Saturday, April 8, 2017

Dua sumber simalakama jiplakan lagu "Kobarkan Semangat"

Konon oleh timses dari PKS, untuk paslon 3 AB dan SU telah diciptakan lagu perjuangan "KOBARKAN SEMANGAT" dalam putaran kedua Pilkada DKI 2017.

Tak lama, terbongkarlah fakta bahwa lagu "heroik" tersebut lagu jiplakan, hasil plagiarisme. Nah, setelah saya meneliti sedikit, kini tersedia 2 pilihan sumber jiplakan untuk PKS putuskan yang satu mana.

Ini lagu yang diklaim PKS ciptaan timses paslon 3 ternyata jiplakan dari lagu Israel Hashem Melech yang dinyanyikan musikus Gad Elbaz.

Konon sang penyanyi Yahudi Gad Elbaz ini telah memberi kritik pedas atas plagiarisme lagunya oleh timses paslon 3 pilkada DKI 2017 putaran dua, dalam lagu mereka "Kobarkan Semangat". Ini link ke kritik tajam tersebut:

http://www.beraninews.com/2017/04/jawaban-telak-penyanyi-israel-gad-elbaz-anies-sandi-kobarkan-semamgat.html?m=1

Tapi dalam bantahannya, PKS menyatakan bahwa lagu "Kobarkan Semangat" paslon 3 itu bukan dijiplak dari lagu Yahudi "Hashem Melech", tapi dijiplak dari lagu penyanyi Arab (Aljazair) yang bernama Khaled, yang berjudul C'est Le Vie. Pertanyaan krusialnya adalah tahukah mereka ini lagu jenis apa? Dan apa konten liriknya?

Ok, perkenankan saya memberitahu. Aslinya lirik lagu Khaled ini ditulis dalam dua bahasa: Prancis dan Arab. Berikut ini link ke lirik Inggrisnya. Saya lampirkan screencapture-nya di bawah link-nya.

http://lyricstranslate.com/en/cest-la-vie-life.html




Apa konten lagu ini?

C'EST LA VIE artinya "Beginilah hidup"; "Begitulah yang terjadi"; "Terima saja, niscaya".

Maaf ya, sesungguhnya itu lagu percintaan, lagu mabuk asmara, dansa, musik, cinta satu malam, antara dua orang yang bukan suami-istri, yang menjadi subjek gossip. Dus lagu rohanikah ini? Lagu agamakah ini? Atau sebuah lagu mesum dan perselingkuhan? Terang sekali, ini lagu kobarkan semangat birahi. Lagu perangsang syahwat. Baru tahu? Baru nyaho? Katanya PKS itu partai anti-maksiat.

Jadi, PKS sekarang mau pilih mengakui sumber jiplakan yang mana? Hayo, berilah respons. Ini pilihan sebuah simalakama.

Lagipula, dari manapun sumber jiplakan mereka, plagiarisme itu bagi orang yang beradab dan terpelajar bukan hal remeh, tetapi sesuatu yang sangat serius bukan saja menyangkut legalitas hak cipta, tetapi juga rasa malu dan martabat dan integritas.

Setahu saya Bung AB itu bergelar Ph.D. Jadi, seharusnya baginya plagiarisme ini hal yang sangat sangat sangat serius cacatnya. Tapi saya telah mendengar bahwa AB menganggap kasus plagiarisme lagu "Kobarkan Semangat" cuma soal sepele yang tak perlu dipersoalkan. Nah loh! Lah No!

Setelah menyelidiki sedikit lebih jauh lagi, saya perlu menambahkan 5 poin berikut, memperpanjang versi awal tulisan saya ini yang berakhir pada satu alinea persis di atas.

1. Kalau orang membajak atau menjiplak lagu--bukan menyadur liriknya ke bahasa lain dengan tetap mempertahankan melodinya-- nah yang dijiplak itu melodinya, bukan liriknya.

2. Lagu "Hashem Melech" itu disusun liriknya berdasarkan teks kitab suci Yahudi Mazmur 10:16, bukan berdasarkan teks asmara dan percintaan yang mesum. "Hashem Melech" itu dua kata dalam bahasa Ibrani (Hebrew), bahasa bangsa Yahudi. Artinya "Tuhan itu Raja".

3. Melodi dan lirik otentik lagu "Hashem Melech" pertama kali dipublikasi tahun 1962 oleh Shlomo Carlebach, seorang rabbi. Ada di Youtube. Ini link-nya (publikasi 9 Juli 2012) https://www.youtube.com/watch?v=USb0ZryDoOc.




Lagu Shlomo Carlebach ini sama sekali bukan lagu mesum, perselingkuhan dan zinah. Tapi pujian kepada Tuhan sang Raja bangsa Yahudi. Lirik Ibrani dan Inggrisnya saya sudah buat screencapture-nya. Saya pasang di bawah ini.




4. Melodi otentik "Hashem Melech" tahun 1962 ini kemudian, langsung atau tak langsung, diambil musikus Khaled orang Arab Aljazair itu, dan liriknya diganti dengan lirik asmara, perselingkuhan, dansa dan cinta satu malam. Jadi Khaled bukan pencipta melodinya.

5. Begitu saja dulu. Kalau nanti saya dapat pengetahuan lebih lanjut, akan pasti saya edit lagi tulisan ini.

Silakan share.
Bebas saja. Tak perlu minta izin dulu.

Salam, 
ioanes rakhmat

08 April 2017


Monday, April 3, 2017

Wahai teman, para ateis itu bukan hamba setan!


Ilustrasi Cloud Computing. Mungkin ini sorga data dan informasi langit yang real...


