Friday, November 2, 2012

Mana yang lebih terbatas: Ilmu pengetahuan atau agama?

Mempertahankan misteri-misteri jagat raya hanya akan menghasilkan orang-orang beragama yang malas mencari, malas meneliti, dan malas berpikir, atau malah takut berpikir dan takut mengetahui hal-hal baru.
─ ioanes rakhmat


Kemahatahuan Tuhan, itulah yang membuat sains dan agama dapat berjabat tangan...


Umumnya kalau para agamawan, dari semua agama, diperhadapkan pada sains (ilmu pengetahuan), mereka akan serta-merta menyatakan: Jangan berpegang pada sains, berpegang saja pada agama, pada iman. Posisi ini dinamakan fideisme (kata Latin fidem, artinya iman). Fideisme ada di mana-mana.

Fideisme adalah pemujaan pada iman, dan, sebaliknya, penistaan pada akal, pada nalar. Bagi para fideis, jangan sekali-kali percaya pada akal dan nalar. Pegang saja iman-- itu sudah cukup.

Loh, kenapa tak boleh berpegang pada sains? Sebab sains selalu terbatas, bisa salah, tak menawarkan hal-hal yang mutlak dan pasti, selalu berubah. 

Sebaliknya, agama menawarkan kepada anda hal-hal yang pasti benar, mutlak, absolut, tak bisa salah, tidak berubah, terjamin (oleh Allah sendiri), sehingga menenteramkan batin dan pikiran anda. Jadi, peluklah agama dan jangan percaya sains!

Betulkah demikian? Mari kita cari jawabannya dengan kalem dan cermat.



Semua agama menawarkan iklan yang sama: Kecap Bango kami kecap nomor satu di dunia, tak ada tandingannya! Pilihlah kecap Bango keluaran pabrik kami! Dijamin halal dan lezat! 

Jadi, ada banyak sekali agama kecap Bango nomor satu di dunia. Dari antara banyak agama kecap Bango ini, mana agama kecap Bango yang benar-benar nomor satu di dunia, yang benar-benar paling lezat, benar-benar paling higienis? Sangat susah dan ruwet menjawabnya, bukan? 

Paling baik adalah membangun relasi dalam kemajemukan agama-agama, dan menjauhkan diri dari kompetisi tanpa akhir untuk memunculkan agama juara pertama.

Lalu, semua klaim tentang kebenaran (supernatural) yang diajukan agama-agama adalah klaim iman (Latin: fidem), klaim yang diterima benar hanya karena diimani atau dipercaya benar sebagai wahyu (Latin: revelationem) ilahi, tanpa dilandaskan bukti-bukti objektif autentik. Ini dinamakan epistemologi revelatif fideis. Tak perlu ada pembuktian atas semua kepercayaan keagamaan, kata para agamawan dengan yakin, sebab kebenarannya sudah dijamin oleh Allah sendiri yang memberi wahyu. 

Tahukah mereka, bahwa keyakinan mereka ini adalah keyakinan pada keyakinan yang mereka sendiri bangun tentang wahyu ilahi, keyakinan yang tanpa bukti? You believe in your beliefs. 

Tentu kita tetap memerlukan kepercayaan dalam banyak bidang dan urusan kehidupan. Tanpa kepercayaan, kehidupan bisa berjalan tersendat-sendat, atau bahkan macet. 

Saya mempercayai banyak hal dalam kehidupan ini, termasuk mempercayai ilmu pengetahuan sebagai suatu jalan kokoh dan penuh kegembiraan untuk menemukan kebenaran-kebenaran. 

Ya, baiklah, jika kita mau mempercayai sesuatu yang tak perlu dibuktikan, percayailah hal-hal yang akan menjadikan kita insan-insan yang agung, mulia, terhormat, punya harga diri, bermartabat, terpelajar, berpikiran terbuka, berwawasan jauh, penuh kebajikan dan kasih sayang.

Nah, sesuatu yang tak ada buktinya, apakah sudah pasti benar? Ya, bisa pasti benar tapi hanya dalam keyakinan.

