Saturday, August 17, 2013
Kata “prihatin”
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi 3 (tahun 2005), sebagai kata sifat “prihatin” bermakna bersedih hati, waswas, bimbang (karena usahanya gagal, mendapat kesulitan, mengingat akan nasibnya, dsb); dalam arti ini, kata prihatin sama dengan kata sifat “concerned” dalam bahasa Inggris. Perhatikan kalimat berikut: She looked very much concerned about her own children. Terjemahan Indonesianya: Dia tampak sangat cemas mengenai anak-anaknya sendiri.
Sebagai kata kerja, menurut KBBI edisi 3, prihatin bermakna menahan diri, bertarak.
Sebetulnya kata prihatin juga mengungkapkan ketidaksetujuan seseorang pada suatu hal atau suatu kondisi, tetapi orang ini sama sekali tidak berdaya dan tidak memiliki kemampuan untuk mengubah hal tersebut atau kondisi tersebut. Sebagai contoh, perhatikan kalimat ini: Saya sangat prihatin dengan keadaanmu, tetapi sungguh saya tidak berdaya membantumu untuk mengubahnya.
Tetapi kata benda prihatin (Inggris: “concern”) juga memiliki makna positif, yakni mengungkapkan kepedulian dan perhatian besar seseorang pada suatu hal atau suatu kondisi. Perhatikan kalimat dalam bahasa Inggris ini: He has great concern for his nation. Terjemahan Indonesianya: Dia mempunyai perhatian (= keprihatinan) besar terhadap bangsanya. Dalam arti ini, kata prihatin (Inggris: “concerned”) bermakna “to be interested in something” atau “to take an interest”. Contoh kalimatnya: They were more concerned with how the other woman had dressed than in what the speaker was saying. Terjemahan Indonesianya: Mereka lebih memperhatikan bagaimana perempuan yang lain itu berpakaian ketimbang apa yang sedang diucapkan si pembicara.
Bapak Presiden kita, Pak SBY, semakin dikenal sebagai seorang kepala negara yang suka menyatakan keprihatinannya yang besar terhadap banyak perkara yang sedang belangsung dalam negara kita. Belakangan ini beliau sering mengungkapkan keprihatinannya khususnya terhadap intoleransi dalam kehidupan umat-umat beragama di Indonesia, yang sering membuahkan kekerasan fisik (dan kekerasan wacana) terhadap golongan-golongan umat minoritas yang berbeda (agama atau aliran keagamaan mereka).
Kita jadi bertanya-tanya, apa yang dimaksudkan oleh beliau dengan kata “prihatin” yang sering diungkap sebagai isi kalbunya. Apakah kata itu dipakai beliau untuk meyatakan bahwa beliau sekarang sedang bimbang, waswas, cemas, dan bersedih hati, atas intoleransi yang sedang berlangsung, atau apakah beliau sebetulnya sangat memperhatikan kondisi intoleransi ini tetapi beliau merasa dirinya tidak memiliki kewenangan dan kemampuan apapun untuk mencegah dan mengatasinya, atau apakah beliau sedang menahan diri dan hidup bertarak sehingga tak mau mencampuri urusan duniawi dalam negara yang sedang dipimpinnya.
Jika kata prihatin dalam ucapan-ucapan beliau bermakna negatif seperti digambarkan pada alinea di atas, kita tentu jadi bertanya-tanya: Bukankah seorang presiden memiliki kewenangan dan kemampuan politis untuk mengatasi semua hal yang membuatnya prihatin terus-menerus? Jika beliau hanya prihatin, tetapi tak mau dan tak mampu mengubah kondisi-kondisi yang membuatnya prihatin, apakah beliau memang masih seorang presiden negara besar Republik Indonesia?
Kita sebetulnya sangat ingin beliau mengatasi semua hal yang membuatnya prihatin dengan menggunakan kemampuan, kekuasaan dan kewenangan yang ada padanya sebagai seorang presiden. Jika hal ini tidak terjadi, kitalah sebagai rakyat yang, pada hari ini, 17 Agustus 2013, setelah NKRI merdeka selama 68 tahun, harus menyatakan keprihatinan sangat besar terhadap kinerja Bapak Presiden kita.
Tuesday, August 13, 2013
Ketika batas-batas iman keagamaan dilanggar, bencanapun menimpa
Seorang
pemudi yang saya kenal saleh beragama, bertanya kepada saya: Pak, betulkah kita harus beriman sangat kuat dalam hal
apapun? Kata pendeta saya, iman yang kuat akan menyembuhkan semua
penyakit dan membuat kehidupan kita jadi serba sukses, dan masa depan
kita tidak suram, tapi cerah ceria.
Jawab saya: Oh tidak demikian. Pendeta anda itu salah telak. Dalam anda beriman, anda perlu sering meragukan isi iman anda, apakah akan membawa anda ke kehidupan atau justru ke kematian. Dengan adanya keraguan dalam diri anda terhadap isi iman anda, hidup anda jadinya akan seimbang, antara beriman dan bernalar.
Jawab saya: Oh tidak demikian. Pendeta anda itu salah telak. Dalam anda beriman, anda perlu sering meragukan isi iman anda, apakah akan membawa anda ke kehidupan atau justru ke kematian. Dengan adanya keraguan dalam diri anda terhadap isi iman anda, hidup anda jadinya akan seimbang, antara beriman dan bernalar.