Seorang pegiat di suatu gereja berkeberatan atas pernyataan saya dalam sebuah tulisan saya bahwa para ilmuwan adalah HAMBA TUHAN. Dia protes. Ini prinsip, katanya, serupa dengan gaya para Kristen evangelikal.

Alasan dia, karena banyak saintis yang ateis. Anti-Tuhan. Lalu dia sebut dua nama besar: Albert Einstein dan Stephen Hawking. Katanya yakin: mana mungkin dua saintis ateis anti-Tuhan ini Hamba Tuhan.

Ini tanggapan saya kepadanya (lewat WA):

Ya sudah, saya gak maksa anda atau orang lain kok untuk terima tulisan dan pikiran saya. Tapi, hemat saya, anda perlu baca tulisan saya itu kembali berkali-kali karena ketahuan anda belum memahaminya dengan benar. Terpasang di sini.

Pahami lagi ya. Saya ini pemikir, orang yang mengedepankan akal, nalar dan ilmu pengetahuan dalam banyak usaha untuk memahami, mengerti dan menjelaskan berbagai fenomena dalam dunia ini.

Saya ini pemikir pejuang. Terus berpikir dan menjelajah, karena ingin saya tiba di ujung infinitas yang tak ada ujungnya. Tiba di ujung yang bukan ujung, di akhir yang bukan akhir.

Saya bukan pemikir letoi pecundang, yang tak mau dan tak mampu lagi berpikir progresif. Atau karena sudah letoi dan ringkih, kalah dengan rayuan dan lipstik uang, kedudukan dan kekuasaan.

Jadi, saya gak mau ulang-ulang advis lama. Alhasil, saya bosan dengan klise-klise agama. Agama lebih banyak bikin ribut dewasa ini di seluruh dunia. BISING. BIkin puSING. BIkin SintING.

Tak ada Tuhan dalam kebisingan. Tuhan, saya alami, ada dalam keheningan. Tetapi, tentu, Tuhan itu mahaberada.

Jika anda mencari Tuhan dalam kebisingan ritual-ritual keagamaan anda, dalam kebisingan mempercekcokkan visi dan misi keagamaan anda, dalam kebisingan organisasi kelembagaan keagamaan anda, dalam kebisingan mengumpulkan dan menilep uang organisasi kelembagaan keagamaan anda, maka tidak ada Tuhan dalam semua kebisingan itu.

God is the silent, the still, the quiet.

Dalam kebisingan, orang jadi tuli dan stres, dus gak bisa lagi mendengar suara orang lain yang mungkin juga keras dan menambah bising; apalagi mendengar "suara Tuhan" yang sunyi, senyap, silent, tak terdengar, tak tersadap, tak bisa direkam dalam pita kaset jadul atau dalam disk atau flashdisk modern atau di dalam "awan kemuliaan ilahi" Cloud Computing.

Tapi saya menyukai banyak metafora keagamaan yang terbuka untuk dipahami dari sudut-sudut pandang baru.

Metafora itu bagian dunia senibudaya, dipakai dapat dalam bentuk wahana sastra untuk berbicara tentang dunia-dunia yang tidak dikenal atau yang imajiner, atau sebagai ibarat atau kiasan atau perumpamaan. Bisa juga dalam bentuk wahana seni lukis, seni pahat, seni drama, seni suara, seni gerak, atau seni sinematografis, dll.

Lewat metafora, anda pindah atau menyeberang (Yunani: ferein) untuk masuk ke kawasan-kawasan lain yang melampaui atau yang ada di seberang (Yunani: meta) kawasan dunia sehari-hari anda. Kawasan-kawasan seberang ini kawasan nilai-nilai yang lebih tinggi, kawasan transenden, kawasan adinilai.

Kalau anda sudah cukup jauh menjelajahi kehidupan dan pemikiran para saintis, anda akan menemukan fakta bahwa mereka pun tidak jarang memakai metafora-metafora ketika berusaha menerangkan hal-hal yang rumit dan belum terpahami dalam dunia sains.

Selain itu, saya tetap mendekatkan diri kepada Tuhan yang sunyi, yang senyap, the Silent God. 

Listen to the silent God. The noisy God doesn't exist. Noisy religious believers never know the Silent God, while the noisy God never exists. Actually, they believe in God-of-nowhere, in nothing.

Tuhan dalam dunia iptek tentu saja bukan "Bapak yang bertakhta di sorga". Tapi kemahatahuan tanpa batas. Infinitas. Tanpa bilangan. Tanpa angka. Tak terdefinisikan. Lebih luas dari Tuhan-tuhan agama-agama, sebab oleh agama-agama terlembaga, Tuhan YMTahu dan YMTakterbatas telah dibatasi dan dikurung dalam petak-petak doktrin, akidah, kredo, ideologi, ritual dan organisasi. Dalam sikon pengerangkengan ini, Tuhan YMTakterbatas telah mengelak dan menyelinap pergi, membebaskan diri.

Einstein mengembangkan sendiri konsepnya tentang Tuhan dalam jalur yang sudah dibuka Baruch Spinoza. Di antara para fisikawan, ungkapan "the Einsteinian God", tidaklah asing atau mengejutkan.

Bagi Albert Einstein, hukum-hukum sains dalam jagat raya yang tanpa batas, yang belum seluruhnya para ilmuwan pahami dan temukan, dan yang menjadi landasan struktur alam semesta dan memberi orde harmonis pada jagat raya, dipenuhi misteri dan tak akan pernah habis dipahami manusia.

Hukum-hukum sains ini juga, paradoksalnya, menuntun kita kepada infinitas, ketidakberhinggaan, yang tidak akan pernah dapat dirumuskan untuk menjadi sebuah hukum besi sains lainnya.

