Thursday, April 2, 2015

Analisis ilmiah atas ide reinkarnasi dalam Buddhisme


Duuh Gusti, pekerjaanku kini tak beda jauh dari pekerjaanku dulu saat aku jadi manusia!


Reinkarnasi: Ide atau Realitas?

Update 10 Januari 2017

“Entah anda percaya pada sebuah agama atau tidak, entah anda percaya pada reinkarnasi atau tidak, faktanya adalah tidak ada seorangpun yang tidak menghargai kebaikan hati dan belarasa.” ― Dalai Lama XIV

“Aku sudah banyak kali berada di vihara-vihara. Tapi aku masih belum tahu apa yang umat Buddhis percayai, kecuali bahwa suatu ketika Kunio berkata, ‘Jika anda melakukan banyak hal yang buruk, anda akan dilahirkan kembali sebagai seekor lembu.’ Satu ucapannya itu lebih banyak maknanya ketimbang segala apapun yang aku pernah dengar dari, misalnya, Pdt. Pat Robertson!” ― Dave Barry


Pendahuluan 

Kata “inkarnasi” berasal dari kata Latin “in-carnis” (atau “in-caro”), artinya “menjadi daging” atau “menitis” atau “lahir” sebagai manusia. Banyak sosok besar dalam agama-agama dipercaya sebagai inkarnasi para dewa atau tuhan-tuhan.

“Reinkarnasi” berarti “lahir kembali di dalam tubuh atau daging” orang lain yang masih hidup. 

Dalam arti harfiah, reinkarnasi dipahami sebagai perpindahan atau masuknya “roh” atau “jiwa” atau “batin” orang yang sudah mati ke dalam tubuh orang lain yang masih hidup, baik di saat orang lain ini masih sebagai janin dalam rahim ibunya, atau di saat sudah dewasa dengan menerima secara bertahap “roh” atau “jiwa” atau “batin” orang yang juga masih hidup dalam dunia yang sama. 

Reinkarnasi dalam pengertian yang kedua ini lazim disebut “emanasi”, artinya “roh yang memancar dan mengalir atau terpercik” ke dalam diri orang lain.

Termasuk dalam ide reinkarnasi adalah kepercayaan bahwa lewat reinkarnasi, seorang manusia dapat lahir kembali di alam lain bukan sebagai manusia, atau tetap dalam dunia manusia, dengan status yang dapat lebih tinggi atau dapat lebih rendah, bergantung pada apa yang sudah ditabur selama masa-masa kehidupan sebelumnya.

Dalam reinkarnasi, “kesadaran” dan “pengetahuan” dari kehidupan sebelumnya dipercaya ikut dibawa oleh “roh” atau “jiwa” atau “batin” yang lahir kembali dalam tubuh yang baru. Ide reinkarnasi ini berbeda dari ide yang ada dalam kata “tumimbal lahir” (Sanskrit/Pali: patisandhi atau punabvhava).

Dalam tumimbal lahir, “kesadaran” atau “pengetahuan” yang dimiliki selama kehidupan sebelumnya lenyap sama sekali, tidak ikut dibawa di dalam kelahiran-kelahiran kembali berikutnya. 

Jadi, dalam tumimbal lahir, “roh” atau “jiwa” atau “batin” yang lahir kembali telah lupa sama sekali siapa, apa dan bagaimana dirinya dalam kehidupan sebelumnya. 

Dalam sejumlah teks kuno keagamaan, “roh” atau “jiwa” atau “batin” yang telah lupa segala hal yang menyangkut masa lalunya ini digambarkan berada dalam keadaan “mabuk”, “semaput”, “terbius” atau “tertidur”.

Ada seorang teman Facebook saya yang terus saja mendesakkan ide-ide Buddhis-nya tentang reinkarnasi supaya saya mempercayainya. 

Saya bisa memakluminya, karena jiwa kaum agamawan di mana-mana ya sama, apapun agama mereka: mereka selalu berdakwah tentang keyakinan-keyakinan mereka, dan berusaha keras mendesakkan keyakinan-keyakinan mereka itu kepada orang lain supaya orang lain ini menerima keyakinan-keyakinan mereka, lalu menjadi mualaf. 

Ihwal bagaimana isi pikiran, perasaan, dan konteks kehidupan orang yang mereka mau bawa masuk ke dalam agama mereka, sama sekali mereka tidak pernah pikirkan dengan empatetis. Mereka mati rasa dan berperilaku asosial.

Yang saya herankan adalah fakta bahwa si Buddhis itu terus saja ngotot meskipun dia sendiri tidak tahu sama sekali siapa yang orang yang sudah mati yang kini telah lahir lagi sebagai dirinya. Ini sebetulnya sama dengan menyatakan bahwa dia adalah orang yang telah kehilangan identitasnya sendiri, kalau identitasnya dicari olehnya jauh-jauh di masa lalu.

Saya sudah jawab kepadanya, berkali-kali, bahwa dilihat dari sudut sains, reinkarnasi tidak dimungkinkan sebagai fakta. Karena apa? 

Karena personalitas dan semua memori kita terekam hanya di dalam organ otak kita semasa otak masih hidup, belum mati. Nah, saat kita mati, tubuh kita menjadi mayat, lalu otak kita juga mati lalu membusuk, dan semua sirkuit neurologis di dalamnya sudah rusak dan punah, maka personalitas dan semua memori kita juga lenyap selamanya, punah, tidak pergi ke mana-mana. 

Ketika kita sudah mati, sisa raga kita yang masih tertinggal abadi dalam dunia ini adalah kimia carbon yang terus mengalami daur ulang. 

Monisme pikiran dan otak 

Jelas, yang saya telah kemukakan di atas kepada teman Facebook itu adalah pandangan arus utama dalam neurosains dan sains kognitif, bahwa semua memori kita tersimpan hanya di dalam neuron-neuron organ otak, yang membentuk jejaring neural. 

Bukti kebenaran pandangan ini konon sederhana: jika bagian tertentu otak yang menyimpan suatu jenis memori rusak, maka memori jenis ini hilang sama sekali dari ingatan kita, dan keadaan ini mengubah diri kita. Dalam bukunya, The Believing Brain, Michael Shermer mengungkapkan hal yang menarik, bahwa:

“Pikiran adalah apa yang dikerjakan otak. Tidak ada apa yang disebut ‘pikiran’ pada dirinya sendiri, di luar aktivitas otak. Pikiran hanyalah sebuah kata yang kita gunakan untuk mendeskripsikan aktivitas neurologis dalam otak. Jika otak tidak ada, pikiran juga tidak ada. Kita mengetahui ini karena jika suatu bagian dari otak hancur karena stroke atau kanker atau luka atau pembedahan, apapun yang bagian otak yang rusak itu sebelumnya lakukan, kini lenyap sama sekali.... Tanpa koneksi-koneksi neural dalam otak, pikiran tidak ada.”/1/

Mahaguru psikologi dari Universitas New York, Gary Marcus, ketika diwawancarai di tahun 2013, menyatakan bahwa

“Setiap orang dalam dunia neurosains kognitif ingin memahami dan menjelaskan bagaimana otak bekerja. Kita semua ingin tahu, hubungan apa yang ada antara apa yang neuron-neuron individual lakukan dan bagaimana sebetulnya kita berkelakuan. Pada dasarnya tidak ada alasan untuk menyatakan bahwa kita tidak akan dapat memahami dan menjelaskannya. 

Tetapi ada sangat banyak bagian di dalam otak yang terus bergerak sehingga sulit untuk hanya menduga-duga. Menjelaskan bagaimana otak bekerja adalah suatu masalah yang sangat, sangat rumit. 

Anda tahu setiap neuron bekerja dengan cara yang berbeda. Ada sangat banyak interdependensi di antara neuron-neuron yang berbeda. 

