Friday, February 27, 2015

Bagaimana seharusnya memperlakukan agama-agama di era sains modern?

by Ioanes Rakhmat

Update mutakhir 
1 Juni 2021
24 September 2021

“Kepada setiap orang diberi kunci ke gerbang-gerbang sorga; kunci yang sama juga membuka gerbang-gerbang neraka.” (Peribahasa Buddhis)

“Kehidupan ini harus diberi makna oleh kita sendiri karena sudah jelas bahwa kehidupan itu sendiri tak memiliki makna.” (Henry Valentine Miller)

Di koran online The Independent, Rabu, 29 Oktober 2014, dilaporkan bahwa Paus Fransiskus menyatakan teori evolusi dan big bang keduanya benar sebagai fakta-fakta sains, dan Tuhan itu bukan seorang penyihir yang lewat tongkat sihirnya simsalabim menjadikan segala hal dari ketiadaan, sebagai peristiwa-peristiwa gaib dan magis./1/

Posisi Paus Fransiskus ini berbeda dari posisi yang dipertahankan Paus sebelumnya, yakni Benediktus XVI.

Bagi Paus Benediktus XVI, Tuhan menciptakan jagat raya dan Adam serta Hawa tidak lewat hukum-hukum sains, tapi langsung dari kemahakuasaan-Nya untuk menjadikan segala sesuatu ada dari ketiadaan, bak keampuhan seorang tukang sihir yang memiliki sebuah tongkat sihir yang ajaib.




Lihatlah foto di atas dengan takzim. Paus Fransiskus dengan pakaian dan simbol kebesarannya. Ya, beliau besar, tapi besar sebagai seorang rohaniwan, bukan sebagai seorang saintis!

Pandangan Paus Benediktus XVI dikategorikan sebagai kreasionisme dan Intelligent Design (ID).

Dalam kreasionisme dan ID, hukum-hukum fisika dan hukum-hukum alam tidak terlibat dalam penciptaan segala sesuatu. Jagat raya ada dari ketiadaan, dibuat ada bukan oleh hukum-hukum fisika lewat big bang, tapi oleh kuasa Allah untuk menciptakan segala sesuatu. Allah adalah penggerak utama yang tidak disebabkan oleh penyebab sebelumnya (Latin: prima causa).

Teologi “prima causa” (TPM) ini mula-mula diajukan oleh filsuf dan saintis Yunani kuno, Aristoteles (384 SM-322 SM), dalam bingkai politeisme, yang kemudian dilanjutkan oleh imam, filsuf dan teolog Katolik, Thomas Aquinas (1225-1274), dalam bingkai monoteisme Kristen.

“From nothing to something”

Dalam TPM, Allah dipandang ada tanpa asal-usul, tanpa penyebab sebelumnya, tapi Dia mampu menciptakan segala sesuatu sehingga ada.

Tapi menurut sains, segala sesuatu berlangsung dengan menaati hukum-hukum sebab-akibat, causal laws. Alhasil, dalam sains, tidak ada akibat tanpa sebab, dan tidak ada sebab yang tidak menimbulkan akibat.

Karena itu, sains juga akan bertanya, siapa pencipta Allah, atau apa yang menyebabkan Allah ada. Jika kaum agamawan menjawab, Allah tidak punya asal-usul, tidak terikat pada causal laws, maka bagi sains hanya ketiadaan atau nothing yang memenuhi kategori ini, hanya ketiadaan yang tidak terikat pada hukum sebab-akibat.

Oleh sains, ketiadaan yang mampu menghasilkan sesuatu, from nothing to something, ditemukan hanya dalam “dunia” mekanika quantum.

Dunia mekanika quantum memang weird, mengherankan, karena di dalam dunia inilah “ketiadaan” atau “kondisi vakum” (vacuum state) menghasilkan sesuatu lewat apa yang dinamakan fluktuasi quantum. Hal ini memang melawan akal sehat; tetapi dalam sains akal sehat saja memang sangat tidak memadai. Akal ilmiah berada di atas akal sehat. Tentang ini saya mau memberi sebuah ilustrasi.

Menurut akal sehat, seseorang pasti akan mati tertabrak mobil jika dia menyeberang jalan raya sembarangan dengan mata tertutup sementara mobil lalu-lalang dengan kencang dari kiri ke kanan dan dari kanan ke kiri. Tetapi sains melampaui akal sehat ini. Akal sehat ini tidak berlaku jika lewat sains dan teknologi, tubuh manusia dapat dibuat lentur, elastis dan berdaya lenting kuat.

Alhasil, kalau tubuh ini ditabrak dari segala arah oleh kendaraan-kendaraan yang melaju cepat, tubuh ini akan meliuk dengan elastis ke segala arah, sehingga tidak terjadi cedera apapun pada tubuh ini.

Itulah bedanya antara orang yang berpikir dengan hanya akal sehat yang terbatas dan orang yang berpikir dengan akal sains yang tidak terbatas.

Karena melihat semua buah apel ketika sudah matang di pohon jatuh ke tanah, orang lantas berpikir, Wah, semua benda berat pasti akan jatuh ke tanah jika dilepas dari sebuah tempat tinggi. Ini akal sehat.

Dalam era modern, forsa yang membuat sebuah apel jatuh ke tanah ini dinamakan forsa gravitasi.

Menurut akal sehat, semua benda tunduk pada forsa gravitasi. Karena akal sehat ini, sangat lama orang berasumsi bahwa manusia tidak mungkin bisa terbang ke angkasa, atau sebuah benda bermassa bisa masuk ke angkasa tanpa jatuh lagi ke Bumi.

Tetapi alam memberi sebuah pelajaran. Lihat, burung-burung itu bisa terbang di angkasa dengan mengepak-ngepakkan sayap mereka. Tubuh burung yang memiliki rongga juga mempermudah mereka untuk terbang. Manusia pun mulai berpikir, tidak lagi hanya dengan menggunakan akal sehat, tapi dengan memakai akal ilmiah, apa yang harus manusia lakukan untuk bisa terbang.

Alhasil, pada 17 Desember 1903 dua saudara kandung kebangsaan Amerika, Wilbur dan Orville Wright, untuk pertama kali berhasil membuat sebuah pesawat terbang bersayap yang bertenaga dan dapat dikendalikan. Mereka dengan sukses berhasil menguji pesawat terbang mereka untuk mengangkasa sebanyak empat kali di Kitty Hawk, empat mil sebelah selatan North Carolina.

Akal ilmiah dikembangkan lebih lanjut, tanpa batas. Dengan akal ilmiah ini kini kita punya banyak jenis pesawat terbang yang besar-besar, yang saat terbang jauh di atas angkasa digerakkan oleh mesin-mesin jet. Kecepatan sebuah pesawat jet bisa mencapai beberapa kali kecepatan suara.

Lebih lanjut, energi pendorong sebuah wantariksa yang membuat wahana ini bisa lepas dari forsa gravitasi Bumi lalu masuk ke angkasa luar dan terus melesat makin jauh dan makin cepat kini bukan lagi berupa tenaga jet, tetapi juga berupa energi nuklir. Yang paling mutakhir adalah mesin terbang terbaru NASA yang menggunakan energi plasma yang diberi nama VASIMR yang dari Bumi dapat mencapai planet Mars hanya dalam 39 hari (sebelumnya Mars Science Laboratory butuh waktu 8,5 bulan untuk tiba di planet merah ini!).

Dengan akal ilmiah juga, suatu saat nanti manusia akan dapat membuat sebuah wahana antariksa yang dapat bergerak mendekati atau sama atau bahkan melebihi kecepatan cahaya (dalam ruang vakum, konstan kecepatan cahaya atau “c” adalah 299.792.458 meter per detik, atau kurang lebih 300 x 10⁸ meter per detik). 

Jadi dalam dunia sains akal sehat sangat tidak cukup. Akal ilmiah, yang kerap terlihat sangat mengherankan, terbukti lebih mampu membimbing manusia ke kehidupan yang makin baik dan ke pengetahuan yang makin luas dan ke dunia-dunia lain yang belum pernah dikunjungi. 

Niels Bohr (1885-1962), fisikawan Denmark penerima Hadiah Nobel (1922) yang meletakkan dasar-dasar fisika partikel, menegaskan bahwa “siapapun yang tidak terkejut oleh teori quantum, orang itu belum memahaminya.”/2/

Di tahun 1965, fisikawan kebangsaan Amerika, Richard Phillips Feynman (1918-1988), sebagai salah seorang praktisi teragung mekanika quantum yang menerima Hadiah Nobel (tahun 1965, bersama Julian Schwinger dan Sin-Itiro Tomonaga) bidang kajian elektrodinamik quantum, menulis,

“Pada suatu waktu koran-koran menyatakan bahwa hanya ada duabelas orang yang telah memahami teori relativitas. Aku tidak percaya saat semacam itu pernah ada.

Tetapi mungkin saja ada suatu waktu ketika hanya satu orang saja yang telah memahaminya karena orang itu sendiri satu-satunya manusia yang telah menemukannya sebelum dia menulis makalahnya.

Tetapi setelah orang membaca makalahnya banyak orang memahami teori relativitas dengan cara-cara tertentu yang berbeda-beda, dan pastinya lebih dari duabelas orang.

Sebaliknya, aku pikir aku dapat dengan aman mengatakan bahwa tidak ada seorangpun yang telah memahami mekanika quantum.”/3/

Jadi, bagi Feynman, teori-teori Einstein, sesulit dan serumit apapun, masih dapat dipahami. Tetapi, menurutnya, fisika quantum tidak bisa dipahami siapapun dengan sepenuh-penuhnya, karena fisika ini begitu asing, tak terpahami.

Tapi sudah pasti, para agamawan dan juga para fisikawan tidak akan mau menyamakan Allah dengan mekanika quantum, sekalipun mekanika ini dapat sama asingnya dengan sosok Allah sendiri.

Dalam fisika quantum, dikenal apa yang dinamakan “vacuum state” atau “keadaan vakum” atau biasa disebut simpel saja sebagai “vakum”.

Keadaan vakum dipandang “sebagai suatu keadaan di mana semua properti fisikal sebetulnya sama dengan zero.”/4/ Dalam vakum, energi bisa ada dalam jumlah yang terendah sejauh dimungkinkan (“a zero-point energy”).

Secara figuratif para fisikawan menyatakan bahwa dalam ruang vakum 1 cm³, masih bisa ada energi dalam jumlah 1 per trilyun erg. Secara keseluruhan, keadaan vakum disebut sebagai “a zero-point quantum field”.

Kendatipun demikian, dari medan quantum yang “zero-point” ini terjadi apa yang dinamakan fluktuasi quantum (= “quantum fluctuations”), yakni muncul dan lenyapnya partikel-partikel (dinamakan partikel-partikel virtual) secara berpasangan dalam waktu sangat pendek dan secara spontan, tanpa asal-usul, tanpa sebab-musabab sebelumnya, tidak deterministik, tidak terprediksi./5/

Jadi, dalam mekanika quantum, ihwal munculnya something from nothing adalah suatu fakta yang dapat diamati kendatipun secara tidak langsung lewat efek-efeknya.

Kreasionisme dan ID ditolak GRK

Kembali ke teologi ID. Dalam teologi ini, Adam dan Hawa dan semua organisme lain dipercaya langsung dijadikan ada oleh Allah dalam bentuk seperti yang sekarang kita kenali. Adam dan Hawa, misalnya, ada bukan produk evolusi lewat seleksi alamiah yang berlangsung milyaran tahun dimulai dari bakteri eukariota (yakni, organisme monoselular yang memiliki sebuah nukleus yang oleh membran atau karioteka dipisahkan dari sitoplasma) 3,5 milyar tahun lalu,/6/ tapi langsung jadi dalam format orang dewasa, dibuat Allah sendiri dari tanah (Adam) dan dari tulang rusuk Adam (Hawa).

Jadi, pastiah Adam dan Hawa dalam teologi ID adalah dua makhluk insani yang masing-masing tidak punya sebuah udel karena tidak pernah berada dalam rahim seorang ibu mula-mula sebagai janin-janin.

Teologi ID antara lain memakai argumen pseudo-saintifik bahwa DNA manusia yang sangat kompleks tidak mungkin dihasilkan oleh alam, tetapi haruslah ciptaan Tuhan sendiri yang mahakuasa, sebagai sang pencipta cerdas, the intelligent designer.

Memang para pembela teologi ID tidak terang-terangan menyatakan sang intelligent designer itu Allah, tetapi implisit yang mereka maksudkan sebagai sang ID adalah Allah sendiri.

Yang sulit dimengerti dengan teologi ID ini adalah bahwa mereka berbicara tentang molekul DNA yang sangat rumit, tetapi percaya bahwa Adam dan Hawa bukan berasal dari DNA (sebagai unit-unit dasar pembentuk kehidupan, the building blocks of life) melainkan dari tanah dan tulang yang diciptakan langsung besar dan dewasa.

Nah, dengan pandangan Paus Fransiskus yang belum lama ini diumumkan, kreasionisme dan teologi ID dengan jelas ditolak oleh Gereja Roma Katolik, entah secara resmi atau secara tidak resmi. Dus, sang paus ini mengoreksi pandangan Paus Benediktus XVI. Tetapi, Paus Fransiskus masih memasukkan sosok Tuhan yang mahakuasa sebagai sang pencipta big bang dan pencipta manusia. 







Big bang dan selanjutnya....


Sekilas tentang “big bang”

Oleh sains, big bang dijelaskan terjadi (13,8 milyar tahun lalu) sebagai peristiwa fisika alamiah belaka, khususnya fisika partikel, sebagai peristiwa di “dunia” quantum, dunia yang tidak memiliki asal-usul, dunia yang ada dan sekaligus tidak ada. 

Saat ditanya tentang dunia quantum sebagai fondasi fisika, Niels Bohr menjawab, “Tidak ada dunia quantum. Hanya ada suatu deskripsi fisika quantum yang abstrak. Salah jika orang berpikir bahwa tujuan fisika adalah menemukan bagaimana alam itu ada. Fisika berkaitan dengan apa yang kita dapat katakan tentang Alam.” 

