Sunday, September 17, 2017

CYBER RELIGION?
Ibadah Minggu online sedang muncul


Terma Cyber Religion (CR) itu SALAH KAPRAH seolah dunia cyber Information and Communication Technology (ICT), di dalamnya termasuk Internet, sudah menjadi agama atau Tuhan yang disembah.

Konon, kata sejumlah orang, CR menampilkan sosok-sosok Tuhan baru hasil sinkretisme atau amalgamasi atau kawin silang antar ide-ide tentang Tuhan yang diambil dari sana sini di dunia cyber.

Pendapat ini naif, dan terus disebarkan untuk menimbulkan kebingungan. Faktanya, jauh sebelum era ICT modern tiba, di era SM, dan sesudahnya, setiap agama memang lahir dari sinkretisme atau kawin silang berbagai ide tentang Tuhan yang sudah ada di dunia sekitar.

Tidak ada agama atau ide tentang Tuhan apapun yang murni 100 persen, sama halnya dengan tidak adanya DNA individu manusia yang murni seratus persen.

Paling jauh, ICT itu adalah wahana dan sarana modern pengganti wahana dan sarana yang tradisional dalam orang beribadah dan belajar agama.

Keadaan ini serupa dengan Uber Taxi online yang kini sedang menggantikan taxi tradisional Blue Bird. Atau mirip dengan sedang tergesernya toko besar Matahari dan Sogo oleh online shopping di Tokopedia atau di Lazada dll. Begitu juga halnya toko buku online Amazon dan Alibaba, misalnya, sudah lama menggeser toko-toko buku tradisional yang memerlukan banyak bangunan fisik yang didirikan di atas sebidang tanah luas.

Dengan ICT, orang tak perlu lagi datang secara fisik ke sebuah gedung gereja (atau rumah ibadah lain) untuk beribadah di hari Minggu (atau di hari lain). Cukup lewat ICT saja di rumah. Tak perlu terjebak macet yang menimbulkan kelelahan dan pemborosan bahan bakar kendaraan.

Tapi, pada sisi negatifnya, jika umat dapat beribadah cukup lewat ICT di rumah, para pendeta gereja bisa terserang stres berat karena penurunan drastis jumlah pengunjung kebaktian gereja di hari Minggu, dengan dampak penurunan drastis juga dalam penerimaan uang persembahan yang masuk ke kas gereja. Selanjutnya, efek domino akan terjadi.

Selain itu, ibadah via ICT saja dapat menimbulkan rasa kesepian yang dalam lantaran orang kehilangan interaksi fisik dengan sesama warga gereja. Kita bisa membangun hubungan cukup dalam dengan mesin-mesin; tapi kontak antarindividu insani juga sangat mendasar sehingga tidak bisa dihilangkan jika kita ingin hidup sehat seutuhnya, ragawi dan mental.

Ibadah via ICT tentu suatu pilihan tepat jika anda terhalang untuk datang ke ibadah Minggu di gereja anda lantaran anda sakit atau lumpuh atau sedang bermasalah di gereja yang sulit anda selesaikan (misalnya, anda sedang sakit hati pada seorang pendeta di gereja anda; atau anda sedang terlibat konflik di sana).

Dengan ICT, sebetulnya warga jadi bebas memilih corak dan bentuk ibadah serta isi khotbah yang lebih berwawasan, seperti anda bebas memilih-milih stasiun radio lewat pesawat radio anda.

Karena ICT, orang jadi tidak terikat mutlak lagi pada satu aliran atau denominasi gereja. Keanggotaan menjadi cair, tak lagi kaku mengikat. Pemaksaan doktrin juga anda bisa tolak. Melepaskan diri dari sekte sesat juga mudah anda lakukan.

Selain itu, keanggotaan yang cair juga membuat anda tidak harus memberi persembahan uang anda ke satu gereja saja. Dunia ini menjadi gereja anda, sebagai ladang anda melayani Tuhan dan sesama. Tanpa sekat doktrin dan aliran. Anda tidak wajib lagi harus aktif hanya di satu gereja.

Jangan heran, sekali lagi, jika ICT yang dimanfaatkan dengan kreatif untuk berbagai kepentingan spiritual membuat banyak sekali pendeta penjaga dan pengerja gereja-gereja merasa gerah, tersisihkan dan cemas. Mustinya tidak perlu begitu, jika mereka dapat melihat dan memanfaatkan ICT sebagai sarana dan wahana untuk memperluas jangkauan dan raihan pekerjaan mereka di dunia kependetaan yang modern.

Kecemasan mereka akan meningkat jika nanti gereja-gereja fisik terlembaga yang dibangun di atas lahan-lahan luas mulai digantikan dengan gereja-gereja online yang tidak memerlukan bangunan fisik yang berharga milyaran rupiah dan untuk membangunnya perlu mengurus dan mendapatkan IMB yang kerap tidak mudah.

Akhir kata, orang yang melek iptek, dus tahu apa itu ICT, tidak mungkin menjadikan dunia cyber sebagai agama atau Tuhan baru yang harus dipuja, disembah dan ditaati. Bagi mereka, ICT adalah sarana dan wahana modern untuk dimanfaatkan dengan benar dan kreatif dalam membangun gereja-gereja online, khususnya sebagai wahana dan sarana online ibadah Minggu.

Jadi, terma Cyber Religion adalah sebuah oxymoron, suatu penggabungan dua kata atau dua hal yang bertentangan yang tidak mungkin ada dalam dunia real. Karena itu, selanjutnya terma ini tidak perlu dipakai lagi. Hanya orang yang sedang ngelindur saja yang akan terus memakainya.

Yang sekarang sedang terjadi adalah ibadah-ibadah Minggu fisik di dunia real sedang diganti dengan ibadah-ibadah online lewat ICT, Internet dan komputer-komputer di rumah anda.

Jakarta, 17 Sept 2017

Salam,
ioanes rakhmat

N.B. Silakan share jika ingin. Tq