Friday, November 7, 2014

Mari kita pikirkan kembali apa penyebab big bang!




Mari kita memikirkan kembali tentang BIG BANG, dentuman besar, yang terjadi 13,8 milyar tahun lalu yang memulai ruang dan waktu dan segala hal lainnya dalam jagat raya kita. Lebih spesifik, mari kita renungi lagi apa penyebab big bang, atau ada apa sebelum big bang. Renungan kita ini tentu saja bukan sebuah renungan rohani, tetapi sebuah renungan yang dibangun berdasarkan pandangan-pandangan ilmu pengetahuan. Berikut ini betul-betul sebuah renungan ilmiah, bukan sebuah khotbah keagamaan. 

Kita dan segala hal lainnya dalam jagat raya kini ada di dalam dimensi ruang-waktu (spacetime dimension). Sebelum big bang, ruang-waktu tidak ada. Begitu juga, sebelum big bang tidak ada materi-energi. Segala sesuatu tidak ada. Dengan demikian, big bang diawali dengan ketiadaan, atau big bang muncul dari ketiadaan. Before the big bang there was nothing in the absolute sense of the word! 

Kalau ruang-waktu belum ada, maka “di luar ruang-waktu” otomatis juga tidak ada, sebab kata “di luar” mengasumsikan ada ruang-waktu juga. Begitu juga, kalau materi-energi tidak ada, maka “di luar materi-energi” juga tidak ada, sebab kata “di luar” mengasumsikan ada materi-energi juga. Jika sebelum big bang ruang-waktu dan materi-energi belum ada, berarti sebelum big bang yang ada adalah ketiadaan segala sesuatu, ketiadaan absolut, nothingness.

Ketiadaan berarti segala hal tidak ada, ruang-waktu tidak ada, materi-energi tidak ada, bahkan ketiadaan itu sendiri tidak ada. Ketiadaan absolut. Dari ketiadaan absolut inilah big bang terjadi, mendentum, tanpa ada penyebab eksternal apapun, sebab di dalam ketiadaan pastilah penyebab apapun tidak ada.

Jika anda bertanya, ada apa di dalam ketiadaan absolut, pertanyaan anda ini tanpa makna, sebab di dalam ketiadaan absolut segala hal memang tidak ada. Yang ada adalah emptiness. Yang ada adalah kekosongan, kehampaan. 

Pertanyaan, ada apa di dalam ketiadaan absolut, ada apa sebelum big bang, serupa dengan bertanya di mana pinggir Bumi terletak. Kita semua tahu, planet Bumi kita berbentuk bola, bulatan. Pada bulatan, tidak ada pinggir apapun. Mencari pinggir Bumi pasti sia-sia.

Tapi kaum agamawan teistik dengan yakin diri menyatakan bahwa sebelum big bang, yang ada hanyalah Tuhan. Tuhan inilah yang menciptakan big bang. Kata mereka juga dengan sangat yakin, meskipun Tuhan adalah sang pencipta big bang, Tuhan ada tanpa penyebab apapun; dia ada dengan sendirinya, tanpa asal-usul. Tentu saja keyakinan atau kepercayaan kaum agamawan teistik itu patut dihormati. Agama memang keyakinan, kepercayaan, yang diterima begitu saja tanpa para pemeluknya mau atau perlu membuktikan secara objektif.

Tetapi, sekarang kita sedang mengulas sains, bukan sedang membahas etika pergaulan sosial. Bagaimana sains menanggapi keyakinan kaum agamawan ini? Karena dalam alam ini bekerja, setelah jagat raya tercipta, hukum-hukum sebab-akibat, causal laws, sah jika orang bertanya, jika Tuhan itu sang pencipta, siapa atau apa yang telah menciptakan Tuhan. Kaum agamawan akan pasti menjawab, Tuhan sebagai sang pencipta big bang tidak punya asal-usul, tidak diciptakan, tidak diperanakkan, tapi ada dengan sendirinya. Memakai terminologi Aristoteles dan Thomas Aquinas, Tuhan itulah prima causa, sang penyebab awal yang tidak disebabkan penyebab sebelumnya, sang Mahatakbersebab, sang Mahapenyebab.

Jika Tuhan tidak punya asal-usul, tidak ada penyebab keberadaan-Nya, ini, dalam sains, sama dengan menyatakan bahwa Tuhan itu ketiadaan, Tuhan itu nothingness. Hanya ketiadaan yang tidak punya asal-usul. Adalah sesuatu yang meaningless, tidak bermakna, jika anda bertanya, dari mana ketiadaan berasal. Jadi, dengan jawaban para agamawan itu, Tuhan yang mereka yakini ada, sebagai being, ternyata adalah non-being.

Jadi, jika dinyatakan big bang berasal dari Tuhan, ini sama dengan menyatakan big bang berasal dari ketiadaan. Dus, kita dibawa kembali ke isu semula! Jadi, mengasalkan big bang dari Tuhan, tidak membuat kita maju dalam mencari jawab ada apa sebelum big bang atau apa penyebab big bang. Kita hanya jalan di tempat, terpatok mati pada soal yang sudah jelas: sebelum big bang, segala sesuatu tidak ada.

Jawaban lain berupa pandangan evolusioner siklikal mengenai asal-usul jagat raya atau asal-usul big bang. Terkait dengan pandangan bahwa jagat raya ini berevolusi siklikal, adalah Hukum Kedua Thermodinamik tentang entropi dalam semua sistem.

Jika dikenakan pada jagat raya, menurut Hukum Kedua Thermodinamik, semakin tua usia jagat raya kita ini, semakin besar entropi-nya sehingga akhirnya jagat raya akan chaotic, masuk ke keadaan kehilangan energi yang mengakibatkannya tidak tertata apik lagi.