Dalam mekanika quantum, dimungkinkan sesuatu itu ada dari ketiadaan, misalnya partikel-partikel virtual yang secara tidak langsung teramati (meskipun dalam waktu yang sangat pendek) muncul dari ketiadaan dan lenyap juga ke ketiadaan. Dunia quantum memang weird.

Belum lama ini, Maret 2014, para saintis telah menemukan sejumlah bukti tambahan (yang sudah lama ditunggu) yang berupa data sinyal-sinyal yang berhasil dihimpun oleh teleskop radio BICEP2 di Kutub Selatan, yang mengonfirmasi big bang sebagai fakta ilmiah: yakni terdeteksinya riak gelombang gravitasional (Gravitational Waves, atau GW) dari big bang, yang membuktikan kebenaran teori inflasi bahwa jagat raya mengembang dengan sangat cepat dalam serpihan pertama nano-detik setelah dilahirkan./7/

Tetapi, rupanya dunia sains masih harus menunggu lagi untuk pembuktian ini betul-betul kokoh. Pada 30 Januari 2015, berdasarkan data baru yang merupakan gabungan data dari wahana Planck dan data BICEP2, diumumkan dengan resmi bahwa sinyal gelombang gravitasional yang terdeteksi ini ternyata bukan berasal dari inflasi pada era jagat raya sangat dini melainkan berasal dari debu-debu galaktik dalam Bima Sakti yang juga memancarkan cahaya yang terpolarisasi. 

Kosmolog dari Universitas Johns Hopkins di Baltimore, Maryland, USA, Marc Kamionkowski, menyatakan, “Ke depan ini, ada jalur yang jelas yang harus diambil. Jika kita melakukan lebih banyak pengukuran dalam beranekaragam frekuensi terhadap sinyal-sinyal yang datang, kita akan dapat memisahkan dengan persis sinyal-sinyal primordial [dari era big bang] dari sinyal-sinyal yang berasal dari debu-debu galaktik.”/8/ 

Tetapi tak lama setelah kegagalan menangkap GW ini, sebuah temuan besar dicapai terkait keberadaan GW. Saya mau menjelaskan temuan ini dengan bahasa yang sederhana saja.

Dimensi ruangwaktu-dan-energi itulah texture atau tenunan struktur jagat raya kita. Sudah kita ketahui sejak Albert Einstein bahwa dimensi ini dapat melengkung atau menceruk atau membentuk sebuah baskom atau lembah cekung kosmik yang landai dan dalam. Ini bagian dari teori relativitas umum Einstein yang dibangunnya tahun 1915.

Benda-benda massif, misalnya sebuah planet atau sebuah bintang, memiliki massa-energi yang dapat membuat dimensi ruangwaktu melengkung atau mencekung. Taruhlah sebuah bola basket besar pada permukaan sebuah kain tenunan yang dibentang tegang, maka oleh massa-energi bola ini, kain itu akan mencekung di tempat bola itu diletakkan.







Cekungan dimensi ruangwaktu-energi jagat raya

Lengkungan atau cekungan dimensi kosmik ini membuat setiap benda massif dalam jagat raya (sebuah planet, misalnya, yang jika dibandingkan luasnya jagat raya hanya menjadi seukuran atom) memiliki apa yg dinamakan forsa gravitasi. Untuk membuat anda lebih jelas memahami, saya beri ilustrasi begini: jika di tanah datar yang luas ada sebuah cekungan dalam yang luas, air akan ditarik mengalir ke cekungan itu. Forsa yang menarik air ini ke dalam cekungan inilah forsa gravitasi.

Energi dari gravitasi dan dari dark matter dan dark energy yang tak terlihat sebetulnya menyelubungi dunia kita sehari-hari. 96 persen jagat raya kita terdiri dari dark matter (26 persen) dan dark energy (70 persen) yang tak kasat mata. Sisanya, 4 persen, adalah segala hal dalam jagat raya yang dapat kita tangkap lewat indra kita dan dengan bantuan berbagai instrumen teknologis.

Pengetahuan kita tentang materi gelap dan energi gelap masih sangat minim; keduanya masih diselimuti lapisan kabut tebal misteri yang perlahan-lahan akan berhasil dihembus jauh oleh para saintis.

Tapi kata Einstein, dimensi ruangwaktu-energi kosmik ini bukan hanya melengkung atau mencekung, tapi juga menimbulkan riak gelombang gravitasi yang dinamakan gelombang gravitasional (gravitational waves atau GW).

Merujuk kembali ke ilustrasi di atas, air tidak mengalir linier ke lubang cekung di tanah, tetapi sebagai aliran gelombang-gelombang.

Oleh observatorium yang diberi nama LIGO (Laser Interferometer Gravitational-Wave Observatory) baru saja GW terkonfirmasi ada, sebagaimana diberitakan dalam situsweb resmi LIGO tanggal 11 Februari 2016 (lihat https://www.ligo.caltech.edu/).

Observatorium LIGO dibangun di dua kota Livingstone, Lousiana, dan kota Hanford, Washington. Jarak antara kedua kota ini 3.002 km. Ketika dioperasikan, kedua LIGO ini bekerja bersama. GW yang terdeteksi LIGO ini berasal dari sinyal yang tertangkap 14 September 2015 yang berasal dari dua black holes yang melebur jadi satu (merging), yang berjarak 1,3 milyar tahun cahaya dari planet Bumi.

Ini sebuah temuan revolusioner yang akan membawa sains fisika ke suatu babak baru yang akan memberi banyak pengetahuan baru bagi manusia dalam memahami struktur tenunan jagat raya mahaluas. Lihat penjelasan pendek tentang temuan baru GW ini oleh Prof. Brian Greene di video ini https://youtu.be/s9LT9qGCBEw.



Observatorium LIGO Livingstone, Lousiana, dan LIGO Hanford, Washington 


GW dapat muncul lebih dari satu peristiwa kosmik yang besar seperti terleburnya (atau tabrakan) dua black holes atau berupa forsa yang merambat sentrifugal dari dua bintang neutron besar yang mengorbit pada sebuah black hole massif. 

GW juga memancar dari sebuah bintang besar yang meledak yang kita namakan supernova.

Dus, karena big bang itu adalah sebuah ledakan mahadahsyat dari singularitas black hole yang sangat massif dan berenergi mahakuat, GW juga pasti terpancar di saat-saat pertama nanodetik terjadinya dentuman besar ini, 13,8 milyar tahun lalu, saat yang dinamakan inflasi.



Riak gelombang gravitasional....


Saya membayangkan, jika teknologi kita sudah maju lebih jauh, kita dapat membangun panel-panel sensor yang dapat menghisap GW lalu memprosesnya untuk menjadi energi (meskipun forsa gravitasi adalah forsa terlemah dari 4 forsa fisika yang ada dalam alam: forsa elektromagnetik, forsa gravitasi, forsa nuklir kuat, dan forsa nuklir lemah).

Energi GW ini, bersama dark matter dan dark energy, dapat juga menjadi sumber energi abadi yang memberi hidup abadi pada robot-robot cerdas android yang memiliki super-AI yang hidup di tengah kita.

Selain itu, dalam komponen otak komputer robot-robot android supercerdas itu kita dapat mengintegrasikan sebuah atau lebih chip komputer data neural digital diri kita sehingga kita, manusia biologis carbon, dapat hidup abadi di dalam diri para robot cerdas silikon android meskipun raga kita sudah punah. Lewat neuroengineering, high resolution brain-computer interface, pendekatan Brain Reverse Engineering, dan sibernetika, hal ini nanti akan dapat terwujud.

Selain itu, saya berimajinasi, kalau nanti materi gelap dan energi gelap sudah dapat dipahami dan dijelaskan dengan relatif lengkap, dan kita mampu mengendalikan keduanya, kita dapat menjadikan keduanya sumber enerji yang tidak pernah habis bagi biologi kita (yang berbasis carbon) yang masih berdiri sendiri atau sudah menyatu dengan mesin-mesin cerdas (yang berbasis silikon), penyatuan yang menjadikan kita organisme transhuman.

Sebagai organisme hybrid carbon-silikon ini, kita, yang dinamakan transhuman cyborg (cybernetic organism), bisa menyedot sendiri enerji dari materi gelap dan energi gelap dalam jagat raya (dan tentu dalam sistem Matahari kita juga) melalui mesin-mesin nanopartikel yang tersebar dalam sel-sel tubuh kita, yang berfungsi sebagai panel-panel penyedot dan penyimpan energi luar biasa besar yang tak akan pernah habis ini.

Itu yang saya lihat sebagai sebuah kemungkinan futuristik yang dapat kita realisasikan jika GW bersama dark matter dan dark energy sudah dapat kita kelola lewat teknologi tinggi dengan efisien.

Tentu saja imajinasi saya ini sekarang ini cuma sebuah fiksi, berhubung sekarang ini kita tidak atau belum tahu caranya untuk kita diikat oleh, atau mengikat, energi gelap dan materi gelap yang tampak tidak terikat atau mengikatkan diri pada partikel subatomik apapun (termasuk neutrino) yang sejauh ini sudah dikenal.

Misteri besar masih menyelimuti baik energi gelap maupun materi gelap.

Dalam peringkat pengetahuan yang ada pada kita sekarang, para ilmuwan melihat kemungkinan bahwa energi gelap dan materi gelap adalah energi-energi yang murni, bagian mandiri dari tenunan dan struktur jagat raya sendiri yang bebas. Bisa juga, keduanya masuk ke dalam ekstradimensi, di luar dimensi ruangwaktu yang kita sudah kenal dan yang di dalamnya kita hidup.

“God of the gaps”

Bagi Paus Fransiskus, big bang tetap memerlukan sang aktor ilahi yang menyundut sumbu bom big bang sehingga  bom ini mendentum. Fransiskus tampaknya masih belum bisa menerima penjelasan sains kalau big bang bisa terjadi tanpa penyebab sebelumnya.

Artinya, Paus Fransiskus masih memerlukan sosok Allah untuk mengisi “gap” yang dipandangnya masih kosong, “gap” yang berupa pertanyaan siapa penyundut “sumbu” bom big bang, atau pertanyaan ada apa sebelum big bang.

Posisi Fransiskus ini umum dinamakan “God of the gaps” theology: di manapun sains tampak masih meninggalkan misteri sebagai gap atau celah, gap atau celah ini langsung diisi dengan sosok Allah supernatural sebagai sang Aktor Agung penentu. Tentang ini, sangat membuka pikiran jika kita memperhatikan apa yang ditulis oleh fisikawan Richard P. Feynman pada masa kehidupannya, berikut ini.

“Allah selalu diinvensi untuk menjelaskan misteri. Allah senantiasa diinvensi untuk menjelaskan hal-hal yang anda tidak pahami.

Adapun, ketika anda akhirnya menemukan bagaimana hal-hal tertentu bekerja, anda menemukan beberapa hukum alam yang anda jauhkan dari Allah; anda tidak memerlukan Allah lagi. Tetapi anda memerlukan-Nya untuk misteri-misteri lain.

Dengan demikian, anda membiarkan-Nya untuk menciptakan jagat raya karena kita belum dapat menjelaskannya sepenuhnya; anda memerlukan-Nya untuk memahami hal-hal yang anda percaya tidak akan bisa dijelaskan oeh hukum-hukum alam, misalnya adanya kesadaran, atau ihwal mengapa anda hanya dapat hidup selama kurun tertentu saja, yakni ihwal kehidupan dan kematian dan yang sejenisnya.

Allah selalu dihubungkan dengan hal-hal yang anda tidak pahami. Karena itu, saya tidak berpikir bahwa hukum-hukum alam dapat dipandang menyerupai Allah berhubung hukum-hukum ini sudah bisa dijelaskan.”/9/

Begitu juga, berkaitan dengan asal-usul paling awal Adam dan Hawa, Paus Fransiskus tidak bisa menerima pandangan bahwa DNA adalah produk hukum-hukum alam, khususnya hukum-hukum kimiawi dan fisika, yang muncul secara alamiah baik di angkasa luar maupun di planet Bumi. 

DNA adalah unsur makromolekuler paling esensial dan fondasional bagi semua bentuk kehidupan, sebagai unit-unit dasar bangunan kehidupan. Tanpa molekul DNA, yang memuat informasi kehidupan, semua bentuk kehidupan tidak akan ada, dalam wujud apapun, tentu bentuk kehidupan yang sejauh ini kita sudah ketahui.

Bagi Paus Fransiskus, Adam dan Hawa muncul karena keduanya diciptakan Allah, lalu selanjutnya berkembang, berevolusi, menurut hukum-hukum internal yang ada dalam diri organisme ini.

Dengan kata lain, bagi Paus Fransiskus big bang dan evolusi adalah fakta-fakta, tetapi fakta-fakta yang terjadi tidak lepas dari kendali Allah, dipimpin Allah, lewat hukum-hukum internal masing-masing yang juga dibangun dan dikendalikan Allah sendiri.

Terminologi yang pas untuk pandangan Paus Fransiskus ini adalah “the divinely initiated and guided big bang and evolution”. Maklumlah, beliau adalah agamawan, bukan saintis. Bagi saintis, frasa “the divinely initiated and guided” itu tidak diperlukan, sebab semua saintis menolak teologi “God of the gaps”.

Bagi para saintis, kalau masih ada “celah” atau “gap” informasi dalam suatu pandangan sains, celah atau gap ini dibiarkan saja untuk sementara sampai nantinya sains bisa mengisinya dengan pas, tidak perlu Allah dimasukkan ke dalam celah atau gap ini. Di tangan para saintis, sains tidak akan pernah menjadi agama, dan juga sebaliknya.

Bagaimana pun juga, dibandingkan Benediktus XVI, jelas Paus Fransiskus lebih maju sedikit dalam pandangannya tentang asal-usul jagat raya dan evolusi biologis spesies. Tapi dari sudut sains, pandangan Paus Fransiskus bukanlah sebuah kemajuan, melainkan hanya memberi sebuah tempat bagi teologi dalam pandangan sains, artinya hanya sebuah “God of the gaps” theology.

Dalam kenyataannya, kosmologi modern dan sains evolusi biologis sama sekali tidak memerlukan teologi semacam ini. Dalam sains kosmologi tentang asal-usul alam semesta dan dalam sains evolusi biologis, tidak ada celah atau “gap” yang masih harus diisi.