Untuk memperjelas apa yang saya maksud, selanjutnya saya ajak anda semua untuk mengikuti sejumlah kasus iman yang terlalu kuat berikut ini, yang akhirnya malah menimbulkan bencana.
Pada tahun 2009 putera mereka Kent Schaible mati dalam usia 2 tahun setelah lebih dari seminggu menderita pneumonia di rumah tetapi tidak dibawa ke dokter untuk diobati, melainkan hanya didoakan dengan yakin oleh papa dan mamanya untuk kesembuhannya. Bagi mereka, iman kepada Yesus akan pasti mendatangkan kesembuhan./1/
Atas musibah “faith healing” ini, Herbert dan Catherine Schaible diajukan ke pengadilan dengan dakwaan telah melakukan pembunuhan tanpa direncanakan. Tetapi mereka pada masa itu tidak dipenjarakan, melainkan ditempatkan di bawah pengawasan yang berwajib selama 10 tahun untuk menguji kelakuan mereka selanjutnya, dan mereka diwajibkan untuk melapor secara berkala. Mereka juga diwajibkan untuk mengadakan checkup sekali per tahun atas kesehatan anak-anak mereka dan mengharuskan mereka untuk membawa anak-anak mereka ke dokter jika mereka sakit atau terluka.
Tetapi pada April 2013 Brandon Schaible, bayi mereka yang baru berusia 8 bulan, mati terserang pneumonia setelah 3 hari menderita demam dan memperlihatkan gejala-gejala flu, tanpa dibawa ke dokter oleh papa dan mamanya, melainkan hanya didoakan.
Kembali mereka diajukan ke pengadilan untuk kasus yang sangat serupa dengan kasus mereka di tahun 2009. Dalam sidang pengadilan minggu pertama Agustus 2013, hakim Benjamin Lerner mendakwa keduanya telah melakukan pembunuhan tingkat ketiga. Bulan depan (September 2013) mereka akan diadili kembali. Vonis penjara 20-40 tahun akan dijatuhkan kepada mereka dalam pengadilan di tahun depan atas dakwaan telah melakukan pembunuhan tingkat ketiga.
Setelah Brandon mati, kepada para detektif Herbert Schaible menegaskan bahwa dia dan isterinya percaya pada kesembuhan ilahi, karena Yesus telah mati di kayu salib untuk mengalahkan kuasa setan. Kini tujuh anak mereka yang masih hidup ditempatkan di bawah pengasuhan beberapa keluarga lain.
Pendeta gereja mereka, Nelson Clark, menegaskan dengan sangat yakin bahwa Herbert dan Catherine Schaible telah kehilangan dua anak mereka (dari keseluruhannya 9 anak) karena mereka telah hidup “tidak rohani”. Clark juga mempersalahkan pihak yang berwajib yang telah memaksa anggota-anggota gerejanya untuk memeriksakan penyakit mereka ke sistem pengobatan medis yang dinilainya “cacat”. Pada situs web gereja mereka dipasang sebuah khotbah yang diberi judul Healing: From God or Medicine? yang berisi kutipan ayat-ayat Alkitab yang melarang orang Kristen berobat ke dokter atau minum obat-obatan. Sebuah pesan pada situs ini berbunyi “Pastilah berdosa jika anda percaya pada pertolongan medis dan pil-pil; dan jika anda punya iman yang sejati, anda akan percaya hanya pada Nama Yesus untuk memperoleh kesembuhan.”
Hemat saya, pasangan suami-isteri Schaible sangat konsisten dengan iman ortodoks mereka ketika mereka tak mengobati penyakit kedua anak mereka saat keduanya belum meninggal dunia. Mereka bertindak sejalan dengan isi iman Kristen mereka. Saya sama sekali tidak bisa menyatakan bahwa mereka berdua bukan orang Kristen; tapi sebaliknya, mereka adalah orang Kristen yang sangat ortodoks. Orang Kristen ortodoks di seluruh dunia percaya bahwa oleh Yesus “sesungguhnya penyakit kita telah ditanggung dan kesengsaraan kita telah dipikul. Dan oleh bilur-bilurnya kita telah menjadi sembuh” (Yesaya 53:4-5).
Yang jadi persoalan serius adalah apakah iman semacam ini mujarab bagi penyembuhan penyakit manusia. Ihwal apakah doktrin Kristen tentang kemenangan Yesus Kristus dari kuasa setan yang diimani setiap orang Kristen mujarab secara magis bagi pembebasan manusia dari penyakit, saya serahkan kepada anda untuk mengevaluasinya dengan jujur. Kasus dalam keluarga Schaible menunjukkan dengan jelas bahwa iman Kristen semacam ini tidak mujarab, dan karena itu pasangan suami-isteri ini sekarang sedang berurusan dengan hukum pidana negeri Amerika Serikat.
Namun anda mungkin masih mau berkeras, lalu merujuk ke acara-acara kebaktian Kristen yang di dalamnya, kata anda, berlangsung banyak kesembuhan ilahi. Berbagai penyakit, mulai dari lumpuh sampai kanker, kata anda, disembuhkan total dalam acara-acara kebaktian ini oleh intervensi Allah langsung. Mukjizat kesembuhan terjadi bertubi-tubi, kata anda lagi. OK-lah, jika itu keyakinan anda. Tetapi, saya sudah banyak menelusuri klaim-klaim dahsyat semacam ini. Kesimpulan saya: nyaris dalam semua acara kebaktian semacam ini, yang terjadi adalah rekayasa kesembuhan, yang sudah dipersiapkan dengan apik sejak para pengunjung masuk ke ruang kebaktian sampai acara penyembuhan yang diklaim telah berlangsung, hingga akhir acara. Tentu Allah mahakuasa. Tetapi yang kita hadapi di dalam acara-acara kebaktian semacam ini adalah orang-orang yang mempunyai banyak kepentingan, bahkan banyak yang berakhlak sangat dangkal, yang sepatutnya tidak kita percayai begitu saja.