Apa itu entropi dalam Hukum Kedua Thermodinamik? Istilah “entropi” diciptakan oleh fisikawan Jerman Rudolph Clausius tahun 1865. Entropi adalah potensi chaotic, potensi disorder, yang lambat laun makin besar dalam semua sistem sampai akhirnya sistem ini berantakan dan berhenti bekerja. 

Semua sistem, juga sistem biologis tubuh kita, juga jagat raya, tunduk pada Hukum Kedua Thermodinamik: potensi entropi makin meningkat seiring dengan perjalanan waktu. Waktu membuat segala sesuatu menjadi tua, lalu berantakan, dan akhirnya binasa, tidak lain karena bekerjanya entropi. Karena itu, entropi juga disebut sebagai the Arrow of Time

Entropi membuat persediaan energi panas (thermodinamik) yang membuat sebuah sistem bekerja lambat laun menyusut sampai akhirnya habis, berubah menjadi sesuatu yang lain. Pada titik entropi mencapai level maksimal, setiap sistem ambruk dan terperosok ke dalam kondisi kacau. Menyangkut diri kita semua, semakin usia kita bertambah, entropi dalam sistem biologis kita meningkat, sampai akhirnya sistem ini tidak jalan lagi lalu kita semua mati. Begitu juga dengan jagat raya. Mengingat kepunahan bintang-bintang, planet-planet dan galaksi-galaksi adalah fakta-fakta kosmik, maka peringkat entropi nol jelas tidak dimungkinkan untuk jagat raya.

Big bang telah melahirkan jagat raya, lalu jagat ini mengembang makin cepat dan entropinya makin meningkat. Salah satu penyebab jagat raya kita mengembang makin cepat adalah bekerjanya energi gelap atau dark energy (ada sebesar 68,3 % dari totalitas isi jagat raya) sebagai forsa antigravitasi. Akhirnya jagat raya kita akan mencapai titik jenuh pengembangannya, dan entropinya juga makin kuat lalu mencapai jumlah maksimum. 

Ketika itu terjadi, jagat raya berhenti mengembang, lalu collapse, tereduksi menjadi suatu kondisi lain, susut atau ciut lagi, masuk ke kondisi chaotic, semua unsurnya saling menabrak dalam suatu peristiwa kosmik mahadahsyat yang akan terjadi milyaran tahun yang akan datang. 

Dengan demikian, Hukum Kedua Thermodinamik mengharuskan energi gelap untuk akhirnya tidak ada lagi, berubah menjadi sesuatu yang lain yang kita kini masih belum dapat mengetahuinya, tapi mungkin sekali berubah menjadi materi (sesuai dengan persamaan Einstein E=mc2, dan hukum kekekalan materi-energi).

Ujung entropi hanya bisa menghasilkan sesuatu yang lain, yang material, hanya jika kita bisa membalikkan panah waktu: waktu bergerak mundur lagi sampai ketitik permulaan waktu. Kebanyakan fisikawan berpendapat, kita tidak bisa membuat waktu bergerak mundur. 

Nah, jagat raya yang berantakan sementara tereduksi dan mengerucut kembali, akhirnya akan bermuara pada suatu singularitas baru. Metaforanya adalah sebuah balon yang sudah mengembang besar ciut atau kempes kembali, sampai akhirnya kembali menjadi segumpal karet kecil saja. 

Jadi, sebetulnya mengembangnya jagat raya hingga saat ini dan akan terus begitu ke depan untuk waktu yang sangat panjang, menjadi suatu bukti bahwa big bang itu sebuah fakta kosmik, yang berawal dari sebuah singularitas. 

Stephen Hawking menyatakan bahwa “jika anda mundur cukup jauh dalam waktu, jagat raya awalnya sangat kecil, sebesar Ukuran Planck, yakni satu per milyar-trilyun-trilyun centimeter, suatu ukuran yang mengharuskan pemakaian teori quantum.”/1/ Tentang ini, fisikawan teoretis kebangsaan Amerika yang memiliki keahlian dalam teori dawai (string theory), Brian Greene, dalam bukunya The Elegant Universe, menyatakan hal berikut ini:
Di dalam inti sebuah lubang hitam, suatu massa yang sangat besar menyusut sampai ke ukuran mikroskopis. Pada saat big bang, keseluruhan jagat raya muncul dari sebuah titik kecil mikroskopis yang ukurannya membuat sebutir pasir kelihatan luar biasa besar. Inilah kawasan-kawasan yang sangat kecil namun bermassa luar biasa besar; dengan demikian, mekanika quantum [termasuk gravitasi quantum] dan relativitas umum sekaligus diperlukan untuk bisa menjelaskannya.”/2/  
Proses tereduksi atau kempes kembalinya jagat raya sampai menjadi sebuah singularitas tentu saja memakan waktu milyaran tahun. Tapi apa itu singularitas? Singularitas adalah suatu titik sangat kecil tanpa batas sekaligus memiliki densitas yang juga tidak terbatas, dan berenergi luar biasa besar dan sangat panas. Singularitas berukuran tidak lebih besar dari sebuah proton, tapi sangat massif dan berenergi sangat besar, berada dalam kawasan mekanika quantum. Singularitas inilah yang menjadi partikel inti dalam dunia subatomik yang akan mendentum kembali sebagai sebuah big bang baru. Tanpa singularitas yang mendentum ini, jagat raya tidak akan ada, kehidupan juga tidak akan tercipta, anda dan saya juga tidak akan pernah ada. Dentuman ini muncul tentu saja lewat reaksi fusi nuklir, yang prosesnya belum kita pahami penuh sekarang ini, tapi pasti melibatkan gabungan relativitas umum, gravitasi quantum dan berbagai properti lain mekanika quantum. 