Jika diungkap dalam satu kata sebagai sebuah metafora, misteri dan ketidakberhinggaan inilah "God", "the Einsteinian God". Tuhan yang mahatakterbatas, yang manusia dapat pahami dan imajinasikan selangkah demi selangkah, tanpa akhir.

Pikiran dan imajinasi kita itu ibarat ikan-ikan kecil warna-warni yang, dari satu generasi ke generasi selanjutnya, sedang berenang-renang dengan ceria ke segala arah di kedalaman lelautan yang tidak memiliki dasar, tepi atau pantai atau permukaan, atau pulau atau pelabuhan.

Einstein memang dengan terang telah menyatakan bahwa dia tak bisa terima Tuhan yang dibuat serupa manusia, "sang Bapak Yang Lanjut Usia dengan jenggot yang putih lebat yang ada di langit" (ini gambaran dalam kitab Daniel; bukan karangan saya). Ini namanya ANTROPOMORFISME TEOLOGIS, artinya Allah (Yunani: theos) digambarkan dalam rupa (Yunani: morfee) manusia (Yunani: anthropos), dan juga otomatis diberi sifat-sifat manusia.

Albert Einstein menolak teologi antropomorfis ini meski sang saintis besar ini berlatarbelakang agama Yahudi yang kitab sucinya (Tanakh) penuh dengan metafora teologis antropomorfis.

TUHAN Albert Einstein terlalu besar untuk dijejalkan ke dalam kitab suci bangsanya. Sebaliknya, kitab suci itu kekecilan untuk menyimpan Allah menurut konsep Einstein.

Bagi saya, baik Einstein, maupun Hawking yang menaruh perhatian dan kepedulian besar pada daya tahan kehidupan Homo sapiens di masa depan dan telah berulangkali mendesak para ilmuwan untuk, dalam kurun yang masih tersisa, mengubah planet Mars menjadi tempat tinggal kedua kita, lebih tinggi status mereka sebagai Hamba Tuhan meski keduanya menolak konsep tradisional tentang Tuhan yang disusun manusia-manusia kuno dan dapat dibaca dalam kitab-kitab suci.

Sumbangan Einstein dan Hawking luar biasa besar dan bernilai kepada dunia, umat manusia dan peradaban yang dibangun di atas iptek modern. Billy Graham, Bunda Teresa (!), Martin Luther, maaf, gak ada apa-apanya jika dibandingkan dua saintis besar ini, sejauh terkait kemajuan peradaban modern yang dibangun di atas sainstek modern. Dari buahnya kau kenal pohonnya, bukan dari doktrinnya.

Doktrin-doktrin religius yang diklaim paling benar dan paling mulia silakan dipropagandakan ke mana-mana, tapi apa hebatnya jika ternyata (anda tentu tak buta fakta) banyak juru propaganda itu (tentu tidak semua) jadi megalomaniak dan psikopat, haus duit, haus kekuasaan, haus seks, serakah terhadap kehidupan. Hati-hatilah terhadap bujuk rayu WEIN, WEIB, GESANG, GELD und MACHT!

Jika juru propaganda doktrin-doktrin keagamaan yang diklaim hebat itu ternyata hidup dengan mengumbar nafsu semacam itu, apakah betul mereka menghamba pada Tuhan? Atau malah sebetulnya mereka menghamba pada sosok-sosok lain yang sama sekali bukan Tuhan YMPengasih dan MPenyayang dan MTahu?

Silakan sebut Einstein dan Hawking hamba Setan, kalau itu memang yang anda inginkan./*/ Saya yakin, dua ilmuwan besar ini gak akan ngamuk, paling cuma tersenyum. Bagi sangat banyak orang, juga bagi saya, mereka jauh lebih dekat ke diri Tuhan YMTahu ketimbang Ratzinger dan John Calvin.

Begitu saja. Stay calm.

/*/ Menyetankan orang lain yang berbeda atau lawan yang lebih tangguh adalah bagian dari strategi "name-calling" ritualisme religius. Jika lawan sudah diberi label negatif setan atau babi ngepet atau jejadian, atau serigala, atau vampir, maka setiap anggota grup yang memberi label itu wajib melakukan ritual pengusiran setan atau eksorsisme. 

Ritual ini ditujukan kepada lawan-lawan yang sudah sepihak dikategorikan jahat atau najis, ya setan atau babi ngepet atau apapun yang dipandang buas dan anti-Tuhan.

Karena manusia lain itu sudah diubah sepihak sebagai setan atau babi ngepet atau jejadian atau vampir atau kampret, atau tukang sihir, maka orang lain yang sudah diberi "name-calling" itu harus ditengking, setannya diusir, atau orangnya dirantai, disiksa dan digempur sampai mati. 

Itulah salah satu strategi tempur melawan musuh yang terlalu kuat, dengan musuh itu dihina dan direndahkan dulu habis-habisan secara sepihak. 

Ritual eksorsisme, sebagai ritual, memberi legitimasi terhadap anggota grup pemberi label untuk melakukan kekerasan dan pembunuhan terhadap lawan atau anggota grup lain yang berbeda. Bagi mereka yang melakukan ritual ini, menyiksa dan menewaskan lawan adalah hal yang patut. Dalam situasi ini, ritual dan penyiksaan dan pembunuhan menjadi satu. Penyiksaan dan pembunuhan menjadi ritual.

