Thursday, March 13, 2014

Film The Last Temptation of Christ dan Konteks Sosial Gerakan Yesus

RESENSI KRITIS
Film The Last Temptation of Christ

☆ Update mutakhir 2 April 2018

Pada hari Jumat, 14 Maret 2014, di Pisa Cafe Mahakam, Jln Mahakam, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, mulai pukul 16.00 sampai pukul 21.00, dilangsungkan pemutaran film panjang produksi tahun 1988 yang berjudul The Last Temptation of Christ




Film yang disutradarai Martin Scorsese ini dibuat berdasarkan novel fiktif dengan judul yang sama yang ditulis novelis Nikos Kazantzakis, dan dilayarlebarkan oleh Paul Schrader. Saya pada acara ini, yang dihadiri 60 orang, tampil sebagai pembahas film ini dan menjawab pertanyaan-pertanyaan. Berikut ini bahan yang sudah saya siapkan.  

Kekaisaran Romawi menjajah Palestina sejak tahun 63 SM, terus sampai ke masa kehidupan Yesus dan masih berlanjut berabad-abad sesudahnya. Pada era SM, tercatat ada beberapa perlawanan kecil terhadap pemerintah Roma, misalnya yang terjadi di tahun 4 SM. 

Pemberontakan besar terjadi tahun 66-70 M, disebut sebagai Perang Yahudi I, yang berakhir dengan pembumihangusan kota Yerusalem dan penghancuran Bait Allah. Sisa-sisa pemberontak Yahudi bertahan di benteng Masada dekat Laut Mati; lalu benteng ini dikepung dan berakhir dengan bunuh diri massal para pemberontak bersama keluarga mereka masing-masing (tahun 74 M). 

Di pertengahan atau menjelang akhir pemberontakan ini golongan Zelotes tampil di garis depan, melawan dengan senjata; sebelumnya mereka memang sudah lama menolak pajak yang dibebankan Roma dan sensus penduduk.

Bangsa Yahudi tidak jera memberontak. Pemberontakan besar terjadi lagi tahun 132-135 M, disebut Perang Yahudi II, dipimpin Simon bar Khokbah. Perang Yahudi II ini diakhiri juga dengan kekalahan telak bangsa Yahudi. Dekrit Kaisar Hadrianus di tahun 135 mengharuskan bangsa Yahudi seluruhnya disingkirkan dari negeri mereka sendiri, diasingkan ke kawasan-kawasan bangsa-bangsa lain di luar Palestina, dan nama kota Yerusalem diganti menjadi Aelia Capitolina. 

Sejak itu, eksistensi bangsa Yahudi sebagai sebuah negara di Tanah Palestina praktis lenyap. Terus selama berabad-abad ke depan, sampai berdiri Negara Israel di zaman modern (14 Mei 1948).

Sebagaimana lazimnya terjadi di mana-mana, bangsa Yahudi memberi berbagai macam reaksi terhadap penjajah Roma. 

Ada kelompok kolaborator, khususnya kalangan bangsawan yang tidak ingin kehilangan kekuasaan; golongan ini disebut golongan Saduki yang menguasai Bait Allah. 

Ada kelompok yang menjadi antek-antek atau kaki tangan Romawi, dikenal sebagai golongan Herodian, yang diberi kedudukan untuk menjadi raja Yahudi di provinsi Galilea yang menghamba pada Roma. 

Ada kelompok pelawan atau pemberontak terbuka (pada masa Perang Yahudi I, golongan Zelotes) atau dalam bentuk gerakan bawah tanah. 

Ada kelompok yang menjauh dari politik lalu menghabiskan waktu hanya untuk studi kitab suci dan agama dan memilih berdiam dalam masyarakat ramai, disebut golongan Farisi. 

Dan ada kelompok yang mengasingkan diri ke tempat-tempat sepi, lalu hidup membiara, tidak mau dinodai penjajah, seperti golongan Esseni yang memilih berdiam di Qumran dekat Laut Mati.

Pada masa-masa itu tentu saja tidak dikenal sekularisasi/sekularisme. Teologi/agama ya politik, dan politik ya teologi/agama. 

Teologi religiopolitik yang muncul kuat adalah teologi messianik Davidik: bangsa Israel menunggu kedatangan sang Messias (artinya: orang yang diurapi atau dilantik Allah dengan roh-Nya untuk menjadi Raja Israel keturunan Raja Daud) yang akan memimpin bangsa Yahudi berperang melawan penjajah, dan menegakkan kembali hukum-hukum Allah dan kedaulatan bangsa dan negara teokratis Israel. 

Murid-murid Yesus semuanya memegang teologi messianik Davidik ini, dan mereka siap mati bersama sang Messias yang mereka tunggu untuk memberi aba-aba untuk masuk ke dalam pemberontakan. Yudas Iskariot khususnya sangat gigih memegang teologi jenis ini. Mungkin sekali dia seorang anggota kelompok-kelompok perlawanan bawah tanah.

Pada abad ke-2 SM, para pemberontak Yahudi (yang melawan penjajahan oleh Raja Syria yang bernama Antiokhus IV Epifanes) menyusun sebuah teologi politik bahwa curahan darah sang Messias atau orang Yahudi yang suci dan benar, yang melawan penjajah, lalu mati syahid, akan menyucikan kembali Tanah Yahudi dan menyelamatkan seluruh bangsa. Mereka melakukan pemberontakan bersenjata dengan sangat keras, dikenal sebagai Pemberontakan Makkabe (karena dipimpin oleh keluarga Makkabeus). 

Teologi kesyahidan ini sangat kuat tertanam dalam pikiran dan keyakinan bangsa Yahudi, bahkan mungkin sekali dihayati juga oleh Yesus. Masalahnya, bukti-bukti sastra bahwa Yesus menganut teologi ini sangat kurang, nyaris tidak ada.

Ada juga teologi politik yang lain, yang disebut sebagai teologi Hamba Tuhan yang menderita, mati dibunuh pihak musuh, sama sekali tidak melawan, dan lewat semua azab dan nestapanya diyakini bahwa sang Hamba Tuhan ini menanggung dosa-dosa umat dan menebus mereka. Teologi ini tidak laku di antara para pejuang Yahudi, dari zaman ke zaman.

Ada sejumlah teks Tanakh (Perjanjian Lama gereja) yang memuat teologi jenis ini, teristimewa Yesaya 53 (khususnya ayat 5, “Dia tertikam karena pemberontakan kita; dia diremukkan karena kejahatan kita; ganjaran yg mendatangkan keselamatan bagi kita ditimpakan kepadanya, dan oleh bilur-bilurnya kita menjadi sembuh”). 

Sekarang mari kita masuk ke bagian-bagian terpenting film The Last Temptation of Christ.

Saat sedang tersalib, Yesus melamun... dan lamunannya inilah yang dimaksud sebagai the last temptation.

Kita mulai dari batin Yesus.

Dalam film ini Yesus digambarkan sebagai seorang pencari Allah, dan dia sering mengalami apa yang dalam neurosains disebut Temporal Lobes Epilepsy (TLE), dengan gejala-gejala: terserang rasa sakit pada bagian-bagian tertentu kepala, terjatuh, kejang-kejang, mengalami halusinasi (melihat atau mendengar sesuatu hanya oleh dirinya sendiri), terserang kebutaan sementara, dapat disertai buih-buih yang keluar dari mulut. 

