Wednesday, March 18, 2015

Jalan buntu ateisme!

Saya ditanya seorang teman ateis, bukti apa yang paling meyakinkan bahwa Tuhan itu ada. Ini pertanyaan sangat sulit dijawab. Kali ini saya akan menjawab pertanyaan ini dari sudut lain yang tidak biasa, yang akan membuat orang ateis tersudut lebih jauh lagi, masuk ke jalan buntu. Jawaban yang berupa argumen-argumen logis ontologis kerap diajukan orang, tapi tanpa bukti empiris apapun. Selogis apapun jawaban anda, jika jawaban anda ini belum diberi bukti empiris, jawaban ini belum valid. Itulah kelemahannya.



Bisakah Tuhan diredusir jadi suatu sosok empiris? Jelas, pertanyaan inilah yang diharap-harapkan oleh orang ateis karena mereka berpendapat pertanyaan ini tidak akan bisa dijawab dengan positif. Itu berarti, kata mereka dengan rasa menang, Tuhan tidak ada! Tetapi mereka salah besar! Pertanyaan ini sebetulnya sudah lama digumuli kalangan teis, sejak dulu. Karena kebutuhan untuk memberi bukti empiris bahwa Tuhan itu ada, lahirlah teologi inkarnasi: Tuhan menjelma. Tuhan menjadi manusia yang real. “Inkarnasi” (dari kata Latin in-carnis) berarti “menjadi daging”, atau menjelma.

Kekristenan, misalnya, memakai teologi inkarnasi sebagai bukti Tuhan itu ada dengan menunjuk ke Yesus Kristus sebagai sosok manusia empiris, penjelmaan Allah. Sosok Yesus betul-betul ada, real, hidup di Palestina abad pertama M, sama sekali bukan sosok khayalan yang hidup di langit. Tentu saja teologi inkarnasi hanya berlaku bagi orang yang mempercayai bahwa teologi ini benar. Bagi yang tidak, ya teologi ini salah atau tidak menggerakkan hati. Jadi, Yesus itu penjelmaan Allah, karena itu Allah ada, hanya benar bagi orang yang percaya bahwa Yesus itu penjelmaan Allah. Tetapi, persoalannya ternyata tidak sesederhana ini sebagaimana akan terlihat dalam ulasan-ulasan selanjutnya.  

Selalu ada unsur subjektif di dalam segala bentuk teologi. Unsur subjektif inilah yang dinamakan iman atau kepercayaan. Karena ada unsur subjektif ini, orang Kristen tetap percaya bahwa Yesus itu adalah bukti Tuhan itu ada, walaupun orang lain tidak percaya. Karena adanya unsur subjektif kepercayaan, orang ateis begitu saja menolak teologi inkarnasi sebagai bukti bahwa Tuhan itu ada. Segera akan terlihat, penolakan mereka ini ternyata tidak punya dasar empiris yang kuat.

Selain lewat teologi, untuk membuktikan secara empiris bahwa Tuhan itu ada, orang masuk ke wilayah nilai-nilai kehidupan. Nilai-nilai seperti keagungan moral, cinta kasih yang radikal, kebajikan agung, pengorbanan diri demi orang lain, kerap dijadikan ukuran. Argumen yang mengajukan nilai-nilai untuk membuktikan Tuhan itu ada, disebut argumen etik moral.

Kekristenan juga masuk ke argumen etik moral untuk membuktikan Tuhan itu ada, juga dengan menunjuk ke Yesus Kristus. Menurut umat Kristen, Yesus Kristus terbukti sebagai penjelmaan Allah juga dalam jalan hidup yang ditempuhnya sampai ajal. Bagi orang Kristen, Yesus Kristus memiliki cinta kasih yang radikal sehingga dia mengurbankan diri sampai mati demi keselamatan seluruh dunia. Kata orang Kristen, hanya Allah sendiri yang sanggup memberikan dirinya sendiri hingga mati demi keselamatan umat manusia. Cinta kasih yang radikal inilah yang menambah bukti lagi bahwa Yesus Kristus itu betul-betul penjelmaan Allah. Dus, umat Kristen memberi bukti bahwa Tuhan itu ada dengan mengajukan teologi inkarnasi dan cinta kasih radikal yang ada pada Yesus.