Tetapi, pada sisi lain, kita tahu bahwa otak adalah tempat di mana pikiran manusia berproses. Kita tahu, jika anda melukai bagian-bagian tertentu otak anda, maka pikiran anda akan berubah. 

Jadi, tidak ada pertanyaan terkait fakta bahwa rahasia-rahasia pikiran manusia terletak di dalam otak. Masalahnya adalah kita perlu tahu teknik-teknik dan perspektif-perspektif teoretis apa yang diperlukan yang akan memungkinkan kita memecahkan rahasia-rahasia ini.”/2/

Jadi, tidak ada “zat” yang dinamakan “roh” atau “pikiran” atau “jiwa” atau “batin” yang faktual bisa lepas dari tubuh manusia. Pikiran dan otak terinterkoneksi, tidak dapat dipisahkan, sekalipun pikiran itu suatu “entitas nonragawi” yang berbeda dari organ otak yang ragawi. 

Hubungan pikiran dan organ otak adalah hubungan yang tidak terpisah antara zat material otak dan zat nonmaterial pikiran. Kedua zat ini terinterkoneksi, tak bisa dipisahkan, dan saling mempengaruhi. Kondisi organ otak anda ikut menentukan corak isi pikiran anda; dan sebaliknya juga: isi pikiran anda juga ikut membentuk ulang organ otak anda seluruhnya atau bagian-bagiannya. 

Itulah posisi yang dalam dunia sains dinamakan “monisme”, bahwa pikiran (“mind”) dan otak (“brain”/“body”) secara fisiologis (dan juga secara ontologis) satu adanya. 

Dalam filsafat Barat, posisi monisme pertama kali diajukan oleh Parmenides di abad ke-5 SM lewat idenya tentang “monad” (Yunani: monos, “sendirian”, “tunggal”). 

Kemudian di abad ke-17 M juga dipertahankan oleh rasionalis Baruch Spinoza (1632-1677) yang, dalam karyanya Ethica Ordine Geometrico Demonstrata (selesai ditulis 1674, diterbitkan anumerta), menyatakan bahwa pikiran dan tubuh adalah dua aspek atau dua perspektif dari satu “realitas” universal atau satu “zat” dasariah yang dia gambarkan sebagai “Alam” atau “Tuhan”―posisi ini disebut sebagai “teori dual-aspek” atau “monisme dual-aspek”. 

Tetapi, sesederhana itukah soalnya?

Sekali lagi, apa yang saya telah kemukakan itu adalah pandangan arus utama dalam neurosains dan sains kognisi. 

Sejalan dengan Shermer dan Gary Marcus, Kevin Berger dan John Steele menyatakan bahwa 

“menjelaskan bagaimana otak bekerja adalah suatu masalah yang sangat, sangat rumit. Anda tahu dalam otak, setiap neuron bekerja berlain-lainan, dan ada sangat banyak interdependensi di antara neuron-neuron yang berbeda.… Tetapi, pada sisi lain, kita tahu bahwa otak adalah tempat di mana semua tindakan untuk pikiran manusia bekerja berada. Kita tahu, jika anda melukai bagian-bagian otak, maka anda mengganti pikiran anda. Jadi tidak ada pertanyaan lagi bahwa rahasia pikiran manusia terletak di dalam otak.”/3/ 

Tetapi, kembali, sesederhana itukah soalnya?  

Cacing-cacing air pipih 

Sebaiknya anda juga perlu tahu bahwa ada beberapa saintis yang sudah lama menyuarakan pendapat berbeda, tetapi mereka berada pada arus pinggiran. 

Lewat eksperimen-eksperimen di laboratorium dengan cacing-cacing air pipih (Dugesia dorotocephala) yang memiliki sistem saraf pusat (seperti pada manusia) dalam organ otak di dalam kepala mereka yang berbentuk segi tiga pipih, mereka menyimpulkan bahwa memori, khususnya memori jangka panjang, tersimpan tidak hanya dalam jejaring neural dalam organ otak, tetapi juga dalam sel-sel tubuh yang lainnya di luar otak. 

Bahkan mereka mencoba menunjukkan bahwa memori juga dapat dipindahkan dari satu cacing ke cacing lain dengan cara memberi cacing lain bagian-bagian tubuh dari cacing lain sebagai makanan. Mereka menunjuk “memori-RNA”―yakni suatu bentuk khusus informasi genetik yang, sebagai penengah, mengisi celah-celah antara DNA dan protein-protein―sebagai komponen genetik yang dapat menyimpan memori-memori jangka panjang dalam bentuk data kimiawi elektrik di luar otak, yang dapat ditransfer ke organ otak untuk memulihkan memori yang sebelumnya telah hilang. 

Arielle Duhaime-Ross menyatakan bahwa “Ide-ide kita dibentuk sebagian oleh kebudayaan, oleh suatu kebudayaan yang, dalam hal ini, percaya dengan kuat bahwa otak adalah pusat dari jagat raya fisiologis dan psikologis. Tidak diragukan lagi, ini adalah kenyataan yang benar. Tetapi bisa jadi, ini belumlah seluruh ceritanya.”/4/ 

Tetapi tentu orang dapat bertanya, apakah cacing-cacing air pipih ini juga akan memperlihatkan kemampuan yang sama, yakni menyimpan memori di dalam sel-sel lain di luar organ otak, jika memori-memori yang harus disimpan di luar otak itu sangat kompleks seperti memori-memori yang kita simpan dalam otak kita?

Bagaimanapun juga, entah memori tersimpan dalam neuron-neuron dalam organ otak, atau juga bisa tersimpan di dalam sel-sel lain dalam tubuh di luar otak, fakta akhirnya tetap sama: Ketika kita mengalami kematian total, lalu organ otak dan seluruh sel tubuh kita rusak, membusuk lalu punah dengan berubah menjadi carbon yang terus mengalami daur ulang, semua memori kita, termasuk memori tentang jatidiri kita, juga lenyap selamanya, tidak pergi atau pindah ke tempat-tempat lain. 

Dari carbon kita semua kembali ke carbon. Yang bisa tertinggal abadi juga nama besar kita jika kita memang real telah menyumbang pikiran atau temuan kita yang besar, yang bermakna dan berlaku abadi dalam dunia ini. 

Apakah roh diperlukan?  
    
Nah, jika personalitas dan semua memori si A musnah, lenyap selamanya, begitu si A mati, maka tidak ada lagi kehadiran si A setelah kematian, di manapun dan kapanpun. 

Jadi, si A yang sudah punah itu tidak mungkin “mangkal” di suatu stasiun di dunia “atas”, menunggu gilirannya (dari bilangan jam atau hari sampai ratusan tahun atau ribuan tahun atau jutaan tahun) untuk masuk, reinkarnasi, ke raga orang lain sewaktu orang lain ini masih sebagai janin dalam rahim ibunya.    

Hingga saat ini, tidak ada bukti ilmiah apapun bahwa “jiwa” atau “roh” orang mati tidak ikut mati pada waktu orang ini mati, atau bahwa “jiwa” atau “roh” terpisah dari tubuh atau dari otak. 

Sejauh ini, tidak ada bukti ilmiah apapun bahwa “jiwa” atau “roh” orang berdiam bukan di dalam organ otak. 

Tanpa otak sama sekali, siapapun juga akan pasti mati dalam waktu sangat singkat (karena fungsi-fungsi semua organ tubuh tidak jalan); kendatipun ada orang-orang tertentu yang memiliki otak yang bagian-bagiannya tidak lengkap tetapi masih dapat hidup karena fungsi-fungsi bagian-bagian otak yang tidak ada itu diambilalih dan dijalankan oleh bagian-bagian otak yang ada―sesuatu yang dimungkinkan karena neuroplastisitas organ otak. 

