Monday, August 18, 2014

Menjawab para ateis, Apakah sosok Unicorn sama dengan sosok Tuhan?



Unicorn, Tuhan?

Teman-teman ateis kerap memakai metafora-metafora Spiderman, Batman, Sinterklas, Doraemon, dan khususnya Unicorn, untuk memperolok kepercayaan kalangan teis kepada sosok yang dinamakan Tuhan, yang kata mereka tidak ada bedanya dengan sosok Unicorn dan Batman. 

Kata mereka dengan sangat yakin, percaya kepada Tuhan supernatural sama saja dengan percaya pada Unicorn dan Doraemon. Jadi, kata mereka, kalau orang ateis diminta untuk membuktikan ketidakberadaan Tuhan, itu sama dengan meminta mereka untuk membuktikan ketidakberadaan Unicorn atau Doraemon atau Spiderman. 

Uraian di bawah ini menunjukkan, cara berpikir para ateis ini salah dan menyesatkan, menunjukkan kedangkalan mereka berpikir.

Kita mulai dengan sebuah pertanyaan, Apa itu metafora? Sebagaimana sudah sering saya jelaskan dalam berbagai kesempatan, metafora adalah suatu medium linguistik dan nonlinguistik yang manusia bangun untuk mengungkapkan dalam bahasa insani sehari-hari hal-hal yang tidak dapat diekspresikan (inexpressible) atau hal-hal yang tidak dapat dipahami (inexplicable) supaya orang kebanyakan dapat memahaminya dengan gamblang dan menjalaninya dengan kreatif. 

Dalam dunia agama, dengan wahana metafora, nilai-nilai ilahi yang lebih tinggi dan tidak biasa, yang sukar diungkap dan ditangkap lewat bahasa sehari-hari, jadi dapat ditangkap, dimengerti, dibayangkan dan bermakna dan kena. Sebagai bentukan dari dua kata Yunani meta (artinya; melintasi, melampaui; Inggris: beyond) dan ferein (artinya: pindah atau menyeberang), metafora menjadi wahana yang memindahkan atau menyeberangkan kita, masuk ke kawasan nilai-nilai yang lebih tinggi, lebih agung, meninggalkan kawasan nilai-nilai kodrati keseharian yang sudah biasa.

Karena agama-agama mengklaim mengungkapkan hal-hal yang tak dapat diungkap atau yang tak dapat dipahami dalam bahasa kodrati keseharian, yang berada di kawasan adinilai atau kawasan adikodrati, maka agama-agama memakai banyak metafora untuk menyampaikan pesan-pesan dari “dunia atas” (ini sebuah metafora) kepada manusia yang hidup di “dunia bawah” (ini juga sebuah metafora). 

Pesan-pesan keagamaan berada dalam wilayah nilai-nilai (values), mencakup nilai-nilai moral, eksistensial, kognitif, afektif, estetis dan artistik, bukan berada dalam wilayah fakta-fakta atau teori-teori ilmiah. 

Karena terobsesi pada bukti, evidence, untuk segala hal, maka hanya orang ateis yang berpikiran kacau akan meminta metafora-metafora keagamaan yang menyampaikan nilai-nilai dibuktikan ada secara empiris, dengan misalnya memakai teleskop atau mikroskop atau kamera atau lewat perhitungan matematis. Sebagai media yang menyampaikan nilai-nilai, setiap metafora teologis hanya bisa dinikmati, dirasakan, dihayati; tidak perlu diperdebatkan, tidak bisa dibuktikan ada secara empiris, ya karena berada dalam kawasan nilai-nilai yang diterima dan dipercaya saja.


Pandanglah gambar kristologis di atas. Yesus Lakshmi bertangan empat, berhati suci dan bermahkota duri, dan lingkaran halo tanda kesucian melingkari kepalanya. Ini adalah sebuah metafora kristologis yang hebat, kreatif dan menakjubkan, menggabung sudut pandang Kristen dan sudut pandang Hindu. 

