Saturday, April 4, 2015

Viktor E. Frankl: Temukan makna dalam azab anda!

Kalau anda ditanya, hal apa yang menjadi pendorong utama anda mau hidup, apa jawab anda? 

Kalau anda termasuk generasi milenial, yang lahir mulai 1980-an ketika media sosial mulai merasuki kehidupan kaum muda, mungkin anda akan menyatakan bahwa tujuan anda hidup ya aktif penuh 24 jam sehari dalam dunia media sosial.  

Baiklah kalau itu tujuan hidup anda sebagai generasi milenial. Tapi, apakah anda berbahagia dan menemukan makna lewat kesibukan anda di dunia media sosial?

Mari kita tengok beberapa sosok besar yang telah merenungi dan menjawab pertanyaan di atas.

Kata Sigmund Freud (1856-1939), bapak psikoanalisis, mendapatkan kesenangan, itulah faktor utama yang memacu kemauan kita untuk hidup. Dalai Lama ke-14 menyatakan hal yang serupa: tujuan utama kehidupan kita adalah mendapatkan kebahagiaan.

Bapak mazhab psikologi individual Alfred W. Adler (1870-1937) memandang menjadi individu yang holistik, tidak terpecah, untuk mendapatkan kekuasaan yang berguna untuk mengubah sesuatu agar lebih baik, adalah pendorong utama seseorang mau hidup. 

Menurut Abraham Maslow, tujuan utama kita hidup adalah menjadi orang yang berhasil mengatualisasi diri sebagai insan-insan yang bermartabat, menjadi insan-insan transenden, insan-insan kawasan adinilai, yang memberi kehidupan untuk semua orang dan dimiliki semua orang.




Anda tahu Viktor E. Frankl, Ph.D. (26 Maret 1905 – 2 September 1997), seorang neurologis dan psikoterapis keturunan Yahudi kebangsaan Austria? Dia adalah salah seorang yang selamat dari penderitaan berat Holokaus. Oleh Nazi, dia dijadikan seorang pekerja paksa di empat kamp konsentrasi Nazi (Auschwitz, Dachau, Kaufering, dan Tuerkheim) kurun 1942-1945. Kedua orangtuanya, saudara lelakinya, dan istrinya yang sedang hamil, semuanya mati, dibunuh dan mati alamiah karena sakit, selama masa-masa sulit mereka.

Kalau Elie Wiesel (lahir 30 September 1928) yang juga berhasil bertahan hidup selama Holokaus terkenal di dunia lewat novel-novel serialnya yang mengisahkan pengalaman-pengalamannya selama Holokaus, Frankl termasyhur lewat apa yang dinamakannya logotherapy.

Logoterapi adalah pendekatan yang dipakai Frankl dalam terapi kejiwaan. Kata “logos” diberinya arti “makna”. Logoterapi adalah suatu terapi kejiwaan yang membimbing orang untuk menemukan dan menyadari bahwa faktor utama yang mendorong kita mau hidup bukanlah pengejaran kesenangan atau kebahagiaan atau kekuasaan, tetapi penemuan dan pengejaran atas sesuatu yang kita pribadi pandang sebagai makna, meaning.

Mengejar dan menemukan makna, itulah yang memacu kita untuk hidup terus meskipun harus mengalami banyak azab.

Logoterapi adalah mazhab psikologi ketiga Wina setelah mazhab psikoanalisis Sigmund Freud dan mazhab psikologi individual Adler. Kalau Frankl menekankan kehendak untuk mendapatkan makna (“the will to meaning” Kierkegaard), maka Freud menekankan “the will to pleasure”, dan Adler mementingkan “the will to power” Nietzsche.

Logoterapi Frankl dibangun berdasarkan tiga prinsip tentang makna:
• Kehidupan memiliki makna dalam segala kondisi apapun, bahkan dalam kondisi-kondisi yang paling menyengsarakan;
• Motivasi utama kita hidup adalah kehendak kita untuk menemukan makna dalam kehidupan kita;
• Kita memiliki kebebasan untuk menemukan makna dalam apa yang sedang kita kerjakan dan dalam apa yang kita sedang alami, atau setidaknya dalam sikap yang kita ambil saat diperhadapkan pada situasi-situasi penderitaan yang kita tidak dapat ubah.

