Sunday, November 29, 2015

Saat Kuikuti di Telaga Warna



Aku terpesona saat kuikuti di telaga warna
Telur katak menetas jadi kawanan kecebong
Kecebong jadi katak gesit lompat sini sana
Lewat perubahan kehidupan melangkah plong


Dunia berubah. Sungguh!
Ini fakta. Sungguh!
Bukan khayalan. Sungguh!
Kau percaya? Sungguh?


Semua makhluk berubah!
Masa lalu berganti masa kini
Teknologi kuno dibuang jauh
Teknologi baru tampil berani


Kita berubah. Sungguh!
Dalam rahim, kita janin
Saat bayi, digendong teduh
Mulut sigap mencari nenen






Sungai tak putus mengalir
Dari hulu laju laju ke hilir
Membawa air trilyunan butir
Di lelautan akhirnya mampir


Waktu muda wajah kencang rupawan
Umur terus bertambah-tambah
Saat gaek wajah lisut tak bertahan
Akhirnya tubuh balik ke tanah


Mars dulu hanya dipandang mata
Jauh di kelam angkasa malam
Si Dewa Perang kini tak lagi dewata
Sudah ditaklukkan negeri Paman Sam


Manusia purba dulu tinggal di goa-goa
Kini manusia bangun pencakar langit
Internet menyatukan kita semua
Satu peradaban global sedang terbit


Tak ada yang tetap di kolong langit
Mengembang cepat juga sang langit
Gerak, hukum alam yang terus giat
Dalam dunia atom hingga seluruh jagat


Tanpa gerak, segala sesuatu mati
Karena gerak, segala sesuatu hidup
Aku ada dalam gerak yang abadi
Karena itu aku hidup


Awan di langit bergerak kian kemari
Bagai gumpalan kapas lalu-lalang
Dari tangga pelangi turun lima bidadari
Kabar dari sorga di Bumi berkumandang


Bayi-bayi agama lahir di lima kawasan Bumi
Dibuai diasuh lima bunda jelita bidadari
Mereka cepat tumbuh besar dan permai
Ke sana ke sini lincah bergerak berlari


Tiga berumah di padang terbakar panas mentari
Satu berdiam di gunung tinggi dingin bersalju
Satu menghuni hutan-hutan perawan lestari
Warna-warni kelimanya bersepatu dan berbaju


Lima bunda sudah pulang laju menunggang angin
Setiap bunda sempat wanti-wanti berpesan:
“Kalian semua lima saudara. Akurlah selamanya.”
“Pandanglah masa depan. Bergeraklah ke sana.”


Tapi kisahnya berlanjut bikin pilu sanubari
Tiga putera para bidadari bertikai tajam
Memperebutkan tanah buat rumah sendiri
Sengatan mentari jadikan wajah kusam seram


Agama kegeraman seram menebar teror
Dunia-dunia lain kaget, marah lalu membalas
Umat yang mau dibela pun ikut terteror
Mereka makin susah lalu nangis memelas


Putera keempat mendisiplinkan diri dalam-dalam
Lewat meditasi mengontrol laku, kalbu dan akal
Putera kelima tekun hidup selaras hukum alam
Nyawa seekor semut pun baginya sangat mahal


Saat agama terpantek jauh di masa lalu
Tak lagi ingat pesan agung sang bunda bidadari
Untuk bergerak maju ke masa depan selalu
Agama pun berubah jadi fosil yang mati


Sesuatu yang mati tak bergerak lagi
Sesuatu yang tak bergerak, sudah mati
Sesuatu yang sudah mati, tak berperan lagi
Padahal kita hidup bukan di dunia orang mati

Apalah gunanya agama yang mati dalam kelam
Sementara dunia masih hidup bersemarak?
Apalah gunanya agama yang tertambat di masa silam
Padahal zaman terus bergerak ke depan berarak?


Orang yang beragama berseru lantang:
“Hal terpenting adalah kehendak Tuhan!”
Banyak orang tentu sepakat terang-terang
Tapi, bagaimana menemukan kehendak Tuhan?


Yang diam kaku di masa lampau mematok mati:
“Dalam kitab suci kehendak Tuhan sudah tertera
Tak perlu diragukan lagi. Taati saja apa adanya!”
Merekalah para literalis skripturalis sejati


Orang yang melangkah ke depan menjawab bijak:
“Kehendak Tuhan harus dicari dan ditemukan
Lewat nalar yang kritis dan hati yang bijak
Teks suci harus dinilai apakah kini masih relevan.”


Memindahkan masa lalu ke masa kini bulat-bulat
Mendatangkan lebih banyak kutuk alih-alih berkat
Kehidupan tak bergerak mundur ke belakang
Tapi selalu maju ke masa depan tak terhalang


Agamamu, kawan, akan kehilangan peran
Dalam dunia kini yang terus berubah cepat
Jika hanya menjadi hutan doktrin kuno yang lebat
Ditinggal dunia modern sepi sendirian tak berkawan


Agama yang tanpa peran, akhirnya lenyap
Tak adaptif dengan dunia yang sudah berubah
Hanya tinggal nama dan luka kering bernanah
Hukum evolusi tak bisa dilawan dan dibekap


Kehidupan berubah alhasil tak punah
Tuhan sang Pencipta juga berubah
Dulu sang Tuhan padang-padang gurun
Kini sang Tuhan kota-kota besar modern


Tuhan gurun berpikir gurun
Tuhan kota berpikir kota
Tuhan kuna berpikir kuna
Tuhan modern berpikir modern


Tuhan Sinai bermain panas mentari
Tuhan Everest bermain salju beku dingin
Tuhan hutan bermain di akar-akar beringin
Tuhan lelautan berselancar menari


Untuk segala sesuatu ada zamannya
Untuk segala hal ada tempatnya
Ruang dan waktu berubah berganti
Di dalamnya tak ada yang abadi


Kawan, teruslah bergerak mengalir
Dari hulu hingga terus ke hilir
Dari puncak gunung sampai dasar lembah
Kepada hukum perubahan hendaklah kau pasrah dan cerah


Hanya satu hukum abadi dalam semesta
Bukan hukum agamamu yang kau mutlakkan
Juga bukan hukum negaramu yang diabsahkan
Juga bukan hukum fisika yang tertata


Tapi, kawan, itulah hukum perubahan!

Ketika jagat-jagat raya lain kita bisa masuki
Hukum dan konstanta fisika yang kita tahu
Di sana akan tidak berlaku lagi
Berganti dengan yang baru


Jangan takut dirimu berubah
Jangan takut agamamu berubah
Jangan takut duniamu berubah
Kita hidup hanya jika kita berubah!


Hukum perubahan tak bisa digugat
Gaungkan perubahan hingga ujung jagat
Kumandangkan hingga ke langit melesat
Dunia dewata juga tak boleh terlewat


Barangsiapa hidup, niscaya berubah
Hidup tanpa perubahan, sama dengan mati
Tak ada lagi akal, hati dan desah
Hidup sia-sia berjuta kali mati! 


Jakarta, 29 November 2015
ioanes rakhmat