Saturday, July 29, 2017

Doa, mubazir atau berkhasiat?

DOA, MUBAZIR atau BERKHASIAT?

Dr. Ryu Hasan, yang bekerja sebagai dokter bedah saraf, baru saja menulis sebuah status pada Facebooknya, begini: "Do'a adalah obat tanpa efek samping dan tanpa efek-efek yang lain, alias nggak ngefek sama sekali."

Ini respons saya:

AAH GAK JUGA. Lepas dari Tuhan ada atau tidak ada, jika dengan tulus dan khusuk kita mendoakan orang lain yg sedang berbeban berat, orang yang kita doakan ini akan mengalami efek psikologis berupa ketenangan dan mendapatkan kembali optimisme, atau setidaknya merasa beban mentalnya diringankan, karena ada orang lain yang peduli.


Begitu juga, kalau kita sedang dalam problem berat, lalu kita berdoa sendiri kepada Tuhan yang kita percaya (entah siapapun sosok Tuhan yang kita percaya ini), kita biasanya akan mengalami penguatan kembali, merasa diringankan, merasa kita tidak sendirian dan menemukan sosok yang mau peduli dan sedang menguatkan dan menolong kita.

Doa itu semacam katarsis psikologis, dengan kawan bicara kita Tuhan yang kita percaya mahapenyayang, lepas dari Tuhan ini atau Tuhan itu ada atau tidak ada.

Setiap orang, termasuk yang mengaku ateis, perlu melakukan katarsis, curhat, atau buang unek-unek. Tujuannya: ya melepaskan beban mental psikologis yang berat dan menimbulkan rasa sesak pada jiwa. Ada banyak bentuk dan saluran katarsis. Doa adalah salah satunya; dus, doa adalah suatu bentuk terapi psikologis. Tentu saja, katarsis bukan satu-satunya tujuan doa.

Meskipun psikologi modern, yang kini sudah terbagi ke dalam sub-subspesialis, tidak dikenal oleh orang zaman pramodern dan prailmiah yang, secara kolektif partisipatif, menulis teks-teks (yang kemudian dipandang) suci, mereka juga butuh katarsis, baik lewat curhat biasa kepada sesama maupun lewat doa-doa kepada Tuhan mereka masing-masing. Problem kejiwaan dan mental sudah dialami organisme yang berkesadaran seperti manusia, sejak awal kemunculan Homo sapiens, 300 ribu hingga 400 ribu tahun lalu di Afrika Selatan.

Berbagai problem kejiwaan yang timbul di era modern mungkin mereka tidak alami. Namun, anekaragam problem mental tentu juga diderita moyang-moyang manusia di zaman purba. Seekor burung atau seekor anjing yang semula hidup lepas bebas, lalu ditangkap dan dimasukkan ke dalam sebuah kandang, atau dicancang, bisa akhirnya mati terpuruk karena stres berat.

Andaikanlah Adam skriptural yang tidak memiliki sebuah pusar di permukaan kulit perutnya betulan ada. Nah si Adam ini konon menderita kesepian jiwa karena hanya dia sendiri yang ada di muka Bumi. Betapa kesepiannya dia. A very very lonely guy! 

Sangat mungkin si Adam ini kerap bermuram durja dan uring-uringan. Tuhan tentu melihat wajah murung si Adam ini, dan Tuhan tahu keadaan jiwa satu-satunya insan di muka Bumi ini. Tuhan menilai kondisi ini tidak baik bagi Adam. Akhirnya Tuhan memberi sebuah terapi psikologis kepadanya, dengan menghadirkan Hawa sebagai mitranya. Mungkin juga si Adam ini terus-menerus curhat ke Tuhan dalam hati, mengungkapkan kesepian jiwanya dan ketidakbahagiannya, lewat banyak doa.

Ada banyak tujuan doa. Bukan cuma untuk curhat atau meminta sesuatu. Misalnya dalam doa, kita hanya berdoa lewat nyanyian-nyanyian agung dengan penuh penghayatan, untuk memuji Tuhan. Saat ini kita lakukan, hormon-hormon neurokimiawi atau neurotransmitters penimbul rasa damai, kalem, cinta, tenang, relaks, santai, persahabatan, terproduksi dalam struktur-struktur neural dan kelenjar dalam otak lalu oleh darah dibawa ke seluruh tubuh.

