Monday, April 19, 2021

Puisiku: Wahai Adam!


WAHAI ADAM!

Ketika Yahweh ke sana sini berjalan
Di sebuah taman segala impian
Taman Eden yang indah berkilauan
Yahweh merasa sunyi sepi sendirian

Resahlah hati dan pikiran Yahweh
Ada yang kurang, lirih Yahweh
Taman indah ini sudah Kuciptakan
Tapi mengapa Aku tak terpuaskan?

Yahweh pun duduk termenung sunyi
Di atas sebuah batu tempat semedi
Seekor simpanse kikuk menghampiri
Menarik-narik Yahweh main adu lari

Hanya sebentar Yahweh mau main adu lari
Lalu hati Yahweh kembali kosong sunyi
Pikiran Yahweh pun mengembara tinggi
Mencari-cari jawaban kesunyian diri

Imajinasi Yahweh menari memandu
Bayang demi bayang melintas berlalu
Yahweh pun dituntun ke sebuah danau
Yang airnya jernih berkilau-kilau

Letak danau itu persis di tengah taman
Lalu Yahweh menunduk bercermin
Langsung Yahweh tertegun tak tertahan
Saat melihat wajah-Nya yang rupawan

Ah, ini jawaban yang Aku cari-cari
Seru Yahweh dengan wajah riang berseri
Aku butuh teman yang serupa diri-Ku
Seorang sobat yang segambar dengan-Ku

Jiwa seni Yahweh pun kini memandu
Dengan telunjuk-Nya batu semedi dipahat
Dari batu terbentuk sosok yang dirindu
Sosok tegap Adam rekan sejawat

Inilah dia gambar dan rupa diri-Ku
Teriak Yahweh sambil menari ayu
Kepada Adam Yahweh beri nafas hidup
Jantung Adam langsung berdegup

Jadilah Adam makhluk yang hidup
Dihembuskan Yahweh lagi roh kesadaran
Disusul hembusan roh pengetahuan
Cukupkah sudah bekal Adam untuk hidup?

Yahweh dan Adam seterusnya berkawan
Tak pernah lagi Yahweh merasa kesepian
Adam kawan Yahweh yang sepadan
Bersama simpanse mereka kerap berlarian

Pada mulanya adalah imajinasi dan seni
Yahweh menari lewat seni dan imajinasi
Tarian Yahweh bergelombang enerji
Dari enerji Adam lahir ke dunia ini

Tapi giliran Adam pun datang perlahan
Dia juga akhirnya merasa sunyi sendirian
Meski selalu ditemani Yahweh berduaan
Adam pun terus mencari-cari jawaban

Ah, Yahweh, ku ingin dapat kawan yang lain
Puteri Sophia sang kebijaksanaan
Sang puteri pun oleh Yahweh diciptakan
Dari tulang rusuk sang Adam yang rupawan

Wahai Adam, engkau akan selamanya
Menjadi makhluk yang penuh tanya
Mencari jawaban yang belum tersedia
Puteri Sophia ada di jalanmu selamanya!

Wahai Adam, Manusia arif cendekiawan
Begitu satu jawaban engkau temukan
Muncul lagi seribu pertanyaan
Menjadikan hidupmu bermakna bertujuan

Selalu ikuti pengetahuan dan kearifan
Supaya kau sadar arah langkah diayunkan
Di saat engkau sendiri dalam perjalanan
Bak elang sendirian terbang di awan-awan


Jakarta, 19 April 2021
ioanes rakhmat

Friday, April 16, 2021

MASALAH-MASALAH GLOBAL BESAR Vaksinasi di Masa Pandemi Covid-19

Tantangan besar vaksinasi global


Sejauh saya amati, kini sedang timbul optimisme kuat sedunia bahwa pandemi Covid-19 akan dapat cepat diatasi lewat vaksin-vaksin yang efektif. Betulkah optimisme ini?

Rasa berpuas diri juga muncul di sangat banyak negara dan bangsa atas keberhasilan mereka dalam mengembangkan vaksin-vaksin yang dapat diandalkan untuk memutus mata rantai penularan virus corona baru.

Protokol kesehatan 4-5M pun mulai dilonggarkan, bahkan di sejumlah negara (atau negara bagian) sudah diangkat sama sekali, atau sudah tidak dihiraukan penduduk di banyak negara.

Dorongan untuk kembali sepenuhnya ke dalam kehidupan normal pra-pandemi Covid-19 niscaya sangat kuat muncul dalam diri banyak sekali orang di negara-negara kaya dan maju yang telah memborong dan menguasai penggunaan vaksin-vaksin unggulan dunia (seperti vaksin-vaksin mRNA Pfizer dan Moderna, vaksin adenovirus Johnson & Johnson, vaksin adenovirus Oxford-AstraZeneca, dll).

Rasa letih juga telah dan sedang muncul tak tertahan di banyak negara setelah hidup di dalam banyak pembatasan sosial, individual, ekonomi, hiburan, komunikasi, pergaulan, perjalanan, dll, selama satu tahun lebih.