Apakah kepercayaan itu, sekuat apapun, adalah fakta, atau hanya harapan dan angan-angan dan kemudah-mudahan? 

Watak kepercayaan atau watak iman itu bisa dicontohkan berikut ini. “Semoga besok kamu jadi sarjana”, kata seorang ayah kepada putra tunggalnya. Apakah si anak sudah pasti akan menjadi sarjana nantinya? Belum tentu tokh. Masih diharapkan. Masih mudah-mudahan. Si anak masih harus membuktikan dirinya dulu sudah jadi sarjana, barulah harapan atau iman si ayah terbukti benar. 

“Besok mudah-mudahan tidak turun hujan, supaya pesta kawinmu lancar”, kata seorang ibu kepada putrinya yang semata wayang. Apakah sudah terjamin pasti bahwa besok tidak akan turun hujan? Tidak tokh. Masih mudah-mudahan. Besoklah baru akan ada buktinya, apakah hujan turun, ataukah tidak. 

Bahasa iman, atau bahasa keagamaan, adalah bahasa mudah-mudahan, bahasa semoga, bahasa cita-cita, bahasa angan-angan, bahasa impian dan harapan, bahasa keinginan, bukan bahasa fakta. 

Bagaimana halnya dengan sains? Sains bekerja dalam kerangka epistemologi evidensialis (Latin: evidentia, bukti). Semua klaim tentang kebenaran yang diajukan sains, baru sahih jika diajukan berdasarkan bukti-bukti objektif autentik. Tentu juga ditopang oleh pemikiran yang logis kausatif yang runtut, teori-teori besar yang sudah diterima, koherensi argumen-argumen yang diajukan, dan metodologi keilmuan yang sahih.

Ketika sebuah klaim kebenaran saintifik sudah dilandaskan bukti-bukti yang sahih dan autentik, klaim ini sudah sangat pasti, tak akan bisa salah lagi. Jika ada bukti-bukti baru penopang ditemukan, pandangan saintifik yang sudah relatif established akan makin lebih solid, lebih unifying, lebih integratif, lewat reformulasi.

Dalam dunia sains, tak ada bahasa “mudah-mudahan”, tak ada bahasa “semoga benar”, sebab bahasa sains bermodus indikatif, bukan bermodus subjungtif. Bahasa sains "It is", bukan "It might be", kendati ada hierarki kepastian dalam dunia ilmu pengetahuan, dari hal yang paling pasti, menurun ke hal yang pasti, lalu kurang pasti, dan paling bawah sama sekali tidak pasti.

Jadi, mana yang lebih pasti, sains yang bekerja dalam koridor epistemologi evidensialis, atau agama yang berdiri di atas epistemologi revelatif fideis? Ya jelas, sains jauh lebih pasti dibandingkan agama. 

Sesuatu yang belum terbukti benar, lewat pengajuan bukti-bukti, jika dipandang probable benar, dalam dunia sains disebut sebagai hipotesis. Dan, sekali lagi, ada hierarki kepastian dalam dunia sains. Kepastian yang berada di bagian-bagian teratas hierarki ini, itulah yang menjadi opsi utama.

Dalam sains, banyak hipotesis diajukan yang menunggu verifikasi (hipotesisnya terbukti positif/benar), atau falsifikasi (hipotesisnya terbukti negatif/salah). Ini dinamakan prinsip verifikasionisme. 

Dalam dunia sains, sebuah hipotesis tetap akan diperlakukan sebagai sebuah hipotesis, menunggu falsifikasi atau verifikasi, lewat bukti-bukti autentik objektif yang berhasil dikumpulkan.

Nah, karena semua klaim tentang kebenaran (supernatural) dalam dunia agama tidak dilandaskan bukti-bukti, atau belum dilandaskan bukti-bukti, maka semua klaim ini paling banter bisa diterima hanya sebagai hipotesis-hipotesis. Dunia agama, adalah dunia hipotesis-hipotesis. Ya, tak apa-apa. Wajar saja.

