Sunday, January 14, 2018

Gen, otak, kepribadian, dan perilaku politik


Mari kita mulai dengan ajakan John Alford dkk. Mereka menulis,

"para ilmuwan politik kami desak untuk memasukkan dan memperhitungkan pengaruh-pengaruh genetik, khususnya interaksi-interaksi antara warisan genetik dan lingkungan sosial, ke dalam model-model pembentukan perilaku politik."

Sebagai pakar genetika behavioris Universitas Rice, Houston, Texas, John Alford dkk di tahun 2005 telah melakukan analisis data yang dihimpun dari dua dekade kajian genetika perilaku, termasuk juga basisdata pendapat politik dari 30.000 orang kembar dari Virginia. Analisis Alford dkk ini diterbitkan di American Political Science Review, vol. 99, no. 2, May 2005./1/ 

Menurut Alford dkk, genetika memainkan suatu peran penting dalam membentuk sikap dan perilaku politik dan ideologi, tapi berperan sedang-sedang saja dalam seseorang mengidentifikasikan dirinya dengan suatu partai politik. Karena sikap dan perilaku politik kita, atau perilaku lain apapun, diproses dan muncul dari kerja otak kita, maka gen orientasi politik kita mengendalikan pilihan-pilihan politik kita di dalam otak.

Alford menyimpulkan bahwa

"pilihan politik kita berakar dalam dan terbangun di dalam otak kita. Jadi, usaha mempersuasi [membujuk dan meyakinkan] seseorang untuk tidak jadi liberal [atau sebaliknya: tidak jadi konservatif] ibaratnya sama dengan usaha mempersuasi seseorang yang bermata biru untuk tidak memiliki mata biru. Jadi kita harus memikirkan kembali usaha untuk mempersuasi orang."

Jadi, bagi Alford, sama seperti mata biru itu bentukan gen yang tidak bisa ditolak seseorang yang telah dilahirkan, begitu juga halnya dengan posisi dan perilaku politik seseorang. Bagi Alford, gen itu "takdir alam" yang tak bisa dihambat, cepat atau perlahan, untuk membentuk perilaku politik dan perilaku lain apapun, meskipun gen sendiri berinteraksi dengan konteks kehidupan.

Dalam suatu tanggapan John Alford dkk terhadap keberatan beberapa kalangan terhadap usaha mengaitkan gen dengan perilaku politik, Alford dkk menulis,

"Kajian-kajian terhadap orang kembar memastikan bahwa ada suatu komponen genetik yang signifikan bagi orientasi-orientasi politik. Dus, ada alasan kuat untuk melakukan kajian-kajian lebih jauh terhadap hakikat peran itu dengan menggunakan metodologi-metodologi lain, termasuk genetika molekuler."/2/

Pada sisi lain, kini sedang tumbuh sebuah disiplin ilmu pengetahuan baru yang terkait dengan ilmu politik atau "political science" yang sudah lama dikenal. Disiplin baru ini dinamakan "neuropolitics".

"Neuropolitics" atau neurosains politik memang relatif baru dalam kajian-kajian perilaku politik. Disiplin baru ini, sebagaimana dibentangkan oleh Ingrid J. Haas dari Universitas Nebraska, mengintegrasikan ilmu politik dengan biologi, psikologi dan neurosains. Haas menegaskan bahwa "perilaku politik dapat  dipahami lewat lensa psikologi manusia, biologi dan neurosains", dilengkapi dengan neurosains kognitif dan sosial, psikologi politik dan sosial, dan studi-studi konteks.

Dengan demikian, posisi dan perilaku politik seseorang kini dipandang berakar dalam kerja otaknya, bagian dari fungsi otaknya yang khas. Hard-wired!/3/

Dalam rangka neuropolitik, baik kita tengok sejenak Liya Yu, dosen di UVA's Woodrow Wilson, Department of Politics, yang kini sedang studi Ph.D. di Universitas Columbia.

Yu menyatakan bahwa otak kita memasok ke dalam kesadaran kita banyak bias atau prasangka, di antaranya prasangka yang membuat kita berpikir bahwa orang-orang yang berbeda dari kita, orang-orang luar, "out-group", harus kita perlakukan berbeda dari orang-orang kita sendiri, orang dalam, "in-group" kita. Akibatnya, perpecahan dalam masyarakat terjadi. Kerap sangat tajam.

