Sunday, April 24, 2016

LGBT, Agama, Teks Alkitab, dan Pandangan Sains Modern (Bagian 2)

Bagian 1 terpasang di sini, dan wajib dibaca.

TEMUAN-TEMUAN SAINS MODERN
 

Kromosom X manusia memiliki kromosom gay Xq28

Belum lama ini, Ben Carson, seorang dokter di Amerika yang juga seorang politikus yang telah mencalonkan dirinya untuk menjadi presiden Amerika berikutnya (yang dengan terang-terangan telah menyatakan bahwa dia tidak yakin jika otoritas UUD Amerika berada di atas otoritas Alkitab/40/), menegaskan bahwa kondisi kehidupan di dalam penjara bisa mengubah seorang heteroseksual menjadi seorang homoseksual. Jadi, baginya, perilaku homoseksual itu mutlak bagian dari gaya hidup yang dipilih dengan sadar, bukan sesuatu yang dibentuk semenjak seorang homoseksual berada dalam kandungan ibunya. 

Jika itu alasan Carson, kondisi yang serupa juga bisa berlaku pada diri gay dan lesbian: jika mereka untuk waktu yang panjang tidak bisa bercinta dengan sesama jenis, maka demi pemuasan syahwat seksual mereka, mereka juga akan dengan terpaksa berhubungan seks dengan orang-orang heteroseksual, meskipun tidak akan mengalami kepuasan puncak. Jika gaya hidup seksual corak ini dijalankan sangat lama, maka, memakai nalar Ben Carson, kalangan gay/lesbian akan berubah menjadi heteroseksual. Apakah demikian halnya? 

Ada baiknya kita ketahui apa persepsi orang Amerika tentang hal mengapa orang menjadi gay atau lesbian. Hasil survei Pew Research Center, 12-18 Mei 2015, menunjukkan data berikut ini:/41/
  • Ateis: 64% menyatakan homoseksualitas bawaan lahir; 24% menyatakan gaya hidup; 
  • Katolik: 53% bawaan lahir; 35% gaya hidup; 
  • Protestan kulit hitam: 25% bawaan lahir; 62% gaya hidup; 
  • Protestan arus utama kulit putih: 60% bawaan lahir; 27% gaya hidup; 
  • Protestan evangelikal kulit putih: 25% bawaan lahir; 62% gaya hidup.
Atas pertanyaan apakah ada konflik antara homoseksualitas dan kepercayaan-kepercayaan keagamaan, survei PRC yang sama menemukan fakta-fakta berikut:
  • Ateis: 89% menyatakan tidak ada konflik; 
  • Katolik: 43% tidak ada konflik; 
  • Protestan kulit hitam: 36% tidak ada konflik; 
  • Protestan arus utama kulit putih: 63% tidak ada konflik; 
  • Protestan evangelikal kulit putih: 25% tidak ada konflik. 
Pernyataan Ben Carson tersebut, sudah bisa diduga sebelumnya, menimbulkan banyak reaksi negatif dan perdebatan, dan berakibat fatal pada reputasinya. Sinisme kepadanya meluas ke mana-mana. Untuk tampaknya memulihkan nama baiknya selaku seorang dokter, Carson belakangan membuat sebuah pernyataan berikut, yang kelihatannya tidak menolongnya, malah membuat kondisinya lebih buruk.
“Aku adalah seorang dokter yang dilatih dalam berbagai bidang pengobatan, yang diberkati dengan pekerjaan di lembaga pengetahuan medis yang mungkin terbaik di dunia. Beberapa orang dari antara kita yang memiliki pikiran-pikiran paling cemerlang telah mengikuti debat ini, dan hingga saat ini, menurut mereka dan saya, belum ada kajian-kajian definitif yang membuktikan bahwa orang dilahirkan dengan membawa suatu seksualitas yang khusus.”/42/
Dalam debat di seputar pernyataan Ben Carson itu, selain diakui bahwa faktor genetik sangat mungkin menentukan OS seseorang, juga diperlihatkan bahwa kondisi lingkungan dalam rahim, dan sejumlah faktor biologis lain, juga berpengaruh kuat pada pembentukan OS seseorang. Karena itu, penting untuk selanjutnya saya sajikan apa yang saya telah temukan tentang berapa jauh sains sudah berhasil memahami OS manusia, apakah homoseksual, ataukah heteroseksual, ataukah biseksual, atau yang lainnya. Adakah hubungan biologi (genetik, neural/serebral, hormonal, fisiologis, dll.) dengan OS seseorang?   


Molekul INAH3



Lokasi molekul INAH3

Neurosaintis Simon LeVay di tahun 1991 menemukan bahwa suatu bagian di dalam hypothalamus otak manusia yang berhubungan dengan seksualitas, yang berupa sekumpulan molekul yang berukuran sebesar sebutir padi, yang dikenal sebagai INAH3, ternyata lebih kecil dalam diri kalangan gay dibandingkan dalam diri kalangan pria hetero. Dalam diri lelaki hetero, INAH3 lebih besar lebih dari dua kali lipat dibandingkan dalam diri gay. Saya kutipkan abstrak dari temuannya yang telah dilaporkan di jurnal Science tahun 1991, berikut ini.
“Hypothalamus anterior dalam otak ikut berperan dalam mengatur perilaku seksual yang tipikal lelaki. Isi empat grup dalam area otak ini (dinamakan Interstitial Nuclei of the Anterior Hypothalamus, atau INAH 1,2,3 dan 4) telah diukur dalam jejaring pascakematian dari tiga kelompok subjek: perempuan, lelaki yang diasumsikan heteroseksual, dan homoseksual. Tidak ada perbedaan yang telah ditemukan di antara kelompok dalam volume INAH 1,2, atau 4. Sebagaimana sebelumnya telah dilaporkan [oleh Laura Allen dkk dari UCLA], INAH3 lebih besar lebih dari dua kali lipat dalam diri heteroseksual pria dibandingkan heteroseksual wanita. Namun, INAH3 juga lebih besar dari dua kali lipat dalam diri lelaki heteroseksual dibandingkan lelaki homoseksual. Penemuan ini menunjukkan bahwa INAH3 bersifat dimorfik terhadap orientasi seksual, setidaknya dalam diri lelaki, dan menyarankan bahwa orientasi seksual memiliki suatu substrat biologis.”/43/
Selanjutnya, di tahun 1993, LeVay menerbitkan bukunya yang berisi kajian-kajian terhadap seksualitas manusia, yang diberi judul The Sexual Brain. Ini sebuah buku yang sangat bagus. Dalam web The MIT Press, pada Overview atas buku ini, ditulis hal berikut ini. 
The Sexual Brain mencakup kajian-kajian yang luas, antara lain teori evolusioner, genetika molekuler, endokrinologi, fungsi dan struktur otak, psikologi kognitif, dan perkembangan. Semua disiplin ilmu ini disatukan oleh tesis LeVay bahwa perilaku seksual manusia, dalam semua keanekaragamannya, berakar pada mekanisme-mekanisme biologis yang dapat dieksplorasi oleh sains laboratorium. Buku ini tidak menghindari kompleksitas bidang kajian ini, tetapi dapat langsung dihargai dan dinikmati oleh siapapun yang memiliki minat dan perhatian yang cerdas terhadap seks.”/44/
Dalam pendahuluan buku ini, LeVay menyatakan bahwa tujuan penulisannya adalah 
“untuk fokus lebih persis lagi pada mekanisme-mekanisme otak yang bertanggungjawab bagi perilaku dan perasaan-perasaan seksual. Berhubung ada banyak perbedaan individual yang mencolok dalam seksualitas―paling kentara di antara pria dan wanita, tapi juga di antara individu-individu sesama jenis seks―salah satu perhatian besar buku ini adalah mencari basis biologis bagi keanekaragaman ini..., dan memahami seks dari sudut proses-proses selular yang memunculkannya.”/45/
Tesis-tesis yang diajukan LeVay semuanya diuji berdasarkan bukti-bukti empiris yang dapat disediakannya baik dari bidang keahliannya sendiri maupun dari bidang-bidang lain. Karena pendekatannya yang empiris dan klinis ini, patutlah dia mengkritik pendapat-pendapat Sigmund Freud tentang seksualitas manusia. Tulisnya dengan nada yang tajam: 
“Berhubung saya telah terlatih di dalam menggunakan metode-metode sains, saya makin skeptik bahwa ada hal apapun yang saintifik dalam ide-ide Freud tentang seksualitas meskipun dia berulang-ulang menegaskan bahwa semua pendapatnya saintifik. Dan akhirnya, berbagai temuan telah dihasilkan dalam area biologi seksual yang semuanya menunjuk ke segala arah yang baru dan menggairahkan. Freudianisme, pada sisi lain, kelihatan telah menjadi sebuah dogma yang terfosilisasi dan tidak dapat digoyahkan lagi.”/46/
Dalam bukunya ini, kembali dia membeberkan penemuannya di tahun 1991 atas INAH3. Ada dua temuan yang sudah dihasilkannya: 
  • Pertama, INAH3 rata-rata dua sampai tiga kali lipat lebih besar dalam diri lelaki heteroseksual dibandingkan perempuan heteroseksual. Temuan ini mengonfirmasi temuan sebelumnya oleh Laura Allen dkk dari UCLA. 
  • Kedua, dalam diri gay, INAH 3 rata-rata lebih kecil dua sampai tiga kali lipat dibandingkan dalam diri lelaki heteroseksual./47/   
Apakah LeVay menyangkal bahwa faktor genetik ikut membentuk orientasi seksual manusia? LeVay di halaman 122 bukunya yang terbit 1993 menulis sesuatu yang bagian-bagiannya kerap dikutip orang dengan keluar dari konteks seluruh isi bukunya untuk mendalihkan bahwa sang neurosaintis ini tidak membuktikan bahwa homoseksualitas itu genetik. 

Saya perlu ingatkan bahwa LeVay bekerja sebagai seorang neurosaintis, bukan sebagai seorang genetisis meskipun dia juga memanfaatkan banyak aspek dari genetika dalam bukunya ini. Yang dia telah tunjukkan adalah bagaimana neurosains telah bisa memperlihatkan bahwa homoseksualitas itu sesuatu yang bersifat serebral, terhubung dengan ukuran bagian tertentu struktur hypothalamus dalam otak manusia. Untuk temuannya ini dapat berstatus konklusif, itupun, katanya, harus menunggu dua sampai tiga dasawarsa ke depan (sejak 1993) ketika teknologi pemindaian (scanning technology) terhadap otak manusia yang hidup sudah berkembang dengan canggih. Di bagian-bagian lain dari bukunya ini LeVay sama sekali tidak pernah menolak kemungkinan yang serius bahwa orientasi seksual seseorang juga genetik, sebagaimana segera akan juga saya tunjukkan. Cuma, di awal 1990-an pembuktian klinis tentang aspek genetik orientasi seksual manusia belum dimungkinkan. Pada kesempatan ini, saya merasa terbeban betul untuk menerjemahkan isi halaman 122 bukunya itu selengkapnya. Berikut ini. Bacalah dengan seksama./48/
“Bagi banyak orang, menemukan suatu perbedaan dalam struktur otak di antara kalangan gay dan kalangan lesbian sama dengan telah membuktikan bahwa para homoseksual ‘sejak lahir memang telah homoseksual’. Seringkali aku digambarkan sebagai orang yang ‘telah membuktikan bahwa homoseksualitas itu genetik’ atau semacam itulah. Aku belum membuktikan itu. Observasi saya dilakukan hanya pada orang-orang dewasa yang telah aktif secara seksual untuk kurun yang lama. Jika berdasarkan hanya pada observasi saya, maka tidaklah mungkin untuk menyatakan apakah perbedaan-perbedaan struktural otak sudah ada ketika orang dilahirkan, dan kemudian mempengaruhi mereka untuk menjadi gay atau heteroseksual, atau apakah perbedaan-perbedaan itu timbul saat mereka telah dewasa sebagai suatu akibat dari perilaku seksual mereka.
Dalam mempertimbangkan mana dari interpretasi-interpretasi ini yang lebih mungkin, baiklah kita kembali ke riset tentang hewan yang sudah dibicarakan dalam bab-bab sebelumnya. Sebagaimana sudah dibentangkan dalam bab 10, nukleus yang secara seksual dimorfik, yang terdapat di area preoptik medial pada tikus-tikus (yang dapat atau tidak dapat sejalan dengan INAH3 pada manusia), sangatlah rentan untuk mengalami perubahan selama masa kritis yang berlangsung beberapa hari sebelum dan setelah kelahiran seekor anak tikus. Setelah masa ini dilewati, nukleus ini sulit untuk berubah dengan cara apapun. Bahkan mengebiri tikus-tikus dewasa (dengan akibat menghilangkan sumber androgen tikus dan sangat melumpuhkan perilaku seksual si tikus) paling banter hanya menimbulkan sedikit efek pada ukuran nukleus itu. Jika hal yang sama terjadi pada INAH3 dalam diri manusia, maka tampaknya mungkin bahwa perbedaan-perbedaan struktural di antara orang homoseksual dan orang heteroseksual muncul selama periode awal terjadinya diferensiasi seksual pada hypothalamus. Jika kondisinya demikian, maka adalah mungkin perbedaan-perbedaan ini berperan dalam menentukan orientasi seksual seseorang. Namun kita juga tidak dapat menyingkirkan kemungkinan bahwa dalam diri manusia yang memiliki masa kehidupan lebih panjang dan korteks serebral yang telah berkembang lebih baik, perubahan-perubahan yang sangat kentara dalam ukuran INAH3 dapat terjadi sebagai suatu akibat dari perilaku saat sudah dewasa.
Nah, tentu saja eksperimen yang ideal adalah mengukur besarnya INAH3 pada bayi-bayi yang baru dilahirkan dengan menggunakan teknik-teknik pemindaian, lalu menunggu sampai mereka mencapai usia dewasa 20 tahun untuk menyelidiki orientasi seksual mereka. Jika ukuran nukleus tersebut pada waktu kelahiran sedikit banyak memprediksi orientasi seksual dasariah seseorang, maka para ahli dapat berargumentasi dengan lebih kuat bahwa ukuran nukleus dapat berperan sebagai suatu penyebab orientasi seksual seseorang. Eksperimen ini tidak dimungkinkan setidaknya untuk waktu sekarang ini, berhubung teknik-teknik pemindaian yang mampu menghasilkan gambar-gambar INAH3 dalam diri orang yang masih hidup masih belum ada.” 
Itulah ilmu pengetahuan dan cara-cara kerjanya. Bersamaan dengan makin berkembangnya instrumen-instrumen penelitian, temuan-temuan lama pun akan makin teruji, bisa terverifikasi makin kuat, bisa juga terfalsifikasi. Pandangan-pandangan saintifik lama selalu diuji kembali, dan akhirnya pun akan dapat berganti. Sains itu dibangun di atas pundak sangat banyak generasi para saintis, bahu-membahu, yang memungkinkan para saintis makin luas memandang horison-horison masa depan kehidupan. 