Oh ya, mungkin sekali Rasul Paulus juga terkena TLE ini kalau kita memandang tuturan dalam Kisah Para Rasul (9:1-19a; 22:3-16; 26:9-18) tentang pengalaman perjumpaannya dengan “sosok rohani” Yesus yang muncul dan bersuara dalam lautan cahaya yang gemilang, yang membuat sang rasul terserang kebutaan sementara, sebagai bagian dari biografi historis “sang rasul untuk bangsa-bangsa bukan Yahudi ini”. Menurut kajian-kajian antropologis, fenomena yang dinamakan fotisme (dari kata “fotos”, artinya cahaya) ini umum diklaim dialami oleh banyak guru spiritual dari berbagai latarbelakang agama dalam masyarakat-masyarakat tradisional.

Ibunya (Bunda Maria) mendesak Yesus untuk menyelidiki sendiri, apakah yang mengganggu mentalnya itu Tuhan atau jangan-jangan setan. Kalau setan, kata ibunya, bisa diusir keluar (lewat ritual eksorsisme). Tapi Yesus berkeras, bahwa itu Tuhan, dus tidak perlu ditengking pergi. 

Lalu atas seizin ibunya, Yesus meninggalkan rumah, untuk mengembara mencari dan menemukan Allah dan mendapat kejelasan apa kehendak Allah ini atas dirinya. Dia masuk ke padang gurun untuk keperluan itu, dan menemukan biara-biara di sana.

Seorang muridnya yang intim, Yudas Iskariot, mencap Yesus sebagai kolaborator Roma lewat pekerjaannya sebagai pengrajin kayu (untuk membuat salib pesanan Roma) dan keterlibatannya dalam setiap penyaliban kriminal Yahudi. 

Yudas sendiri memandang dirinya sebagai ksatria pejuang Yahudi yang melawan Roma lewat kekerasan individual (membunuh dengan senjata badik atas setiap serdadu Romawi atau orang Saduki kalau dia berpapasan dengan mereka). (Nama “iskariot” berasal dari kata “sikari”, artinya badik). 

Yesus memberitahu Yudas kalau dia sering dikuntit Allah dan bayang-bayang dan kerap mendengar suara Allah. Yesus menekankan bahwa dia sedang mencari apa kehendak Allah atas dirinya. Mula-mula dia yakin Allah ingin Yesus mengabarkan cinta kasih Allah untuk seluruh bangsa Yahudi yang sedang dijajah Roma. 

Tak masuk akal Yesus kalau Allah menghendakinya menempuh jalan kekerasan, mengangkat kapak untuk menebang akar-akar azab rakyat Yahudi, yakni penjajahan Romawi. Sebaliknya Yudas menghendaki Yesus mengangkat senjata melawan Roma (sejalan dengan teologi politik messianik Davidik). 

Akhirnya Yesus mendapatkan murid dan pengikut yang makin banyak. 

Galilea adalah pusat kegiatan pergerakan Yesus, persisnya kota kecil Kapernaum; dan dalam sejarah hingga ke zaman Yesus Galilea dikenal sebagai kawasan yang rawan dan laten yang didiami banyak pemberontak Yahudi. 

Atas permintaan Yudas dll, akhirnya Yesus meninggalkan provinsi Galilea, pergi ke padang gurun Yudea untuk menemui Yohanes Pembaptis (YP) yang giat membaptis orang di sungai Yordan. Oleh YP, Yesus didesak untuk mengangkat kapak, menebas akar-akar penderitaan bangsa Yahudi, yakni penjajahan Romawi. 

Tapi Yesus tidak yakin. Atas anjuran YP, akhirnya Yesus masuk kembali ke gurun yang lain, untuk mencari dan mendengar suara Allah dan kehendak Allah. Di suatu padang gurun, Yesus membuat sebuah lingkaran besar di tanah, dan dia duduk di tengahnya puluhan hari (konon sampai 40 hari 40 malam), tidak mau beranjak sebelum dia mendengar suara Allah dan mendapat petunjuk apa yang harus dikerjakannya. 

Di kawasan Timur Tengah kuno dan juga di banyak suku bangsa lain di dunia, gurun memang diyakini sebagai tempat sunyi untuk orang dapat berjumpa dengan Allah, selain dengan sosok-sosok adikodrati lain. Bukan gurunnya sebetulnya yang membantu meditasi yang penuh, tapi kesunyian dan kekosongan. Di kota-kota dan kerumunan yang ramai, petapa yang terlatih dapat menemukan gurun-gurun sunyi, diam dan kosong.

Di padang gurun ini, pencobaan datang tiga kali. Pertama, seekor ular sendok hitam muncul dan berbicara kepadanya dengan suara Maria Magdalena, mengaku sebagai roh/sukma Yesus yang merindukan seorang teman perempuan, sama seperti Adam yang dalam dongeng Taman Eden konon merindukan Hawa. 

Ular ini mendesak Yesus untuk mengambil jalan kehidupan normal sebagai seorang manusia lelaki, menikah dan punya anak. 

Kedua, seekor singa jantan besar muncul, mengaku sebagai hati Yesus, yang berbicara kepadanya dalam suara Yudas Iskariot. Singa ini mengingatkan Yesus bahwa hati Yesus sebetulnya penuh keserakahan dan rasa haus kekuasaan, dan dia sebetulnya ingin bisa berkuasa memerintah suatu bangsa dan negara, Roma misalnya. 

Ketiga, pencobaan datang dari Setan yang mengambil wujud api besar yang berkobar. Setan ini membujuk Yesus sebagai Anak Allah untuk bekerja sama di dunia natural dan di dunia supernatural untuk memerintah dunia kodrati dan dunia adikodrati. Sebelum lenyap, Setan menyatakan Yesus nanti akan bertemu lagi dengannya. 

Semua pencobaan ini tidak menampilkan kehendak Allah. Yesus masih harus mencari. Tak mudah baginya mengetahui persis apa kehendak Allah bagi dirinya. 

Tetapi, YP akhirnya muncul dengan membawa kapaknya dan kembali meyakinkan Yesus, bahwa yang perlu Yesus bawa bukan cinta kasih, tetapi kapak, yang harus dipakainya untuk merobohkan pohon penjajahan Romawi sampai ke akar-akarnya. 

YP jelas menganut teologi religiopolitik messianik Davidik, yang dijalankannya dengan strategis melalui penghimpunan para pengikut yang makin banyak dan mereka dibaptisnya di sungai Yordan, dan diindoktrinasi olehnya lewat khotbah-khotbahnya. Baptisan yang dijalankannya adalah suatu ritual inisiasi untuk memasukkan orang ke dalam komunitasnya dan gerakannya.

Sisi lain kehidupan Yesus adalah hubungannya dengan Maria Magdalena (MM), yang dalam film ini sejak awal digambarkan bekerja sebagai seorang pekerja seks komersial (alias pelacur). 

Tidak terlalu jelas kenapa MM di awalnya membenci Yesus, mungkin karena Yesus yang sudah dikenalnya sejak kecil menolak untuk menjadi kekasihnya lalu kawin dengannya. Atau mungkin karena Yesus memilih lebih mengasihi ibunya (Bunda Maria) ketimbang dirinya. 

Atau mungkin karena MM tidak setuju dengan pekerjaan Yesus sebagai seorang tukang kayu yang menerima pesanan pembuatan kayu salib untuk menyalibkan orang Yahudi sendiri, bahkan membantu Romawi dalam setiap penyaliban para kriminal. 

(Ada sebuah kisah fiktif yang menjelaskan mengapa MM membenci Yesus: saat Yesus menghadiri pesta perkawinan MM dengan Yohanes di Kana, Yohanes ini terpesona pada Yesus, lalu meninggalkan MM yang baru dikawininya untuk menjadi murid Yesus sepenuhnya. MM jadi sakit hati dan menaruh dendam pada Yesus dan pada semua pria, alhasil dia mengubah jalan kehidupannya menjadi seorang pelacur). 