Kasus positif global meningkat lagi

Dapat dimengerti, kalau WHO kini memperingatkan bahwa kasus-kasus positif terinfeksi SARS-CoV-2 dan kematian yang ditimbulkannya meningkat lagi di seluruh dunia, dengan Afrika Selatan sebagai negara yang sedikit kurang terdampak. Baca di sini

Dalam laporan mutakhir WHO, terdata sekarang ini di seluruh dunia ada 133,5 juta kasus positif dan kurang lebih 3 juta orang telah mati.

Data dari JohnsHopkins Coronavirus Resource Center menunjukkan kasus global per 12 April 2021 telah mencapai 136.209.405, dengan total kematian 2.939.142 orang.



Pada tahap berikutnya, peningkatan jumlah kasus positif Covid-19 bergeser dari negara-negara kaya ke negara-negara miskin.




Menurut data Bloomberg, jumlah kasus positif harian di negara-negara yang lebih kaya dan lebih besar menurun (di BRICs 230,2K perhari, mencakup Brazil, Russia, India dan China; di G7 242,9K per hari, mencakup UE, AS, Inggris, Kanada dan Jepang), sedang di negara-negara berpendapatan kecil dan rendah ("the rest of the world") meningkat menjadi 252,7K per hari dalam bulan April 2021.

Peningkatan jumlah kasus positif Covid-19 dan angka kematian global adalah akibat-akibat dari berbagai faktor yang telah ditulis di atas. Tentu saja masih ada faktor-faktor lain.

Bagaimana dengan Afrika?

Sebagai satu benua, Afrika baru menerima dan menggunakan cuma 2% saja dari 600-an juta dosis vaksin-vaksin Covid-19 yang telah diluncurkan pada aras global. Dari jumlah pasokan 2% ini, sepuluh negara di Afrika (dari keseluruhan 54 negara) yang paling banyak melakukan vaksinasi penduduk masing-masing baru menggunakan dua per tiga dari pasokan ini.

Sepuluh negara di Afrika itu mencakup Maroko yang telah membeli 8,7 juta dosis vaksin dan telah menyuntikkan vaksin paling banyak ke penduduknya. Selain Maroko, juga Ghana, Rwanda, dan Angola telah dengan cepat mendistribusikan vaksin-vaksin dalam jumlah yang signifikan dari persediaan vaksin yang ada pada mereka.

Bagaimanapun juga, dalam perlombaan penyediaan vaksin-vaksin, Afrika jelas tertinggal jauh dan terlantar. Ada lebih dari satu milyar orang Afrika yang belum menerima vaksinasi untuk menyelamatkan kehidupan mereka.

Negara-negara Afrika lainnya, seperti Benin, Comoros, Liberia, Sierra Leone dan Sudan Selatan terlantar dan tak bisa meluncurkan vaksin-vaksin karena kesulitan dana, hambatan perencanaan, dan kekurangan sumber daya manusia, serta keterlambatan pengiriman vaksin-vaksin dalam program Covax Facility WHO.

Menurut data WHO per 8 April 2021, di Afrika kini jumlah kasus positif sudah mencapai 4,3 juta, termasuk 114.000 orang yang telah mati. Baca lebih jauh di sini.

Varian-varian baru

WHO juga mengaitkan kondisi pandemi yang tidak kunjung mereda ini dengan kemunculan varian-varian baru virus corona yang lebih cepat menular, lebih agresif, dan sebagian lebih mematikan (misalnya "mixed mutant" Portland, Oregon; dan varian B.1.1.7 yang paling banyak menginfeksi, yang berasal dari Inggris). Keadaan yang mengkhawatirkan ini hanya dapat dihadapi lewat "adjustment" atau "penyetelan ulang" vaksin-vaksin yang telah ada.

Di bawah ini dipasang daftar varian-varian yang memuat data sampai dengan 14 April 2021 tentang negara asal, jumlah kasus positif dan pertambahan kasus baru sejak 7 April 2021 di Inggris. Sumber data Gov UK. Baca juga USA CDC dan Nature.

Varian asal Inggris B.1.1.7 telah menginfeksi total 209.492 orang. Varian B.1.351 asal Afrika Selatan 600 orang. Varian P.2 asal Brazil 59 orang. Dst. Data kasus positif global masih perlu ditambahkan. 




Sejauh saya ketahui, orang umumnya mengira bahwa setelah mereka menerima vaksinasi, mereka akan otomatis kebal terhadap infeksi virus corona. Padahal, kenyataannya sama sekali tidak demikian.

Paling jauh, yang kita dapat harapkan dari vaksinasi bukanlah penularan akan otomatis terhenti, melainkan penyakit Covid-19 dengan gejala berat, yang umumnya berakibat kematian, dapat dicegah atau dikurangi dengan signifikan. Syukur jika vaksin China Sinovac dan vaksin Oxford-AstraZeneca yang sedang digunakan di Indonesia dapat efektif seperti itu, minimal.