Ada baiknya anda menonton film dokumenter yang berjudul Marjoe, yang memenangkan Academy Award pada tahun 1972 sebagai film dokumenter terbaik. Ditayangkan di situ seorang mantan pendeta kharismatik Hugh Marjoe Ross Gortner (lahir 14 Januari 1944 di Long Beach, California) yang membuka kartu, mengaku dosa, tentang semua tipu daya dan trik yang dipakainya ketika menyelenggarakan kebaktian-kebaktian kebangunan rohani, termasuk acara-acara kesembuhan ilahi, untuk meraup US dollar berlimpah-limpah. Kepiawaian Marjoe sebagai seorang pekabar injil dewasa yang sukses dihasilkan dari banyak pelatihan yang sudah dijalaninya sejak dia kanak-kanak. Marjoe sendiri mengakui bahwa dia sendiri sama sekali tidak percaya pada semua hal yang dia biasa khotbahkan dari mimbar-mimbar. Sekarang anda dapat menemukan petikan-petikan adegan film tentang Marjoe ini di Youtube; saya sendiri menerimanya lengkap beberapa tahun lalu dalam bentuk sebuah DVD dari seorang sahabat di Jerman.
Bisa jadi anda akan menyatakan bahwa Marjoe Gortner bukanlah seorang Kristen, karena semua hal yang dilakukannya selama bekerja sebagai seorang pendeta kharismatik bertentangan dengan moralitas dan nilai-nilai kehidupan Kristen. Hemat saya, anda tidak bisa menyatakan demikian, sebab segala hal yang dilakukan Marjoe ketika masih bekerja sebagai seorang pendeta Kristen juga dilakukan nyaris semua pendeta dan pekabar injil Kristen lain di seluruh dunia, yang aktif dalam kegiatan-kegiatan kebaktian kebangunan rohani dan kebaktian penyembuhan ilahi, dan mereka semua disanjung tinggi-tinggi dan dipercaya mentah-mentah oleh umat-umat mereka di seluruh dunia. Dan mereka semua mengklaim semua hal yang mereka lakukan ada landasan-landasan skripturalnya, dalam Perjanjian Lama dan dalam Perjanjian Baru. Meskipun demikian, Marjoe dan para pakabar injil lain yang giat dalam kebaktian-kebaktian penyembuhan ilahi tidak memberi umat mukjizat, melainkan hanya cheap entertainment, hiburan murahan. You keep the faith, Marjoe keeps the money! Ini fakta.
Tetapi, dilihat dari sudut lain, kepercayaan total pada ayat-ayat kitab suci mungkin bagi banyak orang sangat berguna untuk membantu mereka lebih cepat masuk ke sorga, tanpa perlu menunggu sampai wafat di usia uzur. Contohnya ditemukan pada diri seorang pendeta Pentakostal, Mark Wolford (44 tahun), dari gereja Apostolic House of the Lord Jesus di Matoaka, Kentucky, Amerika Serikat./2/
Sebagaimana para pendahulunya, Wolford percaya penuh pada ucapan Yesus Kristus yang ditulis dalam Markus 16:17-18, bahwa berbagai “tanda” akan menyertai orang yang percaya padanya, antara lain jika mereka “memegang seekor ular berbisa”, ular ini tidak akan membahayakannya. Dengan kata lain, oleh kuasa Yesus Kristus setiap orang Kristen diberi kemampuan untuk menjadi seorang pawang ular.
Tentu, di dalam beberapa agama dewa-dewi digambarkan kerap menitis sebagai seekor ular sehingga hewan ini dipandang suci; dan di dalam kitab Kejadian dalam Tanakh Yahudi sang hewan ini malah digambarkan sebagai hewan paling cerdas yang mengetahui pikiran Tuhan.
Tetapi, bagaimanapun juga, dalam kenyataannya setiap ular berbisa sangat berbahaya untuk manusia, dan juga untuk setiap pawang ular. Dan hewan ini sama sekali tidak suci. Tentu anda dan saya harus cinta hewan, khususnya cinta ular sebagai hewan yang mungkin paling ditakuti dan dibenci orang pada umumnya, dan karena itu sering dibunuh. Tapi anda dan saya juga bertanggungjawab untuk menjaga diri tidak digigit ular berbisa, kecuali tubuh anda dan saya beserta semua anggotanya dibangun dari besi dan baja.
Pada hari Minggu, 27 Mei 2012, gereja Wolford menyelenggarakan ibadah di alam terbuka di Panther Wildlife Management Area di Virginia Barat, Amerika Serikat. Saat acara ritual memegang ular tiba, Wolford mengambil seekor ular pohon berbisa yang telah dibawanya, lalu meletakkannya di tanah. Selanjutnya dia berjalan mengitari ular itu, lalu duduk di sebelahnya. Saat itulah sang ular menggigit pahanya. Segera dia dibawa ke rumah seorang anggota gerejanya yang berjarak 80 mil untuk diobati di sana. Tetapi kondisinya memburuk, sehingga dia dibawa ke sebuah rumah sakit, dan tak lama kemudian dia meninggal di sana akibat gigitan ular itu.