Frankl sungguh tahu apa artinya hidup didera azab dan kesengaraan, karena dia sungguh-sungguh mengalaminya dan melihatnya selama Holokaus.

Frankl berpendapat: kita tidak dapat menghindari penderitaan, tetapi kita dapat memilih cara bagaimana kita menghadapinya, lalu menemukan makna di dalam azab kita. Selanjutnya kita maju terus ke depan dengan tujuan-tujuan hidup yang senantiasa dibarui dan diperkuat. Baginya, kelimpahan, hedonisme dan materialisme dapat mengancam orang untuk gagal menemukan makna dalam kehidupan mereka.

Frankl telah menulis 39 buku. Salah satu buku karyanya yang terkenal berjudul Man’s Search for Meaning. Dalam buku ini, dia meriwayatkan semua pengalaman beratnya selama berada di kamp-kamp konsentrasi Nazi dari perspektif objektif seorang psikoterapis. Pada halaman 88 buku ini, dia menulis sesuatu tentang penderitaan dan makna kehidupan, demikian:

“Jika memang ada suatu makna dalam kehidupan ini, maka mustilah ada sebuah makna di dalam penderitaan. Penderitaan adalah suatu bagian dari kehidupan yang tidak dapat ditiadakan, sama halnya dengan nasib dan kematian. Tanpa penderitaan dan kematian, kehidupan manusia tidak dapat lengkap.

Cara seseorang menerima nasib dan semua bentuk azab yang ditimbulkannya, dan caranya memikul salibnya, memberinya kesempatan-kesempatan luas ―sekalipun di dalam situasi dan kondisi yang paling sulit―untuk menambah makna yang lebih dalam bagi kehidupannya. Kehidupannya akan senantiasa dijalaninya dengan berani, bermartabat dan tidak serakah.”/1/

Menurut Frankl, ada tiga jalan untuk kita dapat menemukan makna dalam kehidupan kita. Pertama, dengan menciptakan suatu pekerjaan atau melakukan suatu kegiatan; kedua, dengan mengalami sesuatu atau menemui seseorang; ketiga, dengan sikap yang kita ambil dengan bebas terhadap penderitaan yang tidak dapat kita hindari.

Menurut Frankl, segala sesuatu dapat diambil dari seseorang, kecuali satu hal terakhir, yakni kebebasan setiap orang untuk menentukan sikapnya sendiri dalam situasi dan kondisi yang melibatkan dirinya. Dia memberi gambaran tentang mendapatkan makna lewat jalan yang ketiga ini dari pengalamannya sendiri menolong orang lain. Berikut ini kisah nyata Frankl yang sangat inspiratif.

Suatu ketika, seorang dokter umum yang sudah tua datang ke saya untuk berkonsultasi mengenai depresinya yang berat. Dia tidak dapat mengalahkan rasa kehilangan atas istrinya yang telah wafat dua tahun sebelumnya. Istrinya ini sangat dicintainya, melebihi segala hal lainnya. Saya berpikir-pikir, bagaimana saya akan dapat menolongnya? Apa yang harus saya katakan kepadanya?

Saya menahan diri untuk tidak memberinya instruksi apapun, tetapi memperhadapkannya dengan sebuah pertanyaan, “Apa yang mungkin akan terjadi, Dokter, seandainya anda wafat lebih dulu, dan istrimu harus tetap bertahan hidup tanpamu lagi?” “Oh”, katanya, “baginya keadaan itu akan sangat berat; betapa dia akan sangat menderita!”

Segera saya menimpali, “Anda lihat, Dokter, dia telah terhindar dari penderitaan berat semacam itu, dan andalah yang telah meluputkannya dari penderitaan ini; tetapi kini, anda harus membayarnya dengan anda tetap hidup dan meratapinya terus.” 

Mendengar itu, sang dokter ini tidak berkata satu katapun tetapi menjabat tangan saya dan dengan tenang meninggalkan kantor saya./2/

Dalam zaman sekarang yang dicirikan modernitas dan kehidupan yang serba mentereng dan bermewah-mewah, orang umumnya takut mengalami azab dan penderitaan.