Jika ritual ini sudah berhasil dijalankan dengan sang setan atau sang vampir atau sang jejadian atau sang babi ngepet-nya sudah ditengking, dipasung, dibekuk, atau dihancurkan, maka grup pemberi label-label ini melihat disharmoni sosioreligius sudah ditiadakan, dan harmoni sudah ditegakkan kembali. Tentu saja, harmoni dan disharmoni ini didefinisikan sepihak oleh grup pemberi "name-calling".

Strategi ritual "name-calling" dan eksorsisme dipakai banyak kalangan sejak zaman kuno hingga kini dalam berbagai bentuk. Label-labelnya juga beda-beda, bergantung lingkungan sosiobudaya dan sosioreligius. 

Di negeri kita kini, banyak "name-calling" yang sedang bermunculan di tengah persaingan dan pertikaian memperebutkan banyak hal antargrup-grup yang berbeda. Silakan daftarkan sendiri.

Jahatkah ritual "name-calling" eksorsisme? Sangat jahat. Banyak orang benar dan tak bersalah, mati dibunuh lewat strategi ini.

N.B.
Jika anda mau penuh dan puas mengenal Stephen Hawking dan Albert Einstein, ada sebuah tulisan komprehensif saya tentang mereka. Ini linknya https://ioanesrakhmat.blogspot.co.id/2012/06/stephen-hawking-dan-albert-einstein.html?m=0.

Jakarta, 03 April 2017

Salam
ioanes rakhmat


Saturday, April 1, 2017

Meng-AGAMA-kan sains, dan men-SAINS-kan agama. Loh, itu oxymoronik!



"Kebencian terhadap Barat, jika ada umumnya karena 'victim-mentality' yang subjektif, tidak perlu membuat siapapun membuang sainstek modern. Jika dibuang, ya kita akan cepat mati. Jika anda tidak percaya, buktikanlah sendiri. Tapi saya tahu pasti, anda atau siapapun, bahkan orang yang sangat anti-Barat, tidak akan pernah mau membuktikannya sendiri."

"Ketahuilah, ada agama Barat, dan juga ada agama Timur. Tetapi jika anda menyatakan sainstek modern yang antara lain telah mengirim banyak wahana antariksa ke luar Bumi, ke planet-planet lain dalam sistem Matahari, bahkan ada yang sudah meninggalkan sistem Matahari lalu memasuki dunia antarbintang, sebagai sains Barat, maka anda sudah terjatuh ke dalam sebuah parit hitam kerancuan berpikir."

Seorang teman Muslim menyatakan bahwa dia berniat untuk membangun sebuah kerangka pemikiran yang akan bisa memperdamaikan sains dengan agama, dan agama dengan sains. Dalam bingkai pemikirannya ini, katanya, dia mau memperlihatkan bahwa AGAMA ITU ILMIAH dan SAINS ITU AGAMAWI. Pendek kata, dia ingin mengagamakan (dalam kasusnya: mengislamkan) sains, dan tentu saja juga segala sesuatu.

Niatnya ini bukan hal baru, datang pergi bergantian. Berikut ini tanggapan saya kepadanya lewat WA. Cukup panjang. Bacalah dengan cermat, anyway. Pasti obor pencerahan memberikan cahaya dan terangnya kepada anda.

1. Dengan memakai sebuah ungkapan dalam agama anda, mengagamakan sains itu ya syirik. Sains jadi absolut, mutlak, tak bisa salah, sama seperti Tuhan dalam teisme. Dalam agama monoteis yang berusia jauh lebih tua dari agama anda, Yudaisme, ada sebuah perintah tegas untuk manusia (umat) tak boleh mempertuhan sesuatu apapun yang bukan Tuhan.

2. Faktanya, sains itu tak absolut, relatif, bisa salah, selalu diuji dan diuji lagi berdasarkan bukti-bukti baru, dan dikoreksi atau ditinggalkan sama sekali. Sebagai seorang yang saleh, apakah anda mau atau berani memperlakukan Tuhan anda seperti itu? Pasti tidak. Jadi sains tidak sama dengan Tuhan dalam teisme. Jika kosa kata Arabik dipakai, Tuhan itu "LAISA KAMITHLIHI SYAIUN", artinya, "tak ada yang menyamainya".

3. Realitanya, tak ada satupun ilmuwan di dunia ini, sejak awal era modern hingga kini, yang mempertuhan dan menyembah sains atau berdoa memanggil sains.

4. Jadi, salah jika sains dijadikan agama. "Sains agama" adalah sebuah oxymoron: Dua hal yang berbenturan atau bertentangan  disatukan. "ES goreng" atau "segi tiga lingkaran" atau "garis lurus yang melengkung" atau "kebohongan yang jujur" atau "agamawan ateis" atau "ilmuwan yang bodoh" adalah ungkapan-ungkapan oxymoronik.

5. Sebaliknya, men-sains-kan agama juga sebuah oxymoron, dan hanya melahirkan suatu agama baru yang berparas ganjil, sama sekali bukan sains baru.

6. Misalnya, jika agama dijadikan sains, lahirlah bukan sains, tapi AGAMA-BUMI-DATAR-USIA-6.000 TAHUN.

7. Satu contoh lagi dari "agama sains": AGAMA-DINOSAURUS-SUDAH-HIDUP-BERSAMA-MANUSIA-KURUN-6.000 TAHUN LALU.

Mau lagi? Ini: AGAMA-MENGUKUR-ENERGI-KINETIK-KECEPATAN-GERAK-MALAIKAT.

8. Jelaslah: "mengagamakan sains" dan "mensainskan agama" hasilnya cuma oxymoron. Hanya melahirkan agama lagi yang berwajah aneh. Tidak pernah satu kalipun melahirkan sains terobosan yang para penemunya patut diberi Anugerah Nobel fisika, misalnya.