Hormon-hormon seks dan faktor genetik

OK, bagaimana, apakah LeVay memandang ada peran faktor genetik dalam penentuan seksualitas manusia? Atau dia sama sekali menafikannya? Apakah gen-gen mempengaruhi pembentukan orientasi seksual seseorang? Dalam pendahuluan bukunya, dia menyatakan bahwa 
“Berdasarkan penemuan-penemuan ini dan penemuan-penemuan dari para peneliti lainnya, tampaklah masuk akal untuk bertanya apakah perbedaan-perbedaan bawaan kelahiran di dalam organisasi otak, setidaknya sebagian darinya berada di bawah kendali genetik, tidak dapat menjadi basis keanekaragaman di dalam fungsi-fungsi mental dalam diri manusia, termasuk fungsi-fungsi mental yang terkait dengan seks.”/49/
Dalam bab terpanjang bukunya, bab 12, yang membeberkan panjang lebar analisis-analisisnya terhadap orientasi seksual, LeVay pada bagian kesimpulannya menyatakan bahwa 
“Sebagai rangkuman, aku harus menegaskan, pertama, bahwa faktor-faktor yang menentukan apakah seseorang akan menjadi heteroseksual, biseksual atau homoseksual, masih banyak yang belum diketahui. Namun kita sudah mendapatkan petunjuk-petunjuk bahwa orientasi seksual seseorang dengan sangat kuat dipengaruhi oleh kejadian-kejadian selama masa-masa perkembangan dini otak ketika otak sedang membuat pembedaan-pembedaan seksualitas yang berlangsung di bawah pengaruh molekul-molekul hormon-hormon seks (gonadal steroids).”/50
Jadi, baginya, orientasi seksual berhubungan dengan pertumbuhan otak manusia dan hormon-hormon seks. Alih-alih menolak adanya faktor genetik yang membentuk orientasi seksual seseorang, LeVay mengambil posisi adanya interaksi antara faktor genetik (nature) dan faktor lingkungan kehidupan dan kebudayaan manusia (nurture) yang membentuk perilaku seksual orang dewasa. Dengan jelas, LeVay menyatakan bahwa keadaan-keadaan pikiran manusia yang ditentukan masyarakat dan yang paling remang-remang sekalipun adalah suatu perkara gen-gen dan kimia otak juga.”/51/ Perhatikan pernyataan-pernyataan lainnya berikut ini. 
“Aku tidak tahu―dan juga orang lain manapun―apa yang membuat seseorang itu gay, biseksual atau heteroseksual. Tetapi aku sungguh percaya bahwa jawaban atas pertanyaan ini akan akhirnya ditemukan dengan melakukan riset biologi di laboratorium, dan bukan cuma membicarakan topik ini, yang merupakan cara umum yang kebanyakan orang telah lakukan hingga sekarang ini.… Mempercayai suatu penjelasan biologis terhadap orientasi seksual tidaklah sama dengan menegaskan bahwa bahwa orientasi seksual itu bawaan kelahiran atau ditentukan secara genetik. Seluruh kehidupan mental kita melibatkan proses-proses biologis.… Baik faktor bawaan kelahiran maupun faktor lingkungan kehidupan mempengaruhi kita dengan mempengaruhi struktur anatomis atau kimiawi otak./52
Juga ini, yang ditulisnya pada bagian epilog bukunya itu (yang diberinya judul “Two Artificial Gods”): 
“Sangatlah mungkin bahwa pengalaman kehidupan memainkan peran signifikan dalam membentuk dan menghasilkan detail-detail dorongan seksual seseorang. Namun di sini pun potensi-potensi bagi perbedaan-perbedaan bawaan kelahiran harus tidak diabaikan. Kita tahu, misalnya, bahwa pilihan-pilihan atas makanan kita dipengaruhi oleh faktor-faktor genetik; jadi, tidak ada alasan mengapa hal yang sama harus tidak terjadi juga pada pilihan-pilihan kehidupan seksual kita. Pastilah masa depan akan membawa kemajuan-kemajuan besar dalam pemahaman kita tentang mekanisme-mekanisme dan perkembangan seksualitas. Bidang yang paling memberi harapan untuk dieksplorasi adalah mengenali dan menemukan gen-gen yang mempengaruhi perilaku seksual dan studi-studi tentang kapan, di mana dan bagaimana gen-gen ini memberi efek-efek.”/53/  

Gen-gen gay dalam sejarah evolusi spesies

Bahkan LeVay juga berbicara tentang “gen-gen gay” (gay genes) dari sudut pandang evolusioner “survival of the fittest” dan “the struggle for life” dalam konteks reproduksi organisme versus kepunahan suatu populasi. Tulisnya, 
“Kondisi homozygous [yakni kondisi adanya versi-versi seragam dari sebuah gen pada dua anggota dari sepasang kromosom] hanyalah suatu produk sampingan yang tidak diinginkan, yang muncul pada beberapa keturunan pasangan yang kawin di antara individu-individu heterozygous [yakni, yang gen-nya memiliki versi-versi yang berbeda dalam dua anggota dari sepasang kromosom]. Hal yang sama dapat terjadi pada gen gay: Suatu gen gay dapat terpelihara di dalam suatu populasi berhubung individu-individu heterozygous, selain tidak menjadi seorang gay, memiliki suatu keuntungan lain yang menyempurnakan sukses reproduksinya. Suatu kemungkinan lain yang terakhir adalah bahwa gen-gen gay, dilihat dari sukses reproduksi, sebetulnya merupakan gen-gen yang berbahaya, dan karenanya cenderung tereliminasi dari populasi; tetapi untuk beberapa alasan gen-gen varian diciptakan kembali dengan sangat cepat sehingga gen-gen yang tereliminasi digantikan dengan gen-gen yang baru.”/54/
Sebagaimana sudah disebut di atas, dengan temuan teknik reproduktif mutakhir yang menggunakan gen SOX17, orang-orang yang mempunya “gen-gen gay” tidak lagi perlu dinilai akan memunahkan kehidupan karena ketidakmampuan mereka menghasilkan keturunan sendiri. Lewat teknik ini, dari kulit mereka sendiri, para homoseksual dapat menghasilkan keturunan mereka sendiri. Mungkin LeVay perlu diberitahu tentang temuan metode reproduktif mutakhir ini.
 
Di tahun 2011, LeVay menerbitkan sebuah bukunya lagi, Gay, Straight, and the Reason Why: The Science of Sexual Orientation. Dia juga menemukan bahwa otak gay bukan saja tampak berbeda dari otak heteroseksual, tapi juga berfungsi berbeda. LeVay juga menemukan bahwa pembawaan-pembawaan psikologis yang berbeda pada gay biasanya begitu rupa sehingga gay dapat bergeser ke OS lain jika dibandingkan dengan individu-individu heteroseksual dari jenis mereka sendiri. Tulis LeVay, “Sukar untuk menjelaskan pergeseran ini hanya sebagai akibat dari kondisi sebagai gay saja. Sangat mungkin pergerseran OS kalangan gay ini menunjukkan adanya perbedaan-perbedaan dalam perkembangan seksual dini dalam otak, perbedaan-perbedaan yang berpengaruh pada satu ‘paket’ pembawaan-pembawaan psikologis gender, termasuk OS.”/55/ Dari fakta-fakta neural ini LeVay menyimpulkan bahwa ada proses-proses biologis yang terlibat dalam perkembangan otak yang berpengaruh pada orientasi seksual seseorang.


Bagian otak MPAC dan kromosom Xq28

Setelah LeVay menulis makalah perdananya yang terbit di jurnal Science, di tahun berikutnya, 1992, tim peneliti dari UCLA menemukan suatu bagian lain dalam otak yang berhubungan dengan seksualitas (yakni “midsagittal plane of the anterior commissure”, atau MPAC), yang ukurannya 18% lebih besar pada diri kalangan gay dibandingkan kalangan perempuan heteroseksual dan 34% lebih besar dibandingkan kalangan pria heteroseksual. Perbedaan-perbedaan anatomis ini, yang berhubungan dengan gender dan OS, sebagian melandasi perbedaan-perbedaan dalam fungsi kognitif dan lateralisasi serebral [pembagian dan ketidakseimbangan fungsi-fungsi bagian otak kanan dan bagian otak kiri] di antara kalangan gay, pria heteroseksual dan perempuan heteroseksual./56/

Di tahun 1993, suatu kajian yang tidak terlalu besar (terdiri atas 38 pasangan gay bersaudara) yang dilakukan Dean Hamer menemukan adanya suatu hubungan OS dengan suatu bagian kromosom X yang dinamakan Xq28, yang dapat membentuk kecondongan OS seseorang ke homoseksualitas. Tetapi sejak itu, pencarian “gen gay” masih terus berlangsung. Suatu kajian yang jauh lebih besar (mencakup 409 pasangan gay bersaudara) yang dilakukan tahun 2004 oleh psikolog J. Michael Bailey dan psikiatris Alan R. Sanders tiba pada kesimpulan yang sama: ada hubungan antara Xq28 dan suatu bagian dari kromosom 8. Di lain pihak, teknik menemukan “hubungan genetik” antara gen dan homoseksualitas kini mulai beralih ke pendekatan yang lebih luas, yang dinamakan “Asosiasi Luas Genom”, atau “Genome-Wide Association” (atau GWA) untuk menemukan “gen spesifik” yang berhubungan dengan homoseksualitas dalam suatu populasi./57/




Lokasi kromosom gay Xq28 pada kromosom X manusia

 

Faktor lingkungan dalam rahim

Kondisi lingkungan dalam rahim juga dipikirkan berperan penting dalam membentuk OS, sebab sebagian faktor yang menentukan perkembangan suatu janin adalah peringkat dan campuran hormon-hormon yang melingkungi setiap janin selama masa kehamilan. Di tahun 2006, psikolog Anthony Bogaert dari Universitas Brock di Kanada menyelidiki fenomena yang tidak pernah dapat dijelaskan, yakni fenomena urutan kelahiran yang kelihatannya ikut membentuk seksualitas: pria gay cenderung memiliki lebih banyak kakak lelaki ketimbang pria heteroseksual. Dengan menggunakan sejumlah 944 pria homoseksual dan heteroseksual sebagai sampel, Bogaert menemukan fakta-fakta ini: seorang anak sulung pria memiliki 3% peluang untuk menjadi gay, dan persentase ini naik 1% untuk setiap anak lelaki berikutnya sampai menjadi dua kali lipat (yakni 6%) pada anak lelaki keempat. 

Mungkin sekali keadaan yang dibentuk oleh urutan kelahiran ini melibatkan juga sistem kekebalan tubuh sang ibu. Setiap bayi, lelaki atau perempuan, mula-mula diperlakukan sebagai sosok penyerbu yang masuk ke dalam tubuh sang ibu. Beranekaragam mekanisme bekerja otomatis untuk mencegah sistem tubuhnya menolak si janin dalam kandungannya. Bayi-bayi lelaki, dengan protein-protein lelaki mereka, dipersepsi sedikit lebih asing ketimbang bayi-bayi perempuan; akibatnya, tubuh sang ibu memproduksi lebih banyak antibodi khusus gender untuk melawan bayi-bayi lelaki itu. Setelah melewati banyak kali kelahiran bayi-bayi lelaki, rahim sang ibu menjadi lebih “terfeminisasi”, dan kondisi ini dapat membentuk seksualitas./58


Perbedaan ciri fisik dan kebiasaan

Selain itu, panjang jari juga menunjukkan seksualitas manusia dibentuk oleh biologi. Telunjuk para pria heteroseksual kentara lebih pendek dibandingkan jari tengah mereka. Jari telunjuk dan jari tengah perempuan heteroseksual nyaris sama panjang. Jari seorang lesbian seringkali sama panjang dengan jari lelaki heteroseksual. Keadaan-keadaan ini telah lama secara informal diamati, tetapi suatu kajian yang dilakukan tahun 2000 di Universitas of California, Berkeley, tampak membenarkan pengamatan ini.  


Kalangan lesbian juga tampak memiliki perbedaan-perbedaan pada bagian dalam telinga mereka, di tempat-tempat yang sebenarnya tidak dimungkinkan. Dalam diri semua orang, suara bukan hanya masuk tetapi juga meninggalkan telinga dalam bentuk yang dikenal sebagai emisi otoakustik, yakni getaran-getaran yang muncul dari interaksi kokhlea dan tambur telinga, dan getaran-getaran ini dapat dideteksi oleh instrumen-instrumen. Perempuan heteroseksual cenderung memiliki frekuensi emisi otoakustik yang lebih tinggi dibandingkan lelaki heteroseksual, tetapi para lesbian tidak. 

Kajian-kajian lain telah mengeksplorasi adanya suatu hubungan antara homoseksualitas dan kebiasaan bertangan kidal. Pria gay lebih mungkin kidal atau memakai kedua belah tangannya. Diusulkan ada tiga faktor yang mungkin menghubungkan orentasi seksual dengan kidal atau bukan-kidal, yakni: lateralitas serebral dan hormon-hormon seks yang mempengaruhi janin-janin; reaksi-reaksi imunologis sang ibu terhadap janin-janin; ketidakstabilan perkembangan janin-janin. Penelitian kebiasaan bertangan kidal atau tidak, dan hubungan kondisi ini dengan homoseksualitas, telah dilakukan oleh suatu tim yang menggunakan metaanalisis terhadap 20 studi yang membandingkan peringkat kidal pada 6.987 homoseksual (6.182 gay, dan 805 lesbi) dan 16.423 heteroseksual (14.808 pria dan 1.615 wanita)./59/

Tentang kebiasaan kidal pada kalangan homoseksual, LeVay menyatakan bahwa kecenderungan lesbian dan gay untuk kurang konsisten memakai tangan kanan dibandingkan heteroseksual menyarankan bahwa fungsi serebral otak mereka dapat kurang kuat terlaterisasi. Faktanya, ada sejumah bukti langsung untuk mendukung ide bahwa fungsi-fungsi serebral kalangan gay lebih simetrik terdistribusi ke kawasan kanan dan kawasan kiri otak dibandingkan keadaannya pada kalangan heteroseksual. McCormick dkk telah menyarankan bahwa kidal terjadi karena peringkat hormon seks androgen yang luar biasa tinggi dalam janin-janin perempuan, tetapi luar biasa rendah dalam janin-janin lelaki./60/     

Selain itu, ditemukan bahwa rambut pada bagian mahkota kepala pria gay cenderung tumbuh berlawanan arah dengan gerak jarum jam. Tetapi belum ada kesepakatan bulat mengenai hubungan gelungan rambut alamiah pada seksualitas./61

Jelas, genetika atau biologi adalah faktor kuat dalam memunculkan OS manusia, termasuk manusia homoseksual. Ini fakta yang tidak boleh disangkal atas nama doktrin agama atau ideologi apapun. Jika OS itu genetik atau biologis, itu artinya jika seseorang menjadi homoseksual, kondisi OS-nya ini berada di luar kekuasaannya untuk menolaknya, sama seperti seseorang tidak bisa menolak apakah akan dilahirkan sebagai lelaki ataukah sebagai perempuan. 