Saat Yesus mencari suara dan kehendak Allah, Yesus sempat mampir ke rumah MM yang dijadikan tempat untuk melayani kaum pria yang mau bermain seks bayaran dengannya. Hari itu ada banyak sekali pria menunggu giliran bersenggama dengan MM, dari pagi hingga senja hari. 

Giliran Yesus tiba di senja hari, tapi MM menampik kehadiran Yesus dan memintanya pergi. Yesus meminta maaf kepada MM. Akhirnya MM lunak, dan mengajak Yesus bermain seks dengannya untuk menunjukkan kejantanannya; tapi Yesus menolak dengan teguh. MM menyatakan Yesus lebih memilih tetap perjaka untuk Allah-nya, alih-alih mau bersenggama dengannya. Kemudian Yesus pergi meninggalkan MM.

Setelah meninggalkan padang gurun tempatnya mengalami tiga kali pencobaan, Yesus menuju kota Betania, dan sampai di rumah Martha dan Maria, yang menyambut dan memulihkan tenaganya kembali. Mereka bertiga menjadi akrab. 

Dari mereka Yesus mendengar berita bahwa YP telah dipancung oleh Raja Herodes Antipas, penguasa Galilea (yang khawatir atas gerakan YP yang berhasil menghimpun banyak sekali pengikut; ini penjelasan historis dari Yosefus, sejarawan Yahudi, yang tidak sama dengan keterangan dalam Injil Markus 6:17-29 dan par.). 

Setelah mendengar berita kematian YP ini, Yesus menjadi yakin bahwa Allah sekarang menghendakinya mengangkat kapak untuk menebas akar-akar pohon Romawi, meneruskan gerakan mentornya ini.

Yesus memutuskan untuk datang ke Yerusalem dan masuk ke dalam Bait Allah bersama banyak pengikutnya pada masa perayaan Paskah tahunan. 

Di Bait Allah ini dia berdemo keras walaupun dalam skala kecil: meja-meja para penukar uang dan dagangan para penjual burung merpati dijungkirbalikkan, sehingga tercipta kekacauan. 

Di bawah ini sebuah ilustrasi Yesus Afrika sedang demo di Bait Allah. Yesus Afrika? Kok? Ya, itu kekuatan kekristenan: memberi tempat luas bagi imajinasi tentang sosok besar Yesus dari Nazareth, sesuai zaman, tempat dan alam pemikiran yang berpindah dan berubah.




Di sana Yesus bersoal jawab dengan para pemuka Bait Allah. Secara metaforis Yesus menyatakan kepada mereka bahwa Bait Allah akan dia robohkan lalu akan dibangunnya kembali dalam tiga hari. Metafora ini sebetulnya mengungkapkan keyakinan Yesus bahwa dirinya akan dibunuh, lalu akan bangkit lagi setelah tiga hari. 

Kemudian Bait Allah ditinggalkannya; tetapi para penguasa Bait Allah mengantisipasi akan membunuh Yesus, dengan mengadukan perkaranya ke penguasa Romawi (dhi gubernur Yudea, Pontius Pilatus, yang biasanya berada di Yerusalem pada musim perayaan Paskah). 

Pada zaman itu, menyerang Bait Allah dipandang sama dengan menyerang pemerintah Romawi, yang punya berbagai kepentingan besar dengan bait yang dianggap suci ini sebagai pusat pemerintahan negeri Yahudi. Yesus, sosok muda dari kota kecil Nazareth di Galilea, terlalu naif dan terlalu sederhana untuk bisa memahami relasi-relasi sistemik yang ada antara Bait Allah, kekuasaan para imam Saduki dan kekuasaan politik dan militer Romawi.

Kemudian Yesus memutuskan untuk kembali masuk kota Yerusalem. Kali ini, dengan tindakan simbolik yang jelas, dia masuk ke kota suci itu sebagai sang Messias, seorang Raja Yahudi. Yakni dengan menunggang seekor keledai dan melewati jalan-jalan yang sudah dihampari dengan kain, dan dedaunan dilambai-lambaikan kepadanya, simbol kebesaran seorang Raja Yahudi, sang Messias. (Dari arah yang berlawanan, konfrontatif, Pontius Pilatus dan pasukannya sebetulnya juga sedang masuk ke kota Yerusalem.) 

Saat memasuki kota Yerusalem inilah dia membuat keriuhan dan kekacauan baru, yang lalu ditanggapi dengan siaga oleh para serdadu Romawi dan para polisi Bait Allah. Bagi para pendukungnya, ini adalah pawai kemenangan dan kebesaran bangsa Yahudi; tapi bagi Roma ini adalah aksi subversif. Tapi tidak terjadi penangkapan di saat itu. Ilustrasi di bawah ini representatif imajinatif.




Yesus yakin inilah saatnya untuk dia mulai menggunakan kapaknya, dan memobilisasi murid-muridnya dan orang banyak untuk melawan Roma. Dia menunggu suara Allah; tetapi Allah diam saja. 

Tapi sebuah petunjuk muncul juga saat itu: pada kedua belah tapak tangannya terbentuk stigmata, yang darinya mengalir darah segar. Yesus tampak menjadi lemah dan kehilangan orientasi dan kepercayaan diri. Haruskah dia mati dibunuh di kayu salib? Akhirnya oleh murid-muridnya, khususnya Yudas Iskariot, Yesus dibawa ke sebuah tempat persembunyian yang aman di dekat kawasan kota Yerusalem.

Akhirnya di sebuah rumah ibadat Yesus menemukan teks Yesaya 53:7 (“Dia dianiaya, tetapi membiarkan diri ditindas dan tidak membuka mulutnya seperti anak domba yang dibawa ke pembantaian; seperti induk domba yang kelu di depan orang-orang yang menggunting bulunya, dia tidak membuka mulutnya.”). 

Teks ini membuatnya mulai yakin bahwa sekarang dia harus menganut teologi Hamba Tuhan yang menderita, lewat kematian di kayu salib, untuk menebus bangsanya dari dosa-dosa mereka, untuk menjadi juruselamat dunia. 

Dia mulai memandang dirinya sendiri sebagai seekor domba yang akan disembelih tanpa melawan. Maksud teks ini di hari selanjutnya dibahasnya bersama Yudas Iskariot, tapi muridnya ini menyatakan diri tidak bisa memahami. Bagi Yudas dkk, tak masuk akal dan keyakinan mereka bahwa jika sang Messias datang, sang Messias ini tidak melawan penjajah, tapi pasrah saja saat nyawanya mau dihabisi musuh bangsa Yahudi.

Teologi kesyahidan para pejuang Makkabe mungkin juga mengilhami Yesus. Tapi jalan Yesus untuk menjadi seorang martir bukan dengan perang, tapi lewat suatu cara lain. 

Nah, pada kesempatan itu dicapai kesepakatan dengan Yudas bahwa Yudas akan mengkhianatinya, dengan menyerahkannya ke tangan pasukan Romawi di Taman Gethsemani pada malam hari lewat tanda ciuman untuk menunjukkan sosok yang harus ditangkap. Jalan ini harus ditempuh supaya Yesus mati di kayu salib. 

Di acara perjamuan terakhir yang digelarnya bersama murid-muridnya (lelaki dan perempuan), Yesus memberi makna simbolik roti sebagai tubuhnya, dan anggur sebagai darahnya, yang diserahkan kepada Roma untuk menyelamatkan manusia dari hukuman Allah karena dosa-dosa mereka. Sebelum acara perjamuan selesai, Yudas Iskariot meninggalkan Yesus. 