Pernah seorang anak kecil (tentu sudah dipersiapkan sebelumnya!) bertanya kepada Paus Fransiskus. Pertanyaan sang anak ini begini (saya parafrasiskan): “Jika betul jagat raya ada lewat big bang yang didentumkan oleh Allah, maka sebelum big bang, Allah itu bekerja sebagai apa atau apa wujud Allah?” Paus Fransiskus berpikir beberapa waktu, lalu menjawab: “Oh, sebelum big bang, Allah telah ada sebagai cinta dan bekerja sebagai cinta!”

Tentu saja, jawaban sang Paus ini bukan sains, tetapi sebuah puisi teologis yang bagus, lepas dari ihwal apakah si anak yang bertanya itu bereaksi dengan bengong saja atau dengan mengangguk-anggukkan kepala tanda dia menghormati sang Paus!

Sains evolusi memiliki bukti-bukti yang hingga saat ini kian bertambah (juga dari banyak cabang sains lain), yang menunjukkan bahwa berbagai bentuk kehidupan muncul dari akar terdalamnya, yakni mikroorganisme bersel tunggal atau bakteri (eukariota, atau dari virus sebagai akar paling dalam dari pohon evolusi biologis yang rimbun).

Dalam suatu studi yang terbit 29 April 2019, Felix Broecker dan Karin Moeling menyatakan bahwa entitas-entitas “yang lazimnya dipandang berasal dari moyang umum universal yang terakhir adalah bakteri, arkhaea dan eukariota, yang memerlukan DNA, sintesis protein, dan harus, karenanya, telah berevolusi dalam waktu yang panjang dari bentuk-bentuk kehidupan yang lebih sederhana.

Selanjutnya mereka menegaskan bahwa dalam mekanisme evolusivirus-virus melepaskan kehidupan independen mereka, lalu menjalani suatu gaya hidup parasitis. Dalam hal ini, virus-virus sangat boleh jadi adalah moyang-moyang tertua kita. Viruses must be located far down at the root of the tree of life.”/10/

Melalui evolusi alamiah lewat seleksi alam dan lewat kemampuan beradaptasi dari setiap organisme terhadap ekologi dan lingkungan kehidupan yang terus berubah, organisme-organisme monoselular berkembang dan berubah menjadi bentuk-bentuk kehidupan bersel majemuk yang terus-menerus makin kompleks. Tidak ada peran kuasa eksternal di luar alam untuk evolusi spesies-spesies berjalan, semuanya serba alamiah, dan dapat diriwayatkan kembali atau direkonstruksi secara ilmiah dengan meyakinkan.

Masih ada sangat banyak orang (tentu saja kaum agamawan konservatif yang menolak kemajuan) yang mati-matian menolak sains evolusi, dan memilih untuk mempertahankan dan beriman pada kreasionisme dan teologi ID.

Tentu saja, setiap orang, termasuk saya, memerlukan kepercayaan dan iman untuk dapat hidup wajar dan sehat. Mempercayai isteri atau suami adalah hal yang penting untuk membuat hidup berkeluarga kita berbahagia. Bukankah kita juga mempercayai begitu saja bahwa anak-anak yang dilahirkan isteri kita adalah murni dari benih-benih kita sendiri? 

Ya, kepercayaan dan hidup beriman tetap penting dan kita butuhkan meski kita memang sekarang ini sedang hidup dalam kendali dan tuntunan iptek modern dalam nyaris semua bidang kehidupan. 

Iman dan kepercayaan yang cerdas, benar, sehat, riang, ramah, kalem, hening, dewasa, arif dan matang, ya akan membuat kehidupan kita juga sehat, cerdas, riang, ramah, dewasa, bijak, hening dan matang. Tetapi, ada iman dan kepercayaan yang merusak, tidak membangun, tidak membahagiakan, dan mendorong kita hidup menyangkali fakta-fakta dan melarikan diri dari kenyataan. 

Nah, anda mau pilih beriman dan berkepercayaan jenis yang mana: yang membangun dan mempermaju dan mencerdaskan kehidupan, atau yang merusak dan memundurkan serta memperbodoh kehidupan? 

Jika Tuhan yang kita imani dan percayai adalah Tuhan YMTahu dan YMBijaksana, maka tentu kita terdorong untuk mengetahui dan memahami makin banyak ilmu pengetahuan yang berpangkal dari Tuhan yang mahatahu dan yang menuntun orang yang berilmu di jalan agung ilmu pengetahuan yang tak berujung, menuju Tuhan YMTahu sebagai sumber dan muara semua pengetahuan. 

Juga, kita termotivasi untuk terus-menerus memberdayakan diri supaya sanggup hidup arif dengan tidak menyangkali fakta-fakta atau lari dari kenyataan-kenyataan kehidupan. Keterbukaan pada fakta dan kenyataan adalah salah satu tanda kearifan manusia. Keterbukaan hidup adalah sebuah kebajikan dan sebuah kebijaksanaan agung.

Jadi, ya mari kita lanjutkan perluasan pengetahuan kita. Jangan takut terhadap horison pengetahuan yang makin mengembang. Jangan takut pada kearifan besar bahwa kita perlu membuka diri pada ilmu pengetahuan yang makin maju dan berkembang. Cinta pada Tuhan YMTahu adalah akar kecerdasan dan kearifan dan kemajuan.

Bahwa kehidupan muncul dari proses-proses kimiawi yang sepenuhnya alamiah, kini sudah dibuktikan juga oleh sains lain, yakni biologi sintetis.

Kini, dengan sains biologi sintetis, yang dimulai oleh eksperimen J. Craig Venter di pertengahan 2010, para saintis sudah dapat menciptakan kehidupan buatan hanya dari zat-zat kimiawi yang mati yang persenyawaannya (dalam sebuah synthesizer kimiawi) untuk membentuk DNA sintetik yang hidup berlangsung lewat instruksi-instruksi genomik secara digital yang berasal dari sebuah komputer./11/




Ilustrasi sederhana pohon evolusi yang rimbun, yang berakar pada mikroba eukariota atau malah virus


Begitu juga halnya dengan asal-usul jagat raya. Ihwal bagaimana jagat raya ada, kini bisa dijelaskan sepenuhnya oleh ilmu pengetahuan, tanpa melibatkan teologi apapun. Stephen Hawking menyatakan hal berikut ini, simaklah.  

“Peran yang dimainkan sang waktu pada permulaan jagat raya adalah, aku percaya, kunci terakhir untuk menyingkirkan keperluan adanya suatu Perancang Akbar [ilahi], dan untuk menyingkapkan bagaimana jagat raya menciptakan dirinya sendiri [lewat fluktuasi quantum]…. 

Waktu itu sendiri haruslah akhirnya berakhir. Anda tidak dapat tiba di suatu waktu sebelum big bang, karena tidak ada sang waktu sebelum big bang. Kita akhirnya menemukan sesuatu yang tidak memiliki suatu penyebab karena tidak ada waktu bagi suatu penyebab untuk ada di dalamnya. 

Bagiku, ini berarti tidak ada kemungkinan bagi adanya suatu pencipta [ilahi] berhubung tidak ada waktu bagi suatu pencipta untuk dulu ada. Karena waktu itu sendiri dimulai pada momen big bang, maka big bang itu sendiri adalah suatu kejadian yang tidak dapat disebabkan atau diciptakan oleh seseorang atau suatu hal apapun…. 

Maka, ketika orang bertanya kepadaku apakah suatu allah telah menciptakan jagat raya, aku katakan kepada mereka bahwa pertanyaan mereka itu sendiri tidak punya makna. 

Waktu belum ada sebelum big bang, dengan demikian tidak ada waktu bagi Allah untuk membuat jagat raya di dalamnya. Ini bak bertanya arah menuju pinggir Bumi. Planet Bumi itu suatu bulatan. Sebagai bulatan, Bumi tidak punya suatu tepi, alhasil mencari tepi Bumi adalah suatu usaha yang sia-sia.”

Dan juga ini,

“Anda memasuki suatu dunia di mana adalah mungkin untuk menjelaskan sesuatu itu bisa ada dari ketiadaan, setidaknya untuk waktu yang pendek, karena mekanika quantum…. Jagat raya semula dulu sangat kecil, kurang dari besarnya sebuah proton. Ini berarti jagat raya dapat begitu saja ada tanpa melanggar hukum-hukum fisika yang sudah diketahui.”/12/

Pada sisi lain, para agamawan yang menganut teologi “Allah pengisi celah-celah”, akan terus-menerus lelah karena mereka harus terus melototi sains untuk menemukan celah-celah baru ketika celah-celah lama sudah ditutup rapat oleh data dan info saintifik. Waktu mereka habis hanya untuk mencari celah-celah ini lewat berbagai usaha teologisasi pandangan-pandangan saintifik. Akhirnya, umat mereka terbengkalai dan juga ikut kebingungan, dan Allah direduksi hanya menjadi suatu Oknum pengisi celah-celah sempit sehingga Dia dibuat terjepit-jepit terus, menanti dibebaskan.

“Cocokologi”

Bagaimanapun juga, kita semua bisa memaklumi Paus Fransiskus, sebab gereja (dan komunitas keagamaan) apapun tidak ingin teks-teks kitab suci mereka tidak terpakai lagi. Bagaimanapun juga, para teolog akan selalu mengutak-ngutik teks-teks kitab suci supaya bisa klop dan cocok dengan sains. 

Dengan kata lain, gereja dan komunitas keagamaan apapun akan selalu menerapkan apa yang saya namakan cocok-o-logi supaya teks-teks kitab-kitab suci tetap bisa dipakai dan dogma-dogma bisa tetap dipegang, sementara sains terus berkembang dan menyingkap makin banyak misteri alam.

Bayangkan, konsekwensi apa yang akan timbul pada dogma gereja jika pandangan sains tentang Adam dan Hawa diterima bulat-bulat, tanpa, jika bisa, dilunak-lunakkan lewat cocokologi. 

Bagi sains, Adam dan Hawa dalam teks-teks kitab Kejadian tidak pernah ada, dan yang ada adalah Adam dan Hawa hasil evolusi milyaran tahun dari semula hanya molekul-molekul DNA, yang bermuara pada kemunculan Homo sapiens 300 ribu tahun lalu, bukan di Taman Eden, tetapi di Afrika Selatan,/13/ atau pada kemunculan spesies hominin, moyang terdekat Homo sapiens, 400 ribu tahun lalu./14/ 

Konsekwensi dogmatisnya adalah: dogma Kristen tentang dosa warisan Adam gugur. Bagaimana bisa ada dosa warisan Adam sementara sosok Adam di Taman Eden sendiri tidak pernah ada dalam sejarah dunia ini?! Konsekwensi berikutnya lagi menyangkut doktrin penebusan Kristen: Yesus Kristus tidak perlu mati untuk menebus manusia dari dosa yang diwariskan Adam dan Hawa!

Sebetulnya, hal-hal di atas sama sekali bukan hal berat. Adam dan Hawa skriptural yang dikisahkan dalam kitab Kejadian dalam kitab suci Ibrani sudah umum ditafsirkan kembali bukan sebagai dua sosok insan individual yang ada langsung besar, tetapi sebagai representasi kolektif simbolik umat manusia. 

Harap juga diingat, setiap kebudayaan suku-suku bangsa di dunia ini nyaris semuanya memiliki kisah-kisah mereka sendiri tentang moyang terawal mereka dan dari mana mereka berasal. Kisah Adam dan Hawa dalam kitab suci Yahudi adalah satu dari antara sangat banyak kisah-kisah asal-usul primordial suku-suku bangsa di seluruh dunia. 

Begitu juga, kematian Yesus di kayu salib, ketika dipahami dalam konteks sejarah gerakan Yesus di Tanah Israel yang sedang dijajah Kekaisaran Romawi, adalah kematian agung sang Putera Allah akibat dari belarasa dan empati-Nya yang sangat dalam dan mulia terhadap keadaan bangsa Yahudi yang dicintai-Nya. Tafsiran ini sangat menggugah hati meski tidak dikaitkan dengan paksa dengan doktrin Kristen tentang dosa warisan Adam.

Juga, apa yang akan terjadi atas teks-teks kitab Kejadian dalam Tenakh Yahudi yang mengisahkan penciptaan langit dan Bumi dalam hitungan hari jika big bang dipandang terjadi dengan sendirinya sebagai peristiwa fisika quantum yang alamiah, atau bahwa big bang selalu berulang dalam siklus evolusi kosmik yang berlangsung bermilyar-milyar tahun untuk setiap siklus! 

Jika kosmologi modern diterima apa adanya, bulat-bulat, tanpa dijinakkan lewat cocokologi, teks-teks kitab Kejadian ini menjadi usang dan tidak relevan lagi sejauh dipahami secara literalis sebagai kisah sejarah dan bukan sebagai metafora teologis.

Well, dear friends, tuturan kitab Kejadian 1:1-2:4a memang sama sekali bukan sebuah makalah ilmiah kosmologi modern, tetapi suatu syahadat Yahudi kuno yang disusun para imam Yahudi di Babilonia abad ke-6 SM ketika bangsa Israel sedang hidup dalam pembuangan di sana. 

Demi membentengi kepercayaan dan identitas kebangsaan Yahudi dari gangguan astrologi dan agama-agama Babilonia pada masa pembuangan itu, para imam Yahudi menulis syhadat keagamaan Israel dengan memakai kronologi kurun satu minggu (7 hari) dalam kalender Babilonia yang sudah ada sebagai bingkai plot narasi penciptaan langit, Bumi, manusia dan bentuk-bentuk kehidupan lain. 

Jadi, kisah syahadat Yahudi dalam Kejadian 1:1-2:4a tidak ada hubungan apapun dengan big bang, teori gravitasi quantum, teori relativitas umum Einstein (teori gravitasi makro), hukum termodinamik. Kalem dan tenang saja. Jangan terdelusi dengan menganggap dan mempercayai bahwa ilmu-ilmu pengetahuan modern ini sudah ada dalam kisah Kejadian 1:1-2:4a.

Dalam era sains modern ini, memang sangat sulit untuk hidup beragama dengan autentik, artinya: beragama tanpa melakukan cocokologi untuk menyelamatkan teks-teks kitab suci yang sebetulnya sudah terongrong dengan radikal oleh sains. Itu juga yang dialami Paus Benediktus XVI dan Paus Fransiskus. 