Tentu, ilmuwan yang saleh beragama penerima Anugerah Nobel ada banyak. Tetapi yang diberi Anugerah Nobel tentu bukan teks-teks kitab-kitab suci mereka atau agama-agama mereka, melainkan buah-buah kreativitas pemikiran dan eksperimen mereka yang luar biasa, yang menghasilkan temuan-temuan keilmuan terobosan yang luar biasa.

Setahu saya, TAK PERNAH ADA seseorang yang seumur kehidupannya hanya membaca dan menghafal teks-teks Alkitab atau teks-teks kitab-kitab suci lain tiba-tiba mampu menghasilkan temuan ilmiah terobosan baru, sehebat apapun dia diklaim sebagai pakar kajian kitab suci atau pakar penghafal seluruh isi kitab suci.

Temuan-temuan baru ilmiah yang absah tidak pernah berwatak partisan atau berlaku hanya untuk lingkungan sendiri yang esoterik. Tapi berlaku universal, lintasruang, lintaswaktu, lintasbudaya, lintasagama, dan akan bertahan untuk waktu yang sangat panjang atau malah dapat bertahan abadi.

Jika anda sudah memahami seluk-beluk ilmu pengetahuan, tentu anda akan langsung sepakat bahwa tidak ada apa yang dinamakan ilmu pengetahuan Yahudi atau ilmu pengetahuan Kristen atau ilmu pengetahuan Islam atau ilmu pengetahuan Buddhis atau ilmu pengetahuan Hindu atau ilmu pengetahuan Kejawen dst. Kalau NGELMU Kejawen, ya ada. Tapi ilmu pengetahuan dan ngelmu adalah dua hal yang berbeda.

Seandainya ada sains Islam atau sains Kristen, ya sekalian saja islamkan atau kristenkan rambutan, jeruk, nangka, jambu bol, pisang, kucing, beruang, simpanse, bonobo, onta, anjing, babi, cicak, kadal, ikan, katak, kutu air, bakteri, janin, bayi, layang-layang, pesawat terbang, roller coaster, jarum, ginjal, jantung, paru, mata, hidung, bawang, payung, kembang, bulan, planet, galaksi, black holes, wormholes dan lain-lain.

Oh ya, ada satu hal lagi. Jika menurut anda ilmu pengetahuan Kristen itu ada, maka tentu ilmu pengetahuan itu hanya absah bagi orang Kristen. Selama anda masih Kristen, maka absahlah ilmu pengetahuan Kristen anda itu.

Nah, bagaimana jika kemudian anda pindah agama atau katakanlah anda menjadi ateis? Apakah status anda yang baru ini, sebagai orang bukan-Kristen, atau ateis, membuat ilmu pengetahuan Kristen yang sebelumnya anda yakini betul, masih tetap betul? Tentu anda akan menjawab, ilmu pengetahuan Kristen itu kini sudah tidak betul lagi. Jika itu jawaban anda, ya itu artinya ilmu pengetahuan Kristen yang sebelumnya anda yakini betul atau sahih, bukanlah ilmu pengetahuan, tetapi agama Kristen atau dogma Kristen. Jelas, bukan?

9. Dus, apakah ada jalan lain yang bukan jalan buntu oxymoron yang dinamakan "sains agama" atau "agama sains"? ADA.

10. Berikut ini jalan pikiran saya yang belum ditempuh orang lain, setahu saya, khususnya dalam teisme.

11. Saya mulai dengan teologi: Tuhan itu dipercaya mahatahu. Kemahatahuan Tuhan ini tanpa batas. Tak pernah habis. Tak pernah kering. Tak ada puncaknya. Tak ada dasarnya. Tak ada ujungnya. Tak ada bilangannya. Yang ada ketakberhinggaan. Infinitas.

12. Semakin kita dekat dengan sifat-sifat Tuhan, semakin mulia diri kita, menuju status Insan Kamil, Bodhisattva, Buddha, Krishna, Wishnu, Mahatma, Kristus, Rupa Allah.

13. Nah, jika Tuhan mahatahu, dan pengetahuan kita makin banyak, maka kita masuk ke sifat Tuhan, yakni mahatahu, yang kita raih sebagian demi sebagian. Tahap demi tahap. Lewat dialektika tesis versus antitesis. Akumulatif. Tak pernah selesai. Makin dekat Tuhan, malah makin jauh harus berziarah. Ke pelabuhan yang selalu samar, tak pernah terkunjungi untuk berlabuh.

14. Hanya lewat ilmu pengetahuan tentang jagat raya yang terus dikembangkan, kita makin banyak tahu, tanpa batas. Otak manusia memang bekerja terbatas, tapi batas ini sulit ditentukan. Ini pengalaman semua pemikir pejuang, pengalaman semua orang berakal yang mau memakai akal dan kemampuan bernalar mereka, bahu-membahu, topang-menopang, bergandengtangan.

Tapi, pemikir yang tidak tangguh dan bukan pejuang, pemikir yang sudah letoi dan kelelahan, pemikir pecundang, memilih untuk menyerah saat diperhadapkan pada hal-ihwal yang sulit, yang sebetulnya menantang. Hal-ihwal ini bisa dipecahkan hanya lewat keberanian berpikir berbeda, berakal dan bernalar tidak lazim, berpikir dan bernalar "out of the box", yang bukan asal berpikir, atau asal bernalar, atau asal-asalan ngoceh bak orang yang sedang sakit jiwa.

Juga lewat imajinasi yang berani dengan memakai landasan-landasan keilmuan yang sudah ada untuk terbang tinggal landas, jauh menuju angkasa. Pengetahuan dan imajinasi berinteraksi, bak awan-awan di angkasa yang saling kejar, merangkul, lalu membubung, bergantian, gulung-menggulung.