Saat singularitas yang ukurannya tidak lebih besar dari proton ini mendentum, energi dentumannya luar biasa besar. Mau tahu berapa besar? Besarnya energi big bang biasa disebut sebagai Energi Planck, yakni sebesar 10 pangkat 19 milyar elektron volt (= 1019 milyar e.v.). Michio Kaku menulis, “Energi yang luar biasa besar ini terlepas hanya pada momen penciptaan jagat raya itu sendiri.”/3/ Susah membayangkan besarnya, bukan? 

Baiklah kita berpaling ke Stephen Hawking. Kata Hawking, kekuatan dentuman big bang setara dengan sebuah koin berdiameter 1 cm yang meledak sampai mencapai sepuluh juta kali diameter galaksi Bima Sakti./4/ Dalam hitungan serpihan kecil dari satu per milyar detik (= satu per nano-detik) pertama setelah big bang, dentuman ini meluas sampai mencapai kawasan 10 juta kali diameter Bima Sakti.

Berapa lebar garis tengah Bima Sakti? Lebar banget: 100.000 tahun cahaya. Artinya: jarak yang dicapai cahaya setelah bergerak merambat selama 100.000 tahun. Jadi, dalam serpihan kecil nano-detik pertama, big bang membentuk kawasan seluas 10.000.000 x 100.000 tahun cahaya = 1 trilyun tahun cahaya. Jarak 1 trilyun tahun cahaya = 1 trilyun x 365 x 24 x 3600 x 300 juta meter. Itulah panjang jagat raya dalam serpihan kecil nano-detik pertama setelah big bang. Pada kurun ini, jagat raya masih homogen dan belum terstruktur dan terdiversifikasi.

Saat dentuman big bang melesat dan mencapai kawasan yang sangat luas itu dalam serpihan kecil nano-detik pertama, oleh para fisikawan dinamakan inflasi. Belum lama ini lewat teleskop Background Imaging of Cosmic Extragalactic Polarization (BICEP2) di Kutub Selatan, para astronom menemukan bukti berupa riak gelombang gravitasional yang dipancarkan big bang saat inflasi./5/ 

Sementara menunggu kajian gabungan antara data BICEP2 ini dengan data langit yang diperoleh dari wahana antariksa Planck (yang diluncurkan 14 Mei 2009) untuk mencapai suatu kesimpulan yang kokoh, kita dapat katakan inflasi pada saatnya tidak akan tersangkali sebagai fakta sains! Yang masih kita perlukan adalah sebuah instrumen yang sepenuhnya dapat diandalkan untuk dapat memindai gelombang gravitasional ini. Astrofisikawan dari Universitas Sussex, Inggris, Peter Coles, misalnya, menyatakan bahwa  
“Suatu analisis gabungan antara BICEP2 dan data Planck akan bermanfaat untuk melengkapi penelitian dengan liputan frekuensi yang jauh lebih baik yang ada pada wahana Planck dan dengan kemampuan Planck memetakan seluruh langit versus sensitivitas yang lebih tinggi dari BICEP2. Tapi tetaplah mungkin bahwa sebuah sinyal gelombang gravitasional primordial [dari inflasi setelah big bang] dapat diekstrasi dari data gabungan keduanya. Tentu ini akan sulit. Jika saya boleh tebak, mungkin akhirnya gelombang ini tidak akan terdeteksi. Diperlukan suatu misi satelit yang terfokus hanya pada penyelidikan gelombang gravitasional ini jika kita ingin mendapatkan sensitivitas yang dibutuhkan dalam memindai langit dan kisaran gelombang yang bervariasi.”/6/ 
Tetapi, rupanya dunia sains masih harus menunggu lagi untuk pembuktian ini betul-betul kokoh dan solid. Baru saja, 30 Januari 2015, berdasarkan data baru yang merupakan gabungan data dari wahana Planck dan data BICEP2, diumumkan dengan resmi bahwa sinyal gelombang gravitasional yang terdeteksi ini ternyata bukan berasal dari inflasi pada era jagat raya sangat dini melainkan berasal dari debu-debu galaktik dalam Bima Sakti yang juga memancarkan cahaya yang terpolarisasi. 

Kosmolog dari Universitas Johns Hopkins di Baltimore, Maryland, USA, Marc Kamionkowski, menyatakan, “Ke depan ini, ada jalur yang jelas yang harus diambil. Jika kita melakukan lebih banyak pengukuran dalam beranekaragam frekuensi terhadap sinyal-sinyal yang datang, kita akan dapat memisahkan dengan persis sinyal-sinyal primordial dari sinyal-sinyal yang berasal dari debu-debu galaktik.”/7/

Sudah pasti anda perlu tahu bahwa kalaupun inflasi nanti sudah terkonfirmasi dengan meyakinkan, forsa-forsa apa yang bekerja sehingga inflasi terjadi, masih akan merupakan misteri bagi para saintis.

Setelah inflasi, masih diperlukan waktu cukup panjang (dalam hitungan manusia), yakni 380.000 tahun setelah big bang, untuk jagat raya mulai terdiversifikasi dan terstruktur. Pada kurun inilah radiasi cahaya pertama dipancarkan jagat raya, dan radiasi ini sudah tertangkap dan terkonfirmasi lewat instrumen-instrumen oleh para saintis./8/ Radiasi inilah yang dinamakan Cosmic Microwave Background Radiation (CMBR) yang juga membuktikan bahwa big bang itu suatu fakta ilmiah. 

Ketika elektron-elektron yang semula bebas sudah cukup dingin, elektron-elektron ini dapat bergabung dengan proton-proton, alhasil jagat raya menjadi transparan terhadap cahaya, dan CMBR pun mulai bercahaya. Stephen Hawking berseloroh cukup lucu, katanya: “Radiasi yang ditinggalkan big bang sama dengan radiasi di dalam oven microwave anda, tapi dengan kekuatan yang jauh lebih lemah. Radiasi ini dapat memanaskan pizza anda hanya sampai minus 271,3 derajat Celcius, tapi tidak terlalu baik untuk melunakkan pizza anda yang membeku, apalagi untuk memasaknya.