Sulit untuk memahami perilaku Wolford yang dibentuk oleh imannya ini, berhubung bertahun-tahun sebelumnya Wolford sudah menyaksikan sendiri ayahnya mati saat berumur 39 tahun karena sebab yang sama: digigit seekor ular berbisa yang sedang dipegangnya. Kata Wolford di tahun 2011 kepada The Washington Post Magazine, “Ayahku bertahan hidup 10,5 jam. Setelah digigit ular, dia meminta dibawa ke gereja untuk mati di sana. Tiga jam setelah digigit, kedua ginjalnya berhenti bekerja. Tak lama kemudian, jantungnya berhenti berdetak. Aku benci melihat kejadian itu. Tapi ayahku mati karena apa yang diyakininya. Aku tahu kuasa Allah itu real. Jika aku tak kembali melakukannya, itu berarti aku menyangkali kuasa Allah, dan menganggapnya tidak ada.”/3/
Jelas, iman dan kepercayaan Wolford pada ucapan Yesus dan kuasa Allah sangat, sangat kuat dan k0koh. Tidak main-main. Kita bisa sangat kagum terhadap seseorang yang beriman seperti itu, kendatipun kita sama sekali tidak menyetujui isi iman dan kepercayaannya itu.
Tapi mungkin anda, dengan mengutip 1 Korintus 10:9, akan menyatakan bahwa Wolford sama sekali bukan seorang yang beriman, tapi sesungguhnya telah mencobai Allah sehingga dia dipagut ular yang berakhir dengan kematiannya. Tetapi hemat saya, Wolford sama sekali tidak mencobai Tuhan, malah dia sangat beriman dan sangat percaya pada ucapan Yesus dan kuasa Allah, alhasil dia sepenuhnya menyerahkan kematian dan kehidupannya pada Yesus dan kuasa Allah. Seandainya Yesus sekarang berdiri berhadapan dengan Wolford, tentu Yesus akan sangat senang dan berterimakasih kepada sang pendeta ini karena imannya yang begitu kuat.
Jadi, masalahnya bukan pada iman dan kepercayaan Wolford yang kokoh, tapi pada fakta tragis bahwa ucapan Yesus itu tidak terbukti benar, bahwa firman Allah dalam Markus 16:17-18 ternyata tak sesuai dengan kenyataan. Mengingat keadaannya seperti itu, sudah sepatutnya kita bertanya, apakah kita harus selalu percaya begitu saja pada apapun yang ditulis dalam kitab-kitab suci. Beriman dan percaya itu tentu dalam saat-saat tertentu bisa memberi sejumlah manfaat, tetapi apakah dapat dibenarkan dan bermanfaat jika kita beriman dan percaya membuta dan tidak kritis pada apapun yang dikatakan teks-teks kitab-kitab suci.
Dengan demikian tepatlah jika kita bertanya, apakah iman Wolford ini luar biasa kokoh, ataukah luar biasa bodoh dan lugu, dan sama sekali tidak kritis, yang bermuara pada tindakan bunuh diri yang sudah dipersiapkan, mungkin untuk mempercepat masuk ke sorga. Saya yakin anda sepakat dengan saya: iman Wolford memang sangat kokoh, tapi juga sangat bodoh, tidak cerdas dan tidak kritis. Mungkin yang membuat saya kagum terhadapnya bukanlah imannya yang kokoh, tapi kebodohannya.
Dan saya juga bertanya-tanya, sorga macam apakah yang diharapkan oleh orang yang beriman seperti itu, yang dapat dimasuki lewat tindakan bunuh diri. Tampaknya Wolford tidak takut mati, tapi dia juga takut hidup. Berani hidup itu jauh lebih berat ketimbang berani mati. Tentu anda setuju jika saya menyatakan bahwa orang Kristen yang beriman kokoh tapi bodoh seperti iman Wolford ini ada sangat banyak dalam dunia ini, karena mereka sudah sejak kecil diindoktrinasi untuk mempercayai apapun yang ditulis dalam Alkitab yang tak boleh diragukan dan dipertanyakan sedikitpun. Mudah-mudahan anda tak termasuk di antara mereka.
Sekarang mari kita renungkan: sekuat apapun iman dan kepercayaan anda kepada Tuhan anda, iman dan kepercayaan anda ini ada batas-batasnya, dan jika batas-batas ini dilanggar bukan kebahagiaan yang anda akan peroleh, tetapi malapetaka. Jika malapetaka terjadi karena iman keagamaan yang kebablasan, negara harus turun tangan untuk menangani dan mengendalikan iman yang semacam ini.
Sekuat apapun iman keagamaan pribadi anda, ketika iman anda ini mendorong anda bertindak kriminal dan mengancam kehidupan anda sendiri dan kehidupan orang lain, iman semacam ini juga menjadi urusan masyarakat dan negara. Dalam dunia ini tidak ada iman yang murni pribadi. Hidup beragama itu juga selalu bersifat sosial; dengan demikian selalu ada norma-normal sosial yang mengontrol dan membatasinya.