Bahkan para pemuka keagamaanpun lebih memilih hidup mentereng dan mewah, dan mengajarkan umat mereka untuk juga meraih hanya kesuksesan dan kehidupan mewah. Penderitaan dibenci, ditakuti dan mau dihindari selamanya. 

Tentu saja bagi Frankl, jika dapat dihindari, penderitaan apapun harus dihindari, bukan dicari-cari atau malah dinikmati. Dengan tegas, dia menolak masokhisme. Tulisnya,

“Salah satu prinsip dasar logoterapi adalah bahwa kebutuhan utama manusia bukanlah untuk mendapatkan kesenangan atau untuk menghindari penderitaan, tetapi untuk melihat suatu makna di dalam kehidupan mereka. Itulah sebabnya orang bahkan siap untuk menderita, tentu saja dengan syarat bahwa penderitaan mereka memiliki sebuah makna.

Tetapi baiklah saya jelaskan sejelas-jelasnya bahwa penderitaan sama sekali tidaklah harus terjadi untuk orang dapat menemukan makna. Saya hanya mau menekankan adalah mungkin kendatipun seseorang harus menderita, dia mendapatkan makna, asalkan tentu saja penderitaannya tidak dapat dielakkan.

Namun seandainya penderitaan dapat dihindari, hal bermakna yang harus dilakukan adalah menyingkirkan penyebabnya, baik penyebab psikologis, biologis maupun penyebab politis.

Jika anda mengalami penderitaan yang tidak harus terjadi, itu masokhistik, ketimbang heroik.”/3/

Tetapi, bisakah kehidupan kita terbebas sepenuhnya dan selamanya dari azab dan penderitaan? Ya, tidak bisa. Jika anda mau, cobalah cek satu per satu dari tujuh milyar lebih manusia sekarang ini (menurut Worldometer, populasi dunia di awal 2021 adalah lebih dari 7,8 milyar orang), apakah ada orang yang tidak pernah menderita dan menanggung azab.

Oleh hukum alam, segala sesuatu dalam jagat raya ini, bahkan jagat raya itu sendiri, akan mengalami saat kelahiran dan perkembangan yang ditandai kebeliaan, kekuatan dan kesehatan. Tetapi lambat laun segala sesuatu akan masuk ke masa-masa degeneratif, kemunduran, kehilangan kekuatan dan kemudaan secara bertahap, masuk ke dalam proses penuaan, lalu mengalami berbagai sakit-penyakit dan rongrongan, sampai akhirnya menjadi tua, lemah, letoi, uzur dan renta, lalu mati.

Memakai terminologi sains, kita katakan bahwa karena entropi (atau "panah waktu", "the Arrow of Time") bekerja dalam semua sistem, termasuk sistem biologis, segala hal dalam jagat raya ini pada akhirnya akan mengalami kondisi kacau, tidak tertata, lalu lenyap.

Sebagai organisme sentien yang memiliki akal, kesadaran, kehendak, emosi, dan panca indra, kita, manusia, melihat entropi sebagai penyebab serius adanya azab dan kesengsaraan dalam kehidupan kita semua. Kita mampu merenunginya dan menarik hikmah-hikmah dari azab yang sedang kita tanggung.

Azab dan penderitaan adalah bagian dari struktur dan kodrat jaga raya dan segenap isinya. Kita semua terkurung dalam struktur dan kodrat universal ini, dan sama sekali tidak bisa meluputkan diri darinya. 

Tentu saja, para ilmuwan berbagai bidang, misalnya fisika, kimia, biologi, khususnya genetika, sibernetika, kecerdasan buatan (artificial intelligence), gerontologi, dan bidang-bidang keilmuan lain yang terkait, sedang berusaha keras dan cerdas untuk mengalahkan entropi atau membalikkan arahnya, memutarbalik trajektori atau arah panah waktu. Tujuannya ya supaya manusia tidak lagi mengalami proses biologis penuaan yang dipandang sebagai suatu penyakit yang harus bisa disembuhkan.



Siddhartha Gautama (563 SM – 483 SM) semasa usianya masih belia (29 tahun) sudah menggumuli soal asal-usul azab dan penderitaan, dan bagaimana cara dan jalan untuk membebaskan orang dari duka lara. Pergumulannya ini muncul konon setelah dia di luar istana kerajaan ayahnya melihat orang sakit, orang uzur, dan orang mati.