Lalu bersama murid-muridnya Yesus menuju Taman Gethsemani, dan di sana dia bergumul berat antara membatalkan niatnya untuk mati dan untuk terus maju tanpa takut. 

Tak lama kemudian Yudas muncul bersama pasukan Romawi dan sejumlah polisi Bait Allah. Setelah Yudas menciumnya, Yesus ditangkap dan dibawa pergi oleh pasukan Romawi yang dibantu para polisi Bait Allah.

Akhirnya Yesus diadili oleh Gubernur Romawi Pontius Pilatus, diakhiri dengan vonis hukuman mati di kayu salib. Pilatus mendakwa Yesus sebagai pemberontak yang ingin menggulingkan kekuasaan Romawi atas Tanah Yahudi, lalu menegakkan kerajaan Yahudi menggantikan Kekaisaran Romawi yang sedang menjajah Israel. 

Yesus menjelaskan bahwa dia tidak berjuang dengan jalan kekerasan, tapi dengan cinta kasih, dan kerajaan Yesus bukan berasal dari dunia ini tapi dari surga (artinya: kerajaan rohani, bukan kerajaan politik). 

Pilatus menjawab, entah Yesus berjuang lewat cinta kasih atau lewat angkat senjata, keduanya bagi Kekaisaran Romawi tidak berbeda, sebab tujuannya sama, yakni membawa perubahan bagi negeri Yahudi. Kata Pilatus, perubahan inilah yang Roma tidak kehendaki. Akhirnya Yesus disiksa dan digiring ke Golgotha untuk disalibkan di sana. Di tempat ini, kata Pilatus, sudah disalibkan 3.000 orang.

Saat sudah tersalib inilah Yesus penasaran mengapa Allah Bapanya tidak turun tangan menolongnya. Dia berteriak memanggil Allah, “Allahku, Allahku, mengapa engkau meninggalkan aku!” Sampai dikayusalibkan pun Yesus tak yakin bahwa kehendak Allah sudah diketahuinya.

Ya, tentu saja, Allah diam saja, meskipun dalam film ini digambarkan seolah alam ikut hadir mengawasi semua prosesnya. 

Beberapa peneliti menyatakan bahwa sebetulnya Yesus meyakini pada saat dia disalibkan, bala tentara langit akan langsung turun tangan, membebaskan Yesus, dan membinasakan Roma. Tapi langit diam saja. Yesus kecewa berat. Berteriak penasaran, kenapa Allah, sang Bapanya, tega menelantarkannya. 

Tak lama kemudian, di tengah kesakitannya, dia melihat di sekitarnya ada Bunda Maria, MM, Martha dan Maria dari Betania. 

Tiba-tiba Yesus melihat ada seorang perempuan muda duduk tidak jauh darinya, yang mengaku sebagai sang malaikat pelindungnya. 

Sang malaikat ini melepaskan Yesus dari kayu salib tanpa disadari oleh orang banyak di sekitar tempat itu. Yesus heran, dan bertanya dia mau dibawa ke mana. Sang malaikat menyatakan Yesus harus melihat ke depan, bukan ke belakang. 

Yesus dibawa ke kawasan yang tampak sangat subur, hijau dan asri. Di kejauhan dia melihat serombongan orang banyak sedang mendekat ke tempat mereka berdiri. Menurut sang malaikat, rombongan itu adalah para perempuan (dan beberapa pria) yang mau menyambutnya untuk kawin dengan MM. Yesus bertemu MM dan MM merangkulnya. 

Di rumah mereka, Yesus bersenggama dengan MM, dan MM sangat senang karena katanya mereka akan punya anak. Saat MM sedang mengandung tua, Allah datang mengangkat MM ke surga. Yesus jadi sangat berduka atas kematian istrinya bersama bayi yang masih belum dilahirkan. 

Sang malaikat pelindungnya menunjukkan ada dua perempuan lain yang siap jadi istrinya, menggantikan MM. Akhirnya Yesus kawin dengan Maria dari Betania, dan beberapa tahun kemudian, setelah punya dua anak, Yesus juga mengawini Martha. Dari mereka dia mendapatkan enam anak. 

Yesus mulai melihat bahwa menjadi manusia normal, kawin dan punya anak, sangat menyenangkan hatinya dan signifikan buat kehidupannya sendiri.

Suatu saat, ketika sedang berjalan-jalan bersama keluarganya, dengan didampingi sang malaikat pelindungnya, di Yerusalem Yesus bertemu dengan Rasul Paulus (menurut tradisi, Paulus mati di kota Roma pada tahun 62 M) yang sedang mengkhotbahkan Yesus Kristus sebagai sang Messias yang telah mati disalibkan, lalu dibangkitkan pada hari ketiga, untuk menebus dosa dunia. 

Yesus marah dan menyatakan Paulus sebagai pendusta, sebab sang Kristus yang diberitakan Paulus adalah dirinya sendiri yang tidak jadi mati dikayusalibkan. Tapi Paulus menjawab, siapapun pria yang menuduhnya pendusta, yang mengaku sebagai Yesus, tidaklah penting; sebab yang sangat penting dan dibutuhkan manusia adalah sang Kristus yang telah mati disalibkan dan dibangkitkan pada hari ketiga, yakni Yesus Kristus versi Paulus sendiri.

Yesus pun akhirnya menjadi tua, berumur 70-an tahun, sementara sang malaikat perempuan muda pelindungnya tidak kunjung tua. Sexy dan singset abadi.

Suatu hari di tahun 70, Yerusalem dibumihanguskan dan Bait Allah dihancurkan, sebagai puncak Perang Yahudi I (tahun 66-70). Panik melanda seluruh kota. Dalam situasi yang kacau inilah Yesus terbaring di dipan dalam usia tua, sedang bersiap mati, di rumahnya di Yerusalem, ditemani istri-istrinya (Martha dan Maria dari Betania). 

Tiba-tiba saja pintu rumahnya terbuka, dan murid-muridnya satu per satu masuk, termasuk Petrus. Akhirnya masuklah Yudas Iskariot yang pada kedua belah tangannya terlihat lumuran darah karena dia ikut dalam pemberontakan. 

Oleh Yudas, Yesus dengan keras dicap sebagai pengkhianat dan manusia pengecut. Yesus menjelaskan bahwa dia bukan pengkhianat, karena Allah mengirim sang malaikat pelindungnya saat dia sedang terpaku di kayu salib untuk melepaskannya dan mengarahkannya untuk hidup wajar sebagai seorang manusia laki-laki: kawin, membangun keluarga dan punya anak-anak. 

Tapi Yudas menegaskan, perempuan muda yang mengaku sebagai sang malaikat pelindungnya itu bukan malaikat dari Allah, tetapi Setan yang pernah mencobainya saat dia berada di suatu padang gurun. Tiba-tiba saja sang malaikat pelindungnya ini berubah wujud menjadi kobaran api besar dan menyalami Yesus kembali. 

Yesus segera tersadarkan dia sudah ditipu sang Setan. Dia dengan sangat bersusahpayah menyeret-nyeret tubuhnya sendiri yang sudah jompo keluar dari rumah, lalu sampai di jalan. Di sana dia meratap dan berdoa, memanggil Allah dan menyatakan diri telah tidak taat kepada Allah. Lalu Yesus menyatakan dirinya ingin sampai mati dikayusalibkan.  

