Thursday, June 26, 2014

Catatan-catatan kritis atas puisi esai “Konspirasi Suci” karya Burhan Shiddiq


Saya hadir dalam acara peluncuran enam buku puisi esai (semuanya ditulis tahun 2013) di Pisa CafĂ© Mahakam, Jl Mahakam no 11, Blok M, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, 24 Juni 2014, malam hari. Pidato kebudayaan dari Prof. Franz Magnis Suseno tidak jadi disampaikan pada kesempatan itu karena satu dan lain hal meskipun beliau sudah berada di tengah hadirin dan sudah menyiapkan sebuah makalah pidato yang berjudul “Tantangan bagi Pluralisme Indonesia.” Dengan memakai makalah beliau, sekian poin penting pandangan beliau telah sempat saya kicaukan di Twitter selama pembacaan beberapa puisi esai saat itu.

Dari jumlah mistik 888 puisi esai yang masuk selama 2013, pemenang pertama lomba puisi esai tahun 2013 yang diadakan oleh Yayasan Denny JA adalah cerpenis Burhan Shiddiq, dengan puisi esainya yang berjudul “Konspirasi Suci” (KS). Puisi esai KS mengangkat kasus kejahatan seksual di dalam lingkungan Gereja Roma Katolik (GRK) sedunia yang melibatkan banyak pastor dengan korban anak-anak. Ada sangat banyak kasus pedofili di GRK dalam konteks dunia Barat. Dalam puisi esai KS, kasus ini dibeberkan dalam bentuk tanya-jawab seorang anak altar saat si anak altar ini sedang mengaku dosa kepada sang pastor yang berada di bilik tertutup. Oleh si anak altar, sang pastor ini dipanggil “Bapa”, sedangkan sang Bapa ini menyapa si anak altar sebagai “Santu Petrus”. 

Saya sangat menghargai apa yang telah dicapai Yayasan Denny JA lewat perlombaan menulis puisi esai setiap tahunnya, sejak 2012. Gerakan menulis dan memperlombakan puisi esai adalah bagian dari gerakan besar YDJA untuk membangun NKRI yang bebas diskriminasi dalam bentuk apapun. Saya ikut serta dalam gerakan ini. Dalam semangat inilah saya ketengahkan beberapa catatan saya berikut ini tentang puisi esai KS. 

Pertama, Burhan Shiddiq sama sekali tidak memberi konteks sosiohistoris yang real bagi puisi esai KS.  Sejauh kita sudah ketahui, puisi esai (menurut Denny JA) adalah puisi sekaligus esai ilmiah yang mengharuskan adanya berbagai rujukan ke suatu konteks sosiohistoris yang menjadi latar kasus yang diangkat dan disorotnya. Satu-satunya referensi historis yang muncul adalah nama Vatikan, bersumber dari buku Yahya, Abu Salma Ibnu, Sex Crimes and Vatican (Yogyakarta: Alas, 2007). Dalam buku antologi puisi esai yang disunting Agus R. Sarjono, Konspirasi Suci: Antologi Puisi Esai (Depok: Jurnal Sajak Indonesia, April 2014), referensi ke buku Abu Salma Ibnu Yahya ini muncul di hlm. 33. Nama Vatikan juga muncul lagi di hlm. 46, fn. 5. Di luar rujukan ke Vatikan ini, sama sekali tidak ada rujukan latar lain yang menjadi landasan faktual kisah yang diangkat dalam KS. Referensi ke Vatikan ini sangat umum. Jadi sebetulnya puisi esai KS adalah sebuah generalisasi dari sangat banyak kasus pedofili dalam GRK sedunia, generalisasi yang dibayang-bayangkan saja oleh penulisnya. Sayangnya, generalisasi yang dibuat Burhan Shiddiq ini memuat keterangan-keterangan yang tidak tepat, berikut ini.