Pendistribusian global yang tak adil

Patut dicatat, pandemi Covid-19 juga tak akan dapat cepat ditanggulangi jika vaksin-vaksin tidak didistribusikan dengan adil sedunia, tetapi dikuasai sejumlah kecil negara-negara terkaya dunia, khususnya Amerika dan Inggris. Ketimbang memperjuangkan keadilan global dalam pendistribusian vaksin-vaksin, dua negara kaya ini mengedepankan apa yang oleh Deutsche Welle dinamakan "nasionalisme vaksin".

Menurut data Bloomberg Vaccine Trackerpada 8 April 2021 sejumlah 40% dari vaksin-vaksin Covid-19 yang sudah tersedia untuk digunakan dunia dikuasai 27 negara kaya yang merupakan 11% populasi dunia. Sedangkan negara-negara termiskin dunia, yakni sebesar 11% populasi dunia, baru mendapatkan dan menggunakan 1,6% vaksin-vaksin Covid-19.

Dengan kata lain, negara-negara yang memiliki pendapatan tertinggi di dunia menjalankan vaksinasi 25 kali lebih cepat dibandingkan yang dilakukan negara-negara yang berpenghasilan terendah.

Menurut WHO, saat ini ada 670 juta dosis vaksin-vaksin yang sudah diluncurkan dan digunakan dalam tingkat global. Menurut basis data Bloombergkini telah ada 781.496.115 juta dosis vaksin-vaksin yang telah dikirim dan sedang digunakan di 154 negara. Masalahnya, bagian terbesar dari vaksin-vaksin ini telah dijual ke negara-negara kaya dunia.

Menurut WHO, kasus-kasus positif terus meningkat lantaran vaksin-vaksin juga masih langka tersedia, dan kondisi ini berdampak paling buruk bagi negara-negara yang sedang berkembang yang tidak bisa menjalankan program vaksinasi bagi penduduk mereka. Pendistribusian vaksin-vaksin dengan adil tak dapat ditunda-tunda lagi. Masalahnya, pihak otoritas mana yang dapat menjadi sang wasit?

Manfaat vaksin-vaksin paling banyak diperoleh oleh negara-negara kaya yang memborong vaksin-vaksin. Inggris, misalnya, lewat program dan gerakan vaksinasi nasional telah berhasil mengurangi jumlah kematian karena Covid-19.

Perlu kita ketahui, jika pendistribusian vaksin-vaksin dilakukan dengan adil sedunia berdasarkan jumlah populasi masing-masing negara, maka terdata bahwa Inggris telah menggunakan 7 kali lebih banyak dari jatah adil yang seharusnya diterima negara ini.

Dua studi di Inggris

Yang saya ketahui, dua studi telah dilakukan di Inggris dari 1 Desember 2020 hingga 3 April 2021, sebagai bagian dari Survei Infeksi Covid-19 yang dilakukan bersama oleh Universitas Oxford, departemen kesehatan negara dan Kantor Statistik Nasional. Baca di sini.

Para peneliti telah menganalisis lebih dari 1,6 juta hasil test swab (hidung dan tenggorokan) yang diambil dari 373.402 partisipan dalam studi-studi tersebut.

Para peneliti menemukan bahwa 21 hari setelah pemberian 1 dosis tunggal vaksin Pfizer atau vaksin AstraZeneca, angka semua kasus baru infeksi Covid-19 turun 65%. Ini mencakup 74% penurunan angka infeksi bergejala dan 57% penurunan angka infeksi tanpa gejala.

Penurunan angka seluruh infeksi dan infeksi bergejala bahkan lebih tinggi lagi setelah penyuntikan dosis kedua, berturut-turut turun 70% dan 90%. Angka-angka ini tak berbeda jauh pada para penyintas infeksi Covid-19.

Studi yang kedua fokus pada level antibodi-antibodi terhadap virus SARS-CoV-2, untuk menemukan bagaimana antibodi-antibodi berubah setelah pemberian 1 dosis suntikan vaksin AstraZeneca atau vaksin Pfizer, dan setelah 2 dosis suntikan vaksin Pfizer.

Hasil-hasilnya menunjukkan bahwa respons antibodi terhadap satu dosis tunggal kedua vaksin sedikit lebih rendah pada orang lansia, tetapi tinggi untuk semua golongan umur setelah suntikan kedua vaksin Pfizer.

Hingga minggu ketiga April 2021 (Rabu, 21 April 2021) sudah lebih dari 33 juta orang di Inggris telah menerima dosis pertama vaksin Covid-19, dan lebih dari 10 juta orang telah menerima suntikan dua dosis. Baca di sini

Kasus Amerika

Sebaliknya, di Amerika Serikat jumlah orang dewasa muda (55 tahun ke bawah) yang harus dirawat di rumah-rumah sakit karena terpapar Covid-19 meningkat (sebesar 7% dalam tujuh hari terakhir ini), sementara mereka belum atau tidak mau divaksinasi. Ini hal yang ironis, sebab "vaccination rate" (VR) di Amerika sudah mencapai rerata 3 juta orang lebih per hari, mendekati 4 juta orang.

