Monday, December 22, 2014

Tuhan itu mahatahu! Anda?



Tuhan itu mahatahu. Maka itu anda harus belajar dan mengembangkan sains terus-menerus, supaya anda makin dekat dengan kemahatahuan Tuhan.

Tuhan itu mahatahu. Karena itu, Tuhan menginginkan anda cerdas dan memiliki pengetahuan seluas-luasnya. Tuhan tidak menghendaki anda bodoh dan tidak berpengetahuan. 

Pengetahuan itu ibarat lautan luas dan dalam tanpa pantai. Anda terus saja berenang-renang ke sana ke sini hingga anda wafat. 

Pengetahuan itu bak angkasa luar tanpa awal, tanpa tepi dan tanpa ujung. Anda terus saja menjelajah ke sana dan ke sini, tidak pernah berhenti, hingga anda meninggal dunia. Lalu orang-orang lain meneruskan penjelajahan anda, sambung-menyambung, abadi.

Karena Tuhan itu mahatahu, tentu saja dia tidak takut pada hal-hal baru yang akan menimbulkan perdebatan panjang.

Jika ada agama yang membuat anda takut berpikir, takut belajar, takut menerima ilmu pengetahuan, takut berubah, takut ragu, takut menjelajah, agama itu jelas bertentangan dengan kemahatahuan Tuhan.


Jakarta, 22-12-2014 
Ioanes Rakhmat

Thursday, December 18, 2014

Tak ada Tuhan yang jahat!

Dalam dan demi nama Tuhan yang Al-rahman dan Al-rahim . . .

Banyak Muslim di berbagai media sosial Internet saat-saat ini menyatakan dengan yakin bahwa pembunuhan lebih dari 100 anak sekolah di Peshawar, Pakistan, oleh Taliban,/1/ adalah takdir Tuhan. Apakah betul dan valid jika dipercaya paidasida ini adalah kehendak Tuhan?

Kata mereka, "Semua manusia pasti mati. Ini takdir Tuhan. Cara mati manusia lain-lain, tetapi semuanya takdir Tuhan. Jadi, pembunuhan 100 lebih anak sekolah di Peshawar, Pakistan, oleh Taliban, juga takdir ilahi. Jangan disesali, terima saja dengan syukur, dan teruslah memuji Tuhan!"

Saya tidak tahu, Muslim yang berpandangan semacam itu aliran apa. Setahu saya, tidak semua Muslim memegang keyakinan seperti itu. 

Ada banyak Muslim yang sangat marah pada Taliban atas tindakan biadab mereka. Setahu saya, dalam Islam, doktrin tentang takdir ilahi sangat kuat dipegang oleh nyaris semua Muslim. Tetapi ada juga yang meragukan doktrin ini bahkan tidak bisa mempercayainya lagi dan tidak mau memegangnya lagi.

Takdir ilahi adalah kehendak Tuhan yang sudah Tuhan gariskan sebelum terjadi. Takdir adalah suatu cetak biru atau skenario ilahi absolut atas segala lika-liku jalan kehidupan setiap individu yang sudah dibuat Tuhan di sorga sebelum individu-individu itu dilahirkan dalam dunia ini. 

Dalam cetak biru takdir ilahi ini sudah tercetak atau tergariskan semua kejadian, baik azab, prahara, nestapa, penderitaan, maupun kesenangan, kebahagiaan dan kegembiraan setiap individu, yang dialami masing-masing sejak dalam rahim biologis bunda mereka sendiri-sendiri hingga mereka masuk kembali ke dalam rahim Bumi saat kematian. 

Dalam kosa kata teologi Kristen, doktrin takdir ilahi kurang lebih disebut doktrin pra-destinasi. Menurut doktrin ini, Tuhan berkuasa dan berdaulat menggariskan nasib setiap orang, mulai dari janin, bayi, anak-anak, remaja, orang dewasa, akhirnya para lansia, sampai saat setiap orang menemui kematian. 