Hanya orang ateis yang meminta metafora kristologis ini dibuktikan secara empiris ada dalam dunia real. Saya tidak bisa, tetapi saya bisa menikmati metafora ini. 

Jika anda bukan ateis, sikap dan pandangan anda akan lain. Mari kita nikmati dan rasakan metafora ini. Yesus selalu mampu mengulurkan tangannya untuk menolong. Anda yang percaya kepada Yesus, haruslah selalu bisa tabah dan tenang saat anda sedang mengalami banyak persoalan berat. 

Ada metafora yang bisa dipahami dan diterima secara literalistik (harfiah), ada juga yang tidak bisa. Kebanyakan metafora tidak bisa dipahami dengan harfiah, tapi harus dipahami secara figuratif. Maksudnya: dipahami sebagai ekspresi yang dapat ditangkap dan dibayangkan dalam dunia kodrati dari hal-hal yang pada hakikatnya tak dapat ditangkap dan dibayangkan, yang berada dalam dunia adinilai.

Ada metafora yang bagus dan bermanfaat untuk kehidupan dan peradaban; ada juga metafora yang tidak bagus dan tidak bermanfaat untuk kehidupan dan peradaban. Ada metafora yang berdampak positif pada pikiran, batin dan kelakuan manusia; ada yang berdampak negatif pada pikiran, batin dan kelakuan manusia. Jadi, tidak semua metafora harus kita terima. Kita harus pandai-pandai menyeleksi metafora. 

Karena kanak-kanak dari semua bangsa di dunia umumnya suka dengan berbagai metafora, dan hidup dalam dunia metafora, mereka harus dengan arif didampingi dan dibimbing supaya mereka juga bisa menyeleksi metafora dan mengambil hanya nilai-nilai metaforis yang bermanfaat buat kehidupan mereka kini dan di masa depan. 

Konon ada seorang anak yang karena yakin bisa menjadi Superman betulan, dengan memakai kostum sosok khayalan ini, dia terjun dari lantai dua belas sebuah apartemen untuk terbang sampai ke bawah. 

Ya, itu kisah konyol yang jika terjadi, semua orang akan menyesalkan baik kejadiannya maupun orangtua si anak. 

Tetapi, parahnya, kalangan ateis ini dengan enak saja menyatakan bahwa kepercayaan pada Tuhan supernatural juga membuat orang kehilangan akal sehat seperti si anak tersebut. Betulkah agama-agama begitu merusak akal sehat manusia, atau malah ateisme yang demikian? Mari kita lanjut.

Tapi ada sebuah kisah nyata lainnya. Belum lama ini, lewat penelitian, ditemukan bahwa anak-anak yang dikenakan kostum Batman sewaktu sedang mengerjakan tugas-tugas yang relatif sulit dan membutuhkan konsentrasi, ternyata jauh lebih mampu berkonsentrasi dan lebih cepat dan cerdas dalam mengerjakan semua tugas yang diberikan. Tak demikian halnya dengan anak-anak sebaya yang memakai pakaian biasa. 

Mengenakan kostum sosok fiktif Batman atau Superman dll ternyata berhasil membangun semangat juang anak-anak. Katakankah, kostum-kostum ini menimbulkan kepercayaan diri yang besar dan semacam perasaan heroik.

Kembali ke metafora. Ada metafora yang dengan pasti kita ketahui sebagai fiksi, dan ada yang faktual, dan ada yang merupakan percampuran fiksi dan fakta, gabungan mitos dan sejarah. 

Metafora Unicorn atau metafora Sinterklas atau metafora Spiderman atau metafora Doraemon, misalnya, sudah pasti fiksi semuanya. Kepastian ini sama sekali tidak perlu diperdebatkan. Kita umumnya tahu siapa pencipta sosok-sosok fiktif ini, bagaimana bentuk tubuh dan rupa wajah masing-masing dalam gambar, siapa yang menggambar pertama kali sosok-sosok khayalan ini, kapan dan di mana sosok-sosok ini pertama kali diciptakan manusia, sudah berapa banyak sosok-sosok ini diangkat ke layar lebar. 