Selain itu, pada waktu yang bersamaan dan secara spontan, otak kita juga mendehumanisasi "out-group" dan menghumanisasi "in-group" kita sendiri. Dehumanisasi yang muncul dalam kesadaran kita yang dibawa otak sering bocor, merembes ke dalam retorika politik. Masyarakat pun makin terpecahbelah. Ketika hal ini sedang terjadi, di saat orang luar mengatakan sesuatu, otak kita menerimanya sebagai suatu serangan terhadap kita.

Dalam sikon dunia yang terpecahbelah dan penuh dengan prasangka primordial SARA semacam itu, Liya Yu berpendapat bahwa neurosains akan bisa menolong. Katanya, "Neurosains memberi suatu middle ground atau kawasan tengah terbaik untuk menangani banyak prasangka dan perpecahan politik, dan pada waktu yang sama melindungi pikiran yang mandiri dan kebebasan memilih."

Liya Yu melihat bahwa lewat banyak studi neurosains dalam tiga dekade terakhir ini, kita makin mengerti bahwa materi abu-abu (gray matter) otak kita yang terlibat dalam menjalankan fungsi penyimpanan memori, kontrol diri dan pengambilan keputusan yang dikerjakan otak kita, bertambah besar volumenya jika seseorang menerima makin banyak pendidikan dan informasi baru yang masuk ke dalam memori otak.

Pendek kata, pendidikan yang mencerdaskan dan informasi yang membuat kita tambah pengetahuan baru, jika dijalankan dan diterima dengan sinambung, akan makin memperbesar volume materi abu-abu otak kita.

Jika kondisi di atas terjadi, kita akan makin mampu mengingat, makin mampu mengontrol diri, dan makin mampu mengambil keputusan dalam banyak bidang kehidupan dengan lebih baik. Jika hal ini berjalan, politik pun akan lebih baik, lebih humanis, dan jauh dari berbagai prasangka primordial yang merusak harmoni sosial dan mendehumanisasi manusia./4/

Penyusutan volume materi abu-abu dalam otak terpantau jika seseorang makin kurang menerima pendidikan, alias jika otaknya tidak dilatih dan tidak diasah untuk berpikir dan belajar dan tidak pernah menjalani berbagai pelatihan peningkatan kecerdasan. Lewat pembelajaran dan pendidikan, otak kita mengalami apa yang dinamakan "pemetaan kembali" atau "remapping" otak, dengan akibat volume materi abu-abu meningkat.

Neuron-neuron dan materi abu-abu dalam organ otak bisa bertambah karena otak kita memiliki kemampuan neurogenesis (kelahiran neuron-neuron baru) dan neuroplastisitas yang menyebabkan penambahan atau penyusutan volume materi abu-abu.

Neurogenesis dan neuroplastisitas berlangsung di seluruh organ otak kita di sepanjang usia kita. Otak memiliki mekanisme neural yang rumit untuk bisa meremajakan diri sebelum sistem biologis kita roboh dan luruh seluruhnya karena entropi yang bekerja dalam semua sistem yang ada dalam jagat raya, baik yang biologis maupun yang nonbiologis.

Penyusutan materi abu-abu, yang berakibat penurunan tingkat kecerdasan dan kemampuan mengingat dan mengambil keputusan, dapat terjadi karena banyak hal lain. Beberapa di antaranya dapat disebut.

Dehidrasi dalam jaringan fisiologis serebral dan materi abu-abu membuat materi ini menyusut. Autisme juga ditandai oleh kurangnya materi abu-abu dalam otak. Ketika sudah lansia, materi abu-abu bahkan bagian-bagian lain tertentu dalam otak, mengalami pengerutan, dengan akibat dementia.

Selain itu, suatu studi klinis menemukan bahwa volume materi abu-abu juga menyusut akibat serangan penyakit kronis seperti osteoarthritis yang menimbulkan rasa sakit. Dalam kasus ini, penyusutan materi abu-abu terjadi di anterior cingulate cortex (ACC), right insular cortex and operculum (RICO), dorsolateral prefrontal cortex (DLPC), amygdala, dan batang otak (brain stem). Jika penyakit kronis ini ditangani dengan baik dan rasa sakit hilang, penyusutan volume materi abu-abu terhenti lalu berangsur kembali ke volume normal./5/

Kembali ke John Alford dkk yang melihat perilaku politik seseorang dibentuk oleh gen. Alhasil, menurut mereka, genetika molekuler perlu diintegrasikan ke dalam ilmu politik. Posisi Alford dkk ini banyak yang menentang.