Tapi orang yang bukan Kristen akan menyatakan bahwa mereka sama sekali tidak menerima manfaat apa-apa dari cinta kasih radikal Yesus. Ya, cinta kasih radikal Yesus hanya akan berdampak pada orang yang mau mempercayainya. Jika anda tidak percaya pada seseorang, apapun yang orang ini (katakanlah, sahabat anda, atau rekan sejawat anda, atau bahkan orang yang mencintai anda) katakan dan lakukan, tidak akan punya dampak apapun pada diri anda. Ini hal yang lumrah, dan secara psikologis memang dapat dipahami.

Kata orang non-Kristen lagi, kalau cinta kasih radikal Yesus itu bukti Tuhan ada, kenapa banyak orang Kristen yang hidup tidak bermoral, jauh dari Yesus yang mereka percayai sebagai penjelmaan Allah? Orang Kristen biasanya akan menjawab bahwa cinta kasih Yesus itu bukti Tuhan ada, tidak bisa dibatalkan oleh moral orang Kristen sendiri. Kata mereka lagi dengan memakai sebuah analogi: Banyak orangtua yang sangat sayang pada anak-anak mereka tapi dibalas dengan kedurhakaan oleh anak-anak mereka. Kedurhakaan anak-anak mereka tokh tidak membatalkan kasih sayang yang mendalam yang ada pada orangtua mereka.

Begitulah, orang Kristen mengajukan argumen teologi inkarnasi dan nilai-nilai kehidupan Yesus sebagai bukti Tuhan itu ada. Tentu saja ada agama-agama lain yang juga punya teologi inkarnasi dan argumen moral etik yang sejajar dengan yang diajukan orang Kristen. Dalam Hinduisme Vaishnava, misalnya, Dewa Wisnu dipercaya telah berinkarnasi dalam minimal 10 wujud (atau 10 avatar), di antaranya adalah sosok-sosok agung Bhargava Rama, Dasaratha Rama, Krishna, dan Kalki. Selain itu, dalam Buddhisme terdapat kepercayaan bahwa sang Buddha yang akan datang, atau juga disebut sang Buddha akhir zaman, atau sang Buddha Maitreya, juga sudah menjelma dalam banyak sosok manusia yang mulia, misalnya para Lama (antara lain, Tulku Lama Dorje), Wu Zetian, dan lain-lain. Sosok yang paling populer yang dipercaya umat Buddhis sebagai inkarnasi Buddha Maitreya adalah Budai (makna harfiahnya “karung goni”, karena Budai memang selalu membawa sebuah karung goni tempat menyimpan bekalnya yang pas-pasan) atau yang juga dikenal sebagai sang Buddha Periang.

Jadi banyak agama mau membuktikan Tuhan itu ada lewat teologi inkarnasi dan nilai-nilai moral etik sosok-sosok agung yang mereka percayai. Oleh para teolog, kondisi ini diungkap demikian: karena Allah itu mahabesar, maka dia berinkarnasi dalam lebih dari satu sosok manusia suci, sejalan dengan kemajemukan kebudayaan bangsa-bangsa di dunia ini. Yesus dari Nazareth hanyalah salah satu saja dari inkarnasi Allah.

Nah, bagaimana dengan orang ateis? Jika orang ateis mau menyatakan Tuhan itu tidak ada, mereka harus menunjukkan teologi inkarnasi dan argumen moral etik itu salah. Bisakah orang ateis membuktikan keyakinan orang Kristen bahwa Yesus itu penjelmaan Allah adalah keyakinan yang salah? Bisakah orang ateis membuktikan orang Kristen salah jika mereka memakai cinta kasih radikal Yesus sebagai bukti bahwa Tuhan itu ada?

Untuk membuktikan teologi inkarnasi itu salah, orang ateis harus mempunyai kriteria apa itu Tuhan dan apa itu manusia. Dengan kriteria ini, mereka baru bisa membeda-bedakan, mana Tuhan dan mana manusia. Jelas, mereka tidak punya! Untuk menyatakan cinta kasih radikal Yesus itu bukan bukti dia Tuhan, orang ateis harus punya kriteria moral untuk Allah dan untuk manusia, supaya keduanya bisa dibedakan, mana yang memiliki cinta ilahi dan mana yang tidak. Punyakah mereka? Tentu saja mereka tidak punya!

