Monday, December 31, 2012

Bisakah seorang saintis menjadi “fundamentalis sains”?

Tulisan ini menanggapi sekian orang di Twitter yang baru saja menuduh asbun bahwa kalangan saintis bisa menjadi fundamentalis.

Mari mulai dengan sebuah definisi. Seorang fundamentalis  adalah seorang “berkacamata kuda” yang mengabsolutisasi pandangan dan keyakinan keagamaannya di hadapan bukti-bukti yang menyatakan lain. Kata seorang fundamentalis, “Pokoknya gua mau percaya begini; lo mau apa?


oxymoron: harus stop, tapi juga harus jalan terus!

Setiap agamawan ada dalam suatu risiko besar menjadi fundamentalis karena baginya agamanya absolut tak bisa salah dan selalu benar. Fundamentalisme menjadi fitur esensial dan potensial dalam setiap agama karena absolutisme dan triumfalisme serta superiorisme dipertahankan dalam setiap agama. Fundamentalisme adalah sebuah risiko besar dalam setiap agama karena setiap agama diklaim para penganutnya sebagai agama satu-satunya yang terbenar dalam dunia ini. Fundamentalisme tak terhindar dalam setiap agama karena setiap agama memiliki sebuah kitab suci atau lebih yang dipandang sudah final, definitif dan tak bisa salah dalam segala hal oleh umat beragama yang memakainya. Fundamentalisme tak terhindar dalam setiap agama karena setiap agama menekankan iman-tanpa-bukti terhadap dunia adikodrati, sebagai fondasi utamanya.

Nah, sekarang kita periksa apakah semua fitur agama yang memunculkan fundamentalisme itu ada dalam sains modern.

Apakah ada sains yang sudah absolut, definitif, sudah final, tak bisa salah, terbenar satu-satunya, dan tak bisa berubah lagi? Tidak ada! Jika sains disebut absolut atau sudah final sebagai sains absolut”  atau “sains final”, sebutan-sebutan ini adalah “contradictio in terminis”, istilah yang berkontradiksi dalam dirinya sendiri. Jika tak ada sains yang absolut, sudah final, definitif, tak bisa salah, selalu benar, atau malah satu-satunya yang terbenar dengan membuang yang lainnya, maka tidak akan ada seorang saintis pun yang akan menjadi fundamentalis sains.


oxymoron: suara yang hening

Menyebut seorang saintis sebagai fundamentalis sains adalah sebuah oxymoron, tak ada dalam realitas tapi ada hanya dalam retorika politis ad hominem. Anda tentu tahu apa arti kata “oxymoron”, bukan? Oxymoron adalah gabungan dua kata atau lebih untuk membentuk sebuah kata majemuk yang berkontradiksi dalam dirinya sendiri, tapi hanya dipakai dalam retorika politis dan dalam dunia puisi. “Pakar amatir”, “pensiun aktif”, “rudal anti-rudal”, “desas-desus yang akurat”, “kebetulan yang disengaja”, “lingkaran segi tiga”, “es cair”, “kedukaan yang membahagiakan”, “sains final”, adalah beberapa contoh oxymoron.

Meskipun sains tak bisa final dan tak absolut, tentu saja ada poisisi-posisi saintifik yang sudah kokoh dan bisa menjelaskan kerja nyaris seluruh mesin jagat raya kita.

Apa yang digolongkan sebagai teori-teori saintifik besar (grand theories) dan hukum-hukum besi fisika, adalah posisi-posisi sains yang sudah kokoh. Hukum-hukum Newton, prinsip-prinsip relativitas Einstein, “the standard model” dalam fisika partikel, juga sudah kokoh, tapi semuanya belum final.

Dalam dunia sains, bukan absolutisme, tapi skeptisisme menjadi motor pendorong kelahiran, perkembangan dan kemajuan sains. Bersikap skeptik adalah watak dasar setiap saintis sejati yang membuatnya selalu meragukan dan mempertanyakan segala hal yang dipandang sudah mapan, atau meragukan segala klaim yang luar biasa namun tak berlandaskan bukti apapun. Apakah seorang saintis yang selalu skeptik, bisa menjadi fundamentalis? Sama sekali tidak bisa. Skeptisisme dan fundamentalisme adalah bak air dan minyak yang selalu terpisah.

Karena semua saintis mendasarkan klaim-klaim mereka bukan pada iman membuta, tapi pada bukti dan fakta, bisakah mereka jadi fundamentalis? Karena bukan iman membuta tapi bukti dan fakta yang menjadi fondasi sains, tak ada saintis yang akan menjadi fundamentalis. Karena watak dinamis sains, setiap saintis akan dengan konsisten mengikuti ke mana bukti-bukti menuntun dan membawanya, sekalipun bukti-bukti ini akan akhirnya mengharuskannya mengganti pandangan-pandangan lamanya.

Apakah dalam dunia sains ada sebuah kitab suci yang dipandang diilhamkan Allah, dus tak bisa salah dan berlaku mutlak? Tidak ada!

Tentu ada buku-buku sains yang luar biasa yang ditulis great scientists, tapi buku-buku ini bukan kitab-kitab suci yang diberi aura dan otoritas ilahi. Tentu ada buku-buku sains yang telah menjadi klasik besar, tapi buku-buku ini juga tidak diperlakukan sebagai kitab-kitab suci ilahi. Para penulis buku-buku sains besar adalah para saintis agung yang bisa salah, terbatas, fana dan insani belaka. Semua buku sains yang luar biasa suatu saat bisa disanggah oleh buku-buku sains yang lebih maju dan lebih integratif.