Mari sekarang fokus kita arahkan ke psikolog Frank Sulloway, psikolog John Jost, dan dua genetikus behavioris Brad Verhulst dan Peter Hatemi. Mereka mencari variabel-variabel lain yang ikut menentukan pilihan-pilihan politik seseorang./6/

Frank Sulloway, psikolog dari Universitas California, Berkeley, menolak pendapat Alford. Dengan ringkas Sulloway menyatakan bahwa

"Tidak ada suatu gen dalam diri kita yang membuat kita benci kaum hippies."

Sulloway selanjutnya menegaskan bahwa poinnya bukanlah bahwa kita memiliki gen-gen politik, melainkan bahwa pilihan-pilihan politik kita dipengaruhi kepribadian kita.

Tentu ada bagian-bagian kepribadian kita yang diwariskan secara genetik, atau ikut dibentuk oleh faktor-faktor hormonal epigenetik yang terproduksi dalam rahim setiap bunda yang terkait dengan kondisi-kondisi mentalnya selama mengandung. Tetapi masih ada lebih banyak faktor lain yang ikut membentuk kepribadian kita.

Di tahun 2003, John Jost, psikolog Universitas New York, bersama kawan-kawannya, melakukan riset atas 88 studi yang mencakup lebih dari 20.000 orang di 12 negara.

Ada sejumlah temuan John Jost. Antara lain, ada beberapa sifat dan watak kepribadian yang terhubung dengan pilihan politik. Tetapi ada jauh lebih banyak faktor kepribadian yang berpengaruh terhadap pilihan politik seseorang, ketimbang yang selama ini diduga.

Misalnya, orang yang takut mati ternyata lebih banyak yang menjadi konservatif, selain juga karena sifat mereka yang kaku dan berpembawaan dogmatis. Pada sisi lain, orang yang suka dengan pengalaman-pengalaman baru condong menjadi liberal. Di samping itu, Jost juga menemukan bahwa kalangan konservatif lebih menyukai lukisan-lukisan, puisi-puisi dan nyanyian-nyanyian yang jelas, tidak abstrak, dan sederhana.

Berbeda dari Alford dkk, Jost tidak mencoba mengaitkan perilaku-perilaku personal tersebut dengan suatu gen spesifik seseorang. Dia menempatkan perilaku-perilaku tersebut dalam model-model kepribadian yang ada, misalnya model yang membagi kepribadian manusia dalam lima tipe, yakni:

1. Tipe hati-hati, cermat, penuh pertimbangan, peka pada suara hati (tipe "conscientiousness")
2. Tipe terbuka, mau maju, berubah dan berkembang (tipe "openness")
3. Tipe terarah keluar, mengarahkan tenaga, waktu, pikiran dan perhatian ke hal-hal lain di luar diri sendiri (tipe "extroversion")
4. Tipe peramah, mudah serasi, kooperatif, memahami orang lain, menyenangkan (tipe "agreeableness")
5. Tipe neurotisis, yakni orang yang serba takut, tak bisa bergaul, serba kaku, tak mampu beradaptasi, mudah stres, menyimpang dari norma-norma sosial yang umum (tipe "neuroticism")

Jost menemukan dari lima tipe kepribadian ini, tipe pertama hingga tipe ketiga memang berhubungan dengan perilaku politik. Tipe keempat dan tipe kelima kurang berdampak pada perilaku politik.

Tentu tipe-tipe kepribadian ini dapat diturunkan secara genetik. Dalam beberapa studi ditemukan ihwal sejauh mana seseorang dapat menjadi pribadi yang terbuka (tipe "openness") memang terkait dengan perbedaan-perbedaan genetik. Begitu juga, sifat mudah bergaul dan bersosialisasi dipengaruhi oleh hormon-hormon neurotransmitter dalam otak.

Berhubung hormon-hormon otak yang dialirkan ke seluruh tubuh ini terkait dan dikendalikan juga oleh gen-gen, maka tipe-tipe kepribadian, misalnya kepribadian yang terbuka, dus juga perilaku politik, dalam taraf-taraf tertentu dikendalikan oleh gen-gen. Tetapi ini belum menjelaskan semua persoalan.

