Di sebelah ini adalah sebuah foto angkasa paling mutakhir yang dipublikasi NASA dan Badan Antariksa Eropa, yang berhasil ditangkap oleh Teleskop Antariksa Hubble. Foto ini memperlihatkan gambar terdalam jagat raya yang pernah diambil dengan cahaya near-infrared light. Objek-objek yang paling suram dan paling merah pada foto ini adalah galaksi-galaksi yang terbentuk 600 juta tahun setelah Big Bang. Tidak ada galaksi yang telah dilihat sebelumnya yang terbentuk sangat dini seperti galaksi-galaksi pada gambar ini. Gambar yang begitu dalam dan jauh menerawang jagat raya ini juga memberi pengetahuan-pengetahuan lebih luas mengenai bagaimana galaksi-galaksi tumbuh pada masa formatif mereka, yang berlangsung sangat dini dalam sejarah jagat raya. Sebelumnya juga telah ditemukan sebuah galaksi yang diberi nama Galaksi 1255-0, yang terbentuk ketika jagat raya sudah berusia 3 miliar tahun setelah Big Bang (tentang Galaksi 1255-0 ini, klik di sini).
Apa yang sebenarnya dicari para ilmuwan angkasa ketika mereka meneropong angkasa sejauh-jauhnya? Tentu mereka ingin menyibak sejarah terbentuk dan berkembangnya jagat raya, sejarah galaksi-galaksi di dalamnya, dan mencoba merekonstruksi apa yang terjadi atau apa yang sebenarnya sudah ada sebelum Big Bang, before the Big Bang. Hingga kini para saintis belum bisa tiba pada periode sebelum Big Bang; periode ini masih berupa sebuah gap dalam pengetahuan manusia mengenai angkasa luar nan maha luas, dalam kosmologi modern. Ketika Stephen Hawking ditanya, ada apa sebelum Big Bang, dia menjawab bahwa pertanyaan ini “meaningless”, sama seperti orang bertanya “Ada apa di utara Kutub Utara?” Tetapi para agamawan sudah cepat-cepat mengisi gap ini dengan suatu figur allah sang Pencipta Big Bang, sehingga allah semacam ini diejek oleh para ilmuwan sebagai god of the gaps.
Sudah pasti para saintis juga (dan kita semua di belakang mereka!) mencari bentuk-bentuk kehidupan cerdas di angkasa luar (via proyek SETI, the Search for Extraterrestrial Intelligence). Sama seperti mereka, kita juga bertanya: Apakah di jagat raya, di angkasa luar, kita memiliki saudara-saudara? Are we alone in the universe? Or do we have sisters and brothers out there in the night sky? Hemat saya, menemukan saudara-saudara kita di sana, apapun peringkat kecerdasan mereka, jauh lebih penting ketimbang mencari dan menemukan keberadaan suatu allah di dalam jagat raya. Hi Green Jack, are you there in the sky? I am here on Planet Earth. Can you see me? Can you hear me calling you?
by Ioanes Rakhmat
Wednesday, December 30, 2009
Tuesday, December 1, 2009
Asal-usul Penetapan 25 Desember sebagai Hari Natal Yesus Kristus
Baru saja bayi Yesus dilahirkan di Kalkuta, India, dan sapi-sapi suci ikut menyambutnya
"Aku mengagungkan Natal dalam hatiku, dan berusaha mempertahankannya sepanjang tahun."
☆ Charles Dickens (pujangga besar Inggris, 1812-1870)
"Hati nurani yang baik adalah Natal yang tak pernah usai."
☆ Benjamin Franklin (seorang bapak pendiri Amerika, 1706-1790)
"Anakku, Natal adalah cinta kasih yang aktif. Kapanpun engkau mencintai, kapanpun engkau memberi, itulah Natal."
☆ Dale Evans (musikus dan aktris Amerika, 1912-2001)
Sesungguhnya, tidak seorang pun tahu kapan persisnya Yesus dari Nazareth dilahirkan ke dalam dunia ini. Tidak ada suatu Akta Kelahiran zaman kuno yang menyatakan dan membuktikan kapan dia dilahirkan. Tidak ada seorang saksi hidup yang bisa ditanyai.
Berlainan dari tuturan kisah-kisah kelahiran Yesus yang dapat dibaca dalam pasal-pasal permulaan Injil Matius dan Injil Lukas, sebetulnya pada waktu Yesus dilahirkan, bukan di Bethlehem, tetapi di Nazareth, tidak banyak orang menaruh perhatian pada peristiwa ini. Paling banyak, ya selain ibunya, beberapa tetangganya juga ikut sedikit disibukkan oleh kelahirannya ini, di sebuah kampung kecil di provinsi Galilea, kampung Nazareth yang tidak penting.