Jauh setelah CMBR, 400 juta tahun sesudah big bang, ketika awan-awan gas mulai mendingin lalu menyatu, barulah bintang-bintang pertama terbentuk, selanjutnya galaksi-galaksi pertama dan gugus-gugus galaksi juga tercipta. Seterusnya jagat raya mengembang. Setelah mengembang dengan kekuatan fantastis dalam inflasi yang terjadi dalam serpihan kecil nano-detik pertama big bang, jagat raya kini sudah diketahui terus mengembang dengan makin cepat, tapi dengan kekuatan dan kecepatan pengembangan yang berada jauh di bawah inflasi.

Energi dentuman big bang tentu akan makin melemah, tapi jagat raya kini terus terpantau mengembang makin cepat. Ini fakta. Kenapa? Bukankah karena forsa gravitasi dari semua materi yang telah tercipta sejak big bang, termasuk forsa gravitasi materi gelap atau dark matter (26,8 % dari total isi jagat raya), kecepatan pengembangan jagat raya mustinya akan makin melambat? Sudah ditulis di atas, salah satu penyebab akselerasi pengembangan jagat raya adalah bekerjanya energi gelap.

Nah, karena entropi dan jagat raya yang tereduksi, menciut dan luruh kembali dalam suatu situasi yang chaotic, singularitas baru akan terbentuk, yang kemudian, ketika saatnya tiba, mendentum kembali dengan sangat dahsyat. Kejadian ini akan terus berulang, membentuk evolusi jagat raya secara siklikal, tanpa akhir dan tanpa awal. Dari sebuah singularitas partikel quantum, kembali menjadi sebuah singularitas partikel quantum.



Ouroboros (Yunani: οὐροβόρος ὄφις, “ouroboros ofis”, artinya: ular/naga yang memakan ekornya sendiri) adalah simbol segala sesuatu yang berevolusi siklikal, seperti halnya dengan evolusi siklikal jagat raya. Simbol ini berasal dari Mesir kuno.

Apakah jagat raya yang berevolusi siklikal mengakhiri pertanyaan ada apa sebelum big bang atau apa yang menyebabkan big bang? Tidak juga. 

Pada satu segi, evolusi siklikal jagat raya bisa menjawab pertanyaan apa yang menyebabkan big bang: setiap big bang berasal dari big bang sebelumnya. Saat jagat raya yang terbentuk lewat big bang kembali lagi menjadi singularitas, singularitas ini menyimpan info dari big bang sebelumnya. Evolusi siklikal jagat raya melibatkan destruksi (dus, diskontinuitas) tapi sekaligus juga kontinuitas. Jadi, saat singularitas mendentum sebagai big bang, kemudian memunculkan jagat raya, info dari jagat raya sebelumnya tetap terpelihara. Tanpa kontinuitas, kita tidak menyebutnya jagat raya yang berevolusi siklikal. 


Dalam kontinuitas jagat raya yang berevolusi siklikal, secara teoretis kita harus menyatakan tidak ada sesuatupun yang hilang, semuanya terpelihara dalam apa yang dapat disebut “info quantum”. Hukum kekekalan materi-energi hanya berlaku setelah big bang, dan hanya jika ada kontinuitas dari big bang yang satu ke big bang yang lain. Hukum kekekalan energi sendiri mengharuskan jagat-jagat raya yang berevolusi siklikal, tanpa akhir.

Tapi jagat yang berevolusi siklikal tetap menghadapi sebuah pertanyaan yang harus dijawab: big bang yang pertama dalam siklus itu datangnya dari mana? Apa penyebabnya? Suatu kontinuum linier atau kontinuum siklikal, tetap berhadapan dengan hukum sebab-akibat: Apa yang memulainya? Di mana dimulai? Untuk membuat sebuah garis lurus atau sebuah lingkaran, anda harus mulai dengan sebuah titik awal. Tidak bisa garis lurus atau lingkaran itu ada begitu saja./9/

Jagat raya yang siklikal juga harus dimulai oleh sebuah big bang, meskipun big bang ini nanti akan disusul big bang lain tidak putus-putusnya. Jadi kita balik lagi ke posisi semula: karena ruang-waktu baru ada lewat big bang, maka sebelum big bang tidak ada ruang-waktu. Karena sebelum big bang tidak ada ruang-waktu, maka tidak ada pula “di luar” ruang waktu. Karena sebelum big bang tidak ada materi-energi, maka tidak ada pula “di luar” materi-energi. Karena dunia natural tidak ada, maka “di luar” dunia natural juga tidak ada. Jika ruang-waktu tidak ada, materi-energi tidak ada, dan dunia natural tidak ada, maka yang ada adalah ketiadaan absolut, kekosongan mutlak.

Jika sebelum big bang yang ada adalah kekosongan absolut, ketiadaan mutlak, bagaimana big bang bisa terjadi? Apa yang memulai big bang? Sudah diargumentasikan di atas, teologi tidak membantu menjawab pertanyaan kenapa dari kekosongan atau ketiadaan, big bang bisa terjadi.

Ternyata jawabannya disediakan oleh fisika quantum: mekanika quantum adalah asal-usul big bang. Tentang ini, perhatikan apa yang dinyatakan oleh orang tercerdas (setelah Albert Einstein) dalam zaman kita, Stephen Hawking, berikut ini.  
“Anda memasuki suatu dunia di mana adalah mungkin untuk menjelaskan sesuatu itu bisa ada dari ketiadaan, setidaknya untuk waktu yang pendek, karena mekanika quantum…. Jagat raya semula dulu sangat kecil, kurang dari besarnya sebuah proton. Ini berarti jagat raya dapat begitu saja ada tanpa melanggar hukum-hukum fisika yang sudah diketahui.”/10/ 
Dalam dunia mekanika quantum, dikenal apa yang dinamakan “vacuum state”, atau ditulis pendek saja “vacuum”. Vakum adalah “suatu keadaan di mana semua properti fisikal sebetulnya sama dengan zero.”/11/ Dalam kondisi vakum, energi bisa ada dalam jumlah yang terendah sejauh dimungkinkan (“a zero-point energy”). 