Dengan pasti kita juga ketahui bahwa tidak ada seorangpun di dunia ini yang menyembah sosok-sosok fiktif ini sebagai Tuhan Allah, bahwa tidak ada seorang pun dalam dunia ini yang mempercayai Unicorn atau Doraemon ada betulan sebagai makhluk-makhluk hidup. 

Hanya orang yang sudah tidak punya akal sehat atau yang kemampuannya memilah mana fakta dan mana fiksi sudah tidak ada lagi, akan selalu memperdebatkan keberadaan atau ketidakberadaan sosok-sosok khayalan ini. 

Hanya orang yang sudah tidak waras, akan meminta anda memberi bukti empiris bahwa Sinterklas atau Unicorn atau Spiderman atau Doraemon tidak ada dalam dunia real. Lebih rusak lagi, kalau mereka menyatakan bahwa memperdebatkan apakah Unicorn atau Sinterklas atau Spiderman atau Doraemon itu fiksi atau fakta, adalah kegiatan ilmiah.




Kata kawan ateis, ini Tuhan Doraemon lengkap dengan baling-baling bambunya


Tetapi metafora teologis Allah, atau metafora teologis tentang dunia supernatural, tidak bisa kita yakini dengan mutlak sebagai fiksi. Apa alasan saya menyatakan demikian? Alasannya adalah sains hingga kini belum dapat prove atau disprove keberadaan Allah atau keberadaan dunia supernatural. 

Dalam hal ini, posisi agnostik adalah posisi yang paling mungkin, sementara ini. Perkembangan-perkembangan belakangan dalam fisika Quantum memperlihatkan (lewat studi Max Planck dan David Bohm, misalnya) bahwa dalam dunia mekanika Quantum partikel-partikel subatomik memiliki baik materi (aspek materi partikel) maupun semacam “proto-kesadaran” atau “free will” (aspek gelombang dari partikel). 

Dalam dunia subatomik ini, materi dan non-materi muncul serentak, seperti halnya organ fisik otak dan pikiran nonmateri yang dihasilkan otak.

Dengan begitu, terbuka sebuah kemungkinan di masa depan bahwa sains akan menemukan bukti-bukti lebih banyak yang menunjukkan bahwa dimensi materi dan dimensi non-materi dari realitas, atau dunia imanen dan dunia transenden, bertumpang tindih atau berpotongan. Wilayah interseksi materi dan non-materi ini bisa jadi adalah wilayah yang hingga saat ini menjadi wilayah agama-agama./1/

Jadi, posisi teis atau posisi ateis sama sekali tidak bisa dimutlakkan sebagai posisi yang paling benar. Keduanya bergerak masih dalam wilayah kepercayaan, wilayah agama. Yang satu kepercayaan/agama yang percaya pada Tuhan yang supernatural (kepercayaan teisme); dan yang satu lagi kepercayaan/agama yang tidak percaya pada Tuhan yang supernatural (kepercayaan ateisme). 

Keduanya hingga saat ini masih belum dapat di-prove atau di-disprove. Alhasil, agnostisisme niscaya adalah pilihan yang paling cerdas: hingga saat ini kita tidak bisa mengetahui dengan mutlak apakah Allah atau dunia supernatural itu ada atau tidak ada. 

Agnostisisme tidak mengagung-agungkan baik teisme maupun ateisme, salah satunya bisa benar tapi juga bisa salah. Yang mana yang benar dan yang mana yang salah, hingga kini kita belum tahu dengan sepenuhnya. Kita semua masih dalam perjalanan yang belum atau tak akan pernah selesai. Nikmati perjalanan wisata ini. Jangan tertidur. Juga jangan berkelahi selama perjalanan. Agnostisisme menanti masa depan yang akan dikuak oleh sains yang sudah sangat advanced, sangat maju. 