Segera saja adegan film ini beralih kembali ke bukit Golgotha, dan di sana adegan penyaliban Yesus muncul lagi seperti sebelumnya. 

Jelas, pertolongan sang malaikat perempuan muda, dilepaskannya dia dari kayu salib, perkawinannya dengan MM dan Maria dan Martha, dan anak-anaknya, dan rumahtangganya, dan usianya yang sampai 70-an tahun di kota Yerusalem, semuanya adalah lamunan Yesus sendiri yang berlangsung mungkin hanya dalam belasan menit. Lamunan ciptaan imajinatif sang novelis.

Lamunan inilah yang dimaksudkan dengan judul film ini: Pencobaan Terakhir Yesus Kristus. 

Dalam dunia nyata, tidak ada kemungkinan sekecil apapun seorang yang sudah disalib bisa meloloskan dirinya sendiri atau dengan dibantu orang lain, berhubung banyak serdadu dengan ketat menjaga kawasan tempat penyaliban. Dan di malam hari, binatang-binatang buas bebas berkeliaran di sana mencari mangsa.

Kali ini, dalam adegan di Golgotha itu, Yesus, setelah keluar dari lamunannya itu, tidak lagi berkeluh kesah karena menemukan dirinya ditelantarkan Allah, melainkan dengan sangat percaya diri dan dengan gembira dia berkata, “Sudah selesai”, “It is accomplished.” 

Ucapan Yesus yang gagah ini dicomot dari Injil Yohanes, yang menganulir jeritan keterlantaran Yesus yang muncul dalam Injil Markus. Penulis Injil Yohanes bagian kisah azab Yesus tidak sependapat dengan penulis kisah kesengsaraan Yesus dalam Injil Markus.

Begitulah, Yesus mati dengan tenang di kayu salib. Film pun habis. Film yang panjang, dengan total durasi kurang lebih 164 menit.

Berikut ini refleksi kritis saya pribadi. Tentu dengan berpijak pada ilmu sejarah. Bukan lamunan saat saya duduk di sebuah dahan besar pohon mangga harum manis.

Film ini perpaduan kreatif dan imajinatif antara fakta-fakta sejarah dan fiksi; tetapi lebih banyak unsur fiksinya alih-alih unsur fakta. 

Di awal film ini sudah ditegaskan bahwa film ini tidak disusun berdasarkan injil-injil. 

Pada pihak lain, injil-injil Perjanjian Baru sendiri bukan kisah-kisah sejarah juga, tetapi perkawinan ajaran-ajaran agama (baca: teologi) Kristen dengan fakta-fakta tentang Yesus. Kita katakan, injil-injil adalah perpaduan kreatif dan imajinatif antara mitos dan sejarah, dan kini sangat sukar untuk memisahkan keduanya, walaupun masih mungkin dilakukan lewat metode-metode keilmuan.

Usaha untuk menemukan kembali fakta-fakta tentang Yesus, yang bisa dibedakan dari mitos-mitos tentang Yesus, ada bidang kajiannya sendiri, usaha ilmiah, yang dinamakan kajian Yesus sejarah, the historical Jesus research, atau the reconstruction of the historical Jesus. Ini perlu dibeberkan pada kesempatan lain.

Dalam film ini yang sangat jelas fiksi adalah pencobaan terakhir yang dialami Yesus. Entirely fictive! 

Juga penggambaran MM sebagai seorang pelacur adalah fiksi, dimulai dulu di tahun 591 M saat Paus Gregorius Agung memberi stigma negatif kepada MM sebagai seorang pelacur yang bertobat (sebagai tafsirannya atas Lukas 7: 36-50 yang dibentangkannya dalam serangkaian khotbahnya tentang MM di kota Roma, lihat khususnya Homily XXXIII). 

Adegan Maria Magdalena mau dirajam karena kedapatan di hari Sabat tetap bekerja sebagai seorang pelacur dengan melayani orang-orang Romawi, lalu diselamatkan oleh Yesus dengan gagah berani, juga fiktif. 

Kalaupun kejadian ini pernah terjadi dalam sebuah episode kehidupan Yesus (bdk Yohanes 8:1-11), kita tidak akan pernah tahu identitas sang perempuan pelacur ini. Selamanya identitasnya in the dark.

Dalam realitas sejarah, MM sebetulnya adalah rasul terunggul dan tercerdas Yesus, melampaui semua rasul pria Yesus. MM pada masa paling awal kekristenan diakui sebagai “rasul dari segala rasul” (apostolorum apostola). Ada bukti-bukti teks tentang MM dengan status mulia ini, misalnya dokumen Pistis Sofia. Tetapi ini juga perlu dibahas lain kali.

Tentu saja setiap manusia selalu bergumul sepanjang umur kehidupan mereka tentang siapa dan apa jatidiri sejati mereka. 

Setiap insan itu selalu in the process of becoming, sampai saat usia menjadikannya jompo lalu masuk liang kubur atau berubah jadi setumpuk debu tulang lewat kremasi, atau sampai mati mendadak atau mati pelan-pelan di usia muda karena banyak sebab. Jadi, pasti Yesus juga demikian. Kepribadian setiap orang itu suatu bangunan mental yang dinamis, tak pernah statis.

Usaha-usaha menengok ke dalam batin Yesus untuk menemukan pergumulan eksistensialnya selalu subjektif dan bahkan spekulatif, sehingga setiap orang bisa mereka-reka sendiri, termasuk mereka-reka bentuk-bentuk ujian dan cobaan yang dialaminya. 

Yesus tidak pernah menulis apapun tentang dirinya atau tentang pergumulan batinnya atau tentang hal-hal lain; dan mungkin sekali dia buta huruf. 

Sejak awal kehidupan masa dewasanya di Galilea, hingga ke era penulisan dokumen-dokumen Perjanjian Baru dll, dan era-era selanjutnya, orang sudah harus menafsirkan siapa pria dari Nazareth ini dari berbagai sudut pandang. 

Dan akhirnya banyak yang berselisih paham satu sama lain tentang siapa diri sang pemuda baik hati namun kontroversial ini. 

Inilah juga yang dilakukan novelis Nikos Kazantzakis di abad ke-20. Berimajinasi tentang Yesus. Menafsir Yesus. Menulis tentang Yesus yang sedang bertarung dan bergumul tentang jalan kehidupannya di awal usia 30-an tahun. 

Bagi banyak orang, imajinasi Kazantzakis ini mengasyikkan. Bagi sebagian lagi, tak terbayangkan. Namanya juga imajinasi. Jangan sia-siakan imajinasi, sejauh dibangun dengan landasan ilmu pengetahuan, seni budaya dan kebajikan.

Semua pencobaan Yesus yang digambarkan dalam film ini fiktif. Tetapi jelas faktual kalau Yesus juga penuh pergumulan real di sepanjang usianya yang pendek (hanya sampai maksimal 32-34 tahun). 

Dalam film fiktif ini Yesus, dalam pergumulan batinnya, kelihatan sebagai seorang “paranoid” (terobsesi sebagai seorang maha penting di dunia) atau malah “megalomaniak” (terobsesi sebagai seorang besar yang akan melakukan hal-hal besar) atau “delusional” (kekeh memegang kepercayaan yang terbukti keliru). 

Atau mengidap TLE: dia membayang-bayangkan dirinya terus dikuntit Allah yang kerap juga bersuara di kedua telinganya, merasa diri sangat penting bagi Allah, dan percaya kalau dia akan menjadi orang besar sang juruselamat dunia. Semua ini imajinasi si penulis novelnya.

