Monday, April 3, 2017

Wahai teman, para ateis itu bukan hamba setan!


Ilustrasi Cloud Computing. Mungkin ini sorga data dan informasi langit yang real...


Seorang pegiat di suatu gereja berkeberatan atas pernyataan saya dalam sebuah tulisan saya bahwa para ilmuwan adalah HAMBA TUHAN. Dia protes. Ini prinsip, katanya, serupa dengan gaya para Kristen evangelikal.

Alasan dia, karena banyak saintis yang ateis. Anti-Tuhan. Lalu dia sebut dua nama besar: Albert Einstein dan Stephen Hawking. Katanya yakin: mana mungkin dua saintis ateis anti-Tuhan ini Hamba Tuhan.

Ini tanggapan saya kepadanya (lewat WA):

Ya sudah, saya gak maksa anda atau orang lain kok untuk terima tulisan dan pikiran saya. Tapi, hemat saya, anda perlu baca tulisan saya itu kembali berkali-kali karena ketahuan anda belum memahaminya dengan benar. Terpasang di sini.

Pahami lagi ya. Saya ini pemikir, orang yang mengedepankan akal, nalar dan ilmu pengetahuan dalam banyak usaha untuk memahami, mengerti dan menjelaskan berbagai fenomena dalam dunia ini.

Saya ini pemikir pejuang. Terus berpikir dan menjelajah, karena ingin saya tiba di ujung infinitas yang tak ada ujungnya. Tiba di ujung yang bukan ujung, di akhir yang bukan akhir.

Saya bukan pemikir letoi pecundang, yang tak mau dan tak mampu lagi berpikir progresif. Atau karena sudah letoi dan ringkih, kalah dengan rayuan dan lipstik uang, kedudukan dan kekuasaan.

Jadi, saya gak mau ulang-ulang advis lama. Alhasil, saya bosan dengan klise-klise agama. Agama lebih banyak bikin ribut dewasa ini di seluruh dunia. BISING. BIkin puSING. BIkin SintING.

Tak ada Tuhan dalam kebisingan. Tuhan, saya alami, ada dalam keheningan. Tetapi, tentu, Tuhan itu mahaberada.

Jika anda mencari Tuhan dalam kebisingan ritual-ritual keagamaan anda, dalam kebisingan mempercekcokkan visi dan misi keagamaan anda, dalam kebisingan organisasi kelembagaan keagamaan anda, dalam kebisingan mengumpulkan dan menilep uang organisasi kelembagaan keagamaan anda, maka tidak ada Tuhan dalam semua kebisingan itu.

God is the silent, the still, the quiet.

Dalam kebisingan, orang jadi tuli dan stres, dus gak bisa lagi mendengar suara orang lain yang mungkin juga keras dan menambah bising; apalagi mendengar "suara Tuhan" yang sunyi, senyap, silent, tak terdengar, tak tersadap, tak bisa direkam dalam pita kaset jadul atau dalam disk atau flashdisk modern atau di dalam "awan kemuliaan ilahi" Cloud Computing.

Tapi saya menyukai banyak metafora keagamaan yang terbuka untuk dipahami dari sudut-sudut pandang baru.

Metafora itu bagian dunia senibudaya, dipakai dapat dalam bentuk wahana sastra untuk berbicara tentang dunia-dunia yang tidak dikenal atau yang imajiner, atau sebagai ibarat atau kiasan atau perumpamaan. Bisa juga dalam bentuk wahana seni lukis, seni pahat, seni drama, seni suara, seni gerak, atau seni sinematografis, dll.

Lewat metafora, anda pindah atau menyeberang (Yunani: ferein) untuk masuk ke kawasan-kawasan lain yang melampaui atau yang ada di seberang (Yunani: meta) kawasan dunia sehari-hari anda. Kawasan-kawasan seberang ini kawasan nilai-nilai yang lebih tinggi, kawasan transenden, kawasan adinilai.

Kalau anda sudah cukup jauh menjelajahi kehidupan dan pemikiran para saintis, anda akan menemukan fakta bahwa mereka pun tidak jarang memakai metafora-metafora ketika berusaha menerangkan hal-hal yang rumit dan belum terpahami dalam dunia sains.

Selain itu, saya tetap mendekatkan diri kepada Tuhan yang sunyi, yang senyap, the Silent God. 