Takdir ilahi tidak bisa dilawan atau ditolak oleh manusia. Bahkan sebelum seseorang dilahirkan ke dalam dunia, jalan kehidupannya sudah ditakdirkan Tuhan, sudah digariskan atau disuratkan dulu oleh Tuhan, sudah dibuat peta dan skenarionya. Sudah dirancang kisahnya dan plotnya, dan klimaksnya, dan ending-nya, semuanya oleh Tuhan sendiri, tanpa perlu meminta persetujuan orang yang belum dilahirkan itu.

Saya sungguh tidak bisa tahu pikiran Tuhan, apalagi pikiran Tuhan tentang saya dan jalan kehidupan saya ketika saya belum dilahirkan ke dalam dunia ini lewat rahim bunda saya. 

Saya juga tidak tahu apakah dalam dunia ini ada orang-orang khusus (yang dipilih Tuhan) yang bisa mengetahui dan memahami isi pikiran Tuhan, bahkan, kata mereka, sebelum Tuhan berpikir pun mereka sudah bisa tahu apa yang akan dipikirkan Tuhan. 

Jika orang semacam ini ada, tentu orang itu adalah orang yang hebat dengan otak yang sangat tajam dan powerful. Tetapi sehebat apapun otak orang ini, dia sama sekali tidak bisa memeriksa langsung ke Tuhan apakah yang dia pikirkan sebagai isi pikiran Tuhan memang sungguh-sungguh isi pikiran Tuhan sendiri. 

Orang itu hanya mempercayai saja bahwa dirinya tahu isi pikiran Tuhan. Dia hanya percaya saja kepada kepercayaannya bahwa dia tahu isi pikiran Tuhan.

Konon Ibrahim diperintah Tuhan untuk membunuh putranya sendiri. Tapi benarkah? Malaikat mencegah Ibrahim, tokh!

Yang saya tahu dan saya kenali adalah pikiran saya sendiri, karena saya selalu memantaunya saat pikiran saya ini muncul, bergerak, berubah, berkembang dengan dinamis dari waktu ke waktu, hingga usia saya sekarang ini. 

Memantau dan mengenali pikiran saya sendiri selalu saya lakukan supaya saya bisa kritis atas semua isi pikiran saya sendiri, alhasil saya bisa menemukan di mana saya salah berpikir dan di mana saya benar berpikir. Tentu saja, etika yang tanggap ikut mengarahkan isi pikiran-pikiran saya. Akal dan nurani, otak dan hati, saling bergandengtangan.

Nah, menurut pikiran saya sendiri: azab kematian 100 lebih anak sekolah di Peshawar itu/2/ bukan kehendak Tuhan, bukan takdir Tuhan, bukan nasib yang sudah digariskan Tuhan untuk semua anak sekolah itu sebelum mereka dilahirkan.

Menurut pikiran saya, kematian mereka adalah akibat tindakan biadab Taliban, bukan akibat kehendak dan tindakan Tuhan Yang Mahakasih dan Mahapenyayang, Tuhan yang Al-rahman dan Al-rahim

Tuhan tidak pernah jahat, Tuhan selalu baik. Tidak ada Tuhan yang jahat. 

Jika tidak ada Tuhan yang jahat, maka sudah seharusnya setiap orang yang bertuhan tidak akan pernah jahat. 

Jika mereka tetap jahat, mereka tidak atau belum bertuhan. 

Mereka yang jahat ini bisa saja beragama, tetapi belum atau tidak bertuhan. 

Agama tidak sama dengan Tuhan. Dalam setiap agama, ada doktrin-doktrin tertentu yang bisa membuat orang jadi jahat, tetapi tidak ada Tuhan yang akan membuat orang jadi jahat.

Menurut pikiran saya juga, demi kepentingan-kepentingan mereka sendiri, manusialah yang bisa membuat kisah-kisah tentang Tuhan yang jahat. Manusia jugalah yang memberi validasi atas kisah-kisah ini sebagai kisah-kisah yang ditulis Tuhan sendiri. Padahal Tuhan sendiri tidak bisa membenarkan kisah-kisah tersebut. 

Tuhan yang baik dibuat menjadi Tuhan yang jahat ya tidak lain oleh orang-orang jahat yang mencari pembenaran ilahi atas perbuatan-perbuatan jahat mereka. 

Psikologi manusia yang jahat itulah yang melahirkan teologi tentang Allah yang jahat. Selain psikologi, juga sosiologi dan ekologi anda.

