “Sebab bukan apa yang aku kehendaki, yaitu yang baik, yang aku perbuat, melainkan apa yang tidak kukehendaki, yaitu yang jahat, yang aku perbuat ” (Roma 7:19).

Maka, lanjut mitos Kristen ini, Allah, dengan memerhatikan realitas kondisi manusia yang semacam ini, pada akhirnya berinisiatif memberi jalan keluar kepada manusia untuk mereka dapat menerima keselamatan. Yakni dengan Dia mengharuskan Yesus Kristus menempuh jalan sengsara, via dolorosa, dan akhirnya mati dibunuh di kayu salib oleh lawan-lawannya, sebagai kurban pengganti satu-satunya untuk semua manusia berdosa, sekali untuk selamanya (efapaks; Ibrani 7:27; Roma 6:9-10). Inilah vicarious sufferings yang dijalani dan dipikul Yesus Kristus, supaya/demi manusia terbebas dari hukuman atas dosa yang diwariskan Adam dan Hawa dan yang diperbuatnya sendiri. Dengan percaya bahwa pada diri Yesus Kristus yang disalibkan Allah telah menumpahkan api kemurkaan-Nya atas dosa manusia, manusia, tanpa perlu berbuat apapun, menerima keselamatan sungguh-sungguh hanya sebagai anugerah dan rakhmat, sola gratia. Inilah yang diberitakan dan ditawarkan soteriologi salib.

Dengan demikian, dalam penilaian orang Kristen, soteriologi salib adalah soteriologi yang paling realistik dan paling cocok dalam memecahkan masalah keberdosaan dan kebobrokan total diri manusia, sebab soteriologi ini tidak mendasarkan keselamatan manusia pada amal ibadah dan perbuatan baik yang sesungguhnya, menurut pandangan Kristen, tidak dapat dihasilkannya. Soteriologi salib juga dinilai gereja Kristen paling memberikan pengharapan bagi masa depan manusia, karena dengan memercayai soteriologi ini manusia dapat dengan tenteram mempercayakan diri mereka sepenuhnya kini dan selamanya kepada Allah yang sudah terbukti sebagai Allah yang pengampun, pemurah dan penuh rakhmat di dalam diri Yesus Kristus. Karena jalan salib dan kematian Yesus Kristus sudah terjadi dulu di awal tahun tiga puluhan abad pertama Masehi, maka soteriologi ini pasti manjur dan berkhasiat bagi manusia untuk membentuk perilaku moral mereka, sebab, jika tidak demikian, sia-sialah azab dan kematian Yesus dulu. Tidak berlebihan jika dikatakan orang Kristen percaya bahwa soteriologi salib bekerja secara magis.

1b) Dekonstruksi teks 


Hemat penulis, soteriologi salib atau jalan keselamatan melalui azab, kesengsaraan dan kematian Yesus di kayu salib memuat permasalahan-permasalahan etis teologis berat yang sangat sulit diatasi, atau bahkan tidak dapat diatasi sehingga merongrong validitas inti iman Kristen.

Pertama, kalau dosa manusia itu (dosa warisan ataupun dosa pribadi) dipandang Allah sebagai suatu tindak kekerasan yang dilakukan manusia terhadap sesamanya dan terhadap diri Allah sendiri, maka apakah tindak kekerasan yang Allah sendiri telah lakukan terhadap Yesus (dengan mengharuskannya menempuh jalan penderitaan, via dolorosa, dan mengalami kematian mengenaskan di kayu salib) akan bisa menghapus kekerasan dosa-dosa manusia? Apakah suatu tindak kekerasan bisa meniadakan suatu tindak kekerasan lainnya? Apakah tindak kekerasan Allah terhadap Yesus bisa mengeliminasi tindak kekerasan yang manusia lakukan terhadap sesamanya dan terhadap Allah? Bukankah pendapat kita adalah bahwa kekerasan akan menimbulkan kekerasan baru, bukan menghapuskannya? Bukankah dosa manusia tidak bisa dihapuskan oleh kekerasan ilahi? Bukankah dosa Allah tidak bisa menghapus dosa manusia? Bukankah dosa hanya menumpuk dosa, bukan melenyapkannya?

Kedua, bukankah teologi tentang penebusan dosa melalui penderitaan dan kematian biadab Yesus di kayu salib telah melegitimasi dan malah telah melakukan sakralisasi terhadap perbuatan biadab para pemimpin Yahudi dan gubernur Romawi Pontius Pilatus terhadap Yesus dari Nazaret yang sebetulnya tidak bersalah? Dengan kata lain, bukankah ketika gereja sedunia merayakan Jumat Agung (hari peringatan kematian Yesus), mereka sebenarnya sedang melegitimasi dan menyakralisasi kekejaman dan kekerasan serta kebiadaban sekelompok penguasa keagamaan dan politis kepada Yesus dari Nazaret? Bukankah tidak ada kekerasan yang sakral sehingga kekerasan ini boleh dilakukan?

Demikian juga, bukankah ketika gereja merayakan Paskah (hari peringatan kebangkitan Yesus), tanpa mereka sadari mereka sebenarnya juga memberi legitimasi teologis terhadap serangkaian tindak kekerasan yang ditimpakan pada Yesus sejak dia diadili, lalu dipaksa berjalan ke Golgota dengan disiksa dan akhirnya disalibkan di situ? Bukankah Paskah berarti pembenaran terhadap serentetan tindakan biadab terhadap Yesus yang berakhir di hari Jumat Agung, hari kematian Yesus di kayu salib? Legitimasi teologisnya demikian: Ya, benar, Yesus memang harus disengsarakan, dizalimi, lalu dibunuh dengan kejam, supaya semua tindakan kejam ini bisa memuncak pada tindakan Allah membangkitkan Yesus di hari Paskah. Jika demikian, bukankah Paskah itu bukan suatu warta gembira, bukan suatu warta kemenangan (bahwa maut telah dikalahkan!), melainkan suatu legitimasi teologis yang tidak bermoral atas serangkaian tindak kekerasan yang sebelumnya dialami Yesus? Bukankah tanpa via dolorosa yang dijalani Yesus, tidak akan ada kebangkitannya? Dengan demikian, bukankah kebangkitan Yesus membenarkan kesengsaraannya? Ya, supaya Yesus dibangkitkan, supaya ada kemenangan atas maut, Yesus harus dizalimi dan disengsarakan! Bukankah, dengan demikian, merayakan Paskah berarti membenarkan Pontius Pilatus dan para penguasa Yahudi dalam berlaku keras dan biadab terhadap Yesus?

Teologi Paskah, dengan demikian, mengunci kekristenan dalam suatu dilema dan kontradiksi pelik: pada satu pihak, Paskah dapat berarti Allah, dengan membangkitkan Yesus, menolak semua kekerasan yang telah dialami Yesus sebelumnya; namun di lain pihak, Allah memerlukan jalan kekerasan dijalani Yesus supaya Yesus menanggung hukuman yang seharusnya ditanggung manusia, dan dengan membangkitkan Yesus, Allah membenarkan semua perlakuan keras yang telah dialami Yesus ketika dia diharuskan Allah menempuh via dolorosa.

Ketiga, kisah-kisah injil Kristen tentang masa-masa kesengsaraan Yesus, yang dijalaninya sejak dia ditangkap, lalu diadili, kemudian dipaksa berjalan ke Kalvari sambil disiksa sementara dia memikul kayu salibnya sendirian (versi Yohanes 19:17), dan kemudian disalibkan di sana, secara bertahap menggeser kesalahan yang sebetulnya ada pada pihak Roma (Gubernur Pontius Pilatus) ke pihak Yahudi yang direpresentasikan para penguasa Bait Allah. Penggeseran tanggungjawab ini akhirnya menjadikan seluruh bangsa Yahudi turun-temurun sebagai pihak yang satu-satunya bersalah terhadap Yesus, yang harus menanggung akibat kematian Yesus (Matius 27:25), sebagai pihak yang telah melakukan pembunuhan terhadap Tuhan (deicide). Inilah motif anti-Yahudi yang terdapat paling kuat dalam kisah-kisah pengadilan Yesus dalam injil-injil Kristen. Motif ini kemudian, di zaman modern, melahirkan anti-Semitisme yang menimbulkan antara lain pembunuhan jutaan orang Yahudi (Holokaus) oleh rezim Hitler di Eropa pada abad XX.

Anti-semitisme ini sering tanpa disadari dibela gereja Kristen ketika mereka, misalnya, mempersalahkan orang Yahudi sebagai pembunuh Tuhan, dan karena itu mereka (orang Yahudi), dalam pandangan gereja, telah kehilangan anugerah ilahi yang semula diberikan kepada mereka. Dengan merayakan masa-masa kesengsaraan Yesus (dalam minggu-minggu Pra-Paskah) dalam ibadah gereja, gereja Kristen sebenarnya terus-menerus memelihara dan mewariskan ideologi anti-Semitisme, tanpa mau tahu atau tanpa menyadari bahwa anti-Semitisme ini telah menghilangkan begitu banyak nyawa orang Yahudi dalam zaman modern ini.

Begitulah, di dalam inti terpenting dogma Kristen tentang jalan keselamatan manusia lewat Yesus Kristus yang disalibkan terkandung unsur-unsur demonik yang harus diwaspadai. Sudah seharusnya, soteriologi salib (soteriologia crucis) diusahakan diganti dengan suatu soteriologi lain, misalnya soteriologi yang berpusat bukan pada azab dan kematian Yesus (disebut sebagai soteriologi doloris atau soteriologi nekrosentris), melainkan soteriologi yang berpusat pada kehidupan Yesus (soteriologi biosentris) atau soteriologi yang berpusat pada kata-kata atau ajaran-ajaran Yesus (soteriologi logosentris).