Sampai 8 April 2021, di Amerika sebanyak 158 juta dosis tunggal vaksin telah disuntikkan. Menurut data mutakhir Bloomberg, dalam tiga bulan ke depan ini vaksinasi di Amerika akan mencapai 75% dari penduduknya.

Lebih ironis lagi, di tengah prestasi VR Amerika yang luar biasa itu, jumlah kasus positif naik rata-rata 2% dalam kurun yang sama tujuh hari terakhir ini. Sedangkan, jumlah lansia Amerika 65 tahun ke atas yang sudah divaksinasi makin banyak, alhasil makin sedikit dari mereka yang terkena Covid-19 yang perlu dirawat di rumah-rumah sakit.

Keragu-raguan dan ketidakpercayaan  terhadap vaksinasi di kalangan dewasa muda Amerika timbul lantaran mereka menilai vaksin-vaksin tersedia dalam waktu sangat cepat, kurang dari satu tahun.

Sebagai jawaban kepada mereka, Dr. Anthony Fauci (penasihat medis utama Presiden Joe Biden) telah memperinci tahun-tahun yang telah dijalani dalam serangkaian penelitian yang bermuara pada pengembangan dan produksi vaksin-vaksin.

Kata Dr. Fauci, vaksin-vaksin yang telah tersedia tidak dikembangkan dalam 11 bulan. Sebelumnya, telah berlangsung banyak usaha luar biasa keras lintasilmu selama beberapa dekade dalam penelitian-penelitian yang dilakukan para vaksinolog sebelum pandemi Covid-19 merebak di akhir 2019. Selanjutnya baca di sini

Selain itu, hemat saya, teknologi pengembangan vaksin yang makin maju, misalnya teknologi vaksin mRNA, tentu saja akan mempersingkat waktu pengembangan dan produksi vaksin-vaksin mRNA. Mengapa hal ini bukan disyukuri, malah dicurigai?

Efek samping "blood clots"

Telah diketahui, dua vaksin virus hidup adenovirus Johnson & Johnson dan Oxford-AstraZeneca telah menimbulkan efek samping yang sangat serius berupa "blood clots" atau penggumpalan atau pengentalan darah dalam pembuluh darah.

"Blood clots" ini terjadi karena virus hidup atau DNA yang dibawanya menimbulkan overreaksi dari sistem imun yang selanjutnya menghasilkan antibodi yang toksik yang membuat platelet dalam pembuluh darah menggumpal/mengental.

Dalam kondisi normal, antibodi mengaktifkan platelet untuk berfungsi menyembuhkan luka yang berdarah, dengan membuat darah pada luka membeku. Lebih terperinci, baca di sini.

Efek samping "blood clots" disebut juga "cerebral venous thrombosis" (CVT) dalam otak atau "vaccine-induced immune thrombotic thrombocytopenia" (VITT) yang dapat terjadi dalam pembuluh darah di bagian-bagian lain tubuh.

CVT terjadi 4 kasus dalam 1 juta orang yang divaksinasi dengan vaksin-vaksin mRNA Pfizer dan Moderna, dan 5 kasus dalam 1 juta untuk vaksin AstraZeneca. Jumlah kasus lewat vaksinasi jauh lebih kecil dibandingkan 39 kasus dalam 1 juta pasien yang terpapar Covid-19. Baca di sini

Diperkirakan, jumlah kecil kasus efek samping CVT atau VITT yang timbul lewat vaksinasi barulah menampakkan puncak sebuah gunung es. Bagian gunung es yang tak terlihat jauh lebih besar.

Menurut dr. Anand Padmanabhan dari Mayo Clinic, CVT atau VITT tidak boleh diobati dengan obat pengencer darah heparin karena akan memperburuk problem efek samping ini. 

Katanya lagi, akan jauh lebih menolong jika kasus CVT atau VITT ditangani dengan infus IV dosis tinggi immunoglobulin atau "intravenous immunoglobulin" (IVIG). Lantaran IVIG akan melapisi atau memberi "coating" platelet-platelet dengan antibodi-antibodi normal sehingga mencegah antibodi-antibodi toksik merusak platelet-platelet. Baca di sini

Gangguan psikiatris, psikologis dan neurologis

Di Amerika dalam minggu ini data baru statistik menunjukkan bahwa satu dari antara delapan orang yang terpapar Covid-19 terdiagnosa juga mengalami gangguan-gangguan neurologis dan psikiatris baru, dibarengi dengan rasa cemas dan depresi yang dalam--- dengan kata lain, mereka mengalami "post-traumatic stress disorder" atau PTSD dalam enam bulan sejak terpapar Covid-19.

Kondisi psikologis, psikiatris dan neurologis sebagai gangguan-gangguan mental ini dialami para penderita Covid-19 dari kalangan dewasa muda, kelompok minoritas, pekerja-pekerja esensial, dan para perawat relawan, dalam kurun enam bulan sejak terinfeksi.