Tapi, sayangnya, fakta ini sering tidak mau diterima kalangan agamawan. Mereka suka melakukan “lompatan iman” dengan memperlakukan hipotesis-hipotesis keagamaan sebagai kepastian-kepastian mutlak meskipun tak didukung bukti-bukti objektif autentik. Pemutlakan-pemutlakan inilah yang sering menjadi sumber ketidakharmonisan sosial dan ketertinggalan.

Lompatan iman yang kejauhan, ya bisa membuat semua orang terperosok ke dalam kubangan yang airnya hitam dan berbau amis. 

Nah, apakah ilmu pengetahuan terbatas dan bisa salah? Ya, ilmu pengetahuan, juga para saintis, memang terbatas, dan bisa salah, bisa keliru. Dalam dunia sains, berlaku fallibilisme. Tak ada yang menyangkal fakta ini.

Keterbatasan dan kemungkinan salah, sama sekali bukanlah hal-hal yang menakutkan para saintis. Sama sekali bukan momok.

Justru karena dalam dunia sains keterbatasan dan kemungkinan salah diakui, hal ini memicu para saintis untuk menyelidiki segala fenomena alam lebih jauh, mengadakan eksperimen dan observasi lebih banyak, berpikir lebih keras, merumuskan teori-teori dan model-model baru yang lebih kuat, menyusun prediksi-prediksi ke depan yang lebih akurat dan mengujinya berdasarkan bukti-bukti, dan mencari dan mengumpulkan bukti-bukti lebih banyak, membangun instrumen-instrumen peneliti yang lebih maju. 

Semua langkah itu akan menghasilkan pandangan-pandangan saintifik yang lebih unifying, lebih overarching, lebih integratif, lebih kokoh, dan lebih bisa menjelaskan berbagai hal, dari waktu ke waktu.

Jadi, ada sifat melakukan "koreksi diri" atau "self correction" dalam semua ilmu pengetahuan. Sifat inilah yang membuat ilmu pengetahuan apapun terus maju dan berkembang, tidak pernah bantut.

Karena sains punya kemampuan mengoreksi diri, maka setiap ilmuwan yang baru mengajukan sebuah teori atau posisi keilmuan yang lebih maju, akan sangat menginginkan ilmuwan-ilmuwan lain sedunia untuk meninjau dengan kritis dan memperdebatkan posisi keilmuan barunya itu. 

Peninjauan bisa dilakukan dalam forum-forum ilmiah umum yang di dalamnya para ilmuwan mendiskusikan posisi ilmiah yang baru itu, bahkan memperdebatkannya dengan terbuka dan bermartabat, tanpa adu jotos. 

Atau lewat jurnal-jurnal ilmiah internasional (cetakan dan/atau online) yang dikhususkan untuk para ilmuwan sedunia meninjau dengan kritis ("critical reviews" atau "peer reviews") posisi-posisi keilmuan yang dipandang baru atau sebagai suatu terobosan, breakthrough.

Nah, jika sains yang berpijak pada bukti-bukti terbatas sifatnya dan bisa salah, apalagi agama, yang semua klaim supernaturalnya tidak dilandaskan bukti-bukti objektif dan autentik apapun.

Kalau kaum agamawan mengajukan teks-teks kitab suci sebagai bukti, ketahuilah teks-teks kitab suci adalah teks-teks iman, bukan teks-teks fakta. 

Bahwa ihwalnya demikian, dapat diperlihatkan lewat berbagai analisis kritis atas teks-teks suci apapun. 

Tentu saja, tetap ada fakta dalam bangunan setiap agama, tapi juga ada banyak hal yang bukan fakta. Ada yang bisa dibedakan dengan jelas; tapi ada pula yang sukar karena sudah bercampur.

Semakin kaum agamawan suka berkhayal mengembangkan imajinasi mereka tentang hal-hal gaib adikodrati, semakin sedikit fakta-fakta yang bisa dibela dan dipertahankan agama. Semakin banyak asumsi yang mendasari suatu bangunan ide, semakin lemah ide ini. Semakin sedikit asumsi, semakin kokoh. Ini bagian yang dinamakan Lex Parsimoniae, "kaidah hemat kata", yang berlaku dalam dunia sains. 