Mengakui keterbatasan buku-buku sains besar dan keterbatasan para saintis penulis buku-buku ini bukanlah hal yang aib atau ditabukan dalam dunia sains. Setiap saintis akan mengaku dengan kalem bahwa mereka semua terbatas dan bisa salah; dus tak akan pernah ada seorang saintis yang fundamentalis berkacamata kuda.

Sekali lagi, memberi label fundamentalis kepada seorang saintis adalah sebuah oxymoron yang ada hanya dalam retorika politis yang ad hominem

Bahkan luar biasanya, dan sangat patut disesalkan, fisikawan Peter Higgs, yang telah memprediksi keberadaan partikel Higgs Boson dan dia telah terbukti benar, baru saja (26 Desember 2012) memakai oxymoron ini ketika dia melabelkan biolog termashyur Richard Dawkins sebagai seorang fundamentalis jenis lain. Tetapi, pada tahun 2007 dalam sebuah postnya di situs webnya, yang berjudul “How dare you call me a fundamentalist”, Dawkins menulis demikian, cermatilah: “Harap jangan menyamakan semangat (passion), yang dapat mengubah pikirannya, dengan fundamentalisme yang tak akan berubah. Dalam hal semangat, seorang Kristen evangelikal dan saya dapat dengan seimbang dipertemukan. Tetapi semangat saya dan fitur fundamentalisnya tidak sama. Saintis sejati, betapapun dia dapat sangat bersemangat ‘percaya’, percaya pada evolusi misalnya, tahu dengan tepat apa yang dapat mengubah pikirannya: bukti! Seorang fundamentalis religius tahu bahwa tidak ada sesuatupun yang akan dapat mengubah pikirannya.”/1/ Pakar genetika Jerry A. Coyne, Ph.D., telah dengan tangkas memberi respons kepada Higgs dengan menyatakan bahwa Higgs adalah “seorang yang secara intelektual tidak jujur” dan, berkaitan dengan tuduhannya bahwa Dawkins adalah seorang fundamentalis jenis lain, bertanya kepada sang fisikawan ini, “Apa persisnya jenis ‘fundamentalisme’ Dawkins? Dapatkah anda sungguh-sungguh menyamakan ketaatan membuta pada teks-teks kuno buatan manusia dengan keraguan bahwa teks-teks itu membuktikan hal apapun mengenai suatu hakikat ilahi? Mengapa seseorang harus dicap ‘fundamentalis’ ketika orang ini meminta bukti, dan menantang orang-orang yang memeluk dogma di hadapan bukti-bukti yang berbicara lain? Mengapa memberi label ‘fundamentalis’ kepada seseorang yang mengambil sikap saintifik yang berpijak pada bukti terhadap klaim-klaim agama, tetapi tidak kepada klaim-klaim para penggembala kambing di zaman kuno?”/2/ 

Tentu dunia sains juga mengenal apa yang dinamakan aksioma atau postulat yang di atasnya sains bekerja.

Aksioma adalah sebuah pernyataan tentang sesuatu yang diterima sebagai benar tanpa perlu diragukan atau dibuktikan lagi. Para agamawan seringkali dengan naif menyamakan aksioma saintifik dengan iman-tanpa-bukti dalam dunia agama-agama.

Kata para agamawan, apa bedanya sains dari agama, tokh sains juga berpijak pada aksioma tanpa bukti, seperti iman dalam agama. Tapi, ada perbedaan mendasar antara aksioma dalam sains dan iman-tanpa-bukti dalam agama.

Ambil satu contoh aksioma geometri Euklidean bidang datar yang jumlah seluruhnya ada lima. Aksioma geometris itu menyatakan “garis lurus adalah jarak terpendek dua buah titik  pada bidang datar”.

Bisakah aksioma geometris Euklidean ini disamakan dengan iman-tanpa-bukti bahwa Allah itu ada dalam dunia agama-agama teistik? Aksioma geometris itu dan iman keagamaan tidak bisa sama sekali disamakan atau disejajarkan!

Aksioma geometris itu objektif dapat diperlihatkan dengan menggambarkannya lewat tanda, bentuk, huruf, angka, karakter, gambar dan simbol pada bidang datar seperti papan tulis atau pada monitor LCD notebook anda. Orang di mana saja dan kapan saja secara universal bisa melihat kebenaran objektif aksioma geometris itu. Tapi coba minta seorang agamawan saleh untuk menggambarkan Allah yang dipercayanya ada pada sebuah papan tulis. Bisakah dia? Jelas tidak bisa. Jadi, aksioma dalam dunia sains sama sekali tidak bisa disamakan atau disejajarkan dengan iman membuta dalam dunia agama.

Kaum agamawan juga sering menyatakan bahwa sains itu tidak mutlak karena bergantung pada model yang dipakai. Mereka benar sekali, karena memang sesungguhnya sains itu relatif dan tidak absolut, seperti sudah dikatakan sebelumnya.

Tapi jika model yang dipakai dalam dunia sains dianggap membuat sains kehilangan keabsahannya, anggapan ini salah sama sekali. Model dalam dunia sains tidak dibangun sembarangan dan juga tidak berdasar pada iman membuta, tapi harus memenuhi kriteria saintifik.