Hemat saya, supaya dapat hidup dengan autentik, ya para agamawan harus dengan sadar tidak usah melakukan cocokologi. Katakan saja dengan berani dan terus terang, bahwa kitab-kitab suci sebetulnya buku-buku agama, sama sekali bukan buku-buku sains apapun. Keduanya tidak bisa dicocok-cocokkan! Dan para agamawan tidak usah berlelah-lelah mengambil peran sebagai para saintis yang nyatanya tidak pernah bisa mereka pikul sepenuhnya. Alhasil, mereka jadi pseudo-saintis! 

Bayangkanlah, apa yang akan terjadi jika para agamawan yang menghabiskan katakanlah sepuluh tahun lamanya untuk menghafal seluruh teks asli kitab-kitab suci agama mereka, lalu menjadi sarjana agama, tiba-tiba saja mereka berbicara tentang sains modern bahkan melabrak semua sains modern dengan gagah berani! Ya salah kaprah, karena ketidaktahuan dan salah memperlakukan dan memahami teks-teks kitab-kitab suci! 

Kata Konfusius, “Kebodohan dan ketidaktahuan adalah malam yang menyelimuti pikiran, tapi malam yang tanpa bulan dan tanpa bintang.”  

Dan ketahuilah, untuk menjadi seorang pakar sains, seseorang bukan saja harus sudah menyelesaikan studi doktoralnya dengan prestasi yang sangat bagus, tetapi juga masih harus menjalankan sekian penelitian pascadoktoralnya, lalu punya pengalaman bertahun-tahun dalam riset-riset ilmiah, sebelum dia bisa bekerja profesional katakanlah di mesin sains terbesar dunia Large Hadron Collider milik CERN! 

Jadi, untuk urusan sains, ya berpalinglah ke para saintis. Untuk urusan moral dan ritual agama, ya datanglah ke para rohaniwan. Pisahkan dua urusan ini. Jangan keduanya dicampuraduk dan digabung! Tak akan keduanya bisa bertemu, karena sains dan semua agama dibangun dengan epistemologi yang masing-masing berbeda jauh.

Kita semua tahu, ada banyak orang beragama yang suka mencocok-cocokkan agama mereka dengan sains modern.

Dalam dunia Islam, misalnya, praktek cocokologi ini (mencocok-cocokkan teks-teks Al-Quran dengan sains modern) dikenal sebagai Bucailleisme (dari nama pencetusnya, Maurice Bucaille, seorang dokter kebangsaan Prancis). Tentu saja Bucailleisme tidak benar, dan sudah dibantah habis-habisan. Ada 50 video di Youtube yang memperlihatkan cocokologi Maurice Bucaille salah./15/

Tetapi, tidak ada orang yang akan melarang siapapun yang mau percaya penuh pada Bucailleisme. Sangat banyak orang yang hanya mau percaya pada hal-hal yang sudah diargumentasikan dam dibuktikan salah.

Nah, alih-alih mempraktekkan cocokologi dan memaksa teks-teks kitab suci gereja untuk melegitimasi doktrin-doktrin gereja yang disusun di zaman-zaman yang sangat lampau, jauh lebih terpelajar dan lebih matang jika kita melakukan tafsir ulang terhadap teks-teks kitab suci gereja di zaman modern ini, yang mustahil dikembalikan paksa menjadi zaman pramodern dan prailmiah lagi. 

Karena menyadari kebutuhan tafsir ulang ini dalam kehidupan gereja-gereja, saya sudah menghasilkan sebuah tulisan serius Cara-cara Tafsir Ulang Teks-teks Skriptural./16/ Baca dan pahamilah dengan sungguh-sungguh. Banyak sekali mutiara di dalamnya.

Jika betul kekristenan Reformasi berfondasi pada doktrin sola scriptura, bukan pada doktrin sola doctrina, nah biarkanlah teks-teks Alkitab yang ditafsir dengan bertanggungjawab atau ditafsirulang dengan kreatif dan bertanggungjawab, memandu doktrin-doktrin atau memperbaiki doktrin-doktrin, dan bukan sebaliknya. 

Tujuh masalah serius cocokologi

Hemat saya, cocokologi sangat merugikan umat beragama sendiri, bahkan menghilangkan kewibawaan kitab-kitab suci yang mereka berusaha cocok-cocokkan dengan ilmu pengetahuan modern.

Ada tujuh masalah yang saya temukan dalam cocokologi. Berikut ini.

Pertama, para praktisi cocokologi yang sebenarnya berhaluan konservatif bahkan fundamentalis dalam beragama lewat cocokologi yang mereka praktekkan langsung saja berubah menjadi para agamawan modern. Kok begitu?

Ya, karena mereka telah memodernisir teks-teks kitab suci mereka supaya teks-teks ini sejalan atau klop atau cocok dengan pandangan-pandangan sains modern. Hal ini bisa jadi mereka sama sekali tidak sadari. Mereka yang umumnya membenci modernitas anehnya malah telah menjadi modern! Pada level mental kognitif, mereka sebetulnya terpecah, bimbang.

Kedua, cocokologi dipraktekkan sebetulnya dengan niat bagus untuk memuliakan dan mengunggulkan kitab-kitab suci oleh orang-orang yang percaya mutlak bahwa kitab suci mereka benar. Sayangnya, niat mulia ini dijalankan dengan cara yang salah, yakni lewat cocokologi.

Bagi mereka, jika teks-teks kitab suci mereka berwibawa, benar dan tidak bisa salah dalam segala hal sebagai wahyu ilahi yang mereka terima dengan iman dan kepercayaan penuh, maka teks-teks ini akan pasti sejalan atau klop atau cocok dengan pandangan ilmu pengetahuan. 




Ini tentu saja bukan cocokologi, meskipun prakteknya serupa!


Mungkin tanpa mereka sadari, dengan mempraktekkan cocokologi mereka sebetulnya menempatkan ilmu pengetahuan di tempat tertinggi sebagai kriteria yang menentukan benar atau tidaknya teks-teks kitab suci mereka. Karena mereka percaya teks-teks apapun dalam kitab suci mereka tidak bisa salah, maka pastilah teks-teks ini sejalan atau cocok dengan pandangan-pandangan ilmu pengetahuan.

Karena ilmu pengetahuan menempati posisi tertinggi, ke manapun ilmu pengetahuan bergerak atau berubah atau berkembang, ke sanalah teks-teks kitab suci mereka bawa dan tundukkan; alhasil kitab suci mereka selalu dibuat mengekor ilmu pengetahuan, dengan akibat kehilangan kewibawaannya sama sekali. Kenapa cocokologi yang merugikan kewibawaan kitab suci mereka lakukan?

Persoalannya terletak di sini: para praktisi cocokologi sebetulnya menyadari bahwa jika kebenaran atau validitas kitab suci mereka hanya didasarkan pada keyakinan pada wahyu ilahi (Latin: revelatio) yang dalam iman (Latin: fides) diterima dan dipercaya benar (ini dinamakan epistemologi revelatif fideis) kebenaran kitab suci mereka masih belum mendapatkan landasan epistemologis yang kokoh.

Mereka sudah tahu, pandangan-pandangan ilmu pengetahuan itu kokoh dan valid karena didasarkan pada epistemologi evidensialis,  yakni pada bukti-bukti (Latin: evidentia) empiris dan pada teori-teori besar yang sudah teruji, dan pada koherensi logis semua argumen yang dibangun, bukan pada wahyu ilahi dan iman tanpa bukti.

Karena itulah, supaya kokoh wahyu dalam kitab suci mereka juga harus bisa diperlihatkan sejalan atau cocok dengan pandangan-pandangan ilmu pengetahuan.

Dengan kata lain, cocokologi sebetulnya mengungkapkan sisi batiniah terdalam para praktisinya, bahwa mereka sebetulnya ragu wahyu ilahi dalam kitab suci mereka benar dan iman kepercayaan saja sudah cukup.

Keraguan atau skeptisisme itu sebetulnya bagus, sejauh membuat kita jadi berani melakukan kritik terhadap segala hal yang sudah dimapankan, termasuk segala hal yang sudah dimapankan dalam agama kita sendiri atau oleh pikiran kita sendiri. 

Skeptisisme yang mendorong orang mempraktekkan cocokologi adalah skeptisisme yang buruk. Sebaliknya, skeptisisme yang menjadi bahan bakar mesin pendorong kemajuan dan perkembangan sains tanpa batas, adalah skeptisisme yang agung.

Ketiga, saat cocokologi dipraktekkan, para agamawan yang mempraktekkannya sebenarnya dibuat sangat lelah. Kenapa?

Sebab begitu pandangan sains tentang sesuatu hal yang semula bisa dicocokkan dengan sebuah teks kitab suci berubah, maka mereka harus berlelah-lelah lagi mencari teks-teks baru yang mereka pandang bisa dicocokkan.

Selain itu, mereka juga dengan sangat melelahkan harus menyembunyikan baik teks-teks yang sudah tidak bisa dicocok-cocokkan lagi maupun teks-teks yang jelas-jelas kontradiktif dengan pandangan-pandangan ilmu pengetahuan.

Keempat, cocokologi hanya menimbulkan kebingungan dalam diri para agamawan, sebab teks-teks suci yang dapat dipandang cocok atau klop dengan suatu pandangan saintifik akan berbeda-beda dari satu praktisi cocokologi ke praktisi cocokologi lainnya dalam satu agama. 

Hal itu dapat terjadi karena pemilihan teks-teks suci yang dipandang cocok akan sangat ditentukan oleh pra-paham atau pra-anggapan (presuppositions) si praktisi cocokologi sendiri tentang apa maksud suatu teks suci yang sudah ada sebelumnya dalam benak mereka.

Begitu juga halnya saat dia memikirkan apa yang dikatakan atau dipesankan teks-teks suci pilihannya. Aliran keagamaannya, kedudukan dan status sosialnya, sekolah tempat dia belajar agama, hingga ambisi-ambisi pribadinya, mempengaruhi dengan kuat pendekatan dan pendapatnya yang belum dikaji dengan kritis tentang maksud teks-teks suci yang dia mau gunakan dalam aktivitas cocokologinya.

Tidak ada kriteria objektif yang digunakan untuk menentukan pemilihan suatu teks dan tafsirannya. Semuanya bergantung pada pendapat si praktisi cocokologi sendiri yang dikendalikan oleh pra-pahamnya atau pra-anggapannya sendiri.

Pra-paham atau pra-anggapan adalah pandangan, anggapan dan paham si praktisi cocokologi yang sebelumnya sudah dipunyainya dalam pikirannya tentang sebuah teks suci di saat dia memilih teks ini dan mau memahami makna atau pesannya.

Saya ulangi dengan lebih luas, pra-paham muncul dari aliran agamanya, dari indoktrinasi doktrin-doktrin keagamaan yang dialaminya sejak kecil, dari ajaran-ajaran para guru agamanya di rumah ibadahnya sendiri atau di sekolah agamanya sendiri.

Juga dari buku-buku bacaan dan media lainnya yang telah dibacanya, dari pengalaman-pengalamannya sendiri, dari ambisi-ambisi pribadinya sendiri, dari status sosial dirinya dalam masyarakatnya, dan, tentu saja, dari kepentingan-kepentingan politik dan sikapnya terhadap harta.

Kelima, cocokologi tidak akan menghasilkan para saintis beragama, malah sebaliknya hanya menghasilkan para agamawan yang menampakkan diri sebagai pseudo-saintis, alias saintis gadungan.

Cocokologi juga menghambat seorang beragama untuk berani berpikir bebas dalam dunia ilmu pengetahuan, sebab dalam dirinya sudah ditanamkan keyakinan bahwa semua sains modern sudah ada di dalam kitab sucinya, dus tidak boleh dan tidak akan bertentangan dengan pesan-pesan kitab sucinya.

Ketimbang seorang beragama dapat menjadi saintis yang kreatif dan mampu berpikir saintifik apapun, cocokologi malah membuat seorang beragama yang bergelar Ph.D. dalam bidang sains sekalipun akan akhirnya hanya pandai membela kitab sucinya saja dan meyakinkan orang luar bahwa kitab sucinya sejalan atau cocok dengan ilmu pengetahuan apapun. Ini fakta yang saya sering lihat dan dengar sendiri!

Keenam, para praktisi cocokologi sebetulnya tidak mengetahui dengan betul perbedaan esensial yang tidak bisa diselesaikan antara watak kitab suci dan watak sains. 

Oleh umat-umat beragama pada umumnya,/17/ sekian hal berikut ini, sebagai pra-paham, dikenakan pada kitab suci mereka.

* Kitab-kitab suci agama-agama teistik dipercaya umat masing-masing sebagai sebuah kitab yang diwahyukan atau diturunkan dari sorga oleh Allah sendiri;

* Karena diyakini berasal dari Allah, teks-teks kitab suci apapun dipercaya tidak bisa salah dalam segala hal yang dikatakan;

* dan kebenarannya selalu dijaga oleh Allah sehingga tidak akan pernah usang dan tidak boleh diragukan kapanpun juga dan di mana pun juga;

* Teks-teks kitab suci dipandang menyampaikan kebenaran yang tidak perlu dilandaskan bukti-bukti, cukup dipercaya dan diimani saja, karena kebenaran dan validitasnya dijamin oleh Allah sendiri sebagai wahyu-Nya. Inilah yang di atas saya telah namakan epistemologi revelatif fideis;

* Segala sesuatu sampai dunia ini berakhir dipercaya sudah tertulis dengan benar di dalam kitab-kitab suci;

* Selain itu, teks-teks kitab-kitab suci dipercaya memuat segala hal yang sudah final, definitif dan absolut untuk umat manusia di seluruh dunia dan di segala zaman;

* Dengan demikian, teks-teks kitab suci tidak boleh diubah, tidak boleh ditafsir ulang, tetapi harus terus dijaga kemurniannya sejak diwahyukan sampai dunia kiamat;

* Umat diperintahkan untuk bersedia mengorbankan kehidupan mereka sampai titik darah terakhir demi menjaga kebenaran kitab suci mereka. 