Sebagaimana sudah diungkap di atas, ada faktor epigen juga yang bekerja saat seorang bunda mengandung. Jika di saat mengandung sang bunda ini mengalami banyak stres mental, hormon stres kortisol yang terproduksi dalam tubuh si bunda teralirkan ke dalam otak bayi yang sedang dikandungnya.

Kortisol sangat mengurangi kemampuan placenta untuk menyaring nutrisi dan zat-zat lain yang lewat sang bunda masuk ke tubuh si janin atau si bayi. Dalam placenta, karena stres si bunda, jumlah enzim 11 beta-HSD2 yang berfungsi untuk menghancurkan kortisol jauh berkurang. Akibatnya, hormon stres masuk ke otak si janin atau si bayi yang selanjutnya menghambat perkembangan otak si janin.

Alhasil, sudah ada epigen stres yang diwariskan ke si bayi lewat hormon, dan sifat personal mudah stres atau neurotis atau bahkan kelambanan kerja otak akan menjadi bagian dari kepribadian si bayi sejak dilahirkan dan seterusnya. Tapi dengan pengasuhan yang baik, penuh kasih sayang, dan kehidupan yang berlangsung dalam lingkungan yang bersahabat dan menopang, epigen stres ini tidak akan berpengaruh besar pada si bayi ketika dia tumbuh makin besar dan menjadi dewasa.

Hal yang tidak boleh dilupakan adalah bahwa meski gen-gen berpengaruh dalam taraf-taraf tertentu pada kepribadian, atau bahwa setiap tipe kepribadian memiliki inti genetiknya, tapi faktor inti genetik ini bukan satu-satunya faktor yang menentukan pilihan politik seseorang.

Kita semua tentu sepakat bahwa pilihan politik hanya dapat kita ambil setelah kita tumbuh dewasa, dalam arti setelah kita memahami politik. Faktor genetik dari kepribadian kita yang berkaitan dengan pilihan politik baru aktif dan bekerja setelah kita tumbuh dewasa.

Juga jangan dilupakan bahwa sementara kita tumbuh dewasa dan makin matang, dan pengetahuan-pengetahuan dan informasi-informasi kita peroleh lebih banyak lewat pendidikan dan pergaulan dan bacaan-bacaan, kemungkinan untuk kita berubah sangat besar. Materi abu-abu otak kita makin besar volumenya.

Brad Verhulst, genetikus behavioris dari Universitas Commonwealth, Virginia, Amerika, bertanya "apakah kepribadian dan politik berhubungan kausal? Yang satu menjadi penyebab yang lainnya?" Verhulst menjawab bahwa "Suatu hubungan antara kepribadian dan kecenderungan politis adalah suatu hal yang sepenuhnya masuk akal untuk diharapkan."

Tapi dalam studinya yang melibatkan sampel 28.877 orang dari Daftar Kembar Mid-Atlantic (daftar yang dikenal sebagai Virginia 30.000 yang sudah dirujuk di atas) dan lewat studi lainnya yang berupa kajian longitudinal yang terpisah (yang mengobservasi lebih dari dari 8.000 kembar dan orang-orang yang sesaudara selama 10 tahun), Brad Verhulst tidak menemukan bukti adanya hubungan kausal antara pilihan politik dan kepribadian.

Sebaliknya, Verhulst menemukan hubungan dan jejaring yang jauh lebih rumit terkait pilihan-pilihan politik seseorang.

Ditemukan, pilihan-pilihan politik dan sifat-sifat kepribadian ditentukan bukan hanya oleh faktor genetik, tetapi lebih kuat oleh faktor-faktor lain yang berasal dari lingkungan kehidupan seseorang (dinamakan faktor-faktor environmental) yang sudah bekerja jauh lebih awal sebelum seseorang mengambil posisi politiknya, bersamaan dengan peran gen yang potensial (dus, belum pasti efektif) berpengaruh tahap demi tahap.

Dengan kata lain, politik, gen dan kepribadian dapat berhubungan. Tapi fakta bahwa seseorang itu liberal tidak otomatis membuatnya lebih toleran, sama halnya sifat toleran tidak otomatis berarti orangnya liberal sejati dan konsisten. Lingkungan ikut berperan kuat. Gaya hidup juga. Kesehatan tubuh dan mental juga memberi andil.

Dalam kajian Virginia 30.000, Verhulst menemukan bahwa sementara ada hubungan yang sedang-sedang saja antara sifat seseorang dan pilihan politiknya (misalnya, antara pandangan ekonomi yang konservatif dan kadar neurotisisme), namun tidak ada bukti yang memperlihatkan ada hubungan kausal antara keduanya.

Studi-studi genetik memang tricky, mudah mengecoh, berhubung kita cenderung berpendapat bahwa gen kita serba berkuasa dalam menjadikan siapa dan bagaimana kita secara fisik dan mental. Padahal tidak begitu.

Karena itu, Verhulst dan Peter Hatemi mencoba melakukan suatu kajian longitudinal, yakni dengan mengikuti kehidupan sekelompok orang dari waktu ke waktu, memetakan kecenderungan-kecenderungan politik dan kepribadian mereka, dan memantau dan melihat apakah jika kepribadian tumbuh dan berubah, pilihan politik juga akan berubah, dan sebaliknya.

Dalam studi longitudinal ini, dua peneliti itu memakai dua kelompok sampel. Yang pertama terdiri atas 7.610 kembaran dewasa dan orang seayah seibu yang berusia antara 19 dan 28 tahun di tahun 1980. Sampel kedua mencakup remaja muda yang terdiri dari 1.061 kembaran dan orang sesaudara, yang berumur antara 16 dan 19 tahun, di tahun 1998. Masing-masing kelompok orang ini diuji dalam dua gelombang, satu sama lain terpisah jarak 10 tahun.

Pada dua kelompok ini para peneliti  memperhatikan perilaku dan sifat kepribadian mereka dan perilaku dan posisi politik mereka (seperti pandangan mereka tentang aborsi, perkawinan sejenis, dan tanggapan-tanggapan mereka terhadap pernyataan-pernyataan seperti "Aku percaya bahwa kita harus mencari dan mengikuti sepenuhnya pemuka-pemuka agama kita dalam mengambil keputusan-keputusan moral.").

Apa yang mereka temukan?

Ternyata kepribadian orang-orang yang sedang diteliti terus-menerus bergeser dan berubah seiring perjalanan waktu, tidak dalam tingkat yang besar dan sekejap, tetapi jelas teramati dengan baik.

Ditemukan bahwa lambat-laun orang dapat berubah, entah makin tambah atau makin kurang ekstrovert, makin mudah atau makin sulit berkompromi, atau makin lebih berhati-hati dan berhatinurani atau malah makin ceroboh dan kehilangan nurani. Dalam hal-hal lain, kondisi mental yang  berubah positif atau yang berubah negatif juga ditemukan.

Tapi dalam perilaku politik, terpantau relatif lebih stabil baik di kalangan dewasa maupun di kalangan remaja. Orang yang konservatif sejak usia lebih muda cenderung tetap konservatif ketika usia bertambah.

Poin terpenting yang mereka temukan adalah ini: perubahan kepribadian tidak memprediksi perubahan posisi dan perilaku politik. Dus, Verhulst dan Hatemi menyimpulkan bahwa "sifat-sifat kepribadian dan perilaku politik adalah hal-hal yang tidak saling bergantung, satu sama lain mandiri, dari struktur bangunan arsitektural psikologi seseorang."

Meski mereka tidak menutup kemungkinan adanya korelasi antara sifat-sifat kepribadian dan sejumlah kepercayaan ideologis, mereka bertanya apa makna korelasi ini. Soalnya, kepribadian seseorang berperan di semua aspek kehidupan yang dijalani meskipun bukan satu-satunya faktor penentu.

Lantas mereka menyimpulkan bahwa "kami tidak menemukan bukti bahwa ciri dan sifat kepribadian memainkan peran kausal dalam pembentukan perilaku politik. Kalaupun ada korelasi ini, korelasinya tidaklah kausal langsung. Ada banyak faktor lain yang berperan."