Listen to the silent God. The noisy God doesn't exist. Noisy religious believers never know the Silent God, while the noisy God never exists. Actually, they believe in God-of-nowhere, in nothing.

Tuhan dalam dunia iptek tentu saja bukan "Bapak yang bertakhta di sorga". Tapi kemahatahuan tanpa batas. Infinitas. Tanpa bilangan. Tanpa angka. Tak terdefinisikan. Lebih luas dari Tuhan-tuhan agama-agama, sebab oleh agama-agama terlembaga, Tuhan YMTahu dan YMTakterbatas telah dibatasi dan dikurung dalam petak-petak doktrin, akidah, kredo, ideologi, ritual dan organisasi. Dalam sikon pengerangkengan ini, Tuhan YMTakterbatas telah mengelak dan menyelinap pergi, membebaskan diri.

Einstein mengembangkan sendiri konsepnya tentang Tuhan dalam jalur yang sudah dibuka Baruch Spinoza. Di antara para fisikawan, ungkapan "the Einsteinian God", tidaklah asing atau mengejutkan.

Bagi Albert Einstein, hukum-hukum sains dalam jagat raya yang tanpa batas, yang belum seluruhnya para ilmuwan pahami dan temukan, dan yang menjadi landasan struktur alam semesta dan memberi orde harmonis pada jagat raya, dipenuhi misteri dan tak akan pernah habis dipahami manusia.

Hukum-hukum sains ini juga, paradoksalnya, menuntun kita kepada infinitas, ketidakberhinggaan, yang tidak akan pernah dapat dirumuskan untuk menjadi sebuah hukum besi sains lainnya.

Jika diungkap dalam satu kata sebagai sebuah metafora, misteri dan ketidakberhinggaan inilah "God", "the Einsteinian God". Tuhan yang mahatakterbatas, yang manusia dapat pahami dan imajinasikan selangkah demi selangkah, tanpa akhir.

Pikiran dan imajinasi kita itu ibarat ikan-ikan kecil warna-warni yang, dari satu generasi ke generasi selanjutnya, sedang berenang-renang dengan ceria ke segala arah di kedalaman lelautan yang tidak memiliki dasar, tepi atau pantai atau permukaan, atau pulau atau pelabuhan.

Einstein memang dengan terang telah menyatakan bahwa dia tak bisa terima Tuhan yang dibuat serupa manusia, "sang Bapak Yang Lanjut Usia dengan jenggot yang putih lebat yang ada di langit" (ini gambaran dalam kitab Daniel; bukan karangan saya). Ini namanya ANTROPOMORFISME TEOLOGIS, artinya Allah (Yunani: theos) digambarkan dalam rupa (Yunani: morfee) manusia (Yunani: anthropos), dan juga otomatis diberi sifat-sifat manusia.

Albert Einstein menolak teologi antropomorfis ini meski sang saintis besar ini berlatarbelakang agama Yahudi yang kitab sucinya (Tanakh) penuh dengan metafora teologis antropomorfis.

TUHAN Albert Einstein terlalu besar untuk dijejalkan ke dalam kitab suci bangsanya. Sebaliknya, kitab suci itu kekecilan untuk menyimpan Allah menurut konsep Einstein.

Bagi saya, baik Einstein, maupun Hawking yang menaruh perhatian dan kepedulian besar pada daya tahan kehidupan Homo sapiens di masa depan dan telah berulangkali mendesak para ilmuwan untuk, dalam kurun yang masih tersisa, mengubah planet Mars menjadi tempat tinggal kedua kita, lebih tinggi status mereka sebagai Hamba Tuhan meski keduanya menolak konsep tradisional tentang Tuhan yang disusun manusia-manusia kuno dan dapat dibaca dalam kitab-kitab suci.

Sumbangan Einstein dan Hawking luar biasa besar dan bernilai kepada dunia, umat manusia dan peradaban yang dibangun di atas iptek modern. Billy Graham, Bunda Teresa (!), Martin Luther, maaf, gak ada apa-apanya jika dibandingkan dua saintis besar ini, sejauh terkait kemajuan peradaban modern yang dibangun di atas sainstek modern. Dari buahnya kau kenal pohonnya, bukan dari doktrinnya.