Posisi agnostik adalah posisi yang dilandaskan pada sains, bukan pada kepercayaan. Agnostisisme bisa berlangsung hanya sepuluh tahun ke muka, tapi bisa juga sepuluh abad atau malah sepuluh milyar tahun ke muka. 

Jangan khawatir. Jagat raya dan kehidupan masih akan ada bermilyar-milyar tahun dari sekarang. Generasi-generasi para ilmuwan yang tidak terhitung banyaknya di depan suatu saat akan bisa membuka gerbang-gerbang sorga untuk melongok ke dalamnya dan menemukan pengetahuan-pengetahuan ilmiah yang baru. Be patient. Be open. Don’t be dogmatic. 

Problem besarnya adalah sementara teisme dengan jujur mengakui diri sebagai agama; ateisme diklaim para penganutnya sebagai posisi ilmiah. 

Kalau anda masih memiliki kejujuran dan kerendahan hati, anda yang ateis mustinya celik sehingga bisa melihat bahwa ateisme juga masuk ke wilayah kepercayaan atau wilayah agama tanpa Tuhan supernatural. Mereka, kaum ateis, hanya percaya, tapi tidak bisa membuktikan, bahwa Tuhan itu tidak ada. 

Teisme dan ateisme, keduanya, sama-sama kepercayaan. Yang satu mati-matian membela kepercayaan Tuhan itu ada; yang satunya lagu mati-matian mempertahankan kepercayaan bahwa Tuhan itu tidak ada. Keduanya mati-matian. Kenapa tak berjuang hidup-hidupan?

Kalau Tuhan dalam teisme dipandang sebagai nilai tertinggi (the highest value), maka mustinya dalam ateisme ada pengganti nilai tertinggi ini. Para ateis sendiri yang harus menjawab, apa nilai tertinggi dalam kepercayaan ateisme mereka. 

Saya duga, nilai tertinggi dalam ateisme ya ideologi ateisme sendiri. Orang ateis, dus, percaya pada kepercayaan ateisme mereka. They believe in their belief system named atheism. Posisi ini tentu saja narsis. 

Kaum teis, dalam hal itu, hemat saya lebih maju dan tidak narsis: orang teis percaya pada Tuhan supernatural, bukan pada belief system mereka sendiri. Tuhan supernatural ini melampaui teisme sendiri; teisme adalah wahana metaforis yang menunjuk ke entitas yang lebih tinggi, yakni Tuhan supernatural. Sayang sejuta kali sayang, di tangan kalangan konservatif teis, teisme disamakan dan disetarakan dengan Tuhan adikodrati sendiri. Telunjuk yang menunjuk ke sang rembulan purnama indah benderang, dipandang dan dilihat dan diyakini sebagai sang rembulan itu sendiri. 




Kata teman ateis, ini Tuhan Spiderman! 


Nah, selanjutnya, silakan teman-teman ateis menjawab beberapa pertanyaan saya ini. 

Karena anda menyetarakan metafora-metafora Unicorn, Doraemon, Spiderman, Superman, Batman, Sinterklas, dan sejenisnya, dengan metafora Tuhan, apakah bagi anda metafora Tuhan sama fiktifnya dengan metafora-metafora yang sudah jelas fiktif itu? Silakan jawab dengan memakai bukti-bukti. 

Hanya orang ateis yang melihat Doraemon atau Batman atau Unicorn sama dengan Tuhan; jika demikian, kewajiban mereka sangat jelas, yakni mereka harus membuktikan secara empiris bahwa Tuhan itu sama dengan Doraemon atau dengan Unicorn, Hulk, Tom dan Jerry, Spiderman, atau dengan Horus, Ahura Mazda, atau Zeus; dan bahwa Doraemon atau Unicorn, Hulk, Tom dan Jerry, Superman, Zeus, Ahura Mazda, atau Horus, sama dengan Tuhan. Silakan buktikan. Saya tunggu. 