Tapi keadaan yang dialami Yesus ini juga diumpan oleh berbagai ajaran keagamaan yang hidup di kalangan Yahudi pada masanya. 

Yesus memang korban, oleh bayangan-bayangannya sendiri tentang dirinya sendiri, yang dibentuk oleh agama Yahudinya pada masa kehidupannya, dan oleh keprihatinannya yang dalam pada kondisi kehidupan pahit rakyat yang tanpa kemerdekaan.

Tetapi betapapun kreatif dan imajinatif, pesan film Martin Scorsese ini jelas sangat konservatif: Yesus telah mati di kayu salib untuk menebus dosa dunia, dosa semua manusia, sejak Adam dan Hawa sampai nanti saat jagat raya ini lenyap kembali, berubah menjadi satu singularitas “black hole” yang masif dan berenergi sangat besar. 

Yesus sukses menuntaskan misinya untuk menyelamatkan dunia lewat kematiannya di kayu salib, setelah melewati berbagai keraguan dan pergumulan.

Film ini mempertahankan sebuah teologi Kristen ortodoks. Dalam teologi ini, kematian dan kebangkitan Yesus dipandang secara magis akan berefek melepaskan manusia dari berbagai penderitaan, sakit penyakit dan kemurkaan Allah. 

Dalam fakta, efek magis ini tidak ada sama sekali. Orang Kristen pada umumnya tidak berbeda dari orang lain kebanyakan manapun, dalam kehidupan moral dan kesehatan jasmaniah mereka, dan kelakuan mereka juga. Orang non-Kristen mati karena serangan kanker atau AIDS, orang Kristen juga. 

Tidak ada yang sangat istimewa agung pada setiap orang Kristen. Kalau ada orang-orang yang berakhlak cukup atau lumayan atau luar biasa agung dalam kekristenan masa lalu dan masa kini, hal yang sama juga ditemukan di dalam agama-agama lain. Tapi teroris Kristen juga ada; bukan hanya teroris Islam.

Pada sisi lainnya, keyakinan bahwa kematian Yesus mendatangkan efek magis pengampunan dosa bagi orang yang (sebagai syarat!) percaya kepadanya, malah dengan asyik dan gelo dimanfaatkan banyak orang Kristen dengan negatif. Mereka berbuat dosa terus lantaran, mereka percaya, selalu akan datang lagi pengampunan dosa bagi mereka tanpa akhir. 

Kondisi ini terjadi karena apa yang disebut sejumlah orang sebagai "anugerah murah" dalam ajaran jalan keselamatan Kristen. Diajarkan oleh para pengajar agama Kristen bahwa kematian Yesus itu menghapus dan menanggung dosa manusia "satu kali untuk selamanya"; dan sekali seseorang sudah menjadi Kristen, tidak ada lagi peluang untuk dirinya terbuang dari anugerah Allah lantaran Tuhan dengan tak sembarangan sudah memilihnya untuk diselamatkan. 

Balik ke film. Dari tiga pencobaan yang dialami Yesus di padang gurun, yang dikhayalkan novelis Nikos Kazantzakis, pencobaan pertama hemat saya, jika saya mengikuti imajinasi sang novelis, lebih perlu Yesus turuti: hidup mengikuti kemauan sukmanya, untuk tidak hidup sendirian, tapi menikah dan membangun keluarga, punya anak-anak. Hidup normal sebagaimana orang pada umumnya, alih-alih bercita-cita besar mau mengubah dunia dengan cinta kasih, atau dengan kapak, atau lewat kematiannya di kayu salib. 

Pencobaan terakhir yang dialaminya saat sedang tersalib dan melamun sebetulnya sejalan dengan pencobaan yang pertama yang dialaminya di gurun: kawin, bangun keluarga, punya anak-anak, dan memberi kebahagiaan buat mereka. 

Masyarakat menjadi kuat jika setiap keluarga di dalamnya berbahagia. Ini kearifan sosial yang sudah berusia ribuan tahun.

Bedanya, pencobaan pertama datang dari sukma Yesus sendiri (disimbolkan sebagai seekor ular kobra hitam, dengan suara MM), dan pencobaan terakhir dari Setan (disimbolkan kobaran api besar, yang mengambil wujud lain sebagai sang malaikat perempuan muda pelindungnya). 

Dalam bingkai imajinasi Kazantzakis, sang Setan tampaknya menunjukkan jalan yang lebih benar kepada Yesus, ketimbang khayalan Yesus sendiri bahwa dia akan jadi juruselamat dunia lewat mati di kayu salib, sejalan dengan ajaran-ajaran keagamaan yang dikenalnya. Ini sebuah ironi!

Dari mana asal-usul teologi ortodoks Kristen yang menyatakan bahwa kematian dan kebangkitan Yesus menyelamatkan dan menebus manusia dari murka Allah? 

Secara historis, bukan dari Yesus sendiri, tapi mula-mula disusun oleh Rasul Paulus yang dipenuhi rasa bersalah karena dia pernah menganiaya dan bahkan membunuh para pengikut Yesus (atau disebut sebagai para pengikut Jalan Tuhan). 

Paulus perlu membebaskan dirinya dari tekanan batin yang berat ini, dari dosa-dosanya. Dia perlu diselamatkan dan ditebus. Caranya? 

Ya, dengan memodifikasi doktrin penebusan dosa dari agama Yahudi yang dianutnya sebelum jadi Kristen, Paulus membangun ajaran keselamatan Kristen itu, untuk pertama-tama membebaskan dirinya dari rasa bersalahnya yang berat lewat pengurbanan Yesus di kayu salib. Hewan kurban dalam ritual penebusan dosa agama Yahudi diganti oleh Paulus dengan kurban insani, sang Kristus yang mati disalibkan. Kemudian dia menawarkan teologi ini kepada orang banyak, kepada dunia, lewat khotbah-khotbahnya dan lewat tulisan-tulisan teologinya (berupa surat-surat) yang sekarang termuat dalam Perjanjian Baru. 

Adegan fiktif perjumpaan Yesus dengan Rasul Paulus di Yerusalem dan percakapan keduanya dalam film ini sangat revelatif!

Kalau teologi Paulus ini kita lepaskan dari Yesus, lalu kita memakai ilmu-ilmu sosial (antropologi kultural, dan sosiologi gerakan protes sosial) untuk memahami gerakan yang dimulai Yesus (berawal di Galilea dan mencapai klimaksnya dengan kematiannya di Yudea), kehidupan dan kematian Yesus jadi signifikan dan bernilai dan bermakna lain. 

Lewat kajian-kajian sosial, Yesus akan muncul sebagai seorang nabi sosial yang berusaha keras untuk memberdayakan rakyat Yahudi yang miskin dan menderita banyak azab karena penjajahan Romawi. 

Yesus berusaha membangun sebuah masyarakat alternatif yang di dalamnya semua anggotanya setara dan diperlakukan dengan adil atas nama Allah Yahudi yang rahmani dan rahimi. Acara berkala makan bersama lesehan tanpa meja adalah wujud miniatur masyarakat alternatif yang diidam-idamkan Yesus.

Allah ini sedang mendatangkan kerajaan-Nya, pemerintahan-Nya, di tengah-tengah rakyat jelata, yaitu para pengikut Yesus kalangan rendah yang dari waktu ke waktu makin bertambah banyak. Mereka miskin. Hari ini bisa makan, besok belum tentu. 

Yesus menguatkan mereka dengan menunjuk burung di udara dan bunga di padang dan jangkrik serta semut di padang dan kunang-kunang. Mereka tetap terpelihara meski tak punya apa-apa.

