Saturday, October 17, 2009

Kekristenan Yahudi Komunitas Elkesaites

Reincarnation and the Universe
“… bahwa Kristus bukanlah pertama kalinya dilahirkan di bumi ..., tetapi sebelumnya dan juga selanjutnya berulang kali dia telah dan akan dilahirkan. Dengan demikian, Kristus akan muncul dan hidup di antara kita dari waktu ke waktu, dan mengalami perubahan-perubahan kelahiran, dan jiwanya dipindahkan dari satu tubuh ke tubuh lainnya….”
(sebuah kutipan dalam apologi Hippolytus, Menolak Semua Bidah, Buku IX.9)
Komunitas Elkesaites (Yunani: Elkesaitai) adalah suatu komunitas Yahudi-Kristen awal yang dibangun oleh seorang nabi atau seorang penerima wahyu yang bernama Elkesai (Yunani: Ēlkhasai); dari nama orang inilah dikenal nama Elkesaites. Keberadaan dan pandangan teologis komunitas ini akan kita ketahui dengan cukup terang kalau laporan Hippolytus (dalam tulisannya Menolak Semua Bidah, Buku IX.8-12), laporan Epifanius (dalam karyanya Panarion, atau yang juga dikenal sebagai Adversus Haereses, dalam pasal 19 yang menempatkan komunitas ini di antara kelompok Essenis, dalam pasal 30 yang menempatkan komunitas ini di antara kalangan Yahudi-Kristen Ebionim, dan dalam pasal 53 yang menempatkannya di antara kalangan Sampsaean), dan juga laporan Origenes (sebagaimana dikutip oleh Eusebius, Historia Ecclesiastica [HE], atau Sejarah Gereja, Buku VI, pasal 38, dan juga Buku III, pasal 27.5) bersama-sama kita perhatikan.

Dalam suatu bagian dari tafsirannya atas Mazmur 82, Origenes menyatakan hal berikut (Eusebius, HE, Buku VI.38):
[Sumber http://www.ccel.org/ccel/schaff/npnf201.iii.xi.xxxviii.html]
“Seseorang yang bernama Alkiabades, menurut Hippolytus, baru saja datang dan dengan sangat congkak membesar-besarkan kemampuannya. Dialah orangnya yang memberitakan pendapatnya yang durhaka dan tidak saleh, yang telah beredar akhir-akhir ini di antara gereja-gereja, yaitu pendapat yang berasal dari kelompok Elkesaites. Aku akan tunjukkan kepadamu hal-hal buruk apa yang diajarkan dalam pendapatnya itu, supaya kamu tidak terpesona olehnya. Pendapatnya ini menolak bagian-bagian tertentu dari setiap kitab suci. Selain itu, kelompok ini memakai bagian-bagian dari Perjanjian Lama dan Injil, tetapi menolak sang Rasul sama sekali (ton apostolon teleon athetei). Menurut pandangan mereka, menyangkali Kristus adalah suatu hal yang biasa-biasa saja; dan orang yang mengerti hal ini akan, jika keadaan memaksa, menyangkalinya dengan mulutnya, tetapi tidak di dalam hatinya. Mereka menghasilkan sebuah kitab yang mereka katakan telah diturunkan dari surga. Menurut mereka barangsiapa yang mendengar dan memercayai kitab ini akan menerima penghapusan dosa, suatu penghapusan dosa yang berbeda dari yang Yesus Kristus telah berikan. Begitulah halnya dengan orang-orang ini.”
Yang perlu diperhatikan dari kutipan di atas adalah bagian-bagian yang diberi garis bawah. Nama Elkesaites muncul dalam laporan Origenes ini. Komunitas ini memiliki sebuah kitab, yang diklaim oleh mereka sebagai sebuah kitab yang diwahyukan dari surga. Tentu kitab ini dihubungkan dengan Elkesai sebagai orang yang diakui sebagai penerima wahyu yang tercatat dalam buku itu. Bagi komunitas ini, Elkesai tentu adalah nabi mereka. Berdasarkan kitab yang diklaim diwahyukan ini, mereka mempraktekkan suatu ritual penghapusan atau pengampunan dosa yang berbeda dari yang diberikan Yesus Kristus. Ritual pengampunan dosa yang seperti apa ini, sekarang ini kita belum dapat mengetahuinya dengan pasti. Komunitas ini menolak bagian-bagian tertentu dari Kitab Suci; bagian-bagian mana yang ditolak mereka, tidak dinyatakan dengan jelas oleh Origenes. Yang pasti, bagian-bagian Perjanjian Lama lainnya mereka pakai, dan juga kitab-kitab Injil. Tetapi dengan tegas dinyatakan bahwa mereka menolak sang Rasul—jelas rasul yang ditolak ini adalah Rasul Paulus, sesuatu yang memang sudah kita ketahui sebagai suatu ciri kuat kekristenan Yahudi awal.