Jika mereka sudah bisa membuktikan ini lebih dulu, barulah mereka dapat bertanya kepada saya, apakah meminta orang ateis untuk membuktikan ketidakberadaan Tuhan sama dengan meminta mereka untuk membuktikan ketidakberadaan Doraemon atau Hulk atau Zeus atau Horus atau Unicorn atau Batman atau Sinterklas.  

Mari kita bangun tiga silogisme. 

Yang pertama ini:
Premis 1: Tuhan sama dengan Unicorn
Premis 2: Unicorn tidak ada
Kesimpulan: Tuhan juga tidak ada

Premis 1 belum dibuktikan secara empiris faktual/benar; dus tidak valid. Premis 2 tidak diragukan lagi benar (karena kita tahu segala seluk-beluk tentang asal-usul gambar Unicorn dan mitos-mitos tentangnya; semuanya historis). Karena premis 1 tidak valid, kesimpulan dus juga tidak valid. 


Silogisme yang kedua:
Premis 1: Unicorn tidak ada
Premis 2: Tuhan sama dengan Unicorn
Kesimpulan: Membuktikan Tuhan tidak ada sama dengan membuktikan Unicorn tidak ada.
 

Premis 1 jelas faktual (kita tahu siapa pembuat gambar Unicorn dan segala seluk-beluk historis mitos-mitosnya), jadi valid. Premis 2 tidak valid, sebab masih harus dibuktikan secara empiris bahwa Tuhan sama dengan Unicorn. Alhasil, kesimpulannya juga tidak valid; dan hanya valid jika premis 2 sudah dibuktikan benar secara empiris. 

Silogisme yang ketiga:
Premis 1: Unicorn tidak ada
Premis 2: Tuhan tidak ada
Kesimpulan: Tuhan sama dengan Unicorn.

Premis 1, tidak perlu diulang lagi, sudah jelas valid, karena Unicorn memang tidak ada secara empiris. Premis 2 tidak valid, sebab masih harus dibuktikan bahwa Tuhan tidak ada secara empiris, tidak bisa hanya dipercayai tidak ada (secara empiris atau secara adikodrati). Alhasil, kesimpulan juga tidak valid. Begitu juga, seandainya kedua premis itu benar (Unicorn dan Tuhan tidak ada), maka tidak otomatis dua hal yang tidak ada ini sama. Kita sama sekali tidak bisa tahu, dua entitas yang tidak ada ini sama. Dus, kembali, kesimpulan yang ditarik salah.


Mari kita lanjutkan. Jika bagi anda metafora Tuhan, sama seperti semua metafora lain itu, fiktif, maka jelas sekali jawaban anda ini dogmatik, tidak ilmiah, tidak terbuka pada kemungkinan bahwa metafora Tuhan dapat menunjuk ke dunia transenden yang hingga sekarang belum bisa di-prove atau di-disprove oleh sains. Tuhan hanya sebuah nama untuk merepresentasikan dunia transenden ini; anda bisa memakai nama-nama lain pilihan anda.

Karena anda, dengan nada mengolok-olok, menyamakan metafora Tuhan dengan metafora-metafora yang sudah jelas fiktif itu, maka bagi anda tentunya Unicorn, Doraemon, Spiderman, Superman, Batman, Sinterklas, adalah tuhan-tuhan juga.

Jika demikian, kenapa anda tidak sekalian saja membangun agama Unicornisme, Doraemonisme, Spidermanisme, Batmanisme, Supermanisme, dan Sinterklasisme? Bukankah lebih bagus “isme-isme” ini ketimbang ateisme, karena ada gambar-gambarnya yang sangat bagus dan menyenangkan mata?


Notes

/1/ Lebih jauh tentang posisi agnostik, lihat tulisan saya Apakah Tuhan itu ada? Sebuah jawaban ilmiah kepada para ateis, The Freethinker Blog, 12 Agustus 2014, pada http://ioanesrakhmat.blogspot.com/2014/08/apakah-tuhan-itu-ada.html.