Semua saintis memakai dan menjalankan kaidah hemat kata ini, dengan membuat penjelasan-penjelasan yang simpel (bukan naif) dan gamblang atas fenomena-fenomena alam yang semula tampak ruwet, rumit, kompleks dan sukar dijelaskan. Makin simpel dan makin kurang asumsi yang dipakai dalam suatu bangunan teori, teori inilah yang dipilih sebagai teori yang benar, dari antara teori-teori lain yang menjelimet dan penuh asumsi.

Jadi, semakin luar biasa klaim-klaim keagamaan yang diajukan, semakin harus diberi bukti-bukti yang juga luar biasa. Extraordinary claims demand extraordinary evidence. Ini salah satu prinsip utama juga dalam dunia sains untuk bekerja dengan sedikit atau tanpa asumsi.

Jadi, mana yang lebih terbatas: agama atau sains? Jelas, agama lebih terbatas dibandingkan sains. 

Para rohaniwan umumnya merasa ditugaskan oleh Yang Ilahi untuk menjaga dan melindungi misteri-misteri jagat raya, karena mereka berkeyakinan bahwa misteri-misteri ini hanya Allah yang tahu, dan tak boleh dipecahkan. 

Dalam kekristenan, pernah Santo Augustinus (354-430 M) melarang umatnya mengikuti rasa ingin tahu (kuriositas), karena katanya, rasa ingin tahu ini hanya membuat orang masuk ke wilayah-wilayah yang hanya boleh dimasuki Allah, dan tak akan menghasilkan apa-apa jika dicoba disingkap. Persisnya kata sang Santo, begini: 

“Ada satu bentuk godaan lagi, bahkan lebih berbahaya, yakni penyakit ingin tahu. Rasa ingin tahu inilah yang selalu mendorong kita untuk mencoba menemukan rahasia-rahasia alam, rahasia-rahasia yang sebetulnya berada di luar kemampuan kita untuk memahaminya, yang hanya akan membuahkan kesia-siaan jika dicari, yang seharusnya manusia tidak ingin pelajari.”/1/

Sejarah perkembangan sains sesungguhnya menunjukkan bahwa kuriositas atau rasa haus untuk tahu adalah mesin besar dan kuat pendorong kemajuan sains dan teknologi. Semakin tinggi kuriositas seorang anak, semakin cepat dia menjadi cerdas lewat eksplorasi-eksplorasi segala sesuatu di sekitarnya, yang dilakukannya sendiri. Berbahagialah jika anda mempunyai anak seperti ini.

Dalam tradisi Kristen yang berasal dari Yesus, ada dorongan untuk orang "mencari" (Yunani: zētein) dan "mengetuk pintu" (Yunani: krouein) supaya dibukakan. Penjelasan yang diperluas, diberikan di bawah ini.

Ucap Yesus, "Carilah dahulu kerajaan Allah (Yunani: zeteite de prôton tēn basileian tou theou) dan kebenarannya (Yunani: tēn dikaiosunēn autou),..." (Matius 6:33; dan par). Juga, "Ketuklah (Yunani: krouete), maka pintu akan dibukakan (Yunani: anoigēsetai) bagimu." (Matius 7:7; dan par).

Alih-alih terfokus cuma pada kebutuhan hidup rutin sehari-hari (makanan, minuman, pakaian dll), Yesus mendorong murid-murid-Nya untuk lebih dahulu mencari kerajaan Allah dan kebenarannya. 

Kerajaan Allah adalah kawasan Allah berkarya dengan kuasa-Nya, bukan hanya dalam kawasan kehidupan murid-murid Yesus dan orang banyak, tapi juga mencakup seluruh jagat raya "yang menceritakan kemuliaan Allah". 

Kebenaran Allah tersedia di situ, tentu bukan hanya kebenaran etis moral, tapi juga kebenaran-kebenaran yang ditaruh Allah dalam jagat raya. Pintu-pintu misteri kebenaran Allah yang tertutup, jika kita ketuk, maka Allah akan membuka (Yunani: anoigein) pintu-pintu itu bagi kita.