Hal-hal yang belum jelas benar dalam kutipan dari Origenes di atas akan tampak jelas kalau rujukan-rujukan lain terhadap komunitas Elkesaites kita perhatikan. Selanjutnya, fokus kita arahkan pada laporan-laporan Hippolytus dalam karyanya Menolak Semua Bidah, Buku IX.8-12. [Sumber http://www.earlychristianwritings.com/text/hippolytus9.html]

Hippolytus melaporkan bahwa seorang yang bernama Alkibiades, yang berdiam di Apamea, sebuah kota di Syria, berangkat ke kota Roma dengan membawa sebuah kitab. Kitab ini, kata Alkibiades, telah diterima Elkesai dari penduduk kota Serae di Parthia, lalu dia memberikannya kepada seseorang yang bernama Sobiai. Selanjutnya Hippolytus menulis:
“Dan isi kitab itu, katanya, konon telah diwahyukan oleh seorang malaikat yang tingginya 24 skhoenoi, yang sama dengan 96 mile, dan yang lebarnya 4 skhoenoi [=16 mile], dan jarak kedua pundaknya 6 skhoenoi [=24 mile]; dan panjang jejak-jejak kakinya 3,5 skhoenoi, yang sama dengan 14 mile, sementara lebarnya 1,5 skhoenoi [=6 mile], dan tingginya setengah skhoenoi [=2 mile]. Lalu katanya ada juga seorang malaikat perempuan bersamanya, yang ukurannya, katanya, sama dengan ukuran yang sudah disebut. Dan dia menegaskan bahwa sang malaikat prianya adalah Anak Allah, tetapi sang malaikat perempuannya dinamakan Roh Kudus” [IX.8]
Tentu apa yang dilaporkan Hippolytus di atas mengenai dua malaikat dan ukuran postur tubuh mereka dapat merupakan suatu bagian pendahuluan imajinatif dari kitab yang diwahyukan, yang telah diterima Elkesai dari penduduk kota Serae. Tetapi, jangan diabaikan bahwa kutipan di atas menunjukkan bahwa komunitas Elkesaites yang memakai kitab ini adalah komunitas Kristen, sebagaimana diperlihatkan oleh pemakaian dua sebutan yang khas Kristen: “Anak Allah” dan “Roh Kudus” sebagai para pemberi wahyu.

Selanjutnya dilaporkan Hippolytus bahwa Alkibiades menyatakan:
“‘Bahwa telah dikhotbahkan di antara manusia perihal suatu penghapusan dosa secara baru dalam tahun ketiga pemerintahan Kaisar Trajanus.’ Dan Elkesailah yang menentukan sifat baptisannya, dan bahkan tentang hal ini aku akan menjelaskannya. Katanya, mengenai orang-orang yang telah melakukan berbagai macam perbuatan seksual yang tak tertahankan, percabulan, dan tindakan-tindakan yang keji, jika mereka adalah orang-orang yang percaya, maka dialah yang menetapkan bahwa orang-orang yang semacam itu, setelah bertobat dan menaati kitab itu dan memercayai isinya, harus melalui baptisan menerima penghapusan semua dosa mereka.” [IX.8]
Sekarang jelaslah bahwa yang dimaksud dengan ritual baru penghapusan dosa yang tidak diajarkan Yesus Kristus adalah ritual baptisan yang dilakukan terhadap para pendosa berat yang telah bertobat dan memperlihatkan ketaatan dan kepercayaan mereka terhadap kitab yang diwahyukan itu. Sifat ritual baptisan ini ditentukan oleh Elkesai sebagai sang nabi komunitas Elkesaites. Apakah ritual ini suatu baptisan Kristen, akan menjadi jelas pada bagian-bagian selanjutnya dari laporan Hippolytus. Selanjutnya ditulis bahwa ritual penghapusan dosa secara baru itu diberitakan “dalam tahun ketiga pemerintahan Kaisar Trajanus.” Rujukan ke tahun ketiga masa pemerintahan Kaisar Trajanus menempatkan kemunculan komunitas Elkesaites pada tahun 100 M. Epifanius, dalam Panarion 19.1.4, juga menempatkan kemunculan komunitas ini secara umum pada masa pemerintahan Trajanus.