Baru ketika Yesus sesudah kematiannya diangkat menjadi sang Messias Kristen agung oleh gereja perdana, atau sudah dipuja dan disembah sebagai sang Anak Allah, Raja Yahudi, dan Juruselamat, disusunlah kisah-kisah kelahirannya sebagai kelahiran seorang besar yang luar biasa, seperti kita dapat baca dalam pasal-pasal awal Injil Matius dan Injil Lukas (keduanya ditulis sekitar tahun 80-85 M). Dalam abad-abad pertama M, di dunia Yunani-Romawi atau yang biasa dikenal sebagai kawasan Laut Tengah, kisah-kisah epik yang mengagung-agungkan manusia, yang disebut aretalogi (artinya, kisah-kisah kebajikan besar), banyak disusun, dan aretalogi sosok Yesus dari Nazareth hanyalah salah satu saja./1/
Dalam dunia kuno itu, dengan setiap bangsa punya satu atau beberapa sosok insani yang agung dan akbar (mulai dari filsuf, guru kebijaksanaan, manusia perkasa, jenderal hingga raja dan kaisar), aretalogi disusun dengan sangat kaya dan mempesona dan menggerakkan sisi afektif manusia. Lewat aretalogi, sosok-sosok manusia agung diberi legitimasi sebagai dewa-dewi atau allah-allah besar, suatu praktek religiopolitik yang dinamakan deifikasi atau apotheosis.
Praktek ini pada zaman itu dan di dunia Yunani-Romawi lazim dilakukan dan tidak dinilai sebagai syirik sama sekali. Mengkritik, menolak dan melawan kekristenan di dunia modern dengan doktrin syirik tentu saja suatu anakronisme dan etnosentrisme yang serba semberono, salah sasaran. Ada sekian syarat dan prosedur yang harus dipenuhi sebelum suatu sosok insani besar resmi dideifikasi dan diberi status Dewa atau Allah.
Tentu saja, aretalogi bukan sastra sejarah; di dalamnya, sejarah dan mitos atau teologi dicampur, fakta dan kisah teologis digabung; sudah sulit untuk memisahkan keduanya, tetapi bisa dilakukan lewat kajian-kajian kritis sejarah dan sastra. Penyusunan aretalogi dan praktek apotheosis berlangsung dalam suatu kompetisi religiopolitik yang pada akhirnya dapat melahirkan agama-agama baru yang diterima. Ingat, di zaman kuno sekularisasi belum dikenal dan tidak dipraktekkan. Agama ya politik dan politik ya agama.
Dalam abad ke-21 ini tentu saja nyaris semua bentuk dan aliran kekristenan yang ada dalam dunia modern tidak akan ceroboh dan petantang-petenteng untuk dengan naif mengganti semua sistem politik modern yang dikenal sebagai demokrasi dengan teokrasi Kristen yang tentu saja juga akan tidak satu bentuk.
Karena pengagungan dan penyembahan yang dilakukan gereja-gereja perdana terhadap Yesus, sosok yang sebetulnya dilahirkan di Nazareth ini, kota yang sama sekali tidak penting, diubah, lewat berbagai aretalogi (dalam Perjanjian Baru maupun di luarnya), menjadi sosok religiopolitis yang dilahirkan di kota Raja Daud, kota Bethlehem, kota yang disucikan dan diagungkan sebagai kota asal sang Messias Yahudi sejati mana pun. Sebutan “Yesus orang Nazareth” adalah sebuah petunjuk kuat bahwa Yesus dilahirkan di Nazareth, bukan di Bethlehem.
Dengan menyatakan kota Bethlehem, kota Raja Daud, sebagai kota kelahiran Yesus, maka Raja Daud yang hidup seribu tahun sebelumnya (abad 10 SM) pun dibuat menjadi bapak moyang agung sosok Yesus dari Nazareth. Untuk melegitimasi usaha religiopolitis peningratan Yesus ini, maka silsilah Yesus disusun yang dengan lebih dari satu cara mempertalikan sosok Yesus dari Nazareth dengan Raja Daud sebagaimana dapat dibaca dalam Injil Matius 1:1-17. Silsilah Yesus versi Matius ini tidak sama dengan silsilah Yesus yang disusun atau dipakai penulis Injil Lukas (3:23-38). Masing-masing silsilah ini tidak sama karena memang disusun untuk tujuan dan kepentingan religiopolitis yang berbeda.
Pada sisi lainnya, penulis Injil Kristen tertua intrakanonik, yakni Injil Markus (ditulis tahun 70 M), sama sekali tidak memandang penting untuk menyusun sebuah kisah kelahiran Yesus.
Pada ujung satunya lagi, yakni dalam Injil Yohanes (ditulis akhir abad pertama M, sekitar tahun 90-an), juga tidak ditemukan kisah apapun tentang kelahiran Yesus. Dalam Injil Keempat ini, kisah Natal diganti dengan apa yang dinamakan protologi, yakni kepercayaan tentang apa yang ada pada awal atau permulaan segala zaman. Injil ini dibuka dengan kata-kata ini, “Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah” (Yohanes 1:1). Jadi, kota Nazareth dalam injil ini diganti dengan kawasan di luar dunia ini, tempat asal-usul Yesus Kristus sebagai “sang Firman yang telah menjadi manusia” (Yohanes 1:14). Dalam Injil Yohanes, persalinan seorang perempuan diganti dengan inkarnasi atau penitisan.