Doktrin-doktrin religius yang diklaim paling benar dan paling mulia silakan dipropagandakan ke mana-mana, tapi apa hebatnya jika ternyata (anda tentu tak buta fakta) banyak juru propaganda itu (tentu tidak semua) jadi megalomaniak dan psikopat, haus duit, haus kekuasaan, haus seks, serakah terhadap kehidupan. Hati-hatilah terhadap bujuk rayu WEIN, WEIB, GESANG, GELD und MACHT!

Jika juru propaganda doktrin-doktrin keagamaan yang diklaim hebat itu ternyata hidup dengan mengumbar nafsu semacam itu, apakah betul mereka menghamba pada Tuhan? Atau malah sebetulnya mereka menghamba pada sosok-sosok lain yang sama sekali bukan Tuhan YMPengasih dan MPenyayang dan MTahu?

Silakan sebut Einstein dan Hawking hamba Setan, kalau itu memang yang anda inginkan./*/ Saya yakin, dua ilmuwan besar ini gak akan ngamuk, paling cuma tersenyum. Bagi sangat banyak orang, juga bagi saya, mereka jauh lebih dekat ke diri Tuhan YMTahu ketimbang Ratzinger dan John Calvin.

Begitu saja. Stay calm.

/*/ Menyetankan orang lain yang berbeda atau lawan yang lebih tangguh adalah bagian dari strategi "name-calling" ritualisme religius. Jika lawan sudah diberi label negatif setan atau babi ngepet atau jejadian, atau serigala, atau vampir, maka setiap anggota grup yang memberi label itu wajib melakukan ritual pengusiran setan atau eksorsisme. 

Ritual ini ditujukan kepada lawan-lawan yang sudah sepihak dikategorikan jahat atau najis, ya setan atau babi ngepet atau apapun yang dipandang buas dan anti-Tuhan.

Karena manusia lain itu sudah diubah sepihak sebagai setan atau babi ngepet atau jejadian atau vampir atau kampret, atau tukang sihir, maka orang lain yang sudah diberi "name-calling" itu harus ditengking, setannya diusir, atau orangnya dirantai, disiksa dan digempur sampai mati. 

Itulah salah satu strategi tempur melawan musuh yang terlalu kuat, dengan musuh itu dihina dan direndahkan dulu habis-habisan secara sepihak. 

Ritual eksorsisme, sebagai ritual, memberi legitimasi terhadap anggota grup pemberi label untuk melakukan kekerasan dan pembunuhan terhadap lawan atau anggota grup lain yang berbeda. Bagi mereka yang melakukan ritual ini, menyiksa dan menewaskan lawan adalah hal yang patut. Dalam situasi ini, ritual dan penyiksaan dan pembunuhan menjadi satu. Penyiksaan dan pembunuhan menjadi ritual.

Jika ritual ini sudah berhasil dijalankan dengan sang setan atau sang vampir atau sang jejadian atau sang babi ngepet-nya sudah ditengking, dipasung, dibekuk, atau dihancurkan, maka grup pemberi label-label ini melihat disharmoni sosioreligius sudah ditiadakan, dan harmoni sudah ditegakkan kembali. Tentu saja, harmoni dan disharmoni ini didefinisikan sepihak oleh grup pemberi "name-calling".

Strategi ritual "name-calling" dan eksorsisme dipakai banyak kalangan sejak zaman kuno hingga kini dalam berbagai bentuk. Label-labelnya juga beda-beda, bergantung lingkungan sosiobudaya dan sosioreligius. 

Di negeri kita kini, banyak "name-calling" yang sedang bermunculan di tengah persaingan dan pertikaian memperebutkan banyak hal antargrup-grup yang berbeda. Silakan daftarkan sendiri.

Jahatkah ritual "name-calling" eksorsisme? Sangat jahat. Banyak orang benar dan tak bersalah, mati dibunuh lewat strategi ini.

N.B.
Jika anda mau penuh dan puas mengenal Stephen Hawking dan Albert Einstein, ada sebuah tulisan komprehensif saya tentang mereka. Ini linknya https://ioanesrakhmat.blogspot.co.id/2012/06/stephen-hawking-dan-albert-einstein.html?m=0.

Jakarta, 03 April 2017

Salam
ioanes rakhmat