Allah ini lewat gerakan Yesus memperlihatkan diri sebagai Allah yang penuh belarasa, yang tidak melupakan kalangan terendah dalam masyarakat Yesus zamannya yang dikotak-kotak dan diklasifikasi menurut ketentuan-ketentuan hukum-hukum agama (dalam antropologi disebut “sistem puritas”) yang tidak memihak mereka.

Allah ini memberi makan orang yang lapar, menyembuhkan orang yang sakit, dan membangun dan memberdayakan setiap insan yang patah semangat. 

Pesan-pesan Yesus ini sebagai seorang nabi sosial disampaikannya lewat kisah-kisah fiktif, lewat metafora-metafora, perumpamaan-perumpamaannya, dan tindakan-tindakan simboliknya. Di banyak tempat, dia menyatakan kini Raja Yahudi yang sebenarnya sedang hadir dan memerintah, yakni Allah Yahudi yang rahmani dan rahimi, lewat usaha-usaha Yesus sendiri.

Lalu, kenapa akhirnya dia ditangkap lalu disalibkan sampai mati? Ada beberapa sebab historis utama. 

Di mana-mana di Galilea Yesus berkisah dan memberitakan Allah Yahudi adalah Raja bangsa Yahudi yang sebenarnya, bukan Kaisar Romawi. 

Oleh para penguasa Yahudi dan Romawi, berita-beritanya ini dinilai subversif karena akan menggerakkan rakyat untuk akhirnya memberontak terhadap Kaisar Romawi yang kehadirannya di Tanah Yahudi diwakili oleh Gubernur Romawi di provinsi Yudea dan berbagai ketentuan hukum Romawi yang mengatur negeri Yahudi jajahan mereka.

Tetapi yang paling fatal adalah dua aksi Yesus di Yudea di masa perayaan Paskah, yakni demonstrasinya di Bait Allah (ini faktual) dan tindakan simboliknya (ini juga faktual) sebagai Raja Yahudi ketika dia masuk ke kota Yerusalem dengan menunggangi seekor keledai dan dielu-elukan oleh rakyat sebagai Raja Yahudi yang sedang datang. 

Pada masa Paskah (hari perayaan Yahudi selama 7 hari untuk memperingati kemerdekaan moyang Israel dengan meninggalkan negeri Mesir yang memperbudak mereka, peringatan Eksodus), pasukan Romawi ditambah jumlahnya, dan situasi kamtibmas dijaga betul untuk tetap stabil. 

Pasukan yang mengawasi seluruh kompleks Bait Allah (dari benteng Antonia) mengambil posisi siaga penuh, memantau semua gerak orang di sekitarnya. Setiap huru-hara betapapun kecil pada masa Paskah di dalam dan di sekitar Bait Allah dan kota Yerusalem, akan langsung diberi respons militeristik dan para perusuh akan segera ditangkap dan langsung dieksekusi untuk menggertak dan menteror para pendukung mereka. 

Pasukan-pasukan Romawi pada musim Paskah ini siaga penuh karena dalam musim perayaan Paskah ini di Yerusalem bisa terhimpun sampai 3.000.000 orang pengunjung domestik dan pengunjung dari mancanegara, seperti tercatat dalam karya sejarawan Yahudi yang bernama Flavius Yosefus (Jewish War 6.420-427; 2.280). 

Perayaan ini dan renungan-renungan teks-teks suci yang dilihat dari sudut teologi Eksodus dan ritual-ritual keagamaan yang dijalankan, semuanya potensial sekali membangkitkan nasionalisme dan patriotisme rakyat Yahudi. Sikon mental ini sangat mungkin bermuara pada pemberontakan dan kerusuhan besar di seluruh kota, khususnya di Bait Allah sebagai pusat pemerintahan. 

Kalau angka yang diajukan Yosefus sangat fantastik sehingga sukar dipercaya, tafsiran yang moderat menyebut angka 300.000 sampai 400.000 orang. Jumlah yang tetap sangat besar!

Setelah dua peristiwa ini, salah seorang muridnya melaporkan kepada pihak yang berwenang tentang di mana Yesus akan bisa ditangkap dan kapan dan dengan cara bagaimana. Dalam film ini murid yang melaporkan adalah Yudas Iskariot; tetapi secara faktual tidak harus Yudas Iskariot, bisa murid lain manapun yang melihat gerakan Yesus terlalu radikal dan berbahaya, baik bagi agama Yahudi sendiri maupun bagi keamanan negeri mereka dan kestabilan politik. 

Ada beberapa pakar kajian Yesus yang berpendapat bahwa Yudas Iskariot dipilih para penulis injil PB sebagai murid pengkhianat untuk mendiskreditkan orang Yahudi sehubungan dengan penderitaan dan penghukuman Yesus di kayu salib. Nama “Yudas” itu seakar dengan nama “Yudea” atau “Yahudi”; dus, bangsa Yahudi, yang ditampilkan sebagai Yudas, telah bersalah karena mereka telah berkhianat kepada Yesus (bdk Matius 27:25).

Bagaimanapun juga, Yesus dari Nazareth akan tetap bisa menginspirasi semua aktivis gerakan sosial, apapun agama mereka, dalam kehidupan suatu masyarakat dan negeri yang rakyatnya sedang tertindas, kapan pun dan di manapun. 

Yesus adalah satu sosok agung masa lalu yang menjadi suatu sumber besar inspirasi bagi jalan kehidupan saya. Saya cinta Yesus. 

Studi ilmiah atas figur Yesus adalah salah satu ekspresi cinta saya. Jika anda mencintai seseorang, anda tentu ingin lebih jauh dan lebih dalam mengetahui dan mengenal orang yang anda cintai itu. Tak ada benturan antara cinta dan ilmu pengetahuan. Tuhan itu mahapenyayang sekaligus mahatahu.

Nah, kematian Yesus, jika dilihat sebagai kematian seorang nabi sosial yang dekat ke rakyat jelata, adalah kematian yang agung, berharga dan menjadi sebuah risiko mulia setiap pejuang HAM dan pemberdaya rakyat pada masa kini di manapun. 

Tapi meski Yesus menjadi penginspirasi saya, hemat saya, saya tidak perlu mati muda apalagi mati lewat penyaliban. Umur panjang dan sehat memberi saya peluang berharga untuk menyebarkan makin banyak dan makin luas ilmu pengetahuan, bukan agama. 

Untuk Indonesia, kematian Munir dapat dilihat berada dalam rel yang sama dengan kematian Yesus. Bedanya: tidak ada seorangpun di dunia yang memandang Munir sang juruselamat Indonesia, apalagi sang juruselamat dunia, apalagi mempertuhan dan menyembahnya. Begitu juga halnya dengan kematian Martin Luther King, Jr., dan sosok-sosok besar lain dalam dunia modern, yang telah berjuang untuk menegakkan HAM di mana-mana.

Tentu anda akan bertanya. Kenapa Yesus bisa ditinggikan begitu rupa, sebagai sang juruselamat dunia, Anak Allah, bahkan Allah sendiri, lewat kematiannya, dalam kepercayaan gereja-gereja awal dulu? 

Karena pada masa itu deifikasi (praktek memperilah manusia, dinamakan juga apotheosis) adalah praktek religiopolitik yang umum dan lumrah dijalankan di kawasan Yunani-Romawi. Banyak insan besar, dari berbagai profesi dan jalan hidup dan kebangsaan, di era kekristenan awal di dunia Laut Tengah mengalami deifikasi, bukan hanya Yesus. 