Selain itu, ilmu pengetahuan akan terus berkembang dan maju tanpa batas karena dihasilkan lewat kerjasama antarpara ilmuwan lintaszaman dan lintasgeografis, bahkan nanti mungkin lintasgalaksi dan lintasjagat-jagat raya.

Sifatnya yang akumulatif, partisipatif, progresif dan dialektis (tesis versus antitesis yang bermuara pada sintesis sebagai sebuah tesis baru) ini membuat jalan buntu abadi tak ada dalam dunia ilmu pengetahuan.

Seseorang yang mau memulai dari nol kajiannya sendiri atas suatu fenomena hanya karena dia mau orisinal murni, adalah orang buta yang melakukan kebodohan dan kemubaziran.

Dari waktu ke waktu, dari zaman ke zaman, manusia makin tahu banyak terus-menerus ya hanya lewat ilmu pengetahuan. Dari kerja akal dan nalar, dengan berpijak pada bukti-bukti empiris, lewat metode-metode riset yang kreatif, ilmu pengetahuan berkembang, pengetahuan-pengetahuan baru didapat. Aktivitas yang tak pernah selesai.

Lewat pengkajian-pengkajian ilmiah, dengan yang mutakhir membarui yang lama, manusia punya potensi menjadi serba tahu. Serba tahu yang tak pernah akan selesai sebagai titik, full stop. Tapi serba tahu yang selalu sebagai koma atau sebagai titik-titik. Serba tahu yang serba tidak tahu. Ini real, bukan oxymoronik. Lao Tzu menasihati, jika engkau berhasil menemukan sebuah pikiran, tertawakanlah pikiranmu itu. Kok? Ya, supaya anda bergerak maju terus-menerus.




15. Dus, ilmu pengetahuan adalah Jalan Mulia menuju pencapaian sifat kemahatahuan Tuhan. Sungguh-sungguh Jalan Mulia yang harus tidak dinodai oleh kenajisan, ketamakan, pelacuran, dan aib.

16. Lebih tegas: ilmu pengetahuan yang terus berkembang akumulatif, progresif dan dialektis tanpa akhir adalah JALAN MULIA NAN AGUNG MENUJU TUHAN Yang Maha Agung.

17. Karena itu, para ilmuwan yang mengabdikan diri dengan bermarwah pada ilmu pengetahuan adalah juga PARA HAMBA TUHAN.

18. Para ilmuwan itu hamba-hamba Tuhan bukan karena mereka taat dan saleh beragama dan rajin beribadah dan menyembah Tuhan lewat berbagai kegiatan keagamaan.

Itu bukan sebuah oxymoron. Tuhan tidak dikenal hanya lewat jalur-jalur agama-agama. Tuhan Yang Maha Tahu jauh melampaui, dan tidak bisa dikerangkeng dalam, agama-agama apapun.

Para ilmuwan mengabdi pada Tuhan Yang Maha Tahu tak lewat jalur agama-agama, tapi lewat JALAN ILMU PENGETAHUAN sebagai jalan memasuki kemahatahuan Tuhan yang tak terbatas, tahap demi tahap, lewat dialektika, bahu-membahu, lintasruang dan lintaszaman, dengan tekun dan berkomitmen penuh.

19. Jalan agama dan jalan ilmu pengetahuan adalah DUA JALAN BERBEDA MENUJU TUHAN Yang Maha Tahu. Keduanya tak bisa ditumpuk.

Kenapa tidak bisa ditumpuk? Karena Tuhan dalam ilmu pengetahuan adalah Tuhan Yang Maha Tahu tanpa batas, tak berhingga, infinitas. Sebagai infinitas, Tuhan dalam ilmu pengetahuan tidak bisa dipaksa masuk habis, dijejali, ke dalam kitab-kitab suci apapun, atau ke dalam doktrin-doktrin keagamaan apapun. Tuhan dalam ilmu pengetahuan didekati, diakrabi, lewat berbagai aktivitas keilmuan yang tak pernah selesai.


Sebaliknya, Tuhan yang sebetulnya tak terbatas, infinite, oleh agama-agama telah dikurung dan direduksi menjadi finite ke dalam institusi-institusi agama, ke dalam dogma dan akidah, ke dalam kitab-kitab suci, ke dalam ritual-ritual, yang beku dan kaku dan diabsolutkan. Cobalah rombak dan angkat kurungan-kurungan ini dan jebol pintu-pintunya, maka adu jotos dan pertikaian adalah muaranya.

20. Faktanya, sumbangan signifikan bagi peradaban dan kehidupan yang lebih baik DATANG UMUMNYA DARI ILMU PENGETAHUAN.

21. Obor penerang jalan kehidupan dan peradaban dan pencerah akal budi JUSTRU DINYALAKAN JAUH LEBIH BANYAK OLEH PARA ILMUWAN. Ini fakta, lepas dari ihwal apakah si ilmuwannya teis, agnostik, nonteis, atau ateis.

Dari buah kehidupan seseorang, bukan dari filsafat atau ideologi keyakinannya atau dari doktrin-doktrin keagamaannya, kita tahu pohonnya hingga akarnya. Banyak orang yang mengaku cerdas, berilmu, dan fasih berkhotbah tentang akhlak dan etika dan kebesaran Tuhan, eeeeh akhirnya masuk penjara karena kasus KKN.