Nah, kitab suci yang diberi watak seperti itu tentu saja berbeda tajam dengan sains, yang khususnya dimaksudkan di sini adalah sains-sains alam (IPA) atau “natural sciences”. Ada sangat banyak perbedaan besar antara keduanya; antara lain berikut ini.

* Tidak ada sains apapun yang diwahyukan atau diturunkan dari sorga;

* Semua sains dihasilkan lewat proses dialektis (tesis versus antitesis yang memunculkan sintesis sebagai sebuah tesis baru) oleh manusia-manusia cerdas yang cakap dan berdisiplin dalam memakai akal dan dalam bernalar, di dalam dunia ini, sejak dulu hingga ke depan tanpa batas;

* Tidak ada sains yang tidak bisa salah;

* Tidak ada sains yang tidak bisa diragukan;

* Tidak ada sains yang selalu dijaga Allah untuk tidak berubah;

* Tidak ada sains yang tidak bisa usang;

* Tidak ada sains yang sudah final, absolut dan definitif, meskipun ada teori-teori besar sains yang dipandang kokoh untuk sementara waktu;

* Tidak ada sains yang mencakup segala hal yang ada dalam jagat raya ini, yang akan membuat sains berakhir dan terhenti saat sains semacam ini ditemukan.

Dalam rangka itu, sesuatu perlu dikatakan mengenai “the theory of everything” (TOE) dalam fisika yang dilihat ada pada teori dawai (string theory).

TOE sedang dikonstruksi sekarang ini untuk menjelaskan relasi-relasi dan integrasi antar segala hal dalam jagat raya (semua partikel elementer, materi, energi, dimensi-dimensi dan forsa-forsa dalam alam).

Apakah TOE, yang kini juga sedang dicari-cari dalam bidang-bidang ilmu pengetahuan lain di luar fisika, akan membuat sains mencapai titik final dan berakhir?

Tentang TOE, fisikawan teoretis Amerika, yang fokus pada teori dawai (string theory), Brian Greene, menyatakan sesuatu yang sangat penting. Dalam bukunya The Elegant Universe, Greene menulis,

“Jagat raya adalah suatu tempat yang rumit, luar biasa kaya dan menakjubkan, sehingga penemuan teori yang final [yakni TOE, persisnya teori superdawai, superstring theory, atau pendek saja: teori dawai] tidak akan membuat sains berakhir.

Sebaliknyalah yang terjadi: penemuan TOE ―yakni penjelasan paling mendasar tentang jagat raya pada peringkatnya yang paling mikroskopis, sebuah teori yang tidak bergantung pada penjelasan yang lebih dalam apapun― dapat menyediakan fondasi yang paling kokoh yang di atasnya dibangun pemahaman kita mengenai dunia.

Penemuannya akan menandai suatu permulaan, bukan suatu akhir. Teori yang paling mendasar ini akan menyediakan sebuah pilar koherensi yang tidak dapat digoyahkan selamanya, yang memberi jaminan bagi kita bahwa jagat raya ini adalah suatu tempat yang dapat dipahami.”/18/

* Tidak ada sains yang disucikan dan diilahikan sehingga tidak boleh diubah;

* Tidak ada sains yang dibangun tanpa landasan bukti-bukti; semua sains memakai epistemologi evidensialis (Latin: evidentia, bukti);

* Tidak ada sains yang kebenarannya dijamin oleh suatu Allah;

* Tidak ada sains yang harus dijaga kemurniannya sampai dunia berakhir;

* Tidak ada saintis yang akan mempertaruhkan nyawa mereka demi mempertahankan sebuah posisi saintifik, karena mereka tahu tidak ada posisi sains yang final, absolut dan tidak bisa salah.

Kata Bertrand Russell, “Aku tidak ingin mati demi kepercayaan-kepercayaanku sebab mungkin sekali aku salah.”

* Jika seorang saintis menjadi fanatik dengan ilmu yang sedang dikembangkannya, hilanglah kewibawaannya sebagai seorang saintis;

* Semakin hebat seorang saintis, semakin dia rendah hati, terbuka, toleran, dan selalu siap untuk mengaku salah atau mengaku tidak tahu jika memang harus.

Dalam kuliah umumnya yang disampaikan di National Academy of Science (1955) yang berjudul “The Value of Science”, fisikawan Amerika Richard P. Feynman menyatakan hal berikut ini:

“Setiap saintis mempunyai banyak pengalaman dengan ketidaktahuan dan keraguan dan ketidakpastian. Menurutku, pengalaman ini luar biasa penting…. Kami telah menemukan sangatlah penting demi mencapai kemajuan kami harus mengakui ketidaktahuan kami dan memberi ruang bagi keraguan. Pengetahuan ilmiah adalah sejumlah pernyataan dengan tingkat-tingkat kepastian atau hierarki kepastian yang beranekaragam―beberapa paling tidak pasti; beberapa lagi nyaris pasti; tetapi sama sekali tidak ada kepastian mutlak.”/19/

* Semakin jauh dan luas para saintis mengeksplorasi alam, semakin tahu mereka bahwa makin banyak yang mereka tidak ketahui;

Pendek kata, sains sama sekali bukan agama, dus jangan sekali-kali meng-agama-kan sains, atau sebaliknya, men-sains-kan agama.

Ketujuh, harus disimpulkan bahwa cocokologi tidak membuat agama apapun mampu menyumbangkan sesuatu yang berharga ke dunia ilmu pengetahuan. Mengapa begitu? Sebab lewat cocokologi agama-agama dibuat berjiwa kerdil, hanya mampu jadi pengekor sains, dan kehilangan kewibawaan dan signifikansi mereka sendiri yang sebenarnya dipunyai mereka di bidang-bidang lain, misalnya di bidang etika.

Bisa saja lewat cocokologi agama-agama jadi bisa bertahan hidup di era sains modern, ya bertahan hidup sebagai pranata-pranata sosial yang menumpang sebagai parasit dalam dunia sains, kehilangan peran signifikan mereka, hidup hanya di pinggiran-pinggiran dunia modern.

Ya mengenaskan, jadinya. Ya, kemampuan maksimal agama-agama di dunia sains hanyalah cocokologi, kecuali jika agama-agama mau menjadi teman bicara para saintis, sekali lagi, di wilayah etika. Pendapat saya ini sama sekali bukan sinisme, tetapi realisme, yang berpengharapan.

Iptek modern memerlukan rekan bicara yang matang, yakni etika yang arif dan responsif, bukan etika keras yang legalistik, sebab sainsteks berkembang dinamis dalam suatu dunia modern yang juga dinamis. Jika mau mendialogkan hal-hal yang dinamis seperti sains, maka para peserta dialog haruslah juga orang-orang yang dinamis, terbuka, berpikiran maju, dan memiliki kesediaan untuk berubah makin maju.

Syarat-syarat sains dapat berkembang

Anda tokh sudah tahu, sejak berabad-abad lalu hingga kini, orang-orang yang menekuni dengan serius teks-teks kitab-kitab suci tidak ada yang tiba-tiba saja mendapatkan ilham dari teks-teks ini lalu melahirkan sains-sains terobosan baru.

Sains-sains terobosan baru justru lahir di luar teks-teks kitab-kitab suci apapun, lahir hanya dari tiga belas kondisi berikut.

* Observasi yang cermat atas berbagai fenomena alam dan kehidupan, lewat lima indra atau lewat instrumen-instrumen teknologis;

* Bukti-bukti baru yang berhasil dikumpulkan dan terus bertambah;

* Eksperimen-eksperimen di dalam laboratorium atau lewat berbagai model, dan kajian-kajian lapangan;

* Kegiatan-kegiatan bernalar kreatif dan imajinatif dalam bingkai teori-teori besar yang sudah ada, di antaranya termasuk “eksperimen pemikiran”;

* Metode-metode penelitian saintifik yang dibangun dan tidak bercacat, dan terus di sempurnakan;

* Rasa ingin tahu atau kuriositas yang besar atas segala sesuatu dalam jagat raya ini yang mendorong orang untuk mengobservasi, mengeksplorasi dan mempelajari alam;

* Kesediaan untuk meragukan hal-hal apapun yang dipandang sudah mapan, atau yang biasa disebut skeptisisme;

* Debat publik terbuka atau lewat berbagai media lain yang mempertemukan banyak ilmuwan yang berlangsung dengan cerdas dan bermartabat;

Science literacy (atau bebas buta sains) sudah menjadi bagian dari kehidupan publik sehari-hari;

* Pendidikan yang terencana dan progresif dalam bidang litbang SDM untuk menghasilkan pakar-pakar sains yang profesional, kreatif, inovatif, gigih, tekun dan terlatih;

* Ekonomi yang kuat, bertumbuh, maju dan tangguh;

* Kebutuhan kuat untuk mempertahankan kehidupan Homo sapiens kekal dalam jagat raya, berhadapan dengan berbagai ancaman yang dapat memusnahkan spesies ini;

* Demokrasi yang memberi kebebasan untuk orang berpendapat dan berbeda pendapat dengan bertanggungjawab. 

Harap dicatat, iptek berkembang sangat pesat di China meski negara berpenduduk sangat besar ini bukan negara demokratis, dan juga bukan negara tiranis. Mengapa? Karena pemerintah China tidak memberi peluang sekecil apapun bagi agama-agama yang ada di sana untuk mencampuri dan menggerecoki pengembangan iptek. 

Siapapun juga, entah teis atau ateis atau agnostik, di mana dan kapan pun juga, jika tiga belas kondisi di atas dipenuhi, akan bisa menghasilkan sains-sains terobosan baru setelah sebelumnya dididik dan dilatih secara profesional dalam dunia akademik dan dunia riset sains.

Spiritualitas saintifik

Tentu bisa diharapkan ada teks-teks kitab-kitab suci yang dapat mendorong orang untuk memiliki dan mengembangkan beberapa sikap mental yang dapat memajukan ilmu pengetahuan, misalnya sikap ingin belajar, meneliti, mengobservasi, dan berpikir, atau perintah besar untuk mengasihi Tuhan dengan segenap akal budi, dan untuk terus mencari sehingga menemukan dan mengetuk pintu supaya gerbang dibukakan. 

Dalam tradisi Kristen, ada perintah agung Yesus untuk murid-murid-Nya mengasihi Tuhan “dengan segenap akal budi”. Yesus juga mendorong para pengikut-Nya untuk “mencari” dan “mengetuk” yang sangat diperlukan untuk memajukan ilmu pengetahuan. Sabda Yesus, “Carilah, maka kamu akan mendapatkan!”, dan “Ketuklah, maka pintu akan dibukakan!

Jika diterapkan dalam dunia keilmuan, sabda Yesus tersebut memacu setiap warga gereja untuk terus mengikuti dorongan rasa ingin tahu atau kuriositas mereka. Kuriositas adalah bahan bakar bagi mesin kecerdasan dan bagi kemajuan iptek. Jangan sekali-kali memendam kuriositas dalam tanah.

Konsep tentang Tuhan YMTahu juga sebetulnya memberi landasan teologis yang kuat untuk orang atau para ilmuwan terus-menerus mengembangkan ilmu pengetahuan sebagai jalan agung menuju kemahatahuan Tuhan yang menjadi sumber semua pengetahuan yang tak akan pernah habis digali dan dieksplorasi lewat berbagai metode pengkajian ilmiah. Saya sudah lama menyebut ini sebagai spiritualitas saintifik: bertuhan, atau beriman pada Tuhan YMTahu, sekaligus makin cerdas dan makin berpengetahuan, makin arif dan makin bajik. 





Nah, mungkin nyaris tidak ada teks kitab suci yang meminta pembacanya untuk meragukan segala sesuatu yang sudah mapan, bersikap skeptis, termasuk meragukan kebenaran teks-teks kitab suci sendiri atau meragukan ucapan-ucapan orang-orang zaman dulu yang dipandang suci.

Mungkin parafrasis ucapan dalam Kalama Sutta (AN 3.65) yang diasalkan pada Gautama Buddha ini adalah suatu kekecualian yang mengherankan:

“Jangan percaya hal apapun hanya karena kamu telah mendengarnya.

Jangan percaya hal apapun hanya karena hal itu telah dibicarakan dan digunjingkan oleh banyak orang.

Jangan percaya hal apapun hanya karena hal itu tertulis dalam kitab-kitab keagamaanmu.

Jangan percaya hal apapun hanya karena hal itu dikatakan berdasarkan otoritas guru-guru dan sesepuh-sesepuhmu.

Jangan percaya tradisi apapun hanya karena tradisi itu telah diwariskan dari satu generasi ke generasi lainnya.

Tetapi setelah kamu observasi dan analisis, maka ketika kamu mendapati hal apapun sejalan dengan akal budimu dan menolongmu untuk mendatangkan kebaikan dan manfaat bagi satu dan semua orang, maka terimalah itu dan jalankanlah.”

Tokoh spiritual utama umat Buddhis Tibet, Dalai Lama XIV, pernah di tahun 2005 dengan sangat terang membuat pernyataan berikut ini:

“Jika sains membuktikan kepercayaan-kepercayaan Buddhisme salah, maka Buddhisme akan harus diubah. Hemat saya, sains dan Buddhisme sama-sama mencari kebenaran dan berusaha memahami realitas. Dengan belajar dari pemahaman yang lebih maju dari sains tentang aspek-aspek realitas, saya percaya Buddhisme akan memperkaya pandangan dunianya sendiri.”/20/

Jangan totalitarian beragama

Bagaimanapun juga, saya mau memberi usul, satu ini saja: jangan praktekkan cocokologi. Karena merugikan. Perlakukan setiap kitab suci sebagai kitab keagamaan, bukan sebagai buku sejarah dan bukan sebagai ensiklopedia ilmu pengetahuan yang serba lengkap.

Jangan jadikan agama anda agama yang totalitarian, mau menguasai dan merambah semua bidang kehidupan. Camkanlah, tidak ada agama yang bisa ke situ. Kapanpun juga dan di manapun juga.

Catatlah dalam benak anda selamanya bahwa sains itu tidak memeluk agama apapun. Tidak ada sains Hindu, sains Buddhis, sains Konfusianis, sains Zenis, sains Yahudi, sains Kristen, sains Islam, sains Syiah, sains Ahmadiyah, sains Bahai, dan seterusnya.