Stephen Hawking dalam bukunya The Grand Design memberi  empat kriteria untuk sebuah model saintifik dapat dengan bagus dibangun dan digunakan. Pertama, sebuah model harus sederhana dan cerdas. Kedua, harus berisi sedikit unsur acak dan unsur yang adjustable. Ketiga, harus sejalan dengan semua observasi empiris saintifik yang ada, dus, harus sesuai bukti-bukti. Keempat, harus mampu memprediksi observasi-observasi di masa depan yang dapat menfalsifikasi model jika prediksi-prediksi ini gagal terpenuhi./3/

Jadi, model yang dipakai dalam dunia sains haruslah model yang dibangun sejalan dengan metode saintifik, bukan asal dibangun semau-maunya. Justru dengan dipakainya model, sains malah makin objektif dan makin memberi kemungkinan berkembang lewat prediksi-prediksinya, yang bisa diverifikasi ataupun difalsifikasi.

Sebetulnya, bukan hanya sains eksakta, semua bidang sains lain juga memerlukan model untuk sains ini dapat beroperasi.

Sosiologi berjalan karena para sosiolog mengonstruksi model-model dalam memahami dan menafsirkan realitas sosial yang sebenarnya sangat rumit. Dalam sosiologi ada berbagai model: model fungsionalisme struktural, model konflik, model interaksionisme simbolik, dan model simbolik.

Dalam menghayati keberagamaan, kaum agamawan juga membangun dan memilih model-model. Ada model religiositas konservatif fundamentalis, ada model progresif liberal, dan model in-between, dan juga model religiositas mistikal.

Dalam menafsir kitab-kitab suci, para penafsir juga memakai model-model, tak ada yang puritan tanpa model. Dalam dunia tafsir kitab suci, ada model literalis a-historis, model historis kritis, model feminis, model sosial-saintifik, model naratif, model tanggapan-pembaca, dlsb.

Sebetulnya kita semua memakai model tertentu ketika kita memandang kenyataan dan mencoba memahaminya. Tanpa memakai model tertentu, realitas akan jadi tampak begitu rumit, tak terpahami, tak dapat dijelaskan dan tak dapat dijalani.

Model adalah penyederhanaan cerdas atas realitas objektif yang sebenarnya rumit supaya kita bisa memahaminya dengan baik dan memberi respons. Model adalah semacam “kaca mata kognitif” yang kita pakai untuk dapat melihat, merangkum dan menafsirkan dunia ini secara terfokus dan bermakna minimal buat diri kita sendiri.

Jadi, aksioma dan model yang dipakai dalam dunia sains membuat sains dapat beroperasi dalam memahami jagat raya, dan sama sekali tidak mendelegitimasi sains.

Hingga sejauh ini, saya telah memperlihatkan tidak mungkin sama sekali seorang saintis menjadi seorang fundamentalis berkacamata kuda. Label “fundamentalis sains” adalah sebuah istilah yang kontradiktif pada dirinya sendiri, ada sebagai oxymoron hanya dalam retorika dan propaganda politik ad hominem.

Tapi melabelkan seorang beragama sebagai “fundamentalis religius” adalah label yang berdasar pada realitas, dan di Indonesia nyaris setiap hari kita lihat sepak terjang mereka yang berwacana membuta tentang keyakinan-keyakinan keagamaan mereka, dan yang bertindak terhadap sesama manusia dengan melawan akal sehat dan nilai-nilai humanis universal.

Bagaimana dengan istilah “saintisme” yang kerap juga dipakai orang untuk menuduh dunia sains sebagai dunia politik ideologis? Sains itu universal, tak pilih bulu, tak bersifat politis sektarian, dan bukan ideologi apapun. Coba anda temukan adakah ideologi politik sektarian dalam persamaan Einstein E=MC2? Atau, bisakah anda temukan sebuah ideologi politik sektarian dalam sebuah aksioma geometris Euklidean bahwa “garis lurus adalah jarak terpendek dua buah titik dalam bidang datar” atau bahwa “jika ada sepotong garis lurus, maka sebuah lingkaran dapat dibuat dengan menjadikan potongan garis lurus ini jari-jari lingkarannya dan salah satu titik ujung potongan garis lurus ini pusat lingkarannya”? Jika anda bisa menemukannya, saya akan langsung meninggalkan dunia sains yang sudah saya geluti dua tahun terakhir ini!

Kata “saintisme” tak ada dalam dunia sains, tapi digunakan sebagai oxymoron (gabungan kata “sains” dan kata “isme”) oleh para pembenci sains sebagai retorika politis mereka. Begitu juga, sebutan-sebutan “sains politik”, “sains Nazi”, “sains Leninis”, “sains Kristen”, “sains Islam” atau “sains Hindu”, semuanya adalah oxymoron, tak ada dalam realitas tapi hanya ada dalam retorika dan propaganda politis.

Tentu aplikasi sains dalam bentuk teknologi bisa dibisniskan dan bisa dimanfaatkan oleh partai-partai politik dalam suatu negara. Tapi, membisniskan dan mempolitisasi pemanfaatan sains lewat teknologi tak ada hubungan langsung dengan sains sebagai sains.

Dalam politik, selain dalam agama, orang bisa berhaluan politik konservatif fundamentalis.

Karena sains bukan sebuah ideologi politik, mustahil seorang saintis menjadi fundamentalis sains. Bisa saja seorang saintis jadi berkacamata kuda dalam mempertahankan teori-teorinya yang sudah terbukti tidak akurat; tapi, jika dia bersikap demikian, kredibilitasnya sebagai seorang saintis akan langsung hilang, dan dia pasti akan terpental tanpa ampun dari komunitas saintifik dunia.

Jika istilah oxymoron “saintisme” dipaksa untuk digunakan, istilah ini jauh lebih nobel ketimbang istilah “fideisme”.