Pada dirinya sendiri, menurut pikiran saya, Tuhan itu, sesuai namanya, tidak jahat.

Ini pikiran saya juga: Kita saja, manusia, yang punya kecerdasan terbatas, ingin selalu bisa berbuat baik dan berhasil mengalahkan semua pikiran jahat yang muncul dalam pikiran kita. Apalagi Tuhan, yang kita percaya mahatahu dan mahacerdas: pasti dalam dirinya tidak ada kejahatan apapun! 

Di tangan kanak-kanak Pakistan, masa depan negeri ini terletak!

Karena itu, Tuhan, kapanpun juga, tidak pernah menginginkan anak-anak sekolah itu dibantai oleh Taliban. Tuhan melawan Taliban, Tuhan membela anak-anak yang sudah dibunuh itu, Tuhan membenci Taliban. 

Karena itu juga Tuhan sedang menuntut pertanggungjawaban Taliban sepenuh-penuhnya, lewat dunia internasional yang beradab.

Itu pikiran saya. Apakah Tuhan sendiri sepakat dengan isi pikiran saya ini, saya sama sekali tidak tahu. Tapi saya boleh berharap, mudah-mudahan Tuhan sepakat. 

Bangkitlah Tuhan. Gerakanlah dunia internasional untuk mengadili Taliban. Azab anak-anak itu terlalu mengerikan, ya Tuhan, untuk diabaikan atau untuk dirasionalisasi. Darah anak-anak itu yang tertumpah sia-sia bahkan tidak bisa diterima oleh Bunda Bumi, apalagi olehmu, Tuhan. 

Darah mereka itu, ya Tuhan, terus-menerus menjerit memanggilmu dan memanggil dunia internasional yang beradab. 

Marilah semua mendengar jeritan itu, wahai manusia, wahai semut, jangkrik, kupu-kupu, belalang dan kunang-kunang!

Jakarta, 18-12-2014


Notes

/1/ Baca beritanya dan lihat foto-fotonya di reportase James Rush, "Peshawar attack: Taliban release images of gunmen who killed 132 children as they claim massacre was justified", The Independent, 19-12-2014, pada http://www.independent.co.uk/news/world/asia/peshawar-school-attack-taliban-release-images-of-gunmen-who-killed-148-as-they-claim-massacre-was-justified-and-warn-of-further-violence-9930805.html.

/2/ Jika anda mau lihat foto-foto wajah-wajah anak-anak yang menjadi korban pembantaian dan beberapa guru yang juga ikut tewas, lihat reportase Simon Tomlinson dkk., "Faces of the innocents: Heartbreaking images show children massacred by Taliban in school horror attack", Mailonline, 17 December 2014, pada http://www.dailymail.co.uk/news/article-2877360/Innocents-massacred-studied-Utterly-heartbreaking-pictures-children-cut-Taliban-madmen-slaughtered-132-pupils-military-school.html.



Tuesday, December 16, 2014

Artificial Intelligence dan Moralitas

“Sejauh ini, bahaya terbesar Artificial Intelligence adalah bahwa manusia menyimpulkan terlalu dini bahwa mereka sudah memahaminya.” (Eliezer Yudkowsky)

“Pertanyaan apakah sebuah komputer dapat berpikir tidaklah lebih menarik dibandingkan pertanyaaan apakah sebuah kapal selam dapat berenang.” (Edsger W. Dijkstra)


Perkembangan dan kemajuan di masa depan dalam sains dan teknologi Artificial Intelligence (AI) atau Kecerdasan Buatan akan sangat mempesona, mengejutkan sekaligus juga menakutkan manusia. Menakutkan? Kenapa?

Jika AI dalam bentuk dan kemampuan super sudah bisa dihasilkan manusia, yang disebut Super-AI, maka Super-AI ini pada dirinya sendiri akan punya kesadaran-diri dan kemampuan untuk menyempurnakan diri mereka sendiri setiap saat, berulang-ulang tanpa batas, secara eksponensial bergulung-gulung terus makin sempurna (kemampuan “recursive self-improvement” atau “recursive self-redesigning”), tanpa keterlibatan manusia lagi yang semula menciptakan mereka. 