2a) “Segala sesuatu… bertekuk lutut pada Yesus” (Filipi 2:10-11)  


Pada bagian akhir dari sebuah madah kristologis yang dikutip Rasul Paulus dalam surat Filipi 2:5-11, terdapat sebuah pernyataan yang triumfalistik bahwa “dalam nama Yesus [akan] harus bertekuk lutut segala (pan) yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi, dan segala (pasa) lidah mengaku: ‘Yesus Kristus adalah Tuhan’ bagi kemuliaan Allah, Bapa!”, pernyataan yang dalam Perjanjian Lama dikenakan hanya kepada Allah (Yesaya 45:23). Acuan kepada “segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi” dan kepada “segala lidah” jelas menunjukkan bahwa pernyataan ini adalah suatu pernyataan eskatologis, pernyataan tentang apa yang akan terjadi di akhir zaman ketika segala sesuatu ditaklukkan kepada Yesus yang bertindak sebagai “Tuhan semesta” yang kekuasaannya berlaku efektif atas segala sesuatu dalam jagat raya ini, dan yang namanya berada “di atas segala nama”, bukan suatu pernyataan tentang apa yang sekarang terjadi.

Gambaran atau keyakinan bahwa Yesus Kristus di akhir zaman akan menjadi sang penguasa atas segala sesuatu berhubungan erat dengan gambaran atau keyakinan bahwa di akhir zaman dia juga akan bertindak sebagai sang Hakim dunia yang akan menghakimi semua orang, baik yang sudah mati maupun yang masih hidup (bdk. 1 Tesalonika 4:13-18; 2 Timotius 4:8; Matius 25:31-46). Pada sisi lain, dalam Matius 28:18 ditulis bahwa Yesus Kristus, setelah kebangkitannya, telah menerima “segala kuasa (pasa eksousia) di surga dan di bumi” dan dia yang memiliki segala kuasa ini berada atau hadir di tengah jemaatnya (Matius 18:20) dan menyertai mereka “sampai pada akhir zaman” (Matius 28:20). Maka lengkaplah gambarannya bahwa Yesus Kristus, sang Tuhan gereja, adalah juga sang Tuhan semesta, dan padanya sejak sekarang hingga akhir zaman segala kuasa terletak! Memakai ungkapan dari Kitab Wahyu, Yesus Kristus adalah “Alfa dan Omega, Yang Pertama dan Yang Terakhir, Yang Awal dan Yang Akhir” (Wahyu 21:6; 22:13; Wahyu 1:8, 17; 2:8), suatu gelar yang dalam Perjanjian Lama diberikan hanya kepada Allah YME (lihat Yesaya 44:6; 48:12). 

Karena selalu ada inter-relasi antara dunia simbolik keagamaan dan kehidupan nyata sehari-hari atau realitas sosial, kepercayaan kristologis yang triumfalistik dan superior semacam ini tentu saja kapanpun juga akan menciptakan suatu komunitas Kristen yang memandang dirinya berada di atas semua komunitas keagamaan lainnya, dan mengungguli mereka. Kalau Tuhan mereka, Junjungan mereka, adalah Tuhan semesta, representasi Allah, sang Hakim di akhir zaman, pemilik segala kuasa di seluruh alam semesta, di bumi maupun di surga, pada masa kini maupun di akhir zaman, dan seluruh dunia akan takluk di bawah kakinya, maka merekapun sebagai komunitas yang dibangun sang Tuhan yang semacam ini berhak mengklaim posisi dan kedudukan superior berhadapan dengan komunitas-komunitas agama-agama lain.

2b) Dekonstruksi teks: membaca Filipi 2:10-11 dalam konteks sastrawinya 


Kalangan Kristen yang sangat suka memakai teks Filipi 2:10-11 untuk memotivasi mereka menjadi penakluk dunia yang dibawa ke kaki Yesus untuk bertekuk lutut telah mencopot teks ini dari kaitan sastrawinya dengan teks-teks yang mendahuluinya. Kalau teks ini mau dibaca dan dipahami seutuhnya, kita harus pertama-tama membacanya dalam konteks sastranya, yakni keseluruhan teks Filipi 2:5-11 yang, seperti sudah dikatakan di atas, merupakan sebuah madah kristologis. 

Madah ini dimulai dengan pernyataan bahwa Yesus Kristus semula ada “dalam rupa Allah” (en morfēi theou), tetapi kemudian (kita boleh sebut, dalam inkarnasi) dia “mengosongkan dirinya sendiri” (heauton ekenōsen) dengan “mengambil rupa seorang hamba (morfē doulou) dan menjadi sama dengan manusia (en homoiōmati anthrōpōn).” Nah, ini adalah teologi kenosis, teologi pengosongan diri.

Menurut madah kristologis ini, kenosis Yesus ini begitu dalam, sampai ke tingkat yang paling rendah, dengan dia, yang sebetulnya “dalam rupa Allah”, menjadi seorang manusia dalam status budak (doulos; suatu status sosial yang sangat rendah dalam struktur sosial masyarakat Yunani-Romawi). Lebih jauh dikatakan, bahwa dalam statusnya sebagai manusia budak, Yesus terus “merendahkan dirinya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib” (thanatou staurou). Dalam kenosisnya, manusia budak yang bernama Yesus ini bahkan jauh lebih direndahkan bahkan dipermalukan dengan dia mati disalibkan. Hukuman mati dengan cara penyaliban adalah suatu bentuk hukuman mati Romawi yang dikenakan kepada para kriminal, yang dalam pandangan Yahudi adalah suatu bentuk kutuk ilahi (Ulangan 21:23; Galatia 3:13).

Jadi, kristologi kenotik ini menempatkan Yesus dalam suatu situasi kehidupan dan kematian yang sangat direndahkan, dipermalukan dan terkutuk. Kenosis sampai ke tingkat yang paling memalukan ini adalah suatu ekstrimitas. Nah, penyusun madah kristologis ini membuat suatu ekstrimitas lainnya (sebagai lawan dari ekstrimitas yang pertama) dengan menggambarkan Yesus yang sudah berkenosis sangat dalam ini diberi pahala oleh Allah dengan “Allah sangat meninggikan dia (tentu maksudnya: melalui kebangkitan dan pengangkatannya ke surga, untuk berada bersama Allah) dan mengaruniakan kepadanya nama di atas segala nama, ….” (Filipi 2:9-10). Jadi, tema perendahan dan tema pemuliaan/peninggian Yesus dalam madah kristologis ini lahir dari suatu gaya bahasa biner oposisional yang dipakai penulisnya dalam teksnya. 

Nah, peninggian atau pemuliaan Yesus Kristus sampai dia menjadi representasi Allah YME sendiri, yang kepadanya segala sesuatu akan bertekuk lutut dan segala lidah akan mengakui ketuhanannya, terjadi hanya setelah dia melakukan kenosis sampai ke titik paling rendah dalam kehidupan manusia.

Jadi, sudah seharusnya kalangan Kristen yang memakai Filipi 2:10-11 sebagai landasan untuk menegakkan triumfalisme dan superiorisme mereka dalam berhadapan dengan umat-umat beragama lain tidak melupakan kristologi kenosis yang diajukan madah kristologis ini. Sebelum merasa besar dan super, sekarang maupun di akhir zaman, sudah seharusnya gereja juga mengosongkan dirinya, melepaskan sifat takabur mereka, membuang perasaan paling benar sendiri, meninggalkan pemujaan pada kekayaan dunia, melepaskan gerak imperialis dan ekspansionis mereka, menyamakan diri dengan orang-orang yang berstatus rendah dan terbuang dalam masyarakat, supaya dengan itu semua mereka dapat menghayati bagaimana menjalani kehidupan kenotik Yesus. 

Hanya dengan memahami teks Filipi 2:10-11 dalam konteks sastrawinya, teks ini tidak akan melahirkan suatu fundamentalisme Kristen atau suatu superiorisme dan triumfalisme Kristen yang bisa menyengsarakan dunia non-Kristen sekaligus juga dunia Kristen.

3a) “Tidak ada nama lain yang olehnya kita dapat diselamatkan” (Kisah Para Rasul 4:12) 


Kisah Para Rasul (KPR) 4:12 lengkapnya berbunyi demikian, “Dan keselamatan tidak ada di dalam siapapun juga selain di dalam Dia [=Yesus Kristus], sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain [oude gar onoma estin heteron] yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan.” Ini juga adalah suatu teks skriptural eksklusif triumfalis yang menjadi suatu landasan mengapa orang Kristen evangelikal fundamentalis “petantang-petenteng” menyatakan agama Kristen (versi mereka) sebagai agama yang benar satu-satunya dan Yesus Kristus mereka sebagai sang penyelamat satu-satunya untuk umat manusia sejagat raya di bawah matahari. 

Frasa “tidak ada nama lain” dari teks KPR ini, kita tahu, telah dipakai Paul F. Knitter sebagai judul sebuah bukunya namun dengan diberi tanda tanya olehnya, No Other Name? A Critical Survey of Christian Attitudes Toward the World Religions (terbit pertama kali 1985). Orang Kristen evangelikal tentu saja banyak yang tidak senang dengan buku kritis Knitter ini, karena dalam penilaian mereka Knitter telah meragukan atau menolak kebenaran berita kitab suci Kristen, tanpa mereka memperhatikan dan mengikuti dengan serius argumen-argumen kuat dan kritis yang diajukan Knitter.