Dalam bahasa keagamaantentunya para agamawan yang kebanyakan membenci LGBT bisa memahamikita katakan bahwa seseorang menjadi homoseksual adalah karena takdir ilahi, yang dia tidak bisa tolak atau lawan sejak sebagai janin. Jadi, membenci LGBT pasti tidak dikehendaki Tuhan Allah, sang Pencipta mahabesar, al-Rahman dan al-Rahim. Kebencian apapun tidak sejalan dengan kerahiman dan kerahmanian Allah. 


Interaksi gen, epigen dan lingkungan kehidupan

Tetapi, tentu saja, genetika atau biologi bukan segala-galanya yang membentuk jatidiri seksual anda. Semua aspek kehidupan kita tidak hanya genetis atau biologis (nature), tetapi juga dibentuk oleh pendidikan dan pengasuhan (nurture), lingkungan sosial kita hidup sehari-hari (social life environment), kebudayaan kita, kondisi ekologis, gaya hidup, dan tentu saja teknologi. Kemauan gen tidak otomatis akan menjadi terwujud. Semua faktor ini berinteraksi, ada yang berpengaruh sangat kuat dan ada yang sedang-sedang saja, dan ada yang lemah. Interaksi berbagai faktor ini juga sangat ditekankan oleh LeVay. Kelly Servick dengan tepat menyatakan bahwa “Setiap kecondongan pembawaan genetik mungkin sekali berinteraksi dengan faktor-faktor lingkungan kehidupan yang mempengaruhi perkembangan suatu orientasi seksual.”/62/
Tidak ada lingkungan kehidupan yang statis, tanpa gerak dan perubahan lagi.

Karena itu, saya memandang, seksualitas manusia juga dinamis, bukan sesuatu yang sudah jadi dan final begitu dilahirkan hingga ajal, sama halnya dengan segi-segi lain dari diri kita, misalnya kecerdasan dan kearifan, kematangan emosional, serta bentuk tubuh dan perawakan. Oleh teknologi, tubuh dan perawakan serta penampilan kita (mau sexy, jantan, atau biasa-biasa saja) dapat dibentuk. 


Begitu juga gen-gen kita sekarang sudah dapat direkayasa, di-edit, dimodifikasi, lewat teknik mutakhir yang dinamakan “DNA-editing” (CRISPR-Cas9), untuk menghasilkan spesies homo sapiens yang berpenampilan lain, makin cerdas dan makin kuat. Teknik DNA-editing ini yang dipraktekkan pada suatu organisme di saat masih sebagai embrio, menghasilkan perubahan genetik pada embrio ini yang nanti akan tampak dalam bentuk tubuh dan sifat mental ketika embrio sudah menjadi organisme utuh dan tumbuh dewasa, dan perubahan genetik ini bersifat menetap dan akan diteruskan ke generasi-generasi selanjutnya.




Babi-babi mungil (micropigs) sudah menjadi teman bermain bahkan teman semeja makan. Berat maksimal dewasa 10-15 kg. Harga per ekor sekarang dipatok USD 1.600. Anda suka?


Sejauh sudah diketahui, teknik mengedit DNA ini (yang sama mudahnya dengan mengedit sebuah makalah dengan MS Word!) sedang ramai diterapkan pada hewan-hewan. Babi-babi mungil (micropigs) salah satu hasilnya. Tetapi, baru saja saya ketahui, teknik DNA-editing ini ternyata sudah diterapkan juga pada janin-janin manusia oleh para ilmuwan China! Yang belum jelas betul, lewat teknik ini mereka mau menciptakan jenis manusia baru yang bagaimana.

Dalam jagat raya ini, segalanya mengalir, impermanen, berubah. Tanpa perubahan, sesuatu akan mati. Definisi-definisi lama tentang seksualitas juga berubah. Perubahan di zaman modern kini ibarat sebuah kereta listrik magnetik supercepat yang sedang melesat ke depan. Jika anda mau menghambat atau menghentikan perubahan, anda akan digilas lumat oleh kereta perubahan ini. Menghadapi berbagai perubahan apapun yang ditimbulkan oleh sains modern, anda harus pertama membuka diri, kemudian memahami betul-betul perubahan-perubahan yang sedang terjadi, lalu memberi tanggapan teduh, positif, pro-aktif, cerdas, terpelajar.

Anda dapat bertanya ke saya tentu saja, apakah ada bukti bahwa OS setiap orang itu dinamis, cair, tidak statis, atau tidak baku, begitu mereka dilahirkan. Ya, saya menyatakan hal itu justru karena bukti-buktinya ada. Institut kesehatan masyarakat nasional yang terkemuka di Amerika Serikat, yang dinamakan The CDC (The Centers for Desease Control and Prevention), telah melakukan survei nasional atas 9.000 responden dari berbagai jenis OS selama tahun 2011 hingga 2013. 

Para peneliti CDC menemukan bahwa ternyata pria hetero juga suka bereksperimen seksual anal dengan sesama pria yang juga hetero, meskipun keduanya sama sekali bukan homo dan juga bukan biseksual. Mereka menegaskan bahwa baik perempuan maupun lelaki keduanya sama-sama memiliki seksualitas yang cair, tidak baku, dan mereka terdorong juga untuk mengadakan hubungan seksual dengan sesama jenis kendatipun kedua belah pihak sama-sama bukan gay dan juga bukan lesbian dan bukan biseksual. Mereka menandaskan bahwa OS itu ternyata mendiami kawasan abu-abu, ketimbang kawasan hitam atau putih. Dalam kasus ini, harus jelas buat kita bahwa eksperiman bebas dalam berhubungan seks sama sekali bukan sebuah OS!

Freewill atau kehendak bebas manusia adalah juga salah satu faktor ekstragenetik (yang umumnya dinamakan faktor epigenetik) yang ikut menentukan perilaku seksual seseorang. Perilaku seksual itu, jika dilihat dari sudut ini, jadinya bukan suatu bakat yang tidak bisa diubah lagi hingga orang wafat, juga bukan suatu takdir ilahi yang tidak bisa ditolak. Perilaku seksual itu, jadinya, memang urusan keputusan bebas pribadi masing-masing pasangan apapun yang terlibat, selain faktor-faktor biologis juga ikut memberi andil kuat. Kemauan gen bukan segala-galanya untuk segala hal dalam kehidupan organisme manapun dalam jagat raya ini.    

Hal yang terpenting adalah ini: Jika LGBT ditolak, dibenci dan dimusuhi oleh para ideolog anti-LGBT, justru karena para heteroseksual juga bisa berubah sementara menjadi LGBT sejalan dengan kehendak bebas mereka, maka, konsekwensinya, para heteroseksual manapun juga harus senantiasa dicurigai, diawasi dan dikuntit, dan juga perlu harus dibenci dan dimusuhi dan diperangi. Harap anda catat: setiap heteroseksual juga LGBT potensial!

Lalu, siapakah yang harus mengawasi dan menguntit kalangan hetero yang juga LGBT potensial ini? Tuhan Allahkah? Lalu, Allah dalam agama yang mana? Juga, Apakah Allah mempunyai OS? Ataukah justru Allah melampaui atau mentransendir semua kategori orientasi seksual sehingga dia juga merangkul semua OS yang ada dalam alam ini dengan kasih sayang? Dunia semacam inikah yang kita inginkan, yang sangat dibuat rumit dan repot oleh masalah OS yang sebetulnya lebih merupakan masalah personal, sejauh tidak menimbulkan ekses tindak kriminal dalam masyarakat dan dalam setiap rumah tangga?

The CDC selanjutnya menyimpulkan demikian:  
Hal yang benar adalah bahwa satu-satunya orang yang tahu tentang segala sesuatu mengenai identitas seksual diri sendiri dan pilihan-pilihan seksual sendiri adalah diri orang-orang itu sendiri. Lepas dari sudah berapa banyak studi dan laporan yang sudah dibuat, aktivitas seksual dan orientasi seksual akan selalu merupakan isu-isu personal yang rumit, yang sangat mungkin menghasilkan beranekaragam pengalaman yang berbeda bagi setiap orang, dan berisi beranekaragam perasaan dan kisah yang tidak dapat diungkap hanya dengan angka-angka.”/63/
Kaitan antara gen dan lingkungan atau ekologi kehidupan dan gaya hidup dalam membentuk OS seseorang juga ditemukan dalam kajian-kajian yang terfokus pada “penanda-penanda epigenetik” (“epigenetic markers”, atau EM). EM menunjuk pada perubahan-perubahan kimiawi (metil-metana) pada DNA yang berdampak pada ihwal bagaimana gen mengekspresikan diri (dalam ilmu genetika, mekanisme ini dinamakan “DNA methylation”), tapi tidak berdampak pada informasi genetik dalam gen sendiri. EM ini dapat diturunkan ke generasi selanjutnya, tapi juga dapat diubah oleh lingkungan kehidupan dan gaya hidup. Faktor genetik dan faktor epigenetik berinteraksi dalam semua aspek biologis manusia, juga dalam pembentukan OS setiap individu. Studi klinis mutakhir yang dilakukan genetikus Eric Vilain dkk dari Universitas California, Los Angeles (UCLA), telah menemukan interaksi antara gen dan epigen dalam pembentukan OS. Vilain menegaskan bahwa dia tidak terkejut ketika menemukan bahwa selain faktor genetik, faktor epigenetik juga terhubung dengan OS seseorang./64/

Sebuah kajian mutakhir tentang orientasi seksual juga menunjukkan bahwa tingkat keandalan memprediksi orientasi seksual dengan berbasis gen sangat signifikan, mencapai angka 70 persen. Kajian ini dilakukan pada orang dewasa. Tim peneliti menemukan bahwa proses metilasi (methylation) atau perubahan epigenetik pada DNA (yang dilakukan sel-sel untuk membuat gen-gen tertentu berada pada posisi “off”) berperan signifikan dalam menjadikan seseorang berorientasi seksual LGBT. Proses metilasi epigenetik ini dapat dipicu oleh efek-efek hormonal dalam rahim saat janin sedang mengalami pertumbuhan, atau tak lama sesudah kelahiran karena pengaruh lingkungan. Metilasi epigenetik pada DNA ini diteruskan ke generasi-generasi berikutnya, sejalan dengan gaya dan lingkungan kehidupan orangtua atau kakek dan nenek si individu./65/

Jadi, meskipun gen itu punya peran yang sangat krusial dalam seluruh biologi seorang insan, namun gen memang bukan segala-galanya yang menentukan OS. Epigen yang bekerja dalam DNA dan dapat diubah oleh lingkungan dan gaya hidup juga ikut membangun OS setiap individu. Berhubung lingkungan dan cara hidup yang juga ikut menentukan OS atau, lebih tepat, perilaku seksual seseorang, lazimnya terus berubah, dinamis, maka OS atau perilaku seksual juga mustinya dinamis, cair, tidak baku selamanya.


Kesalahan fatal: mereparasi LGBT

Jika seksualitas manusia itu dinamis, maka terbuka kemungkinan bahwa perilaku hetero- dan homo-seksual juga bisa bersifat sementara, bukan suatu perilaku yang menetap selamanya. Jadi, sebagaimana semua perilaku seksual bisa berubah, dari heteroseksual ke homoseksual, begitu juga sebaliknya: homoseksualitas bisa berubah sendiri, atau diubah dengan sengaja lewat sains dan teknologi, atau lebih lumrah, lewat gaya hidup setiap orang. Belum lama ini (2009) para peneliti dari The National Association for Research and Therapy of Homosexuality (NARTH) menegaskan bahwa “adalah mungkin baik bagi pria maupun bagi wanita untuk berubah dari homoseksual ke heteroseksual” dan bahwa “terapi untuk reorientasi seksual kelihatan bermanfaat dan tidak berbahaya, sehingga harus terus disediakan bagi orang-orang yang mencarinya.” Tapi NARTH juga menegaskan bahwa “klien yang tidak merasa tertekan oleh orientasi seksual mereka harus tidak diarahkan untuk mengubahnya oleh para profesional kesehatan mental.”/66

Tetapi saya harus segera menambahkan info lebih jauh yang sangat penting. Sekarang ini, terutama karena alasan perintah Tuhan dan juga karena tak punya pengetahuan yang benar tentang spektrum OS LGBT, banyak pihak dengan paksa meminta kalangan LGBT untuk menjalani terapi reorientasi atau terapi “konversi atau terapi “penyembuhanatau terapi “reparasi untuk mengubah mereka jadi heteroseksual. Seolah bagi mereka, menjadi heteroseksual atau menjadi LGBT hanya suatu soal perilaku mekanik menaikkan atau menurunkan sebuah tuas panel listrik atau menekan sebuah tombol OFF dan ON bergantian, bergantung kebutuhan syahwat sesaat yang liar.

Kalangan yang sedang memaksakan kehendak mereka pada kelompok minoritas LGBT memandang OS LGBT sebagai suatu penyakit yang harus disembuhkan, bahkan sebagai suatu gangguan jiwa, dan juga sebagai kutukan Tuhan seperti dulu orang memandang penyakit kusta. Lebih edan lagi, ada banyak orang memandang LGBT sebagai orang-orang yang sedang kerasukan setan, atau malah tidak termasuk spesies Homo sapiens. Mereka melihat manusia normal itu hanya manusia heteroseksual, lelaki dan perempuan, Adam and Eve, bukan Adam and Steve atau Adam dan Hawa, bukan Adam dan Siwa. LGBT kata mereka bukan ciptaan Tuhan meskipun mereka, anehnya, juga keturunan Adam dan Hawa.