Jika anda dengan maksimal menggunakan akal sehat, ilmu pengetahuan, nurani yang matang, dan pengalaman umum umat manusia, anda akan tahu di mana letak batas-batas iman keagamaan anda yang tak boleh anda langgar. Begitu batas-batas ini anda labrak dan robohkan, penderitaan akan anda dan banyak orang lain alami. Keadaan seperti ini dapat terjadi dalam setiap agama.
Hanya dengan cerdas beragama, anda tidak akan ikut-ikutan mempertahankan iman dan kepercayaan yang buta yang akan berakhir pada banyak malapetaka dan kesengsaraan. Beragama dengan cerdas itu dibimbing oleh akal, dan memakai akal semaksimal mungkin adalah kehendak Tuhan agama apapun. Jika ada Allah yang diklaim membenci dan menolak akal, Allah ini pasti Allah gadungan.
Sekarang mari kita masuk ke sebuah kasus lain yang sama-sama memprihatinkan. Pada tahun 2008, pasangan suami-isteri Kristen, Larry dan Carri Williams, dengan baik hati mengadopsi seorang gadis cilik dari Ethiopia yang bernama Hana pada usianya yang ketigabelas. Di negara bagian Washington, AS, tempat tinggal mereka, mereka tidak mengirim Hana ke sekolah untuk belajar. Sebagai gantinya, mereka menyelenggarakan sendiri pendidikan dalam rumah (homeschooling), dengan mereka bertindak sebagai guru-guru gadis cilik ini./4/
Sebagai panduan kegiatan pendidikan anak dalam rumah ini, mereka memakai sebuah buku yang diterbitkan dan dipakai oleh banyak keluarga Kristen fundamentalis ekstrim yang berjudul To Train Up A Child yang ditulis oleh Michael and Debi Pearl./5/
Buku ini memuat petunjuk-petunjuk teknis mendidik anak, yang disusun berdasarkan teks-teks Alkitab. Dalam buku ini, para guru homeschooling diminta untuk antara lain memakai berbagai peralatan dan barang keperluan tukang ledeng untuk memukul bagian-bagian tubuh anak-anak sejak mereka berusia satu tahun. Di antaranya, selang plastik diharuskan dipakai untuk memukul tubuh anak-anak yang sedang dididik jika mereka bandel atau tak bisa menangkap pelajaran. Jika makin bandel, buku ini mengharuskan anak-anak direndam dalam bak berisi air dingin, atau ditempatkan di luar rumah ketika udara dingin dan tidak diberi makan seraya digebuki berulangkali.
Instruksi-instruksi penghukuman badan yang termuat dalam To Train Up A Child diikuti sepenuhnya oleh Larry dan Carri Williams ketika mereka mendidik Hana. Setelah sekian lama Hana digebuki, direndam, disiksa dan dibuat kelaparan, akhirnya Hana mati dengan mengenaskan (Mei 2011).
Ketika pihak yang berwajib menyelidiki penyebab kematian Hana, mereka menemukan indikasi-indikasi kuat Hana mati karena berbagai siksaan tubuh, seperti yang diinstruksikan dalam buku To Train Up A Child yang digunakan Larry dan Carri Wiliams. Ketika mereka diadili di negara bagian Washington, laporan-laporan para saksi dan bukti-bukti menunjukkan bahwa Carri telah seringkali menggebuki Hana dengan selang plastik, dan seringkali membuat Hana kelaparan berhari-hari. Berbagai bentuk kekerasan lain yang digariskan dalam buku ini juga ditemukan telah dilakukan banyak kali oleh pasangan suami-isteri ini terhadap putri angkat mereka itu.
Pada akhir September 2013 yang lalu, saat mereka diadili, juri menyatakan Larry Williams telah terbukti bersalah melakukan pembunuhan tingkat pertama; dan isterinya, Carri Williams, telah terbukti bersalah melakukan penganiayaan dan pembunuhan atas diri Hana.
Hakim pengadilan tinggi Susan Cook sedikitpun tidak bimbang atau merasa kasihan ketika dia menjatuhkan hukuman penjara 37 tahun kepada Carri Williams dan di bawah 28 tahun kepada suaminya, Larry Williams. Lamanya dua hukuman ini berada di atas hukuman standard, tapi masih berada dalam batas-batas hukuman maksimal yang boleh dijatuhkan. Hakim Cook menyatakan, “Aku merasa hukuman kepada mereka berdua harus klop dengan kebiadaban yang dirasakan masyarakat. Aku betul-betul tidak bisa mengerti. Aku pikir pada momen-momen tertentu selama pengadilan ini digelar, kita semua terduduk melongo dan kehabisan kata-kata. Kita kehilangan harapan sekecil apapun untuk bisa memahami kasus ini.”
Selain kasus Hana di atas, buku To Train Up A Child juga dikaitkan dengan kematian sedikitnya dua anak, Sean Paddock 4 tahun dari North Carolina dan Lydia Schatz 7 tahun dari California. Dalam masing-masing kasus ini, teknik-teknik penghukuman badan yang digariskan dalam buku panduan kontroversial dan tak masuk akal sehat ini juga digunakan.
Saya sudah memeriksa sekilas isi buku To Train Up A Child. Pada bagian awal bab 1 buku ini, dua orang penulisnya menegaskan bahwa seluruh isi bukunya disusun berdasarkan “prinsip-prinsip Alkitabiah”, lalu menyusul kutipan dan rujukan ke ayat-ayat Alkitab. Saya tak meneruskan membacanya, karena keburu muak.