Teks KPR 4:12 ini tidak akan menjadi suatu teks problematik jika ihwal “tidak ada nama lain yang olehnya kita diselamatkan” hanya diberlakukan untuk kalangan dalam sendiri, yakni kalangan Kristen. Tetapi, karena KPR ditulis bertolak dari suatu rencana induk (master plan) yang dituangkan dalam KPR 1:8 (“Kamu akan menjadi saksi-Ku [saksi Yesus Kristus] di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi”) untuk mengkristenkan seluruh kawasan Yunani-Romawi (yang berpusat di kota Roma) pada zaman penulisnya, teks ini mengklaim bahwa “di bawah kolong langit” tidak ada penyelamat lain selain Yesus Kristus. Jadi kebutuhan misiologis ekspansif untuk mengkristenkan seluruh bumi memerlukan suatu dukungan dan pembenaran dari, atau melahirkan, suatu soteriologi (=ajaran tentang keselamatan) yang eksklusif dan berlaku global.

Sejak berdirinya anekaragam kekristenan di abad-abad pertama M, dan sejak ditulisnya beragam teks kitab suci Perjanjian Baru, gerak misiologis ekspansif ke seluruh muka bumi untuk mengkristenkan dunia sudah menjadi bagian dari penghayatan tugas dan panggilan gereja universal sepanjang sejarah kekristenan, yang lahir dari, atau dilegitimasi oleh, suatu soteriologi eksklusif dan triumfalistik. Politik ekspansionisme wilayah kekuasaan gereja berjalan bergandengan tangan dengan keharusan merumuskan soteriologi semacam ini.

3b) Dekonstruksi teks 


Untuk mendekonstruksi penafsiran triumfalistik eksklusif atas teks KPR 4:12, teks ini harus dibaca dalam terang keseluruhan kitab KPR, dan khususnya harus ditempatkan dalam konteks sastrawi naratifnya (KPR 3-4). Telah diargumentasikan di atas, soteriologi eksklusif dan triumfalistik teks KPR 4:12 ini didorong atau dilegitimasi oleh suatu politik misiologis ekspansionis yang telah dicanangkan dalam KPR 1:8. Kalangan kekristenan evangelikal takut sekali jika diingatkan, atau kepada mereka diperlihatkan, bahwa teologi dan juga soteriologi Kristen banyak yang lahir atau disusun dari kepentingan-kepentingan politik gereja perdana maupun gereja masa kini.

Selanjutnya, kita perlu memperhatikan KPR 3-4:22 sebagai konteks naratif KPR 4:12. Ucapan dalam KPR 4:12 ini berasal dari Rasul Petrus dalam suatu wacana pembelaan dirinya ketika dia dan Rasul Yohanes diperiksa atau disidang oleh “para pemimpin Yahudi, tua-tua, dan ahli-ahli Taurat” yang mengadakan sidang di Yerusalem, “dengan juga diikuti Imam Besar Hanas dan Kayafas, Yohanes dan Aleksander dan semua orang lain yang termasuk keturunan Imam Besar” (KPR 4:5-6). Tentu saja, setiap pembaca kritis akan melihat bahwa jumlah dan kalangan yang menyidangkan Rasul Petrus dan Rasul Yohanes, dua “orang biasa yang tidak terpelajar” (KPR 4:13), sangat dibesar-besarkan. Di sini, penulis KPR memakai suatu gaya bahasa hiperbolik, gaya bahasa pembesar-besaran sesuatu, jauh melampaui kenormalan. Gaya bahasa hiperbolik ternyata juga sudah dimunculkan sebelumnya oleh penulis KPR, ketika dia menceritakan bahwa “seorang laki-laki yang lumpuh sejak lahirnya sehingga dia harus diusung” (KPR 3:2), yang “sudah berusia lebih dari empat puluh tahun” (KPR 4:22), disembuhkan oleh Petrus dengan “memakai nama Yesus Kristus” (KPR 3:6). Selanjutnya dituturkan bahwa orang yang sudah disembuhkan ini, dengan “kaki dan mata kaki orang itu menjadi kuat” (KPR 3:7), “melonjak berdiri lalu berjalan kian kemari dan mengikuti mereka ke dalam Bait Allah, berjalan dan melompat-lompat” (KPR 3:8). Penyembuhan sebagai mukjizat semacam ini hanya ada dalam suatu narasi hiperbolik, tidak ada dalam kenyataan sejarah.

Nah, kita bisa rangkum sekarang. Dalam konteks narasi hiperbolik KPR 3-4:22, teks KPR 4:12 dengan demikian juga adalah suatu pernyataan hiperbolik, pernyataan soteriologis dan kristologis yang dibesar-besarkan. Kristologi dan soteriologi yang dibesar-besarkan tidak perlu ditanggapi dengan serius. Selain itu, Rasul Petrus harus membuat pernyataan kristologis dan soteriologis yang eksklusif dan triumfalistik dalam KPR 4:12 ini karena dia sedang membela dirinya di hadapan pemeriksaan oleh orang-orang yang berkedudukan penting dan banyak jumlahnya. Tentu saja, pembelaan diri dalam konteks ini mengharuskannya memakai gaya bahasa hiperbolik, minimal untuk membuatnya percaya diri dan menimbulkan keraguan di dalam diri para penyidiknya. Dalam narasi KPR 3-4:22, frasa “nama Yesus” ternyata muncul 6 kali (KPR 3:6, 16; 4:7, 10, 12). Jadi, tidaklah kebetulan kalau penulis KPR perlu membuat Rasul Petrus membuat pernyataan tentang nama Yesus dan fungsinya dalam pekerjaan penyelamatan ilahi atas umat manusia sejagat raya, dengan memakai gaya bahasa hiperbolik. Sekali lagi, soteriologi hiperbolik tentu saja tidak perlu terlalu serius dipikirkan, apalagi dipercaya mentah-mentah.

4a) Yesus Kristus “satu-satunya jalan” kepada Allah (Yohanes 14:6) 


Sudah merupakan suatu fakta bahwa teks Yohanes 14:6 adalah suatu teks yang paling sering dikutip orang Kristen untuk mendukung keyakinan dan pandangan mereka bahwa agama Kristen adalah satu-satunya agama yang benar dan Yesus Kristus adalah satu-satunya jalan keselamatan, jalan untuk orang dapat sampai kepada Allah. Teks ini, yang ditemukan hanya dalam Injil Yohanes (dan tidak ditemukan dalam Injil Markus, Injil Matius dan Injil Lukas, injil-injil yang ditulis mendahului penulisan Injil Yohanes), diucapkan oleh Yesus sendiri, “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.”

Dalam Injil Yohanes, jalan (hē hodos), kebenaran (hē alētheia) dan hidup (hē zōē) adalah hal-hal surgawi yang menjadi kelihatan dan nyata dalam dunia ini di dalam diri Yesus, atau hal-hal yang membawa orang kepada kehidupan surgawi, kepada perjumpaan dengan Allah, ke “rumah Bapa” (Yohanes 14:2). Semua hal surgawi ini, oleh penulis Injil Yohanes diklaim hanya ditemukan pada diri Yesus Kristus sebagai sang Firman (ho logos) yang memiliki kepra-adaan, yang “pada mulanya” ada “bersama-sama” dengan Allah dan yang “adalah” Allah (Yohanes 1:1), dan yang “telah menjadi daging” (Yohanes 1:14); atau sebagai Anak Manusia surgawi yang berpraada (Yohanes 3:13; 6:38; 6:46) yang telah mengambil bentuk daging (Yohanes 6:51). Sebagai suatu hakikat surgawi yang berpraada, Yesuslah, dalam kepraadaannya, satu-satunya “Anak Tunggal Allah, yang ada di pangkuan Bapa” yang “pernah melihat Allah” (Yohanes 1:18). Jadi, dapat dirangkum, bahwa karena Yesus adalah satu-satunya Hakikat surgawi (a heavenly being) yang berpraada dan satu-satunya yang telah melihat Allah dan bahkan adalah Allah sendiri yang telah menjadi daging, maka hanya lewat Yesuslah manusia bisa tiba ke rumah Bapa, kepada Allah, sebagai capaian terakhir keselamatan. Ringkas kata, bagi penulis Injil Yohanes, orang hanya bisa sampai kepada Allah hanya lewat diri Allah sendiri, yakni Allah yang telah mengambil rupa seorang manusia (“menjadi daging”), yaitu Yesus Kristus.

Benarlah jika dinyatakan bahwa, dibandingkan dengan injil-injil sinoptik (Markus yang ditulis tahun 70, Matius dan Lukas antara tahun 80-85), Injil Yohanes (yang ditulis belakangan, antara tahun 90-100) adalah injil yang paling berpengaruh kuat dalam pembentukan pemikiran kristologis gereja-gereja di kemudian hari, pada abad-abad ke-4 dan ke-5 ketika konsili-konsili ekumenis gereja-gereja (umumnya) Barat (yang berbahasa Latin) diadakan (Konsili Nikea tahun 325; Konsili Konstantinopel tahun 381; dan Konsili Khalsedon tahun 451), yang memandang Yesus sehakikat (Yunani: homoousios; Latin: Una Substantia) dengan Allah, dan bukan makhluk yang diciptakan (dari ketiadaan).

Perselisihan tajam yang sering berakhir dengan pertumpahan darah di jalan-jalan antara Arius dan Athanasius pada zaman patristik boleh dikata adalah perselisihan di sekitar persoalan apakah Yesus itu manusia sepenuhnya (pandangan Arius) atau apakah Yesus itu Allah sepenuhnya (pandangan Athanasius). Perselisihan teologis-kristologis ini memang pernah dicoba diselesaikan dengan suatu rumusan inklusif bahwa Yesus Kristus adalah manusia sepenuhnya sekaligus Allah sepenuhnya.

