Wednesday, May 6, 2015

Pikiran dan Realitas


Berapa kuatkah pikiran manusia?

Sependapatkah anda, jika orang menyatakan bahwa karena mekanika quantum, apa saja yang kita pikirkan akan menjadi realitas? Jadi, jika kita miskin dan sedang terdesak untuk mempunyai uang banyak, pikirkan saja bahwa ada orang datang ke kita membawa satu koper penuh lembaran uang USD! Lalu, tiba-tiba ini terjadi. Wah enaknya hidup jika begitu kejadiannya.

Lagi pula, kalau hal semacam itu yang selalu terjadi, hemat saya, malah masyarakat akan terperosok ke dalam kekacauan. Masyarakat justru akan berjalan dengan baik dan teratur kalau setiap orang menjalankan manajemen jangka pendek dan jangka panjang untuk mencapai tujuan-tujuan kehidupan mereka; tidak mengharapkan keajaiban terjadi lewat sihir sim salabim. Kita semua harus sekolah, belajar ilmu pengetahuan, harus bekerja, harus bangun dunia usaha, harus dapatkan uang untuk belanja dan membayar berbagai keperluan, dan seterusnya. Tanpa ini semua, ya masyarakat manapun akan hancur dan lenyap.

Tetapi kalau apa yang kita pikirkan itu sebuah cita-cita jangka panjang, lalu kita berjuang keras untuk mewujudkannya, ya sangat mungkin pikiran kita akan jadi kenyataan. Tetapi, kalau apapun yang sedang kita pikirkan tiba-tiba sim salabim jadi realitas, ya pasti tidak! “Deus ex machina” itu tidak ada, dan jangan juga diada-adakan! Mukjizat muncul tidak dari langit dengan otomatis dan mekanik, tetapi dari serangkaian usaha anda sendiri untuk mewujudkannya. Saya yakin benar, fisika quantum itu sama sekali tidak memberi kita “deus ex machina”!/1/

Di dunia ini ada banyak orang yang punya kekuasaan besar dan uang sangat banyak. Orang-orang semacam ini boleh dikata sanggup menghadirkan di tempat langsung apapun yang mereka katakan atau perintahkan. Mereka tidak butuh “deus ex machina”, dan juga tidak butuh sihir sim salabim. Kekuasaan dan uang, itulah yang membuat pikiran mereka cepat berubah jadi realitas. Meskipun demikian, mereka bukanlah para dewa, tetapi tetap insan-insan terbatas.  

Sudah tidak terhitung banyaknya saya mengonsentrasikan pikiran saya pada satu keyakinan bahwa saya bisa terbang, tanpa sepasang sayap. Saya sudah tunggu-tunggu bertahun-tahun untuk pikiran saya ini bahwa saya bisa terbang menjadi kenyataan. Faktanya, pikiran saya ini tidak pernah menjadi realitas. Malah pikiran saya ini sampai terbawa-bawa ke dalam mimpi-mimpi saya di waktu tidur malam. Dalam mimpi-mimpi itu, saya memang bisa terbang benaran. Realitasnya di dunia nyata, saya tidak pernah bisa terbang. Tetapi saya juga sudah banyak kali terbang, tetapi dengan menjadi seorang penumpang pesawat jet, mondar-mandir ke banyak negara. Hemat saya, sangatlah hebat orang-orang pertama yang memikirkan cara-cara yang real untuk kita bisa terbang! Sains-tek akhirnya memungkinkan kita terbang.

Tentu saja saya percaya pada kekuatan pikiran. Bagi saya, Descartes benar ketika dia menyatakan “Aku berpikir, karena itu aku ada!” Aktivitas berpikir, itulah aktivitas spesial yang menjadi ciri homo sapiens. Bukan jasad, tetapi pikiran yang melahirkan peradaban, itulah bukti homo sapiens ada. Sains dan teknologi modern bisa lahir antara lain ya karena kita sebagai manusia punya pikiran yang kuat dan nyaris tanpa batas. Tetapi pikiran kita yang kuat ini memberi hasil-hasil nyata, ya karena lewat pikiran-pikiran kita, kita membangun sains dan teknologi. Jelas, pikiran kita menghasilkan sesuatu yang real, yakni sains dan teknologi. Jadi, pikiran kita memang kuat, tetapi kuat bukan dalam arti lewat gelombang-gelombang otak yang berfrekuensi rendah, kita bisa membengkokkan sebuah sendok baja atau bisa memindahkan sebuah botol berisi penuh anggur.