Menurut data yang dirilis dalam jurnal Lancet edisi 6 April 2021, setiap satu dari antara tiga orang penderita Covid-19 mengalami gejala-gejala neurologis psikiatris, kesehatan mental, dan sistem saraf. Studi ini sangat signifikan karena melibatkan 236.000 pasien Covid-19, kebanyakan pasien dirawat di Amerika Serikat. Lebih lanjut, baca di sini.

Gangguan yang paling umum adalah rasa cemas yang berkepanjangan, gangguan suasana batin dan pikiran ("mood disorders"), dan penyakit otak. Makin berat Covid-19 yang diderita, makin besar kemungkinan si pasien terkena gangguan-gangguan mental, dan penyakit otak yang berupa stroke iskhemik, yakni penggumpalan darah yang berdampak pada otak.

PTSD tentu dialami bukan cuma sebagai gejala "long covid", melainkan juga timbul karena gabungan faktor-faktor pemicu lainnya seperti lamanya pandemi berlangsung dengan berbagai akibat multidimensionalnya, waktu perawatan terisolasi yang lama di rumah sakit, gejala berat Covid-19, dan berbagai pembatasan individual dan sosial yang diterapkan untuk memitigasi efek-efek berat multidimensional dari pandemi yang menimbulkan berbagai stres psikologis.

Ditemukan fakta penting bahwa setelah para penderita "long covid" PTSD diberi suntikan dosis lengkap vaksin-vaksin, mereka merasa lebih lega dan dapat bersukacita lagi. Baca lebih lanjut di sini dan di sini.

"Mixed shots"

Direktur BPOM China, Gao Fu, mengakui bahwa vaksin-vaksin "inactivated" buatan China (2 dosis vaksin Sinovac dan vaksin Sinopharm, dan 1 dosis vaksin CanSino) memiliki angka efektivitas (ER, "effectiveness rate") yang rendah, antara 50%-70%, jauh di bawah ER vaksin mRNA Amerika-Jerman Pfizer dan vaksin mRNA Amerika (Bill Gates) Moderna yang mencapai 95%-97%. Baca lebih lanjut Apnews dan CNBC

Pengakuan yang langka oleh Gao Fu tersebut disampaikan dalam suatu konferensi di baratdaya kota Chengdu, 10 April 2021.

Dikatakan, ER vaksin-vaksin China rendah bisa disebabkan oleh usia orang yang mengikuti uji klinis (makin tua usia, makin sulit antibodi terbentuk dalam titer cukup apalagi titer tinggi), bisa juga karena strain virus yang berbeda, dan bisa juga karena faktor-faktor lain yang tidak disebutkan.

Vaksin-vaksin China tersebut dikembangkan berdasarkan sekuens genetik SARS-CoV-2 Desember 2019! Tentu anda tahu apa artinya ini.

Sebelumnya, China meremehkan vaksin-vaksin mRNA Amerika, dengan alasan vaksin mRNA baru pertama kali dikembangkan dan diproduksi sehingga keamanan vaksin-vaksin mRNA belum teruji dan tidak dapat dijamin. Kini China berubah sikap.

Seorang pejabat BPOM China menyatakan bahwa China juga sedang mengembangkan vaksin-vaksin mRNA yang, kabarnya, kini sedang memasuki tahap uji klinis. Kapan uji klinis hingga tahap 3 selesai, tidak ada beritanya.

Nah, China berencana nanti akan memakai vaksin-vaksin gabungan (vaksin "inactivated" dan vaksin mRNA) untuk disuntikkan berurutan ("mixed shots") pada satu orang dengan jedah waktu 3-4 minggu.

"Mixed shots" diyakini akan meningkatkan dan memperkuat kemampuan  memproteksi orang yang sudah divaksinasi gabungan terhadap infeksi virus corona. Ya, "mixed shots" membuat virus-virus digempur lebih dari satu penjuru.

Jadi, kalau vaksin mRNA berbayar sudah tersedia di Indonesia, pilihlah vaksin ini, dan jika sudah menerima dua dosis lengkap vaksin Sinovac, ambil lagi vaksin mRNA dua dosis, dengan jedah waktu yang cukup.

Kita belum tahu, apakah "mixed shots" nanti akan diperbolehkan di Indonesia. Kalau memakai pertimbangan keilmuan dan ER yang diharapkan tinggi, seharusnya "mixed  shots" Sinovac dan mRNA dibuka seluas-luasnya bagi warga Indonesia.

N.B. Berita pengakuan China di atas sudah dimuat juga di beberapa koran online Indonesia sekitar 11 atau 12 April 2021. Saya sudah tahu sebelumnya dari berita-berita koran online luar negeri.

Tapi saya tidak langsung membagi berita tersebut ke teman-teman Indonesia karena saya tidak mau menimbulkan kegelisahan.

Tapi, akhirnya, sekarang saya sudah broadcast juga WA message saya ini. Soalnya, banyak sekali teman yang belum tahu. Mereka yang belum tahu ini potensial akan merasa semuanya aman jika sudah divaksinasi 2 dosis vaksin Sinovac.