Tetapi, sampai di abad ke-21 ini, tetap saja terjadi ketegangan dalam kehidupan gereja-gereja sedunia, antara kelompok yang memegang keyakinan bahwa Yesus itu Allah sepenuhnya dan kelompok yang menganut kepercayaan bahwa Yesus itu manusia biasa. Nah, kelompok pertama (yakni kekristenan evangelikal) adalah kelompok yang paling agresif untuk menkristenkan dunia, menjadikan dunia “bertekuk lutut” di kaki Allah yang bernama Yesus, dan kelompok ini menolak untuk mendiskusikan atau mendialogkan klaim eksklusif mereka ini bahwa Yesus adalah Allah yang sesungguhnya, dengan umat-umat beragama lain yang juga tentunya memegang klaim-klaim kebenaran yang bisa sama eksklusifnya. Sedangkan kalangan yang liberal, yang memandang Yesus sebagai seorang manusia biasa (meskipun mungkin memiliki kualitas kehidupan moral yang berada di atas rata-rata manusia kebanyakan), membuka diri untuk berdialog dan melihat kehidupan beragama sebagai suatu ziarah yang tidak pernah selesai.

4b) Dekonstruksi teks 


Seperti telah ditegaskan di atas, teologi skriptural dan ekstra-skriptural apapun ketika dirumuskan tidak bisa dilepaskan dari kepentingan-kepentingan politis si perumusnya atau komunitasnya. Beragama adalah berpolitik (apalagi di dalam suatu dunia yang belum mengenal sekularisme). Demikian juga, Yohanes 14:6, bahkan seluruh bangunan pemikiran kristologis “dari atas” (high christology) dan soteriologi eksklusif triumfalistik dalam injil ini, adalah “sebuah ideologi perlawanan” Kristen (-Yahudi) yang ditemukan dan dirumuskan oleh komunitas Yahudi-Kristen Yohanes ketika komunitas ini sudah dikucilkan dari sinagog (aposunagōgos genētai, seperti kita dapat baca dalam Yohanes 9:22; 12:42; 16:2) dan mengalami penindasan dan penganiayaan (Yohanes 16:2; 16:33b), pemeriksaan, dan pemutusan komunikasi dengan orang Yahudi di sinagog (Yohanes 10:20). Dalam konteks sosio-politis semacam inilah, konteks sosio-politis religius suatu komunitas minoritas yang dianiaya, ditolak dan diasingkan, kristologi “dari atas” atau soteriologi eksklusif dalam Injil Yohanes adalah “an ideology of revolt”, seperti menjadi judul sebuah buku yang ditulis Jerome H. Neyrey, An Ideology of Revolt: John’s Christology in Social-science Perspective (1988). 

Berikut ini gambaran ringkas sejarah komunitas Yohanes. Semula komunitas Yohanes memberitakan kepada orang Yahudi di sinagog bahwa Yesus adalah sang Mesias Yahudi yang dinantikan, sang Nabi yang dikatakan “seperti” Nabi Musa. Tentu saja pemberitaan mereka ini semula berhasil; banyak orang Yahudi sinagog beralih menjadi anggota komunitas Yohanes. Tetapi para pemuka agama Yahudi di sinagog tidak suka melihat keberhasilan pekabaran injil komunitas Yohanes. Mereka lalu melakukan aktivitas penafsiran kitab suci (midrash) untuk membuktikan bahwa Yesus dari Nazaret tidak memenuhi syarat-syarat religio-politis untuk menjadi atau dipercaya sebagai sang Mesias Yahudi.

Bersamaan dengan aktivitas midrash ini, dengan satu dan lain cara mereka juga berhasil mengucilkan orang-orang Yahudi-Kristen Yohanes dari sinagog. Sebagai reaksi perlawanan, komunitas kecil Yohanes mengajukan klaim-klaim kristologis yang lebih radikal (masih dalam koridor “low christology”): Yesus menggantikan bahkan menghancurkan seluruh bangunan Yudaisme dan semua pilar dan ritusnya, termasuk semua orang suci Yahudi bahkan bangsa Israel sendiri, dan semua hari suci Yahudi dan semua pranata keagamaan Yahudi.

Sebagai respons terhadap klaim-klaim kristologis yang lebih radikal ini, orang-orang Yahudi di sinagog meningkatkan penderaan, pemeriksaan dan pengucilan terhadap anggota-anggota komunitas Kristen Yohanes. Ketika komunitas ini hampir secara psikologis dan fisikal tidak bisa tahan lagi menghadapi serangan dan kebencian orang Yahudi sinagog, yang mereka pandang sebagai keturunan “Iblis”, mereka mencari penguatan dan pegangan ideologis yang lebih bisa menolong dan menguatkan mereka. Di poin inilah mereka menemukannya dalam “high christology”: Yesus adalah Allah; kerajaannya bukan dari dunia ini; ketika dia “turun”ke dalam dunia ini dan “menjadi manusia”, dia ditolak oleh bangsanya sendiri dan oleh dunia yang membencinya; para pengikut Yesus dengan demikian juga mengalami apa yang dialami Yesus: mereka ditolak oleh dunia; dan Yesus menjanjikan kepada mereka untuk, lewat dirinya satu-satunya, akan sampai “ke rumah Bapa”.

Nah, kristologi “dari atas” adalah suatu ideologi perlawanan dan pertahanan diri yang dirumuskan oleh komunitas minoritas Yohanes, ketika komunitas ini ditolak, diasingkan dan didera oleh dunia ini. Semakin suatu komunitas minoritas dianiaya dan terancam musnah, semakin radikal komunitas ini dalam mencari kekuatan dalam suatu ideologi yang eksklusif dan triumfalistik. Yohanes 14:6 adalah bagian dari seluruh bangunan kristologi “dari atas” komunitas ini; teks ini, yang diciptakan oleh penulis injil ini, menghapuskan semua mediator Yahudi sebagai mediator-mediator yang tidak bisa membawa orang kepada keselamatan, tiba pada Allah. Hanya lewat Yesus, Allah komunitas Yohanes, keselamatan akan dialami. (Tetapi klaim bahwa Yesus itu Allah ternyata kebablasan, sehingga ada sebagian anggota komunitas Yohanes yang menganut doketisme, paham yang menolak kemanusiaan Yesus, karena itu ditulislah kritik tajam pada doketisme ini dalam 1 Yohanes 4:2-3; dan 2 Yohanes 7). Jika asal-usul teks Yohanes 14:6 telah dapat dipahami dalam perspektif ilmu-ilmu sosial, teks ini tidak perlu melahirkan fundamentalisme Kristen atau sikap “gagahan-gagahan” orang Kristen.


5. Penutup

Di atas telah dilakukan dekonstruksi kritis atas soteriologi salib, teks-teks triumfalistik skriptural Filipi 2:10-11, Kisah Para Rasul 4:12 dan Yohanes 14:6. Usaha dekonstruksi ini berhasil memperlihatkan bahwa doktrin utama kekristenan tentang keselamatan lewat salib Yesus dan teks-teks eksklusif dan triumfalistik ini, jika dipahami dengan kritis dan dalam konteks sastrawi dan konteks sejarahnya, sama sekali tidak memberi legitimasi skriptural apapun pada fundamentalisme, eksklusivisme dan triumfalisme Kristen. Hanya pemahaman yang tidak kritis dan bodoh terhadap doktrin penyelamatan melalui kayu salib Yesus, dan terhadap teks-teks skriptural eksklusif triumfalistik ini, memungkinkan timbulnya fundamentalisme dan triumfalisme Kristen.

by Ioanes Rakhmat

Icf/22-23 Juli 2009, Yogyakarta



Tuesday, July 14, 2009

Yesus Berjalan di atas Air: Betulkah?


Berperahu pada malam hari, di tengah danau yang bergelombang besar dan melawan tiupan angin keras, adalah suatu kejadian yang tidak akan dilakukan murid-murid Yesus yang sudah berpengalaman berlayar. Ini adalah suatu bentuk pengisahan yang disengaja untuk mencapai tujuan-tujuan teologis yang telah dipertimbangkan oleh si penulis kisah, untuk menyampaikan suatu ajaran kemuridan bagi gereja Markus.
 ioanes rakhmat

Selain itu, klaim bahwa Yesus itu Allah sering membuat orang Kristen mengabaikan suatu fakta yang sudah sangat pasti bahwa Yesus dari Nazareth adalah seorang manusia seperti kita yang memiliki tubuh jasmaniah yang kongkret, yang dapat disentuh dan memiliki berat, yang telah dipaku pada kayu salib dan mengeluarkan darah lalu mati.
 

ioanes rakhmat

N.B. Diperluas 13 Agustus 2021

Pengantar

Segala sesuatu yang ada dan terjadi dalam alam harus bisa dijelaskan oleh sains sebagai sesuatu yang sejalan dengan hukum-hukum alam (the laws of nature atau natural laws), meskipun sains pada masa kini belum bisa menjelaskan dengan tingkat kepastian yang tinggi seluruh jalannya hukum-hukum alam, dalam "dunia" partikel dan dalam jagat semesta. 

Sains dihasilkan oleh akal budi yang digunakan dengan kritis dan konsisten, melalui metode observasi atas fakta-fakta dan fenomena, melalui eksperimentasi dengan objek-objek empiris dengan memakai instrumen-instrumen, atau lewat model-model yang dibangun (model komputer, model statistik, model matematis, dll). Koherensi dengan teori-teori besar yang sudah ada juga menjadi penuntun ketika para ilmuwan menyusun berbagai konstruksi keilmuan yang baru.