Dalam arti positifnya, “saintisme” mengacu ke sikap konsisten saintifik yang mencari kebenaran-kebenaran objektif hanya lewat sains dan metode saintifik.

Sebaliknya, “fideisme” mengacu ke sikap seorang religius berkacamata kuda, yang mau mati syahid demi iman (Latin: fidem) yang dipertahankannya mati-matian, yang diklaim mutlak benar tanpa didukung bukti apapun.

Jika harus memilih “saintisme” atau “fideisme”, saya dengan senang akan merangkul saintisme dan menolak fideisme. Saya percaya, siapapun yang sungguh-sungguh mau mencari kebenaran-kebenaran objektif, bukan kebenaran-kebenaran khayalan, orang yang mencarinya akan tiba di dunia sains dan akan tetap konsisten saintifik.

Pendek kata, label “fundamentalis sains” adalah sebuah oxymoron yang hanya ada dalam retorika politis para pembenci sains yang memakai argumentum ad hominem. END.

Catatan:

/1/ Lihat Alok Jha, “Peter Higgs criticises Richard Dawkins over anti-religious
‘fundamentalism”, The Guardian, 26 December 2012, pada http://www.guardian.co.uk/science/2012/dec/26/peter-higgs-richard-dawkins-fundamentalism?CMP=twt_gu. Lihat juga Richard Dawkins, How dare you call me a fundamentalist”, The Richard Dawkins Foundation for Reason and Science: News, 14 May 2007, pada  http://old.richarddawkins.net/articles/1071-how-dare-you-call-me-a-fundamentalist.

/2/ Lihat Jerry A. Coyne, Peter Higgs, the Boson Man, takes out after Richard Dawkins for the usual reasons, Why Evolution Is True blog, 27 December 2012, pada http://whyevolutionistrue.wordpress.com/2012/12/27/peter-higgs-the-boson-man-takes-out-after-richard-dawkins-for-the-usual-reasons/

/3/ Stephen Hawking dan Leonard Mlodinow, The Grand Design (New York: Bantam Books, 2010) hlm. 51.

Sunday, December 30, 2012

Era Mitologis versus Era Saintifik

Lewat kitab-kitab suci, kita tahu dulu nabi-nabi bermunculan dalam masyarakat manusia sebagai para utusan Tuhan dan pemandu ke masa depan. Semua nabi agama-agama besar muncul dalam zaman pra-ilmiah dan pra-modern, dan sekularisasi belum melanda dunia. Dalam memasuki masa depan, nabi-nabi ditanyai karena mereka dipandang memiliki kemampuan ilahi untuk melihat masa depan dan bernubuat.


perjalanan ke angkasa luar lewat fantasi mistikal dalam era mitologis

Era nabi-nabi adalah era di mana worldview mitologis mengendalikan cara pandang manusia atas kenyataan. Dalam worldview mitologis, dunia adikodrati dan dunia kodrati menyatu tak terpisah, Allah dan malaikat-malaikat diyakini berada bersama manusia dalam dunia material.

Dalam worldview mitologis yang menaklukkan segala sesuatu pada kehendak dunia adikodrati, pemikiran ilmiah atas segala fenomena alam tidak muncul. Semua peristiwa alamiah dipersonifikasi sebagai peristiwa-peristiwa yang ditimbulkan oleh berbagai kegiatan dewa-dewi. Dalam worldview mitologis, mukjizat dipandang sebagai hal yang normal, karena Allah dipandang campurtangan penuh dalam segala urusan manusia dan dalam semua aktivitas alam. 



mengelilingi planet Bumi lewat angkasa 
dengan pesawat jet dalam era saintifik

Ketika revolusi saintifik terjadi pada abad ke-17 di Eropa, diawali oleh Kepler dan Galilei, worldview mitologis tergempur dan ambruk. Revolusi saintifik memperkenalkan sebuah worldview baru, yakni worldview saintifik, yang bertabrakan dengan worldview mitologis. Era modern adalah era di mana worldview saintifik mengendalikan cara manusia memandang dan menjelaskan semua fenomena alam.

Dalam era saintifik, ketika manusia ingin mengetahui masa depan, mereka tidak mencari nabi-nabi, tapi datang kepada para saintis futurologi (atau futuris) yang mampu memprediksi masa depan dengan memakai berbagai metode pengkajian saintifik. Ketika mencari orang-orang pintar, dalam era saintifik kita tak datang ke nabi-nabi, tapi ke para ilmuwan. Dalam era saintifik, di kalangan terpelajar, buku yang paling banyak dibaca adalah buku-buku sains, bukan lagi kitab-kitab suci.

Dalam worldview saintifik, ketika mau melanglang angkasa luar, manusia merancang wantariksa, dan tak memakai jalur fantasi neurologis perjalanan mistik lagi. Kalau dulu hanya para mistikus bisa keliling angkasa lewat fantasi perjalanan mistik, kini siapapun dengan menumpang sebuah pesawat jet bisa keliling angkasa dan memutari planet Bumi, dan dalam beberapa dekade di depan akan bisa berwisata ke Bulan bahkan ke planet Mars dengan menumpang wantariksa berbahan bakar nuklir.

Dalam era saintifik, hukum-hukum alam tidak ditakuti dan tidak disembah lagi, tetapi dikaji secara saintifik lalu melahirkan sains. Dalam era saintifik, hukum-hukum alam menjadi bagian dari hukum-hukum sains dan dipandang berlaku abadi dalam jagat raya kita. Dalam era saintifik, misteri-misteri jagat raya tidak dikeramatkan lagi, tidak dijaga sebagai misteri ilahi, tapi dieksplorasi secara saintifik tanpa henti, alhasil sains maju dan berkembang. Dalam era saintifik, berbagai kejadian alam tidak lagi dipandang sebagai pekerjaan para dewa, tetapi sebagai kejadian-kejadian alamiah biasa yang bisa dijelaskan dengan sempurna oleh sains modern.