Yesus dari Nazareth dulu pernah menyatakan bahwa jika murid-muridnya mempunyai iman yang kuat, maka mereka akan bisa memindahkan gunung hanya lewat perintah pikiran mereka. Kurang lebih begitulah sabda Yesus. Tentu saja, ucapan Yesus ini sebuah metafora; sebab kapanpun juga tidak akan ada orang di manapun juga yang lewat perintah pikirannya sanggup memindahkan sebuah gunung besar dan tinggi. Tetapi Yesus bisa juga benar, sejauh iman dan pikiran murid-muridnya mendorong mereka untuk menemukan teknologi maju pemindahan gunung dalam waktu sekejap.

Gautama Buddha pernah berkata, “Kita adalah apa yang kita pikirkan. Segala hal tentang diri kita, muncul dari pikiran kita. Dengan pikiran kita, kita membentuk dunia.” Ucapan Gautama ini mirip-mirip dengan pernyataan Descartes itu.

Sudah pasti, Gautama Buddha tidak bermaksud mengajarkan ilmu sihir, yang kalau dipakai, si pemakainya dengan hanya sim salabim menciptakan sesuatu. Sayangnya, ilmu sihir itu hanya ada dalam dongeng. Gautama pernah dengan sangat serius memikirkan kenapa ada penderitaan dan bagaimana jalan mengalahkan penderitaan. Apa yang dipikirkannya ini tidak mendadak memunculkan sendiri jawaban-jawaban di hadapannya dengan ajaib. Tidak demikian. Beliau harus mencari jawab atas pikiran-pikirannya sendiri itu mula-mula dengan cara tapa brata yang keras, lalu belakangan lewat cara yang lunak, yang dinamakan Jalan Tengah, dan beliau butuh waktu panjang, sampai akhirnya beliau mendapatkan jawaban-jawabannya yang dipercayanya benar. Beliau bukan sosok yang percaya pada “deus ex machina”.

Hemat saya, lewat ucapannya itu, Gautama meminta kita me-manage pikiran kita dengan sungguh-sungguh, sebab suasana batin dan kondisi tubuh kita sangat dipengaruhi oleh isi pikiran kita. Psikologi membenarkan hal ini. Dalam tubuh yang sehat, terdapat pikiran yang sehat. Jika semua orang sehat badan dan sehat mental, maka dunia akan menjadi lebih baik.

Saya tidak sependapat dengan artikel ini: fisika quantum diutak-atik untuk mendukung sebuah pendapat keagamaan: http://www.collective-evolution.com/2014/11/11/consciousness-creates-reality-physicists-admit-the-universe-is-immaterial-mental-spiritual/. Si penulisnya berpendapat bahwa para fisikawan mengakui bahwa jagat raya ini berwujud immaterial, mental, dan spiritual, dan bahwa pikiran atau kesadaran manusia menciptakan kenyataan. Hemat saya, pendapat ini jauh dari kebenaran. Kalaupun ada aspek mental atau kesadaran dalam jagat raya, atau daya kehidupan, yang memungkinkan terbentuknya organisme-organisme yang memiliki kesadaran secara natural, tetap saja jagat raya ini juga berwujud material (padat, cair, gas, dan plasma).

Tetapi, bersama banyak orang lain, saya ikut mengakui bahwa fisika quantum memang weird, sukar dipahami, membuka banyak sekali kemungkinan baru yang menantang konsep-konsep lama fisika.

Tetapi saya memikirkan kemungkinan lain untuk membuat apapun yang kita pikirkan menjadi realitas, yakni dengan memakai teknologi “mind-computer interfaces”. Pikiran kita dihubungkan ke sebuah super komputer yang dapat memproses dan mewujudkan apapun yang pikiran kita perintahkan kepada super komputer itu. Super komputer ini bisa ditempatkan jauh di ruang tersembunyi, tetapi selalu terhubung wireless dengan pikiran kita. Super komputer itu juga dihubungkan lagi ke berbagai perangkat mekanik lain yang akan menjalankan semua instruksi kita. Orang yang tidak tahu engineering semacam ini, akan berpikir kita ini mampu melakukan sihir atau telepati atau telekinetik.

Begitulah.

Note

/1/ “Deus ex machina” berasal dari kata-kata Yunani ἀπὸ μηχανῆς θεός (apò mēkhanês theós), artinya “Allah dari mesin”. Salah satu penyebutan paling awal frasa ini ditemukan dalam fragment 227 Menander: ἀπὸ μηχανηϛ θεὸς [ἡμιν] ἐπεφάνηϛ; artinya: “Engkau, Allah, mewahyukan dirimu kepada kami sebagai suatu allah mesin.” Kata-kata ini dikutip dalam karya The Woman Possessed with a Divinity, sebagaimana diterjemahkan dalam Menander: The Principal Fragments (1921) oleh Francis Greenleaf Allinson. “Deus ex machine” adalah kepercayaan bahwa dalam situasi yang sulit yang sedang menimpa seseorang, jika Allah dipanggil, maka dia akan otomatis seperti mesin bertindak menolong.