Sains itu milik jagat raya, meskipun dibangun lewat akal manusia, melalui proses-proses yang akumulatif, partisipatif lintaszaman dan lintasgeografis, dialektis, progresif, dan metodis.

Hanya orang yang beragama konservatif dan triumfalistik yang dengan salah kaprah berusaha meng-agama-kan sains atau men-sains-kan agama.

Bisa jadi, setelah melihat cocokologi itu suatu praktek yang bermasalah besar, para praktisinya masih akan ngotot berdalih bahwa teks-teks kitab suci mereka yang dipercaya sudah pasti benar nantinya akan pasti mengoreksi sains, atau akan melahirkan sains-sains baru yang sekarang belum kelihatan.

Dua dalih ini, sayangnya, salah total. Sains bisa dikoreksi pasti bukan oleh teks-teks kitab suci, tetapi hanya oleh sains yang sudah lebih maju, dan hanya jika bukti-bukti baru sudah ditemukan dan teori-teori alternatif terbukti lebih tepat, lebih ringkas dan lebih simpel dalam menjelaskan berbagai fenomena alam.

Bertemu di dunia etika dan nilai-nilai kehidupan

Kalaupun para agamawan mau berperan dalam dunia sains, tempatnya masih ada, yakni dalam dunia etika. Ada hasil-hasil penyelidikan saintifik yang bersentuhan langsung dengan segi-segi etika.

Biologi sintetis, misalnya, yang sudah bisa menciptakan kehidupan dari senyawa zat-zat kimia yang mati, menimbulkan sejumlah pertanyaan etis tentang apa itu hakikat kehidupan, sampai sejauh mana para saintis diperbolehkan atau tidak diperbolehkan menciptakan kehidupan, ancaman-ancaman dan peluang-peluang baru apa yang mungkin akan timbul dari sains ini terhadap kehidupan, dan seterusnya.

Begitu juga, sains-tek “DNA-editing” yang dinamakan CRISPR-Cas9 yang dilakukan pada suatu organisme pada tahap janin akan menimbulkan suatu masalah etis yang besar jika diterapkan pada manusia, berhubung lewat teknik ini para saintis dapat menciptakan jenis manusia ras unggulan atau ras eugenik yang dapat mengontrol jenis ras-ras lain yang inferior.

Nah, dalam kondisi-kondisi semacam itulah para agamawan perlu berdialog dengan para saintis dan juga sebaliknya.

Tentu saja, supaya dialog yang diadakan bersifat membangun dunia sains dan bukan menghambat atau melecehkannya dengan naif, para agamawan yang mau berdialog dengan para saintis haruslah memahami betul dan sedalam-dalamnya bidang-bidang sains yang mereka mau soroti dari sudut etika. Pertimbangan inilah yang membuat saya putar setir, masuk ke dunia sains sejak dua dekade lalu, dengan tetap memperdalam kecakapan dan pengetahuan saya dalam menganalisis dunia agama-agama. 

Tetapi untuk mengoreksi sains sebagai sains, para agamawan tidak akan bisa, sebab mereka tidak dididik dan dilatih secara formal dan profesional dalam dunia sains yang sangat kompleks.

Sebaliknya, sains bisa mengoreksi agama, sebab pandangan-pandangan sains tentang realitas sangat kokoh berhubung dibangun dengan landasan bukti-bukti yang real, sementara klaim-klaim keagamaan tentang apapun nyaris seluruhnya dibangun hanya dengan landasan wahyu, iman dan kepercayaan, tanpa bukti, atau hanya berlandaskan kisah-kisah kuno.

Sains evolusi, sains biologi sintetis, dan sains kosmologi modern tentang asal-usul jagat raya, misalnya, telah dengan radikal menunjukkan teologi kreasionisme dan Intelligent Design salah total.

Begitu juga, kajian-kajian klinis neurosains telah memperlihatkan bahwa ide tentang pemisahan roh/jiwa dan tubuh yang dipertahankan agama-agama, adalah suatu ide yang salah.

Selain itu, teknik “DNA-editing” telah menunjukkan bahwa para saintis memiliki kreativitas tak terbatas untuk membentuk atau menciptakan jenis-jenis baru suatu organisme sesuai keinginan dan kebutuhan; di tangan mereka, tidak ada “blue print” ilahi yang absolut dan final bagi semua bentuk kehidupan yang mereka harus jadikan pedoman.

Dan ingatlah selalu, sains-sains baru akan muncul hanya jika tiga belas kondisi yang sudah disebut di atas terpenuhi, dan tidak akan pernah lahir dari teks-teks kitab suci yang nyatanya selalu terbuka pada banyak penafsiran yang satu sama lain kerap bertentangan.

Alih-alih melahirkan sains-sains baru, teks-teks kitab-kitab suci malah lebih sering melahirkan pertentangan, perdebatan dan adu otot yang melelahkan dan mengancam kehidupan.

Seandainya memang teks-teks kitab suci bisa melahirkan sains-sains baru, kenapa tidak dari dulu, kenapa tidak terjadi sekarang, kenapa harus menunggu nanti di masa depan? Apakah kita harus menunggu sampai jagat raya kita lenyap, ketika sains apapun tidak diperlukan lagi?

Daripada anda memakai agama anda untuk mempraktekkan cocokologi, jauh lebih perlu dan jauh lebih mulia, tapi juga jauh lebih sulit, jika anda mendorong umat anda untuk mengamalkan perintah-perintah bagus agama anda untuk anda dan umat anda mengasihi sesama manusia, hidup baik hati, menjadi penolong, penyabar, pendamai dan pemersatu umat manusia, dan membawa kasih karunia bagi segenap ciptaan.

Sekalipun dalam agama-agama banyak terdapat mitos dan fiksi, bukan sains, saya kerap menemukan tidak sedikit mitos dan fiksi keagamaan ini yang punya pesan-pesan moral yang bagus. Saya memilih memakai sebutan metafora bagi banyak kisah-kisah imajinatif dalam bangunan-bangunan keagamaan apapun.

Hanya lewat metafora (dibentuk dari dua kata Yunani meta, artinya melampaui, beyond, dan ferein, artinya menyeberang atau memindahkan), kita yang diam di dunia ini, this world, dapat menyeberang, pindah, memasuki kawasan lain yang melampaui dunia sehari-hari kita, kawasan transenden, the otherworld, yang menjadi fokus agama dan teologi.

Dengan tetap menyadari bahwa agama bukanlah satu-satunya sumber bagi ajaran-ajaran moral,/21/ usahakanlah agama anda berwibawa dan signifikan di dunia moral dan nilai-nilai kehidupan, untuk memandu umat untuk mereka dapat tanggap, tepat, cerdas, dan bertanggungjawab hidup di dunia yang sedang dikendalikan sains modern dalam banyak bidang kehidupan.

Ya, hemat saya, hanya di wilayah etis-moral para agamawan yang cerdas dan berpengetahuan luas masih akan dapat berdialog dengan para saintis mengenai nilai-nilai moral yang dapat mengawal perkembangan dan kemajuan sains.

Nah, dari dialektika tesis versus antitesis yang kemudian melahirkan sintesis sebagai suatu tesis baru dalam dunia sains, para agamawan juga perlu belajar untuk menjalankan dialektika keilmuan ini dalam menggumuli dan melahirkan etika-etika baru yang tanggap dalam suatu zaman dan konteks kebudayaan tertentu.

Well, sekali lagi harus dikatakan, supaya dialog di wilayah etika ini bisa berlangsung dengan cerdas dan bermartabat, tentu saja para agamawan harus sungguh-sungguh memahami dunia sains dan pandangan-pandangan sains modern apa adanya mengenai banyak hal dalam kehidupan ini.

Makna, maksud, arah dan tujuan kehidupan

Satu poin terakhir penting dikemukakan. Umumnya para agamawan dari agama apapun berkeyakinan bahwa hanya jika sains dimasukkan ke dalam agama-agama, yakni lewat cocokologi, atau lewat pemberian ayat-ayat suci untuk mendukung sains atau untuk memperlihatkan sains tidak bertentangan dengan kitab-kitab suci, maka barulah sains bisa memberi makna buat kehidupan manusia.

Keyakinan ini dilandasi sebuah keyakinan lain bahwa hanya agama-agama yang dapat membuat segala hal dalam dunia ini, atau segala hal yang menyangkut kehidupan manusia, bermakna untuk manusia.

Makna kehidupan dan makna segala yang ada dalam jagat raya, kata para agamawan, hanya bisa diberi oleh agama-agama. Sains pada dirinya sendiri, kata mereka lagi, tidak bisa memberi makna kepada kehidupan manusia.

Dus, sekali lagi, hanya jika sains ditaklukkan di bawah agama-agama atau dipertemukan dengan agama-agama, barulah sains, kata para agamawan, bisa memberi makna buat kehidupan manusia dan buat dunia ini secara keseluruhan.

Begitu juga, kata mereka lagi, jika sains dirangkul oleh agama, maka para saintis juga akan termotivasi kuat untuk mengembangkan sains, sebab tugas ini dilihat mereka juga sebagai tugas ilahi.

Marilah kita bertanya, benarkah semua keyakinan dan asumsi kaum agamawan itu?

Pada satu pihak, adalah benar bahwa agama-agama dapat membuat kehidupan manusia bermakna, dalam arti: dengan melakukan perintah-perintah agama, dan dengan memegang kepercayaan-kepercayaan keagamaan, orang yang beragama akan merasa telah melakukan tugas dan kewajiban yang sangat penting dan bermakna karena tugas dan kewajiban ini dipercaya datang dari atau diperintahkan langsung oleh Allah sendiri.

Taat dan tunduk kepada Allah, ikhlas menjalankan kewajiban-kewajiban keagamaan, dipandang sebagai kebajikan-kebajikan agung yang ketika sudah dilaksanakan membuat kehidupan terasa bermakna dan mempunyai maksud dan tujuan yang sudah pasti.

Karena Tuhan dan agama-agama jugalah, maka manusia yang beragama, kata para agamawan, akan termotivasi kuat untuk menjalankan kehidupan mereka yang dipercaya mereka sebagai suatu kesempatan mulia untuk mengamalkan berbagai kebajikan yang diperintahkan Tuhan lewat agama-agama.

Saat orang-orang beragama ditanya apakah kehidupan mereka bermakna, punya maksud dan tujuan yang pasti, maka para agamawan akan dengan mantap menjawab, Ya kehidupan kami bermakna, karena kami tahu alasan, maksud dan tujuan mengapa kami hidup, yakni untuk berbakti kepada Tuhan, yang nantinya akan membuahkan pahala besar masuk sorga untuk kami.

Ya, jika orang beragama melihat agama mereka membuat kehidupan mereka bermakna dan mempunyai maksud dan tujuan yang jelas, tentu itu adalah hal yang bagus, dan juga positif untuk kesehatan jiwa dan pikiran mereka. Tentu, asalkan makna, maksud dan tujuan tersebut mendatangkan kebaikan dan kesejahteraan bagi banyak orang lain, dan memajukan peradaban.

Jelas, siapapun juga akan stres dan akhirnya depresif dan bisa berakhir dengan bunuh diri, jika orang sudah tidak menemukan lagi bahwa kehidupan mereka bermakna dan punya maksud dan tujuan yang jelas, pasti dan terus meningkat.

Tetapi bahwa sains menjadi juga bermakna kalau dimasukkan ke dalam kekuasaan agama, dan bahwa para saintis akan menjadi termotivasi kuat untuk berkarya dalam dunia sains jika sains tunduk kepada agama, adalah pendapat-pendapat yang salah, sebagaimana sudah saya bentangkan di atas ketika menguraikan masalah-masalah besar yang pasti muncul dari praktek cocokologi.


 

Mau ke mana? Anda sendirilah yang harus memutuskan makna, maksud, arah dan tujuan kehidupan anda!


Perlu saya tekankan bahwa makna kehidupan, maksud, arah dan tujuan kehidupan kita, tentu saja harus kita sendirilah yang menentukan, memutuskan, mengambil, mengamalkan dan menjalankannya. Untuk bisa tiba di situ, kita memerlukan banyak kearifan, kebajikan, pengalaman, wawasan yang luas dan pengetahuan yang benar.

Kosmolog dan astrofisikawan Amerika, Neil deGrasse Tyson, bertanya, “Apa makna kehidupan?”

Lalu dia melanjutkan, “Aku pikir, orang bertanya demikian berdasarkan asumsi bahwa makna adalah sesuatu yang anda dapat cari lalu pergi untuk menemukannya, ‘Ini dia, aku telah menemukannya; ini dia makna kehidupan yang sudah lama kucari-cari hingga sekarang!’ Namun skenario ini tidak mempertimbangkan kemungkinan bahwa makna kehidupan adalah sesuatu yang anda ciptakan sendiri, yang anda bangun sendiri untuk diri anda dan untuk orang lain.”/22/

Henry Valentine Miller (1891-1980), penulis Amerika, juga menyatakan pendapat yang serupa, sebagaimana sudah ditulis pada epigraf di awal tulisan ini.

Makna, maksud, arah dan tujuan kehidupan kita sebagai orang-orang yang sudah dewasa dan matang tidak ditentukan oleh langit dan juga tidak ditentukan oleh orangtua kita atau oleh siapapun atau oleh benda atau jimat apapun.

Makna, maksud, arah dan tujuan kehidupan kita adalah pilihan-pilihan bebas kita sendiri,  takdir yang kita susun dan bangun dan capai sendiri berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang luas dan mendalam, cerdas dan bijaksana. Agama dapat menjadi salah satu pertimbangan kita, tetapi bukan satu-satunya pertimbangan.

Bagaimana dengan garis takdir?

Para penganut doktrin pradestinasi global (bisa juga disebut doktrin takdirisme) biasanya menolak jika dikatakan bahwa manusia memiliki kehendak bebas atau freewill untuk menetapkan makna, maksud dan tujuan kehidupan mereka. Bagi mereka, tiga hal tersebut sudah digariskan atau ditakdirkan Tuhan untuk setiap individu dan jagat raya ini juga. Tidak bisa diubah oleh individu manapun. 

Nah, sudah pasti deh bahwa para penganut doktrin pradestinasi global tidak ada yang mengetahui garis takdir mereka sendiri karena, kata mereka, hanya Tuhan yang tahu. Baik deh. Jika mereka yakin begitu.