Dalam era saintifik, kita menemukan hukum-hukum alam sebagai fondasi dan pilar-pilar eksistensi jagat raya yang aktif. Dus, melanggar hukum-hukum alam sama dengan membuat keseluruhan jagat raya ambruk berkeping-keping. Karena itu, dalam era saintifik, mukjizat yang dipandang sebagai kejadian-kejadian yang melanggar hukum-hukum alam dinyatakan tak pernah ada.

Dalam era mitologis, kisah-kisah tentang mukjizat ditulis untuk berbagai kepentingan religio-politik, bukan sebagai kisah-kisah faktual. Dalam kitab-kitab suci, kisah-kisah tentang mukjizat umumnya adalah kisah-kisah “post factum”, yang ditulis sesudah kejadian sebenarnya yang alamiah belaka, yang ditafsir dan dituturkan dengan sangat dilebih-lebihkan demi melayani kepentingan-kepentingan religio-politik pihak-pihak tertentu. Kisah-kisah mukjizat pada era mitologis sangat efektif untuk mengangkat citra religio-politis figur-figur yang ditakzimkan.

Kalau dulu klaim-klaim individual tentang mukjizat membuat si pengklaim termashyur, sekarang, dalam era saintifik, klaim-klaim semacam itu ditanggapi dengan sangat skeptis. Kalau dulu klaim-klaim tentang mukjizat menjadi bagian dari bahasa devosi keagamaan, kini semua klaim itu akan diperiksa secara saintifik dengan secermat mungkin dan tanpa pilih bulu. Dalam era saintifik, berlaku ini: extraordainary claims require extraordinary evidence.

Kalau dulu agama dan para nabi memandu perjalanan kehidupan manusia dan kebudayaannya, kini sains dan para saintis, tentu bersama para praktisi seni-budaya, mengambilalih peran pemandu ini. Kalau dalam era mitologis, orang pintar hanya sedikit sebagai para nabi, kini siapapun bisa menjadi pandai dan berwawasan luas dan jauh lewat pendidikan modern di sekolah-sekolah yang terbuka luas untuk umum.

Kalau dulu, dalam era mitologis, sakit influenza dianggap pekerjaan setan yang tak terlihat, kini virus-virus ditemukan sebagai setannya dan ditangkal lewat obat-obat anti-virus. Kalau dulu ritual agama dilakukan untuk mengusir setan dari orang yang sedang sakit perut, kini berbagai jenis antibiotika mengalahkan si setan, dengan mematikan bakteri-bakteri mikrobial jahat yang hidup dalam perut.

Kalau dalam era mitologis, teokrasi dan elitisme mencirikan kehidupan masyarakat, sekarang demokrasi modern dan pendidikan umum mengambil alih. Kalau dulu pengetahuan-pengetahuan tinggi dikuasai segelintir orang dan dirahasiakan, kini ilmu-ilmu tinggi (high sciences) dibeberkan kepada setiap orang yang sedang belajar, yang diminta untuk mengembangkan ilmu-ilmu ini lebih jauh lagi.

Masih sangat banyak perubahan positif yang sudah terjadi dalam era saintifik jika dibandingkan era mitologis. Apakah anda dan bangsa anda sekarang sudah hidup dalam era saintifik, atau masih terpenjara dalam era mitologis? Anda bersalah jika membiarkan bangsa dan negeri anda tetap terkungkung dalam penjara era mitologis, tidak beranjak ke era saintifik, sementara negeri-negeri tetangga anda di Asia, China, Jepang, Korea dan Taiwan, terus melesat dalam pencapaian teknologis dan pengembangan sains.


Saturday, December 22, 2012

350 juta hingga 600 juta tahun setelah big bang


Di atas adalah sebuah foto baru yang diambil oleh Teleskop Antariksa Hubble dalam rangka kampanye 2012 Hubble Ultra Deep Field (HUDF). Foto ini menyingkapkan suatu populasi tujuh galaksi yang sebelumnya tidak terlihat, yang berlokasi sangat jauh di kedalaman samudera jagat raya kita, yang terbentuk ketika jagat raya kita masih berusia sangat muda, yakni 350 juta hingga 600 juta tahun setelah terjadinya big bang 13,72 milyar tahun lalu. Cahaya dari kumpulan tujuh galaksi ini baru tiba sekarang di planet Bumi dan ditangkap oleh Teleskop Hubble. 

Untuk dapat menangkap bagian-bagian jagat raya yang sangat jauh (dari Bumi) para astronom memakai cahaya "near-infrared" karena pengembangan jagat raya menyebabkan cahaya ultraviolet dan cahaya-cahaya lain yang terlihat dari galaksi-galaksi terentang masuk ke dalam panjang gelombang "infrared", sebuah fenomenon yang dinamakan "redshift". Semakin jauh sebuah galaksi, semakin tinggi "redshift"-nya. 

Kajian astronomi yang menghasilkan foto di atas mempunyai tujuan utama untuk menentukan berapa cepat sejumlah galaksi berkembang dari saat ke saat dalam jagat raya perdana. Jika kecepatan ini dapat ditentukan, ini adalah bukti kunci untuk menetapkan berapa cepat galaksi-galaksi membentuk bintang-bintang yang menjadi unsur-unsur besar di dalam galaksi ini.