Karena tidak punya kriteria yang saya minta, orang ateis akan langsung menyatakan, teologi inkarnasi itu hanya kepercayaan, bukan fakta! OK, saya langsung bertanya balik: Dari mana anda wahai ateis tahu bahwa teologi inkarnasi itu hanya kepercayaan dan bukan fakta? Dari mana anda tahu bahwa Yesus itu bukan penjelmaan Allah? Dari mana anda tahu bahwa cinta kasih radikal yang ada pada Yesus tidak menunjukkan dirinya inkarnasi Allah? Tentu saja, dari kepercayaan anda sendiri, bukan? Anda tidak bisa membuktikan teologi inkarnasi dan cinta kasih radikal Yesus salah, bukan? Anda, para ateis, hanya percaya saja bahwa keduanya salah. Jadi, berhadapan dengan kepercayaan orang beragama, orang ateis melawan juga dengan kepercayaan. Ya, keduanya sama-sama memegang kepercayaan. Kedua-duanya sama-sama belief.

Pasti orang ateis yang naif, berdasarkan informasi yang keliru, akan juga menyatakan bahwa Yesus dari Nazareth adalah sosok fiktif yang direka-reka umat Kristen perdana dengan memakai kisah-kisah fiktif yang sudah ada pada era kekristenan mula-mula. Dus, kata mereka, teologi inkarnasi dan cinta kasih radikal Yesus adalah isapan jempol orang Kristen! Tentang pendapat mereka ini, saya menegaskan, tidak ada sejarawan yang serius mempelajari Perjanjian Baru dan sastra-sastra lain (non-Kristen, Romawi, Yunani, dan Yahudi) yang berasal dari kawasan Laut Tengah pada era kekristenan perdana dilahirkan, akan menyimpulkan bahwa Yesus dari Nazareth adalah sosok fiktif. Kalangan mythicists (yang menyatakan dengan yakin bahwa Yesus hanyalah sosok mitologis) hidup hanya dalam dunia mitologis mereka sendiri! Kalangan ateis yang semacam ini saya anjurkan untuk membaca tulisan saya yang berjudul Seluk-beluk Studi Yesus Sejarah, terpasang di sini, jika mereka ingin memahami bagaimana mendekati sosok Yesus sejarah dari sudut pandang ilmu pengetahuan. 

In the final analysis, tidak ada sesuatupun yang membuat ateisme lebih valid ketimbang teisme. Keduanya kepercayaan. Both are beliefs. Bedanya: teisme berusaha memberi bukti-bukti pada belief mereka dengan mengajukan teologi inkarnasi dan argumen etik moral, ateisme tidak bisa. Jadi, ateisme bukan sebuah pilihan yang cerdas. Ateisme itu sebuah jalan buntu. Kenapa anda mau masuk ke jalan buntu? Bukankah akan merepotkan anda untuk nanti dengan susah payah memundurkan mobil kehidupan yang sedang anda tumpangi? Kita semua tahu, mengendarai mundur itu lebih sulit dari mengendarai maju. 

Masih ada satu segi lagi yang perlu disorot lebih jauh, yakni kepercayaan, berhadapan dengan bukti. Salah seorang rasul dari nabi ateis militan Prof. Richard Dawkins (berdiam di Inggris) membuat sebuah pernyataan di Facebook, begini: “Jika anda memilih untuk mengabaikan bukti-bukti, maka akhirnya anda akan mempercayai jawaban yang salah apapun yang hanya untuk sementara saja memenuhi keinginan anda untuk mengetahui hal yang tidak diketahui.” 

Apakah benar ajaran dari para ateis bahwa kehidupan ini baru patut dijalani kalau segala hal ada buktinya lebih dulu? Apakah percaya atau beriman itu hanya akan menimbulkan kesalahan? Apakah kehidupan yang normal dan lancar itu harus tanpa kepercayaan? Mari kita lihat. 