Dalam tuturan penulis Injil Lukas, kelahiran Yesus diwartakan sebagai kelahiran seorang tokoh Yahudi yang menjadi pesaing religio-politis Kaisar Agustus, yang sama ilahi dan sama berkuasanya, yang kelahiran keduanya ke dalam dunia merupakan “kabar baik” (euaggelion) untuk seluruh bangsa karena keduanya adalah “Juruselamat” (sōtēr) dunia. Berita dalam Lukas 2:10,11 jelas dilatarbelakangi dan mau menyaingi dekrit Majelis Provinsi Asia tentang Kaisar Agustus yang dikeluarkan tahun 9 M. Dekrit ini menyatakan:
“Sang Kaisar Ilahi Tertinggi . . . harus kita pandang setara dengan Sang Awal segala sesuatu.... Kaisar adalah sang Dewa Kebaikan bagi semua orang . . . Sang Awal kehidupan dan kekuatan.... Semua kota sepakat untuk menjadikan Natal sang Kaisar Ilahi sebagai awal tahun baru.... Sang Providentia yang telah mengatur seluruh kehidupan . . . telah membawa kehidupan kita ke puncak kesempurnaan . . . lewat sang Kaisar Agustus yang telah dianugerahkannya kepada kita. Oleh sang Providentia sang Kaisar telah dipenuhi dengan kebajikan dan kebijaksanaan demi keselamatan seluruh umat manusia. Sang Kaisar, yang telah diutus kepada kita dan semua keturunan kita sebagai Sang Penyelamat, telah mengakhiri perang dan telah menempatkan segala sesuatu pada tempatnya yang teratur. Dan . . . akhirnya, hari Natal sang Dewa Agustus telah menjadi awal Kabar Baik bagi seluruh dunia, kabar baik tentang dirinya sendiri. Karena itulah, kelahirannya telah menjadi awal zaman baru.”/2/
Dalam tuturan penulis Injil Matius, kanak-kanak Yesus yang telah dilahirkan, yang diberitakan sebagai kelahiran seorang Raja Yahudi, telah menimbulkan kepanikan pada Raja Herodes Agung yang mendorongnya untuk memerintahkan pembunuhan semua anak di Betlehem yang berusia dua tahun ke bawah (Matius 2:2, 3, 16). Kisah ini tentu saja suatu fiksi, atau suatu kisah teologis yang disejarahkan, dan gereja perdana mempunyai sebuah model yang bagus untuk menyusun kisah jenis ini, yang diambil dari kitab suci Yahudi. Model yang dipakai adalah sosok Nabi Musa, yang dilahirkan ketika sang Firaun Mesir sedang menjalankan aksi pembunuhan atas anak-anak Ibrani yang terlahir sebagai bayi laki-laki, seperti dikisahkan dalam Keluaran 1:15-2:10.
Kisah teologis yang disejarahkan atau dihistorisasi ini disusun untuk mencapai tujuan propaganda religiopolitis kekristenan, yakni menyetarakan Yesus dari Nazareth dengan Nabi Musa, sosok teragung dalam Yudaisme. Jadi, kata para juru bicara gereja-gereja awal, tidak ada kerugian spiritual dan politis sama sekali jika orang Yahudi pindah agama, masuk agama Kristen yang isinya telah dibeberkan penulis Injil Matius dalam kitab injilnya, yang bagian utama isinya disusun dalam lima struktur yang mengambil analogi dari lima kitab Taurat Musa.
Dalam kisah-kisah kelahiran Yesus dalam kedua kitab injil inipun (Matius dan Lukas) bahkan dalam seluruh Perjanjian Baru, tidak ada suatu catatan historis apapun yang menyatakan tanggal 25 Desember sebagai hari kelahiran Yesus. Jika demikian, bagaimana tanggal 25 Desember bisa ditetapkan sebagai hari kelahiran Yesus, hari Natal? Dalam kebudayaan kuno Yahudi-Kristen dan Yunani-Romawi, ada dua cara yang dapat dilakukan untuk menetapkan hari kelahiran Yesus.
Mari kita telusuri cara pertamanya.
Seperti dicatat dalam dokumen Yahudi Rosh Hashana (dari abad kedua), sudah merupakan suatu kelaziman di kalangan Yahudi kuno untuk menyamakan hari kematian dan hari kelahiran bapak-bapak leluhur Israel. Dengan sedikit dimodifikasi, praktek semacam ini diikuti oleh orang-orang Kristen perdana ketika mereka mau menetapkan kapan Yesus Kristus dilahirkan.