Jadi, Yesus tidak mematikan kuriositas manusia, malah Dia mendorong untuk rasa ingin tahu ini dipenuhi oleh manusia, murid-murid-Nya. Barangsiapa mencari, akan mendapatkan. Barangsiapa mengetuk, pintu akan dibukakan.

Pada pihak lain, hanya dengan mematikan kuriositas, dan mempertahankan misteri-misteri jagat raya, kaum rohaniwan di mana pun dan kapan pun jadi tetap mempunyai tugas dan kewajiban yang dapat mereka pikul: menjaga misteri-misteri ilahi. 

Sebagai para penjaga misteri ilahi, mereka merasa makin berwibawa. Ya, itu sesungguhnya pekerjaan utama mereka. Mau apa lagi?

Mereka seharusnya tahu, mempertahankan dan memagari misteri-misteri jagat raya hanya akan menghasilkan orang-orang beragama yang malas mencari, malas meneliti, dan malas berpikir, atau malah takut berpikir dan takut mengetahui hal-hal baru. Alhasil, sains dan teknologi tidak akan berkembang di tangan mereka! Peradaban tak akan maju. Ketertinggalan akan menjadi pemandangan sehari-hari. Kebodohan akan menjadi mahkota. Ujung-ujungnya: kekalahan total!

Menutup pintu-pintu yang membawa masuk ke dalam misteri-misteri jagat raya, hanya akan membuat agama apa pun terhambat maju, terkungkung di masa silam, dan tidak bisa membantu menjawab pergumulan umat manusia dalam zaman modern yang terus bergerak maju, tanpa akhir. 

Jadi, ya ketuklah pintu-pintu ini, maka akan dibukakan, dan jalan masuk ke perziarahan yang panjang akan terlihat di depan, memasuki hal-hal yang semula tidak diketahui. Nah, jalan ilmu pengetahuan itulah jalan dan kembara menuju yang tidak diketahui, "a voyage to the unknown".

Bagaimana dengan para saintis, dengan watak sains? 

Sains dan para saintis justru menghendaki semua misteri jagat raya diungkap, tentu tak bisa sekaligus, tapi bertahap, progresif, berdialektika tesis versus antitesis, dan akumulatif, dan makin integratif. Tak boleh ada misteri yang tetap tinggal misteri, di hadapan sains. 

Dengan demikian, sekali lagi, pengetahuan manusia terus berkembang, bertahap, tambah maju, makin unifying, makin overarching, makin integratif, makin menjawab banyak pertanyaan, terus ke depan, tanpa titik akhir, tanpa batas. Maka, peradaban akan terus melesat.

Jadi, mana yang lebih terbatas: sains atau agama? Jelas, agama sangat jauh lebih terbatas dibandingkan sains.

Poin terakhir. Para agamawan juga kerap menyatakan bahwa sains tidak bisa dipercaya, karena salah satu watak sains yang kuat adalah skeptisisme, bukan absolutisme.

Kata mereka, skeptisisme, yakni sikap meragukan dan mempertanyakan segala sesuatu, pasti membuat anda tidak akan pernah tiba pada kebenaran mutlak yang justru dijamin oleh absolutisme dalam dunia agama-agama. Pasti akan membuat anda gelisah, terombang-ambing.

Ya, benar, skeptisisme adalah watak sains yang sangat mendasar, tetapi watak ini sangat membangun, bukan menghancurkan. Skeptisisme, itulah bahan bakar penggerak mesin perkembangan sains. Skeptisisme membuat orang bertanya, lalu mencari jawaban, alhasil otak terlatih cerdas dan horison pengetahuan terus mengembang.

Hanya dengan meragukan dan mempertanyakan posisi-posisi sains yang sudah mapan, yang sudah relatif established, posisi-posisi saintifik baru akan dicapai, dengan makin kaya dan makin unifying, bukan makin miskin, bukan makin disintegrating dan bukan makin divisive

Ketahuilah, temuan-temuan terobosan baru dalam dunia sains kerap dihasilkan di ujung kegelisahan dan kebimbangan besar para saintis besar. Albert Einstein salah satunya. 