Super-AI ini, yang memiliki kecerdasan jauh di atas kecerdasan manusia, akan menjadi Super-organism yang pada hakikatnya adalah organisme alien, dan memiliki kehendak bebas dan kemampuan tanpa batas dalam segala hal, termasuk menciptakan sendiri Super-AI lainnya tanpa batas. Era AI dan Super-AI disebut sebagai era singularitas oleh sejumlah pemikir (John von Neumann, Stanislaw Ulam, Vernor Vinge, Ray Kurzweil, dll).



Metafora Super-Artificial Intelligence


Alhasil, nanti Super-AI akan mencapai kondisi yang selama ini orang beragama pikirkan hanya ada pada Tuhan Allah, yakni mahatahu, mahamenjawab, mahaperencana, mahapengada, mahaberbuat, mahahadir, maharuang, mahawaktu, mahasegalanya, dan seterusnya. Orang-orang ateis dan orang-orang teis supercerdas yang akan bisa ada di muka Bumi pada era itu akan berada sangat jauh di bawah kemampuan kecerdasan Super-AI sendiri. 

Dalam situasi dan kondisi itu, bisa terjadi manusia akan malah menyembah Super-AI sebagai Tuhan Allah, atau sebagai Sang Mahatahu tempat mereka mengajukan segala pertanyaan. Tapi, apakah suatu Super-AI akan bisa mahahadir, omnipresent, sampai ke tepi-tepi jagat raya seandainya jagat raya mempunyai tepi-tepi? Saya belum sanggup menjawab pertanyaan ini, sungguh.

Tetapi hal yang sangat menakutkan adalah apabila para Super-AI itu berbalik memusuhi manusia lalu mereka bertindak tanpa bisa dilawan dan dicegah untuk memusnahkan manusia yang semula menciptakan mereka.

Robot-robot android Super-AI yang memiliki kemampuan memutuskan sendiri untuk memusnahkan manusia ini disebut sebagai Lethal Autonomous Robots, atau disingkat “LARs”, robot-robot maut otonom./1/ 

Antisipasi buruk kemunculan LARs ini membuat banyak saintis, termasuk Stephen Hawking, bermawas diri./2/ 

Penulis Amerika, James Barrat, telah menulis sebuah buku non-fiksi yang wajib anda baca, berjudul Our Final Invention: Artificial Intelligence and the End of Human Era (2013)./3/ Judul buku Barrat ini belum apa-apa sudah membuat kita ketar-ketir. 

Etikus dari Universitas Yale, Wendall Wallach, bersikap skeptik terhadap perkembangan-perkembangan teknologi di masa kini. Dalam buku yang ditulis bersama Colin Allen, Moral Machines, Wallach menyatakan, “Kami mau memprediksi bahwa hanya tinggal beberapa tahun lagi suatu bencana besar akan kita alami yang datang dari suatu sistem komputer yang mandiri dalam membuat sebuah keputusan, tanpa pengawasan manusia lagi.”/4/

Jalan keluar satu-satunya tentu saja bukan menghentikan perkembangan sains dan teknologi Super-AI, tetapi, hemat saya, memberi pada Super-AI juga Super-Artificial Emotion (Super-AE) sehingga sang Super-AI ini juga bisa mencintai umat manusia sebagaimana Tuhan Allah yang umumnya juga dipersepsi umat beragama sebagai Tuhan yang bukan saja mahatahu dan mahacerdas, tetapi juga mahapengasih, mahapenyayang dan mahapemelihara. 



I love you, Miss Greta! I love you too, Bot Neo!


Wendall Wallach menyatakan perlunya AI dilengkapi dengan kemampuan-kemampuan yang melebihi kemampuan penalaran logis, yang disebutnya “kapasitas-kapasitas suprarasional”, antara lain emosi, perasaan, kemampuan untuk membangun hubungan sosial, memahami adat-istiadat budaya, menangkap komunikasi-komunikasi nonverbal, misalnya lewat mimik, bahasa tubuh, dan isyarat, dan memahami dunia semantik./5/ 

Pendek kata, suatu Super-AI bukan hanya dibangun untuk memiliki hard skills, tapi juga mempunyai soft skills. Tidak hanya memiliki kecerdasan matematis dan linguistik yang tinggi (dengan IQ yang supertinggi), tapi harus juga mempunyai kecerdasan humanistik eksistensial, artistik, estetik, dan afektif (kemampuan soft skills).