Akibatnya, doa puji-pujian menimbulkan efek psikologis tenang, damai, persahabatan, cinta, relaksasi, sifat sosial, rasa gembira, optimis, dll. Dalam hal ini, hormon-hormon seperti oksitosin, GABA, endorfin, dopamin, adrenalin, dan serotonin dll sangat banyak terproduksi.

Itulah manfaat positif doa meskipun doa tidak bisa memindahkan sebuah gunung. Manfaat positif doa pada ranah mental psikologis potensial berdampak positif juga pada tubuh kita. Tubuh dan jiwa atau mental kita adalah suatu sistem biologis psikosomatis yang tidak terpisah, tapi terjalin: tubuh dan mental kita berinteraksi satu sama lain, saling mempengaruhi dan membentuk.

Tapi harus segera diingat, sama seperti kita bisa salah dan keliru berpikir, doa juga bisa keliru dan salah, karena doa itu juga isi pikiran. Yaitu, ketika kita, setelah membentuk sikap berdoa dengan kedua belah tangan saling menggenggam dan mengucap doa dalam hati, kita langsung bangun dan melompat untuk menerkam dan melahap orang lain sebagai mangsa kita. Inilah model doa belalang sentadu; atau model doa seorang pemburu yang sehabis berdoa, langsung menembak jitu sampai mati seekor hewan buruannya. Doa yang manipulatif, tidak etis.

Doa yang benar ya doa yang setelah diserukan mendorong semua orang yang habis berdoa itu saling merangkul dan memeluk, dan komitmen yang kuat terbangun untuk menegakkan kasih dan cinta persaudaraan antar para pendoa dan antar seluruh umat manusia. Inilah model doa semut yang beriring, atau model doa para pendayung sebuah perahu. Inilah doa yang etis, yang keluar dari isi hati yang bersih, tidak manipulatif.

Ada orang yang menegaskan bahwa jika orang yang kita doakan itu berdiam jauh dari tempat kita berdoa, dan mereka tidak tahu bahwa kita sedang atau telah atau akan mendoakan mereka, doa kita tidak akan mendatangkan efek apa-apa pada mereka.

Tentang hal itu, sementara ini saya hanya bisa menjawab, ya kita tidak tahu apakah dalam sikon ini doa jarak jauh yang tidak diketahui oleh orang yang didoakan akan memberi atau tidak memberi efek apapun. Mungkin nanti, penemuan dalam studi-studi yang mendalam dalam fisika Quantum, entah dalam bentuk apa, akan bisa menjawab kekuatan pikiran manusia dan dampaknya bagi objek-objek yang jauh lokasinya.

Eh, ada sebuah contoh lain yang dimunculkan rekan saya yang sama, dr. Ryu Hasan. Katanya, ayam yang sakit, setelah didoakan oleh sekian orang, tetap saja sakit. Ini, katanya lagi, bukti bahwa doa itu tidak ngefek.

Respons saya ya begini saja: ayam itu bukan manusia, meski keduanya hidup. Struktur, volume, dan konten, cakupan dan kapasitas kerja otak manusia beda jauh dari otak ayam. Otak manusia memungkinkan sebuah doa yang empatis diberi respons positif yang mempengaruhi dengan positif juga keadaan mental dan tubuh orang yang didoakan. Otak ayam tidak bisa begitu. Ini serupa dengan mendoakan sebuah gunung tinggi, dalam nama Tuhan, untuk bergerak pindah. Ya tidak akan pernah bisa, meski Yesus pernah menyatakan bisa.

Saya sudah coba berkali-kali berdoa di kaki sekian gunung tinggi, meminta Tuhan memindahkan gunung-gunung itu ke kota Jakarta, tapi doa-doa saya ini tidak mujarab sama sekali. Ihwal apakah Yesus maksudkan doa tersebut akan harfiah dipenuhi, atau itu sebuah metafora atau sebuah alegori, adalah ihwal yang lain.

Tapi sebuah doa yang ikhlas, bersahabat, empatetis, solider, tidak menghukum, tidak menghakimi, akan bisa menggerakkan hati dan pikiran orang yang didoakan, untuk pindah dari kondisi putus asa dan merasa tak berdaya, masuk ke kondisi munculnya pengharapan dan kekuatan kembali.

Semoga bermanfaat.

29 Juli 2017
Di pagi hari
ioanes rakhmat

Cc:
Ryu Hasan