Sunday, May 10, 2015

Beriman kepada Tuhan itu berat!


Beriman kepada Tuhan itu berat, sebab kita lebih banyak menemukan Dia tak hadir ketimbang hadir saat kita sungguh memerlukan pertolongan-Nya.

Orang yang bilang beriman kepada Tuhan itu mudah dan indah, hemat saya mereka belum beriman dengan benar dan masih hidup berkhayal dalam beragama. Beriman yang benar itu adalah tetap beriman saat Allah dialami tidak hadir dan tidak menolong.

Salah kalau orang ateis menyatakan, jika Allah dialami tidak hadir dan tidak menolong, ya tinggalkan saja Allah yang semacam itu. Orang ateis mengambil jalan gampangan; sedangkan orang beriman mengambil jalan sulit dan berat.

Beriman kepada Allah itu ibarat sudah sangat lelah mendaki gunung, tapi terus mendaki untuk sampai di puncak lalu bisa melihat keindahan alam yang menakjubkan.

Saat kita mendaki gunung menuju puncak, selain berkonsentrasi kita juga perlu gembira menikmati pendakian dan peduli kepada sesama pendaki dengan masing-masing kondisinya. 

Jika beriman kepada Tuhan itu ibarat mendaki gunung, dalam beriman kita harus berkonsentrasi sekaligus gembira dan peduli kepada sesama pendaki. Mendaki gunung itu berat. Badan musti bugar. Tenaga kuat. Tekad membaja. Gembira di hati. Solider kepada sesama pendaki. Bekal cukup.

Pendaki sejati tidak pernah merasa telah sampai di puncak. Satu puncak dicapai, cari puncak-puncak lain yang lebih tinggi di seantero Bumi. Terus mendaki, makin tinggi, masuk ke dalam awan-awan, selama hayat masih dikandung badan.

Mendaki gunung itu sulit, perlu pengetahuan cerdas tentang pendakian, piawai membaca cuaca, menguasai peta pendakian, dan nafas yang panjang, tubuh yang kuat dan bugar. 

Ada saatnya gunung mudah didaki dan tidak berbahaya, dan ada saatnya gunung menjadi sangat sulit didaki dan penuh bahaya besar. Selama mendaki, pendaki sejati biasa menemukan banyak pelajaran dan pengalaman baru yang membuat pendakian layak dilakukan dan bernilai.

Semakin sering si pendaki mendaki gunung-gunung, semakin dekat dia dengan alam dan semakin menyatu dia dengan jagat raya. Tidak heran, jika dalam dongeng-dongeng kuno para dewa kerap dikisahkan berdiam di puncak-puncak gunung-gunung yang tinggi di dunia ini. Tidak sedikit juga kisah, yang menuturkan orang-orang besar zaman lampau memperoleh pencerahan budi di gunung-gunung tinggi.

Jika Allah anda pikirkan ada di atas, maka pantaslah jika puncak-puncak gunung tinggi kerap digambarkan sebagai lokasi perjumpaan orang-orang suci dengan Allah sendiri.

Sekarang, anda duduklah bersila, tenangkan nafas, bayangkan sosok dan nama Tuhan yang anda agungkan dan bayangkan diri anda sedang berkonsentrasi mendaki gunung tinggi. Menyatulah dengan Tuhan anda dan dengan puncak gunung.

Ingatlah, beriman kepada Tuhan itu berat, apalagi menjumpai-Nya, apalagi menyatu dengan-Nya.

Jakarta, 10 Mei 2015
Ioanes Rakhmat