22. Fakta juga: AGAMA-AGAMA lebih banyak menyulut api peperangan dan perpecahan dunia dan umat manusia dewasa ini.

23. Kenapa bisa begitu? Karena agama-agama menjadikan institusi mereka sendiri sebagai tujuan, dan Tuhan Yang Maha Tahu dilupakan

24. Ketika agama apapun dijadikan tujuan, dan bahkan disetarakan dengan Tuhan, sehingga Tuhan de facto tersingkir, maka hasilnya adalah pertikaian, korosi, ilusi dan pendangkalan dalam kehidupan beragama.

25. Apakah ilmu pengetahuan tak punya masalah? Apakah cuma agama sumber berbagai problem dunia yang kronis dan yang akut?

26. Oh tidak. Ilmu pengetahuan pun punya sangat banyak problem yang tak ringan. Ada yang sudah teratasi dan terpecahkan, dan ada juga yang terus bertahan membandel.

27. Tapi segala problem dalam dunia ilmu pengetahuan TAK DISELESAIKAN LEWAT PERANG dan PERTUMPAHAN DARAH dan HUJATAN.

28. Jika sedang menghadapi suatu problem teoretis keilmuan, problem ini diatasi lewat pengkajian lebih lanjut, tukar pikiran, evaluasi kritis, dan debat bermartabat. Di ruang debat ilmiah, para ilmuwan tak akan adu jotos.

29. Jika diperkirakan akan muncul sekian problem etika terkait berbagai ujicoba di lab, para ilmuwan mendiskusikan soal ini dengan terbuka. Banyak pihak pengambil kebijakan dalam banyak segmen masyarakat dan dunia dilibatkan. Sikap inilah salah satu etika dunia keilmuan.

30. Lewat pengkajian lintasilmu dan lintasbidang atas suatu fenomena, hasil yang dicapai akan jauh lebih solid, lebih kaya dan lebih handal. Jika suatu prediksi ilmiah yang semula diyakini akan terbukti atau terkonfirmasi ternyata akhirnya gagal dibuktikan atau gagal ditemukan secara empiris, kegagalan ini biasanya menjadi titik tolak baru untuk memulai pengkajian-pengkajian baru dengan pendekatan-pendekatan yang berbeda.

31. Karena tak ada klaim mutlak-mutlakan dalam dunia sains, setiap perbedaan pendapat memacu penelitian lebih jauh. Dalam dunia sains, perbedaan pendapat malah dicari dan sangat diperlukan. Tak ada ketakutan terhadap pendapat-pendapat ilmiah yang berbeda.

32. Problem teoretis apapun dalam dunia sains adalah peluang untuk meneliti lebih jauh, mencari pendekatan-pendekatan alternatif, dan menarik kesimpulan yang lebih mendasar dan lebih kokoh.

33. Tapi ada juga PROBLEM MORAL INSANI dalam dunia ilmu pengetahuan, yang terkait dengan "vested interests" kalangan-kalangan tertentu dalam dunia politik, militer, dan ekonomi.

34. Dari antara para ilmuwan, ada banyak juga yang tergoda untuk menjadi para pelacur di dunia sains karena iming-iming.

35. Mereka disebut "junk scientists", yakni orang yang membangun pendapat-pendapat yang diklaim ilmiah karena dibayar mahal, tidak muncul dari kajian-kajian ilmiah yang cermat, objektif dan absah. Para intelektual pelacur ini tidak pernah habis dalam dunia ini.

36. Bayaran untuk "junk scientists" dapat berupa uang, jabatan politik atau berbagai fasilitas lain. Germo mereka ya para politikus dan para konglomerat yang sedang mengejar target-target politik, militer dan ekonomi tertentu. Di era Donald Trump sekarang di USA mereka banyak bermunculan dengan memutarbalik fakta-fakta perubahan iklim, keamanan Genetically Modified Foods, Plants, Crops and Organisms, dll.

37. Tapi dalam komunitas global para ilmuwan, "junk scientists" cepat ketahuan, lalu terkucil sendiri meski mereka, misalnya, sudah kuat di politik atau sudah kaya.

38. "Junk scientists" tak bisa merusak sains sebab sains punya hukum-hukum sains sendiri yang universal dan berlaku lintaszaman untuk waktu yang panjang.

39. Sifat universal dan lintaszaman suatu posisi ilmiah terlihat dari hasil yang sama jika posisi ini diuji lagi di mana saja, kapan saja dan oleh siapa saja. Sekalipun pendekatan dan metode penelitian ilmiah diganti, tetap saja para ilmuwan akan tiba di temuan dan kesimpulan yang sama jika temuan dan kesimpulan ini absah dan solid. Ini yang dinamakan sifat simetris invarian dari ilmu pengetahuan.

40. Lewat verifikasi universal dan lintas zaman inilah sains selalu terbuka untuk mengoreksi dirinya sendiri. Sains itu akbar karena mampu memeriksa dan mengoreksi diri lewat usaha para ilmuwan. Tak ada ilmu pengetahuan yang sudah final abadi.

41. Verifikasi dan koreksi diri ini dua karakter utama sains yang tak memungkinkan sains menjadi IDEOLOGI TUNGGANGAN para "junk scientists" dan germo-germo mereka.

42. Banyak orang yang berpendapat keliru bahwa sainstek yang terus berkembang dan kini sedang memasuki tahap-tahap kemajuan yang mengherankan sekaligus mendebarkan hati berakar pada dosa manusia. Kisah teologis tentang Adam dan Hawa di Taman Eden umumnya dipakai sebagai landasan skriptural bagi pendapat yang keliru itu.

43. Ini tanggapan saya: Kok sainstek berakar dari dosa? Ya salah. Sang perempuan Hawa dalam metafora Taman Eden bukan sang insan pembawa masuk dosa ke dalam dunia lewat keinginannya atau kuriositasnya untuk memiliki pengetahuan moral etis tentang hal yang baik dan hal yang buruk, hal yang benar dan hal yang salah, hal yang mulia dan hal yang aib.