Lewat usahanya sendiri yang sangat berat, terkait dengan pergumulannya ini, akhirnya dia menemukan Empat Kebenaran Agung tentang sebab-musabab adanya penderitaan dan Jalan Mulia Rangkap Delapan untuk orang bisa menaklukkan penderitaan, khususnya lewat manajemen pikiran kita sendiri.

Gautama menyatakan bahwa “Kita adalah apa yang kita pikirkan. Segala sesuatu mengenai diri kita, muncul dari pikiran kita. Dengan pikiran kita, kita membentuk dunia ini.”

Viktor E. Frankl pada abad keduapuluh menggumuli hal-hal yang juga digumuli Gautama Buddha jauh sebelumnya. Frankl juga berhasil menemukan jawabannya, dan dari situ dia membangun logoterapi yang memberi makna agung buat kehidupannya.

Nasihat Frankl kepada kita: Kehidupan ini selalu berisi azab dan kesengsaraan. Jangan takut untuk menghadapinya. Temukan makna di dalam semua penderitaan anda.

Jika anda mampu menemukan makna di dalam penderitaan anda, maka penderitaan akan anda pandang sebagai sesuatu yang edukatif, yang mampu mendidik dan mencerahkan anda, dan akibatnya lewat penderitaan yang bertubi-tubi, anda akan dapat hidup dengan berani, bermarwah dan penuh kemurahan hati.

Ya, lewat penderitaan berat yang anda telah hadapi, anda dapat diubah menjadi seorang yang memiliki solidaritas kuat terhadap orang-orang lain yang sedang menderita, dan akhirnya anda akan menerjunkan diri anda ke dalam gerakan-gerakan sosial untuk menolong dan membebaskan sesama anda yang sedang menderita. Kehadiran dan peran anda dibutuhkan sebab banyak sekali orang dalam dunia ini rentan terhadap azab dan tidak tangguh dalam memikulnya.

Jika itu yang anda lakukan, makna yang agung anda telah temukan di dalam penderitaan anda. Ketika anda berhasil menemukan makna lewat azab anda, azab anda tidak berkuasa lagi untuk membinasakan anda.

Akhir kata, saya perlu tekankan hal berikut ini, dan ingatlah selalu.

Anda sendirilah, bukan orang lain, juga bukan langit, juga bukan awan, yang harus memberi makna pada kehidupan anda, pada apa yang anda miliki atau pada apa yang sedang anda alami dan jalani, baik kesulitan besar ataupun kemudahan. Makna kehidupan anda, ada dalam diri anda sendiri. Tentukan, dan jalankan hingga tercapai, alhasil anda tak akan pernah merasa kehidupan anda tak bermakna, meaningless.

Ingat juga, depresi berat lazim ditandai oleh perasaan dan pikiran bahwa kehidupan anda tak bermakna. Jika ini terjadi, anda perlu berkonsultasi dengan seorang psikoterapis atau seorang psikiater, dan, jika depresi tidak hilang juga, anda perlu dibantu dengan obat-obat antidepresi. Sebelum memutuskan minum obat antidepresi, cobalah dulu bermeditasi dan berolahraga dan membangun pergaulan sosial yang interaktif.


Jakarta, 4-4-2015
Diedit 7 Mei 2018
Diedit lagi 28 Jan 2021

ioanes rakhmat

Catatan-catatan

/1/ Viktor E. Frankle, Man’s Search for Meaning (revised and updated; New York, N.Y. : Washington Square Press/Pocket Books, 1959, 1962, 1984, 1985), hlm. 88. Aslinya buku ini terbit 1946 dengan judul Trotzdem Ja Zum Leben Sagen: Ein Psychologe erlebt das Konzentrationslager, artinya: Bagaimanapun Juga, Katakan Ya kepada Kehidupan: Seorang Psikolog Mengalami Kamp Konsentrasi.

/2/ Viktor E. Frankle, Man’s Search for Meaning, hlm. 135.

/3/ Viktor E. Frankle, Man’s Search for Meaning, hlm. 136.