Sebetulnya, praktek semacam ini berlaku hampir universal dalam orang menetapkan hari kelahiran tokoh-tokoh besar dunia yang berasal dari zaman kuno. Dalam kepercayaan para penganut Buddhisme, misalnya, hari kelahiran, hari pencapaian pencerahan (samma sambuddha) dan hari kematian (parinibbana) Siddharta Gautama sang Buddha dipandang dan ditetapkan (pada tahun 1950 di Sri Langka) terjadi pada hari yang sama, yakni hari Waisak atau hari Trisuci Waisak.
Ketika orang-orang Kristen perdana membaca dan menafsirkan Keluaran 34:26b (bunyinya, “Janganlah engkau memasak anak kambing dalam susu induknya”), mereka menerapkannya pada Yesus Kristus. “Memasak anak kambing” ditafsirkan oleh mereka sebagai saat orang Yahudi membunuh Yesus; sedangkan frasa “dalam susu induknya” ditafsirkan sebagai hari pembenihan atau konsepsi Yesus dalam rahim Bunda Maria.
Dengan demikian, teks Keluaran ini, setelah ditafsirkan secara alegoris, menjadi sebuah landasan skriptural untuk menetapkan bahwa hari kematian Yesus sama dengan hari pembenihan janin Yesus dalam kandungan ibunya, sekaligus juga untuk menuduh orang Yahudi telah bersalah melanggar firman Allah dalam teks Keluaran ini ketika mereka membunuh Yesus.
Kalau kapan persisnya hari kelahiran Yesus tidak diketahui siapapun, hari kematiannya bisa ditentukan dengan cukup pasti, yakni 14 Nisan dalam penanggalan Yahudi kuno, dan ini berarti 25 Maret dalam kalender Julianus. Sejumlah bapak gereja, seperti Klemen dari Aleksandria, Lactantius, Tertullianus, Hippolytus, dan juga sebuah catatan dalam dokumen Acta Pilatus, menyatakan bahwa hari kematian Yesus jatuh pada tanggal 25 Maret. Demikian juga, Sextus Julianus Afrikanus (dalam karyanya Khronografai, terbit tahun 221), dan Santo Agustinus (menulis antara tahun 399 sampai 419), menetapkan 25 Maret sebagai hari kematian Yesus.
Dengan demikian, hari pembenihan janin Yesus dalam rahim Maria juga jatuh juga pada 25 Maret. Kalau 9 bulan ditambahkan pada hari konsepsi Yesus ini, maka hari kelahiran Yesus adalah 25 Desember. Tentu anda tahu mengapa ditambahkan 9 bulan.
Sebuah traktat yang mendaftarkan perayaan-perayaan besar keagamaan, yang ditulis di Afrika dalam bahasa Latin pada tahun 243, berjudul De Pascha Computus, menyebut tanggal 25 Desember sebagai hari kelahiran Yesus. Hippolytus, dalam Tafsiran atas Daniel 4:23 (ditulis sekitar tahun 202), menyebut tanggal 25 Desember sebagai hari kelahiran Yesus. Sebuah karya yang ditulis dengan tangan, dalam bahasa Latin, pada tahun 354 di kota Roma, yang berjudul Khronografi, juga menyebut 25 Desember sebagai hari kelahiran Yesus Kristus.
Meskipun banyak dokumen dari abad ketiga sampai abad keempat menyebut tanggal 25 Desember sebagai hari kelahiran Yesus Kristus, tidak semua orang pada waktu itu menyetujui adanya perayaan hari Natal. Origenes, teolog Kristen dari Aleksandria, misalnya, dalam karyanya Homili atas Kitab Imamat, menyatakan bahwa “hanya orang-orang berdosa seperti Firaun dan Raja Herodes yang merayakan hari ulang tahun mereka.” Begitu juga, seorang penulis Kristen bernama Arnobus pada tahun 303 memperolok gagasan untuk merayakan hari kelahiran dewa-dewi.
Pada sisi lain, kalangan Montanus menolak kalau kematian Yesus jatuh pada 25 Maret; bagi mereka Yesus wafat pada 6 April. Dengan demikian 6 April juga hari konsepsi Yesus dalam kandungan Maria, ibunya. Kalau setelah 6 April ditambahkan 9 bulan, maka hari kelahiran Yesus jatuh pada 6 Januari. Di kalangan Gereja Timur (yang berbahasa Yunani), berbeda dari Gereja Barat (yang berbahasa Latin), hari Natal tidak dirayakan pada 25 Desember, tetapi pada 6 Januari.
Madonna (Bunda Maria) hitam dan kanak-kanak Yesus yang juga hitam. Sangat mungkin, aslinya keduanya memang berkulit hitam!
Sekarang kita telusuri cara keduanya.
Sebelum kekristenan lahir dan tersebar di seantero kekaisaran Romawi dan kemudian dijadikan satu-satunya agama resmi (religio licita) kekaisaran melalui dekrit Kaisar Theodosius pada tahun 381, orang Romawi melakukan penyembahan kepada Matahari (= heliolatri).