Jika anda ngotot bertahan dalam keyakinan anda bahwa tanpa otak sama sekali manusia bisa hidup, dan kelangsungan kehidupan anda tidak ditentukan oleh otak, ya anda tentu benar sejauh anda mau menjadi bakteri atau tumbuh-tumbuhan. 

Silakan lepaskan dan buang otak anda! 

Apa yang dinamakan “hati” atau “jiwa” (yang dihubungkan orang dengan suara hati, perasaan, kalbu, suara batin, emosi, kehendak) kini juga sudah diketahui ada dan bekerja bukan dalam organ jantung atau organ lever, tapi dalam korteks otak yang dinamakan anterior cingulate

Pada sisi lain, ada banyak bukti berlimpah yang menunjukkan bahwa pengalaman-pengalaman spiritual terhubung erat dengan, atau merupakan fungsi esensial dan konstruktif (hard-wired), neuron-neuron dalam organ otak. 

Otak kitalah, bukan hal lain, yang membuat kita bisa masuk ke pengalaman-pengalaman keagamaan. Pengalaman-pengalaman spiritual sudah terprogram oleh alam di dalam organ otak kita./5/  

Bahwa kehidupan dapat dihasilkan tanpa memerlukan jiwa atau roh, juga dengan sangat fenomenal sudah diperlihatkan oleh sains biologi sintetis, dimulai pertengahan tahun 2010 oleh J. Craig Venter dan timnya. Waduuh. Bagaimana caranya? 

Empat botol larutan kimiawi dicampur dan bereaksi dalam sebuah synthesizer kimiawi. Persenyawaan kimiawi ini berlangsung lewat instruksi sekuen informasi genetik dari sebuah sel bakteri pilihan, yang sudah dikemas dalam bentuk data digital, lewat sebuah komputer. Hasilnya adalah DNA atau genom sintetis. 

Saat genom sintetis ini ditransplantasi (dengan teknik transfer nuklir seperti yang dipakai dalam IVF) ke dalam sejumlah sitoplasma alamiah yang sudah dikosongkan bersih dari genom alamiahnya, sel-sel yang ditransplantasi ini ternyata mampu memperbanyak diri dalam bentuk dan sifat yang sama dengan sel-sel yang semula yang darinya sekuen informasi genetik itu diperoleh, dan memperlihatkan kemampuan bertumbuh secara algoritmis. 

Dengan kata lain, biologi sintetis kini sudah sanggup menciptakan sungguh-sungguh suatu kehidupan, kehidupan sintetis, tanpa melibatkan jiwa atau roh apapun./6/    

Brain Reverse-Engineering 

Tetapi, kendatipun kehidupan oleh sains sudah diperlihatkan dapat diciptakan tanpa membutuhkan roh atau jiwa yang pernah dipercaya akan bertahan kekal, tentu saja sains dan teknologi modern bisa membuat personalitas dan semua memori anda bertahan abadi, yakni dengan membuat otak sintetis yang berupa sirkuit dan jejaring chip-chip komputer yang menyimpan data dan fungsi bagian-bagian otak anda seluruhnya. Chip-chip ini akan menjadi super chip, karena mampu menampung 100 trilyun sirkuit neural yang ada dalam otak asli biologis manusia. 

Dengan menggunakan instrumen “high resolution brain-computer interface” (HRBCI), bagian-bagian otak alamiah, tentu saja lewat komputer, dipreteli satu per satu sampai ke bagian-bagian yang terkecil, lalu bentuk, sifat, struktur dan fungsi serta cara kerja bagian-bagian ini pada dirinya sendiri dan dalam hubungan dengan keseluruhan organ otak dipelajari dan dipahami, lalu semua bagiannya itu disatukan lagi, dan interaksi dan interkoneksi antar semua bagiannya juga dipantau, dipelajari dan dipahami. 

Itulah teknik yang dinamakan Brain Reverse-Engineering (BRE). Dengan teknik BRE yang menggunakan komputer-komputer super, kita akan dapat mensimulasi kerja dan fungsi semua bagian otak kita, termasuk kerja dan fungsi neuron-neuron dalam organ otak.  

Lewat teknik BRE dan pemanfaatan HRBCI, para saintis secara bertahap akan dapat memetakan seluruh otak (“brain mapping” seutuhnya), memahami segala sesuatunya yang menyangkut otak manusia, lalu akan dapat pada akhirnya membangun bagian-bagian otak sintetis (neuroprosthetic connectomes).

Akhirnya keseluruhan otak dapat dibuat tiruannya dengan sempurna (the whole emulation of the human brain) dalam wujud chip-chip komputer yang terintegrasi dengan sempurna, dan dapat bekerja dan berfungsi sempurna seperti kerja dan fungsi otak asli. 

Pada akhirnya, dengan menggunakan teknik BRE ini dan instrumen HRBCI sehingga seluruh jejaring neural dapat dipetakan dengan sangat akurat, maka jati diri, personalitas dan semua memori anda yang tersimpan tersebar tetapi juga terintegrasi dengan menakjubkan, dapat dipindahkan dan diubah menjadi himpunan data komputasional digital dalam jejaring chip-chip komputer atau dalam hanya satu super chip komputer yang dapat dipasang pada sirkuit otak robot-robot android (humanoid) sebagai avatar atau surrogate anda. 

Ketika seluruh data neural otak biologis anda sudah masuk ke dalam otak mekanik sebuah robot android, otak anda berubah menjadi otak sibernetik, cybernetic brain

Lewat otak mekanik robot-robot baja yang memiliki kecerdasan buatan (Artificial Intelligence, atau AI), semua memori anda, termasuk memori yang menyimpan data jati diri anda, akan hidup abadi selamanya dan kekuatannya akan dilipatgandakan lewat sinergi dengan AI. 

Bahkan kesadaran anda dapat ditransfer sampai ke galaksi-galaksi yang jauh, melintasi ruangwaktu tanpa batas, misalnya dengan memakai sinar laser sebagai medianya. 

Anda hidup abadi sebagai suatu cybernetic organism, alias cyborg. Dr. Hannah Critchlow menegaskan bahwa “jika sebuah komputer dapat dibangun untuk menciptakan kembali 100 trilyun koneksi neural dalam otak manusia, maka adalah mungkin kita akan dapat hidup di dalam sebuah program. Sirkuit-sirkuit inilah yang membuat kita ada sebagai kita. Ini sangat mungkin.”/7/

Apakah personalitas saya pribadi sebagai saya, “the real me”, sungguh-sungguh ada dalam program komputer itu atau dalam sebuah super chip komputer, tentu saja masih harus dites jika objeknya sudah ada! 

Kesadaran atas jati diri manusia itu (siapa aku? bagaimana aku? mengapa aku begini dan begitu? mau jadi apa aku? dst), kita tahu, bukan cuma timbul dari aktivitas elektro-kimiawi dalam neuron-neuron di dalam otak kita, tapi dihasilkan dari interaksi antara faktor-faktor neurologis dan faktor-faktor non-neural di luar otak (ekologi, pendidikan, pengasuhan, gaya hidup, faktor-faktor sosialbudaya dan sosialpolitik, faktor-faktor genetik, faktor-faktor fisiologis hormonal, faktor-faktor ragawi, sains dan teknologi, dan lain-lain). Juga bukan hanya himpunan data neural masa lalu, tetapi juga terus terbentuk, berubah dan berkembang, maju tapi juga dapat merosot, saat kita semua masuk ke masa depan dan berinteraksi dengan masa depan.   

Neuroprosthesis kognitif   

Lewat pemanfaatan teknik BRE dan instrumen HRBCI ini, pada masa kini prestasi paling mutakhir dalam neurosains dan perekayasaan neural (neural engineering) baru saja dicapai oleh Ted Berger di laboratoriumnya di University of Southern California, Los Angeles, California. 