Menerapkan akidah tentang syirik pada doktrin tentang ketuhanan Yesus adalah suatu praktek salah zaman dan salah tempat; dengan kata lain suatu anakronisme. Kita tahu, syirik adalah sesuatu yang paling gigih ditolak agama Islam, kendatipun dalam agama ini Al-Qur’an sendiri juga dipandang begitu mulia dan tinggi bukan sebagai kitab insani!

Dalam film ini, ketika Pontius Pilatus bertanyajawab dengan Yesus, sang Gubernur ini menyatakan selain Yesus melawan Imperium Romawi, dia juga melawan Allah-allah Romawi. Teologi politik Kekaisaran Romawi sangat jelas, teologi deifikasi: Kaisar ya Dewa, dan Dewa ya Kaisar. Tidak ada sekularisme pada zaman kuno ini.

Tetapi seandainya memang Yesus yakin dirinya akan menjadi juruselamat dunia lewat kematiannya di kayu salib, bagaimana? 

Ya, paling jauh ini hanya keyakinan Yesus, belum tentu kemauan Allah. 

Kalau betul Yesus pribadi sangat percaya dan sangat menghayati teologi Hamba Tuhan yang menderita dari teks suci Yesaya 53, atau teologi kesyahidan para pejuang Makkabe, dan kalau betul teologi-teologi ini mujarab secara magis, mustinya setelah Yesus dihukum mati di kayu salib, tanah Yahudi akan langsung disucikan Allah, kekuasaan penjajah Romawi berakhir, rakyat Yahudi diselamatkan dan hidup sejahtera.

Faktanya sama sekali tidak demikian. Perang Yahudi I dan Perang Yahudi II berlangsung sekian dasawarsa setelah Yesus mati; dan kedua pemberontakan ini gagal total, bangsa Israel tetap terjajah. 

Lalu masih sekian abad ke depan bangsa Yahudi terbuang dari negerinya sendiri. Tanah Yahudi tetap ternajiskan karena diduduki bangsa besar lain.

Bayangan-bayangan Yesus bahwa dia akan menjadi juruselamat negerinya sendiri saja gagal terpenuhi, apalagi akan menjadi juruselamat dunia di segala zaman dan di segala tempat. 

Dan penting untuk diingat: bangsa Yahudi di abad-abad pertama M tidak pernah mengakui Yesus sebagai sang Messias, Raja Yahudi. Sebaliknya, Simon bar Khokbah yang memimpin Perang Yahudi II diakui dengan merata oleh bangsa Yahudi sebagai sang Messias mereka, Raja Yahudi, meskipun kehidupannya berakhir dengan kematian di kota Roma setelah dibawa ke sana sebagai tawanan Roma. 

Dalam tradisi religiopolitik Yahudi kuno, salah satu syarat terpenting untuk seorang Yahudi dapat diberi label Messias (Yunani: Khristos) adalah sosok ini harus berani mengobarkan perang militeristik melawan penjajah, lepas dari ihwal apakah dia akan menang atau dia akan mati. Tak ada satu pun bukti sastra kuno yang menggambarkan Yesus dari Nazareth memobilisasi orang Yahudi untuk memerangi penjajah Roma. 

Pada pihak lain, sekali lagi perlu diingatkan, teologi tentang Hamba Tuhan yang menderita tetapi tidak melawan, tidak laku di kalangan para pejuang bangsa Yahudi yang berulangkali jatuh ke tangan bangsa-bangsa besar yang menjajah mereka.

Yesus dari Nazareth diakui sebagai sang Messias hanya oleh komunitas-komunitas Kristen perdana, tidak secara universal, pada awalnya dulu. Ya, sang Messias Kristen, tapi tidak lagi dalam arti politik, tetapi secara rohani. Yesus sang nabi sosial diredusir jadi Yesus sang rohaniwan yang lewat kematiannya membuka jalan untuk orang Kristen masuk sorga rohani.

Namun, hemat saya, keyakinan orang Kristen bahwa mereka (karena percaya Yesus sebagai syaratnya!) akan pasti terima hadiah masuk sorga setelah kematian ini tetap bernilai positif hanya jika keyakinan ini mendorong kuat setiap orang Kristen untuk menjalankan kehidupan yang suci dan benar selama masih hidup di muka Bumi yang real yang memiliki forsa gravitasi. 

Hidup suci dan benar itu menjadi bukti bahwa mereka memang layak dan pasti masuk sorga setelah mereka wafat dan forsa gravitasi Bumi tak berlaku lagi bagi mereka yang sudah pergi ke rumah ketiadaan. 

Hidup suci dan benar itu ya tidak jadi koruptor, predator, penebar teror dan horor.

Tidak jahat dan durjana. Penuh empati dan belarasa kepada sesama manusia yang menderita. 

Tidak memperkaya diri tujuh ribu keturunan dengan jualan agama. 

Tidak menunggangi agama dan Tuhan untuk meraih kepentingan politik dan kekuasaan bagi diri sendiri, keluarga dan kelompok sendiri. 

Tidak pongah dengan mengklaim diri paling benar. Tidak dikendalikan sentimen SARA yang destruktif.

Mencintai, memperdalam, memajukan dan menyebarkan ilmu pengetahuan. 

Hidup dengan cerdas, waras, welas ikhlas, tangkas, berkualitas, tegas, pantas, dan berwawasan luas tanpa batas. 

Menyayangi planet Bumi ini dan negeri sendiri. 

Merawat dan membangun kehidupan yang sehat dan berbahagia bagi keluarga sendiri dan banyak orang lain sebagai sesama insan, dan bagi hewan dan tetumbuhan.

Anda hanya berkoar-koar kosong saja akan masuk sorga setelah wafat dan diam di rumah ketiadaan, selama anda tidak ikut aktif mendirikan sorga di muka Bumi yang real ini saat anda masih hidup bertubuh dan tunduk pada gaya tarik planet Bumi.

Jadi, jika imajinasi sang novelis diikuti, mungkin lebih baik seandainya Yesus hidup normal sebagai seorang insan pria, kawin, bangun keluarga sendiri, punya anak-anak, alih-alih dia terobsesi untuk menjadi sang juruselamat bangsa Israel dan seisi dunia ini yang, ditinjau dari studi sejarah sosial dan sejarah politik, ternyata gagal total. 

Kalaupun Yesus mau lebih dari itu, ya pilihlah jalan kehidupan sebagai seorang ayah yang baik, bukan saja buat anak-anaknya sendiri, tapi juga buat masyarakatnya yang sedang tertindas. Yesus dapat berjuang sebagai seorang aktivis sosial, sebutlah nabi sosial, dalam lingkungan yang terbatas. Alhasil, saya tak perlu khawatir Yesus yang saya kagumi ini berkhayal kejauhan. 

Buat anda yang sedang terdelusi bahwa anda adalah seorang besar yang akan menjadi juru selamat dunia, catatan-catatan saya di atas juga berlaku. Oh ya, berlaku juga buat saya sendiri, seekor semut yang tak pernah bisa menjadi seekor gajah.


Semoga mencerahkan!

** Pengantar diskusi film The Last Temptation of Christ (1988) di Pisa Cafe Mahakam. Jl. Mahakam, Bulungan, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Jumat, 14 Maret 2014, mulai pukul 16.00. Disiapkan oleh Ioanes Rakhmat. Kontak saya lewat email ioanesrakhmat@gmail.com. Follow saya di Twitter dengan akun @ioanesrakhmat. Kontak HP saya 08998092020. Baca buku mutakhir saya Beragama dalam Era Sains Modern (2013); dan yang akan segera terbit (2014), Cerdas Beragama: Sebuah Antologi Pencerahan.