Dalam pasal 9, Buku IX, selanjutnya Hippolytus menulis:
“Sebagai sebuah perangkap, Elkesai ini membuat sebuah kebijakan pemerintahan atas komunitasnya yang katanya diundangkan oleh Taurat; dia menyatakan bahwa orang-orang yang percaya harus disunat dan hidup sepenuhnya sejalan dengan Taurat…. Dan dia menegaskan bahwa Kristus telah dilahirkan sebagai seorang manusia biasa, dengan cara yang sama seperti semua orang lainnya, dan bahwa Kristus bukanlah pertama kalinya dilahirkan di bumi ketika dia dilahirkan oleh seorang perawan, tetapi sebelumnya dan juga selanjutnya berulang kali dia telah dan akan dilahirkan. Dengan demikian, Kristus akan muncul dan hidup di antara kita dari waktu ke waktu, dan mengalami perubahan-perubahan kelahiran, dan jiwanya dipindahkan dari satu tubuh ke tubuh lainnya…. Dan mereka [komunitas Elkesaites] mengajarkan jampi-jampi dan formula-formula bagi orang-orang yang telah digigit anjing dan kerasukan setan serta dikuasai berbagai macam penyakit….”
Kutipan di atas dengan terang memperlihatkan bahwa komunitas Elkesaites ini adalah komunitas Yahudi-Kristen yang mempraktekkan sunat dan menjalankan Hukum Taurat sepenuhnya. Kristologi yang mereka anut jelas, pada satu pihak, adalah kristologi adopsionis bahwa Yesus Kristus adalah seorang manusia biasa yang dilahirkan dengan cara yang sama seperti kelahiran semua orang lainnya. Kita sudah tahu bahwa dalam pandangan kekristenan Yahudi Ebionim, Yesus Kristus yang adalah seorang manusia biasa diangkat atau diadopsi menjadi Anak Allah pada waktu dia dibaptiskan oleh Yohanes Pembaptis. Epifanius, dalam Panarion, Buku I, pasal 30.3.1, menyatakan bahwa nabi Elkesai adalah sumber pertama kristologi adopsionis, yang kemudian juga dipegang oleh komunitas Yahudi-Kristen Ebionim (lihat juga Eusebius, Historia Ecclesiastica,Buku III, pasal 27.2). Tetapi, luar biasanya, komunitas Elkesaites memasukkan kepercayaan pada reinkarnasi Yesus Kristus yang berlangsung terus-menerus ke dalam pemikiran kristologis mereka. Kepercayaan pada reinkarnasi Kristus yang berulang-ulang ini juga dinyatakan oleh Epifanius sebagai suatu doktrin kristologis komunitas Ebionim (lihat Epifanius, Panarion 30.12.5). Penyebutan “dilahirkan dari seorang perawan” dalam kutipan di atas tidak sejalan dengan kristologi adopsionis; karena itu penyebutan ini sudah seharusnya dipandang sebagai sisa-sisa tradisi khas Kristen yang tertinggal dalam pikiran komunitas ini dan tidak berperan penting dalam kristologi mereka.

Dalam pasal 10 buku yang sama, Hippolytus melanjutkan:
“Maka kepada orang-orang yang telah diajar secara lisan olehnya, dia menjalankan ritual baptisan dengan cara berikut ini. Dia menyampaikan kata-kata ini kepada orang-orang yang ditipunya: ‘Karena itu, wahai anak-anakku, jika seseorang telah berhubungan seksual dengan seekor binatang apapun, atau dengan seorang laki-laki, atau dengan saudara perempuannya, atau dengan anak gadisnya, atau telah melakukan perbuatan mesum, atau telah bersalah karena percabulan, dan orang itu ingin mendapatkan pengampunan dari semua dosanya, maka pada saat dia mendengar kitab ini hendaklah dia dibaptis untuk keduanya kalinya di dalam nama Allah Yang Maha Besar dan Maha Tinggi, dan di dalam nama Anaknya, sang Raja Perkasa. Dan dengan baptisan ini hendaklah dia dimurnikan dan ditahirkan, dan hendaklah dia meminta dengan sangat untuk dirinya sendiri tujuh saksi yang telah dijelaskan dalam kitab ini, yakni surga, air, roh-roh suci, malaikat-malaikat pendoa, minyak, garam dan tanah’”
Kutipan di atas membuat jelas ritual baptisan apa yang dilaksanakan di komunitas Elkesaites ini, yakni ritual baptisan yang diadakan dalam nama Allah dan dalam nama sang Anak, yaitu Yesus Kristus. Jelas ini adalah ritual baptisan Kristen yang dilaksanakan sebagai baptisan kedua, atau ritual baptis ulang yang harus dijalankan seseorang ketika dia menjadi bagian dari komunitas ini dan ketika mau menerima penghapusan dosa mereka. Sebelum ritual baptis ulang ini dijalankan, bagian-bagian tertentu isi kitab yang diwahyukan kepada Elkesai dibacakan di hadapan para calon baptis ulang ini, dan sesudah itu mereka harus menyebut dan memperlihatkan benda-benda tertentu yang sudah ditetapkan dalam kitab itu sebagai tujuh saksi ritual pembaptisan mereka. Tampaknya, komunitas Elkesaites ini mempraktekkan baptisan ulang berkali-kali sebanyak pengampunan dosa yang diinginkan anggota-anggotanya.