Ketika mereka menemukan masih ada celah” atau "gap" dan missing link dalam suatu konstruksi teori besar keilmuan, maka pasti mereka menjadi gelisah, dan bimbang terhadap kebenaran pengetahuan yang sudah ada. 

Para ilmuwan tidak akan mengisi celah atau "gap" atau tautan yang hilang itu dengan figur-figur dari "dunia lain". Praktek ini, yang dinamakan "God of the gaps", sebaliknya, umum dilakukan para agamawan. Ini sia-sia dan melelahkan, sebab sudah banyak kali terjadi "gaps" yang ada dalam dunia ilmu pengetahuan akhirnya, lewat banyak riset, observasi, eksperimen dan pemikiran-pemikiran baru, bisa diisi dengan fakta-fakta ilmiah, bukan oleh "God of the gaps".

Jika masih ada "celah-celah", apakah para saintis lalu memutuskan untuk tidur saja dengan berselimut tebal karena stres psikologis sedang melanda mereka? Ya tentu tidak. Para saintis adalah para pejuang dan petempur tangguh, bukan pecundang.

Kegelisahan dan kebimbangan malah mendorong mereka untuk mengadakan riset lebih jauh dan lebih dalam lagi, mencari bukti-bukti baru, meninjau posisi-posisi keilmuan yang sudah ada, mengajukan hipotesis-hipotesis baru lalu menguji semuanya. Alhasil, mesin sains akan berputar dan berjalan lebih enerjik lagi, lebih powerful lagi.

Tanpa skeptisisme, sains jelas tidak akan ada, dan, jika sudah ada, tidak akan berkembang; dan lewat skeptisisme kebenaran-kebenaran akan makin lebih banyak didapat. 

Tentu saja, para saintis tahu, kapan harus bersikap skeptik, dan kapan tidak perlu, tidak hantam kromo meragukan segala hal. 

Skeptisisme diajukan, jika ada bukti-bukti yang mendukungnya, dan jika pandangan-pandangan lama terbukti tidak sejalan lagi dengan bukti-bukti baru, atau jika pandangan-pandangan lama tampak terbatas dalam menjelaskan fenomenon-fenomenon yang baru dipantau lewat instrumen-instrumen baru keilmuan dan ditemukan lewat observasi dan eksperimentasi yang tak pernah selesai, atau jika orang mengajukan klaim-klaim yang luar biasa tanpa didukung bukti-bukti yang juga luar biasa apapun. 

Semua orang, bukan hanya para saintis, pasti pernah berada dalam sikon skeptik, bahkan dalam hal-hal lain yang bukan menjadi subjek kajian keilmuan. Kita semua pernah skeptik, sejak TK hingga lansia.

Kalau ada orang yang menyatakan bahwa mereka sejak lahir tak pernah merasa ragu, tak pernah skeptik dalam urusan apapun, aahhh... mereka membual, hidup dengan penuh penyangkalan atas fakta-fakta, hidup in denial.

Kemampuan bersikap skeptik adalah karunia alam, bagian terpadu dari sistem dan mekanisme neurologis dalam otak kita. Dan tak sedikit perannya dalam survival atau ketahanan hidup spesies Homo sapiens, dari zaman ke zaman.

Keraguan memicu kita bersikap hati-hati, memikirkan kemungkinan-kemungkinan, mencari pilihan-pilihan lain, melakukan analisis dan evaluasi, mengaktifkan fungsi kesiagaan dan kewaspadaan dalam bagian-bagian otak kita.

Pendek kata, seorang saintis sejati pada hakikatnya adalah seorang skeptik yang cermat dan arif.

Nah, bagaimana dengan absolutisme yang didesakkan para agamawan kepada anda? 

Hemat saya, absolutisme hanya mempermiskin dan mengerdilkan horison pengetahuan manusia, dan pada wilayah politik hanya akan menghasilkan para diktator dan tiran religiopolitik. 