Belum semua hukum alam sudah diketahui. Masih banyak fenomena yang beyond hukum-hukum alam yang sudah dikenal dalam jagat raya kita, belum lagi dalam jagat-jagat raya lain, bukan kontra hukum-hukum alam.

Jika ada suatu fenomena alamiah yang tidak bisa dijelaskan oleh sains pada masa kini, tidak berarti bahwa fenomena ini terjadi karena sebab-sebab supra-alamiah (misalnya karena campur tangan Allah atau campur tangan dewa-dewi) dan karenanya disebut sebagai mukjizat. Melainkan berarti bahwa sains pada masa kini belum bisa menjelaskannya dan terbuka kemungkinan untuk sains di masa depan bisa menjelaskannya. 

Sains pada dasarnya tidak akan membiarkan hal apapun tanpa penjelasan ilmiah. Semakin sains dan teknologi berkembang maju, semakin menakjubkan juga penjelasan-penjelasan keilmuan yang dapat diberikan atas berbagai fenomena.

Penjelasan sains bisa salah, ini sudah jelas; tetapi sains pada dirinya sendiri memiliki kemampuan dan pengetahuan untuk mengoreksi diri. Tak ada sains yang mutlak bertahan abadi. Sains tak akan pernah menjadi dogma-dogma suci. Alhasil, sains, dan teknologi sebagai terapannya, terus berkembang makin maju. Koreksi diri, itulah kunci penting bagi kemajuan apapun.

Salah satu "soft skills" yang dibutuhkan untuk siapapun mampu dan cakap mengoreksi diri adalah "metacognitive skill", atau kecakapan metakognitif. Nah, m
etakognisi adalah "pikiran (kita) tentang pikiran (kita) sendiri". Jadi, kecakapan metakognitif adalah kemampuan dan kecakapan untuk dengan kritis dan dengan kesadaran penuh memantau, memikirkan, mempertimbangkan dan mengevaluasi terus-menerus pikiran-pikiran kita dan kinerja kita sendiri, sebagai pemikir dan pembelajar. /1/ 

Setelah proses metakognitif itu berjalan, kita selanjutnya cakap mengadaptasi pikiran-pikiran, hasil-hasil pembelajaran dan kinerja kita dengan konteks-konteks yang baru dan senantiasa berubah, dan dengan tugas-tugas dan tanggungjawab yang baru dalam dunia yang terus berubah dalam sangat banyak bidang./ 2/

Nah, jika kepercayaan pada adanya Allah dipertahankan, maka harus dikatakan bahwa Allah berkarya melalui dan di dalam hukum-hukum alam, dan tidak menentang atau melawan hukum-hukum alam. 

Lebih jauh bahkan dapat ditegaskan bahwa hukum-hukum alam itu sendiri adalah kehendak dan pikiran Allah yang paling langsung dan paling jelas dapat diketahui manusia dalam dunia alam. Orang yang bergerak dalam alur teologi naturalis tidak mengalami kesulitan apapun untuk menerima hal ini.

Beberapa abad lalu, Baruch de Spinoza (24 November 1632 – 21 Februari 1677) sudah berpikir demikian ketika dia menyatakan “Deus sive Natura”, Allah atau Alam, maksudnya: Allah adalah alam, atau bahwa hukum-hukum alam itu adalah Allah sendiri, yang satu tidak bisa dipilih dan yang lain dibuang. Michio Kaku, seorang kosmolog masa kini yang kondang, juga mengaku bisa menerima keberadaan Allah, tetapi Allahnya bukanlah Allah dalam tiga agama monoteistik (Yudaisme, Kristen, dan Islam), melainkan Allah yang dipahami Spinoza!

Dengan demikian, jika ada suatu laporan apapun bahwa telah terjadi sesuatu yang menurut sains selamanya tidak akan mungkin terjadi secara alamiah di Bumi atau di alam semesta karena melanggar hukum-hukum alam, maka laporan ini tidak boleh diperlakukan sebagai suatu laporan tentang sesuatu yang faktual empiris alamiah sungguh terjadi dalam dunia.

Laporan semacam ini harus dilihat sebagai suatu laporan palsu yang direkayasa untuk melayani kepentingan-kepentingan insani tertentu. Atau sebagai suatu laporan yang memang harus dipahami bukan sebagai suatu laporan faktual tentang suatu kejadian historis, tetapi sebagai suatu kisah teologis yang memang ditemukan dalam tulisan-tulisan keagamaan dari berbagai zaman di tempat yang berbeda-beda.




Lihat gambar di atas. Air yang bergelombang besar tidak bisa menelan Yesus, sang Tuhan gereja. Sebaliknya, Yesus menginjak-injaknya. Berkonsentrasilah, fokuslah, pada Yesus, Tuhan yang hidup, maka anda pun akan berjalan di atas air yang besar bergelora dalam kehidupan anda.


Metafora

Ketahuilah, suatu laporan atau kisah teologis bertujuan bukan untuk melaporkan suatu kejadian historis dalam dunia alamiah manusia, tetapi bermaksud menyampaikan kebenaran-kebenaran lain yang berada dalam kawasan nilai-nilai, misalnya untuk menyampaikan ajaran-ajaran moral tentang hal yang baik dan hal yang jahat, hal yang benar dan hal yang salah, hal-hal yang menguatkan dan memberdayakan mental, dan seterusnya. 

Atau untuk menimbulkan efek dan respons pada perasaan, emosi, pikiran dan perilaku manusia terhadap sesuatu atau terhadap suatu figur insani tertentu yang menjadi objek-objek devosional atau penyembahan dan pemujaan keagamaan. 

Kisah-kisah semacam itu lazim dinamakan metafora (dari dua kata Yunani "meta" dan "ferein"). Yaitu suatu bentuk wahana sastra yang "menyeberangkan" (Yunani: ferein) si pembacanya, masuk ke kawasan lain yang "melampaui" atau "beyond" (Yunani: meta) kawasan dunia rutin sehari-hari, yakni kawasan adinilai, kawasan yang "sangat besar" atau transenden, yang melampau "batas-batas yang biasa". Kawasan ini memukau, mengejutkan, menggerakkan hati dan pikiran, dan mengubah kehidupan.

Tanpa metafora-metafora, maka pengenalan, pengalaman, penghayatan, gambaran dan internalisasi kita atas kawasan transenden, kawasan yang "sangat besar" yang melampaui dunia sehari-hari kita yang rutin, kawasan yang selalu berdimensi lebih tinggi, kawasan Misteri Besar, kawasan "the Wholly Other", akan sangat terbatas, bahkan tak dapat ada, tak dapat kita alami dan masuki, tak dapat mempesona dan tak dapat membuat kita tergetar dan tersungkur dalam keheningan, in deep silence

Rudolf Otto (dalam bukunya Das Heilige, 1917) menyebut Misteri Besar ini sebagai Mysterium tremendum et fascinans (Latin) atau "Misteri yang menakutkan sekaligus berkasihkarunia" (Inggris: fearful and merciful Mystery/Wholly Other"). Misteri ini, dalam bahasa Jerman, disebut oleh Rudolf Otto (1869-1937) sebagai "schauervolles und faszinierendes Geheimnis", atau sebagai "Ganz Andere", "Wholly Other" atau "Sang Lain" yang asing sepenuhnya, sang Serbalain./3/ 

Misteri Besar ini hanya bisa kita masuki dan alami lewat metafora-metafora besar yang dibangun dengan bagus, dan menghasilkan kebaikan dan cinta pada kehidupan.

Tanpa metafora, teologi apapun tak dapat dibangun, baik teologi cerita maupun teologi proposional, karena setiap teologi mengacu dan mau masuk ke Misteri Besar ini, misteri yang dahsyat sekaligus rahimi, yang melampaui segala sesuatu yang kita kenal dan persepsi dalam dunia biasa rutin sehari-hari kita. 

Untuk masuk ke Misteri Besar ini, ke "Ganz Andere", kita perlu menyeberang, memasukinya, lewat wahana metafora. Ya, karena misteri ini sepenuhnya melampaui atau berbeda dari dunia kita yang sehari-hari dan rutin, sehingga bahasa yang biasa, yang rutin, tak mampu menggerakkan dan membawa kita memasukinya. Metafora adalah bahasa, tapi bahasa yang lain, yang lewatnya kita mendatangi Sang Lain.

Misteri Sang Lain ini dahsyat dan mengerikan, tapi juga penuh kasih karunia dan menimbulkan kegembiraan, kesukaan, dan semangat. 

Lewat interaksi, metafora membawa kita memasuki kawasan transenden ini, sekaligus mendatangkan kawasan ini, Sang Lain ini, ke kita dan menyentuh kita dengan lembut sekaligus menyentak. 

Kita terbenam dalam keheningan di saat ini terjadi, di saat bertemu dengan, dan dijumpai oleh, the holy silent, the Wholly Other, Sang Lain. Itulah, the power of a metaphor.

Selanjutnya, silakan baca dengan cermat dan dada plong tulisan saya Teologi Adalah Metafora. Apa itu Metafora? Tulisan ini akan lebih luas membuka cakrawala pengetahuan anda tentang metafora, sejauh anda masih sedang berlayar ke depan, menuju cakrawala yang selalu samar dan menjauh./4/

Pencitraan diri

Ada sebuah tayangan audio-visual di youtube/5/ yang menampilkan Dedy Corbuzier (DC), seorang mentalist Indonesia, berjalan di atas air sementara kedua tangannya menggenggam sebuah handycam di sebuah kolam renang di Jakarta. Dalam sebuah tayangan lain, DC malah, seperti spiderman, berjalan ke atas pada sebuah dinding tembok dari sebuah bangunan tinggi dengan garis tubuhnya membentuk sudut 90 derajat dengan garis vertikal tembok. 