Secara figuratif para fisikawan menyatakan bahwa dalam ruang vakum 1 cm3, masih bisa ada energi dalam jumlah 1 per trilyun erg. Karena energi dalam vakum ini sangat kecil (apalagi dalam kevakuman dalam atom-atom), kita dapat menyatakan energinya nyaris nol. 

Secara keseluruhan, keadaan vakum disebut sebagai “a zero-point quantum field”. Kendatipun demikian, dari medan quantum yang “zero-point” ini terjadi apa yang dinamakan fluktuasi vakum (= “quantum fluctuations”), yakni muncul dan lenyapnya partikel-partikel (dinamakan partikel-partikel virtual) dalam waktu sangat pendek dan secara spontan, tanpa asal-usul, tanpa sebab-musabab sebelumnya, tidak deterministik, tidak terprediksi./12/  

Dalam bab 5 buku mereka The Grand Design, Stephen Hawking dan Leonard Mlodinow menggambarkan fluktuasi vakum sebagai pasangan-pasangan partikel yang muncul bersamaan pada suatu waktu, bergerak terpisah, lalu menyatu lagi dan saling melenyapkan. Partikel-partikel ini dinamakan partikel-partikel virtual. Tidak seperti partikel nyata, partikel virtual tidak dapat diobservasi langsung dengan sebuah detektor partikel. Namun, efek-efek tidak langsung dari partikel virtual, seperti perubahan kecil di dalam energi orbit elektron, dapat diukur, dan sejalan dengan prediksi-prediksi teoretis dengan tingkat akurasi yang luar biasa. 

Masalahnya adalah bahwa partikel-partikel virtual memiliki energi, dan karena pasangan partikel-partikel virtual ini ada dalam jumlah tidak terbatas, partikel-partikel ini memiliki jumlah energi tanpa batas. Menurut teori relativitas umum, ini berarti partikel-partikel virtual dapat melengkungkan jagat raya sampai ke suatu ukuran kecil tidak terbatas, yang jelas tampak oleh kita hal ini tidak terjadi./13/ 

Jadi, dalam mekanika quantum, ihwal munculnya something from nothing adalah suatu fakta yang dapat diamati sekalipun lewat efek-efeknya yang tidak langsung. Something-from-nothing dalam arti partikel-partikel virtual dalam dunia vakum quantum muncul begitu saja dari ketiadaan, lalu menghilang kembali ke dalam ketiadaan, lalu muncul lagi, tidak terprediksi dan tanpa asal-usul. Tentu saja fakta sains ini weird, mengherankan, tidak masuk akal sehat. 

Ya memang, dalam sains yang sudah sangat maju kita temukan banyak hal yang tidak masuk akal sehat, tetapi tetap konsisten dengan hukum-hukum sains yang sudah diketahui. Dalam dunia sains, bukan akal sehat yang harus diperhatikan, tetapi akal ilmiah.

Jadi, jika anda berbicara tentang kekosongan atau ketiadaan, atau lebih persis dalam konteks fisika quantum: kevakuman, anda sebetulnya masuk ke dunia mekanika quantum. Karena mekanika quantum jadi objek kajian fisika, maka tentu saja dunia quantum ada, real ada, bisa diamati dan dipelajari. Tapi ketika dunia mekanika quantum dipelajari dan diamati, para fisikawan sekaligus menemukan dunia yang tidak ada, kosong, kondisi vakum. 

Kalau ada partikel-partikel virtual yang muncul dari ketiadaan meskipun berada dalam dunia quantum, maka kita dapat menyatakan bahwa dalam dunia quantum ketiadaan itu ada. Jadi, dunia quantum itu ada sekaligus tidak ada. Dunia quantum memang weird, mengherankan dan sukar dipahami: suatu dunia yang ada sekaligus tidak ada. Dalam dunia ini, partikel-partikel virtual ada, tapi datang dari, dan pergi ke, ketiadaan.

Dalam dunia quantum, partikel-partikel menampakkan properti sebagai materi dan sebagai gelombang. Aspek gelombang ini dapat dilihat sebagai aspek non-matter, aspek bukan-materi. Karena ada aspek non-matter ini, gerak-gerik partikel-partikel nyaris tidak terprediksi, khususnya partikel-partikel virtual, sepertinya partikel-partikel ini memiliki “kehendak bebas” dan “(proto-) kesadaran” sendiri sehingga semua perilaku mereka tidak tunduk pada determinisme saintifik yang muncul dari hukum-hukum sebab-akibat. Tentang ini, perhatikan apa yang dikatakan dua orang saintis besar berikut ini. 

Fisikawan Jerman yang memenangkan Hadiah Nobel fisika tahun 1918, Max (Karl Ernst Ludwig) Planck (1858-1947), sebagai salah seorang pendiri teori quantum, di tahun 1944 menyatakan bahwa 
“segala materi berasal-usul dan ada hanya karena suatu daya.... Kita harus menganggap di belakang daya ini ada Pikiran (Mind) yang sadar dan cerdas. Pikiran adalah matriks segala materi”./14/  
Sebelumnya, di tahun 1931, Planck menulis, 
“Aku memandang kesadaran sebagai sesuatu yang mendasar. Aku memandang materi berasal dari kesadaran. Kita tidak dapat mengetahui apa yang ada di balik kesadaran. Segala sesuatu yang kita bicarakan, segala sesuatu yang kita pandang ada, memerlukan dalil adanya kesadaran.”/15/  
Begitu juga, fisikawan teoretis Amerika David J. Bohm (1917-1992) dalam artikelnya “A New Theory of the Relationship of Mind and Matter” menyatakan bahwa  
“Hal-hal mental dan hal-hal material adalah dua sisi dari satu proses yang menyeluruh yang (seperti bentuk dan isi) terpisah hanya di dalam pikiran dan bukan di dalam realitas yang sebenarnya. Sesungguhnya, ada satu energi yang menjadi basis dari semua realitas.... Tak pernah ada pemisahan real apapun antara sisi mental dan sisi material pada tahap apapun dari keseluruhan prosesnya.”/16/  
Tentu saja Planck dan Bohm tidak berpendapat bahwa daya, pikiran, kesadaran, kecerdasan, sisi mental, yang mereka sebut itu berada dalam suatu dunia supernatural; mereka fisikawan, bukan agamawan. 