Dalam heliolatri ini, Dewa Matahari atau Sol menempati kedudukan tertinggi dan ke dalam diri Dewa Sol ini terserap dewa-dewa lainnya yang juga disembah oleh banyak penduduk kekaisaran, antara lain Dewa Apollo (dewa terang), Dewa Elah-Gabal (dewa matahari Syria) dan Dewa Mithras (dewa perang bangsa Persia).
Heliolatri, yakni pemujaan dan penyembahan kepada Dewa Sol sebagai Dewa Tertinggi, menjadi sebuah payung politik-keagamaan untuk mempersatukan seluruh kawasan kekaisaran Romawi yang sangat luas, dengan penduduk besar yang menganut berbagai macam agama dan mempercayai banyak dewa.
Pada tahun 274 oleh Kaisar Aurelianus Dewa Sol ditetapkan secara resmi sebagai Pelindung Ilahi satu-satunya atas seluruh kekaisaran dan atas diri sang Kaisar sendiri dan sebagai Kepala Panteon Negara Roma. Menyembah Dewa Sol sebagai pusat keilahian berarti menyentralisasi kekuasaan politik pada diri sang Kaisar Romawi yang dipandang dan dipuja sebagai titisan atau personifikasi Dewa Sol sendiri.
Dalam heliolatri ini tanggal 25 Desember ditetapkan sebagai hari perayaan religius utama untuk memuja Dewa Sol, hari perayaan yang harus dirayakan di seluruh kekaisaran Romawi. Pada musim dingin, Matahari (Latin: sol) tampak “diam tak bergerak” (Latin: sistere) di titik terendah di kaki langit Eropa utara sejak tanggal 21 Desember hingga 22 Desember. Kurun selama dua hari inilah yang dinamakan winter solstice (kurun titik balik sang Matahari).
Persis mulai 23 Desember, sang Matahari mulai perlahan bangkit kembali, balik lagi, naik dari cakrawala, seolah Dewa Sol hidup kembali setelah mengalami kematian. Persis tanggal 25 Desember sang Matahari tiba di titik tertinggi di langit musim dingin Eropa utara. Peristiwa astronomikal ini ditafsir secara religius sebagai saat Dewa Sol tak terkalahkan, bangkit dari kematian, yang dalam bahasa Latinnya disebut sebagai Sol Invictus (= Matahari Tak Terkalahkan). Ya, tak terkalahkan, karena sang Matahari ini kembali mencerahkan dunia, dari tempatnya yang tertinggi dari cakrawala!
Dengan baca buku, mereka sedang merayakan Natal!
Dengan demikian, tanggal 25 Desember dijadikan sebagai Hari Kelahiran (kembali) Dewa Sol Yang Tak Terkalahkan, Dies Natalis Solis Invicti. Karena Kaisar dipercaya sebagai suatu personifikasi Dewa Sol, maka sang Kaisar Romawi pun menjadi Sang Kaisar atau Sang Penguasa Tak Terkalahkan, Invicto Imperatori, seperti diklaim antara lain oleh Kaisar Septemius Severus yang wafat pada tahun 211.
Suasana winter solstice 2016
Nah, ketika kekristenan disebarkan ke seluruh kekaisaran Romawi, para pemberita injil dan penulis Kristen, sebagai suatu taktik kontekstualisasi misiologis mereka, mengambil alih gelar Sol Invictus dan mengenakan gelar ini kepada Yesus Kristus sehingga Yesus Kristus menjadi Sang Matahari Tak Terkalahkan yang sebenarnya. Sebagai landasan-landasan skriptural untuk menjadikan Yesus Kristus sebagai Sol Invictus yang sebenarnya, mereka memakai sejumlah teks pendukung, berikut ini:
- Mazmur 19:5c-6 (“Dia memasang kemah di langit untuk Matahari yang keluar bagaikan Pengantin laki-laki yang keluar dari kamarnya, girang bagaikan pahlawan yang hendak melakukan perjalanannya.”)
- Maleakhi 4:2 (“… bagimu akan terbit Surya Kebenaran dengan kesembuhan pada sayapnya.”)
- Lukas 1:78-19 (“Oleh rakhmat dan belas kasihan Allah kita, dengan mana Dia akan melawat kita, Surya Pagi dari tempat yang tinggi.”)
Dengan jadinya Yesus Kristus sebagai Sol Invictus baru, maka tanggal 25 Desember sebagai hari natal Dewa Sol juga dijadikan hari Natal Yesus Kristus. Seorang penulis Kristen perdana, Cyprianus, menyatakan, “Oh, betapa ajaibnya: Allah Sang Penjaga, Pemelihara dan Penyelenggara telah menjadikan Hari Kelahiran Matahari sebagai hari di mana Yesus Kristus harus dilahirkan.” Demikian juga, Yohanes Krisostomus, dalam khotbahnya di Antikohia pada 20 Desember 386 (atau 388), menyatakan, “Mereka menyebutnya sebagai ‘hari natal Dia Yang Tak Terkalahkan’. Siapakah yang sesungguhnya tidak terkalahkan, selain Tuhan kita…?”