Kalangan pembenci LGBT tidak tahu bahwa nyaris semua lembaga kesehatan yang diakui dunia dan nyaris seluruh pakar seksologi yang terkemuka sudah menemukan banyak bukti klinis lintasilmu bahwa LGBT sama normal dan sama sehat dengan orang heteroseksual. LGBT bukan orang sakit. Mereka sehat dan juga sama happy dan sama normal dengan kalangan hetero jika mereka hidup wajar sehari-hari dan tidak dibebani tekanan sosiopsikologis dan berbagai stigma negatif dari masyarakat heteroseksual.

Bahwa terapi reorientasi atau konversi atau penyembuhan atau reparasi terhadap LGBT sangat berbahaya dan merusak mental dan daya hidup kalangan LGBT dan tidak berdasar pada ilmu pengetahuan yang lengkap tentang orientasi seksual, sudah dinyatakan dengan tegas oleh seluruh lembaga kesehatan dunia dan oleh para pakar medik dan pakar seksologi yang profesional, sebagaimana dapat dibaca pada artikel yang berjudul The Lies and Dangers of Efforts to Change Sexual Orientation or Gender Identity./67/ Dalam sumber yang memuat banyak info ilmiah penting tentang LGBT ini, dimuat antara lain pernyataan ini:
“Fakta terpenting tentang terapi reparatif, yang kadang juga disebut sebagai 'terapi konversi', adalah bahwa terapi ini didasarkan pada suatu pemahaman tentang homoseksualitas yang telah ditolak oleh semua profesional utama kesehatan umum dan kesehatan mental. American Academy of Pediatrics, American Counseling Association, American Psychiatric Association, American Psychological Association, National Association of School Psychologists, dan National Association of Social Workers, yang semuanya mencakup lebih dari 477.000 profesional kesehatan umum dan kesehatan mental, bulat berpendapat bahwa homoseksualitas bukan suatu gangguan mental, dan dengan demikian tidak memerlukan suatu penyembuhan.
Dalam artikel yang sama, kita baca tentang hasil penelitian lapangan yang dilakukan Universitas Negara San Francisco tentang kekuatan mental kalangan LGBT yang tertekan dan ditolak jika dibandingkan kalangan LGBT yang dapat hidup happy dan wajar dan diterima. Ditemukan fakta bahwa dibandingkan dengan kaum LGBT yang tidak ditolak oleh orangtua dan pengasuh mereka karena mereka memiliki identitas gay atau transgender, orang LGBT yang ditolak dengan kuat memiliki peluang kemungkinan 8 kali lipat untuk bunuh diri, nyaris 6 kali lipat mengalami depresi berat, lebih dari 3 kali lipat menggunakan obat-obat terlarang, dan lebih dari 3 kali lipat kemungkinan terkena HIV dan STDs. 

Psikiater terkenal dari APA, Saul Levin, menyatakan bahwa “usaha mengubah OS seseorang lewat apa yang dinamakan ‘terapi konversi’ dapat dan sering menimbulkan bahaya yang real. Faktanya, risiko-risiko yang terkait dengan ‘terapi konversi’ mencakup rasa cemas, depresi, bunuh diri, isolasi sosial, hilangnya kemampuan untuk membangun hubungan yang akrab, dan berbagai tindakan lain yang mau merusak diri sendiri.” Lebih jauh Levin menegaskan bahwa “penting untuk dicatat tidak ada bukti bahwa usaha-usaha untuk mengubah OS seseorang pernah berhasil, pun ketika si individu dengan ikhlas ingin OS-nya diubah.”/68/  

Nah, jika diperhadapkan pada semua data ini, semua klaim NARTH tentang reparasi LGBT memang harus sungguh-sungguh diragukan, atau lebih tegas lagi, harus ditolak. Ketimbang bersikap negatif terhadap LGBT, kita sebaliknya harus bersikap positif.    

Di negeri kita Indonesia, Menko Polhukam Luhut Binsar Panjaitan baru saja, 12 Februari 2016, menyatakan bahwa kaum LGBT ada untuk diayomi dan dilindungi sebagai sesama WNI yang minoritas, bukan untuk dibenci, diusir atau dibunuh./69/ Juga perlu kita ketahui, saya ingatkan kembali, bahwa para pakar kesehatan dan seksologi bangsa kita sendiri, atas nama Depkes RI, di tahun 1993 sudah menyatakan bahwa homoseksualitas bukan suatu penyakit gangguan jiwa. Sayangnya, di tahun 2016 posisi yang sudah betul ini diubah oleh PDSKJI seratus delapan puluh derajat!

Tetapi jika ada kalangan di NKRI yang memandang LGBT sebagai suatu abnormalitas, suatu gangguan jiwa, suatu kutukan Tuhan, saya, positif saja, mendorong mereka untuk mendirikan banyak klinik terapi LGBT, jika memang kalangan yang anti-LGBT ini dimotivasi oleh cinta kasih kepada LGBT. Lalu kita wait and see, akan adakah “pasien yang akan dengan ikhlas, rela dan happy mau datang berobat, gratis sekalipun. Atau semua klinik mereka akhirnya terpaksa ditutup karena tidak ada satu pasien pun yang datang untuk berobat. Alhasil, para penyandang dana dari Timteng atau dari Amerika untuk klinik-klinik itu semuanya akan akhirnya mencak-mencak, keki banget, setelah mereka gagal mengubek-ubek NKRI

Atau, sebagaimana baru saja dikemukakan di atas, terapi reparasi LGBT hanya sementara saja akan menampakkan kesembuhan pada seorang pasien LGBT tipe distonik; tetapi sekian waktu kemudian si pasien ini ternyata malah akan dapat makin depresif, dan kondisi mentalnya yang memburuk ini dapat berakhir dengan bunuh diri.

Jadi, menurut saya, LGBT tipe distonik tidak memerlukan terapi reparasi atau terapi konversi. Yang mereka butuhkan adalah pemberdayaan lewat pendampingan yang sinambung sehingga akhirnya mereka dapat dengan positif menerima kenyataan bahwa mereka memang LGBT, lalu dapat hidup riang dan gembira sekalipun mereka LGBT. Lebih penting lagi, mereka dapat bekerja mencari nafkah dengan halal dan terhormat, dan dapat mencapai cita-cita mereka. Pada sisi lain, masyarakat juga perlu dengan bertahap dibimbing dan disadarkan sehingga akhirnya mereka juga dapat menerima kalangan LGBT sebagai sesama manusia yang sama bermartabat dan sama terhormat seperti kalangan hetero.

Bagaimanapun juga, anda perlu mengantisipasi bahwa pro dan kontra terhadap kalangan LGBT di negara kita sekarang ini akan membuka banyak peluang bisnis baru reparasi LGBT yang akan dikelola oleh lembaga-lembaga keagamaan konservatif dari berbagai agama. Sejauh saya tahu, telah ada sebuah komunitas di negeri ini yang diberi nama Peduli Sahabat yang mengklaim mampu mereparasi OS LGBT untuk pulih kembali ke OS heteroseksual.

Baru saja, 24 Februari 2016, Prof. Franz Magnis-Suseno dari Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta, menyatakan bahwa usaha mau menyembuhkan atau membina ke jalan yang benar mereka yang berkecenderungan alami [sebagai LGBT] adalah tidak masuk akal.” Selanjutnya, Prof. Magnis menegaskan bahwa kita mesti menyepakati bahwa segala diskriminasi terhadap mereka yang homo harus diakhiri. Orientasi seksual tidak relevan untuk kebanyakan bidang kehidupan. Dari seorang pejabat tinggi dapat diharapkan bahwa dia bisa membedakan antara wawasan tingkat taman kanak-kanak dan wawasan universitas. Justru universitaslah tempat di mana diskursus kompeten dan terbuka terhadap implikasi perbedaan orientasi seksual harus dibicarakan. Para rektor universitas wajib berat menjamin kebebasan akademik./70/

Saya kutipkan kesimpulan Simon LeVay tentang orientasi seksual. Tulisnya, “Orientasi seksual adalah suatu aspek yang cukup stabil dari kodrat manusia, dan bahwa kalangan heteroseksual, gay dan biseksual telah ada di semua kebudayaan. Hal ini menyarankan bahwa faktor-faktor biologis yang umum terdapat di seluruh umat manusia dapat bertanggungjawab bagi kemunculan individu-individu yang memiliki OS berbeda-beda. Namun kita perlu juga berpikir berbeda tentang OS dalam diri pria dan wanita, dan bahwa faktor-faktor kultural juga berpengaruh besar pada bagaimana homoseksualitas diekspresikan dalam masyarakat-masyarakat yang berlainan dan di sepanjang sejarah manusia. Dengan kata lain, penjelasan-penjelasan berbasis ide-ide biologis tentang OS manusia memiliki keterbatasan-keterbatasan juga, tidak seperti yang kita harapkan.”/71/

Saya juga mau ingatkan bahwa dalam bab terakhir bukunya, Gay, Straight, and the Reason Why: The Science of Sexual Orientation, LeVay mengusulkan segi-segi lain dari seksualitas manusia, khususnya OS homoseksual, yang perlu diteliti dalam kajian-kajian mendatang. Ini adalah sebuah sikap ilmiah tulen, sikap yang tidak melihat temuan-temuan ilmiah sendiri apapun sudah final, yang tidak menyisakan segi-segi lain yang harus diteliti lebih lanjut. Tidak ada sains yang sudah final. Sains selalu membutuhkan penyelidikan lebih lanjut, yang bisa menfalsifikasi temuan-temuan sebelumnya atau malah memperkuat. Sejauh ini, LeVay menemukan semua temuan kajian OS homoseksual sebelumnya valid, terverifikasi. Meskipun demikian, sebagai sains, kajian-kajian tentang homoseksualitas tidak akan berhenti, kapanpun juga.
 

Salah satu bidang yang kini paling menantang dalam kajian terhadap seksualitas manusia adalah menemukan gen-gen homoseksual, seperti yang diharapkan LeVay. Penemuan bagian Xq28 dalam kromosom X pasti akan disusul dengan temuan-temuan lain yang lebih revolusioner, antara lain lewat teknik GWA yang sudah disinggung di atas. Tidak usah terkejut jika tidak lama lagi para pakar genetika dan seksologi juga akan sepakat bulat bahwa orientasi seksual setiap orang memiliki basis genetik yang sangat kuat, dengan mereka mengajukan bukti-bukti yang kokoh.


Menjilat pantat Barat!

Seseorang yang bernama Mr. Macho mengecam saya. Katanya, “Anda membela LGBT karena anda telah menerima pendidikan modern di Barat. Anda kini mempromosikan LGBT di Indonesia. Anda penjilat pantat Barat yang kafir. Sementara anda mengecam Arabisasi atas Indonesia. Itulah diri anda yang sebenarnya.” 

Ya... kecamannya pedas dan hemat saya diucapkan tanpa pengetahuan dan kesadaran yang matang. Berikut ini respons saya dalam dua poin.

Poin pertama. Mengapa saya membela LGBT meskipun saya bukan aktivis LGBT dan orientasi seksual saya dan keluarga saya semuanya hetero (hingga saat ini)?

Saya membela karena saya melihat LGBT di Indonesia cenderung akan makin ditindas berdasarkan ketidaktahuan masyarakat hetero di Indonesia bahwa kondisi sebagai LGBT bukan dosa dan juga bukan suatu kelainan jiwa atau penyakit dan gangguan mental. Berikut ini alasan-alasan saya mengapa saya berpendapat demikian.

Tuhan yang saya yakini mahapencipta bukanlah Tuhan dengan OS tertentu. Tuhan melampaui atau mentransendir semua OS HLGBT. Karena itu, Tuhan mahapencipta merangkul, memelihara, memberi kehidupan dan cinta kepada semua manusia yang memiliki OS apapun.

Semakin anda meyakini Tuhan itu mahapencipta, maka dia juga sanggup mencipta bukan hanya OS hetero, tapi juga LGBT. Karena dia mahapencipta, maka dia juga sanggup menciptakan apapun yang tidak dikisahkan atau ditulis dalam semua kitab suci.

Karena OS LGBT itu sunatullah, kejadian natural yang diciptakan Tuhan, maka LGBT juga Tuhan kehendaki untuk tetap ada dan terawat dan bertahan dalam dunia ini. Barangsiapa mencintai Tuhan, mereka juga akan mencintai LGBT. Dari mana saya tahu LGBT itu sunatullah atau hukum alam ciptaan Tuhan? Tentu bukan dari Prof. Sarlito Wirawan, mahaguru psikologi UI yang saya kagumi.

Ya saya tahu dari ilmu pengetahuan yang bersumber dari Allah yang mahatahu. Semakin anda percaya Tuhan anda itu mahatahu, maka semakin bersemangat anda dalam mencari pengetahuan-pengetahuan baru. Bahkan sebagai sang pencipta yang mahabaik dan mahatahu, Tuhan juga menghendaki manusia mengembangkan ilmu pengetahuan dengan tanpa batas dan menemukan dan membangun ilmu pengetahuan baru juga tanpa batas.

Semakin Tuhan itu dipercaya mahacerdas, maka semakin kuat keinginan anda untuk berakal dan bernalar dengan cerdas. Tuhan yang mahatahu, sebagai orangtua kita yang sayang pada kita, akan luar biasa masygul di hati jika manusia memilih berjalan di jalan kedunguan tanpa batas. Ilmu pengetahuan kerap mencapai batas terjauh di suatu era. Tapi kedunguan itu, kata Albert Einstein, tak punya batas.

Nah dari ilmu pengetahuan, kini kita tahu OS HLGBT terbentuk dari interaksi sejumlah faktor yang sudah diobservasi, yakni faktor-faktor genetik, epigenetik, biologis, serebral, hormonal, fisiologis, psikologis; dan lingkungan kehidupan juga ikut memberi andil. Semua hal lain yang menyangkut bentuk fisik dan keadaan mental dan pembawaan serta kebiasaan hidup kita juga dibentuk oleh faktor-faktor yang sama. Informasi genetik, bagaimanapun juga, berperan besar dalam membentuk diri seseorang (fisik dan mental) dalam segala aspek kehidupan. Alis mata anda, atau kumis anda, atau seluruh rambut di kepala anda, apa warnanya, bagaimana bentuknya, bahkan sampai ke soal ubanan dan kebotakan, semuanya telah ditemukan punya basis genetik yang kuat./72/


Nah, karena OS itu berbasis biologis dalam arti luas, tentu saja sejak manusia cerdas (Homo sapiens) ada di muka Bumi, OS HLGBT tentu juga sudah ada.