Kedua, mengejutkan sekali Burhan Shiddiq dalam puisi esai KS juga mencampuraduk kasus homoseksual antar lelaki dewasa dengan kasus pedofili yang dilakukan lelaki dewasa terhadap anak-anak. Dalam puisi esai KS, dia menyamakan keduanya begitu saja. Pada satu sisi, dia dengan jelas menyebut kasus pedofili dalam GRK sebagai kasus “pemerkosaan” (hlm. 47, 49 buku Konspirasi Suci), tapi di pihak lain dia menyamakannya dengan “cinta sesama pria” (hlm. 39, 43, 52, 53, 54, 55). Orang boleh terus berdebat pro dan kontra apakah perilaku homoseksual (antar gay) itu dapat dibenarkan. Tetapi hal yang sudah jelas dan tidak perlu diperdebatkan adalah bahwa pedofili itu kejahatan seksual yang para pelaku dewasanya harus dijatuhi hukuman, sama sekali bukan hubungan seksual antara dua lelaki dewasa. PBB bahkan menyatakan kejahatan pedofili dalam GRK sebagai penganiayaan terhadap anak-anak.

Ketiga, berkaitan dengan semua kasus kejahatan seksual yang berbentuk pedofili dalam GRK sedunia, semua orang sepakat bahwa anak-anak yang terlibat di dalamnya adalah para korban, dan sama sekali bukan pelaku aktif pedofili. Sebagai para korban, dalam semua kasus kejahatan seks pedofili, anak-anak harus dibela dan dilindungi. Hubungan anak-anak korban pedofili dan lelaki dewasa pelaku pedofili adalah hubungan korban dan penjahat, bukan hubungan antara dua orang pria dewasa yang saling jatuh cinta seperti dalam kasus-kasus pasangan homoseksual dewasa.

Nah, mengagetkan sekali, dalam puisi esai KS, penulisnya menggambarkan “anak altar” (yang berulangkali disebutnya sebagai “bocah-bocah”) juga sebagai para pelaku aktif dalam kasus pedofili di lingkungan GRK. Dalam bayangan Burhan Shiddiq, “bocah-bocah altar” ini, meskipun masih bocah, sama perannya dengan lelaki dewasa yang mensodomi mereka, yakni sama-sama dikuasai syahwat yang bergelora satu sama lain. Dia menulis di sana-sini tentang sang bocah altar yang dilanda syahwat yang bergelora terhadap lelaki dewasa. Antara lain:  

“Kami punya sepasang ular kencana
Yang saling jatuh cinta
Dan senang bersenggama”

“Sungguh, ya Bapa,
Di tubuhku ada seekor ular kencana
Yang selalu menjadi raksasa
Saat melihat pria-pria dewasa”

“Aku hanyalah bocah dungu
Yang mengharapkan cinta
Dari pendeta serupamu”

“Aku ingin menjadi kekasih
Yang senantiasa menemani kesepianmu”

“Atas kesanggupanku menjadi kekasih rahasiamu
Atas kesanggupanku menjadi kuda tungganganmu”

“Apakah cinta kita selalu menjadi dosa?” 

Nah, siapakah di dunia ini yang sanggup membayangkan bahwa anak-anak korban pedofili justru dibuat menjadi pelaku aktif yang rela dalam kasus-kasus pedofili? Ini pemutarbalikan kenyataan. Kasusnya serupa dengan kasus yang sudah terjadi di Jakarta International School (JIS) yang kini sedang diselidiki pihak berwajib: anak-anak di sana adalah korban pedofili, bukan pelaku aktif yang bersama lelaki dewasa berpacu melampiaskan syahwat masing-masing! Ngeri saya membayangkan apa yang dibayangkan dalam puisi esai KS. Anak-anak dibuat ikut menjadi para penjahat pedofili.

Keempat, dalam beberapa hal lain menurut saya Burhan Shiddiq kelihatan berlebihan dan juga menunjukkan bahwa dia tidak mengetahui pemahaman gereja. Pada hlm 38 Konspirasi Suci, dia menyebut pedofili itu sebagai “bercinta di bawah mimbar gereja”, sesuatu yang sangat mustahil bisa terjadi dalam realitas, dan hanya ada dalam fantasinya sendiri.