Ditinjau dari sudut teologi, absolutisme bukan saja tidak bisa sejalan dengan pluralisme keagamaan yang menawarkan banyak kebenaran khas, tetapi juga mengerangkeng dan mematikan kebenaran. 

Pada dasarnya absolutisme juga memenjarakan sosok Allah yang dipercaya agama-agama sebagai sosok yang mahatahu, yang pengetahuan-Nya yang mahaluas tidak bisa dikuasai satu agama saja atau satu doktrin kepercayaan saja atau oleh satu lembaga keagamaan saja, apalagi oleh satu orang suci saja dari zaman kuno di manapun. 

Alih-alih memberi kepastian mutlak, absolutisme, ironisnya, malah memporakporandakan kepercayaan pada adanya Allah yang mahatahu, dan memusnahkan kebenaran-kebenaran. 

Jika ini faktanya, masihkah kita percaya bahwa absolutisme itu menjamin kepastian mutlak tentang Allah, kepastian pada iman keagamaan kita? 

Jika seseorang mengabsolutkan sesuatu, maka dia telah mengerangkeng sesuatu yang diabsolutkannya itu dalam kandang keyakinannya sendiri. Allah yang mahabesar tak mungkin bisa dikandangkan. Tak mungkin! Oleh siapa pun. Syukur kepada Tuhan.

Harus ditegaskan sekuatnya, absolutisme membuat agama dan iman anda menjadi kurus kering dan ringkih. Tanpa skeptisisme, agama anda akhirnya hanya pantas ditempatkan dalam sebuah museum fosil agama, atau dimakamkan di dalam tanah sedalam-dalamnya dan selamanya. Dan ketahuilah, banyak agamawan sesungguhnya absolutis! Positifkah ini?

Sekali lagi, jika skeptisisme diperhadapkan pada absolutisme, kelihatan bahwa agama jauh lebih terbatas jika dibandingkan sains. Mana yang anda mau rangkul, agama yang mandek karena diabsolutkan, atau sains yang terus maju dan merangkul makin banyak kebenaran karena selalu diragukan?

Di ujung semua keraguan, akan muncul Mentari yang bercahaya makin terang. Keraguan adalah pelayaran di lelautan bergelombang, menuju cakrawala terbitnya sang Matahari pagi.
      
Ketika sains makin maju, makin solid, makin bisa menjelaskan semua fenomena alam, maka sumbangan sains bagi kehidupan manusia yang makin baik dan makin sehat, akan makin banyak. 

Fakta anda bisa berdiskusi lewat Internet di Facebook atau di Twitter atau lewat WA dll juga adalah prestasi sains, bukan prestasi agama, bukan prestasi iman keagamaan. 

Ya, kaum agamawan mengklaim akan dapat mengirim umat ke sorga setelah kematian. OK-lah, kalau memang iman mereka menyatakan begitu. Tapi, bukankah lebih baik jika kita dapat menurunkan atau mendatangkan sorga ke bawah, ke Bumi, sewaktu kita masih hidup dan ingin berguna bagi umat manusia?

Nah, yang saya ingin lihat adalah, apakah agama dan iman keagamaan anda bisa mengirim dan menerbangkan para astronot ke Bulan, atau ke planet Mars, sekarang, sementara dunia masih ada, sementara kita masih hidup? 

Yang sudah terbukti adalah, sains dan teknologi modern-lah yang telah mengirim para astronot ke Bulan, dan tak lama lagi ke planet Mars! 

Lalu akan dilanjutkan dengan kolonisasi planet-planet lain dalam sistem Matahari kita demi keabadian organisme cerdas Homo sapiens dalam jagat raya, apalagi seandainya Homo sapiens adalah satu-satunya spesies cerdas pembangun peradaban di seluruh jagat raya! Kita sudah tahu, semakin langka suatu spesies, semakin spesies ini harus dilindungi dan dijaga supaya tetap lestari bertahan hidup.