Dalam website Amazon.com,/6/ seorang pembaca buku To Train Up A Child mengungkapkan kemarahannya, berikut ini:
“Sebagai seorang anak yang tumbuh dalam sebuah rumah tangga yang kejam, buku ini membuat perutku melilit dan kepalaku pening. Aku sungguh berharap dinas-dinas perlindungan anak mau mengusut dan menangkap orang-orang yang mengagungkan pemukulan terhadap anak-anak dengan rotan sebagai cara untuk membuat anak-anak ini patuh. Aku mempunyai seorang anak berusia empat bulan, dan dalam buku ini mereka menganjurkan anak-anak disabet pada betis kaki-kaki mereka dengan rotan pada umur empat bulanan. Ketika aku baca itu, akupun mulai menangis untuk bayi-bayi lemah yang baru dilahirkan yang sedang dipukuli. Buku ini benar-benar jahat. Buku ini tidak memuat firman Allah yang aku kenal atau Allah manapun yang kepadanya aku dapat berdoa. Buku ini tak memuat ajaran kekristenan. Buku ini kekejaman pada anak-anak. Buku ini keji, dan melawan hukum. Orang-orang yang menerapkan petunjuk-petunjuk di dalamnya akan diadili oleh Allah atas dosa-dosa mereka” (Jessica E. McCarthy, 3 Februari 2013).Juga ini,
“Buku ini telah dikaitkan dengan beberapa kasus kekejaman terhadap anak-anak yang berakhir dengan kematian tak kurang dari tiga anak. Saya seorang mama dari enam anak yang cantik-cantik: beberapa tumbuh di rumah kami, dan beberapa lagi datang ke kami dari negeri-negeri lain. Mereka masing-masing sangat berharga dan mulia. Saya sangat percaya bahwa setiap anak yang datang ke anda adalah seorang manusia yang utuh. Adalah tugas saya sebagai seorang mama untuk mendorong mereka mengembangkan hal-hal yang kuat yang ada dalam diri mereka dan memberikan mereka sarana-prasarana untuk membantu mereka mengalahkan sifat-sifat mereka yang lebih lemah. Selamanya bukanlah tugas saya untuk memutuskan siapa diri mereka nanti, atau untuk mematahkan semangat mereka, atau untuk mendidik mereka dengan kejam di dalam rumah mereka sendiri. Usia anak-anakku berkisar antara 14 tahun hingga 2 tahun, dan mereka masing-masing adalah suatu berkat. Mereka berbeda satu sama lain. Berkaitan dengan disiplin, mereka masing-masing membutuhkan sesuatu yang berbeda dari kami. Cintailah anak-anak anda. Dari saat ke saat kenalilah mereka. Jika anda seorang yang beragama, mintalah petunjuk Tuhan. Dan JANGAN BELI BUKU INI.” (Heavenspeas, 19 Februari 2013).Dan ini juga,
“Saya seorang bunda dari empat anak, dan seorang oma dari delapan cucu. Mereka semua dibesarkan dengan cinta dan kebaikan, tidak dengan metode-metode kejam yang dianjurkan buku ini. Bagaimana bisa sampai Amazon menjual buku semacam ini? Buku ini adalah manual untuk bertindak kejam terhadap anak-anak. Dan tolong jangan menyebut metode yang ditawarkan buku ini sebagai metode Kristen. Kristus itu orang yang penuh cinta, bukan orang yang dituturkan dalam buku sampah ini.” (Susan C. Oliver, 24 Juli 2013)
Jelas, buku To Train Up A Child tergolong sebagai buku kalangan Kristen ekstrim fundamentalis. Orang Kristen yang tidak fundamentalis seperti Jessica E. McCarthy dan Susan C. Oliver jelas akan sangat murka terhadap kedua penulis buku ini.
Ada baiknya kita memahami psikologi orang-orang beragama yang ekstrim fundamentalis: mereka telah dibiasakan sangat selektif terhadap buku-buku yang perlu dibaca; hanya buku-buku yang sejalan dengan ideologi keagamaan fundamentalis yang akan mereka baca dan gunakan, di antaranya adalah buku-buku yang banyak mengutip ayat-ayat kitab suci dan menerapkan ayat-ayat ini secara harfiah pada kehidupan mereka sehari-hari. Kalangan ekstrim fundamentalis sudah terkondisi secara psikologis untuk tunduk pada ayat-ayat kitab suci mereka, apapun kata ayat-ayat ini. Di hadapan ayat-ayat kitab suci, akal sehat dan nalar mereka tidak berjalan lagi. Kita sebut mereka juga kalangan literalis skripturalis. Bagaimanapun juga, mereka adalah bagian dari kekristenan, suatu fakta yang tak boleh anda sangkal.
Pelajaran apa yang dapat kita tarik dari kasus ini?
Ketika teks-teks kitabsuci merenggut kesadaran dan akal sehat manusia, bahkan orangtua pun tega untuk membunuh anak mereka sendiri. Beragama atau percaya kepada teks-teks kitab suci itu ada batas-batasnya. Ketika batas-batas ini dilanggar dan diterobos, kejahatan dan bencanapun menimpa.
Ketika ini terjadi, hukum positif suatu negara memang harus mengambil kendali, lalu dijalankan dengan tegas untuk menghukum orang-orang yang telah mengamalkan agama mereka dengan bodoh dan tanpa rasa kemanusiaan. Sangat sering agama tak membuahkan kehidupan, kedamaian dan pembebasan, tapi hanya kematian, silang sengketa dan belenggu.