Menurut sains, berdasarkan hukum-hukum alam dan hukum-hukum fisika, dalam kondisi normal alamiah manusia manapun di Bumi ini tidak bisa berjalan di atas air yang dalam (kecuali di atas air yang kedalamannya hanya 10-20 cm) sebab massa jenis tubuh normal alamiah manusia lebih besar dari massa jenis air, dan juga tidak bisa berjalan normal alamiah ke atas pada dinding tembok sebab di Bumi ini secara alamiah bekerja gaya gravitasi Bumi yang akan menariknya jatuh ke bawah, seperti sebuah apel akan pasti jatuh ke bawah jika apel ini terlepas dari ranting pohon apel.

Jika DC betul-betul berjalan di atas air kolam renang yang dalam dan gambar acting-nya ini dapat secara objektif diambil oleh sebuah kamera, DC sangat boleh jadi telah berjalan (dalam dugaan saya semula) di atas sambungan balok-balok es batu yang panjang dan cukup besar yang telah disiapkan sebelumnya, yang mengapung di atas air kolam renang dan tidak bisa tertangkap oleh penglihatan biasa. 

Atau, ini yang sudah dipastikan, DC berjalan di atas tiang-tiang balok kaca yang disebut plexiglass, yang dipasang tegak lurus dengan dasarnya menyentuh dasar kolam renang. Plexiglass tidak bisa dilihat oleh mata biasa, tetapi dapat ditangkap oleh kamera khusus. 

Atau, tayangan DC berjalan di atas air atau berjalan ke atas pada dinding tembok semuanya adalah rekayasa teknologi canggih pembuatan film. 

Seorang lagi, yang telah menyihir publik, adalah Criss Angel. Si Angel ini diambil gambarnya sedang berjalan di atas air sebuah kolam renang, tanpa membawa handycam, dengan sangat berhati-hati, dan berusaha mempertahankan keseimbangan tubuhnya. Dia dikelilingi gadis-gadis cantik yang dibayar. Sudah disingkap bahwa Criss bukan berjalan di atas air, tetapi di atas plexiglass. Lihat tayangan videonya dan analisisnya di youtube./6/ 

Kembali ke DC. Tujuan tayangan-tayangan tentang DC ini tidak lain adalah untuk membangun sebuah citra metaforis DC, bahwa DC adalah seorang superman atau seorang spiderman kebangsaan Indonesia, bangsa yang merindukan seorang  superman benar-benar dilahirkan untuk mengangkat citra bangsa ini di mata dunia. 

Pencitraan diri semacam itu dibangun oleh banyak kalangan serebritas di seluruh dunia, bagaimana pun juga caranya, termasuk dengan cara menyihir atau memukau masyarakat (yang lugu) melalui teknologi canggih sinematografi atau melalui trik-trik material dan mental lainnya.

Yang sungguh tak bisa saya pahami adalah pendapat sekian pendeta yang disampaikan langsung kepada saya, bahwa DC memang sungguh-sungguh berjalan di atas air, bukan sebuah acting rekayasa untuk hiburan atau mencari nama, dan apa yang telah dilakukan DC ini, tegas para pendeta itu, membenarkan kisah-kisah injil Perjanjian Baru tentang Yesus berjalan di atas air! Walah, walah, argumen mereka kok jadi begitu? Kepercayaan pada mukjizat Yesus dipakai oleh mereka untuk membenarkan acting DC, dan sebaliknya juga.

Sekarang, mari kita cermati teks-teks injilnya. Tahap demi tahap kita perlu melangkah untuk dapat menemukan makna dan pesan teks, maksud dan tujuan teks ditulis dan dipublikasi oleh penulis-penulis injil.

Hukum alam yang baru?

Dalam Injil Markus 6:45-52 (paralel Matius 14:22-33; Yohanes 6:16-21) dikisahkan bahwa Yesus berjalan di atas air Danau Galilea (atau Danau Tiberias). Kita bertanya: Apakah Yesus bisa betulan berjalan di atas air danau yang dalam?

Jawabnya: Yesus secara alamiah tidak bisa berjalan di atas air di tengah Danau Galilea yang dalam, karena massa jenis tubuh Yesus lebih besar dari massa jenis air danau. Dan pasti, Yesus juga tidak bisa berjalan melayang di atas muka air danau itu, sebab Yesus memiliki tubuh yang memiliki massa atau berat, dan Dia bukan roh atau angin atau hantu tanpa tubuh. Ini adalah jawaban berdasarkan pandangan saintifik.

Ingatlah bahwa jika suatu hukum alam dilanggar, maka hasilnya adalah suatu hukum alam yang lain dan baru. Apakah sekarang kita sudah temukan hukum alam yang baru itu yang membuat kita dengan bobot tubuh kita dapat berjalan di muka air yang dalam secara alamiah (tanpa bantuan tenaga jet)? Ya, hukum alam yang seperti itu tidak ada. Kita semua tahu hal ini.

Prapaham dogmatis mengendalikan

Orang Kristen kalangan tertentu, karena kesalehan dan devosi mereka pada Yesus, umumnya akan berkeras menyatakan bahwa Yesus pasti bisa berjalan di atas air karena Dia adalah Allah yang sanggup melakukan mukjizat apapun, yang melanggar hukum-hukum alam, dan bahwa Yesus pasti bisa berjalan di atas air karena Alkitab melaporkannya demikian! 

Sikap keras atau kesalehan keras ini susahnya membuat pesan sebenarnya kisah ini ketika dulu ditulis hilang, tidak pernah bisa ditangkap mereka.

Sikap keras mereka itu timbul dari perlakuan dan ide mereka yang salah tentang hubungan teks-teks skriptural Alkitab dengan iman atau keyakinan mereka tentang Alkitab. Mereka umumnya menamakan iman atau keyakinan mereka ini sebagai bibliologi. 

Teks-teks Alkitab apapun begitu saja, dengan naif, tanpa pengetahuan yang benar, mereka pakai untuk mendukung dan membenarkan iman atau keyakinan mereka tentang Alkitab. Bibliologi mereka itu sebetulnya adalah prapaham-prapaham dogmatis mereka tentang Alkitab, bukan pengetahuan (Yunani: logos) yang benar tentang Alkitab (Yunani: biblion) atau teks-teks Alkitab. 




Argumen "kucing kejar buntutnya sendiri"


Argumen mereka jelaslah argumen yang sirkular. Maksudnya: prapaham-prapaham dogmatis mereka tentang Alkitab menentukan, menuntun dan mengendalikan pemahaman mereka (yang jelas literalis, naif dan keliru) atas teks-teks Alkitab, lalu pemahaman mereka yang oleh mereka telah dimasukkan ke dalam teks-teks Alkitab ini, yang mereka klaim telah diangkat dari teks-teks Alkitab, pada gilirannya memperkuat dan mengabsahkan prapaham-prapaham dogmatis mereka tersebut. Ini ibarat seekor kucing yang berputar-putar sirkular mengejar buntutnya sendiri. Lalu, pada gilirannya, si buntut mengejar sang kucing pemilik buntut--- terus demikian, tak pernah tiba di tujuan.

Ada banyak prapaham dogmatis mereka tentang Alkitab. Beberapa dapat saya sebutkan, berikut ini. 

• Doktrin "inerrancy of the Bible", bahwa segala info dan data dalam Alkitab, bahkan sampai ke titik dan koma semua tulisan di dalamnya, tidak akan pernah keliru, tapi selalu benar dan akurat; 

• Ide bahwa bukan akal dan ilmu pengetahuan yang dibutuhkan untuk memahami Alkitab tapi hanya iman. Posisi ini dinamakan fideisme (Latin: fides, iman), yang mencampakkan akal dan ilmu pengetahuan;

• Ide bahwa para penulis Alkitab dikendalikan sepenuhnya oleh roh Allah ketika mereka menulis teks-teks Alkitab, sehingga akal budi, kehendak dan konteks real kehidupan mereka tidak berperan sama sekali. Posisi ini mengakibatkan mereka mengambil pemahaman ahistoris terhadap Alkitab;

• Ide bahwa bukan akal dan ilmu pengetahuan, melainkan hanya Roh Kudus, yang dapat dengan benar menuntun para pembaca Alkitab untuk memahami Alkitab; 

• Ide bahwa kehendak dan pikiran Allah sudah terbaca dalam semua teks Alkitab apa adanya, sebagaimana telah tertulis, tanpa perlu ditafsir lagi. Ini yang dinamakan literalisme skriptural yang naif, dan dapat berbahaya;

• Ide bahwa Alkitab selalu serba tahu dan serba benar tentang segala hal yang telah ada, yang sekarang ada, dan yang akan ada, dalam dunia ini. Ya, lantaran penulis Alkitab yang sesungguhnya adalah Allah yang mahatahu dan mahabenar, sebagai sang Arsitek Agung penyusun Alkitab. Inilah yang disebut totalitarianisme skriptural yang sangat naif, keliru, dan dapat berbahaya.

Semua prapaham dogmatis itu sudah ada dan kekal berdiam dalam benak mereka sebelum mereka membaca teks skriptural apapun. Makanya, dinamakan pra-paham atau lebih tepat pra-anggapan  atau presuppositions, yang bagi mereka sudah tidak bisa diubah lagi, bahkan oleh teks-teks Alkitab sendiri. Meskipun mengaku bahwa mereka mempertahankan prinsip Protestan sola scriptura ("hanya Alkitab"), namun yang sebenarnya berlaku dan mereka pertahankan adalah sola doctrina, "hanya doktrin" atau "hanya dogma".