Tetapi, berhubung garis takdir tidak diketahui mereka, dan cetakbirunya tidak mereka miliki, maka bukankah terbuka kemungkinan luas bahwa menentukan sendiri dengan bebas dan cerdas makna, maksud dan tujuan kehidupan mereka adalah takdir mereka. Cobalah renungi.

Jangan dilupakan, karena garis takdir individual dan global tidak ada yang tahu selain Tuhan, maka para penganut doktrin takdirisme juga dapat meyakini bahwa adalah takdir Allah untuk iptek terus-menerus berkembang lewat tangan dan pikiran para ilmuwan.

Insan transenden

Nah, karena makna, maksud, arah dan tujuan kehidupan manusia adalah pilihan-pilihan bebas yang dibuat, ditentukan, dilaksanakan dan dicapai oleh masing-masing individu manusia, maka para saintis pun dapat menentukan dan memutuskan sendiri bahwa pengabdian di dalam dunia sains adalah makna, maksud, arah dan tujuan kehidupan mereka, kendatipun makna, maksud, arah dan tujuan kehidupan mereka ini sama sekali tidak mereka kaitkan dengan agama apapun.

Setahu saya, para saintis besar umumnya adalah orang-orang yang telah mencapai tingkat kebutuhan mengaktualisasi diri (maksudnya: telah meraih setinggi-tingginya apa yang mereka dapat raih sebagai sosok-sosok insan besar di atas rerata insan kebanyakan) bahkan lebih tinggi dari itu, jika kita mengacu ke lima sampai tujuh atau delapan peringkat kebutuhan manusia menurut Abraham Maslow. 



Piramida delapan jenjang kebutuhan manusia menurut Abraham Maslow


Kebutuhan teratas, yang berada pada jenjang kedelapan, sebagai puncak piramida Maslow yang dikembangkan belakangan, adalah kebutuhan menjadi manusia transenden, yakni, manusia yang sudah kehilangan kebutuhan keakuan mereka, lalu memilih hidup untuk kebahagiaan manusia lain dan berbagai bentuk kehidupan yang berbeda, dan untuk merawat dan melestarikan alam. Para saintis umumnya, tentu yang memiliki integritas dan keluhuran moral, banyak yang sedang menjalani jenis kehidupan transenden ini.

Pendek kata, para saintis sejati adalah para mahatma, yang bekerja keras dan bekerja cerdas seumur kehidupan mereka untuk membuat kehidupan manusia lebih baik dan peradaban insani terus berkembang dan bertahan kekal dalam jagat raya, tidak hanya di Bumi, dan memelihara serta merawat planet Bumi.

Tentu para agamawan akan berpendapat bahwa kalau para saintis itu menjadi ateis, tidak bergantung lagi pada Allah dalam pekerjaan mereka, maka makna, maksud, arah dan tujuan kehidupan mereka tidak akan mereka dapatkan. Kok begitu? 

Ya, karena, kilah mereka, semua saintis ateis tidak akan masuk sorga setinggi apapun prestasi yang mereka telah capai dalam dunia sains selama kehidupan mereka di muka Bumi.

Sayangnya, pendapat itu tidak pas, sebab para saintis yang bermarwah umumnya memandang maksud dan tujuan kehidupan mereka adalah untuk mendatangkan sorga di muka Bumi ini dan memadamkan api neraka yang sedang bernyala di muka Bumi ini juga.

Salah satu manfaat terbesar sains dan teknologi adalah untuk membuat kehidupan manusia bertambah baik, makin bahagia, sehat, dan sejahtera, mempertahankan ketahanan dan ketangguhan kehidupan manusia dan peradaban mereka di Bumi dan malah di angkasa luar.

Tanpa sains dan teknologi, kehidupan kita sekarang akan sangat sulit untuk kita dapat jalankan dengan baik, kendatipun tentu saja sains dan teknologi bukanlah satu-satunya faktor penentu kehidupan manusia yang berbahagia dan sejahtera.

Seorang penulis, Kevin Ashton, menyatakan bahwa “tubuh kita tidak dibangun untuk bisa bertahan hidup tanpa bantuan teknologi. Tanpa teknologi, kita ini bak burung-burung tanpa sarang, bak berang-berang tanpa bendungan. Kita tidak dapat hidup tanpa peralatan-peralatan teknologis. Kita tidak akan memiliki kehidupan.”/23/

Tiga cara mendamaikan Tuhan dan sains

Selain itu, ketahuilah banyak ilmuwan besar yang juga beragama. Tentu bukan agama mereka yang membuat mereka berstatus ilmuwan besar, tetapi prestasi-ptestasi keilmuan mereka yang luar biasa, yang dicapai lewat metode-metode penelitian ilmiah, kecerdasan bernalar dan membangun argumen-argumen, kompilasi bukti-bukti empiris, dan penguasaan luas bidang keilmuan mereka.

Seorang ilmuwan dapat tetap beragama dan aktif dalam komunitas-komunitas lokal keagamaan mereka, lewat tiga cara lain lagi selain lewat spiritualitas saintifik yang sudah saya gambarkan di atas. 

Pertama, dengan si ilmuwan menjadi penganut deisme, yang memandang Allah sebagai sang Pencipta jagat raya dan hukum-hukum alam, tetapi Allah ini tidak mencampuri lagi urusan jagat raya dan hukum-hukum alam setelah selesai diciptakan lalu berjalan sendiri. Ibarat si pembuat jam tangan tidak lagi berurusan dengan jam tangan buatannya setelah jam tangan ini jadi dan dibeli lalu digunakan oleh orang lain. Para ilmuwan deis dapat hidup dalam dua dunia yang tidak saling mencampuri: dunia agama deisme, dan dunia sains.

Kedua, si ilmuwan yang beragama menganut teologi naturalis yang melihat Tuhan memberi kasih karunia-Nya, atau gratia-Nya, kepada ilmu pengetahuan dan dunia alam, dan mengangkat keduanya ke status dan peringkat yang makin tinggi. Jadi, si ilmuwan memandang usahanya memajukan iptek direspons dengan kasih karunia Allah sehingga iptek terus-menerus berkembang maju dan makin tinggi lewat berkat ilahi. Tak ada konflik antara hidup beragama dan menjadi ilmuwan. Iman pada Tuhan dan prestasi di dunia keilmuan bersinergi.

Ketiga, si ilmuwan menjadi penganut panteisme, yang meyakini bahwa segala sesuatu (Yunani: pan) adalah Tuhan (Yunani: theos). Jadi, bagi seorang ilmuwan panteis (misalnya Baruch Spinoza), bergaul dan akrab dengan ilmu pengetahuan adalah juga bergaul dan akrab dengan Tuhan, dan menyelidiki dan mencari Tuhan adalah juga menyelidiki dan mencari ilmu pengetahuan. Sebagaimana iptek terus-menerus berkembang dan berproses, maka, bagi para ilmuwan panteis, Tuhan juga senantiasa berkembang dan mengembang serta berproses. Tak ada pertentangan apapun antara hidup bertuhan dan menjalani kehidupan sebagai ilmuwan.

Iptek dapat berbahaya jika....

Tentu saja, berapa besar dan agung pun sumbangan sains-tek bagi kehidupan manusia dan peradaban, tetap saja darinya bisa dihasilkan hal-hal yang dapat menghancurkan kehidupan dan peradaban, jika etika yang agung dan matang tidak dilibatkan dalam dunia sains.

Ada sebuah peribahasa Buddhis yang patut kita renungkan. Pepatah ini menyatakan, “Kepada setiap orang diberi kunci ke gerbang-gerbang sorga; kunci yang sama juga membuka gerbang-gerbang neraka.” Gantilah kata “kunci” dalam peribahasa ini dengan “sains-tek”!

Tentu saja, tidak ada nilai-nilai etik moral yang sekali ditetapkan di zaman kuno, akan berlaku terus abadi sepanjang jagat raya kita masih ada. Sebagaimana sains berubah dan dinamis, hanya moralitas yang dialektis yang juga berubah dan dinamis yang dapat menjadi mitra dialog dengan dunia sains.

Richard P. Feynman menyatakan bahwa 

“Tentu saja jika kita telah membuat hal-hal yang bagus, ini bukan hanya karena prestasi sains, tetapi juga karena prestasi pilihan-pilihan moral yang memandu kita untuk bekerja dengan baik. 

Pengetahuan ilmiah mempunyai kemampuan untuk membuat orang melakukan entah kebaikan atau pun kejahatan. 

Tetapi pengetahuan ilmiah tidak membawa petunjuk-petunjuk tentang bagaimana memanfaatkan dan menggunakannya. Pengetahuan tersebut memiliki nilai yang jelas, kendatipun nilai ini dapat disangkal oleh apa yang manusia lakukan dengannya.”/24/

Tapi sebetulnya sains pada dirinya sendiri dapat memberi petunjuk tentang nilai-nilai kehidupan yang seharusnya dan sepatutnya manusia lakukan untuk, lewat sains, manusia dapat membuat kehidupan manusia dan dunia ini makin lebih baik, lebih sehat dan lebih mulia.

Pemisahan sains dan nilai-nilai adalah sesuatu yang salah, sebuah ilusi. Saya sudah dengan terang menunjukkan dalam sebuah tulisan saya yang berjudul Sciences and Values bahwa sains pada dirinya sendiri juga menghasilkan nilai-nilai kebajikan moral yang kita perlukan, nilai-nilai saintifik./25/

Sains kedokteran, misalnya, memandang penyakit apapun adalah hal yang buruk, dan karena itu, lewat para saintis medik dari latarbelakang religius dan non-religius apapun, sains kedokteran mencari metode-metode penyembuhan, obat-obatan dan vaksin-vaksin demi menyembuhkan berbagai penyakit, menyelamatkan kehidupan, dan menyehatkan manusia.

Penutup

Sekali lagi saya mau tekankan. Karena Tuhan itu dipercaya mahatahu, maka mendalami dan mengembangkan ilmu pengetahuan tanpa batas lewat proses dialektis, dan menerapkannya demi kebaikan manusia dan dunia, adalah juga jalan mulia menuju Tuhan. Jalan dan tujuan tentu saja tidak sama. Ilmu pengetahuan adalah telunjuk yang terarah ke langit malam penuh cahaya bintang yang tanpa batas.

Nah, jika para saintis mendalami dan mengembangkan ilmu pengetahuan dengan tanpa batas, usaha-usaha mereka ini juga adalah usaha-usaha di jalan mulia dan agung tanpa ujung menuju Tuhan, dengan membuat kehidupan manusia jadi lebih baik dan lebih sehat dan peradaban insani maju dan berkembang terus tanpa batas.

Atau dengan kata lain, dengan menghadirkan sorga sekarang di dunia ini dan memadamkan api neraka penderitaan juga di dunia sekarang ini. Jika ini bisa mereka capai, maka kehidupan setiap saintis adalah kehidupan yang bermakna, terarah, dan memiliki maksud dan tujuan yang luhur dan mulia.

Pada sisi lain, adalah mungkin jika para agamawan juga melihat sorga dan neraka yang real ada di dunia ini, yang satu harus ditegakkan, dan yang satunya lagi harus dipadamkan, keduanya hanya oleh cinta ilahi.

Sufi perempuan pertama yang termashyur, Rabia al-Adawiyya (717-801 M), menolak jika orang menganut suatu agama hanya karena ingin mendapatkan hadiah sorga atau karena ketakutan api neraka. Baginya, ibadah yang benar kepada Allah hanyalah mungkin lewat cinta kasih, tanpa iming-iming apapun dan tanpa ketakutan apapun.

Untuk menyampaikan pesan-pesannya ini, Rabia kerap berlari-lari di jalan-jalan kota Basrah sambil membawa seember air dan memegang sebuah obor bernyala. Ketika ditanya orang, apa maksud tindakan-tindakannya ini, Rabia menjawab bahwa dia “mau membakar sorga hingga jadi debu dan menyiram api neraka sampai padam, supaya orang beragama dan beribadah kepada Allah hanya karena cinta.”/26/

Jadi, saya tidak melihat para saintis yang betul-betul mengabdikan diri pada dunia ilmu pengetahuan seumur kehidupan mereka berposisi lebih rendah atau tidak mulia jika dibandingkan dengan orang-orang yang bekerja sebagai pegiat-pegiat agama. Bahkan dalam sangat banyak hal, jujur saja, sains dan teknologi modernlah yang kelihatan berperan jauh lebih besar dalam memperbaiki kualitas kehidupan manusia alih-alih agama.

Sebaliknya, sebagaimana kita semua sudah ketahui, di tangan para pedagang agama (alias religiopreneurs) kualitas agama-agama kini tergerus makin rendah dan makin merosot, dan hanya menjadi objek olok-olok masyarakat yang eling dan makin cerdas.

Sangat mungkin jika kondisi yang buruk ini tidak segera diatasi, agama-agama semacam ini akan punah dengan sendirinya. Bukan terutama karena para penganut semula agama-agama ini pindah agama, tetapi karena mereka memilih dengan sadar untuk menjadi ateis, entah ateis terang-terangan ataupun ateis sembunyi-sembunyi.

Atau, jika tidak menjadi ateis, mereka yang sudah menjadi korban cuci otak dalam komunitas-komunitas agama-agama yang sudah merosot ini akan memperlihatkan diri terang-terangan sebagai para radikalis dan ekstrimis! Dalam arti, mereka ikut dalam gerakan yang menjauh dari pusat, ke titik ekstrim, yang bertujuan untuk meruntuhkan suatu negara yang sah sampai ke akar-akarnya, dalam arti sampai mengganti total ideologi negara yang mau diruntuhkan. Frasa “sampai ke akar-akarnya” itulah arti kata “radikal”, dari kata Latin radix, artinya akar.

Kita sudah tahu, dunia maju yang menganut nilai-nilai modern yang humanis dalam kehidupan memandang para radikalis dan ekstrimis religius sebagai musuh dan gangguan yang harus dilawan dan dikalahkan! Ini saya ingatkan dengan wajar saja. Seluruh dunia sudah tahu hal ini; Indonesia pun sudah paham banget.

Bagaimanapun juga, tidaklah berarti para saintis dan para agamawan harus hidup teralienasi satu sama lain. Keduanya sesungguhnya dapat bekerja sama dalam dunia etika untuk membuat sains dan teknologi betul-betul bermanfaat bagi manusia dan mempertahankan harkat dan martabat manusia.