Para astronom telah lama berdebat mengenap ihwal apakah bintang-bintang yang panas di dalam galaksi-galaksi yang masih sangat muda itu dapat menyediakan radiasi yang cukup untuk menghangatkan hidrogen dingin yang terbentuk segera sesudah big bang. Proses ini, yang disebut "re-ionisasi", dipikirkan telah terjadi 200 juta hingga 1 milyar tahun setelah kelahiran jagat raya 13,72 milyar tahun lalu. Proses ini membuat jagat raya menjadi transparan lewat cahayanya sehingga para astronom dapat melihat mundur jauh ke dalam waktu. Kumpulan tujuh galaksi ini terlihat berada dalam kurun proses ini. 

Astronom dari Universitas Arizona di Tucson, Brant Robertson, menyatakan, "Data kami mengonfirmasi re-ionisasi sebagai suatu proses yang berlangsung gradual, terjadi dalam beberapa ratus juta tahun, dengan galaksi-galaksi perlahan-lahan membangun bintang-bintang dan unsur-unsur kimiawi galaksi-galaksi ini. Tidak ada satu momen tunggal dramatis ketika galaksi-galaksi terbentuk. Pembentukan galaksi-galaksi adalah suatu proses yang berlangsung gradual." Dengan kata lain, kosmos kita juga berevolusi. 

Sumber:
J.D. Harrington, Ray Villard, Donna Weaver, "NASA's Hubble Provides First Census of Galaxies Near Cosmic Dawn", pada http://www.nasa.gov/mission_pages/hubble/science/galaxy-census.html.


Monday, December 10, 2012

Magic and wonder in science

Sim salabim abrakadabra!

Semakin kita memasuki dengan dalam dunia sains, semakin banyak “magic” dan “wonder” kita temukan, yang membuat kita berdecak, terpukau, dan tertunduk dalam-dalam, sejauh magic and wonder dipahami sebagai hal-hal yang tidak biasa, tidak menjadi bagian dari pengalaman sehari-hari kita, hal-hal yang berada di luar ekspektasi normal dan pikiran sehari-hari. Sains dan teknologi modern memberi kita banyak magic dan wonder.

Hemat saya, dunia sains jauh lebih menakjubkan ketimbang klaim-klaim kaum agamawan tentang mukjizat yang dipahami sebagai kejadian-kejadian yang melawan hukum-hukum alam.

Biasanya kita membayangkan cahaya bergerak menurut garis lurus, tak bisa dibengkokkan. Ini pengalaman kita sehari-hari. Tapi apakah cahaya akan masih bergerak lurus jika sedang melewati sebuah black hole di angkasa luar, yang punya energi sangat besar untuk menyedot apapun ke dalamnya? Magic!

Kita biasanya melihat segala sesuatu muncul karena ada penyebabnya: cause menghasilkan effect. Ini pengalaman kita sehari-hari. Tetapi apakah demikian halnya dalam dunia mekanika quantum, dunia partikel-partikel subatomik, di mana sesuatu bisa muncul dari ketiadaan, without cause, from nothing to something? Magic!  


Kita biasa memandang manusia sebagai makhluk berdaging, makhluk biologis. Ini adalah pengalaman sehari-hari kita. Tetapi di ujung dua dekade di depan, sebagaimana diprediksi oleh ilmuwan Ray Kurzweil, biologi akan menyatu dengan teknologi robotik, sehingga akan tercipta bionic humans, percampuran atau hibrida daging dan baja, organ otak dan teknologi kecerdasan buatan. Di awal tahun 2030-an, bionic humans bukan lagi science fiction dalam film-film Hollywood, tapi realitas sehari-hari kita. Sebagai hibrida biologi dan teknologi robotik, organ otak dan teknologi kecerdasan buatan, bionic humans akan cerdas dan kuat luar biasa, tak terbayangkan. A wonder! 

Dalam pengalaman sehari-hari kita sekarang, akhir kehidupan manusia adalah kematian, yang membuat kita lenyap sebagai biologi yang membusuk. Tapi dengan sains cryogenics dan teknologi cryonics yang sekarang masih embrionik dan sedang dikembangkan, jasad manusia yang mati, yang sudah dibekukan absolut, akan bisa dihidupkan kembali apa adanya, pada waktu yang diminta dan disepakati. Magic!  

Dalam kehidupan sehari-hari sekarang ini, kepada kita terus-menerus diajarkan bahwa kehidupan itu pemberian Tuhan, dan hanya dari Tuhan datangnya. Tapi sains biologi sintetis kini, sebagaimana dipelopori oleh Craig J. Venter di Amerika Serikat, sudah bisa menciptakan kehidupan (dalam bentuk sel-sel sintetik yang bisa memperbanyak diri) hanya dari zat-zat kimiawi yang mati yang persenyawaannya diatur oleh informasi genomik yang disampaikan sebuah komputer. Magic!  

Dalam pengalaman sehari-hari sekarang ini, kita menerima terapi dan pengobatan modern lewat dokter dan alat-alat besar teknologi kedokteran. Tapi nanti saat nanoteknologi sudah advanced, yang akan menyembuhkan kita adalah mesin-mesin sebesar molekul yang disuntikkan ke dalam tubuh kita. Mesin-mesin sebesar molekul ini akan dikendarai robot yang akan berperang melawan sel-sel kanker dalam tubuh kita. Magic!  