Berger berhasil menciptakan sebuah prototipe chip komputer yang memuat data fungsi bagian otak hippokampus seekor tikus; lalu dalam tiga tahun ke depan, teknik yang sudah dicapai ini akan diterapkan pada manusia. 

Prestasi Ted Berger yang menjadi sebuah tonggak sejarah ini berada dalam wilayah pembuatan peta bagian-bagian otak (connectomes) artifisial non-biologis (disebut neuroprosthesis kognitif), yang mencakup langkah-langkah berikut: 

Pertama, mengidentifikasi fungsi dan cara kerja sepotong khusus bagian otak biologis;

Kedua, membuat sebuah alat artifisial (prosthesis) yang menjalankan fungsi yang sama persis dengan sepotong bagian biologis otak yang sudah diidentifikasi ini; 

Ketiga, mengganti bagian otak biologis yang orisinal ini dengan sebuah alat neuroprosthetik;
Keempat, menguji kesempurnaan fungsi dan kerja alat neuroprosthetik ini.

Memang, yang baru dicapai Ted Berger adalah pembuatan skala kecil bagian otak, yakni bagian hippokampus, secara artifisial dalam bentuk sebuah chip komputer. 

Tetapi, di masa yang tidak lama lagi, prestasi Ted Berger ini akan disusul dengan kemampuan menciptakan neuroprosthesis seluruh bagian otak yang sudah terpetakan (connectomes), yang disebut sebagai “the whole emulation of the brain”. 

Ini bisa dicapai dengan pasti mengingat kita kini juga sudah punya teknologi membuat “high resolution brain-machine interfaces”, yang memungkinkan para saintis merekam dan memetakan, bukan cuma mensimulasi, dengan persis semua fungsi bagian-bagian otak. Teknologi ini sama penting dan sama kekuatannya dengan teleskop untuk para astronomer yang sudah ditemukan lebih dulu./8/ 

Jika akhirnya lewat perekayasaan neural, keseluruhan otak biologis manusia dapat dibuat tiruan non-biologisnya yang bekerja dengan sempurna, dan otak tiruan ini tidak bisa mati, maka tentu saja ide keagamaan tentang reinkarnasi tidak diperlukan lagi. 

Anda tidak perlu menjelma lagi; “roh” atau “jiwa” anda, setelah anda mati, tidak perlu lagi pindah atau masuk ke janin-janin manusia lain, sebab anda, sebagai cyborg, hidup abadi dalam otak tiruan anda. 

Lebih dari itu, semua pertanyaan tentang roh atau jiwa manusia yang kekal, yang dapat lepas dari tubuh lalu masuk ke dunia gaib, menjadi tidak relevan lagi. Begitu juga yang terjadi pada ide tradisional tentang reinkarnasi. 

Jadi, saya memandang ide tradisional tentang reinkarnasi tidak punya landasan ilmiah, walaupun bisa saja ada penelitian-penelitian yang konon dapat menyimpulkan bahwa si bocah A atau si bocah B, atau si pemuda A atau si pemudi B, ternyata adalah reinkarnasi dari orang-orang zaman lampau. 

Alasan kesimpulan ini: bocah A, bocah B, atau pemuda A atau pemudi B itu, semuanya dalam kondisi terhipnosis (kondisi yang lazim bagi pasien hipnoterapi), berhasil menunjukkan persis nama, masa kehidupan, kondisi raga dan watak orang-orang zaman dulu secara spesifik, yang mereka akui telah menjelma kembali di dalam diri mereka. 

Jika itu memang kejadiannya, hemat saya ini, minimal, bisa hanyalah kebetulan saja, atau, maksimal, sebuah hasil rekayasa yang didramatisir lewat imajinasi liar. 

Anda perlu tahu, dalam kondisi terhipnosis, siapapun akan mudah diarahkan dan disugesti oleh si penghipnosis, yang tentu saja punya kepentingan-kepentingan tertentu. 

Seorang hipnoterapis dengan jitu telah menyatakan bahwa jika seseorang sedang berada dalam kondisi terhipnosis, orang ini berada dalam pengaruh sugesti sekaligus bebas berimajinasi. 

Banyak penghipnosis atau hipnoterapis profesional dan juga yang bergelar doktor telah digalang dan disatukan dalam tim-tim yang didanai besar untuk membuktikan reinkarnasi sebagai fakta.

Pada sisi lain, saya sangat meragukan validitas interpretasi semacam itu, berhubung dalam dunia ini, apalagi sekarang penduduknya sudah 7 milyar kepala lebih, bisa ada ribuan bahkan mungkin jutaan orang yang memiliki paras, raga, dan watak, yang serupa atau malah yang sama. 

Cobalah anda buat gambar bebas sebuah wajah, dan beri wajah ini watak sesuka anda, lalu anda pasang di Internet (entah Instagram atau media sosial elektronik lainnya). Lalu anda minta seluruh dunia untuk mencari adakah sosok yang anda gambarkan itu. Bilang saja, jika sosok dengan wajah dan watak ini ditemukan, masih hidup atau sudah mati, si penemu akan anda hadiahi uang USD 1 juta. 

Saya yakin, jika orang percaya pada anda, khususnya pada kemampuan anda memberi imbalan yang sangat besar itu, anda akan menerima ribuan bahkan jutaan respons yang menyatakan sosok yang anda gambar itu si X atau si Y atau si Z  atau si Anu-anu-anu. Jelas, bukan? 

Dan pernahkah anda berpikir, bahwa jika setiap orang dari 7 milyar lebih manusia penduduk dunia di awal abad ke-21 adalah reinkarnasi dari satu orang di era sebelumnya (taruhlah di kurun 100 tahun lalu), maka, dihitung paling gampang saja, hal ini berarti pada 100 tahun lalu dunia juga haruslah sudah berpenduduk 7 milyar orang lebih. Rasionalkah ini? 

Ide reinkarnasi dan politik 

Selanjutnya, umat Buddhis sebaiknya tahu bahwa ide tentang reinkarnasi dengan mudah dapat dipakai untuk tujuan-tujuan religiopolitik dari rezim-rezim yang sedang berkuasa saat mereka mau menetapkan sosok yang akan menjadi sang pemimpin religiopolitik di suatu kawasan yang penduduknya percaya pada reinkarnasi. 

Hal ini dengan tajam sudah dilihat dan dialami oleh Dalai Lama yang sekarang (Dalai Lama XIV), yang nama aslinya Tenzin Gyatso (dilahirkan 6 Juli 1935)./9/ Seperti dikatakan Jay Michaelson, “Jabatan spiritual Dalai Lama diciptakan sebagian untuk alasan-alasan politis, dan penyeleksian siapa yang akan memegang jabatan ini telah lama dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan politik.”/10/

Tenzin Gyatso sudah lama melawan China yang pada tahun 1959 menyerbu lalu menguasai bangsa Tibet. Pada tahun itu juga, sebagai Dalai Lama (pemimpin tertinggi umat Buddhis Tibet) beliau melarikan diri, lalu membentuk sebuah pemerintahan-dalam-pembuangan di Dharamshala, India.

Sebagai pemimpin mazhab “topi kuning” Buddhisme Tibet, Dalai Lama paham betul bahwa salah satu cara Beijing dalam mengontrol Tibet adalah dengan melibatkan diri sepenuhnya dalam proses seleksi reinkarnasi rahib-rahib Buddhis Tibet senior. 

Sebagai contoh, pada tahun 1995 beliau menunjuk seorang bocah lelaki Tibet yang bernama Gedhun Choekyi Nyima sebagai reinkarnasi Panchen Lama (pemimpin tertinggi kedua umat Buddhis Tibet). Tetapi pemerintah China malah menetapkan seorang bocah lelaki lain, Gyancain Norbu, sebagai pengganti Panchen Lama sebelumnya, dan menjadikan Gedhun Choekyi Nyima sebagai bocah tahanan rumah. Terakhir kali, Gedhun Choekyi Nyima terlihat di muka umum 17 Mei 1995. 