Saya sendiri, tanpa gembar-gembor sama sekali, sudah menerima suntikan 2 dosis vaksin Sinovac. Tapi, terus-terang, saya tidak berharap banyak pada vaksin China ini.

Karena pertimbangan divaksinasi lebih baik ketimbang tidak sama sekali, ya saya sudah divaksinasi, tapi dengan disertai perasaan tidak ada yang berubah pada tubuh saya.

Ok, tetaplah jalankan prokes 5-M kendatipun sudah menerima dosis lengkap 2 suntikan vaksin Sinovac.

Banyak laporan, vaksin ini tidak berhasil menimbulkan antibodi yang bertiter cukup apalagi tinggi meski pengukuran titer dilaksanakan 3 minggu setelah suntikan dosis kedua. Dalam hal ini, Gao Fu benar.

Kasus jerman

Meskipun di Jerman program vaksinasi telah dan sedang berjalan "pada jalan yang baik, dengan ribuan dokter praktek umum ambil bagian dalam minggu ini untuk menjalankan kampanye vaksinasi" dan hampir "15% populasi Jerman sudah divaksinasi dengan dosis pertama, dan 5,8% telah menerima dua dosis suntikan", pemerintah Jerman menyatakan, pada Jumat, 9 April 2021, bahwa "lockdown" nasional akan dijalankan selama dua hingga empat minggu ke depan untuk mengendalikan serangan gelombang baru infeksi Covid-19.

Pada 9 April 2021, muncul 25.000 kasus infeksi baru dengan gejala berat terhadap orang dewasa muda, dan angka ini dinilai terlalu tinggi. "Lockdown" nasional di Jerman harus diterapkan untuk mencapai jumlah tetap kasus positif baru di bawah 100 per 100.000 orang. Lebih lanjut baca di sini

Penutup

Di atas telah dibeberkan singkat situasi-situasi di dunia dan di beberapa negara maju dan terbelakang terkait usaha global menanggulangi pandemi Covid-19.

Hal yang terlihat adalah bahwa vaksinasi saja tidak akan dapat menghentikan pandemi dalam waktu cepat.

Melawan pandemi dan mengalahkannya atau, lebih tepat, mengendalikannya, memerlukan keterlibatan banyak faktor lain yang sama pentingnya dengan vaksinasi dan pendistribusian vaksin-vaksin yang berlangsung dengan adil.


Jakarta, 16 April 2021
ioanes rakhmat

N.B. diedit 21 April 2021

Thursday, April 15, 2021

Sketsa Sikon Ilmuwan Perempuan Masa Pandemi Covid-19

 


DALAM DUNIA MASA KINI yang dikuasai "budaya pria", patriarkhi dan misogini, apalagi di masa pandemi Covid-19 yang sudah berlangsung kurang lebih satu setengah tahun, para ilmuwan perempuan di negara-negara maju kini sedang menanggung banyak dampak negatif dari pandemi.

Mereka tidak produktif mempublikasi makalah riset. Mengepalai uji klinis lebih sedikit. Dan---ini sudah lama berlangsung--- pengakuan terhadap kecakapan dan prestasi akademik mereka makin berkurang. 

Selain hal-hal itu, para ilmuwan perempuan juga harus mengalami banyak goncangan emosional dan stres yang datang dari pandemi.

Bersamaan dengan itu, mereka juga harus menunaikan panggilan gender mereka untuk melancarkan berbagai protes terhadap rasisme struktural dalam dunia akademik.

Sebagai para ibu, mereka juga dilanda kekhawatiran besar terhadap kemajuan pendidikan dan kesehatan mental anak-anak mereka. 

Urusan rumahtangga yang tak habis-habisnya selama bekerja online dari rumah membuat mereka tidak punya waktu yang teduh dan cukup untuk berpikir cerdas dan berkarya inovatif.

Jumlah ilmuwan perempuan yang masih dapat berprestasi di masa pandemi, dus, jauh menurun dibandingkan ilmuwan lelaki.

Keadaan-keadaan itu lebih diperburuk oleh sikon kehidupan mereka di berbagai bidang yang makin tidak dapat ditanggung dan dipertahankan dibandingkan sebelumnya.

Untuk mendapat gambaran-gambaran real yang lebih luas tentang berbagai sikon yang tidak menguntungkan para ilmuwan perempuan di masa pandemi ini, silakan baca Women Scientists Systematically ExcludedAcademic Productivity DifferencesThe Proportions of FemaleOnly Second-Class TicketsFewer Womendan Gender Disparities. 