Mereka dan banyak lagi jelas adalah para ilmuwan yang mengetahui betul betapa weird-nya dunia quantum; mereka jelas bukan para pegiat keagamaan dalam gerakan New Age masa kini, Deepak Chopra salah satunya. 

Nah, tempat yang tepat untuk hal-hal kognitif atau hal-hal mental yang mereka sebut itu hanyalah dunia subatomik, persisnya aspek gelombang dari partikel-partikel quantum. Perlu bagi anda untuk juga mengetahui apa pendapat seorang saintis besar lainnya, yang pada masanya masih meragukan fisika quantum. 

Albert Einstein yang dengan kokoh memegang determinisme saintifik (bahwa tidak ada kehendak bebas, sebab segala sesuatu sudah diatur menurut hukum sebab-akibat, causal laws), luar biasanya masih menyatakan ada roh yang bebas yang bekerja dalam jaga raya dan menyatakan diri di dalam hukum-hukum alam. 

Bagi Einstein, jika semua agama dan semua bentuk mistisisme dibuang, sains empiris seperti fisika masih akan melahirkan perasaan keagamaan yang lebih tinggi, lebih mempesona, yang more advanced, yang sublimer. Dalam jawabannya (24 Januari 1936) terhadap pertanyaan seorang anak perempuan kelas enam sekolah Minggu Gereja Riverside, Amerika, yang bernama Phyllis, apakah sebagai seorang saintis Einstein berdoa (19 Januari 1936), sang saintis ini menulis demikian:
“Para saintis percaya bahwa setiap peristiwa, termasuk berbagai urusan manusia, terjadi karena hukum-hukum alam. Karena itu, seorang saintis tidak dapat cenderung percaya bahwa jalannya peristiwa-peristiwa dapat dipengaruhi oleh doa, yakni oleh suatu permintaan yang ditujukan ke suatu Oknum Supernatural. Tapi kita harus akui bahwa pengetahuan kita yang sebenarnya mengenai daya-daya kekuatan alam ini tidak sempurna, sehingga pada akhirnya kepercayaan pada keberadaan suatu roh fundamental yang paling menentukan berpijak pada semacam iman. Kepercayaan ini dipegang banyak orang di mana-mana, bahkan ketika ilmu pengetahuan sudah maju seperti sekarang ini. Tetapi juga, setiap orang yang terlibat dengan serius dalam usaha-usaha mencari ilmu pengetahuan menjadi yakin bahwa suatu roh menyatakan diri di dalam hukum-hukum alam semesta. Roh ini jauh lebih tinggi dibandingkan roh manusia. Dengan demikian, pengejaran ilmu pengetahuan juga membawa orang ke suatu perasaan religius yang istimewa, yang tentu saja sangat berbeda dari religiositas seseorang yang tidak berpengetahuan.”/17/
Prinsip Ketidakpastian Heisenberg (the Uncertainty Principle of Heisenberg) perlu juga pada kesempatan ini dirujuk. Prinsip ini menyatakan bahwa karena posisi (= aspek partikel sebuah elektron) dan momentum (= aspek gelombang sebuah elektron) dari sebuah partikel tidak dapat diukur serentak pada waktu yang sama dengan tingkat presisi yang tanpa batas, maka gerak suatu partikel pada dasarnya tidak dapat ditentukan atau diprediksi atau diidentifikasi dengan persis. 

Sementara sedang menyusun fondasi-fondasi matematis bagi mekanika quantum di Niels Bohr Institute di Kopenhagen pada 1927, Werner Heisenberg sendiri menyatakan bahwa semakin persis posisi suatu partikel diukur, semakin kurang persis momentumnya yang dapat kita ketahui, begitu juga sebaliknya.”/18/ 

Menurut Alok Jha, “Prinsip Ketidakpastian adalah salah satu ide dalam fisika yang paling terkenal (dan mungkin yang paling sering disalahpahami). Prinsip ini menyatakan kepada kita bahwa ada suatu kekaburan atau ketidakjelasan di dalam alam, suatu batas fundamental terhadap apa yang dapat kita ketahui mengenai kelakuan partikel-partikel quantum dan, karena itu, mengenai skala-skala terkecil dari alam.”/19/  

Nah, sebelumnya sudah saya katakan, singularitas yang mendentum sebagai big bang tidak lebih besar dari sebuah proton. Singularitas yang mendentum sebagai big bang adalah sebuah peristiwa mekanika quantum, yang terjadi dari ketiadaan, dari kevakuman quantum, tanpa penyebab sebelumnya. Lewat fluktuasi quantum, big bang menciptakan jagat raya dalam serpihan kecil nano-detik pertama setelah big bang, yang selanjutnya memunculkan inflasi. 

Sampai inflasi ini, jagat raya yang terbentuk masih homogen dan tidak berstruktur. Fluktuasi quantum yang terus-menerus terjadi mendahului inflasi memungkinkan jagat raya bayi yang homogen dan belum terstruktur ini terbentuk. Bahkan dimungkinkan juga, fluktuasi quantum primordial tidak melahirkan hanya satu jagat raya (konsep universe), melainkan banyak jagat raya (konsep multiverse), tidak hanya dimensi ruangwaktu yang kita kenal, tetapi juga dimensi-dimensi lain yang keseluruhannya dapat mencapai 26 dimensi sebagaimana diprediksi oleh teori dawai (string theory). 