Jadi, sekali lagi, ketika sains dan teknologi melesat maju, kita akan hidup seolah dalam dunia magic and wonder. Ilmuwan terkenal, Arthur C. Clarke, dengan tepat menyatakan, “Any sufficiently advanced technology is indistinguishable from MAGIC.” Amboi!

Sunday, December 9, 2012

Dr. Wendi Zarman mau membangun sains Islam?!

Seorang teman yang manis (bernama Lila) memberi saya sebuah tulisan bertema “Sains Islam” oleh Dr. Wendi Zarman yang terpasang online di http://www.hidayatullah.com/read/26246/07/12/2012/mengislamkan-sains:-apanya-yang-diislamkan?-.html. Saya tahu, Lila ingin saya menanggapi tulisan Dr. Zarman ini. Ok-lah, Lila! Tapi, silakan anda yang lain membaca dulu tulisan Dr. Zarman itu.



Saya baca tulisan Dr. Zarman itu sampai tiga kali untuk menemukan isi sains Islam-nya; tapi saya tak menemukannya sama sekali. Saya sangat berharap dapat menemukan matematika Islam, fisika Islam, ilmu kedokteran Islam, astronomi Islam, dll. Tapi tak ada di dalam tulisannya itu.

Saya hanya bisa menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan “sains Islam” oleh Dr. Zarman adalah teologi Islam tentang apa itu sains dan bagaimana sains itu harus dimanfaatkan. Yang menyusahkan hati saya adalah Dr. Zarman menyamakan teologi Islam tentang sains dengan sains itu sendiri.

Dalam teologi Dr. Zarman, sains adalah usaha memahami/menjelaskan alam sebagai ayat dan tanda keberadaan Alloh SWT. Jika sains dipandang sebagai suatu usaha menyingkap ayat dan tanda keberadaan Alloh, bagi Dr. Zarman, umat Islam akan bisa memanfaatkan sains dengan baik dan benar. Jadi, yang disampaikan Dr. Zarman bukanlah isi sains Islam per se, tapi moral Islam dalam pemanfaatan sains.

Ya, hal yang disampaikan oleh Dr. Zarman tentu saja akan bisa diterima oleh orang non-Muslim juga, bahkan oleh orang ateis. Siapa yang tidak setuju jika sains harus digunakan dengan bermanfaat oleh manusia, apapun agama mereka? Silakan saja umat Islam memakai astronomi untuk keperluan menentukan waktu ibadah, matematika untuk menghitung warisan, dst.  

Yang ingin saya temukan, misalnya matematika Islam, atau astronomi Islam, ilmu ukur Islam, ilmu kedokteran Islam, psikologi Islam, dll, apakah akan bisa ada dalam dunia ini? Misalnya, menurut ilmu ukur Islam, sudut siku-siku bukan 90 derajat, tapi 97 derajat, sudut lingkaran bukan 360, tapi 357 derajat. Atau, Dr. Zarman bisa usulkan, menurut kosmologi Islam, jagat raya kita baru berusia 6000 tahun, bukan 13,72 milyar tahun. Atau, Dr. Zarman bisa usulkan, menurut ilmu kedokteran Islam, segumpal janin dalam rahim seorang ibu memerlukan masa 2 tahun dalam kandungan sebelum dilahirkan sebagai seorang bayi yang sehat. Atau, dalam neurobiologi Islam, Dr. Zarman dapat mengusulkan bahwa setiap insan Muslim berpikir tidak dengan mekanisme neurologis dalam otak, tetapi dengan mekanisme kardiologis dalam jantung. Nah, sains-sains Islam yang khas dan unik inilah yang saya mau temukan dari pemikiran Dr. Zarman. Tapi dia tidak menyodorkannya; padahal saya berharap minimal contoh-contoh kecilnya saja dapat saya temukan dalam tulisannya.

Dr. Zarman juga menegaskan bahwa sains Islam harus pertama-tama bertolak dari “pengakuan” akan wujud dan keberadaan Tuhan Alloh SWT. Kalau memakai istilah sains yang umum, “pengakuan” (atau “keimanan”) disebut sebagai “aksioma” atau “postulat”. Ya, Dr. Zarman tentu benar, sebab setiap sains, termasuk sains eksakta, bukan hanya sains Islam, berpijak pada suatu aksioma atau postulat. Aksioma atau postulat adalah sebuah pernyataan tentang sesuatu yang kebenarannya tak diragukan lagi, hanya diterima benar apa adanya, tak perlu dibuktikan.  

Tapi ada perbedaan sangat mendasar antara aksioma dalam dunia sains, dan kepercayaan atau pengakuan atau iman dalam agama sebagai aksioma. Aksioma dalam sains jelas terlihat, bisa objektif digambarkan dengan angka, coretan, tanda, simbol, bentuk, dll, pada papan tulis atau pada layar LCD komputer anda. Aksioma dalam agama tidak demikian.  

Ambil contoh sebuah aksioma geometri (Euklidean, dari 5 aksioma yang ada): garis lurus adalah jarak terpendek dua buah titik. Aksioma ini bisa digambar pada bidang datar papan tulis dan berlaku universal dan abadi. Aksioma yang ditegaskan Dr. Zarman adalah aksioma agama: Alloh SWT itu ada. Aksioma Dr. Zarman ini tak bisa digambarkan pada papan tulis dalam bentuk apapun, dan tidak berlaku universal: bagi orang Yahudi, Yahweh Elohim yang menyatakan diri kepada Nabi Musa adalah Allah mereka; bagi orang Kristen, Allah mereka memiliki tiga kepribadian yang tidak bercampur dan juga tidak terpisah; bagi orang Yunani kuno, Dewa Zeus adalah Allah teragung mereka. Jadi, sebetulnya, setiap orang beragama akan mengakui dan mempercayai Allahnya sendiri saja, dan akan menolak untuk mengakui dan mempercayai Allah orang beragama lain. Tidak ada teologi yang universal!