Oh ya, beberapa orang mengingatkan bahwa  iman keagamaan juga telah berhasil mengirim para martir, terbang menuju dua gedung pencakar langit di New York, dan merobohkan keduanya lewat tabrakan dengan pesawat-pesawat jet yang mereka kendalikan! Peristiwa 11 September yang tak pernah terlupakan bagi orang Amerika dan dunia yang beradab.

Realistis saja, sekarang, tanpa sains dan teknologi modern, sangat mungkin anda tidak akan bisa hidup lagi, atau anda akan lebih cepat mati. Ujilah! Ketahuilah, bentuk dan struktur tubuh kita mengharuskan kita memakai teknologi untuk bisa hidup sehat dan baik, dan bertahan lebih lama. 

Karena itu, janganlah lagi menjauhkan umat dari ilmu pengetahuan. Kasihan mereka jika kita berbuat begitu.

Saya himbau, sebarkanlah ajaran-ajaran agama yang makin membuat umat anda haus ilmu pengetahuan dan mendapatkan tempat untuk kuriositas mereka makin kuat dan dapat dipenuhi. Beragamalah, tapi dengan cerdas! Dan juga dengan riang, damai dan kalem.

Usahakanlah, komunitas keagamaan anda tahu dan terbuka untuk menerima sains sekalipun banyak pandangan saintifik yang tak klop dengan dunia ide dan dunia simbolik keagamaan anda. 

Tahukah anda, Tuhan itu bekerja dialektis dalam menyingkap kebenaran-kebenaran untuk kebaikan dan kemajuan semua insan yang diciptakan-Nya. Beragama, seperti sejarah sudah perlihatkan, berarti hidup dalam dialektika tesis-antitesis-sintesis, yang dijalani dengan hepi dan penuh semangat seperti halnya para ilmuwan.

Sudah saatnya, mabuk kepayang agama di mana pun diakhiri, juga di negeri sendiri jika negeri kita mau maju dan terpandang di dunia dan mampu berkompetisi kecerdasan dan kejeniusan di aras global. 

Cerdaskan bangsa anda lewat ilmu pengetahuan, dan jangan lagi memperbodoh dan meninabobokan mereka lewat ajaran-ajaran agama yang anti-sains atau lewat ajaran-ajaran agama yang penuh takhayul.

Hal berikut ini penting diingat. 

Jika anda mencintai Tuhan YMTahu dan MTakterbatas, maka anda akan seharusnya cinta juga pada ilmu pengetahuan yang memberi anda pengetahuan-pengetahuan yang terus berkembang tanpa batas tentang segala hal dalam jagat raya ini, sejalan dengan ketakterbatasan dan kemahatahuan Tuhan. 

Kemahatahuan Tuhan yang tanpa batas itulah sumber segala ilmu pengetahuan. Tentu ini suatu kepercayaan, ya kepercayaan yang agung dan mulia, suatu kebajikan luhur. Menyangkal ilmu pengetahuan, ya berarti menyangkal kemahatahuan Tuhan. Apakah anda mau begitu? Saya yakin, tidak.

Dus, ilmu pengetahuan adalah jalan agung dan mulia tanpa ujung menuju Tuhan YMTahu dan MTakterbatas. 

Makin dekat Tuhan, makin cinta dan makin haus ilmu pengetahuan. 

Tak ada benturan antara beribadah kepada Tuhan dan berilmu tinggi. Ini kabar baik buat kita semua setelah kita dihadapkan pada benturan-benturan antara skeptisisme dunia sains dan absolutisme dunia agama.

Setiap ilmuwan niscaya adalah hamba Tuhan, kawan seperjalanan Tuhan YMTahu menuju kawasan-kawasan baru ilmu pengetahuan yang tak memiliki batas akhir.

Ucapkanlah: Karena saya mencintai Tuhan YMTahu, saya juga mencintai ilmu pengetahuan dan kecerdasan.

Salam,
ioanes rakhmat

Editing mutakhir 
7 Maret 2020
6 Maret 2021

---------------------

/1/ Pernyataan Agustinus ini dikutip dalam Charles Freeman, The Closing of the Western Mind: The Rise of Faith and the Fall of Reason (London: Heinemann, 2002), hlm. vii.