Pada masa kini, sementara China menegaskan dengan kuat bahwa Gyancain Norbu adalah Panchen Lama yang sah, bagian terbesar umat Buddhis Tibet tidak mengakuinya.

Tenzin Gyatso, sebagai Dalai Lama XIV, yang di tahun 2015 ini berumur 80 tahun, bersama umat Buddhis Tibet kini sedang mempersiapkan hal-hal yang perlu berkaitan dengan penggantinya sesuai adat-istiadat suksesi kepemimpinan tertinggi umat Buddhis Tibet, antara lain menyeleksi bocah lelaki Tibet mana yang dalam dirinya Tenzin Gyatso akan menjelma kembali sesudah dia wafat nanti. 

Dalam situasi itu, banyak orang Buddhis Tibet khawatir bahwa China akan kembali memakai momen suksesi kepemimpinan ini untuk memperluas dan memperkuat kontrol China atas Tibet, lewat politik devide et impera. 

Isu-isu politis mutakhir yang terkait dengan soal siapa yang akan menggantikan Dalai Lama XIV dan dengan cara yang bagaimana, dan sampai di mana peran pemerintah China, dengan jelas telah dibeberkan oleh Evan Osnos di koran online The New Yorker edisi 13 Maret 2015./11/

Nah, dalam situasi religiopolitik inilah Tenzin Gyatso mulai mengevaluasi kembali doktrin dan kepercayaan pada reinkarnasi, yang sebetulnya pada tahun 2011 sudah dibentangkannya panjang lebar dalam filosofinya tentang reinkarnasi yang dipasang pada situs web resmi Dalai Lama./12/ 

Sementara China biasa menyatakan bahwa sesuai adat-istiadat religiopolitik pengganti Dalai Lama haruslah seorang anak lelaki yang dilahirkan di Tibet, Tenzin Gyatso malah mengajukan sekian pilihan lain, termasuk gagasannya bahwa penggantinya sebetulnya sudah dilahirkan sementara dirinya masih hidup, dan bahwa penggantinya dapat berupa seorang perempuan. 

Tenzin Gyatso bahkan melihat reinkarnasi dirinya sebagai sosok Dalai Lama yang agung dan superior (dinamakan ma-dhey tulku) sudah mulai berlangsung sekarang lewat emanasi jiwanya secara bertahap ke dalam sosok yang dipilihnya sendiri. 

Selain itu, Dalai Lama juga dengan radikal berpikir dan yakin bahwa jabatan Dalai Lama yang kini dipegangnya adalah jabatan terakhir dari silsilah panjang para Dalai Lama sebelumnya. Jadi, selanjutnya, setelah dia wafat, tidak akan ada lagi Dalai Lama baru sebagai reinkarnasi dirinya.    

Terlihat, bahwa di tangan Dalai Lama doktrin reinkarnasi yang tradisional tidak absolut. Dia bebas menafsirkannya kembali. Bahkan dia bukan hanya menafsirkan kembali, tetapi merombak dengan radikal doktrin reinkarnasi dalam Buddhisme dalam rangka perlawanannya yang cerdas dan berani terhadap China.    

Tentu saja, atas sikap religiopolitis Dalai Lama ini, pemerintah China, yang mengklaim perannya diperlukan untuk membantu rakyat Tibet keluar dari keterbelakangan dan kemiskinan, memberi reaksi keras. 

Jurubicara Menteri Luar Negeri China, Ms. Hua Chunying, dengan keras menyatakan bahwa: 

“Gelar Dalai Lama diberikan oleh pemerintah pusat, dan adat istiadat ini mempunyai sejarah ratusan tahun. Dalai Lama XIV [yang sekarang] memiliki tujuan-tujuan tersembunyi, dan sedang berusaha untuk mendistorsi dan menyangkal sejarah, yang sesungguhnya menghancurkan tatanan normal Buddhisme Tibet.”/13/ 

Dengan kata lain, apapun juga kemauan Dalai Lama XIV, China akan tetap menetapkan dan mengangkat sendiri Dalai Lama XV berdasarkan ketentuan-ketentuan mereka sendiri. Alhasil, tidak lama lagi dunia akan mendapatkan dua orang Dalai Lama XV: yang satu ditetapkan oleh pemerintah China, dan yang lainnya oleh umat Buddhis Tibet yang hidup dalam pengasingan. 

Berhadapan dengan fakta ini, ide tentang reinkarnasi tentu saja menimbulkan kebingungan dalam diri banyak penganut Buddhisme Tibet dan umat Buddhis lainnya pada umumnya. 

Dalam kebingungan ini, semoga mereka bisa menemukan bahwa ternyata ide tentang reinkarnasi begitu mudah diintervensi oleh kepentingan-kepentingan politik.  

Adakah manfaatnya? 

Tetapi saya akui sungguh-sungguh, sebagai ide, doktrin tentang reinkarnasi masih bisa berguna, sejauh membuat orang yang mempercayainya menjalankan kehidupan mereka dengan sangat hati-hati di masa kini. Kenapa? Supaya, dalam pikiran mereka, kalau nanti lahir kembali, mereka akan lahir kembali sebagai manusia-manusia dengan kedudukan yang lebih tinggi dan lebih hebat, dibandingkan sekarang. 

Jadi, dari segi moral, ide reinkarnasi ini ada manfaatnya. Hiduplah sebaik-baiknya sekarang, supaya dalam kelahiran kembali nanti, anda akan naik status menjadi seorang raja! 

Dilihat dari sudut ini, kita dapat katakan bahwa doktrin tentang reinkarnasi sangat menekankan kekinian, bukan kelampauan atau keakanan! 

Doktrin khayalan apapun, juga mitos-mitos dan metafora-metafora keagamaan, sejauh masih bisa membantu orang hidup bermoral, tetap punya fungsi yang positif juga. 

Tetapi, nanti dulu, saya juga mau ingatkan hal lain. Sewaktu si bayi B dilahirkan, dia akan jadi apa saat sudah dewasa tentu saja tidak ditentukan oleh perbuatan-perbuatan manusia-manusia zaman lampau yang sudah lama mati. Tidak mungkin “karma" manusia kuno si Z akan menentukan status si bayi B saat si bayi ini sudah dewasa dan menjadi manusia yang sukses atau malah menjadi manusia yang gagal total. 

Status si bayi B nanti saat sudah dewasa, sesungguhnya, sangat dipengaruhi oleh wataknya (sebagian bawaan genetik dan bawaan epigenetik), oleh kondisi sosioekonomi kedua orangtuanya (kaya atau miskin, terhormat atau tidak terhormat), oleh pendidikan dan pengasuhan yang dialaminya sejak kecil, oleh lingkungan pergaulannya, oleh kecerdasannya (akibat genetik dan pendidikan), oleh masyarakatnya, oleh tingkat kegigihannya membangun karir, dan oleh berbagai faktor sosiologis dan ekologis lainnya.

Jangan berasumsi, jika si bayi B sukses saat sudah dewasa, ini berarti karma dan dharmanya sangat positif sewaktu hidup di zaman dulu. Atau sebaliknya, jika si bayi B gagal dalam kehidupannya semasa dewasa, jangan berasumsi kegagalannya ini ditentukan oleh karma dan dharma buruknya sewaktu dulu dia hidup sebagai si Z. Asumsi-asumsi ini tidak bisa dibuktikan sama sekali; cuma dipercaya saja. 

Sisi negatifnya adalah: asumsi-asumsi ini akan membuat si bayi B saat sudah dewasa tidak dihargai sebagaimana dirinya ada di zaman sekarang. 