44. Sesungguhnya, sang Hawa adalah simbolik insan primordial perempuan pencari dan pencerah kesadaran moral etik. Kesadaran ini juga menjadi bagian kesadaran para ilmuwan ketika mereka tak putus-putusnya mencari pengetahuan-pengetahuan baru, menjalankan eksperimen-eksperimen untuk menemukan mana pengetahuan yang benar dan mana pengetahuan yang salah, dan menerangi peradaban dengan obor terang ilmu pengetahuan mereka.

45. Satu poin sangat penting yang tidak boleh dilepaskan: Sainstek lahir dari kemahatahuan Tuhan yang dibagi bertahap lewat dialektika dan terakumulasi ke manusia dari segala latarbelakang, segala zaman dan segala tempat. Tujuannya ya supaya kehidupan manusia makin baik, peradaban makin maju, rasa kesesamamanusiaan makin kuat, planet Bumi, alam dan semua bentuk kehidupan terpelihara, bertahan dan lestari.

46. Jika dosa itu termanifestasi dalam berbagai sakit penyakit, azab dan kematian (seperti diajarkan gereja Kristen selama ini), tokh kita semua tahu dan banyak mengalami fakta yang menunjukkan bahwa sainstek medikal dan farmakologi menyembuhkan banyak sakit penyakit, mengatasi penderitaan, menyehatkan kehidupan kita, dan memperpanjang umur rata-rata manusia sedunia.

47. Sekarang ini sedang diusahakan sainstek hidup kekal. Ini bukan agama, tapi sainstek yang sangat menantang. Para sainstis dan teknolog bidang ini, dalam bidang ilmu gerontologi, memandang penuaan dan kematian sebagai suatu penyakit yang nanti akan bisa disembuhkan lewat berbagai metode teknis dan pengobatan.

Jadi ketimbang muncul dari dosa, sainstek malah mengalahkan dosa.

48. Akhirulkalam, saya ingin menegaskan sesuatu yang penting. Jika Tuhan itu mahatahu dan mahatakterbatas, jadilah Tuhan selalu sebagai Misteri Besar yang tidak akan pernah terhampiri tuntas dan habis. Siapakah yang bisa sampai di ujung infinitas, di muara ketakberhinggaan? Infinitas itu tak punya ujung, tak punya muara, tak memiliki angka.

Kalau anda beriman kepada Allah, anda sesungguhnya beriman kepada sesuatu yang belum selesai, sesuatu yang masih terbuka, sesuatu yang misterius. Misteri apapun selalu penuh teka-teki. Selama sebuah teka-teki belum terpecahkan, teka-teki ini belum selesai.

49. Karena anda beriman kepada sesuatu yang masih berupa misteri, teka-teki, iman anda seharusnya tak pernah bisa absolut, selalu relatif, masih dalam perjalanan, masih belum selesai bahkan tak pernah selesai, masih terus mencari jawab, masih terus bertanya, masih terus menyelidiki, dan tidak mungkin tidak bisa salah. Tidak ada ilmuwan manapun yang akan berkata, "Aku sudah selesai!"

Beriman itu ibarat berlayar atau berenang di lelautan luas dan dalam tanpa dasar, tanpa tepi, tanpa pantai, tanpa pulau, dan tanpa pelabuhan. Sementara berlayar dan berenang, kawasan-kawasan baru yang asing dan tidak dikenal terus-menerus ditemukan dan menunggu dieksplorasi dengan cermat dan terfokus.

50. Semakin beriman seseorang kepada Allah Yang Maha Tahu dan Yang Maha Takterbatas, semakin orang ini terbuka kepada berbagai kemungkinan baru dan menakjubkan di masa depan yang tak pernah berakhir. Dia akan memandang dirinya dan perjalanan kehidupannya selalu dinamis, belum selesai, tak pernah selesai, tak kunjung tamat, sekalipun suatu saat dia akan wafat.

Secara ragawi dan mental dia memang suatu saat wafat, tetapi perjalanan kehidupan dan pencariannya akan terus dilanjutkan orang-orang lain, tak pernah selesai, tak pernah berhenti. Albert Einstein sudah wafat, tapi pikiran dan pencariannya hidup terus dalam diri para fisikawan generasi-generasi setelahnya yang tak akan habis. Einstein belum selesai!

Tapi oleh teknologi, Einstein, Hawking, atau siapa pun, dapat diberi keabadian digital, lahir kembali dalam dan lewat perangkat digital yang dibangun berdasarkan seluruh data digital mereka atau data lain tentang diri mereka yang didigitalisasi. Sosok digital ini dapat bercakap-cakap kembali dengan si pengguna perangkat digital ini di masa kini dan di manapun.

Jadi, seharusnya dalam hidup bertuhan dan beragama apapun, ya tak ada sikap dan perilaku mutlak-mutlakan dan menang-menangan atau dengki-dengkian dalam diri orang yang beragama, entah orang ini ilmuwan atau bukan ilmuwan.

Ya, karena semua orang yang bertuhan dan beragama selalu ada dalam ziarah, dalam pelayaran di lelautan yang dalam, tak memiliki dasar, tak berpantai, tak memiliki pelabuhan final apapun.

Ada yang berenang sendirian; ada juga yang berenang ramai-ramai, bahkan bersama lumba-lumba, anjing-anjing laut, ikan-ikan warna-warni, bahkan dengan ikan-ikan duyung.

END.

Silakan share.

Jakarta, 01 April 2017
Ioanes Rakhmat