Dia juga dengan keliru bertanya, mengapa umat pria boleh mencintai Yesus Kristus (yang disebutnya sebagai “lelaki penebus dosa”) sementara cinta manusia pria dengan manusia pria dipandang sebagai dosa (Konspirasi Suci, hlm. 37). Pertanyaan ini sangat keliru, sebab cinta umat kepada Yesus Kristus sama sekali bukanlah cinta berahi kepada seorang pria, melainkan cinta seorang manusia kepada Tuhan yang mereka sembah, cinta dengan aura ilahi. Selain itu, menyebut sang anak altar sebagai “Santu Petrus” saat terjadi tanya-jawab (dalam rangka ritual pengakuan dosa pribadi) antara sang anak altar ini dengan sang pastor pelaku pedofili, membuat pedofili diperluas ke atas, melibatkan para paus sendiri (sebagai pewaris jabatan rasuli dari Rasul Petrus) sebagai pelaku pedofili. Ini, bisa jadi, sebuah langkah yang kejauhan yang sudah diayunkan Burhan Shiddiq. Lepas dari ihwal apakah nantinya akan efektif atau tidak, satu hal sudah pasti: Paus Francis kini sedang melakukan hal-hal yang diperlukan dalam menangani kasus-kasus pedofili dalam GRK.    

Terakhir, kelima. Saya menemukan dalam puisi esai KS kata “pendeta” (ada sebanyak 13 kata) dicampuraduk dengan kata “pastor” (ada sebanyak 8 kata), dan dipakai dalam arti yang sama, yakni mengacu ke rohaniwan dalam GRK. Ini menunjukkan penulis KS tidak mengenal gereja dengan benar. Dia sebaiknya tahu, “pendeta” adalah sebutan untuk rohaniwan dalam gereja Protestan, sedangkan “pastor” dalam GRK. Kalaupun dia tahu dua kata ini berbeda secara semantik dan fungsional dalam masing-masing gereja, saya sukar menduga apa motif Burhan Shiddiq mencampuraduk dua jabatan yang berbeda ini dalam puisi esai KS yang menyoroti GRK. Apakah mungkin dia ingin menyamakan begitu saja gereja Protestan dengan GRK? 

Itulah catatan-catatan saya tentang puisi esai KS yang menjadi juara pertama. Tentu tim juri telah bekerja maksimal, karena bisa mendapatkan puisi esai KS dari antara dedaunan hutan rimba 888 puisi esai yang telah diseleksi. Mereka tentu telah berpengalaman. Tetapi mungkin saja peribahasa “sepandai-pandai tupai melompat, sekali-sekali jatuh juga” berlaku buat mereka kali ini. Apa penyebab jatuhnya mereka, adalah sesuatu yang menarik untuk dikaji lebih jauh.

Saya juga percaya bahwa Denny JA sendiri, setelah memahami catatan-catatan saya ini, tidak akan sependapat dalam segala segi dengan Burhan Shiddiq. KS potensial sekali menimbulkan sikap diskriminatif masyarakat terhadap GRK di Indonesia yang jelas tidak bisa disamakan begitu saja dengan GRK sedunia, khususnya menyangkut kejahatan pedofili.    

Supaya jelas di mana posisi saya, ingin saya tegaskan bahwa saya hingga saat ini adalah seorang pengkritik gereja yang tajam. Tetapi semua kritik saya terhadap gereja-gereja selama ini adalah kritik-kritik yang dibangun dengan landasan kajian-kajian saintifik. Tidak asal tulis atau asal ucap. Saya sangat berharap Burhan Shiddiq juga dapat melakukan hal yang serupa. Semangatnya untuk mengkritik, saya hargai. Puisi esainya KS kurang atau malah saya tidak hargai. Dia menulis puisi ini dari ketidaktahuan, dan kebanyakan dari fantasi-fantasinya yang liar.

Baca juga: