Tuesday, January 9, 2018

Cari jodoh, nikah, lalu cerai. Urusan siapa?

ADA YANG TANYA SAYA:
Wujud cinta terbesar apa? 

JAWAB SAYA: 
mengampuni orang yang bersalah ke kita, meski dia belum minta maaf; merangkul dan memeluknya kembali ketika dia datang dan meminta maaf ke kita; lalu jalan bersama lagi dalam suatu kehidupan bersama yang lebih diperkuat.
☆ Ioanes Rakhmat


Pilih-pilih jodoh, lalu nikah, ya ini urusan dan  keputusan si pasangan manusia yang menikah itu sendiri. Masak urusan dan keputusan Tuhan? Yang mau nikah siapa? Kan anda.

Manusia itu, meskipun organisme cerdas, rentan berpikir salah, atau lupa, atau rentan menyangkal dan menolak pikirannya sendiri yang sebetulnya sudah benar. Akibatnya, kita semua rentan mengambil keputusan dan sikap yang salah. Dalam hal teman hidup, kita rentan salah dalam menjatuhkan pilihan. Atau si pria A dipaksa menikahi si wanita B karena si B ini sudah dihamili oleh si A meskipun cinta sejati si A ditujukan ke si D yang juga jadi ikut patah hati.

Atau anda diharuskan nikah oleh orangtua anda dengan pasangan yang anda tak cintai sedikitpun karena orangtua anda ingin meraih manfaat ekonomis atau manfaat politis dari perkawinan anda. Anda tak kuasa melawan. Pesta nikah anda besar-besaran. Pernikahan anda diberkati di gereja dalam suatu ibadah yang di dalamnya anda diwajibkan bersama pasangan anda mengucapkan janji setia seumur kehidupan anda. Dengan hambar saja anda ucapkan janji setia itu.

Tentu saja masih banyak kejadian lain yang tragis terkait pilihan pasangan hidup yang tidak sesuai dengan isi hati dan pikiran pasangan yang menikah.

Nah dalam kasus-kasus di atas, apakah Tuhan yang salah? Ya tidak. Apakah Tuhan yang mutlak menentukan jodoh anda, satu orang dan satu kali untuk selamanya? Ya tidak. Lantas siapa? Ya anda sendiri penentu jodoh anda, bisa mandiri jika anda kreatif, bisa juga lewat bantuan orang lain atau bantuan suatu biro jodoh jika anda tidak kreatif. Mencari dan menemukan jodoh, adalah suatu seni kreatif.


Rumah tangga bermasalah berat, tambal-sulam tak menolong, lalu berantakan. Pasangan memutuskan cerai. Ya cerai juga buatan si pasangan manusia. Masak harus  keputusan dan buatan Tuhan?

Kata orang saleh, apa yang sudah dipersatukan Tuhan, tidak boleh diceraikan manusia.

Kalau memang begitu, mustinya tidak ada satupun pernikahan orang saleh yang tidak berbahagia, yang berantakan, lalu karam, pecah berhamburan. Jika karam, artinya kan Tuhan tidak berdaya menjaga keutuhan dan kebahagiaan langgeng suatu pernikahan pasangan yang Tuhan sudah persatukan. Artinya, jika karam, bukan si pasangan manusia yang salah, tapi Tuhan yang salah. Masak begitu?

Atau, supaya tidak ada perceraian, semua pernikahan harus dibuat Tuhan serba sempurna! Ah anda ngelindur! Anda mulai ngatur-ngatur Tuhan.

Pernikahan anda sendiri, sorga atau neraka? Jawablah dengan jujur. Jika neraka, apakah anda tidak boleh keluar, meninggalkan neraka itu? Saya tak yakin, anda akan punya daya tahan untuk hidup abadi dalam panggangan api neraka rumah tangga anda. Atau, anda sosok Iron Man?

Lagipula, tak ada UU negara yang berhukum positif yang melarang perceraian jika sang hakim dll di pengadilan gagal mendamaikan dan merujukkan kembali pasangan yang mau bercerai lewat proses hukum.

Jika semua-muanya dikembalikan ke Tuhan, loh apa gunanya manusia diberi Tuhan kemampuan berpikir, menimbang-nimbang lalu mengambil keputusan?

Neokorteks pada lapisan terluar terbesar otak anda itu (juga ada pada Kera-kera Besar, gajah, dan lumba-lumba) bukan sebuah fosil purba. Neokorteks inilah yang membuat anda mampu berpikir rasional, bernalar, menimbang-nimbang lalu mengambil keputusan. Siapa pemberi neokorteks ini? Ya Tuhan, masak setan?

Ingatlah, sekalipun otak kita punya neokorteks, kita tetap rentan salah dalam banyak hal. Pikiran kita bukan pikiran Tuhan, tapi tetap pikiran kita sendiri. Jangan sekali-kali berpikir bahwa anda sudah menjadi Tuhan atau pikiran anda pikiran Tuhan yang tidak bisa salah. Tak ada sesuatu hal lain apapun yang mahatakterbatas dan mahatahu, kecuali Sang Mahatakterbatas dan Sang Mahatahu itu sendiri, yaitu Tuhan.

Karena kita bukan Tuhan yang tidak bisa salah, tak pelak lagi kita perlu selalu siap mengoreksi dan mengubah pendapat-pendapat, pandangan-pandangan, harapan-harapan, keyakinan-keyakinan dan sikap-sikap serta keputusan-keputusan kita, jika fakta-fakta dan bukti-bukti dan kondisi-kondisi kehidupan kita mengharuskan.

Tetapi kesiapan mengubah dan berubah ini semua bisa tidak ada dalam diri anda jika anda sudah diikat kaku dan kuat oleh iman dan keyakinan keagamaan anda yang anda absolutkan.

Jika hidup beriman anda kaku dan kejang begitu semacam yang telah saya gambarkan di atas, pasti gak enak betul, karena anda hidup dalam penjara iman anda. Padahal, iman itu seharusnya membebaskan anda untuk hidup otentik, cerdas dan dewasa, bukan hidup penuh kemunafikan, tak berakal dan kekanak-kanakan.

Jodoh itu anda cari dan pilih di Bumi, bukan diturunkan dari langit.

Anda tidak mungkin mendadak kejatuhan dari sorga satu sosok malaikat yang luar biasa tampan atau super cantik dan maha sempurna ke dalam pelukan anda. Kalau ini terjadi, ya hanya dalam dongeng-dongeng kasmaran.

untuk mama dan papaku!

Menikah itu ibarat menempuh perjalanan panjang, meniti sebuah jembatan gantung yang selalu dihembus angin, yang menghubungkan dua puncak gunung yang berjauhan. Pasangan suami-isteri, bukan Tuhan, yang harus meniti jembatan gantung yang tinggi dan panjang ini. Caranya, ya terserah masing-masing pasangan bersama-sama.

Ingat, jika meniti bersama, bergandengan tangan, saling menjaga, diikat cinta kasih tanpa batas, sederap, barulah jembatan gantung yang panjang dan tinggi dan bergoyang itu akan dapat dilewati bersama dengan perjuangan berat. Ini pernikahan ideal. Tapi realitas tidak selalu begitu.

Jika ada banyak pasangan suami-isteri sampai akhirnya memutuskan cerai, itulah realitas. Cinta kasih tanpa batas, ada di mana? Saya tak tahu jawabnya. Tapi ada suatu ungkapan metaforis yang bagus: Tuhan itu cinta, God is love. Apakah cinta Tuhan yang tanpa batas ini real dialami semua orang? Ya anda sudah tahu jawabannya.

Dalam diri saya, tentu ada cinta, sebagai benih yang terus tumbuh, tumbuhnya perlahan dan tidak pernah selesai, selalu terbatas sekaligus selalu berkembang. Jatuh bangun, bangun jatuh, tapi bergerak ke depan, meniti jembatan gantung itu, baru seperempat jalan. Banyak juga pasangan yang sudah berhasil mencapai tiga perempat jalan.


Tapi banyak juga pasangan yang terjungkal begitu mulai atau tak lama setelah meniti jembatan gantung ini, jatuh melayang ke dalam lembah kelam jauh di bawah, tak kuasa melawan forsa gravitasi. JATUH CINTA itu elok, suatu awal yang, jika berbalas, dapat bermuara pada  suatu perkawinan. Tapi, CINTA JATUH itu tidak elok, karena pasti menghancurkan suatu ikatan perkawinan. Tapi, forsa gravitasi tidak ikut campur baik dalam hal jatuh cinta maupun dalam hal cinta jatuh.

Jadi, dalam soal mabuk kasmaran, atau dalam hal badai cinta jatuh lalu cerai, jangan salahkan gravitasi atau cari-cari kesalahan lewat dalil-dalil lain.

Tak perlulah anda stres dan geram lalu buat petisi segala untuk mencegah suatu rencana perceraian orang lain. Ingat loh, yang mau cerai itu orang lain, bukan bagian keluarga anda. Sekalipun kitab suci anda sama, anda bukan orang dalam. Anda orang luar.

Bukankah kata anda, kalau Tuhan sudah mempersatukan, tak ada yang dapat menceraikan? Jika anda konsisten, ya serahkan saja urusannya kepada Tuhan. Gak perlu bikin keramaian. Sunyi dan hening itu indah dan nikmat.

Jakarta, 9 Jan 2018
ioanes rakhmat