Jauh sebelum kejadian yang menimpa kota Sodom dan kota Gomorah yang melibatkan Nabi Lot (atau Luth)―yang kisahnya (cari tahu sendiri, apakah ini kisah faktual atau kisah teologis fiktif!) selalu dijadikan landasan skriptural untuk mengecam dan mengutuk homoseksualitas―OS LGBT sudah pasti ada.

Suatu saat nanti, kalau paleobiologi sudah semakin maju, para saintis akan bisa menemukan bukti-bukti biologis bahwa OS LGBT sudah ada sama tuanya dengan usia keberadaan manusia di muka Bumi. Yang sekarang sudah diketahui adalah bahwa homoseksualitas juga ada pada 1.500 spesies hewan non-manusia. Ini lagi menunjukkan bahwa OS homoseksualitas adalah sunatullah.

Kapan manusia cerdas pertama muncul di muka Bumi? Menurut kitab suci tertua teisme (yakni Tanakh Yahudi), Adam dan Hawa adalah pasangan manusia pertama pria dan wanita yang diciptakan Allah langsung besar tanpa memiliki udel. Menurut literalis Katolik yang hidup di abad ke-17, uskup agung Almargh yang bernama James Usher, setelah dia menghitung-hitung hari-hari, kejadian-kejadian dan silsilah-silsilah yang dikisahkan dalam Alkitab (baginya Alkitab adalah sebuah kitab sejarah yang ajaib dan serba akurat), jagat raya atau “langit dan Bumi” diciptakan Allah persis pada hari Minggu tanggal 23 Oktober 4004 SM. Jadi, sekarang ini di abad ke-21 jagat raya baru berusia 6.000 tahun.

Sedangkan menurut sains modern, jagat raya kita yang tercipta lewat big bang sudah berusia 13,8 milyar tahun. Sistem Matahari kita sendiri, dus juga planet Bumi, sudah berusia 4,54 milyar tahun. Selama ini dipandang bahwa kehidupan sangat sederhana pertama kali muncul di Bumi 3,8 milyar tahun lalu, yang selanjutnya berevolusi tahap demi tahap. Tetapi, baru-baru ini suatu tim pakar geokimia dari UCLA telah menemukan bukti-bukti bahwa sangat mungkin kehidupan sederhana telah muncul di planet Bumi setidaknya 4,1 milyar tahun lalu. Kehidupan sederhana yang berhasil ditemukan ini terkandung dalam grafit atau carbon murni (yang mencakup carbon-12 hingga carbon-13) yang sudah memiliki kemampuan melakukan fotosintesis. Sudah kita ketahui bahwa carbon adalah unsur esensial kehidupan./73/

Nah, kalau pendapat James Usher diikuti, berarti Homo sapiens baru muncul di Bumi ya juga kurang lebih 6.000 tahun yang lalu. Atau kita bulatkan saja, baru muncul 10.000 tahun lalu.

Tetapi dari ilmu pengetahuan, yang memakai bukti paleo-DNA mitokondrial, kita tahu dengan pasti bahwa Homo sapiens (kita semua, manusia cerdas dengan anatomi tubuh modern) muncul 300.000 tahun lalu di Afrika, bukan di Taman Eden di kawasan Mesopotamia 10.000 tahun lalu. Kalau kita telusuri sedikit jauh ke belakang, anekaragam hominid yang menjadi moyang terdekat Homo sapiens muncul 400.000 tahun lalu.

Nah, dengan memakai temuan sains ini, lebih jauh kita dapat katakan bahwa LGBT pasti juga sudah ada 300.000 hingga 400.000 tahun lalu, jauh sebelum kisah Nabi Lot ditulis. LGBT sudah ada sama tuanya dengan usia keberadaan Homo sapiens di muka Bumi, tapi baru dipelajari dan dikaji secara ilmiah di abad ke-20 M.

Dari tempat asalnya di Afrika, Homo sapiens HLGBT dulu sekali menyebar dan bermigrasi ke segala arah hingga akhirnya berada di seluruh muka Bumi, termasuk di tanah Arab di Timteng, juga di nusantara Indonesia dan di semua tempat lain di muka Bumi.

Jadi, pesan saya kepada para ideolog anti-LGBT, jangan anda picik memandang LGBT hanya milik Barat. Jangan karena kebencian pada Barat, anda, Mr. Macho, melampiaskan kebencian ini kepada kaum LGBT sebagai kompensasi dan demo kemarahan anda pada Barat. LGBT itu manusia, dan LGBT WNI itu sesama warganegara yang wajib kita dan pemerintah NKRI sayangi dan lindungi karena jumlah mereka sangat sedikit dan juga tak akan berkembang pesat selama puluhan tahun ke depan, dan, khususnya, karena mereka rentan dizalimi oleh kalangan hetero yang jumlahnya ratusan juta kepala.

Jadi tidak ada alasan atau basis ilmiah untuk orang kini memandang LGBT sebagai suatu gangguan mental yang perlu diobati atau orang LGBT dipandang rendah, sakit jiwa, atau dikutuk Allah.

Nah, sebagaimana ada banyak hetero yang sakit jiwa dan hidup tak setia pada satu suami/satu istri, menikmati freesex, suka nonton pornografi urakan, suka pesta seks gila, terkena dan menularkan HIV/AIDS, depresif, mau bunuh diri, hal yang sama juga bisa terjadi pada LGBT. Jadi, dalam hal ini hetero tidak lebih unggul dari LGBT, khususnya LGBT tipe distonik.

Juga, sebagaimana banyak hetero berhasil jadi orang termashyur karena kecerdasan otak, kinerja dan prestasi mereka dalam berbagai bidang kehidupan dan pekerjaan, dan khususnya dalam dunia sains-tek dan senibudaya, hal yang sama juga terbukti bisa diberikan kaum LGBT kepada dunia dan umat manusia, sejak dulu hingga kini, khususnya LGBT tipe sintonik.

Jadi, daripada melakukan usaha sia-sia dan tak ilmiah untuk mereparasi LGBT, hal yang jauh lebih diperlukan adalah menemukan para LGBT sintonik yang cerdas di matematika atau dalam IPA, lalu mereka dimotivasi dan diberi beasiswa untuk sekolah setinggi-tingginya hingga akhirnya mereka menjadi para ilmuwan dunia yang terkenal. Pada sisi lain, pemberdayaan dan pendampingan jangka panjang perlu diadakan bagi LGTB distonik untuk akhirnya mereka menjadi LGBT sintonik yang menjalani kehidupan mereka dengan teraktualisasi.

Kembali ke Tuhan. Dia juga sanggup mencipta hukum-hukum alam yang tak pernah habis yang diberinya kuasa untuk berjalan dan berlaku sendiri tanpa kendalinya lagi. Dia juga sanggup membiarkan hukum-hukum alam berkembang dan berproses sendiri apapun akibatnya bagi dunia dan semua organisme dan non-organisme penghuni seluruh alam yang tanpa batas.

Dia juga memberi kehendak bebas atau freewill kepada bukan hanya manusia dan organisme sentien tapi juga kepada hukum-hukum alam untuk bekerja sendiri sejalan dengan kehendak internal hukum-hukum ini, termasuk hukum evolusi “by natural selection”, termasuk juga hukum fisika dan hukum kimiawi yang bekerja dalam tubuh setiap organisme sehingga setiap organisme dapat terbentuk, mula-mula sebagai embrio, lalu lahir dan tumbuh dan berkembang makin matang secara ragawi dan mental.

Poin kedua. Menurut saya, orang yang eling dan sehat mental adalah orang yang mau hidup maju terus, makin modern, menuju peradaban yang makin besar, dari peradaban Bumi menuju peradaban sistem Matahari. Dalam peradaban tahap dua lanjutan ini, Homo sapiens yang sudah merancang sendiri evolusinya akan mendiami bukan hanya planet Bumi, tapi juga planet-planet dan bulan-bulan lain dalam sistem Matahari dan membangun peradaban baru mereka di sana. Hanya orang yang mengalami masalah mental berat yang tak mau maju atau malah tak mau hidup lagi. Juga orang yang bodoh atau lahir dengan mental terbelakang.

Kemajuan peradaban realitanya berlangsung di dunia Barat modern, sebuah model dunia yang orang di dalamnya umumnya terbiasa berpikir saintifik. Sudah melek sains. Telah bebas dari buta sains. Dunia ini adalah dunia Amerika, Kanada, Eropa Barat, Australia, Jepang, Korsel, Rusia (pasca perang dingin), China, dan mungkin juga India dll negeri kecil di Asia. Juga Israel. Dengan Iran, saya tak yakin.

Barangsiapa ingin maju dan menjadi modern dan mau ambil bagian dalam pembangunan peradaban sistem Matahari strateginya hanya ini: bersahabat dengan Barat dan belajar dan mencari dan menguasai sains-tek Barat. Menjilat pantat Barat hanya dilakukan orang yang berjiwa kerdil dan bermental pengemis. Hanya akan menjadi budak Barat.

Alternatifnya yang kontras ya ini: Tetap saling membunuh dalam perang atas nama ideologi agama seperti yang kini sedang berlangsung di gurun-gurun pasir mulai dari negeri-negeri Arab di Timteng hingga Turki, bahkan juga Afrika, antar sesama negara Islam aliran-aliran berbeda. Perangnya perang agama. Ironinya, yang diperangi satu sama lain adalah agama yang sama, Islam itu sendiri. Barat intervensi? Tentu saja.

Anda pilih alternatif yang mana? Bawa budaya perang dan radikalisme agama Timteng ke NKRI yang akan memporakporandakan negeri luas ini? Atau mempertemukan budaya Indonesia nusantara yang saya lihat jauh lebih unggul dari budaya Arab dan mengawinkannya dengan modernitas supaya NKRI bisa ikut serta dalam membangun peradaban yang makin modern dan makin luas di planet Bumi dan, tentu saja, nanti juga di luar planet Bumi sebagai suatu peradaban sistem Matahari?

Kita semua perlu melahirkan Albert Einstein Indonesia. Martin Luther King Indonesia. Bill Gates Indonesia. Mark Zuckeberg Indonesia. Max Planck Indonesia. Fabiola Gianotti Indonesia. Peter Higgs Indonesia. Stephen Hawking Indonesia. Mozart Indonesia. Celine Dion Indonesia. Ray Kurzweil Indonesia. Michio Kaku Indonesia. Elon Musk Indonesia. Steven Allan Spielberg Indonesia. Gay penyanyi yang telah memenangkan Piala Oscar (2016) Sam Smith Indonesia. NASA dan ESA Indonesia.

Orang yang eling, cerdas dan tak taklid buta pada agama pasti akan pilih alternatif bersahabat dengan dan belajar dari Barat. Penjilat pantat itu bukan sahabat, tapi akan nantinya berubah jadi musuh yang akan menikam dari belakang.


Serangan paranoia!

Beberapa orang telah menyatakan kepada saya dengan rasa cemas bahwa gerakan kaum LGBT yang marak dewasa ini sebetulnya punya tujuan jangka panjang untuk merebut kendali dunia dari tangan kalangan hetero yang kini sedang mengendalikan dunia. Katanya, para hetero yang anti-LGBT khawatir negeri-negeri berpenduduk besar seperti RRC dan Indonesia yang sekarang dipimpin para hetero nantinya akan jatuh ke tangan kalangan LGBT.

Apa tanggapan saya terhadap orang yang saya harus nilai sedang terkena neurotisisme paranoia itu? Dari semula mereka pakai alasan agama, kini mereka menambah alasan politik (konspirasi) dalam menyerang kaum LGBT. Berikut ini tanggapan saya lebih jauh.

LGBT di dunia ini minoritas dan mereka juga tak bisa membuat yang hetero jadi LGBT, karena jadi LGBT bukan pilihan sendiri, tapi berbasis genetis dan biologis. Pengaruh lingkungan bisa ada, tapi jauh lebih lemah dibandingkan sunatullah gen dan biologi secara umum. OS HLGBT juga bukan penyakit menular. Bukan cacar air. Bukan virus HIV/AIDS. Bukan herpes. Bukan TBC. OS LGBT juga bukan kanker, suatu penyakit pembunuh yang kini sudah ditemukan sangat mungkin bisa menular ke orang lain./74


Sejauh menyangkut LGBT sintonikyaitu LGBT yang happy, relaxed, punya harkat dan martabat, kehormatan diri, percaya diri dan hidup mereka teraktualisasiOS LGBT adalah sesuatu yang normal saja, bagian dari sunatullah, sesuatu yang genetik dan biologis, sama seperti OS hetero. Kalau anda yang hetero bertanya dengan nada curiga mengapa mereka menjadi LGBT, ajukanlah juga pertanyaan yang sama kepada diri anda dengan curiga, mengapa diri anda hetero. Ketika anda mengacungkan satu jari telunjuk anda ke orang lain, ingatlah bahwa tiga jari anda lainnya dengan ditopang oleh jempol juga terarah kepada diri anda sendiri

Lagi pula tidak ada gerakan LGBT yang bertujuan mau mengubah seluruh warga masyarakat jadi LGBT. Tidak ada gerakan LGBT sedunia yang dengan paranoid dikaitkan oleh sementara orang dengan isu sedang dibangunnya New World Order oleh para kapitalis Barat. Juga tidak benar sama sekali jika orang hetero menyatakan bahwa maraknya gerakan LGBT pada aras global sama bahayanya dengan perang nuklir (seperti dinyatakan dengan berlebihan oleh Paus Fransiskus seperti sudah diungkap di awal tulisan panjang ini!), cuma perang yang sedang dilancarkan para LGBT ini, mereka berteori, memakai cara-cara yang lunak atau soft war. Pendapat politis inilah yang dengan yakin sekali telah dinyatakan oleh seorang pejabat tinggi negara RI baru-baru ini kepada masyarakat. 