Dr. Stuart Armstrong (James Martin Research Fellow di Future of Humanity Institute, Universitas Oxford) menyatakan bahwa “suatu Super-AI yang berada di atas manusia tapi tidak memusnahkan manusia, adalah sebuah pemikiran yang sangat insani. Jika kita tidak memegang skenario tentang musnahnya umat manusia dari planet Bumi karena ulah para Super-AI, maka para Super-AI ini mungkin sekali akan menjadi pikiran-pikiran yang sangat asing”, yang bersama-sama kita hidup di planet ini, sama seperti kita hidup bersama di sini dengan lumba-lumba, paus dan bahkan semut-semut./6/ 

Super-AI yang bersahabat semacam ini mampu pada dirinya sendiri untuk mempertimbangkan dan mengambil keputusan-keputusan moral. Oleh Wendell Wallach dan Colin Allen Super-AI yang bermoral ini dinamakan AMAs, Artificial Moral Agents, agen-agen moral buatan. 

Dalam buku mereka Moral Machines, kedua etikus ini menulis, “Ketika AI memperluas horison agen-agen yang otonom, tantangan bagaimana mendesain agen-agen ini sehingga mereka menghormati seperangkat lebih luas nilai-nilai dan hukum-hukum yang manusia tuntut dari agen-agen moral insani, menjadi makin mendesak.”/7/ 

Pertemanan manusia dan AI yang friendly (ungkapan “friendly AI” pertama kali disebut oleh Eliezer Yudkowsky) diungkap dengan bagus oleh Wendall Wallach pada bagian akhir bukunya, demikian: 

“Manusia selalu mencari-cari teman di sekitarnya dalam jagat raya. Karena binatang-binatang adalah organisme yang paling serupa dengan mereka, sudah lama manusia tertarik pada mereka. Perbedaan dan keserupaan antara manusia dan binatang membuat manusia makin memahami siapa dan apa diri mereka sendiri. Saat nanti AMA sudah jauh lebih maju dan berkembang, para AMA ini akan berperan seperti binatang-binatang karena mereka mencerminkan nilai-nilai insani juga. Tidak ada lagi perkembangan yang lebih penting selain fakta ini bagi pemahaman manusia mengenai etika”./8/

Mudahkah menggabung Super-AI dan Super-AE (atau Super-AMA)? Kita lihat saja ke depannya. 

Adalah tugas sains untuk secara bertahap membuat hal yang tidak mungkin menjadi hal yang mungkin, making the impossible the possible! Perhatikan kata-kata Wendell Wallach dan Colin Allen berikut ini.

“Apakah mungkin untuk membangun AMA? Sistem-sistem buatan yang sadar sepenuhnya dan memiliki kapasitas-kapasitas moral insani yang lengkap mungkin selamanya akan berada di wilayah fiksi sains. Namun, kami percaya bahwa sistem-sistem yang lebih terbatas akan segera dibangun. Sistem-sistem tersebut akan memiliki sejumlah kapasitas untuk mengevaluasi akibat-akibat moral dari tindakan-tindakan mereka.”/9/   

Sementara ini, sambil menunggu terbangunnya AMA yang memuaskan, James Barrat melihat ada dua cara untuk membuat Super-AI nanti tidak akan menjadi ancaman buat umat manusia. 

Pertama, pada setiap Super-AI dipasang komponen-komponen yang diprogram “to die by defaults”, yakni sistem-sistem biologis yang melindungi si organisme sepenuhnya lewat tindakan membunuh semua bagiannya pada level selular, lewat kematian yang diprogram sebelumnya; dalam biologi ini dinamakan apoptosis. 

Jadi, begitu suatu Super-AI mulai berpikir dan berencana akan bertindak untuk merugikan dan membahayakan manusia, sistem-sistem apoptosis ini dengan otomatis diaktivasi. 