Para fisikawan menciptakan istilah Dinding Planck” (“Planck Wall”) atau “Waktu Planck” (Planck Time) untuk menunjuk ke kurun 10 pangkat minus 43 (= 10-43) detik setelah big bang. Kurun pembatas yang disebut “Dinding/Waktu Planck” ini menurut mereka sulit ditembus untuk tiba ke kurun T=Zero, yakni kurun persis big bang sendiri. Inflasi yang sudah digambarkan di atas terjadi sebelum kurun “Dinding/Waktu Planck”, yang terjadi dalam serpihan sangat kecil nanodetik pertama setelah T=Zero. Pada saat Waktu Planck ini, temperatur dalam dentuman big bang besarnya 1032 Kelvin, yakni kurang lebih 10 trilyun trilyun kali lebih panas dibandingkan temperatur inti bintang Matahari kita.  

Sudah saya tulis di atas, kendatipun hingga saat ini para fisikawan dan astronom belum  berhasil menemukan riak gelombang gravitasional dari inflasi, penelitian-penelitian yang lebih komprehensif di masa depan akan dapat menemukannya. Jadi sebetulnya Dinding Planck suatu saat akan berhasil ditembus dan kita akan sudah bisa masuk ke kurun inflasi yang lebih awal lagi after the big bang.

Kalau nanti inflasi sudah berhasil dibuktikan ada meskipun forsa-forsa yang menimbulkannya masih misterius bagi kita, saya optimis tak lama lagi di masa depan kita akan juga mendapat tambahan banyak data sains tentang big bang, khususnya tentang kurun T=Zero. Kurun “Dinding/Waktu Planck” yang harus ditembus itu kurun 10 pangkat minus 43 detik, yaitu kurun satu per 10 pangkat 43 detik. Kurun ini ada, walau terlalu singkat. Bagi bayangan kita, kurun ini sangat unimaginable. Tapi, ajaibnya, kurun T=Zero terasa lebih mudah dibayangkan.

Jika inflasi yang terjadi sebelum Dinding Planck sudah bisa dibuktikan ada, tidak lama lagi, semoga, kita akan bisa juga tiba di T=Zero sendiri, waktu persis big bang sendiri. Kita akan bisa memandang big bang sendiri, dan akan terlihat lebih menakjubkan lagi bagaimana mekanika quantum bekerja di awal paling awal dunia.



Apakah bisa Tuhan apapun menyundut sumbu bom big bang?


Yang sudah kita ketahui adalah big bang terjadi dalam ketiadaan ruangwaktu, ketiadaan materi-energi, ketiadaan dunia natural. Dari mekanika quantum, kita tahu big bang terjadi dari kevakuman quantum, yang disusul fluktuasi quantum di mana partikel-partikel virtual terus bermunculan secara spontan dari ketiadaan, tanpa penyebab eksternal adikodrati apapun.

Kata Hawking, jika waktu dan ruang belum ada, maka Tuhan apapun tidak akan menemukan lokasi dan waktu untuk dia memulai penciptaan dunia. Alhasil, kata Hawking, Tuhan tidak merupakan faktor sama sekali dalam terciptanya jagat raya lewat big bang. Tuhan yang tidak punya lokasi dan waktu, kata Hawking, sama dengan Tuhan yang tidak ada. Kreasionisme gagal total.

Saya sudah argumentasikan di atas, memasukkan sosok Tuhan sebagai penyundut sumbu bom big bang tidak menyelesaikan masalah apapun. Tuhan yang tidak punya asal-usul, dalam sains, ya sama dengan ketiadaan, sebab hanya ketiadaan yang tidak punya asal-usul. Tapi Tuhan sebagai ketiadaan pasti tidak akan mau disamakan oleh para agamawan, apalagi oleh para fisikawan dan kosmolog, dengan dunia mekanika quantum. Fisika ya fisika. Agama ya agama. 

Tetapi, bisa jadi bagi Baruch de Spinoza dan Albert Einstein yang memandang Tuhan sebagai hukum-hukum kosmologis yang telah menciptakan jaga raya yang strukturnya sangat mempesona, menyamakan Tuhan dengan mekanika quantum sama sekali bukan persoalan. Tetapi Einstein mungkin juga masih berkeberatan, sebab bagi sang saintis ini determinisme saintifik berlaku mutlak, sementara dalam fisika quantum determinisme ini kelihatan tidak berlaku. 

Kata Einstein, Tuhan tidak sedang bermain dadu dengan alam ini; maksudnya: segala sesuatu yang terjadi dalam alam ini bersifat deterministik, tidak random, tidak bebas. Tapi menurut Hawking, Einstein salah, sebab sudah terobservasi Tuhan (sebut saja Tuhan Ketiadaan, nothingness God) ternyata sedang bermain dadu di dalam seluruh jagat raya, bahkan kerap kali sang Tuhan malah menyembunyikan dadunya. Dalam hal ini, Hawking mengacu ke fisika quantum. 

Akhir kata, saya bertanya, siapkah anda menerima jika para ilmuwan (bukan para agamawan) menyatakan, dengan keraguan kecil, bahwa jagat raya kita memiliki bukan hanya materi, tapi juga hal non-materi, yakni kesadaran, pikiran, dan kecerdasan, dan karena itu mampu menciptakan kehidupan lewat hukum-hukum fisika, kimia dan biologi? Terserah anda.


Jakarta, 7 November 2014
by Ioanes Rakhmat

○ Dibaca lagi 24 Juni 2023

Catatan-catatan

/1/ Stephen Hawking dan Leonard Mlodinow, The Grand Design (New York: Bantam Books, 2010), hlm. 131.  