Bayi Yesus Afrika dilahirkan . . .
Tentu anda sudah tahu siapa Kaisar Konstantinus Agung (272-337). Dialah Kaisar Romawi yang pindah agama, masuk Kristen, karena pertimbangan-pertimbangan politis strategis murni. Sebuah mitos telah disusun (oleh Eusebius) untuk menjelaskan mengapa dia pindah agama.
Menurut mitos ini, pada 28 Oktober 312 Konstantinus melihat di awan-awan sebuah tanda salib (atau gabungan dua huruf Yunani Khi dan Rho, yang menyimbolkan nama Kristus) dan sebuah kalimat In Hoc Signo Vinces (= “Dengan tanda ini, kamu menang”). Visi ini dijadikan landasan mengapa dia menjadi Kristen, yakni karena Yesus Kristus menghendakinya supaya semua kampanye militernya berhasil gemilang. Dengan mitos ini, pengkristenan atas diri sang Kaisar dan atas seluruh kekaisaran Romawi diberi legitimasi ilahi.
Nah, pada masa Konstantinus Agung memerintah Kekaisaran Romawi (306-337), perayaan keagamaan yang memuja Sol Invictus pada 25 Desember diubah dengan resmi menjadi perayaan keagamaan untuk merayakan hari Natal Yesus Kristus. Dengan digantinya Dewa Sol dengan Yesus Kristus sebagai Sol Invictus yang sejati, dan tanggal 25 Desember sebagai hari Natal Yesus Kristus, sang Kaisar, lewat strategi religio-politiknya, berhasil mengonsolidasi dan mempersatukan seluruh wilayah negara Roma yang di dalamnya warga yang terbesar jumlahnya adalah orang Kristen, yang, menurut Eusebius, adalah warga “Gereja Katolik yang sah dan paling kudus” (Eusebius, Historia Ecclesiastica 10.6).
Ketika lewat dekrit Paus Gregorianus XIII (tanggal 24 Februari 1582) kalender Gregorianus ditetapkan untuk menggantikan kalender Julianus, tanggal 25 Desember tetap dipertahankan sebagai hari kelahiran Yesus Kristus karena yang dipentingkan adalah makna simbolik tanggal ini, ketimbang ketepatannya.
Dan sejak Kaisar Konstantinus Agung berkuasa, para uskup/paus sama-sama mengendalikan seluruh kekaisaran Roma di samping sang Kaisar sendiri; ini melahirkan apa yang disebut Kaisaropapisme.
Kalau sebelumnya heliolatri menempatkan Dewa Sol sebagai Kepala Panteon yang menguasai seluruh dewa-dewi yang disembah dalam seluruh negara Romawi dan sebagai pusat kekuasaan politik, maka ketika Yesus Kristus sudah menjadi Sol Invictus pengganti, sang Kristus inipun mulai digambarkan sebagai sang Penguasa segalanya (= Pantokrator), yang telah menjadi sang Pemenang (= Kristus Viktor) di dalam seluruh kekaisaran Romawi.
Sekarang jelaslah sudah bagi anda bahwa tanggal 25 Desember bukanlah hari kelahiran Yesus yang sebenarnya. Hal ini tak perlu anda ragukan lagi. Kalau anda tidak mau menerima fakta ini, ya tak apa-apa. Biar saja.
Seperti telah dinyatakan pada awal tulisan ini, kembali perlu ditekankan bahwa sesungguhnya tidak ada seorang pun di dunia pada zaman kuno dan pada masa kini yang mengetahui kapan persisnya Yesus dari Nazareth dilahirkan. Ibunya pun, Bunda Maria, sangat mungkin tidak mengenal kalender.
Ketika Yesus baru dilahirkan, dia bukanlah seorang penting apapun. Hanya beberapa orang saja yang mempedulikannya. Hanya ketika dia sudah diangkat menjadi sang Kristus gereja dan dipercaya sebagai sang Juruselamat dunia, dia baru menjadi penting dan kisah-kisah hebat tentang kelahirannya pun disusun.
Pada zaman gereja awal dulu, orang tidak sepakat kapan persisnya Yesus dilahirkan, meskipun berbagai cara penghitungan telah diajukan; dan juga orang tidak selalu sependapat bahwa hari kelahiran Yesus Kristus perlu dirayakan.
Siapapun, dengan suatu pertimbangan teologis kultural, pada masa kini dapat menetapkan sendiri hari Natal Yesus Kristus buat dirinya dan buat komunitas gerejanya, tidak harus tanggal 25 Desember. Herannya, gereja-gereja sering meributkan ihwal apakah boleh merayakan Natal sebelum atau malah sesudah 25 Desember.