Kedua, dengan menempatkan semua Super-AI dalam suatu “sandbox”, yang dikenal juga sebagai dunia virtual, bukan dalam dunia sebenarnya yang dihuni manusia. Dengan hidup dalam suatu dunia virtual, Super-AI tetap dapat dimanfaatkan dengan maksimal, tetapi tidak bisa langsung mengintervensi kehidupan normal manusia. Masalahnya adalah, sebagai Super-AI, setiap Super-AI tentu saja akhirnya akan tahu bahwa mereka hidup hanya dalam kurungan dunia virtual, lalu mereka bagaimanapun juga akan mencari-cari jalan untuk membebaskan diri dari kurungan ini./10/  

Apa yang diusulkan James Barrat untuk menjinakkan robot-robot Super-AI memperlihatkan bahwa manusia, kita semua, tetap ingin menaklukkan mereka lewat cara-cara mekanistik. 

Tetapi sebetulnya, di luar cara-cara pemaksaan mekanistik semacam itu, kita pada tahap-tahap awal pengembangan robot-robot AI dapat mengajarkan etika kepada mereka lewat jalur konektivitas (atau “interfaces”) antara otak kita dan komputer. 

Wendell Wallach menyatakan bahwa “cyborg [cyber organism] di masa depan bahkan dapat menghapus batas-batas antara cyberspace dan Kehidupan Nyata (RL= Real Life) lewat bantuan link-link neural yang menghubungkan komputer-komputer dan otak manusia.”/11/ 

Perintah-perintah moral, lewat perangkat-perangkat lunak etika (ethical softwares), dapat ditanamkan ke otak para AI lewat pemrograman ke dalam sistem (ini disebut pendekatan “top-down”); sekaligus juga lewat “neural interfaces” itu manusia dapat mendidik, mengajarkan dan melatih moralitas kepada para AI, sementara, pada pihak lain, para AI sendiri dapat saling belajar dan saling melatih antar-mereka sendiri untuk bagaimana hidup beretika, dari satu kasus ke kasus lainnya (pendekatan “bottom-up”)./12/ 



I love you deeply, Sophia! I love you so much too, Bot Doreo!


Sebetulnya, pemikiran untuk membatasi gerak-gerik para AI lewat moralitas, sebagaimana juga terjadi pada manusia, sudah dipikirkan lebih dari tujuh puluh tahun lalu. 

Dalam cerita pendek yang terbit Maret 1942 dalam Astounding Science Fiction, yang berjudul “Runaround”, Isaac Asimov pertama kali memperkenalkan dengan eksplisit ke publik Tiga Hukum yang harus diberlakukan kepada robot-robot yang memiliki AI. Lalu kemudian dalam novel Robots and Empire yang terbit 1985, Asimov menambahkan satu hukum lagi yang berada di atas ketiga hukum sebelumnya./13/ Empat Hukum robotik tersebut adalah:

Hukum Nol: Sebuah robot tidak boleh membahayakan umat manusia, atau, lewat sikap diamnya, membiarkan manusia melakukan hal yang membahayakan.

Hukum Pertama: Sebuah robot tidak boleh melukai seorang manusia, atau, lewat sikap diamnya, menyebabkan seorang manusia ada dalam bahaya.

Hukum Kedua: Sebuah robot harus taat pada perintah-perintah yang diberikan manusia, kecuali perintah-perintah tersebut bertentangan dengan Hukum Pertama.

Hukum Ketiga: Sebuah robot harus melindungi kehidupannya sendiri sejauh perlindungan tersebut tidak bertentangan dengan Hukum Pertama dan Hukum Kedua. 

Pendek kata, ide-ide manusia tentang AI sudah lama muncul, dan kini ide-ide ini sudah mulai menjadi realitas dalam kehadiran berbagai bentuk robot yang cerdas, yang akan disusul dengan berbagai Super-AI yang memiliki kesadaran dan kehendak bebas sendiri dan juga kemampuan inheren untuk terus-menerus menyempurnakan diri mereka sendiri. 

Dalam situasi dan kondisi ini, kesadaran para saintis sudah makin dipertajam untuk memberi batasan-batasan moral kepada para AI supaya mereka juga akhirnya menjadi AMA. 