Seorang biostatistikus perempuan kulit hitam dari Universitas Pennsylvania, Amerika, yang juga seorang ibu dari dua anak, dan selama masa pandemi bekerja dari rumah, Dr. Alisa Stephens, mengungkapkan sikon diri dan pekerjaannya selama masa pandemi Covid-19, demikian:

"Mungkin aku bekerja cuma dengan 80% kecakapanku, tidak bisa 100%. Meski turun jadi 80%, dalam batas tertentu aku masih dapat menyelesaikan tugas-tugasku. Ini tentu bukan prestasi besar, bukan hal terbaik yang dapat kucapai, tapi ini sudahlah cukup untuk saat ini." Baca lebih lanjut Epidemic of Loss

Seorang peneliti obesitas di Universitas Florida, Amerika, Michelle Cardel, menyatakan bahwa gabungan semua faktor yang sudah ditulis di atas 

"telah menimbulkan badai yang betul-betul menghancurkan para ilmuwan perempuan. Orang sudah tiba pada suatu titik patah, pada situasi krisis yang menghancurkan. Ketakutanku yang besar adalah bahwa kita kini sedang memasuki pandemi kedua, yakni pandemi kehilangan, khususnya untuk para perempuan karier tahap awal di bidang STEM ["science, technology, engineering and mathematics]." Dikutip dari Epidemic of Loss

Sebuah artikel riset statistik yang kontroversial karena berisi tafsiran data yang tendensius seksis yang ditulis oleh Bedoor AlShebli, Kinga Makovi dan Talal Rahwan telah terbit di jurnal Nature Communications 11, nomor 5855, November 17, 2020. Judulnya "The Association between early career informal mentorship in academic collaborations and junior author performance". 

Karena telah menimbulkan reaksi dan protes serta kemarahan banyak ilmuwan perempuan dan para pendukung mereka, baik lelaki maupun perempuan, yang disampaikan lewat berbagai media, artikel tersebut telah ditarik pada 21 Desember 2020.

Para penulis artikel itu menyatakan bahwa gender memainkan suatu peran signifikan baik dalam menentukan keberhasilan atau kegagalan suatu tugas kepembimbingan ("mentorship") terhadap para mahasiswa, maupun dalam membangun relasi antara para peneliti senior dan para peneliti yunior. Peran itu sedemikian rupa berjalan sehingga pada dasarnya merongrong posisi pembimbing perempuan dan mahasiswa yang mereka bimbing.

Mereka menyimpulkan bahwa jika para mentor perempuan berperan lebih besar dan lebih banyak, dampak pasca-kepembimbingan pada para mahasiswa perempuan yang mereka sudah bimbing akan menurun, sekaligus hal itu hanya akan mendatangkan sedikit manfaat bagi para mentor perempuan.

Sebaliknya, kata mereka, jika tugas "mentorship" dipikul para mentor lawan jenis (yakni mentor lelaki), maka pastilah dampak para peneliti yunior perempuan dalam pengejaran suatu karir keilmuan akan meningkat.

Banyak ilmuwan perempuan telah memberi komentar terhadap artikel yang tendensius seksis tersebut. Salah seorang dari antara mereka adalah seorang neurosaintis dari Universitas Rockefeller, New York, yang bernama Leslie Vosshall.

Ditegaskan oleh Ms. Vosshall bahwa masa pandemi ini 

"adalah masa yang luar biasa sulit untuk menjadi seorang perempuan dalam dunia ilmu pengetahuan. Kami real ada di antara orang banyak. Kami sudah jatuh berlutut. Kami sudah letih. Eeh... sebuah makalah begitu saja ditulis, yang mendepak kami lewat ucapan, 'Kami mempunyai solusinya, yuuk kita pindahkan mahasiswa-mahasiswa untuk dibimbing hanya oleh para mentor lelaki senior."

Well, dalam kekristenan, patriarkhi dan misogini memang masih tetap kuat hingga di zaman modern ini. Perilaku tendensius misoginik ini memang memiliki akar-akar pada teks-teks skriptural Yahudi-Kristen.

Seorang bapak gereja pada abad kedua yang bernama Tertullianus, dengan berdasar kisah teologis etiologis dalam kitab Kejadian 3 Tenakh Yahudi, berkata sangat keras terhadap para perempuan di zamannya, yang dianggapnya juga berlaku untuk kaum perempuan di segala zaman dan tempat.

Hardiknya,

“Kamu semua adalah pintu gerbang masuknya setan ke dalam dunia... kalian adalah Hawa yang membujuk Adam, yang setan tidak berani serang.... Tahukah kalian bahwa setiap orang dari antara kalian adalah seorang Hawa? Hukuman Allah terhadap gender kalian tetap berlaku dalam zaman ini; begitu juga, kesalahan yang dibuat Hawa bagaimanapun juga tetap ada” (Tertullianus, De Cultu Feminarum I, 12).

Tak dapat disangkal bahwa Tertullianus memperlihatkan bias seksisme dalam bentuk yang ekstrim, yang dinamakan misogini (Inggris: misogyny, dari dua kata Yunani miseô, "membenci", dan gynē, "perempuan"). Yakni kebencian terhadap perempuan yang sangat mungkin akan membuahkan kekerasan dan ketidakadilan yang parah terhadap kaum perempuan di mana pun dan kapan pun.

Jika dalam zaman sekarang ini kita mau melakukan tafsir ulang terhadap kisah teologis etiologis dalam Tenakh Yahudi tersebut, dengan mengubah perspektif tafsir dari yang semula perspektif budaya dominan, yakni "budaya lelaki", menjadi perspektif "budaya marjinal", yakni "budaya perempuan", maka Hawa, representasi simbolik kaum perempuan universal, akan tampil lain.