Saya ya santai saja. Lah, bagi saya, Natal itu, pencerahan akal budi dan batin, dan dunia ini, ya panggilan dan tugas setiap hari, bagi semua orang, sekarang dalam dunia anda masing-masing. Pencerahan inilah keselamatan yang terwujud dalam dunia masa kini yang fana, sebagai eskatologi yang terwujud di masa sekarang ini, sebagai realized eschatology.
Kalau bagi anda, Natal sebagai kegiatan pencerahan dunia dan pencerdasan manusia berlangsung setiap hari, maka anda adalah seorang praktisi, seorang aktivis Natal. Tapi jika bagi anda, Natal hanya satu kali dalam satu tahun, yakni hanya 25 Desember, anda baru menjadi seorang ritualis seremonial Natal.
Kekuatan kekristenan sesungguhnya terletak di sini: Yesus dijadikan sosok orang dalam, menjadi Yesus-Yesus lokal, bukan satu sosok tunggal impor yang asing dan aneh dari negeri dan zaman yang jauh di masa lampau.
Yesus tidak diperlakukan sebagai satu sosok purba yang sudah mati, yang ditempatkan dalam suatu museum benda-benda purba. Tapi Yesus dihadirkan dan dirayakan dalam masyarakat kekinian lewat seni dan budaya serta kearifan lokal. Dus, Yesus menjadi Tuhan yang hidup, kini dan di tempat anda, the living Lord, dan di dalam doa-doa umat. Inilah menyusun kristologi lewat wadah kesenian, kebudayaan dan spiritualitas kontemporer. Penuh simbol dan metafora yang menggerakkan hati dan kehidupan. Ini menimbulkan rasa gembira, sukacita, gairah kehidupan, keriangan, nyanyian yang tak pernah habis disusun, lukisan dan patung yang selalu diciptakan dan dipahat terus.
Kekristenan tidak memusuhi dunia seni dan budaya; tetapi justru masuk dan memakai dunia ini untuk membuat satu sosok Yesus zaman dulu yang lahir di negeri Yahudi menjadi banyak sosok Yesus kultural masa kini yang lahir di tempat-tempat yang berbeda.
Ribuan lukisan kreatif wajah-wajah Yesus lokal tersebar di seluruh dunia, sejalan dengan keanekaragaman kebudayaan yang di dalamnya berbagai corak kekristenan menjelmakan diri.... Orang yang membenci kreasi seni dan kreasi budaya, hidup mereka pasti tandus, stres, pemarah, dan sepi tawa.
Sebetulnya, cara merayakan Natal Yesus Kristus yang sebenarnya dan yang bermakna adalah dengan menjelmakan kembali dirinya, terutama belarasanya, kepedulian dan cinta kasih dan empatinya terhadap rakyat jelata yang miskin dan tertindas, dalam seluruh gerak kehidupan orang yang menjadi para pengikutnya di masa kini.
Perayaan Natal pada masa kini di gereja-gereja kota-kota besar Indonesia, yang menghabiskan dana ratusan juta sampai milyaran rupiah, sama sekali bukan perayaan Natal yang sebenarnya, dan yang hadir di situ bukan Tuhan Yesus dari Nazareth, tetapi Tuan Adam Smith. Ini peringatan saya yang serius.
Sejak Martin Luther di Jerman abad ke-16, perayaan Natal 25 Desember mulai dimeriahkan oleh berbagai kelengkapan dekoratif, seperti pohon Natal yang dihiasi dengan lampu-lampu gemerlap dan pernak-pernik pemerindah lain. Sebetulnya, tradisi pemaknaan pohon cemara yang selalu hijau sebagai simbol keabadian sudah ada di kalangan bangsa-bangsa di Skandinavia ketika hari-hari titik balik Matahari atau winter solstice tiba.
Catat ya hal penting ini. Ketika perayaan-perayaan Natal oleh gereja-gereja kaya di Indonesia berubah menjadi kegiatan-kegiatan extravaganza, Yesus Kristus malah memilih berada di antara para pemulung, buruh tani, pedagang asongan, orang-orang yang kebanjiran, para difabel (atau “manusia dengan kemampuan lain”), anak-anak yatim-piatu, para tunawisma, insan-insan gerobak, dan semua orang miskin dan tertindas lainnya, di luar gedung gereja-gereja itu.
Kalau pun Yesus yang sedang berdiri di luar gedung-gedung perayaan Natal besar-besaran memutuskan untuk masuk ke dalam, dia sesampainya di dalam akan dicurigai umat sebagai sosok yang mau berbuat jahat.
Dan Majelis Ulama Indonesia, MUI, kumpulan para sarjana Muslim di Indonesia, juga perlu diberitahu untuk jangan terlalu serius dengan tanggal 25 Desember,/3/ sebab tanggal ini bukanlah tanggal kelahiran Yesus yang sebenarnya, tetapi bermakna simbolik sebagai hari pencerahan dunia, hari sang Matahari bangkit lagi untuk menerangi seisi dunia.