Nyaris kita semua percaya saja bahwa kita masih akan hidup sepanjang 2016 sehingga kita membuat banyak janji ketemu orang di tempat-tempat dan waktu-waktu tertentu dalam kurun 2016. Tidak perlu ada buktinya sekarang tuh. I simply believe that I will be still alive in 2016 so that...!    

Kita percaya saja pesawat terbang yang karcisnya sudah kita beli, nanti, seminggu lagi, akan aman menerbangkan kita ke tempat tujuan dengan selamat. Kita tidak menuntut buktinya sekarang tuh. Jika kita menuntut buktinya detik ini juga, kita akan dibilang gila oleh petugas Garuda. I simply believe that the plane will safely fly us to our destination...!    

Kita sering terima dan percaya saja pembayaran dengan giro jangka tiga bulan dalam transaksi bisnis. Tak perlu ada buktinya sekarang tuh. Malah kalau tidak ada unsur kepercayaan, bisnis kita mungkin sekali sulit maju dan tidak akan berkembang. I simply believe that this cheque is not a blank cheque...! 

Kita percaya begitu saja bahwa Matahari besok pagi akan terbit lagi dan sorenya akan terbenam lagi. Tanpa perlu buktinya detik ini juga tuh. Jika anda tidak percaya, ya minta saja NASA menerbangkan anda dengan kecepatan cahaya menuju Matahari, lalu sesampainya di sana sang Surya anda pegang kuat-kuat lalu menggiringnya untuk terbit lagi besok pagi. I simply believe that tomorrow morning the Sun will rise again...!    

Bahwa kemarin-kemarin sang Matahari telah terbit, dus berarti besok dan seterusnya juga pasti akan terbit seperti biasanya, bukanlah sebuah bukti, melainkan hanya kepercayaan anda saja bahwa masa lalu akan mengulang dirinya di masa depan dengan cara yang sama, karena hukum-hukum fisika yang bekerja masih sama. Ini yang dinamakan determinisme saintifik. Tetapi oleh mekanika quantum determinisme saintifik kini dibuat tidak mutlak lagi. Selain itu, mungkin saja terjadi, satu atau dua jam di depan ini sang Matahari kita tiba-tiba saja dilenyapkan oleh sejumlah besar pasukan alien-alien supercerdas dengan teknologi perang mereka yang kedahsyatannya tidak bisa kita bayangkan. Jadi, bahwa sang Matahari akan terbit lagi besok pagi, betul-betul hanya kepercayaan kita, kepercayaan yang berpeluang besar untuk terpenuhi.  

Sebagai suami kita percaya begitu saja pada istri kita untuk pergi ke mana mereka suka tanpa memaksa mereka memakai sehelai celana dalam besi yang digembok. Jika anda memaksa istri anda memakai sehelai celana dalam besi yang anda gembok, semua orang akan menyimpulkan bahwa anda punya masalah mental yang berat. I simply believe that my wife/husband is forever faithful to me so that it is unnecessary for me to...! 

Sebagai istri kita percaya saja pada suami kita untuk mereka pergi ke manapun mereka suka tanpa memaksa mereka memakai sehelai celana dalam besi yang digembok. Jika anda menggembok alat vital suami anda, pasti anda sedang sakit mental berat.

Kita yang sudah berumahtangga lama, tahu bahwa syarat utama sebuah hubungan asmara bisa langgeng antara pria dan wanita yang sedang berpacaran bukanlah bukti cinta mitra sekarang juga (misalnya, sedia bersetubuh), tetapi kewajiban kedua pihak untuk membangun kepercayaan dan kesetiaan timbal balik. Mutual trust/faithfulness between a man and a woman falling in love one another is the “sine qua non” for ...! 

Kita percaya saja berita telpon gelap bahwa ada sebuah bom yang siap meledak di dalam gedung, lalu kita memerintahkan para petugas satpam untuk menyisir setiap jengkal jalan-jalan dan sudut-sudut dalam semua ruangan. The manager simply believes that the bomb threat delivered by the unknown phone call is very serious that he.... 

Kanak-kanak juga percaya begitu saja bahwa sebotol susu yang diberi ke mereka oleh ibu mereka tidak berisi racun. Mereka langsung sedot tuh susu dalam botol, tanpa ragu. Children simply believe that their mothers always give them milk, not poison, in the bottles to suck.... 