Pada Buku IX, pasal 11, Hippolytus mengutip ucapan Elkesai, demikian:
“…. Selain itu, hormatilah hari Sabat, sebab hari Sabat adalah salah satu hari dari sekian hari berkuasanya kekuatan bintang-bintang [=bintang-bintang yang berpengaruh jahat yang menimbulkan ketidaktaatan umat]. Akan tetapi, ingat dan perhatikanlah bahwa kamu jangan memulai pekerjaanmu pada hari ketiga sejak hari Sabat, sebab ketika tiga tahun masa pemerintahan Kaisar Trajanus dipenuhi lagi sejak dia menaklukkan bangsa Parthia ke dalam kekuasannya, ketika, kataku, tiga tahun telah dipenuhi, maka di antara malaikat-malaikat yang tidak taat dari gugusan bintang-bintang utara perang akan berkobar; dan karena hal ini, semua kerajaan kedurhakaan berada dalam suatu keadaan kebingungan.”
Komunitas Elkesaites memegang teguh penghormatan pada hari Sabat, berdasarkan suatu alasan yang tidak diambil dari Kitab Suci Yahudi, tetapi berdasarkan suatu perhitungan astrologis tertentu. Eusebius, dalam karyanya Historia Ecclesiastica, atau Sejarah Gereja, Buku II, pasal 27.5, menyatakan bahwa orang-orang Yahudi-Kristen, antara lain komunitas Ebionim, menghormati dan menguduskan hari Sabat, tetapi mereka juga merayakan hari Tuhan sebagai hari peringatan kebangkitan Yesus Kristus. Penyebutan “hari ketiga sejak Sabat” yang diparalelkan dengan penyebutan “tiga tahun masa pemerintahan Kaisar Trajanus . . . sejak dia menaklukkan bangsa Parthia” ditempatkan dalam suatu kerangka nubuat tentang kapan akan terjadi kekacauan di dunia bintang-bintang, dengan kata lain, ditempatkan dalam suatu nubuat tentang kapan dunia akan berakhir dalam suatu peperangan yang akan melibatkan kekaisaran Romawi. Penaklukan bangsa Parthia oleh Kaisar Trajanus terjadi pada tahun 115 M; dan tiga tahun sejak penaklukan ini jatuh pada tahun 117. Karena sang nabi Elkesai melihat tahun 117 sebagai saat dunia berakhir, tentu dia melihat dirinya sudah tidak akan ada lagi pada tahun 117 ini. Meskipun nubuatnya ini meleset, setidaknya kita dapat menyimpulkan bahwa nabi Elkesai aktif antara tahun 100 sampai tahun 117.

Selanjutnya, menurut Epifanius (Panarion 19.3.5), dalam kitab yang diwahyukan kepada nabi Elkesai ditentukan bahwa pada saat setiap anggota komunitasnya berdoa, kiblat mereka harus ke kota Yerusalem. Sudah kita ketahui dalam sebuah tulisan sebelumnya, Irenaeus (dalam bukunya Melawan Para Bidah, Buku I, pasal 26.2) menyatakan bahwa kaum Ebionim memperlakukan dan menguduskan kota Yerusalem sebagai “rumah Allah” dan mereka berdoa dengan berkiblat ke kota yang disucikan ini. [Tulisan Irenaeus, Against Heresies, atau Melawan Para Bidah, dapat dilihat pada http://www.ccel.org/ccel/schaff/anf01.ix.ii.xxvii.html]