Nah, kalau Dr. Zarman ingin membangun sains Islam, dia minimal harus tunjukkan bahwa isi aksioma atau isi pengakuan imannya itu ada, bisa diperlihatkan, bisa digambar pada papan tulis. Artinya: kalau sains Islam mau dibangun dan harus diakui sebagai sains, semua aksioma Dr. Zarman harus bisa diperlihatkan objektif ada. Tegasnya: Dr. Zarman harus bisa minimal menggambarkan di papan tulis bahwa Alloh SWT itu ada, jika dia mau membangun sains Islam yang betul-betul sains, bukan agama yang “disains-sainskan”, atau sains yang “diagama-agamakan”.

Dr. Zarman juga telah dengan keliru menyatakan bahwa dalam sains modern, alam atau jagat raya dinilai sangat rendah oleh para saintis. Kata Dr. Zarman, jagat raya telah kehilangan makna rohani transendentalnya di mata para saintis sekuler. Betulkah? Tidak betul!

Setahu saya, jagat raya dengan segala kebesaran dan misterinya memukau hampir semua saintis yang mengeksplorasinya. Albert Einstein, misalnya, mengakui bahwa dia masuk ke dalam suatu “suasana spiritual” non-agamawi ketika dia terpesona dan dibuat kagum oleh struktur harmonis jagat raya yang tanpa batas. Richard Feynman menyatakan bahwa ketika dia memandang langit malam dari suatu kawasan di padang gurun, dia “merasakan” keindahan jagat raya dan bukan hanya mau menjelaskannya secara saintifik. Saya sendiri sedang mengembangkan sebuah spiritualitas yang saya namakan spiritualitas saintifik; simak di http://ioanesrakhmat.blogspot.com/2012/12/menuju-spiritualitas-saintifik.html. Selain itu, dalam sains sendiri orang dapat menemukan banyak “magic” dan “wonder”, seperti beberapa di antaranya telah saya beberkan di  http://www.ioanesrakhmat.blogspot.com/2012/12/magic-and-wonder-in-science.html.

Tetapi ada perbedaan sikap antara para agamawan dan para saintis ketika mereka masing-masing menatap pada kebesaran jagat raya dan misteri-misterinya. Para agamawan berusaha keras untuk menjaga misteri-misteri alam, yang diyakini mereka sebagai misteri-misteri ilahi yang tak boleh ditembus dan tak akan bisa dijelaskan; semakin mereka tak bisa memahami dan tak bisa menjelaskan misteri-misteri jagat raya, semakin yakin dan tahu mereka bahwa Allah itu ada. Sebaliknya, para saintis justru terdorong kuat untuk menyibak dan menembus semua misteri alam, tentu saja secara bertahap dan dengan tak kenal lelah. Kalau para saintis masih belum bisa menyibak sebuah misteri jagat raya, ya mereka dengan lapang dada akan mengakui keterbatasan mereka, dan tak akan membuat pernyataan-pernyataan yang spektakuler tanpa bukti apapun. Dalam dunia sains berlaku ini: extra-ordinary claims require extra-ordinary evidence! Jika anda mengajukan klaim-klaim yang luar biasa, sains menuntut anda untuk mengajukan bukti-bukti yang juga luar biasa untuk menopang kebenaran klaim-klaim anda itu!

Pada akhirnya adalah sebuah pertanyaan: Apakah mungkin membangun apa yang dinamakan sains agama atau sains skriptural? Usaha membangun sains agama atau sains skriptural adalah usaha keliru yang sia-sia belaka, seperti usaha menjaring angin, atau seperti usaha mengecat hamparan langit biru dengan cat warna merah. Kenapa?

Kata “sains” dan kata “agama” adalah dua kata yang bertabrakan satu sama lain, khususnya pada level epistemologi. Sains memakai epistemologi evidensialis (Latin: evidentia/bukti): setiap klaim saintifik yang benar dan absah harus dilandaskan pada bukti-bukti objektif autentik. Suatu kesimpulan saintifik, yang semula dijadikan hipotesis, ditarik lewat bukti, eksperimentasi, observasi, perhitungan matematis, pengukuran, dan penalaran yang konsisten, dan mempunyai kemampuan prediktif. Agama memakai epistemologi revelatif fideis: sesuatu diterima benar jika bersumber dari wahyu (Latin: revelationem) yang diterima hanya dengan iman (Latin: fidem), tanpa bukti. Jadi, menggabung kata “sains” dan kata “agama” hanya menghasilkan sebuah istilah yang berkontradiksi pada dirinya sendiri (contradictio in terminis)! Jadi, beritahu Dr. Zarman di Institut Teknologi Bandung, membangun sains agama adalah suatu kegiatan yang naif dan sia-sia serta menyesatkan dan tidak mencerdaskan bangsanya sendiri, dan bisa ada hanya dalam dunia retorika saja sebagai oxymoron, tidak dalam dunia akademik.

Akhir kata: pernyataan Dr. Zarman “sains mendorong orang semakin religius” adalah sebuah pernyataan yang sangat patut diragukan kebenarannya! Kalau menurutnya hanya sains Islam yang dapat mendorong orang semakin religius, saya menunggunya untuk membeberkan isi sains Islamnya, sains Islam yang benar-benar sains, bukan teologinya tentang apa itu sains. Let science be science! Don't religionize science!