Kesimpulan yang saya dapat tarik adalah:

1. Tidak ada hubungan kausal linier antara gen dan epigen dan sikap, perilaku dan posisi politik seseorang.
2. Artinya, tidak ada gen yang langsung bertanggungjawab atas, atau membentuk, perilaku liberal atau perilaku konservatif, atau sikap antisains atau sikap pro-sains, atau perilaku humanis atau perilaku antihumanis.
3. Instruksi genetik tidak otomatis akan efektif mencetak keseluruhan kondisi fisik dan mental setiap orang. Pengondisian genetik selalu berlangsung dalam interaksi dengan pengondisian oleh berbagai faktor eksternal seperti pendidikan, pengasuhan, lingkungan hidup, ekologi dan gaya hidup
4. Aneka ragam sifat dan pembawaan kepribadian yang terus berubah seiring dengan perjalanan waktu jelas ikut berpengaruh, dengan kadar yang berbeda, dalam seseorang mengambil posisi politik dan perilaku politiknya.
5. Selain ilmu politik yang sudah dikenal selama ini yang juga dikembangkan secara interdisipliner, sudah saatnya kini neuropolitik juga diperhitungkan dengan sungguh-sungguh dalam setiap usaha memahami dan memprediksi sikap dan perilaku politik seseorang.
6. Sikap, perilaku, posisi dan orientasi politik seseorang ada yang relatif bersifat menetap kendati usia makin bertambah, dan ada juga yang berubah karena adaptasi, penambahan pengetahuan dan informasi dan kesehatan otak yang makin baik.
7. Perilaku dan orientasi politik seseorang muncul sebagai interaksi dari banyak faktor, yang dapat berlangsung linier dan terprediksi, tapi juga dapat multilinier dan tidak terprediksi.
8. Akhirnya, setiap individu harus mempertanggungjawabkan sendiri dengan dewasa setiap sikap dan perilaku serta orientasi politik mereka. Gen atau otak atau lingkungan kehidupan tidak bisa dijadikan kambing-kambing hitam atas setiap sikap dan perilaku politik seseorang, apalagi yang destruktif, meskipun sikap dan perilaku politik muncul akibat pengondisian banyak faktor internal dan eksternal. Tanpa pengondisian, kehidupan individual yang bebas untuk memilih tidak pernah ada.

Jakarta,
Minggu, 14 Januari 2018

Ioanes Rakhmat


Catatan-catatan

/1/ Lihat John R. Alford, Carolyn L. Funk dan John R. Hibbing, "Are Political Orientations Genetically Transmitted", American Political Review vol. 99, no. 2, May 2005, pp. 153-167. Terpasang juga di https://www.cambridge.org/core/journals/american-political-science-review/article/are-political-orientations-genetically-transmitted/C6D3A60FBE6779C8E6E798600785A4C9.
John Alford dikutip juga dalam Jim Giles, "Are Political Leanings All in the Genes", New Scientists, 30 January 2008, https://www.newscientist.com/article/mg19726411-800-are-political-leanings-all-in-the-genes.

/2/ Lihat lebih lanjut John R. Alford, Carolyn L. Funk dan John R. Hibbing, "Twin Studies, Molecular Genetics, Politics, and Tolerance: A Response to Beckwith and Morris", Perspective on Politics, vol. 6, issue 04, Dec 2008, pp. 793-797.

/3/ Lihat Ingrid J. Haas, "Political Neuroscience", University of Nebraska, Lincoln, Political Science, 2016, https://digitalcommons.unl.edu/poliscifacpub/74/. Diterbitkan juga di Neuroimaging Personality, Social Cognition, and Character, edited by John R. Absher and Jasmine Cloutier (Academic/Elsevier, 2016), pp. 355-370.

/4/ Lebih lanjut lihat Katie McNally, "This Is Your Brain on Politics: The Neuroscience That Shapes Our Views", UVAToday, 2 March 2017, https://www.news.virginia.edu/content/your-brain-politics-neuroscience-shapes-our-views.

/5/ Lihat Rea Rodriguez-Raecke, Andreas Niemeier, Kristin Ihle, Wolfgang Reuther, Arne May, "Brain Gray Matter Decrease in Chronic Pain Is the Consequence and Not the Cause of Pain", The Journal of Neuroscience, 4 Nov 2009, vol. 29 (44), pp. 13746-13750.

/6/ Uraian selanjutnya disarikan dari Maria Konnikova, "Politics and Personality: Most of What You Read Is Malarkey", The New Yorker, 23 August 2016, https://www.newyorker.com/science/maria-konnikova/politics-and-personality-most-of-what-you-read-is-malarkey. Lihat juga Josh Hill, "Are You Conservative or Liberal? Your Political Preferences Might be Hard-Wired", The Daily Galaxy, 11 Feb 2008, http://www.dailygalaxy.com/my_weblog/2008/02/are-political-a.html.