Hawa atau kaum perempuan pun jadi dapat kita lihat sebagai sosok-sosok yang berani mengikuti kuriositas mereka, rasa ingin tahu mereka.

Alhasil, Hawa mendapatkan mula-mula pengetahuan moral. Di kemudian hari, pengetahuan moral pun berkembang setahap demi setahap menjadi ilmu pengetahuan yang sarat dengan nilai-nilai kebenaran, kemajuan, penemuan, keagungan, kebajikan dan daya tahan dalam kehidupan kita semua.

Hawa, atau kaum perempuan, bukan saja ibu kehidupan, tapi juga ibu ilmu pengetahuan, seperti halnya Dewi Saraswati dalam kepercayaan Hinduisme.

Kalau dulu di Indonesia kaum perempuan dipandang hanya pantas berada di dapur, kini, di masa pandemi Covid-19 dan nanti di era pasca-Covid-19, mereka juga sudah waktunya berada juga di laboratorium riset selain juga di dapur.

Untuk ke situ, jalannya sulit dan berat serta panjang. Mereka harus memiliki tekad kuat, berani, mampu dan memiliki kesempatan untuk bersekolah tinggi, meraih gelar Ph.D. dalam bidang ilmu-ilmu pengetahuan alam.

Selain itu, kaum lelaki pun, bukan hanya pantas berada di kantor dan di laboratorium, tetapi juga perlu berada di dapur.

Jakarta, 15 April 2021
ioanes rakhmat

Thursday, April 1, 2021

Puisiku: Sang Tubuh Salib Perisai




SANG TUBUH SALIB PERISAI


Makhluk-makhluk paling durjana
Tiba-tiba ganas merangsek buana
Menyerang umat manusia sedunia
Mau memusnahkan semua yang ada

Mereka semua kesetanan
Tak ingin kehidupan bertahan
Kekuatan mereka besar tak tertahan
Seolah mereka pesaing Tuhan

Para kekasih Tuhan bersembahyang
Berlutut memanggil Tuhan penyayang
Nama Yesus dipanggil panjang
Diseru disapa berulang-ulang

Segera, segeralah datang!
Datanglah, datang, datang!
Sekarang, ya Yesus, sekarang!
Bertindaklah ya Tuhan penyayang!

Tiba-tiba seorang pemuda turun
Dari kota Nazareth di Galilea
Masuk ke kawasan para durjana
Yang sedang menerjang bak taifun

Berdiri lurus di jalan yang menurun
Kedua tangan-Nya dibentang lebar
Ke kiri dan ke kanan tak gentar
Lihat, sang tubuh salib itu tak berayun

Yesus, nama pemuda dari Nazareth itu
Serbuan para durjana terhenti di situ
Dihadang oleh sang tubuh salib itu
Dia menjadi barikade kokoh di situ

Di belakang-Nya merunduk berlindung
Manusia yang hanya bisa berkidung
Tubuh salib itu menjadi perisai pelindung
Bergerak ke muka gesit tak terbendung

Menggempur insan-insan kesetanan
Satu per satu dirobohkan tak terlawan
Dibuat tak berkutik dalam erangan
Melolong panjang melepas kehidupan

Si pemuda orang Nazareth itu menang
Dia telah menjadi tameng banyak orang
Tapi tubuh salib-Nya terjatuh sungsang
Darah-Nya tercucur kental menggenang

Dalam menggempur Dia juga digempur
Tubuh salib-Nya tersayat setengah hancur
Tapi hati-Nya tidak luluh hancur
Ucapan-Nya "Sudah selesai" termashyur

Dia wafat dalam senyum yang lebar
Semua yang merunduk berlindung tergetar
Membuka mulut mereka lebar-lebar
Kidung duka terlantun pilu terlontar

Kehidupan sang tubuh salib sang perisai
Telah selesai dalam hening dan damai
Terdengar alunan bening dawai-dawai
Tangan para malaikat memetik melambai

Orang Nazareth itu telah kembali pulang
Ke kawasan dari mana Dia telah datang
Air mata sang Bapa deras turun berlinang
Mengalirkan darah Anak yang tergenang

Si tubuh salib perisai itu selalu dikenang
Pada setiap Jumat Agung saat Dia pulang
Lewat kematian-Nya maut jadi pecundang
Kidung duka dan syukur berkumandang

Para makhluk durjana tanpa nurani
Telah dicampakkan ke dunia orang mati
Sang Anak dipangku Bapa yang baik hati
Hidup abadi tak lagi bisa mati

Jika liontin salib di lehermu kau pegang
Sang tubuh salib dari Nazareth kau kenang
Kenangan yang memacumu berjuang
Demi kehidupan menjadi pemenang


Jakarta, Kamis, 1 April 2021
ioanes rakhmat

In memory of the death of Jesus of Nazareth,
Good Friday 2 April 2021