Sukses atau gagalnya dia dicari sebab-sebabnya di zaman kuno. Prestasi individualnya tidak dihargai sama sekali. Begitu juga, keunikan dirinya hilang, karena dia dilihat hanya sebagai penjelmaan seorang lain yang hidup di zaman sebelumnya. 

Dilihat dari sudut itu, doktrin tentang reinkarnasi tentu tidak disukai manusia modern yang individualis, yang hidup dalam suatu masyarakat yang sangat menekankan keutamaan berprestasi (the need of achievement) setinggi-tingginya dari setiap individu.

Dalam kasus-kasus ekstrim, bahkan doktrin reinkarnasi bisa dijadikan sebagai sebuah alat untuk menakut-nakuti orang yang hidup pada zaman sekarang. 

Misalnya, seorang ibu yang tidak bijaksana berkata keras, “Wahai anakku, hormatilah aku sebagai bundamu. Jangan terbengkalaikan aku. Supaya kamu nanti tidak terlahir kembali sebagai seekor keledai dungu!” 

Setahu saya, ada orang dari aliran-aliran kepercayaan yang pada satu sisi mempercayai kuat adanya reinkarnasi, tetapi pada sisi lain mereka menolak reinkarnasi dapat mengambil wujud seekor binatang saking buruknya perbuatan seseorang dalam kehidupan sebelumnya. 

Supaya seorang anak menyayangi bundanya, ada banyak cara lain yang edukatif dan membangun, yang dapat dijalankan, sama sekali tidak perlu berkata bengis seperti si ibu yang tidak arif itu. 

Begitu juga, jika doktrin reinkarnasi dipakai, maka situasi dan kondisi bangsa Tibet yang kini sedang dijajah China dapat dilihat sebagai akibat perbuatan-perbuatan jahat bangsa Tibet pada zaman-zaman sebelumnya terhadap bangsa-bangsa lain. Jika demikian halnya, doktrin ini, yang berwatak fatalistik, akan pasti mematikan semangat bangsa Tibet untuk pada masa kini terus melawan China. 

Reinkarnasi dan Tuhan

Ada juga sebuah kasus ekstrim lainnya yang saya baru saja baca (Kamis, 27 November 2014) di Facebook saya. Isinya khotbah seorang Buddhis apologet doktrin reinkarnasi. 

Dia mengutip teks-teks Perjanjian Baru milik orang Kristen yang mengisahkan seseorang dilahirkan buta sejak lahir, lalu murid-murid Yesus bertanya kepada Yesus, orang ini buta karena siapa atau karena hal apa. 

Nah, si Buddhis ini berkhotbah (dengan mengutip sebuah sumber lain) bahwa iman Kristen menyebabkan seseorang menyalahkan dan membenci Tuhan saat dia sedang dilanda masalah berat (kebutaan sejak lahir, antara lain). 

Tapi, katanya, jika orang yang menghujat Tuhan Allah itu memegang kuat dan percaya penuh pada reinkarnasi, maka pasti dia tidak akan mempersalahkan Tuhan sebab masalahnya yang berat (kebutaan sejak lahir atau apapun juga) sudah jelas sumbernya, yakni dari karma buruk seorang lain yang telah hidup sebelumnya, yang kini lewat reinkarnasi menjadi dirinya.

Saya sudah menjawab si pengkhotbah Buddhis itu, begini: 

“Tentu saja, jika karena harus menanggung problem berat seorang Kristen mempersalahkan bahkan sampai menghujat Tuhannya, itu adalah iman Kristen yang kekanak-kanakan, tidak dewasa. Orang Kristen ini menjadikan Tuhannya kambing hitam. 

Tetapi, doktrin reinkarnasi juga memerlukan kambing hitam atas nasib buruk seseorang yang hidup sekarang, yakni orang yang sudah mati. Kedua kambing hitam ini, baik Tuhan maupun orang yang sudah mati, sama-sama tidak bisa ditanyai! 

Jadi, khotbah anda itu sangat tidak menarik hati dan pikiran saya. Tolong beri saya khotbah tema lain!” 

Reinkarnasi yang wajar

Tetapi saya bisa juga melihat reinkarnasi secara wajar, bahkan ilmiah, dengan cara lain. Mau tahu? Boleh, tentu saja.

Misalnya, saya sangat kagum pada pikiran-pikiran Sokrates, atau pada pikiran-pikiran Plato, murid terdekat Sokrates. 

Karena diawali dengan kekaguman ini, maka saya mendalami sungguh-sungguh semua pikiran kedua filsuf Yunani kuno ini (abad ke-4 SM). Bahkan jalan-jalan kehidupan mereka juga saya eksplorasi, alhasil saya kenal kedua orang kuno yang agung ini, bukan hanya pikiran-pikiran mereka, tetapi juga jalan-jalan kehidupan mereka, visi dan misi mereka, bahkan sampai ke watak masing-masing. 

Akhirnya saya jatuh cinta dengan sangat dalam pada keduanya. Lalu saya berkomitmen untuk menjelmakan seluruh kehidupan dan pikiran dua filsuf besar ini lewat kehidupan dan ajaran-ajaran saya sekarang di abad ke-21 dalam konteks Indonesia. 

Maka, orang lain yang juga kenal Sokrates dan Plato, saat mereka kenal saya dan melihat jalan kehidupan saya dan membaca tulisan-tulisan saya, akan langsung berkata, “Wah, Mr. Ioanes Rakhmat adalah penjelmaan diri Sokrates dan Plato!” 

Ya, jika itu sikonnya, sesungguhnya saya adalah reinkarnasi Sokrates dan Plato. Reinkarnasi ini faktual sekaligus metaforis dan dicapai bukan lewat kepercayaan keagamaan, tetapi lewat studi mendalam, lewat cara ilmiah.

Jadi, memang sungguh-sungguh betul, bahwa orang-orang besar zaman lampau hidup kembali di zaman sekarang hanya lewat kehidupan kita! 

Orang-orang besar yang sudah mati di zaman-zaman kuno kini sedang menunggu kesiapan anda untuk mereka tumpangi. Selamat menjalani reinkarnasi, lewat cara yang ilmiah.  

Reinkarnasi digital

Dalam beberapa tahun terakhir ini, teknologi jejaring neural ("neural network") Artificial Intelligence (AI) sedang dikembangkan untuk tujuan menghadirkan kembali secara digital sosok kekasih-kekasih anda yang sudah wafat.

Teknologi AI yang dipakai untuk kebutuhan ini serupa dengan teknologi AI yang dipakai oleh perusahaan Amazon untuk robot cerdas Alexa atau robot cerdas Siri milik perusahaan Apple. Teknologi jejaring neural AI ini memampukan sebuah program komputer AI untuk belajar layaknya otak manusia lewat aktivitas neuron-neuron dan jejaring-jejaring neural.

Dipadukan dengan AI dan algoritma "machine learning" (ML) tradisional, "neural network" menghasilkan suatu algoritma baru yang jauh lebih maju yang kini dinamakan Deep Learning (DL). Dibandingkan ML, DL membutuhkan mesin komputer yang jauh lebih kuat dan data yang jauh lebih banyak.

Memahami teknologi AI DL sangat sulit bagi kebanyakan kita sebab bidang teknologi ini melibatkan sekaligus neurosains, sibernetika, fisika quantum, sains AI, sains komputer, dan matematika yang luar biasa rumit.

By system, sebuah robot yang memiliki AI yang mampu belajar sendiri akan dapat terus-menerus dan tanpa batas melipatgandakan kecerdasan dan kecakapan mereka dalam banyak bidang lewat proses pembelajaran, "reinforcement", internalisasi, sosialisasi dan adaptasi lewat pengalaman-pengalaman mereka sebelumnya sementara mereka aktif. Kemampuan pengembangan diri AI yang tanpa batas ini dinamakan "self-recursive improvement".

