Tuesday, June 6, 2017

Minggat ke Australia cari ketenangan

KOK ADA TEROR ISIS di AUSSIE?!

http://www.express.co.uk/news/world/813094/melbourne-explosion-australia-hostages-brighton-terror

https://m.tempo.co/read/news/2017/06/06/120881839/isis-akui-bertanggung-jawab-atas-penyanderaan-di-melbourne

Cina-cina kaya, termasuk beberapa orang famili saya, memutuskan untuk tinggal di Aussie supaya, kata mereka, aman, tenang dan tidak berbahaya, jauh dari para radikalis Islamis ISIS. Apa respons saya?

LOH, mana ada lagi tempat yang aman sepenuhnya sekarang ini di dunia ini? Paman Sam dkk, by system, hanya mau jaga keamanan hanya sejauh kepentingan ekonomi, politik dan militer mereka, di dalam dan di luar negeri, terlindungi. Bahkan untuk kepentingan yang sama, proxy war juga dijalankan sang paman ini, dengan membangunkan wayang-wayang mereka yang sudah ada di seluruh dunia, lalu politik dan strategi adudomba pun dijalankan.

Oh ya, tentu anda bisa memahami, kalau akhirnya ada juga sebagian wayang-wayang ini yang menjadi liar, terlalu liar. Mereka berbalik melawan dan menyerang sang dalang dalam gerakan-gerakan yang mereka bangun sendiri, yang tidak lagi tunduk pada kemauan semula sang dalang. Sebagai respons, ya sang dalang pun membasmi satu demi satu wayang-wayang yang sudah memberontak ini. Ini sejenis penyakit otoimun politik militeristik yang harus digempur sang dalang.

Selain itu, jika anda mau berada jauh di Aussie, dan siap-siap kembali lagi ke Indonesia jika sikon di negeri yang konon ramah ini sudah berubah pulih dan aman, anda harus bayar tiket pesawat pulang-pergi, beli rumah dengan harga setinggi langit, bayar PBB di sana, biaya hidup yang mahal, biaya kesehatan yang juga tidak murah, bayar pajak lain-lain yang tinggi. Aman? Oh tidak. Tetap saja jantung anda akan kebat-kebit, takut ditembak mati atau disandera teroris di sana, entah di Melbourne atau di Perth atau di kota-kota lain di sono.


Mau tenang? Ya mulailah ketenangan itu dalam pikiran dan hati dulu. Melayani orang yang sedang tidak tenang dan sedang ketakutan, malah dapat membuat kita bebas dari ketakutan, dan menemukan makna agung kehidupan.

Dengan tetap berstatus WNI (karena jujur saja, hati anda selalu ketinggalan di Indonesia), anda bisa diam selamanya di Aussie karena punya uang sangat banyak meski anda menganggur di tengah kerumunan kangguru.

Tapi bagaimana dengan banyak anak lain dan cucu yang anda tidak bisa bawa semua sehingga anda tinggalkan di Indonesia, dan bagaimana dengan banyak generasi mendatang keluarga besar anda di NKRI? Apa anda tega dengan keadaan mereka yang terancam, sementara anda, sebagai ayah dan ibu atau opa dan oma mereka, asyik hidup plesiran dan tenang di Aussie? Tenang? Siapa yang bisa jamin?

Bagaimana kalau anda malah ditembak mati atau disandera teroris justru di Australia, lalu disiksa para teroris pelan-pelan di sana?


Kalau mau sedikit lebih aman, ya ada kota-kota dan pulau-pulau di Indonesia yang bisa kita jadikan tempat tinggal kedua kita. Kenapa harus mengungsi ke Australia? Kenapa tidak pilih diam misalnya di pulau Bali di kawasan yang biasa-biasa saja, hidup bersama dengan tetangga-tetangga Hindu yang baik?

Lalu di situ, di Bali, atau di pulau lain manapun di NKRI, uang kita gunakan untuk bangun sekolah-sekolah nonkomersial yang akan mendidik dengan cerdas dan berbudipekerti anak-anak dan remaja Indonesia kita sendiri atau banyak keturunan kita sendiri supaya selamanya mereka dapat cinta tanah air dan mau membangun dan mempersatukan negeri ini. Berpikirlah seluas jagat raya, jangan hanya seluas tempurung kepala atau tempurung kelapa.

Tapi jangan lupa: Meski pun diam di Bali, bisa saja kita malah mati di pulau Dewata ini karena jatuh dari tangga loteng di rumah sendiri, atau mati karena ditabrak trailer yang remnya blong di sana, atau mati karena tenggelam di Kuta atau di Sanur. Atau di sebuah jalan di kaki lima Denpasar, kita mati ngenes di tempat karena kepala kita menghantam kuat sebuah tiang listrik lantaran kita terpeleset dan terhuyung kuat sehabis menginjak kulit pisang yang dibuang sembarangan.

Orang yang takut mati, ingin hidup terus meski badan, jiwa dan pikiran makin uzur, ya jadi stres terus. Ingatlah satu kalimat aneh ini: Makin anda menyerakahi kehidupan, makin tidak hidup diri anda.

Tapi, orang yang berani mati seketika, tapi takut hidup jangka panjang, juga sangat buruk dan durjana. Mereka membom diri mereka sendiri di tempat ramai. Kalau mau bunuh diri dengan bom bunuh diri, karena sudah bosan hidup dalam dunia ini dan ingin segera cicipi hidangan lezat sorgawi, ya lakukan saja di gurun pasir yang sunyi sendirian.

Para pelaku bom bunuh diri ini jelas menyerakahi kematian. Bukan diri mereka sendiri saja yang haus kematian; tapi anggur pahit kematian harus direguk juga oleh jauh lebih banyak orang lewat aksi bom bunuh diri mereka. Orang yang menyerakahi kematian, tentu saja tidak mempunyai lagi nurani dan akal sehat dan rasa cinta pada kehidupan di dunia ini.

Pendek kata, mulailah ketenangan itu dari dalam diri kita sendiri. Bukan kabur-kaburan ke sana-sini bikin lelah sendiri dan menambah beban keuangan dan beban stres. Makin anda menyerakahi kehidupan, makin mati jiwa, kalbu dan pikiran anda! Menyerakahi kehidupan akhirnya juga bermuara pada aksi menyerakahi kematian: kematian nurani, akal panjang dan rasa kesesamaan sebagai manusia.

Serakah duit, menggiring anda jadi koruptor yang pada waktunya menggiring anda juga tinggal di sebuah kamar sempit berjeruji di sebuah hotel minus bintang. Serakah kehidupan, membuat anda malah hidup tidak bahagia, hidup sih secara ragawi, tapi batin, hati dan pikiran anda sudah mati duluan. Serakah kematian, membuat planet Bumi berubah jadi neraka real dan mengubah anda jadi monster-monster.

Jadi? Ya hiduplah dengan memberi kehidupan yang sehat dan baik pada sesama manusia dan semua bentuk kehidupan lain yang memiliki kesadaran.

Anda hidup supaya memberi hidup, tak jadi soal berapa panjang usia anda. Jika ini filosofi dan kearifan anda, anda akan siap mati kapanpun juga dalam ketenangan dan kedamaian yang sudah lama ada dalam hati dan pikiran anda.

Gitu loh.

6.6.17

The weeping silence