Kata sang pejabat tinggi NKRI itu, tujuan soft war yang sedang digelar kaum LGBT adalah untuk memanipulasi pola pikir generasi muda”, dan, katanya juga, kaum LGBT di NKRI tidak perlu dilindungi, tapi harus diperangi./75/ Selain itu, sang pejabat tinggi NKRI itu juga menempatkan gerakan LGBT di Indonesia sebagai bagian dari suatu perang yang sekarang dinamakan Proxy War atau Perang Proxy (PP) yang bertujuan untuk menguasai suatu bangsa tanpa perlu bangsa lain yang menyerang itu mengerahkan kekuatan militer sendiri. Dalam PP, dipakai kekuatan pihak ketiga oleh pihak penyerang untuk mengalahkan dan menaklukkan pihak yang diserang./76

Dalam konteks NKRI, kaum LGBT itu jadinya, menurut beliau, menempati posisi ketiga yang dikerahkan dan didanai oleh pihak pertama yang menyerang (siapa pihak pertama ini? Mungkin bagi beliau, para pelaku ekonomi yang berideologi kapitalisme pasar bebas!) untuk mengalahkan dan menaklukkan pihak kedua yang sedang diserang secara tidak langsung oleh pihak pertama (siapa pihak kedua dalam NKRI ini? Mungkin menurut beliau, para pelaku ekonomi di NKRI yang berideologi antikapitalisme dan anti-pasar bebas!). 

Jika hal-hal itu yang menjadi pendapat politis beliau tentang LGBT WNI, pantas saja jika bagi beliau kaum LGBT WNI itu perlu diperangi, karena mereka ditempatkan dalam konteks perang modern soft war atau proxy war. Pilu betul hati saya mengetahui sikap dan pendirian beliau ini. Bagi saya, WNI LGBT ya WNI, dan negara yang benar ya melindungi semua warganegaranya, bukan memerangi mereka sejauh mereka tidak melakukan tindak kriminal atau terorisme atau makar. Jauh dari akal sehat dan akal ilmiah saya bahwa LGBT WNI kini sedang dilibatkan dalam perang modern di dalam NKRI! Cara berpikir yang militeristik ini, bahayanya, juga bisa dikenakan pada gerakan-gerakan kelompok-kelompok minoritas apapun dalam NKRI, misalnya komunitas Ahmadiyah atau komunitas Syiah atau komunitas etnis minoritas manapun, atau bahkan pada semua perusahaan multinasional yang beroperasi dalam wilayah NKRI, apalagi dalam era MEA yang dimulai 2016.

Ya, betul, gerakan LGBT di Indonesia dewasa ini memang marak, tapi bukan dalam konteks soft war atau proxy war. Mereka aktif hanya dengan satu tujuan: berjuang untuk HAM mereka diakui sama seperti HAM para hetero diakui. Juga sangat mustahil mereka yang berjumlah sangat kecil ini sedang melakukan aksi pencucian otak generasi muda mayoritas besar yang bukan LGBT. Tak ada kekuatan pada LGBT WNI untuk melakukan aksi keji cuci otak kaum muda. Segala kecurigaan mudah sekali ditujukan kepada kaum LGBT yang rentan. Pada sisi lain, yang sangat mungkin terjadi malah sebaliknya: kalangan hetero yang berideologi anti-LGBT punya banyak kekuatan untuk memusnahkan LGBT bak seekor gajah dengan tapak kakinya yang besar dengan tenang dan mudah menginjak seekor semut sampai lumat.

Di seluruh dunia, LGBT itu minoritas, juga di Indonesia. Maksimal di NKRI saya perkirakan hanya ada 0,5 persen saja yang LGBT dari 270 juta kepala, dan hanya sedikit yang sudah “coming out”, terang-terangan menyatakan diri kepada publik bahwa mereka ada. Sisanya tetap silent and hidden. Jadi adalah suatu kecemasan dan kecurigaan yang berlebihan jika ada kalangan yang berasumsi bahwa kaum LGBT akan merebut seluruh kendali dunia entah lewat soft war atau hard war atau proxy war.

Lagipula, dengan sains-tek reproduktif baru, para homoseksual juga bisa punya anak sendiri yang satu gen dengan mereka lewat sel-sel kulit mereka yang dengan bantuan gen SOX17 dapat diubah dan diprogram ulang untuk menjadi sel-sel pendahulu sel sperma dan sel telur yang dapat dipertemukan untuk menghasilkan janin manusia yang sehat. Anak-anak dari orangtua LGBT tidak otomatis akan jadi LGBT juga. Ada banyak faktor lain yang berperan yang akan membentuk OS mereka.

Siapapun yang sedang terkena paranoia, sebaiknya berkonsultasi dengan seorang psikiater. Bukan LGBT-nya yang dibawa ke psikiater untuk direparasi. Daripada jilat pantat dan terkena paranoia, mari kita nikmati es krim saja dengan lidah kita. Nikmat dan fresh.


Ketika seorang saintis ditaklukkan agama! 

Sikap dan posisi para saintis jelas sangat berbeda dari sikap para agamawan dan hakikat agama. Agama dan para agamawan memandang semua pengetahuan kuno manusia di era pra-modern dan pra-ilmiah tentang seksualitas, yang masuk ke dalam kitab-kitab suci zaman dulu, sudah final dan benar mutlak. Ketika mereka diminta untuk memberi bukti-bukti atas klaim mutlak-mutlakan mereka ini, mereka selalu mengelak dengan menjawab, “Wah, itu semua wahyu Allah yang pasti tidak bisa salah.” Betulkah? Ya, betul, sejauh hanya sebagai asumsi-asumsi belaka tanpa pembuktian empiris klinis apapun. Dengan sikap seperti ini tentu saja mereka tidak akan pernah bisa membicarakan orientasi seksual manusia di ranah ilmiah, kapan pun juga. Yuuupp memang betul, agama apapun adalah kepercayaan, pengimanan, terhadap fenomena jagat raya.

Begitu juga, jika seseorang yang sudah menjalani studi panjang dalam dunia sains, lalu telah lulus menjadi seorang doktor, seorang Ph.D., tetapi, setelah itu, semua pikirannya masih dikendalikan mutlak oleh agamanya, maka dia akhirnya akan berubah juga menjadi seorang pseudosaintis, alias saintis gadungan. Dan sebagai pseudosaintis, dia akan memelintir sains apapun untuk dicocok-cocokkan dengan kemauan agamanya dengan segala cara. Untuk orang yang semacam ini, temuan-temuan sains modern tentang homoseksualitas pun akan dengan segala cara berusaha dia telikung di sana-sini, dan akhirnya dia akan abaikan sama sekali, atau dia kabarkan ke mana-mana bahwa pandangan-pandangan saintifik tentang orientasi seksual semuanya salah. Yang benar, katanya, hanyalah apa yang telah ditulis dalam kitab sucinya!

Saintis gadungan yang telah ditundukkan oleh agama mereka ini ada sangat banyak, bukan hanya di negara-negara berkembang seperti Indonesia, tapi bahkan juga di negara maju Amerika Serikat, misalnya Dr. Ben Carson yang sudah disinggung di atas. Status Carson yang pernah dikenal sebagai seorang dokter yang hebat di bidangnya (yakni sebagai dokter pertama di dunia yang sukses memisahkan bayi kembar siam) kini sedang dirusaknya sendiri oleh kepercayaan-kepercayaan keagamaannya sebagai seorang Kristen evangelikal skripturalis literalis, yang mengendalikan seluruh pikiran, pengetahuan dan perasaannya.   


Hiduplah dengan hepi! 

Jadi, jika anda memang seorang homoseksual, dan anda percaya bahwa OS anda ini genetis, bawaan kelahiran, ya hiduplah dengan happy, jangan tertekan, dan jika memungkinkan, berterusteranglah kepada semua orang, kepada masyarakat anda, bahwa anda memang memiliki OS homoseksual, tentu lewat gaya hidup dan pergaulan yang sesuai dengan tata-krama pergaulan yang pantas dalam masyarakat anda. Jangan berlebihan.

Jika anda merasa sendirian, ya carilah dan temukan komunitas-komunitas yang dapat menerima anda apa adanya, seperti semua anggota yang lainnya juga dapat menerima diri mereka apa adanya dan merasa happy dalam kehidupan mereka. Jika anda dan pasangan sejenis anda tidak bisa menikah resmi karena ketentuan hukum yang mendukung perkawinan sejenis tidak ada, ya anda hidup bersama saja tanpa ikatan perkawinan yang resmi. Negara memang tidak perlu mencampuri. 

Tetapi saya mau membangun semangat anda. Lewat perjuangan yang tidak kenal lelah, anda masih bisa punya masa depan yang bagus. Belajarlah dari kasus yang mau saya beberkan berikut ini, khususnya yang menyangkut kasus hukumnya, yang pernah sangat terkenal di Indonesia di awal 1970-an. 

Kasus ini menyangkut kaum waria (lakuran kata-kata “wanita” dan “pria”) atau “transgender”. Waria (pernah juga disebut wadam”, lakuran hawa dan adam) adalah seorang insan yang secara lahiriah kelihatan sebagai pria, tetapi dalam kehidupan sehari-hari menampakkan pola-pola kelakuan, perasaan, sifat, gerak-gerik, dan pembawaan sebagai wanita. Ada sejumlah waria di Indonesia yang sudah mengganti kelamin mereka, dari kelamin pria menjadi kelamin wanita. Ada yang melakukannya diam-diam, dan ada yang menjadi terbuka dalam masyarakat karena mereka memperjuangkan status hukum mereka setelah mengganti kelamin. Saya ingin anda fokus pada perjuangan waria Iwan Robbyanto Iskandar di ranah hukum.

Iwan Robbyanto Iskandar dilahirkan sebagai lelaki, 1 Januari 1944, dengan nama China Khan Kok Hian. Tetapi sejak kecil, khususnya sejak dia berusia 5 tahun, pola-pola kelakuan, sifat, gerak-gerik, dan pembawaannya menunjukkan dia wanita. Akhirnya, ketika sudah dewasa, dia menjadi perempuan lewat operasi dan terapi hormonal di RS Universitas Singapura, pada Januari 1973. Ketika sudah jadi perempuan, pada September 1973 dia mengajukan permohonan ke pengadilan negeri Jakarta Barat-Selatan untuk statusnya sebagai perempuan diabsahkan. Waktu itu kasusnya menjadi isu yang panas dibicarakan dalam masyarakat. Sejumlah lembaga keagamaan mengutuknya. Sebagian masyarakat bersimpati kepadanya dan membelanya, termasuk lembaga-lembaga yang bergerak dalam kajian-kajian seksualitas manusia. 

Akhirnya pada 11 November 1973, pengadilan mengabsahkan Iwan sebagai seorang perempuan dengan nama Vivian Rubianti Iskandar. Lalu Vivian menikah, dengan mencatatkan perkawinannya di catatan sipil awal November 1975. Sayang, pernikahannya kandas dan selanjutnya dia memilih berdiam di Australia.

Saya jadinya merenung-renung. Mungkin jauh lebih baik dan jauh lebih membahagiakan jika Iwan Robbyanto Iskandar dulu bertahan dengan happy dan relaks saja sebagai waria, dan sangat mungkin dia akan bisa berbahagia dan hidupnya teraktualisasi jika keluarga dan masyarakatnya menerimanya apa adanya, sebagai waria.

Tetapi, bagi saya pada kesempatan ini, hal yang menarik adalah diskusi-diskusi tentang aspek-aspek hukum penggantian kelamin pria Iwan Robbyanto Iskandar menjadi wanita Vivian Rubianti Iskandar. Waktu itu, Adnan Buyung Nasution menjadi pengacara yang memperjuangkan pengakuan negara atas status barunya sebagai perempuan. Tentang ini, saya kutipkan satu paragraf bagus dari sebuah kolom yang saya temukan via Internet, berikut ini:
“Secara hukum, ada yang berpendapat pengadilan seharusnya menolak permohonan Iwan. Alasannya, belum ada undang-undang (UU) yang mengatur pergantian kelamin dan hakim bukanlah pembuat UU. Adnan Buyung Nasution, pengacara Iwan, berpendapat sebaliknya. Belum adanya UU justru merupakan sebuah kesempatan bagi para hakim untuk membuat hukum. Permohonan pengesahan status yang diajukan Iwan tidak boleh ditolak hanya karena belum ada UU yang mengaturnya. Ini sesuai pula dengan UU tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman tahun 1970./77
Nah, pahamilah, ketiadaan ketentuan hukum apapun di NKRI sekarang ini untuk perkawinan sesama jenis tidak berarti masa depan anda gelap sama sekali. Berjuanglah bersama rekan-rekan anda dan semua orang lain yang memahami anda, tentu dengan cara-cara yang lemah-lembut, cerdas, sabar, bersahabat, happy, pantas, bermartabat, dan dengan kepercayaan bahwa Tuhan yang mahapengasih dan mahapenyayang tidak pernah akan meninggalkan anda

Nah, untuk orang-orang lain yang suka melecehkan bahkan membenci para homoseksual, umumnya karena alasan-alasan keagamaan yang kolot dan karena memang tidak mengikuti perkembangan kajian-kajian sains atas homoseksualitas, saya mau kutipkan pernyataan Paul Henry Gebhard dalam sebuah artikelnya di Encyclopaedia Britannica yang berjudul “Human Sexual Behaviour”, bahwa 
“Setelah segalanya diperhitungkan, maka seperti semua aspek penting lainnya dalam kehidupan manusia, seksualitas juga harus ditangani pada level individual dan level sosial, dengan sekaligus memakai rasionalitas, sensitivitas, dan toleransi. Hanya dengan sikap seperti ini, masyarakat dapat menghindari masalah-masalah individual dan sosial yang muncul dari kebodohan dan kesalahan konsep.”/78/
Kalau anda memakai dalil-dalil agama untuk menolak hak hidup dan hak bermasyarakat kalangan LGBT, berilah juga ruang lebar untuk orang bersikap simpatik dan empatetik terhadap kalangan ini atas dasar temuan-temuan ilmu pengetahuan modern tentang orientasi seksual

Tokh kita semua sudah tahu, ilmu pengetahuan itu tidak memihak ideologi apapun (meskipun para politikus dan para pengpeng kerap juga berusaha keras untuk mencari dan memperoleh banyak keuntungan pribadi dari dunia sains), tetapi berlaku universal, dan dinamis, dan kini sudah dan sedang masuk ke semua bidang kehidupan kita, bahkan mengendalikan kehidupan kita

Di tangan para saintis agung, ilmu pengetahuan (dan teknologi sebagai terapan teknisnya) menjadi suatu wahana paling cerdas untuk memajukan peradaban manusia, bukan hanya di planet Bumi ini, tetapi juga demi mempertahankan kehidupan spesies Homo sapiens ketika nanti spesies ini, dalam proses evolusi mereka (yang alamiah dan yang dirancang sendiri lewat teknologi), akan membangun sebuah peradaban sistem Matahari, yang akan disusul dengan sebuah peradaban galaktik dan seterusnya. 