Agama itu adalah sebuah fenomena sosial; karena itu, setiap ekspresi iman keagamaan yang paling pribadipun senantiasa harus dikontrol oleh norma-norma sosial, supaya membuahkan hanya kebaikan dan kehidupan untuk masyarakat. Tak ada agama yang murni urusan pribadi. Hendaklah ke depannya, anda, Kristen atau bukan, beragama dengan memakai akal sehat dan mengutamakan rasa kemanusiaan, beragama dengan cerdas dan bajik untuk semua orang.
--------------
/1/ Sumber berita kasus Herbert dan Catherine Schaible, lihat “Catherine, Herbert Schaible's Second Child Dies After Parents Use Prayer, No Medicine”, Huffington Post Crime, 23 April 2013, pada http://www.huffingtonpost.com/2013/04/23/herbert-catherine-schaible_n_3138001.html. Lihat juga Dan Stamm, “Second child of faith-healing couple dies after no medical care”, U.S.News.NBCNews, 23 April 2013, pada http://usnews.nbcnews.com/herbert-and-catherine-schaible.
/2/ Sumber berita kasus Pendeta Mark Wolford http://news.yahoo.com/serpent-handling-west-virginia-pastor-dies-snake-bite-173406645--abc-news-topstories.html.
/3/ Lihat juga http://articles.washingtonpost.com/2011-11-10/lifestyle/35281689_1_snake-handlers-drink-strychnine-wolford. Dan ini juga http://www.washingtonpost.com/lifestyle/magazine/snake-handling-a-fading-tradition/2011/11/09/gIQASbXw8M_gallery.html#photo=1.
/4/ Sumber berita Michael Stone, “Christian homeschoolers receive maximum jail time for death a child”, Examiner.com, 3 November 2013, pada http://www.examiner.com/article/christian-homeschoolers-receive-maximum-jail-time-for-death-of-child. Lihat juga Skagit Valley Herald, “Larry, Carri Williams Convicted in Death of Adopted Daughter”, Huffington Post Crime, 09 September 2013, pada http://www.huffingtonpost.com/2013/09/09/adopted-daughter-death_n_3893643.html.
/5/ Michael and Debi Pearl, To Train Up A Child (Pleasantville, TN: NGJ Ministries, cetakan pertama 1994).
/6/ Dapat dibaca di http://www.amazon.com/To-Train-Child-Michael-Pearl/dp/1892112000/ref=sr_1_1?ie=UTF8&qid=1385829197&sr=8-1&keywords=to+train+up+a+child.
Saturday, August 10, 2013
Anda ingin menang dari penderitaan?
Salah satu prinsip Buddhis tentang kehidupan dinamakan nekkhamma, non-attachment, ketidakmelekatan pada hal apapun yang ada dalam dunia ini. Tidak melekatkan hati, pikiran dan raga anda pada semua hal yang ada dalam dunia fenomenal. Semua yang fenomenal dipandang bukan hakikat atau noumena yang sejati, yang sudah terlepas dari semua dualisme. Masuk ke dalam dunia noumena hanya bisa dialami lewat latihan nekkhamma terus-menerus.
Salah satu penyebab utama penderitaan adalah kita melekatkan diri kita sepenuhnya pada hal-hal yang ada dalam dunia ini.
Kalau kita melekat sangat kuat pada harta kekayaan kita, ketika harta ini lenyap, kita akan sangat menderita, yang bisa berakibat bunuh diri.
Kalau seorang ayah sangat melekat pada putranya, dan saat si putera ini durhaka kepadanya, sang ayah akan bisa menderita batin seumur hidupnya.
Kalau seorang pemuda sangat melekat pada pacarnya, saat si pacar ini meninggalkannya, si pemuda akan mengalami derita batin sangat berat.
Kalau seorang penguasa sangat melekat pada kekuasaannya, ketika kekuasaannya ini lenyap, sang penguasa ini mungkin sekali akan bunuh diri.
Menerapkan prinsip nekkhamma akan membebaskan kita dari penderitaan yang ditimbulkan oleh melekatnya diri kita pada banyak hal dan banyak perkara dalam dunia ini.
Kita tentu perlu memiliki banyak hal untuk dapat hidup berbahagia, tapi jangan kita lekatkan diri kita habis-habisan pada hal apapun yang kita miliki.
Apapun yang kita miliki, harus kita pandang bukan sebagai milik kita mutlak, dan suatu saat kita akan harus rela melepaskannya semuanya.
Kita dilahirkan ke dalam dunia ini tanpa membawa apapun, dan akan juga suatu saat meninggalkan dunia ini tanpa membawa apapun. Dari ketiadaan kembali ke ketiadaan. Ini hukum alam.
Jika anda ingin berbahagia dan lepas dari penderitaan, salah satu jalannya adalah menerapkan prinsip nekkhamma.
Jika anda menerapkan nekkhamma, maka ketika anda sedang menderita sangat berat pun, penderitaan ini tak akan berkuasa atas diri anda.
Ketika anda sedang menderita sangat berat, tapi anda tak melekatkan diri anda pada penderitaan anda, anda akan tenteram memikulnya. Anda menderita, tapi anda tetap tenang, dan anda mengendalikan penderitaan anda, bukan penderitaan anda mengendalikan anda.
Jika penderitaan anda, berhasil anda kendalikan, anda telah menang atas penderitaan anda meskipun anda sedang menderita.