Sebuah perusahaan startup di bidang AI sudah berhasil membangun satu sosok chatbot imitasi orang yang sudah wafat lewat app messenger. Sosok insani yang sudah wafat ini dihidupkan kembali sebagai satu sosok online chatbot lewat app yang dengannya anda dapat bercakap-cakap kembali, lewat chat, bahkan meluapkan perasaan anda kepadanya. Sebagai representasi digital, katakanlah, mendiang kekasih anda, chatbot ini akan memberi berbagai respons atas tegur sapa anda dengannya.

Sangat banyak foto, data dan info digital yang terkait langsung atau tak langsung dengan diri kekasih anda ini sewaktu dia masih hidup yang harus dihimpun dan diolah (dari berbagai media sosial) untuk membangun app chatbot AI digital ini.

Ada manfaat terapeutik dari teknologi penghidupan kembali orang yang sudah wafat ini dalam wujud chatbot AI. Duka cita bisa dikurangi dan hati yang merana dihibur.

Lewat chat, ada yang menemukan hal-hal personal dari si mendiang yang tidak pernah diketahui sewaktu dia masih hidup real di dunia. Tapi ada juga yang melihat sosok chabot AI online digital itu kehilangan bagian-bagian otentik personal yang dimilikinya sewaktu dia masih berada secara fisik di tengah mereka./14/

Itu bak orang yang sudah mati lahir kembali, bereinkarnasi, di tengah anda lewat perangkat digital messenger. Katakanlah, sosok mendiang itu "digitally reincarnated", dibuat menitis kembali dalam dunia virtual digital.

Apakah ini hal yang menyenangkan dan menyembuhkan atau malah menakutkan bagi anda? Jawabnya: bisa keduanya pada saat yang bersamaan. Cobalah.

Atau malah anda sedang mempertimbangkan untuk nanti sesudah anda wafat, anda mau bereinkarnasi sebagai sebuah chatbot?

Hemat saya, itu sebuah pertimbangan yang bagus dan realistik sementara menunggu para ilmuwan mampu mengunggah seluruh jatidiri dan memori anda dan kita semua dalam bentuk data digital yang sangat besar ke Cloud Computing yang memerlukan bantuan komputer quantum yang kini sedang dibangun baru dalam tahap embrionik.

Jika era itu sudah tiba, anda dapat men-download "mind" siapapun, termasuk "mind" kekasih-kekasih anda yang sudah meninggal, yang tersimpan di Cloud. Lalu anda pindahkan atau transfer ke otak anda sendiri yang sudah dipersiapkan, atau ke otak digital mesin-mesin robot-robot cerdas yang selanjutnya menjadi reinkarnasi digital mereka yang sudah wafat tapi kini ada dan hidup bersama anda kembali dengan real.

De-extinction dan ras eugenik

Selain itu, saya juga mau bagi ke anda informasi mutakhir dalam dunia sains-tek masa kini yang dapat relevan dengan ide reinkarnasi dalam Buddhisme.

Lewat teknik yang dinamakan “DNA-editing”, ke dalam gen-gen orang-orang besar dan agung yang sudah mati diinjeksikan suatu kompleks enzim yang mengikat dan menggunting sekuen-sekuen spesifik DNA (enzim ini dinamakan CRISPR Cas9). 

Selanjutnya, gen-gen mereka yang sudah diedit ini dimasukkan ke dalam gen-gen orang-orang lain yang masih hidup pada masa kini; alhasil orang-orang besar itu dapat hidup kembali di dalam diri orang-orang lain itu, tanpa lewat teknik kloning. 

Seluruh proses untuk menghidupkan kembali orang-orang yang sudah mati itu dinamakan DE-EXTINCTION. Sementara ini, proses ini sedang diujicoba untuk menghidupkan kembali sejumlah ciri mammoth berbulu lebat dan berdaun telinga kecil (Latin: Mammuthus primigenius) yang sudah punah di dalam sel-sel gajah penerima dalam laboratorium./15/ 

Bisa jadi, inilah cara sains-tek masa kini untuk membuat ide Buddhis tentang reinkarnasi dapat terwujud dengan nyata. 

Tentu saja proses DE-EXTINCTION yang dijalankan pada manusia-manusia zaman lampau yang sudah mati akan berhadapan dengan keberatan-keberatan besar yang diajukan para etikus. Inilah yang sekarang sedang terjadi ketika teknik DNA-editing CRISPR Cas9 baru saja diterapkan pada embrio-embrio manusia. 

Suatu tim peneliti dari China (16 orang) baru saja mengonfirmasi bahwa mereka telah memodifikasi secara genetik 86 embrio tahap dini manusia untuk pertama kalinya dengan menginjeksikan enzim CRISPR Cas9 ke dalam embrio-embrio ini. 

Usaha mereka itu telah berhasil menyambung dan merekatkan DNA hanya dalam 28 embrio; dan hanya sebagian kecil dari embrio-embrio ini yang berhasil mereka ubah secara genetik dengan mengganti gen-gen masing-masing. 

Debat hangat pun timbul tentang akibat-akibat dari usaha mengedit gen pada embrio-embrio manusia ini. 

Banyak orang khawatir bahwa mengubah gen manusia pada tahap embrio di dalam sel-sel sperma dan sel-sel telur yang sudah menyatu dapat mendatangkan suatu era baru eugenik dan bahkan akan menimbulkan risiko besar bagi kesehatan generasi-generasi yang akan datang. 

Dr. Marcy Darnovsky, direktur eksekutif Pusat Genetika dan Masyarakat yang berbasis di Berkeley, California, menyatakan secara tertulis bahwa “menciptakan manusia yang telah dimodifikasi secara genetik akan dengan mudah bermuara pada bentuk-bentuk baru ketidakadilan, diskriminasi dan konflik sosial.”/16/   

Penutup 

Akhir kata, kalau memang doktrin tentang reinkarnasi yang dipercaya umat Buddhis (dan banyak lagi aliran keagamaan/spiritual) tidak cocok lagi dengan pemikiran modern dan temuan-temuan sains, doktrin ini harus diapakan? 

Sosok agung umat Buddhis Tibet, Dalai Lama, pernah di tahun 2005 dengan sangat terang membuat pernyataan berikut ini:

“Jika sains membuktikan kepercayaan-kepercayaan Buddhisme salah, maka Buddhisme akan harus diubah. Hemat saya, sains dan Buddhisme sama-sama mencari kebenaran dan berusaha memahami realitas. Dengan belajar dari pemahaman yang lebih maju dari sains tentang aspek-aspek realitas, saya percaya Buddhisme akan memperkaya pandangan dunianya sendiri.”/17/

Saya yakin, ucapan Dalai Lama ini dibutuhkan oleh teman Facebook saya yang suka ngotot itu, dan juga oleh semua umat Buddhis yang sedang bergumul dengan doktrin reinkarnasi. 

Paling drastis adalah membuang doktrin ini, jika anda mau. Tetapi langkah yang moderat adalah memberi berbagai arti baru metaforis atas ide reinkarnasi, sebagaimana kini kelihatan sedang banyak dilakukan para pemikir Buddhis. 

Thich Nhat Hanh, misalnya, memaknai reinkarnasi tidak lagi sebagai masuknya suatu roh atau jiwa yang permanen ke dalam suatu tubuh lain, yang terus-menerus berganti, tidak permanen, tetapi sebagai suatu siklus alamiah “perwujudan” (manifestasi) dan “perwujudan kembali” (remanifestasi) segala sesuatu dalam alam ini. 