Menurut Epifanius juga (Panarion, 19.3.6; bdk Pseudo-Klementin Rekognisi 1.37), komunitas Elkesaites dan komunitas Ebionim sama-sama menolak dan memusuhi ritual penyembelihan hewan kurban sebagai suatu ritual penebusan dosa. Nah, pertanyaan di atas tentang bagian-bagian mana dari Kitab Suci Yahudi yang tidak dipakai atau disingkirkan oleh komunitas Elkesaites sekarang dapat dijawab, yakni bagian-bagian Tenakh yang memuat uraian dan perintah untuk melaksanakan ritual penyembelihan hewan kurban sebagai kurban penebus dosa. [Untuk terjemahan Inggris karya Epifanius, Panarion, lihat Frank Williams, transl., The Panarion of Epihanius of Salamis (Leiden: E. J. Brill, 1987 & 1997 [Book I]; 1994 [Book II and Book III])]

Pada pasal 12, Buku IX, dari bukunya Menolak Semua Bidah, Hippolytus kembali mengutip sebuah ucapan peringatan yang disampaikan nabi Elkesai kepada komunitasnya, demikian:
“‘Janganlah kamu menceritakan hal-hal yang sudah kukatakan ini kepada semua orang, dan jagalah dengan hati-hati semua perintah yang telah kuberikan, karena semua orang laki-laki sudah tidak setia, dan semua perempuan juga tidak lurus hati.’”
Ucapan Elkesai ini menunjukkan bahwa komunitas Yahudi-Kristen yang dibangunnya dikehendakinya menjadi suatu komunitas eksklusif yang tidak memikul tugas memberitakan keyakinan-keyakinan mereka kepada dunia luar; dan dia sendiri memandang semua orang, laki-laki dan perempuan, yang ada di luar komunitasnya sebagai orang-orang yang sudah tidak setia dan tidak lurus hati, alias tidak dapat dipercaya untuk menerima wahyu yang dimilikinya. Mentalitas yang menutup diri semacam ini biasanya muncul di dalam diri suatu komunitas minoritas di tengah dunia yang luas, yang tidak bisa memercayai bahwa di luar komunitas mereka masih ada orang-orang yang bisa setia dan bisa lurus hati. Biasanya juga, komunitas yang semacam ini memandang dunia ini akan segera berakhir, sehingga yang lebih diperlukan oleh mereka adalah mempersiapkan dan memantapkan serta mengonsolidasi diri dengan taat dan kuat ketimbang mewartakan doktrin-doktrin kepercayaan mereka kepada dunia luar. Seperti sudah kita catat di atas, nabi Elkesai memang memandang dunia ini akan segera berakhir pada tahun 117, ketika pekerjaannya dan kehidupan komunitasnya baru berlangsung selama 17 tahun.

Rangkuman
Komunitas Elkesaites yang dipimpin nabi Elkesai, dari tahun 100 sampai tahun 117, yang bisa jadi berdiam di perbatasan Syria-Parthia, di bagian dataran tinggi Sungai Efrat, adalah suatu komunitas Yahudi-Kristen yang memegang kepercayaan-kepercayaan dan praktik-praktik keagamaan berikut:
  1. Menolak bagian-bagian Tenakh yang memuat uraian dan perintah serta aturan ritual penyembelihan hewan kurban sebagai kurban penebus dosa menurut kepercayaan Yahudi;
  2. Menolak Rasul Paulus dengan tegas;
  3. Memegang kristologi adopsionis dan tidak memberi tempat penting pada doktrin Kristen tentang kelahiran Yesus dari perawan Maria;
  4. Memercayai reinkarnasi Yesus Kristus yang terus-menerus terjadi;
  5. Melaksanakan ritual baptis ulang berkali-kali yang dilakukan dalam nama Allah dan dalam nama Yesus Kristus sebagai ritual penghapusan dosa umat;
  6. Menghormati dan menguduskan hari Sabat berdasarkan suatu alasan astrologis;
  7. Menjalankan suatu kehidupan yang sepenuhnya sejalan dengan Taurat;
  8. Mewajibkan semua anggota komunitas untuk disunat;
  9. Mengambil kiblat ke kota Yerusalem ketika berdoa;
  10. Memiliki seorang nabi yang bernama Elkesai, yang dipercaya sebagai penerima sebuah kitab yang berisi wahyu ilahi yang isinya harus ditaati seluruh anggota komunitas;
  11. Sang nabi komunitas ini memercayai bahwa dunia akan segera berakhir dalam waktu singkat;
  12. Komunitas Elkesaites mengambil suatu bentuk kehidupan eksklusif yang menutup diri dari dunia luar karena keyakinan mereka bahwa dunia akan segera berakhir.