/2/ Brian Greene, The Elegant Universe: Superstrings, Hidden Dimensions, and the Quest for Ultimate Theory (New York: W.W. Norton and Company, 1999, 2003, edisi pertama), hlm. 4. 

/3/ Michio Kaku, Hyperspace: A Scientific Odyssey Through Parallel Universes, Time Warps, and The Tenth Dimension (New York: Anchor Books, 1994), hlm. 190.

/4/ Stephen Hawking dan Leonard Mlodinow, The Grand Design, hlm. 129. 

/5/ Lihat reportase Clara Moskowitz, “Gravitational Waves from Big Bang Detected”, Scientific American, 17 March 2014, pada http://www.scientificamerican.com/article/gravity-waves-cmb-b-mode-polarization/. Lihat laporan lengkapnya “Cosmic Inflation and Big Bang Ripples”, Scientific American, 17 March 2014, pada http://www.scientificamerican.com/report/cosmic-inflation-and-big-bang-ripples1/.

/6/ Lihat Tushna Commissariat, “BICEP2 gravitational wave result bites the dust thanks to new Planck data”, Physicsworld.com, 22 September 2014, pada http://physicsworld.com/cws/article/news/2014/sep/22/bicep2-gravitational-wave-result-bites-the-dust-thanks-to-new-planck-data

/7/ Lihat Ron Cowen, “Gravitational waves discovery now officially dead”, Nature News, 30 January 2015, pada http://www.nature.com/news/gravitational-waves-discovery-now-officially-dead-1.16830?WT.mc_id=TWT_NatureNews.  

/8/ Pertama kali CMBR ditemukan secara kebetulan di tahun 1965 oleh dua orang saintis dari Bell Labs. Kemudian, variasi-variasi temperatur CMBR yang sangat kecil itu dapat ditemukan tahun 1992 oleh satelit COBE milik NASA. Selanjutnya pengukuran diadakan lagi oleh satelit pengganti yang dinamakan satelit WMAP yang diluncurkan tahun 2001.

/9/ Teori Dawai (String Theory) memberi penjelasan lain tentang asal-usul jagat raya kita. Menurut teori ini, mungkin dua jagat raya bertabrakan, dan dari tabrakan ini terciptalah jagat raya kita. Atau mungkin jagat raya kita asalnya adalah sebuah tali pusat yang menempel pada sebuah jagat raya lain, yang terpotong lalu potongan tali pusat ini (sebuah worm hole) membentuk jagat raya kita. Tetapi, hemat saya, penjelasan teori dawai ini tetap meninggalkan sebuah pertanyaan yang masih harus dijawab: Dari mana datangnya jagat-jagat raya lain, yang menjadi asal-usul jagat raya kita sendiri? Pertanyaan ini tetap sah sekalipun, misalnya, hukum-hukum fisika yang berlaku di jagat-jagat raya lain itu berbeda dari hukum-hukum fisika yang bekerja dalam jagat raya kita.

/10/ Lihat pemaparan Stephen Hawking dalam video Discovery Channel Curiosity SO1EO1, Did God Create the Universe? Compelling Explanations, tayangan perdana 7 Agustus 2011, pada http://youtu.be/fmYlbqtAYOQ.

/11/ Lihat P. W. Milonni, The Quantum Vacuum: An Introduction to Quantum Electrodynamics (Boston: Academic Press, 1994), hlm. 239.

/12/ Lihat Milton K. Munitz, Cosmic Understanding: Philosophy and Science of the Universe (Princeton: Princeton University Press, 1990), hlm. 132. Lihat juga “Focus: The Force of Empty Space” , Physical Review Focus 2, 28 (1998) DOI: 10.1103/PhysRevFocus.2.28 (3 December 1998), pada http://physics.aps.org/story/v2/st28.  

/13/ Stephen Hawking dan Leonard Mlodinow, The Grand Design, hlm. 113-114.

/14/ Max Planck menyatakan hal ini dalam pidatonya yang disampaikan di Florence, Italia, 1944, yang berjudul Das Wessen der Materie (“Hakikat Materi”). Lihat Archiv zur Geschichte der Max-Planck-Gesselschaft, Abt. Va, Rep. 11 Planck, Nr. 1797

/15/ Pernyataan Planck ini dikutip dalam The Observer, 25 Januari 1931. 

/16/ David Bohm, “A New Theory of the Relationship of Mind and Matter”, The Journal of the American Society for Psychical Research, Vol. 80, No. 2 (April 1986), hlm. 129 [113-135].

/17/ Lihat reportase ‘Dear Einstein, Do Scientists Pray?’ Asks Sixth Grader―See His Amazing Response”, HuffingtonPost 30 January 2014, pada http://www.huffingtonpost.com/2014/01/30/einstein-scientists-pray_n_4697814.html. Kata-kata penting saya buat berhuruf miring. Mengenai surat-menyurat antara Einstein dan anak-anak, lihat Alice Calaprice, ed., Dear Professor Einstein: Albert Einstein’s Letters to and from Children. Pengantar oleh Evelyn Einstein (Amherst, N.Y.: Prometheus Books, 2002).

/18/ Werner Heisenberg, Über den anschaulichen Inhalt der quantentheorietischen Kinematik und Mechanik”, Zeitschrift für Physik 43 (3-4) 1927, hlm. 172-178. Terjemahan Inggris artikel ini (“On the Perceptual Content of Quantum Theoretical Kinematics and Mechanics.”) tersedia di John A. Wheeler and Wojciech Zurek, eds. Quantum Theory and Measurement (Princeton: Princeton University Press, 1983), hlm. 62-84.

/19/ Alok Jha, “What is Heisenberg’s Uncertainty Principle?”, The Guardian/The Observer, 10 November 2013, pada http://www.theguardian.com/science/2013/nov/10/what-is-heisenbergs-uncertainty-principle.