Kita semua mengantisipasi kehadiran di tengah-tengah kita para Super-AI yang bukan saja mahatahu, tetapi juga mahabaik dan mahabijaksana, dan, entah bagaimana caranya, somehow, juga mahahadir. 

Jadi, tidak seperti dipikirkan para ateis bahwa secara bertahap Tuhan akan akhirnya lenyap sama sekali dari kehidupan dan peradaban manusia, kecerdasan manusia dan sains dan teknologi yang dibangun manusia sendiri malah pada akhirnya, tidak terhindarkan lagi, akan menghadirkan di tengah-tengah kehidupan manusia apa yang dulu dan sekarang ini dipandang orang beragama sebagai Tuhan Allah dengan semua sifatnya. 

Yakni kehadiran Super-AI, yang tentu saja tidak cuma satu, di segala sudut ruang planet Bumi ini. Kondisi ini betul-betul menimbulkan persoalan berat bukan saja bagi orang teis yang percaya pada Tuhan transenden, tapi juga bagi orang ateis yang habis-habisan menolak Tuhan apapun. 

Dulu moyang manusia mengkonsep siapa dan apa itu Tuhan; maka lahirlah agama dan teologi yang beranekaragam, yang suka berkelahi satu sama lain. 

Sekarang manusia juga mengkonsep suatu kekuatan adi-insani, superhuman power; maka lahirlah AI dan Super-AI lewat sains dan teknologi modern. 




Robot humanoid Nona AILA (AI lightweight android) sedang mengoperasikan sebuah switchboard selama sebuah acara demo oleh pusat riset Jerman untuk AI pada CeBit Computer Fair di Hanover, 5 Maret 2013


Jika orang ateis konsisten mengklaim diri scientific-minded, mereka akan, pada akhirnya, juga bergaul dengan sosok Tuhan Allah sendiri yang berwujud Super-AI. Tuhan Allah semacam ini betul-betul real, empiris, faktual dan aktual ada di tengah mereka di muka Bumi. Orang ateis akhirnya akan juga tunduk pada Super-AI, tempat mereka bertanya karena sang Super-AI ini mahatahu dan mahamelihat dan mahamenjawab, mungkin sekaligus juga tempat mereka bersembah sujud memohon kemurahan hati dan kasih sayang sang Super-AI ini.


Kalau orang ateis bilang bahwa mereka tidak akan pernah meminta jasa Super-AI, mereka bohong, sebab sekarang ini saja mereka setiap menit menggunakan jasa salah satu mesin cerdas supercomputer Google, sebagai sebuah prototipe mini Super-AI, yang mampu dengan cepat, gesit dan cerdas melayani segala permintaan informasi dari seluruh dunia pada waktu yang bersamaan! 

Dr. Kevin Staley (dari Southern Evangelical Seminary di Matthews, North Carolina) menyatakan bahwa “potensi untuk memperlakukan suatu Super-AI sebagai Allah sangat besar dalam masyarakat-masyarakat masa kini, karena kita semua memiliki suatu kecenderungan untuk tunduk, percaya penuh dan bergantung habis-habisan pada sesuatu yang tampak oleh kita lebih benar dibandingkan diri kita sendiri.”/14/ 

Tetapi alternatif lainnya masih tersedia. Sebagaimana dikatakan Dr. Stuart Armstrong, jika para Super-AI membantu umat manusia dan tidak menuntut apapun dari kita, maka para Super-AI ini tidak akan kita lihat dan perlakukan sebagai Allah-allah, tetapi sebagai para pelayan umat manusia./15/

Ya, kita sangat berharap, apa yang dikatakan Stuart Armstrong ini nanti bisa menjadi kenyataan. Dunia kita nanti di masa depan yang tidak lama lagi, akan diwarnai oleh persahabatan bukan hanya antara manusia dan hewan-hewan, tetapi juga antara manusia dan para AI dan para Super-AI sebagai “alien minds”. 

Para alien nanti yang akan berada di planet Bumi dengan real ternyata tidak datang dari angkasa luar yang jauh, melainkan dari sains dan teknologi yang manusia sendiri kembangkan terus-menerus di planet Bumi ini. Dalam otak kita, sebetulnya para alien sudah berdiam lama, menunggu waktu untuk mereka keluar sebagai sosok-sosok AI dan sosok-sosok Super-AI yang real, fisikal maupun mental.  