Dan, kalaupun “dunia lain” itu ada, sains bisa jadi, masih jauh di masa depan, akan mungkin dapat menemukannya dalam dimensi-dimensi lain yang disebut ekstradimensi yang berada di luar empat dimensi (ruangwaktu) yang di dalamnya sekarang ini kita hidup. 

Perhatikan, saya dengan sengaja memakai kata benda “dimensi”, sebab dimensi adalah sebuah kategori dalam dunia sains, bukan sebuah kategori dalam dunia agama.

Sekarang ini, menurut teori superdawai (superstring theory), dalam jagat-jagat raya terdapat 26 dimensi, bahkan belakangan berkembang menjadi 41 dimensi, dengan di dalamnya tercakup empat dimensi (ruangwaktu) yang sekarang ini sedang mengurung kita.

Bisa jadi, di luar empat dimensi yang kita kenal sekarang, yakni di dalam dimensi-dimensi kelima hingga keduapuluhenam atau keempatpuluhsatu, terdapat dimensi-dimensi transendental, dalam arti dimensi-dimensi yang terlalu besar, infinite, sehingga tidak akan pernah kita bisa pahami dan masuki sepenuh-penuhnya, dan tak terdefinisikan.

Tetapi kita sekarang belum tahu apa-apa tentang dimensi-dimensi yang di luar ini, yang infinite. Sains, bukan agama, yang harus menemukan semuanya, nanti, mudah-mudahan, karena sains memakai bukti-bukti, bukan memakai dogma-dogma agama.

Jadi, menyangkut dimensi-dimensi di luar empat dimensi yang sudah kita kenal, ditambah cahaya yang dapat diperlakukan sebagai dimensi kelima, yang lazimnya dinamakan extradimensions, yang terdapat di ruang-ruang yang dinamakan hyperspace, ruang-ruang di antara jagat-jagat raya yang paralel, para agamawan sebaiknya berdiam diri, sampai nanti para saintis bisa menemukan dan menjelaskan semuanya dengan empiris.

Updated 23 September 2021


Catatan-catatan

(*) Makalah untuk acara diskusi Titik-Temu ke-29, bertema “Upaya Mencari Titik-titik Temu Agama dan Sains Modern”. Penyelenggara Nurcholish Madjid Society (NCMS), 26 Februari 2015, di Omah Betari Sri, Jalan Ampera Raya no. 11, Kemang, Jakarta Selatan. Tampil bersama Dr. Ir. Husain Heriyanto, dosen pascasarjana UI bidang filsafat ilmu pengetahuan dan filsafat lingkungan.

Selain itu, makalah ini dalam versi yang sedikit diperpanjang telah juga disampaikan pada acara Kuliah Umum di Fakultas Ushuluddin UIN Ciputat, Jakarta, 24 Maret 2015, pukul 09.00 sampai selesai. Tema kuliah umum: “Pergumulan Agama dan Sains di Dunia Kristen dan di Dunia Islam”. Dalam kesempatan ini, juga berbicara bersama saya Prof. Kautsar Azhari Noer dan Dr. Media Zainul Bahri.

/1/ Lihat Adam Whitnall, “Pope Francis declares evolution and Big bang theory are right and God isn’t ‘a magician with a magic wand’”, The Independent, 28 October 2014, http://www.independent.co.uk/news/world/europe/pope-francis-declares-evolution-and-big-bang-theory-are-right-and-god-isnt-a-magician-with-a-magic-wand-9822514.html.

/2/ Niels Bohr, Atomic Physics and Human Knowledge (New York: John Wiley, 1958). Dikutip dalam Eric Middleton, The New Flatlanders: A Seeker’s Guide to the Theory of Everything (West Conshohocken, PA: Templeton Foundation Press, 2007), hlm. 19.

/3/ Richard P. Feynman, The Character  of Physical Law (BBC/Penguin, 1967), chapter 6, “Probability and Uncertainty―The Quantum Mechanical View of Nature ”, hlm. 129.

/4/ Lihat P. W. Milonni, The Quantum Vacuum: An Introduction to Quantum Electrodynamics (Boston: Academic Press, 1994), hlm. 239.

/5/ Lihat Milton K. Munitz, Cosmic Understanding: Philosophy and Science of the Universe (Princeton: Princeton University Press, 1990), hlm. 132. Lihat juga “Focus: The Force of Empty Space”, Physical Review Focus 2, 28 (1998) DOI: 10.1103/PhysRevFocus.2.28 (3 December 1998), http://physics.aps.org/story/v2/st28.

/6/ Kajian-kajian mutakhir atas bebatuan karang tertua yang ada di Bumi, yang berasal dari Afrika Selatan dan Australia barat laut (dari kurun 2,75 milyar hingga 3,2 milyar tahun lalu), menunjukkan bahwa kehidupan mikrobial sudah terbentuk 3,2 milyar tahun lalu baik di lautan maupun di daratan.

Lihat reportase Hannah Hickey, “Ancient rocks show life could have flourished on Earth 3,2 billion years ago”, UW Today, 16 February 2015, http://www.washington.edu/news/2015/02/16/ancient-rocks-show-life-could-have-flourished-on-earth-3-2-billion-years-ago/. Lihat letter Eva E. Stueken, Matthew C. Koehler, et al., “Isotopic evidence for biological nitrogen fixation by molybdenum-nitrogenase from 3.2 Gyr”, Nature (2015), doi: 10.1038/nature14180, terbit online 16 Februari 2015, http://www.nature.com/nature/journal/vaop/ncurrent/full/nature14180.html.

/7/ Lihat reportase Clara Moskowitz, “Gravitational Waves from Big Bang Detected”, Scientific American, 17 March 2014, http://www.scientificamerican.com/article/gravity-waves-cmb-b-mode-polarization/. Lihat laporan lengkapnya “Cosmic Inflation and Big Bang Ripples”, Scientific American, 17 March 2014, http://www.scientificamerican.com/report/cosmic-inflation-and-big-bang-ripples1/.

/8/ Lihat Ron Cowen, “Gravitational waves discovery now officially dead”, Nature News, 30 January 2015, http://www.nature.com/news/gravitational-waves-discovery-now-officially-dead-1.16830?WT.mc_id=TWT_NatureNews.

/9/ Petikan wawancara dengan Richard P. Feynman dalam Paul C.W. Davies dan Julian R. Brown, eds., Superstrings: A Theory of Everything? (1988), hlm. 208-209.

/10/ Felix Broecker & Karin Moeling, "What viruses tell us about evolution and immunity: beyond Darwin?", Annals of the New York Academy of Sciences, 29 April 2019, https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6850104/.

/11/ Tentang prestasi J. Craig Venter dan timnya dalam menciptakan kehidupan buatan, lihat Ioanes Rakhmat, Beragama dalam Era Sains Modern (Jakarta: Pustaka Surya Daun, 2013), Lampiran 3 (“DNA Sintetik dan Kehidupan Buatan”), hlm. 443-446. Tulisan ini terpasang juga di blog saya dengan judul “DNA Sintetik dan Kehidupan Artifisial Telah Berhasil Diciptakan Ilmuwan”, The Freethinker Blog, 9 Oktober 2010, http://ioanesrakhmat.blogspot.com/2010/10/dna-sintetik-dan-kehidupan-artifisial.html.

/12/ Lihat pemaparan Stephen Hawking dalam video Discovery Channel Curiosity SO1EO1, Did God Create the Universe? Compelling Explanations, tayangan perdana 7 Agustus 2011, https://www.youtube.com/watch?v=fmYlbqtAYOQ&feature=youtu.be.

/13/ Tentang kemunculan spesies Homo sapiens dan pendahulu terdekatnya, lihat L. Vigilant, M. Stoneking, H. Harpending, K. Hawkes, AC. Wilson, “African populations and the evolution of human mitochondrial DNA”, Science Vol. 253 no. 5027 (27 September 1991), hlm. 1503-1507, doi:10.1126/science.1840702.

Oleh L. Vigilant dkk, usia moyang umum mtDNA manusia ditempatkan antara 166.000 hingga 249.000 tahun. Lihat juga Max Ingman, Henrik Kaessmann, Svante Paabo, dan Ulf Gyllensten, “Mitochondrial genome variation and the origin of modern humans”, Nature 408 (7 December 2000), hlm. 708-713, doi:10.1038/35047064, http://www.nature.com/nature/journal/v408/n6813/full/408708a0.html.

Teori bahwa Afrika Selatan adalah tempat asal-usul homo dengan anatomi tubuh modern, kembali dikonfirmasi oleh kajian mutakhir oleh Brenna M. Henn, Marcus W. Feldman et al., “Hunter-gatherer genomic diversity suggests a Southern African origin for modern humans”, Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America (PNAS), Vol. 108, no. 13 (29 March 2011), hlm. 5154-5162, doi:10.1073/pnas.1017511108; tersedia online http://www.pnas.org/content/108/13/5154.full.

/14/ Berlandaskan temuan DNA mitokondrial hominin (moyang Homo sapiens) yang diekstrasi dari sebuah fosil tulang paha yang berumur 400.000 tahun yang ditemukan di Spanyol dalam sebuah goa yang dinamakan Sima de los Huesos (dalam bahasa Spanyol, artinya Lubang Tulang-tulang). Lihat laporan temuan ini oleh Matthias Meyer, Qiaomei Fu, et al., “A Mitochondrial genome sequence of hominin from Sima de los Huesos”, Nature 505 (16 January 2014), hlm. 403-406, doi:10.1038/nature 12788, diterbitkan online 04 Desember 2013, http://www.nature.com/nature/journal/vaop/ncurrent/full/nature12788.html.

Temuan mutakhir ini menimbulkan misteri-misteri baru mengenai asal-usul manusia. Lihat tinjauan hasil kajian ini oleh Carl Zimmer, “Baffling 400.000-Year-Old Clue to Human Origins”, The New York Times Science, December 4, 2013, http://www.nytimes.com/2013/12/05/science/at-400000-years-oldest-human-dna-yet-found-raises-new-mysteries.html?_r=0.

/15/ Ini link ke 50 video yang menunjukkan Maurice Bucaille salah telak http://youtu.be/ZAK6fQQALE4.

/16/ Ioanes Rakhmat, “Cara-cara Tafsir Ulang Sebuah Teks Skriptural Yang Sudah Tidak Relevan”, Freidenk Blog, 16 Maret 2021, https://ioanesrakhmat.blogspot.com/2021/03/cara-cara-tafsir-ulang-sebuah-teks.html?m=0.

/17/ Tentu saja para pemikir keagamaan yang modern mempunyai pandangan-pandangan mereka sendiri tentang hakikat kitab-kitab suci mereka masing-masing, yang berbeda tajam dari pandangan umat-umat beragama kebanyakan pada umumnya.

Pada ekstrim kanan, ada pandangan bahwa kitab-kitab suci sepenuhnya adalah wahyu Allah yang tidak bisa salah, yang sampai lewat pendiktean ilahi sepenuhnya kepada manusia si penerimanya. Pada ekstrim kiri, terdapat pandangan bahwa kitab-kitab suci adalah sepenuhnya hasil tulisan manusia dengan berbagai kelemahan dan kekuatan yang terdapat pada semua karya tulis manusia lainnya dalam dunia ini.

Di antara kedua ekstrim ini, orang memandang kitab-kitab suci sebagai hasil dialog antara kemauan Allah dan kemauan manusia, di dalam kelahirannya Allah dan manusia sama-sama berperan setara.

/18/ Brian Greene, The Elegant Universe: Superstrings, Hidden Dimensions, and the Quest for Ultimate Theory (New York: W.W. Norton and Company, 1999, 2003, edisi pertama), hlm. 17.

/19/ Kuliah umum Richard P. Feynman di National Academy of Sciences yang berjudul “The Value of Science” (Autumn 1955); diterbitkan dalam What Do You Care What Other People Think (1988); diterbitkan kembali dalam Jeffry Robbins, ed., The Pleasure of Finding Things Out: The Best Short Works of Richard P. Feynman (1999), pp.

/20/ Tenzin Gyatso, “Our faith in science”, The New York Times, 12 November 2005, http://www.nytimes.com/2005/11/12/opinion/12dalai.html?pagewanted=all&_r=0.

/21/ Ada banyak hal yang harus diperhitungkan dalam orang mengambil keputusan-keputusan moral, di antaranya adalah sains. Teks-teks kitab suci sama sekali bukan sumber satu-satunya ajaran-ajaran moral. Tentang ini lihat Ioanes Rakhmat, “Sciences and Values”, Kanz Philosophia, Volume 4, Number 1, June 2014, pp. 116-124. Sebuah versi yang sedikit lebih panjang dari tulisan ini terpasang di The Freethinker Blog, 17 November 2014, http://ioanesrakhmat.blogspot.com/2014/11/sciences-and-values.html.

/22/ Lihat Youtube “Neil deGrasse Tyson on the meaning of life”, dipublikasi 18 Januari 2014, https://www.youtube.com/watch?v=s7ltcHJybG8.

/23/ Kevin Ashton, “Without Technology, You’d Be Dead in Days”, How To Fly A Horse, http://www.howtoflyahorse.com/without-technology-youd-be-dead-in-days/.

/24/ Richard P. Feynman, “The Value of Science”, dalam What Do You Care What Other People Think (1988).

/25/ Ioanes Rakhmat, “Sciences and Values”, The Freethinker Blog, 17 November 2014, http://ioanesrakhmat.blogspot.co.id/2014/11/sciences-and-values.html; idem, “Sciences and Values” dalam Kanz Philosophia, Volume 4, Number 1, June 2014, pp. 116-124.

/26/ Dikisahkan oleh Farid ad-Din Attar (c. 1230), Memorial of the Friends of God: Lives and Sayings of Sufis (penerjemah Paul Losensky, ed., pengantar Th. Emil Homerin) (Paulist Press, 2009). Lihat juga Widad El Sakkakini, First Among Sufis: The Life and Thought of Rabia al-Adawiyya (penerjemah Nabil F. Safwat; pengantar Doris Lessing; editor Daphne Vanrenen (London: Octagon Press, 1982; reprint 1985), hlm. 3.