Nyaris semua suami percaya begitu saja bahwa bayi yang baru dilahirkan istri mereka adalah anak mereka sendiri, bukan anak pria tetangga. Tidak ada tuh dalam kondisi normal suami meminta DNA bayi yang baru dilahirkan istrinya dites. All good husbands simply believe that the babies just born by their wives are their genuine babies so that.... 

Anda dapat mendaftarkan masih banyak lagi contoh yang menunjukkan bahwa dalam kehidupan normal, kita juga kerap percaya saja, tanpa minta bukti. Kepercayaan adalah bagian normal dari kehidupan normal kita sehari-hari. Hidup anda menjadi abnormal, susah dan tak akan jalan kalau untuk segala hal anda menuntut pembuktian langsung saat ini dan di tempat ini juga. 

Orang ateis memang tak normal, dan hidup mereka tak akan jalan, kalau untuk segala hal mereka menuntut pembuktian empiris dulu, baru setelah itu mereka bergerak. Saya membayangkan, jika para ateis mencoba hidup dengan menolak semua bentuk kepercayaan yang sudah saya berikan contoh-contohnya dalam tulisan ini, jujur saja, mereka tidak akan bisa hidup dalam dunia ini. Mereka harus tinggal di sebuah planet lain yang masih kosong sama sekali, mungkin planet Mars cocok. Mereka menderita bukan hanya penyakit mental kebencian mendidih terhadap agama-agama (yang dinamakan religiofobia), tetapi juga menderita kebencian mendidih terhadap semua bentuk kepercayaan (Latin: fidem), yang saya namakan fidofobia. Oh ya, sejauh orang ateis keras sudah tidak bisa percaya pada apapun di luar diri mereka (dan mungkin juga pada diri mereka sendiri), mereka terkena sebuah patologi mental lain yang sudah kita kenal, yakni paranoid   

Selain itu, para ateis sok bermental ilmiah, padahal para ilmuwan sendiri hidup normal juga dengan acap kali hanya percaya saja dalam kehidupan sehari-hari mereka di luar laboratorium. Pada rak-rak buku-buku mereka, banyak tuh berjejer novel-novel dan fiksi-fiksi, bahkan juga kitab-kitab suci.

Kita umumnya hidup lebih banyak di dunia sehari-hari yang real yang mengharuskan kita kerap memakai kepercayaan saja sehingga kehidupan kita berjalan dengan baik, normal, lancar, gembira dan relaks.

Bukti-bukti itu bukan hal sepele, tetapi penting dan mendasar, khususnya kalau kita masuk ke dunia sains, juga ke dunia hukum. Tetapi kehidupan normal sehari-hari juga membutuhkan banyak kepercayaan. Kepercayaan itu penting, bahkan mendasar, dan bukan hal yang sepele. Dalam banyak situasi, kita kerap melangkah hanya dengan kepercayaan.

Satu contoh. Saya, dan tentu anda juga, hingga wafat nanti, hanya percaya saja bahwa putra dan putri saya yang sekarang sudah besar adalah darah daging saya sendiri, bukan darah daging seorang pria lain, tanpa perlu saya buktikan lewat tes DNA. Ini normal, bukan? Mungkin anda yang ateis, setelah membaca paragraf ini, langsung berpikir untuk segera menguji DNA anak-anak anda untuk mendapatkan bukti-bukti apakah mereka betul-betul keturunan murni anda sendiri. Ok, itu bagus. Buktikan saja, dan kita akan bisa melihat bersama fakta ini sebagai hasilnya: rumah tangga anda akan pada waktunya hancur berantakan. Tak percaya? Ya, buktikan saja. Bukankah anda memang sudah terobsesi pada bukti?   

Saya ulangi: Kita hidup normal tidak hanya berdasar bukti, tapi juga banyak kali hanya dengan berdasar kepercayaan saja. Kepercayaan itu penting. Kepercayaan itu agung. Orang yang bisa percaya, itu tanda orang itu punya kepercayaan diri yang besar. Orang itu PD!