Soal LGBT hanyalah soal setitik debu partikel dalam kosmos kita yang tanpa batas dan terus mengembang makin cepat, dan abadi. Masih ada segunung persoalan lain yang sangat jauh lebih besar yang kita semua sedang dan akan hadapi dengan cerdas.


Penutup

Saya melihat, ada tiga pilihan dalam menghadapi isu seksualitas manusia, khususnya homoseksualitas: pertama, bersikap acuh tak acuh karena merasa isu ini bukan urusan anda; kedua, menanggapinya dengan kebodohan dan fanatisme karena memegang keyakinan-keyakinan lama dan kolot tentang homoseksualitas; atau, ketiga, menanggapinya dengan cerdas dan memberi sikap yang tepat berdasarkan masukan-masukan dari ilmu pengetahuan dan etika. 

Perlu diingat bahwa gagasan tentang OS HLGBTIQ muncul ke permukaan lalu menjadi sebuah gagasan yang makin umum baru pada abad ke-20 ketika seksualitas manusia mulai dikaji secara saintifik. Di zaman-zaman kuno ketika berbagai kitab suci ditulis konsep OS sama sekali belum dikenal; sains yang mempelajari seksualitas manusia secara klinis belum ada. Jadi, jangan memaksa membawa masuk dunia kuno ke dalam zaman modern, zaman di mana sains telah dan sedang memasuki nyaris semua bidang kehidupan manusia demi kebahagiaan, kesehatan dan daya tahan kita semua.

Supaya orang dengan OS homoseksual diperlakukan setara dengan orang dengan OS heteroseksual, dan juga supaya para heteroseksual diperlakukan sama dengan para homoseksual, saya memandang perlu untuk kalangan heteroseksual dimasukkan ke dalam LGBTIQ sehingga singkatan yang lebih inklusif dan adil adalah HLGBTIQ. Saya berharap, seterusnya singkatan HLGBTIQ dipakai dalam setiap percakapan atau tulisan atau ketentuan hukum (nasional dan internasional) tentang OS. 

Saya sekarang perlu menegaskan dengan kuat, bahwa saya sama sekali tidak mampu untuk menentukan apakah NKRI nantinya mau melegalisasi perkawinan sesama jenis atau tidak. Untuk bergerak ke arah sana, saya sama sekali tidak punya kekuatan apapun, karena saya bukan seorang politikus tangguh yang duduk di lembaga legislatif negara ini. Saya hanyalah seorang kawulo kecil yang sedang berusaha mengamalkan agama besar Kebaikan Hati. 

Tujuan saya yang utama menulis panjang lebar di atas tentang orientasi seksual, khususnya homoseksualitas, adalah untuk mencelikkan mata masyarakat Indonesia di manapun bahwa orang-orang LGBT adalah orang-orang yang tidak memilih diri mereka sendiri sejak dalam rahim ibu mereka untuk menjadi LGBT. Ada faktor-faktor biologis dan genetis yang berpengaruh kuat dalam membentuk mereka menjadi LGBT, yang mereka tidak bisa tolak atau lawan ketika dilahirkan.  

Jadi, sebagaimana kita bisa menerima dan bisa mencintai lelaki dan perempuan heteroseksual, mustinya kita bisa juga menerima dan bisa mencintai kalangan LGBT, sebagai sama-sama ciptaan sang Khalik yang mahabesar, al-Rahman dan al-Rahim. Tuhan yang mahapenyayang ini telah menciptakan bintang Matahari kita supaya cahayanya, panasnya dan terangnya memberi manfaat besar bagi kehidupan setiap insan dari orientasi seksual apapun.

Sebagai penutup, saya sekali lagi ingin membangun semangat anda yang LGBT dengan mengacu ke kasus pedangdut SJ yang kini (Februari 2016) sedang ditangani pihak kepolisian RI atas laporan seorang lelaki muda korbannya. Kasus ini, memprihatinkan sekali, kini sedang dijadikan dalih oleh banyak ideolog anti-LGBT untuk makin mendiskreditkan kalangan LGBT. Kata mereka, itulah kebejatan moral para LGBT dengan mereka mengacu ke SJ yang sudah dikonfirmasi sebagai gay dan juga pedofilik. Dengan dalih ini mereka makin bertekad kuat untuk memerangi LGBT di Indonesia.
  
Sejumlah orang, karena kasus SJ itu, bertanya kepada saya, “Bagaimana nih Pak jadinya ke depan untuk kalangan LGBT?” Berikut ini jawaban pendek saya.
“Sama seperti banyak hetero yang mata keranjang, pacaran di tempat umum dengan berlebihan, mempraktekkan freesex, suka pesta seks gila, suka narkotik, jadi playboys/playgirls, dan suka cari dan bersetubuh dengan PSK ganti-ganti, dari kelas rendah hingga kelas atas, dan banyak yang terkena dan menularkan HIV/AIDS, mengkhianati istri/suami, tentu ada juga LGBT yang berlebihan. Tapi sama seperti ada banyak hetero yang punya martabat dan kawin monogamis, begitu juga halnya dengan LGBT. Realistiklah dalam memandang dunia ini.”
Jika ada rekan yang LGBT, jalanilah kehidupan anda dengan relaks, kalem, cerdas, happy, jangan mata keranjang, jangan suka freesex. Pilihlah satu saja mitra hidup sejati, setia sampai mati satu sama lain, dan kerja keras dan kerja cerdaslah untuk dapat penghasilan halal. Jika ini jalan hidup teman-teman LGBT, maka anda semua adalah LGBT yang punya self-esteem, punya harkat dan martabat diri. Apalagi jika anda punya IQ tinggi. Bangun dan kembangkan sains dan teknologi di negeri kita supaya lewat anda yang LGBT, Indonesia dapat menjadi negara maju yang mampu bersaing di arena global dalam dunia sains dan teknologi. Jika anda LBGT yang percaya diri, happy, relaxed, dan mampu mempertahankan harkat dan martabat anda dengan agung, maka dalam psikologi anda digolongkan sebagai LGBT tipe sintonik.

Saya menganjurkan semua LGBT dan para ideolog anti-LGBT membaca dua buku ini yang membeberkan peran besar dan bermartabat yang pernah disandang para LGBT sejak zaman kuno dan seterusnya. Buku pertama karya Allan Bérubé, Coming Out Under Fire: The History of Gay Men and Women in World War II./79/ Buku kedua karya Robert Aldrich dan Garry Wotherspoon, Who’s Who in Contemporary Gay and Lesbian History: From Antiquity to World War II (2 jilid)./80/

Akhirnya, jika kalian LGBT, katakan serentak dengan lemah-lembut, “We are proud of being dignified and noble LGBT humans!” 



Notes

/1/ Lihat JAMA: Gay Is Okay With APA (American Psychiatric Association); tersedia online di http://www.soulforce.org/article/642. 

/2/ Lihat Suzanne Trimel (Direktur Komunikasi IGLHRC), “UN Human Rights Council Votes to Support LGBT Rights”, OutRight Action International, pada https://www.outrightinternational.org/content/un-human-rights-council-votes-support-lgbt-rights. Lihat juga kertas kerja HRC PBB tanggal 24 September 2014 (format PDF) pada https://www.outrightinternational.org/sites/default/files/HRC-27-L27-rev1.pdf. 

/3/ Halaman 30. “Case No. S147999 in the Supreme Court of the State of California, In re Marriage Cases Judicial Council Coordination Proceeding No. 4365(…) – APA California Amicus Brief― As Filed”, pada http://www.courtinfo.ca.gov/courts/supreme/highprofile/documents/Amer_Psychological_Assn_Amicus_Curiae_Brief.pdf 

/4/ Lihat berita Heru Margianto, Homoseksual Bukan Penyimpangan Seksual, Kompas.com, 11 November 2008, pada http://nasional.kompas.com/read/2008/11/11/13081144/Homoseksual.Bukan.Penyimpangan.Seksual.

/5/ Lihat Yunanto Wiji Utomo, Nyatakan LGBT Gangguan Jiwa, dr. Fidiansyah Dituding Menutupi Kebenaran, Kompas.com, 19 Februari 2016, pada http://sains.kompas.com/read/2016/02/19/16141561/Nyatakan.LGBT.Gangguan.Jiwa.dr.Fidiansyah.Dituding.Menutupi.Kebenaran.

/6/ Sarlito Wirawan Sarwono, LGBT Gaul, Gatra News, No. 14, tahun XXII, 5 Februari 2016, pada http://www.gatra.com/kolom-dan-wawancara/185467-lgbt-gaul.

/7/ Saul Levin, “Homosexuality as a Mental Disorder Simply Not Backed Up by Science”, American Psychiatric Association, 10 March 2016, pada http://psychiatry.org/news-room/apa-blogs/apa-blog/2016/03/homosexuality-as-a-mental-disorder-simply-not-backed-up-by-science. Pranala ke naskah asli PDF surat APA tersedia dalam artikel Saul Levin ini. 

/8/ Lihat berita “Dokter yang sebut LGBT penyakit jiwa minta maaf”, Rappler.com, 24 Maret 2016, pada http://www.rappler.com/indonesia/126952-fidiansyah-minta-maaf-lgbt-penyakit-jiwa.

/9/ Lihat Agus Lukman, Diprotes Asosiasi Psikiater Amerika Soal LGBT, Ini Tanggapan PDSKJI, KBR, 17 Maret 2016, pada http://m.portalkbr.com/nasional/03-2016/diprotes__asosiasi_psikiater_amerika_soal_lgbt__ini_tanggapan_pdskji/79483.html.

/10/ Lihat reportase Robert Barnes, “Supreme Court rules gay couples nationwide have a right to marry”, The Washington Post, 26 June 2015, pada http://www.washingtonpost.com/politics/gay-marriage-and-other-major-rulings-at-the-supreme-court/2015/06/25/ef75a120-1b6d-11e5-bd7f-4611a60dd8e5_story.html.

/11/ Lihat Pew Research Center, “Section 2: Knowing Gays and Lesbians, Religious Conflicts, Beliefs about Homosexuality. Gay or Lesbian Friends and Support for Same-Sex Marriage ”, Pew Research Center, 8 June 2015, pada http://www.people-press.org/2015/06/08/section-2-knowing-gays-and-lesbians-religious-conflicts-beliefs-about-homosexuality/. 

/12/ Lihat berita “Sikap PGI terhadap Pernikahan Sesama Jenis”, Jawaban.com, 1 Juli 2015, pada http://www.jawaban.com/read/article/id/2015/07/01/90/150701115541/Sikap-PGI-Terhadap-Pernikahan-Sesama-Jenis.

/13/ Lihat berita “PGI: Gereja Tak Restui Pernikahan Sejenis”, Republika Online, 10 Juli 2015, pada http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/15/07/10/nr9qur-pgi-gereja-tak-restui-pernikahan-sejenis.

/14/ Lihat reportase “Gereja Katolik Tidak Mengakui Perkawinan Sejenis”, Suara Indonesia Baru, 5 Juli 2015, pada http://hariansib.co/mobile/?open=content&id=66400.

/15/
Untuk makalah ilmiah penemuan ini, lihat M. Azim Surani, Naoko Irie, Leehee Weinberger, et al., “SOX17 Is a Critical Specifier of Human Primordial Germ Cell Fate, Cell, Vol. 160, Issues 1-2, 15 January 2015, hlm. 253-268, pada http://www.cell.com/cell/abstract/S0092-8674%2814%2901583-9; lihat reportase populer BBC Crew, “Two-dad babies could soon be a reality: Scientists have made human egg and sperm cells using skin from adults of the same sex”, Science Alert, 25 February 2015, pada http://www.sciencealert.com/two-dad-babies-could-soon-be-a-reality.  


/16/ John L. Allen, Jr., “Pope on Homosexual: ‘Who Am I to Judge?’”, National Catholic Reporter, 29 July 2013, pada http://ncronline.org/blogs/ncr-today/pope-homosexuals-who-am-i-judge.

/17/ Lihat reportase Jenn Selby, “Pope Francis Named ‘Person of the Year’ by Leading Gay Rights Magazine”, The Independent, 17 December 2013, pada http://www.independent.co.uk/news/people/news/pope-francis-named-person-of-the-year-by-leading-gay-rights-magazine-9009729.html.

/18/ Lihat video berita “Why Gay Marriage Poses A ‘Difficult’ Problem for Pope Francis”, The Huffington Post, 1 June 2015, pada http://www.huffingtonpost.com/2015/06/01/pope-francis-gay-marriage_n_7484106.html

/19/ Lihat Joshua J. McElwee, “Francis Strongly Criticizes Gender Theory, Comparing It to Nuclear Weapons”, National Catholic Reporter, 13 February 2015, pada http://ncronline.org/news/vatican/francis-strongly-criticizes-gender-theory-comparing-nuclear-arms. Wawancara dengan Paus Fransiskus tersebut dimuat dalam buku Andrea Tornielli dan Giacomo Galeazzi, This Economy Kills: Pope Francis on Capitalism and Social Justice (Liturgical Press, 2015). 

/20/ German Lopez, “Why Pope Francis’s meeting with Kim Davis isn’t surprising?, Vox Policy and Politics, 30 September 2015, pada http://www.vox.com/2015/9/30/9423093/pope-francis-kim-davis. Lihat juga berita tentang pertemuan Paus Fransiskus dan Kim Davis, “Pope Francis Met Privately with Kim Davis and Encouraged Her to ‘Stay Strong’”, Liberty Council, 29 September 2015, pada https://www.lc.org/newsroom/details/pope-francis-met-privately-with-kim-davis-and-encouraged-her-to-stay-strong-1.

/21/ AFP, “Dalai Lama supports gay marriage”, The Telegraph, 07 March 2014, pada http://www.telegraph.co.uk/news/worldnews/asia/tibet/10682492/Dalai-Lama-supports-gay-marriage.html.

/22/ Reza Aslan dan Hasan Minhaj, “An Open Letter to American Muslims on Same-Sex Marriage”, Religion Dispatches, 7 July 2015, pada http://religiondispatches.org/an-open-letter-to-american-muslims-on-same-sex-marriage/.

/23/ Lihat “The Bible and Homosexuality: Detailed Introduction, Part 1” di http://www.religioustolerance.org/hom_bibi.htm; juga “The Bible and Homosexuality: Detailed Introduction, Part 2” di  http://www.religioustolerance.org/hom_bibi1.htm.