Well, yang seharusnya dilakukan mereka, jika mereka terpelajar dalam pengetahuan keilmuan tentang Alkitab, adalah teks-teks Alkitab yang dipahami dengan benar dipakai untuk mengoreksi prapaham-prapaham dogmatis mereka tentang Alkitab. Hal inilah yang tidak bisa mereka lakukan, ya lantaran mereka bukan exegetes, tapi para apologet. Saya seorang exegete yang terlatih, tak pernah bisa menjadi seorang apologet. Selain itu, "soft skill" metakognitif sangat mungkin tidak mereka miliki.

Nah, satu soal lagi. Ihwal apakah Yesus adalah Allah atau bukan, bergantung pada keyakinan masing-masing orang; jadi klaim teologis ini bersifat subjektif doktrinal. Ya, bisakah anda memberi definisi insani pada Allah yang dipercaya tak terbatas, infinite? Semua orang teistik tidak bisa. Hal yang "infinite", tidak dapat dikurung dalam pembatasan-pembatasan atau definisi-definisi. Dapatkah anda dengan objektif membuktikan bahwa Yesus itu God? Ya, tidak bisa, tapi anda dapat mempercayai bahwa Yesus itu God

Tentu saja, jika anda mempercayai Yesus itu Allah, mempercayai God Jesus, dan kepercayaan anda ini membuat anda dapat hidup dengan penuh cinta kasih kepada segenap bentuk kehidupan dan alam, dan tidak membuat anda serba ofensif dan agresif, kepercayaan anda ini fungsional positif, kepercayaan yang membangun kehidupan. Tetapi soal kita sekarang adalah menemukan maksud dan tujuan penulisan kisah injil tentang Yesus berjalan di atas air. Jangan kehilangan fokus.

Anti-Kristus

Klaim bahwa Yesus itu Allah sering membuat orang Kristen mengabaikan suatu fakta yang sudah sangat pasti bahwa Yesus dari Nazareth adalah seorang manusia seperti kita yang memiliki tubuh jasmaniah yang kongkret, yang dapat disentuh dan memiliki berat, yang telah dipaku pada kayu salib dan mengeluarkan darah lalu mati.

Jika fakta Yesus itu sosok manusia yang real disangkal, para penyangkalnya tergolong penganut doketisme dalam kekristenan gnostik, yang oleh gereja awal dulu telah dinyatakan sesat, sebagai anti-Kristus. Tentang ini, ada teks-teksnya dalam Perjanjian Baru (1 Yohanes 2:18, 22; 4:2-3; dan 2 Yohanes 1:7). Silakan dibaca dengan cermat.

Suatu tubuh yang dapat dipaku pada kayu salib lalu mengeluarkan darah dan akhirnya mati, setelah tubuh ini mengalami kesakitan dan penderitaan yang amat sangat, adalah tubuh yang pasti tenggelam di air danau yang dalam, sama pastinya dengan tenggelamnya sebutir kelereng begitu kelereng ini dilempar dan masuk ke danau. 

Selain itu, karena Alkitab adalah kitab keagamaan, bukan buku sejarah, dan juga bukan buku sains, maka tidak semua berita atau kisah di dalamnya adalah sejarah atau sejalan dengan pandangan sains! 

Dus, hindarilah usaha saintifikasi Alkitab, atau usaha mengalkitabiahkan sains. Kedua usaha ini selalu kandas, terperosok ke dalam praktek cocokologi yang sia-sia, praktek mencocok-cocokkan Alkitab dan sains atau sebaliknya, praktek yang superfisial dan melelahkan para agamawan.

Jika anda sebagai seorang literalis ngotot menyatakan dan meyakini bahwa "Alkitab itu serba tahu dan serba benar tentang segala hal", maka anda menyamakan dan menyetarakan Alkitab (to biblion) dengan Allah (ho Theos) yang mahatahu. Selangkah ke depan, atau mundur selangkah ke belakang, anda pun otomatis memuja bahkan memberhalakan Alkitab. Inilah bibliolatri yang anda punyai, selain bibliologi. Apakah praktek keagamaan anda ini betul dan Kristiani?

Jelas, sains dan akal budilah, bukan iman, bukan doktrin, yang menentukan dan menilai apakah suatu laporan atau suatu kisah dalam Alkitab adalah suatu laporan atau kisah sejarah faktual. Roh kudus Allah tentu saja juga bekerja lewat ilmu pengetahuan dan akal budi manusia, termasuk ketika orang mau memahami teks-teks Alkitab.

Dengan memakai pendekatan saintifik, setiap kisah mukjizat dalam Alkitab harus dipahami pertama-tama sebagai sebuah kisah yang berisi pesan-pesan teologis, dan tidak semua kisah adalah sejarah. Sejarah memang kisah, tetapi kisah nyata insani, bukan kisah teologis. 

Sejarah berurusan dengan dunia ini, "this world"; sedang kisah-kisah teologis, atau teologi umumnya, berurusan dengan dan memasuki "dunia yang lain", "the otherworld".

Teks-teks yang mendahului

Mari sekarang kita ikuti bagaimana ihwal Yesus berjalan di atas air dikisahkan sebagai sebuah kisah. Maksud dan tujuan kisah ini ditulis menunggu kita temukan.

Kalau Yesus bisa berjalan di atas air yang dalam (katakanlah karena dia memiliki “ilmu meringankan tubuh” yang konon, menurut dongeng, dimiliki para guru silat Biara Shao Lin), Dia sebetulnya memiliki suatu kesempatan emas untuk mendemonstrasikan kepandaian hebat-Nya ini di hadapan orang banyak -- konon berjumlah sampai lima ribu orang laki-laki; lihat Markus 6:30-44, sebuah perikop yang langsung mendahului perikop Yesus berjalan di atas air Markus 6:45-52-- untuk membuat mereka terkesima lalu menjadi percaya pada-Nya. 

Tetapi, menurut teks yang kita baca, dengan disaksikan orang banyak yang terus mengikuti-Nya, Yesus dan murid-murid-Nya “mengasingkan diri dengan perahu ke tempat yang sunyi” (Markus 6:32).

Demikian juga, dalam kisah sebelumnya tentang Yesus meredakan angin ribut (Markus 4:35-41), di hadapan orang banyak yang melihat-Nya dan dengan dikelilingi perahu-perahu lain yang sedang berlayar di Danau Galilea di siang hari, Yesus seharusnya mendemonstrasikan kehebatan-Nya jika memang Dia bisa berjalan di atas air. Tetapi apa kata teks yang kita baca?

Bukannya Yesus memperlihatkan diri berjalan di atas air danau, Dia malah “duduk” lalu “tidur” dalam perahu yang membawa-Nya bertolak bersama murid-murid-Nya. 

Bukankah orang banyak akan makin terkesima lalu percaya pada Yesus jika Yesus bukan saja memperlihatkan kemampuan-Nya meredakan angin ribut (4:39) tetapi juga kemampuan-Nya berjalan di atas air?

Jadi, bertolak dari teks-teks ini logis jika kita menyimpulkan bahwa Yesus sebetulnya tidak bisa berjalan di atas air. Ganjil kalau Yesus dalam kejadian-kejadian itu tidak mau berjalan di atas air, sebab dengan demikian Dia melewatkan kesempatan-kesempatan emas itu. 

Membaca teks dalam konteks

Nah, jika demikian halnya, mengapa Markus 6:45-52 mengisahkan Yesus berjalan di atas air di tengah Danau Galilea? Inilah pertanyaannya! This is the question!

Untuk menjawabnya, kita perlu ingat konteks sejarah yang melahirkan kisah ini, dan memperhatikan, dalam konteks sastranya, bagaimana tuturan kisahnya berjalan dan berkembang. Membaca teks apapun harus cermat kalau kita memang mau mendapatkan pesan teks, dan maksud serta tujuannya ditulis dalam suatu konteks kehidupan yang real, bukan mau berapologetika.

Kisah Markus ini tidak bermaksud melaporkan suatu kejadian sejarah faktual (bahwa Yesus dulu betulan berjalan di atas air yang dalam), melainkan mau menyampaikan ajaran tentang kemuridan (discipleship)—ajaran tentang bagaimana orang seharusnya bersikap dan menjalani kehidupan sebagai murid Yesus dalam sikon nyata yang keras yang sedang mereka hadapi.

Harus diingat bahwa kitab Injil Markus pertama kali dibaca bukan oleh murid-murid asli Yesus---"inner circle" yang konon berjumlah 12 orang, yang bisa diartikan secara simbolik sebagai 12 suku bangsa Israel yang sedang dipulihkan lewat gerakan Yesus--- pada tahun 30-an, tetapi oleh komunitas Kristen pada tahun 70 (abad pertama Masehi) yang menjadi alamat tujuan Injil Markus yang ditulis menjelang akhir Perang Yahudi I melawan Roma (66-70/74 M). 

Dalam komunitas ini, Yesus, seperti pada masa kini oleh gereja-gereja Kristen di abad ke-21, juga oleh saya, disapa sebagai Tuhan dalam doa dan dipercaya hadir dalam roh di tengah kehidupan umat Kristen.

Nah, kepada komunitas Kristen yang berdiri 40 tahun setelah kematian Yesus inilah kisah Yesus berjalan di atas air Danau Tiberias semula ditujukan. Apa yang diajarkan oleh kisah ini kepada gereja Markus ini?

Sekali lagi, fokuslah dan perhatikan kisahnya dengan seksama: Yesus berjalan di atas air ketika “hari sudah malam” (Markus 6:47), bukan di siang hari yang benderang, ketika perahu yang ditumpangi murid-murid-Nya terkena “angin sakal” dan gelombang air besar menghambat pelayaran mereka (6:48), dengan disaksikan hanya oleh murid-murid-Nya dalam perahu itu, bukan oleh orang banyak. 