Jadi, salah jika para ateis mengharuskan anda hidup dengan mengutamakan bukti empiris sejalan dengan metode sains. Tak seluruh dunia ini laboratorium. Kalau dunia ini seluruhnya laboratorium sains, di mana Dunia Fantasi harus dibangun? Di mana Disneyland harus didirikan? Di mana Six Flags harus dikonstruksi? 

Dengan demikian, tidak ada yang salah jika anda percaya pada Tuhan, normal saja, sebab kepercayaan adalah bagian dari kehidupan normal kita. Tanpa kepercayaan, hidup anda mungkin sekali sarat dengan stres dan depresi.  

Hidup hanya berdasarkan bukti! Oohh.... malangnya!

Orang ateis itu ibarat orang yang sepanjang hari membawa sebuah kaca pembesar untuk menemukan bukti-bukti, sekecil apapun, di jalan-jalan yang dilewati. Kening mereka terus berkernyit. Jantung terus berdebar kencang. Tekanan darah mereka tinggi. Mata mereka kerap berkunang-kunang. Padahal orang lain di sekitar, terus melangkah dengan riang gembira, lompat-lompatan, bercanda, bermain, tertawa, mulut mengunyah permen karet, sambil saling mendongeng. Sebagian mereka terus berjalan, dengan tertawa senang, menuju sebuah gedung bioskop, membeli karcis, lalu masuk ke ruang pertunjukan, menonton kisah sosok fiktif Doraemon selama dua jam. Hati gembira, pikiran segar, ketika mereka ramai-ramai keluar, meninggalkan gedung bioskop. Dunia pun ikut tertawa, bahagia.

Jika karena anda percaya dengan tulus kepada Tuhan anda, lalu anda dengan positif berdoa kepadanya, doa anda ini akan berpengaruh positif pada hati dan pikiran anda, lepas dari soal apakah doa ini akan terkabul atau tidak. Doa itu adalah percakapan akrab antara anda dan Tuhan anda sebagai sang orangtua anda yang mencintai anda dan anda cintai. Yang menarik dari setiap percakapan adalah prosesnya.

Tentu ada kepercayaan keagamaan yang bisa tak baik atau bisa salah, sama seperti ada teori sains yang bisa tidak baik atau bisa salah. Teknik meng-edit DNA semasa manusia masih sebagai janin, yang bisa diarahkan untuk menghasilkan ras eugenik, jika betul-betul dijalankan, akan menimbulkan masalah etis yang sangat berat dan rumit. Kepercayaan kepada Tuhan yang menimbulkan fanatisme dan radikalisme, jelas kepercayaan yang buruk.

Jadi, harapan saya, kalau anda mau percaya atau beriman pada Allah yang anda percayai, ya berimanlah dengan agung, yang menghasilkan adikarya dan kebajikan besar. Tunjukkan kepada para ateis, hidup beriman keagamaan anda ceria, membahagiakan, relaks, menenteramkan, menyehatkan dan menghasilkan karya dan kebajikan besar.

Richard Dawkins dkk dlm gerakan New Atheism memandang agama itu virus yang menyerang dan merusak pikiran dan segala sesuatu dalam dunia ini. “The Dawkins Delusion”, itulah sebutan yang saya berikan ke kepercayaan dan pola pikir para New Atheists itu. Tunjukkan bahwa mereka salah besar dan memalukan, lewat iman anda yang akbar kepada Tuhan anda.  

Tunjukkan kepada para Ateis Baru yang sedang mengidap Delusi Dawkins bahwa agama anda juga punya power untuk merawat, menguatkan dan menyembuhkan dunia ini, dan sama sekali bukan virus-virus yang harus dibasmi Dawkins dkk.  

Jadi, kalau orang ateis dengan gagah tetap saja menyatakan bahwa manusia tidak memerlukan kepercayaan apapun dalam kehidupan sehari-hari di dunia yang real, tapi hanya butuh bukti-bukti, maka sesungguhnya mereka sedang menuju jalan buntu. Jika mereka tidak mau balik arah, mereka akan menabrak dinding keras, atau akan terjun ke dalam jurang yang dalam. Terserah mereka. 

Jakarta, 18-3-2015
Ioanes rakhmat