/24/ Lihat “Context and analysis of Leviticus 18:22” di http://www.religioustolerance./hom_bibh4.htm; Paul Turner, “Seeds of Hope: ‘But Leviticus Says’”, Whosoever, di http://www.whosoever.org/seeds/letter84.shtml; dan juga Anon, “What does Leviticus 18:22 really say?”, Pamphlet, National Gay Pentacostal Alliance (NGPA), P.O. Box 20428, Ferndale, MI.

/25/ Lihat “Leviticus 20:13” di http://www.religioustolerance.org/hom_bibh3.htm.

/26/ Untuk informasi tentang konteks religius kultural surat Roma, khususnya bagian-bagiannya yang mengacu ke perilaku seksual, lihat R. S. Truluck, “The six Bible passages used to condemn homosexuals”, di http://www.truluck.com/html/; dan artikel “Free to be gay: A brief look at the Bible and homosexuality”, Universal Fellowship of Metropolitant Community Churches”, di http://www.ualberta.ca/~cbidwell/UFMCC/.

/27/ Lihat “Romans 1:26-27. Introduction” pada http://www.religioustolerance.org/hom_bibc3.htm.

/28/ Lihat artikel “Homosexuality in the Christian Scriptures, the ‘clobber passages’, 1 Timothy 1:9-10” di http://www.religioustolerance.org/hom_bibc7.htm.

/29/ Lihat tafsiran 1 Korintus 6:9-10 dalam http://www.relgioustolerance.org/hom_bibc1.htm.

/30/ Paul Thomas Cahill, “An Investigation into the Bible and homosexuality” di http://www.christianlesbians.com/.

/31/ Lihat artikel “Meanings of the Greek word ‘arsenokoitai’ (1 Corinthians 6 and 1 Timothy 1)” di http://www.religioustolerance.org/homarsen.htm

/32/ Lihat artikel “How to be true to the Bible and say ‘Yes’ to same-sex unions”, di http://members.aol.com/DrSwiney/bennett.html; lihat juga “Celebrating diversity: texts recently applied to homosexuality”, di http://members.tripod.com/~uniting/resource/bible.html.

/33/ Paul Thomas Cahill, “An Investigation into the Bible and homosexuality” di http://www.christianlesbians.com/; lihat juga Justin Cannon, “The Bible, Christianity and Homosexuality”, di http://www.truthsetsfree.net/study.html.  

/34/ Selain sumber-sumber yang sudah dirujuk di atas, kajian atas kata arsenokoitÄ“s juga dapat dilihat pada “Homosexuality in the Christian Scriptures, the ‘clobber passages’, 1 Timothy 1:9-10” di http://www.religioustolerance.org/hom_bibc7.htm.

/35/ Untuk berbagai kemungkinan arti kata pornea, lihat kata “fornication” dalam The American Heritage® Dictionary of the English Language, edisi keempat, di http://www.dictionary.com/; dan Strong’s Concordance di http://www.freedom2201. tripod.com/.   

/36/ Dalam The New Oxford Annotated Bible Revised Standard Version (editor: Herbert G. May & Bruce M. Metzger) (New York: Oxford University Press, 1962, 1973), frasa sarkos heteras pada Yudas 1:7 diterjemahkan sebagai “unnatural lust” (begitu juga NRSV edisi 1989). Harper Collin’s New Revised Standard Version of the Bible memberi komentar pada catatan Yudas 1:7 demikian, “Orang-orang Sodom mencoba berhubungan seks dengan para malaikat”.  

/37/ Untuk tafsiran ini, lihat komentar atas Yudas 1:7 pada http://www.religioustolerance.org/hom_bibc2.htm
/38/ Tentang homoseksualitas pada hewan, dua links ini menyediakan banyak informasi berharga: http://en.wikipedia.org/wiki/Homosexual_behavior_in_animals dan
http://en.wikipedia.org/wiki/List_of_animals_displaying_homosexual_behavior

/39/ Bruce Bagemihl, Biological Exuberance: Animal Homosexuality and Natural Diversity (New York: St. Martin's Press, 1999).

/40/ Lihat J.T. Eberhard, Ben Carson isnt sure if the Constitution has authority over the Bible, Patheos, 4 August 2015, pada http://www.patheos.com/blogs/wwjtd/2015/08/ben-carson-isnt-sure-if-the-constitution-has-authority-over-the-bible/. Lihat juga pada http://www.christianpost.com/news/ben-carson-asked-gotcha-question-does-the-bible-have-authority-over-the-constitution-142209/.

/41/ Lihat Pew Research Center, Section 2: Knowing Gays and Lesbians, Religious Conflicts, Beliefs about Homosexuality. Mixed Views on Why People Are gay or Lesbian, Pew Research Center, 8 June 2015, pada http://www.people-press.org/2015/06/08/section-2-knowing-gays-and-lesbians-religious-conflicts-beliefs-about-homosexuality/.

/42/ Lihat reportase Jeffrey Kluger, No Ben Carson, Homosexuality Is Not a Choice, Time, 6 March 2015, pada http://time.com/3733480/ben-carson-gay-choice-science/.

/43/ Simon LeVay, “A Difference in Hypothalamic Structure between Homosexual and Heterosexual Men”, Science, Vol. 253, No. 5023, 30 August 1991, hlm. 1034-1037, pada http://www.sciencemag.org/content/253/5023/1034.abstract.

/44/ Sumber https://mitpress.mit.edu/books/sexual-brain.

/45/ Simon LeVay, The Sexual Brain (Cambridge/London, MA/UK: MIT Press1993,1994), hlm. xi-xii. 

/46/ Simon LeVay, The Sexual Brain, hlm. xiii-xiv.

/47/ Simon LeVay, The Sexual Brain, hlm. 120-121.

/48/ Simon LeVay, The Sexual Brain, hlm. 122. 

/49/ Simon LeVay, The Sexual Brain, hlm. xiv.

/50/ Simon LeVay, The Sexual Brain, hlm.129.  

/51/ Simon LeVay, The Sexual Brain, hlm. xii.

/52/ Simon LeVay, The Sexual Brain, hlm. 108-109. 

/53/ Simon LeVay, The Sexual Brain, hlm. 137.

/54/ Simon LeVay, The Sexual Brain, hlm. 129.

/55/ Simon LeVay, Gay, Straight, and the Reason Why: The Science of Sexual Orientation (New York, N.Y.: Oxford University Press, 2011), hlm. xiv-xv.

/56/ Laura S. Allen dan Roger A. Gorski, “Sexual Orientation and the Size of the Anterior Commissure in the Human Brain”, The Proceedings of the National Academy of Science, USA, Vol. 89, August 1992, hlm. 7199-7202, pada https://timedotcom.files.wordpress.com/2015/03/7199.full.pdf

/57/ Lihat kolom Kelly Servick, “Study of gay brothers may confirm X chromosome link to homosexuality”, Science, 17 November 2014, pada http://news.sciencemag.org/biology/2014/11/study-gay-brothers-may-confirm-x-chromosome-link-homosexuality. Untuk makalah ilmiah kajian ini, lihat J.M. Bailey, Alan R. Sanders, E.R. Martin, et al., “Genome-Wide Scan Demonstrates Significant Linkage for Male Sexual Orientation”, Psychological Medicine, Vol. 45, Issue 07, May 2015, hlm. 1379-1388, pada http://journals.cambridge.org/action/displayAbstract?fromPage=online&aid=9625997&fileId=S0033291714002451

/58/ Lihat bab 10 buku LeVay, Gay, Straight, and the Reason Why: The Science of Sexual Orientation (New York, N.Y.: Oxford University Press, 2011).

/59/ Lihat Lalumière ML, Blanchard R, Zucker KJ, “Sexual orientation and handedness in men and women: A meta-analysis”, NCBI. Psychological Bulletin, July 2000, No. 126 (4), hlm. 575-592, pada http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/10900997.

/60/
Simon LeVay, The Sexual Brain, hlm. 118.


/61/ Lihat Rahman Q, Clarke K, Morera T, “Hair whorl direction and sexual orientation in human males”, NCBI. Behavioral Neuroscience, April 2009, No. 123 (2), hlm. 252-258, pada http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/19331448.

/62/ Kelly Servick, “Study of gay brothers may confirm X chromosome link to homosexuality”, Science, 17 November 2014, pada http://news.sciencemag.org/biology/2014/11/study-gay-brothers-may-confirm-x-chromosome-link-homosexuality.


/63/ Lihat Nicolas DiDomizio, A Surprising Number of Straight Men Are Having Sex With Other Men, Says The CDC, Connections.Mic, 8 January 2016, pada http://mic.com/articles/132129/a-surprising-number-of-straight-men-are-having-sex-with-other-men-says-the-cdc#.iZmKZqHq8.

/64/ Lihat Sara Reardon, Epigenetic tags linked to homosexuality in men: Twin study reveals five DNA markers that are associated with sexual orientation, Nature, 8 October 2015, updated 12 October 2015, pada http://www.nature.com/news/epigenetic-tags-linked-to-homosexuality-in-men-1.18530.

/65/ Lihat Colin Fernandez, The DNA test that reveals if youre gay: Genetic code clue is 70 percent accurate, claim scientists, Mailonline, 8 Oktober 2015, pada http://www.dailymail.co.uk/sciencetech/article-3265248/Homosexuality-imprinted-genes-Scientists-predict-gay-70-cent-accuracy.html.

/66/ Lihat artikel “What Research shows: NARTH’s Response to the APA Claims on Homosexuality” dalam Journal of Human Sexuality 1 (2009) 1-128; ringkasan artikel ini tersedia online di http://www.narth.com/docs/journalsummary.html.   

/67/ Lihat artikel rujukan The Lies and Dangers of Efforts to Change Sexual Orientation or Gender Identity, Human Rights Campaign, pada http://www.hrc.org/resources/the-lies-and-dangers-of-reparative-therapy.

/68/ Lihat Saul Levin, “Homosexuality as a Mental Disorder Simply Not Backed Up by Science”, American Psychiatric Association, 10 March 2016, pada http://psychiatry.org/news-room/apa-blogs/apa-blog/2016/03/homosexuality-as-a-mental-disorder-simply-not-backed-up-by-science; lihat juga idem, “New York Move to Ban So-called ‘Conversion Therapy’ Welcomed”, APA, 10 Ferbruary 2016, pada http://psychiatry.org/news-room/apa-blogs/apa-blog/2016/02/new-york-move-to-ban-so-called-conversion-therapy-welcomed.

/69/ Lihat Stefanus Yugo, Luhut: LGBT Punya Hak, Harus Dilindungi, RimaNews, 12 Februari 2016, pada http://nasional.rimanews.com/keamanan/read/20160212/261397/Luhut-LGBT-Punya-Hak-Harus-Dilindungi.
 
/70/ Frans Magnis-Suseno, Perkawinan Sejenis Tak Berdasar, Kompas.com, 23 Februari 2016, pada http://print.kompas.com/baca/2016/02/23/Perkawinan-Sejenis-Tak-Berdasar.

/71/ Simon LeVay, Gay, Straight, and the Reason Why: The Science of Sexual Orientation, hlm. xii. 

/72/ Lihat Nathaniel Scharping, When Eyebrows Colllide: Scientists Map the Genetics of Facial Hair, Discover Magazine, 1 March 2016, pada http://blogs.discovermagazine.com/d-brief/2016/03/01/gray-hair-genes-unibrow/#.Vthsmsu5Lgk.

/73/ Lihat reportase Stuart Wolpert, Life on Earth likely started at least 4.1 billion years ago much earlier than scientists had thought, UCLA Newsroom, 19 October 2015, pada http://newsroom.ucla.edu/releases/life-on-earth-likely-started-at-least-4-1-billion-years-ago-much-earlier-than-scientists-had-thought. Sumber primer (abstrak) lihat Elizabeth A. Bell, Patrick Boehnke, T. Mark Harrison, Wendy L. Mao, Potentially biogenic carbon preserved an a 4.1 billion-year-old zircon, PNAS vol. 112, no. 47, pp. 14518-14521; contributed by T. Mark Harrison, 4 September 2015, pada http://www.pnas.org/content/112/47/14518.abstract. Naskah format Pdf tersedia di http://www.pnas.org/content/112/47/14518.full.pdf

/74/ George Johnson, Scientists Ponder the Prospect of Contagious Cancer, The New York Times, 22 February 2016, pada http://mobile.nytimes.com/2016/02/23/science/scientists-ponder-the-prospect-of-contagious-cancer.html. 

/75/ Lihat berita Postmetro, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu Serukan Perang Melawan LGBT, Postmetro, 23 Februari 2016, pada http://www.posmetro.info/2016/02/menteri-pertahanan-ryamizard-ryacudu.html. Lihat juga berita Kecam Keras LGBT, Menhan Ryamizard: Kalau Tuhan Marah, Akan Dihancurkan Bangsa Ini”, Salam-Online.com, 28 Februari 2016, pada http://www.salam-online.com/2016/02/kecam-keras-lgbt-menhan-ryamizard-kalau-tuhan-marah-akan-dihancurkan-bangsa-ini.html.

/76/ Lihat reportase Bayu Galih, Menhan Menilai LGBT Bagian dari Proxy War yang Harus diwaspadai, Kompas.com, 23 Februari 2016, pada http://nasional.kompas.com/read/2016/02/23/22085741/Menhan.Nilai.LGBT.Bagian.dari.Proxy.War.yang.Harus.Diwaspadai. Lihat juga Kabar LGBT, Menhan Menganggap LGBT Musuh dan Menyatakan LGBT Bagian dari Proxy War, Kabar LGBT, 23 Februari 2016, pada http://kabarlgbt.org/2016/02/23/menhan-menganggap-lgbt-musuh-dan-menyatakan-lgbt-sebagai-bagian-dari-proxy-war/.

/77/ Lihat Hendri F. Isnaeni, Viva Vivian!, Historia, pada http://historia.id/budaya/viva-vivian.

/78/ Paul Henry Gebhard, “Human Sexual Behaviour”, Encyclopaedia Britannica, pada http://www.britannica.com/topic/human-sexual-behaviour/Legal-regulation.

/79/ Allan Bérubé, Coming Out Under Fire: The History of Gay Men and Women in World War II (edisi kedua; Chapel Hill: University of North Carolina Press, 2010; edisi pertama 1990).

/80/ Robert Aldrich dan Garry Wotherspoon, Who’s Who in Contemporary Gay and Lesbian History: From Antiquity to World War II (2 jilid) (London/New York: Routledge, cetakan pertama 2001).