Berperahu pada malam hari, di tengah danau yang bergelombang besar dan melawan tiupan angin keras, adalah suatu kejadian yang tidak akan dilakukan murid-murid Yesus yang sudah berpengalaman berlayar. Ini adalah suatu bentuk pengisahan yang disengaja untuk mencapai tujuan-tujuan teologis yang telah dipertimbangkan oleh si penulis kisah, untuk menyampaikan suatu ajaran kemuridan bagi gereja Markus.

Gambaran tentang kegelapan malam dan angin sakal yang menerpa adalah alegori yang memuat gambaran menakutkan tentang keadaan real kehidupan keras dan berat yang sedang menimpa gereja Markus, sementara di Palestina sedang berlangsung perang orang Yahudi melawan Roma yang segera berakhir dengan kekalahan telak bangsa Yahudi, dengan kota Yerusalem dan Bait Allah dihancurleburkan (tahun 70).  

Gambaran menakutkan tentang perang dalam Markus 13:7-13 tampak mengacu dengan jelas pada pengalaman komunitas yang menanggung beban berat Perang Yahudi melawan Roma tahun 66-70./7/

Pembaca Injil Markus pada abad pertama dulu juga pasti tahu kisah mitologis tentang Air Bah yang pada zaman Nabi Nuh, dikisahkan, melanda dunia dan membinasakan semua kehidupan kecuali Nuh dan keluarganya serta binatang-binatang yang dibawanya dalam bahtera (Kejadian 7-8). Kisah dalam Perjanjian Lama ini jelas mengambil alih dan mengadaptasi kisah serupa yang dikisahkan dalam Epik Gilgamesh, epik dari Mesopotamia yang ditulis pada tahun 3.000 SM.

Dalam pandangan Alkitab, air bisa menjadi lambang penyucian dan pengudusan (Zakharia 13:1; Efesus 5:26), sepertinya halnya dengan air baptisan Kristen, atau lambang kehidupan (Yesaya 55:1; Yeremia 2:13a; 17:13b; Yehezkiel 47; Yohanes 4:10; 7:38; Wahyu 7:17; 21:6; 22:1), tetapi juga, khususnya dalam kisah Air Bah (lihat juga Bilangan 5:19, 22), bisa menjadi lambang kutuk, ancaman maut, pembinasaan dan pemusnahan!  

Dengan demikian, kisah Markus tentang Yesus berjalan di atas air jelas adalah kisah tentang bagaimana menjadi murid Yesus dalam suatu kondisi kehidupan yang berat, sukar, rentan, dan mengancam kehidupan.

Nah, ketika gereja Markus sedang diterpa kekerasan dan penderitaan dalam kehidupan mereka dan terancam musnah, Yesus yang mereka panggil dalam doa didengar (via teks skriptural) bersabda, “Tenanglah! Aku ini, jangan takut!” (Markus 6:50), sementara Dia menginjak-injak dan meremehkan air yang ada di bawah kaki-Nya.

Ya, siapa yang tidak takut kalau hidup dikitari peperangan, azab, kekalahan dan ancaman kemusnahan!? 

Tetapi, kalau gereja di tengah kehidupan yang sukar dan berat ini tetap memandang dan berkonsentrasi pada Yesus yang berkuasa atas air, semua kesukaran, keberatan dan ancaman kebinasaan ini, kata Markus, dapat diatasi. Lihat Petrus yang semula ketika berkonsentrasi pada Yesus sanggup juga, kata Matius (di tahun 85), berjalan di atas air (lihat Matius 14:29), di atas gelombang air danau yang bergelora mematikan, di tengah kegelapan malam, ketika biduk kehidupan dilanda angin sakal kehidupan. 

Kalau berjalan di atas air dapat diparalelkan dengan melayang di atas muka air, tentu saja umat Kristen perdana yang membaca kisah Yesus berjalan di atas air akan pasti teringat pada tuturan dalam Kejadian 1:2 yang menyatakan bahwa pada waktu Allah sedang menciptakan Bumi, “Roh Allah melayang-layang di atas permukaan air.”

Ingatan pada teks kitab Kejadian ini akan membuat mereka menemukan di dalam kisah-kisah injil tentang Yesus berjalan di atas air suatu pesan bahwa Yesus memiliki kuasa Roh Allah sehingga Dia sanggup “melayang” di atas muka air. Kepada Yesus yang memiliki kuasa Roh Allah inilah, mereka dapat mempercayakan diri, karena Dia hadir bukan untuk menghancurkan dan membinasakan, tetapi untuk mencipta dan membangun kehidupan.

Penutup

Nah, itulah berita, penguatan dan ajaran kemuridan dari penulis Injil Markus (dan penulis Injil Matius), yang disampaikan melalui kisah Yesus berjalan di atas air. Jika pesan ini kita tangkap dan hayati, maka secara figuratif metaforis Yesus memang berjalan di atas air, bahkan kita juga, sebagai gereja Yesus Kristus, sanggup berjalan di atas air.

Saya pun, ketika bersama Yesus dalam doa, dan diselubungi oleh Roh-Nya yang hadir bercahaya gemilang, melihat diri saya mampu berjalan di atas gelombang air yang keras menerjang kehidupan saya. Air yang bergelora keras saya injak-injak, bersama Yesus.

Well, kalau DC di zaman modern berhasrat menjadi sang hero untuk bangsa Indonesia sehingga dia menyihir publik dengan rekayasa berjalan di atas air, penulis Injil Markus dan penulis Injil Matius menampilkan Yesus Kristus sebagai sang hero buat komunitas-komunitas Kristen mereka, sang hero yang sedang menginjak-injak air Danau Galilea di abad pertama.

Tetapi sangat berbeda dari tujuan acting DC, para penulis sastra injil ini tidak bermaksud memperdaya dan menyihir komunitas-komunitas Kristen mereka, melainkan untuk, lewat sarana kisah metaforis, menguatkan dan memberdayakan mereka, untuk membuat mereka bisa tetap tabah menjalani kehidupan dalam suatu konteks sosial yang berat dan sulit.

Lewat kisah-kisah metaforis Tuhan juga berfirman, tidak cuma lewat fakta-fakta. Ya, karena Tuhan itu kreatif, dan dunia seni adalah bagian terpadu dari jagat raya yang diciptakan-Nya. Lewat seni sastra dan semua karya seni lainnya, kita menjumpai Allah sebagai sosok Seniman Agung yang kreatif, yang menyampaikan pesan-pesan besar.

Orang akan bertanya lebih dari satu kali, meminta jawaban tegas, apakah Yesus dulu betulan berjalan di atas air danau yang dalam? Jawabnya: Ya, lewat kisah metaforis, Yesus Kristus berjalan di atas air, tetapi dalam fakta Yesus tak bisa!

Dan ingatlah: ada metafora yang bisa membangun kehidupan, dan ada juga metafora yang bisa membinasakan kehidupan. Cermat-cermatlah dalam memilih dan menghayati kisah-kisah metaforis.

Teman-teman perlu tahu, bahwa metafora Yesus berjalan di atas air terus-menerus menyeberangkan saya, masuk ke dunia adinilai, dunia transenden, berjumpa dengan Sang Lain yang memberikan kekuatan dan daya tahan besar yang saya perlukan dalam kehidupan saya di dunia rutin sehari-hari. Metafora ini empowers, memberdayakan, saya.

Well, kita telah mendapatkan makna, pesan, maksud dan tujuan penulisan, kisah injil Yesus berjalan di atas air. Kisah yang besar. Kisah yang menawan. Kisah yang memberi kehidupan. Metafora besar yang abadi.

Be blessed. Be strong.

ioanes rakhmat

14 Juli 2009
N.B. Diperluas 13 Agustus 2021

Catatan-catatan

/1/ Nancy Chick, "Metacognition", Center for Teaching, Vanderbilt, 2013,
https://cft.vanderbilt.edu/guides-sub-pages/metacognition/.

 /2/ John D. Bransford, Ann L. Brown, Rodney R. Cocking, eds, How People Learn: Brain, Mind, Experience, and School (expanded edition, Washington DC, The National Academic Press, 2000), hlm. 12, https://www.nap.edu/read/9853/chapter/1; dan https://www.nap.edu/catalog/9853/how-people-learn-brain-mind-experience-and-school-expanded-edition.

/3/ Rudolf Otto, Das Heilige: Über das Irrationale in der Idee des Göttlichen und Sein Verhältnis zum Rationalen (München: C.H. Beck'sche Verlagsbuchhandlung, 1917, cetakan kedua 1936). Terjemahan Inggris oleh John W. Harvey, The Idea of the Holy (Oxford University Press, 1923; edisi kedua 1950). 

/4/ Ioanes Rakhmat, "Teologi Adalah Metafora. Apa Itu METAFORA?", Freidenk Blog, 11 Agustus 2021, https://ioanesrakhmat.blogspot.com/2021/08/teologi-adalah-metafora-apa-itu-metafora.html?m=0.

/5/ Saksikan sendiri tayangannya di http://youtu.be/8OtzHpiLsFs.

/6/ Tayangannya dapat anda saksikan sendiri di http://youtu.be/nTE3WmMnovY.

 /7/ Bdk. Daryl D. Schmidt, The Gospel of Mark (Sonoma, California: Polebridge Press, 1990), hlm. 127.

Baca juga: 


*) Versi awal tulisan ini adalah sebuah pengantar acara diskusi kritis kisah-kisah mukjizat dalam Alkitab, 15 Juli 2009, Komisi Dewasa Gereja Kristen Indonesia (Jawa Barat) Kepa Duri, Tomang Barat, Jakarta Barat, Indonesia.