Sebagai himpunan para sarjana, himpunan orang-orang beragama yang terpelajar dan cerdas, MUI tentunya mendukung pencerahan dunia. Bukan hanya mendukung, tapi juga bersama-sama ikut mencerahkan dunia, dan selamanya pantang menggelapkannya. Bukankah Islam itu juga sebuah agama yang bertugas untuk membawa umat meninggalkan zaman jahiliyah, zaman kegelapan, lalu masuk ke zaman pencerahan?
Mungkin anda mau bertanya pada saya, apakah saya merayakan hari Natal 25 Desember setiap tahun. Ya, saya merayakan Natal, tetapi tidak hanya pada 25 Desember, tetapi setiap hari. Karena Natal bagi saya adalah perayaan pencerahan dunia, saya merayakannya setiap hari dengan membaca buku-buku bermutu yang membantu saya tercerahkan. Juga dengan bermeditasi metakognitif yang diberi nama meditasi mindfulness. Saat bermeditasi ini, pikiran anda memikirkan pikiran anda sendiri, thinking about your own thinking, alhasil kita jadi tahu mana pikiran kita yang baik dan cerdas dan mana pikiran kita yang buruk dan bodoh.
Setelah saya tercerahkan lebih dulu, maka selanjutnya saya membuat tulisan-tulisan dan menulis buku-buku untuk melalui semua karya tulis saya, saya ikut mencerahkan masyarakat dan dunia, setidaknya masyarakat Indonesia. Itulah makna Natal bagi saya. Bagus, bukan? Saya ingin Yesus Kristus terus-menerus lahir kembali lewat seluruh pikiran dan tindakan saya, seumur kehidupan saya, tidak hanya pada 25 Desember.
Oh ya, ini satu catatan terakhir. Fisikawan dan matematikus besar kebangsaan Inggris, Sir Isaac Newton, dilahirkan 25 Desember 1642 (wafat 20 Maret 1727). So, happy birthday, Sir Newton. Gaudeamus igitur. Let us rejoice. Be happy. We all are proud of you. None worships you, but your science is eternal.
Jakarta, 1 Desember 2009
by Ioanes Rakhmat
by Ioanes Rakhmat
Editing mutakhir 02 Desember 2022
Baca juga:
Catatan-catatan
/1/ Praktek semacam ini umum dilakukan di zaman kuno di kawasan Laut Tengah kuno, misalnya terhadap Plato (Diogenes Laertius, Lives of Eminent Philosophers 3.1-12, 45; Origen, Against Celsus I.37); Aleksander Agung (Plutarch, Parallel Lives, Alexander 2.1-3.2); Kaisar Agustus (Suetonius, Lives of the Caesars II.94.1-7); Pythagoras (Iamblichus, Life of Pythagoras, 3-10); Herakles (Diodorus Siculus, Library of History 4.9.1-10). Lihat David R. Cartlidge dan David L. Dungan, eds., Documents for the Study of the Gospels (edisi revisi diperluas; Minneapolis, MN: Fortress Press, 1994), hlm. 129-136.
/2/ Dekrit ini dikutip dalam Richard A. Horsley, The Liberation of Christmas. The Infancy Narratives in Social Context (New York: Crossroad, 1989), hlm. 27.
/3/ Fatwa MUI yang melarang orang Islam ambil bagian dalam ritual Natal (dan belakangan dipelintir sehingga juga melarang Muslim mengucapkan selamat Natal) dikeluarkan 7 Maret 1981 saat lembaga keagamaan ini dipimpin oleh Prof. Dr. HAMKA. Tetapi selama bertahun-tahun sesudahnya, fatwa ini tidak efektif berhubung mayoritas Muslim Indonesia adalah Muslim yang toleran, bersahabat dan mencintai sesama warga yang menganut kepercayaan-kepercayaan lain.
Pada 14 Desember 2016, kembali MUI mengeluarkan fatwa nomor 56 tahun 2016 yang isinya mengharamkan atau melarang umat Muslim Indonesia menggunakan atribut-atribut keagamaan non-Muslim pada saat Natal.
Alhasil, kontroversi pun muncul lagi, antara lain berkaitan dengan ihwal apa yang dimaksud dengan kata “atribut”, ihwal apakah agama Islam sama sekali tidak meminjam dan memasukkan elemen-elemen atau atribut-atribut keagamaan dari agama-agama yang sudah lahir sebelum Islam, dan ihwal apakah ormas-ormas yang mau melaksanakan fatwa ini berhak melakukan sweeping atau mengganggu aktivitas bisnis dalam musim Natal di pusat-pusat perbelanjaan di kota-kota.
Musim budaya global Natal yang sebetulnya berisi kegembiraan, kedamaian dan kesederhanaan berubah menjadi musim yang penuh kegamangan, keributan dan kerumitan. Jadi teringat sebuah ucapan pendek namun padat makna mendiang Gus Dur, “Gitu ajak kok repot!”