Tidak ada kematian dan reinkarnasi; yang ada adalah tindakan “mewujud” dan “mewujud kembali” yang tidak pernah berakhir, sebagai siklus alamiah yang terus berlangsung. Dalam bukunya Living Buddha, Living Christ, dia menulis demikian:

“Tetapi jika kita amati hal-hal yang ada di sekitar kita, maka kita temukan bahwa tidak ada sesuatupun yang berasal dari ketiadaan. Sebelum setangkai bunga lahir, bunga ini sudah ada dalam bentuk-bentuk lain: awan-awan, sinar Matahari, benih-benih, humus, dan banyak elemen lain. 

Alih-alih kelahiran dan kelahiran kembali, adalah lebih akurat jika dikatakan ‘perwujudan’ (vijñapti) dan ‘perwujudan kembali’. 

Apa yang disebut sebagai saat kelahiran setangkaibunga sebetulnya adalah saat perwujudannya kembali. Sebelumnya bunga itu sudah ada di sini dalam bentuk-bentuk lain, dan sekarang bunga ini telah berupaya untuk mewujud kembali.”/18/

Semua ide atau doktrin keagamaan memang seharusnya begitu: saat zaman berubah, dan pengetahuan manusia berkembang, maka ide atau doktrin keagamaan juga harus berubah dan berkembang. 

Tanpa perubahan dan perkembangan, agama apapun pada akhirnya akan tidak relevan lagi, dan pada akhirnya akan tidak berpengaruh lagi terhadap dunia dan peradaban. Ujung-ujungnya, agama apapun yang semacam ini akan pasti punah. Kita tahu, sudah ada banyak agama yang akhirnya punah. Mau tidak punah? Ya harus berubah. Perubahan itu tanda adanya kehidupan.   

Jakarta, 2-4-2015 
 by Ioanes Rakhmat 

Update mutakhir 10 Januari 2017


Notes

/1/ Michael Shermer, The Believing Brain: From Ghosts and Gods to Politics and Conspiracies―How We Construct Beliefs and Reinforce Them as Truths (New York: Henry Holt and Co., 2011) hlm. 111.

/2/ Lihat wawancara Prof. Gary Marcus oleh Kevin Berger dan John Steele, “Will We Reverse-Engineer the Human Brain Within 50 Years?” Nautilus, 30 May 2013, http://nautil.us/blog/will-we-reverse_engineer-the-human-brain-within-50-years. 

/3/ Kevin Berger and John Steele, “Will We Reverse-Engineer the Human Brain within 50 Years?”, Nautilus, 30 May 2013, http://nautil.us/blog/will-we-reverse_engineer-the-human-brain-within-50-years. 

/4/ Lihat reportase Arielle Duhaime-Ross, “Memory in the Flesh: A Radical 1950s Scientist Suggested Memories Could Survive Outside the Brain―And They May Have Been Right”, The Verge, http://www.theverge.com/2015/3/18/8225321/memory-research-flatworm-cannibalism-james-mcconnell-michael-levin. Lihat juga idem, “Flatworms Recall Familiar Environs, Even after Losing Their Heads”, Scientific American, 17 September 2013, http://www.scientificamerican.com/article/flatworms-recall-familiar-environs-even-after-losing-their-heads/.  

/5/ Tentang ini sudah saya tulis dalam Ioanes Rakhmat, Beragama dalam Era Sains Modern (Jakarta: Pustaka Surya Daun, 2013), bab 5, hlm. 149-182. Bab 5 ini juga bisa diakses dalam blog saya, lihat Ioanes Rakhmat, “Pengalaman-pengalaman Spiritual Ditinjau dari Neurosains”, The Freethinker Blog, 8 November 2011, http://ioanesrakhmat.blogspot.com/2011/11/pengalaman-pengalaman-spiritual.html.

/6/ Lihat reportase prestasi mutakhir sains biologi sintetis ini dalam Ioanes Rakhmat, “DNA Sintetik dan Kehidupan Artifisial Telah Berhasil Diciptakan Ilmuwan”, The Freethinker Blog, 9 Oktober 2010, http://ioanesrakhmat.blogspot.com/2010/10/dna-sintetik-dan-kehidupan-artifisial.html. Lihat juga Ioanes Rakhmat, Beragama dalam Era Sains Modern (Jakarta: Pustaka Surya Daun, 2013), Lampiran 3, hlm. 443-446. 

/7/ Lihat Sarah Knapton, “Humans could download brains on to a computer and live forever”, The Telegraph, 25 May 2015, http://www.telegraph.co.uk/culture/hay-festival/11627328/Humans-could-download-brains-on-to-a-computer-and-live-forever.html.  

/8/ Tentang kemajuan-kemajuan neural engineering dan prospeknya, lihat kuliah Dr. Randal Koene, “The neuroscience era: From neuroprostheses to full emulation of the brain and toward Avatar C”, 2045 Strategic Social Initiative, 14 Oktober 2014, http://2045.com/news/33416.html.

/9/ Lihat reportase Andrew Buncombe, “Dalai Lama says he might not be born again”, The Independent, 11 September 2014, http://www.independent.co.uk/news/world/asia/dalai-lama-says-he-might-not-be-born-again-9726457.html. 

/10/ Jay Michaelson, “How Do We Pick a Dalai Lama Anyway?”, The Daily Beast, March 12, 2015, http://www.thedailybeast.com/articles/2015/03/12/how-do-we-pick-a-dalai-lama-anyway.html.

/11/ Lihat reportase Evan Osnos, “Who Will Control Tibetan Reincarnation”, The New Yorker, March 13, 2015, http://www.newyorker.com/news/daily-comment/who-will-control-tibetan-reincarnation?.

/12/ Dalai Lama, “Reincarnation”, Dalai Lama Homepage, September 24, 2011, http://www.dalailama.com/biography/reincarnation.  

/13/ Lihat reportase Ben Blanchard, “China tells Dalai Lama again to respect reincarnation”, Reuters, 10 September 2014, https://sg.news.yahoo.com/china-tells-dalai-lama-again-respect-reincarnation-101256195.html; lihat juga Jake Swearingen, “China Will Make the Dalai Lama Reincarnate Whether He Likes It or Not”, The Wire, 10 September 2014, http://www.thewire.com/global/2014/09/china-will-make-the-dalai-lama-reincarnate-whether-he-likes-it-or-not/380003/.

/14/ Sara Barnes, "We Can Now Recreate A Deceased Loved One Using AI. Therapeutic or Creepy?", Buzzworthy, Dec 1, 2016, https://www.buzzworthy.com/recreating-lost-loved-one-thanks-to-ai/. 

/15/ Lihat reportase Tanya Lewis, “Woolly Mammoth DNA Inserted into Elephant Cells”, Live Science, 26 Maret 2015, http://www.livescience.com/50275-bringing-back-woolly-mammoth-dna.html.

/16/ Untuk makalah tim ilmuwan China ini, lihat Puping Liang, Yanwen Xu, Junjiu Huang, et al., “CRISPR/Cas9-mediated gene editing in human triponuclear zygotes”, Protein and Cell, 18 April 2015, http://link.springer.com/article/10.1007%2Fs13238-015-0153-5. Di situ tersedia juga link ke naskah PDF. Lihat juga reportase Macrina Cooper-White, “Scientists Genetically Modify Human Embryos for First Time. Are We Facing A New Era of Eugenics?”, Huffington Post Science, 24 April 2015, http://www.huffingtonpost.com/2015/04/24/embryo-genomes-edited-first-time_n_7127640.html.

/17/ Tenzin Gyatso, “Our faith in science”, The New York Times, 12 November 2005, http://www.nytimes.com/2005/11/12/opinion/12dalai.html?pagewanted=all&_r=0.


/18/ Thich Nhat Hanh, Living Buddha, Living Christ (pengantar oleh Elaine Pagels; New York: Riverhead Books, 1995), hlm. 134.