Untuk bisa menerapkan prinsip nekkhamma, anda harus berlatih dengan tekun, mulai dari perkara-perkara kecil sampai perkara-perkara lebih besar.
Untuk bisa menjalankan nekkhamma, anda mutlak harus bisa me-manage pikiran anda sendiri. Apa yang ada dalam pikiran anda, membentuk diri anda sendiri. Manajemen pikiran yang dilakukan dengan baik dan benar, akan membebaskan anda dari penderitaan batin dan kelelahan pikiran. Meditasi adalah sebuah metode mengelola pikiran anda.
Segalanya anda telah miliki karena anda tidak memerlukan, dan tidak mengikatkan diri pada, hal apapun dalam dunia ini. Orang yang terus-menerus menginginkan, adalah orang yang belum memiliki segalanya.
Tetapi anda adalah orang bebas. Anda tidak terikat lagi.
Ketika lewat nekkhamma anda tiba pada kondisi tidak melekat lagi pada hal apapun dalam dunia ini, anda telah memiliki segalanya dalam dunia ini. Inilah jalan menuju kestabilan pikiran dan batin, alhasil orang akan selalu tetap teduh dan tenang, kendatipun dunia sekitarnya terus berubah.
Saturday, August 3, 2013
Ingin berbahagia dalam beragama?
Kesalahan terbesar umat beragama pada umumnya adalah mereka memperlakukan kitab suci mereka sebagai buku sejarah dan buku ilmu pengetahuan.
Akibatnya, ketika terlihat banyak benturan antara kajian sejarah sebagai suatu disiplin ilmu dan isi kitab suci, mereka resah sendiri.
Dalam keresahan ini, mereka bisa keras kepala menolak hasil-hasil kajian sejarah sebagai ilmu, dan dengan kekeh mempertahankan isi kitab suci mereka mati-matian.
Atau mereka bingung seumur kehidupan mereka, mana yang harus dipegang, kebenaran kajian sejarah sebagai ilmu atau isi kitab suci mereka yang mereka yakini berisi kebenaran yang tak bisa salah. Kebingungan seumur hidup ini menyebabkan mereka menjadi orang beragama yang selalu mengalami tekanan kejiwaan, seumur kehidupan mereka.
Akibatnya juga, ketika hasil-hasil kajian ilmiah tentang berbagai fenomena alam dan realitas berbenturan dengan teks-teks kitab suci mereka yang mereka yakini juga sebagai buku ilmu pengetahuan, mereka menjadi anti-ilmu pengetahuan bahkan membencinya dan selalu menyerangnya. Bagaimana seorang pemeluk suatu agama bisa cerdas dan terpelajar, jika agama yang dianutnya ini membuatnya benci pada ilmu pengetahuan?
Tetapi, sebagai reaksi negatif untuk menunjukkan mereka juga bisa cinta ilmu pengetahuan, mereka berupaya mati-matian untuk menunjukkan bahwa kitab suci mereka juga kitab sains dengan membangun apa yang dinamakan "sains skriptural" yang sebenar-benarnya bukan sains sejati, tetapi doktrin-doktrin keagamaan yang mereka secara sepihak klaim sebagai ilmu pengetahuan.
Hidup beragama dalam kondisi-kondisi tersebut di atas sangat tidak membahagiakan, dan tidak akan memberikan sumbangan signifikan bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan peradaban modern insani, bahkan memperbodoh masyarakat dan suatu bangsa dan memenjarakan masyarakat dalam zaman-zaman kuno yang sudah lama ditinggalkan.
Untuk mengelakkan kondisi-kondisi buruk tersebut di atas, tak ada jalan lain selain dengan konsisten memandang dan memperlakukan kitab-kitab suci sebagai kitab-kitab keagamaan, kitab-kitab yang memuat doktrin-doktrin keagamaan yang berkaitan dengan kebutuhan manusia akan sejumlah nilai-nilai dan moralitas, bukan berisi fakta-fakta sains. Agama itu ya agama, sebuah sistem kepercayaan pada hal-hal yang tidak empirik, jadi sebetulnya sama sekali tidak bisa dijadikan sains. Kitab suci itu ya kitab keagamaan, kitab yang memuat perenungan-perenungan insani tentang siapa dan bagaimana Tuhan itu; jadi sebetulnya sama sekali tidak bisa diperlakukan sebagai sebuah ensiklopedia ilmu pengetahuan.
Jadi, jelaslah bahwa beragama itu ada batas-batasnya, dan jika batas-batas ini diakui dan dihormati, berbahagialah manusia. Tetapi jika batas-batas ini dilanggar, dan agama ingin dan harus diberlakukan mutlak untuk semua bidang kehidupan dan untuk segala zaman dan tempat, menderitalah manusia.
Bukankah agama pada dasarnya bertujuan untuk membahagiakan manusia?
Agama sungguh-sungguh suatu sumber kebahagiaan untuk manusia sejauh batas-batasnya tidak dipaksa diterjang dan dilampaui.
Segala sesuatu dalam dunia ini ada batas-batasnya, juga agama, dan hanya kasih sayang Tuhan YM kuasa patut dipercaya tak ada batasnya. Karena kasih sayang Tuhan itu tak ada batasnya, kasih sayang ini tidak bisa habis diungkap oleh hanya satu agama atau bahkan oleh semua agama. Kasih sayang Tuhan juga bekerja di luar dunia agama-agama, bahkan di dalam dunia yang tanpa agama sekalipun.