Saturday, January 10, 2015

Serangan teroris terhadap majalah satiris Charlie Hebdo, Paris

 Make peace. Do not make war!

Dunia kembali digemparkan oleh serangan teroris (Rabu, 7 Januari 2015) terhadap majalah satiris Charlie Hebdo, Paris, Prancis, yang telah menewaskan 12 orang jurnalis/editornya. 

Satir-satir karikaturis yang dipublikasi majalah Charlie Hebdo untuk menyerang agama-agama (bukan hanya agama Islam) ditempatkan oleh Prof. Caroline Weber dalam sejarah panjang gerakan antiklerikalisme radikal Prancis. Gerakan ini, dalam pandangan para editor majalah ini, bertujuan untuk mem-banalisasi (to banalize) agama-agama apapun, termasuk Gereja Roma Katolik Prancis, sehingga agama-agama tidak lagi ditabukan untuk dibicarakan dan dikritik. Ada beberapa karikatur satiris majalah ini yang menyerang GRK dengan keras, antara lain karikatur-karikatur mesum yang dikenakan pada Paus. Itu juga tujuan para editor majalah ini dengan karikatur-karikatur satiris yang menyerang agama Islam, yakni untuk membanalisasi agama ini. Kalau GRK sudah terbanalisasi, tampaknya dunia Muslim belum; entah sampai kapan. Tulisan bagus Prof. Weber ini wajib anda baca, terpasang di http://www.wsj.com/articles/charlie-hebdo-is-heir-to-the-french-tradition-of-religious-mockery-1420842456?.

Mark Juergensmeyer terkenal sebagai analis bagus atas kasus-kasus terorisme atas nama agama-agama dalam dunia kita belakangan ini. Dua bukunya dibaca sangat banyak orang, Terror in the Mind of God: The Global Rise of Religious Violence (edisi ke-3, 2003); dan Global Rebellion: Religious Challenges to the Secular State, From Christian Militia to Al Qaeda (2008).

Selain dia, Robert A. Pape juga dikenal dengan analisis-analisisnya yang kuat terhadap kekerasan-kekerasan yang dilakukan orang beragama untuk mencapai status martir. Bukunya yang mengulas suicide bombers juga banyak dibaca orang, berjudul Dying to Win: The Strategic Logic of Suicide Terrorism (2005).

Mengenai serangan teroris di Paris yang telah menewaskan 12 jurnalis majalah satiris Charlie Hebdo, yang sedang banyak disorot dan dibicarakan orang di hari-hari belakangan ini, Mark Juergensmeyer baru saja menulis sebuah analisis yang dipasang online pada blognya, dengan judul
Religion Was Not the Reason for the Paris Attack. Ini link ke tulisannya itu http://juergensmeyer.org/religion-was-not-the-reason-for-the-paris-attack/#comment-1593.

Dua paragraf terakhir dalam tulisannya itu berbunyi demikian:
 

It is not right, of course, to blame Christianity for the acts of angry young men who are Christian, even when they claim to be defending the Christian community. Similarly, Islam is not responsible for angry Muslims. Sadly, by evoking faith as an element of their bloody rage, however, they compound their crimes. They cause religion to be one more injured victim of their awful actions.
 
Saya terjemahkan:
 

Tentu saja tidak betul jika kekristenan dipersalahkan atas aksi-aksi kemarahan orang-orang muda yang sedang marah yang beragama Kristen, sekalipun mereka mengklaim bahwa mereka sedang membela komunitas Kristen. Begitu juga, Islam tidak bertanggungjawab bagi Muslim-muslim yang sedang marah. Namun susahnya, dengan mengacu ke kepercayaan keagamaan sebagai sebuah unsur dari kemarahan mereka yang menimbulkan pertumpahan darah, mereka melipatgandakan dan memperburuk kejahatan-kejahatan mereka. Mereka membuat agama menjadi salah satu korban lagi dari aksi-aksi mereka yang brutal.
 
Saya telah memberi sebuah komentar dan pertanyaan kepada Mark Juergensmeyer pada blognya itu. Demikian: 


You wrote, “Religion doesn’t cause the violence, it is the excuse for it.” That means, the religion they adhere to, legitimizes their violent actions. There is always an interaction between religious doctrines and human actions. Is this what you really mean?

Saya terjemahkan:
 

“Anda menulis, 'Agama tidak menimbulkan kekerasan; agama hanya menjadi dalih pembenaran atas kekerasan.' Itu berarti, agama yang mereka anut melegitimasi aksi-aksi kekerasan mereka. Selalu ada interaksi antara doktrin-doktrin keagamaan dan tindakan-tindakan manusia. Apakah ini yang sebetulnya anda maksudkan?”

Saya sedang menunggu tanggapan Mark Juergensmeyer. Bagaimana tanggapan anda?


Saya sendiri berpendapat, mendewasakan agama-agama lewat karikatur-karikatur keras bukanlah sebuah pendekatan yang arif, meskipun sudah ada hasilnya dalam sejarah antiklerikalisme Prancis dengan terbanalisasinya GRK sekarang ini. Tetapi yang jadi soal serius, hemat saya, adalah apakah nilai karikatur-karikatur yang keras sama dengan nilai 12 nyawa manusia lebih yang telah direnggut oleh tembakan roket-roket dan peluru-peluru tajam? Saya tidak berhasil memahami logika yang ada di dalam aksi teror ini. Bisa jadi, dalam semua aksi teror, logika yang dipakai adalah logika yang menempatkan nyawa semua manusia di tempat yang sangat rendah bahkan tanpa nilai, di hadapan hal-hal lain yang dipercaya para teroris sebagai hal-hal yang agung tiada taranya, yang untuk membela hal-hal ini mereka sanggup tidak menyayangkan nyawa mereka sendiri dan, celakanya, juga nyawa orang-orang lain.


 
ioanes rakhmat
Jakarta, 10 Januari 2015