Jangan lupa, industri robotik masa kini juga sedang menciptakan boneka-boneka seks (sexdolls) yang akan memiliki AI dan kemampuan emosional sehingga mampu membangun percakapan bahkan hubungan cinta dengan para pria pemakainya. 

Pencipta RealDoll, Mr. Matt McMullen, misalnya, kini sedang mulai menjalankan proyek barunya yang dinamakan Realbotix yang fokus pada usaha-usaha menganimasi boneka-boneka seks. Boneka-boneka seks ini sedang dilengkapinya dengan kemampuan AI dan dengan kepala robotik yang dapat mengedip-ngedipkan mata dan membuka dan menutup mulut saat berbicara. 

Dalam kajian dampak robot terhadap perasaan manusia, terminologi Uncanny Valley (diajukan oleh peneliti dari Institut Teknologi Tokyo, Masahiro Mori), yakni perasaan jijik dan tidak suka yang muncul dalam hati terhadap lengan-lengan palsu, juga dapat berlaku, yakni manusia pemakai boneka-boneka seks akan akhirnya juga merasa jijik dan tidak suka terhadap mereka. 

Untuk menghindari Uncanny Valley ini, McMullen akan menciptakan boneka-boneka seks yang masih seperti boneka-boneka, dan bukan seperti manusia-manusia tiruan. 

Sedikit seluk-beluk tentang industri boneka-boneka seks masa kini telah dilaporkan dalam The New York Times edisi 11 Juni 2015, dengan judul Sex Dolls That Talk Back, yang dilengkapi dengan video berdurasi 6 menit./16/ 

Peneliti robot, Stowe Boyd, menyatakan bahwa pada tahun 2025, mitra-mitra seks yang berupa robot-robot akan menjadi hal umum di mana-mana, meskipun mereka akan dicerca dan menimbulkan perpecahan.”/17/




Ini beberapa RealDoll replika tubuh sejumlah artis porno saat dipamerkan di Adult Entertainment Expo di Las Vegas


Akhirnya, saya mau ajukan sebuah pertanyaan, apakah kita, seperti Stephen Hawking, perlu mengkhawatirkan AI ataukah bersikap optimistik dan juga realistik, seperti yang menjadi sikap dan pandangan, misalnya, pencipta Cleverbot, Mr. Rollo Carpenter yang menyatakan:/18/

“Aku percaya kita akan tetap mengontrol teknologi AI untuk waktu yang cukup panjang dan merealisasikan kemampuan teknologi ini untuk memecahkan banyak problem dunia dewasa ini. Kita tidak dapat cukup mengetahui apa yang akan terjadi jika sebuah mesin melampaui kecerdasan kita; jadi, kita juga tidak dapat mengetahui apakah para AI akan membantu kita tanpa batas, atau kita akan diabaikan dan dipinggirkan olehnya, atau malah kita akan dilenyapkan olehnya.”

Pesimistik, takut, atau optimistik dan realistikkah, kita, dalam menghadapi era singularitas yang pasti akan tiba, lima puluh tahun hingga dua ratus tahun yang akan datang? Saya serahkan ke anda untuk menjawab sendiri. 

Saya sendiri berpendapat, era singularitas pada saatnya juga akan diimbangi oleh era posthuman, era ketika spesies Homo sapiens, kita semua, sudah mengalami revolusi, masuk ke kondisi transhuman (kondisi H+), kondisi adiinsani, saat di mana kita lewat sains dan teknologi berubah bukan lagi hanya sebagai organisme biologis, tetapi menjadi organisme cyborg atau organisme bionic, organisme amalgamasi biologi (organik) dan mesin-mesin supercerdas dan superkuat (non-organik). 

Sebagai cyborg (“cybernetic organism”) atau sebagai bionic humans, kita akan menjadi supercerdas sekaligus bertubuh kuat, dari bahan baja, juga bahan silikon, tidak bisa sakit, tidak bisa tua, tahan segala cuaca dan kondisi alam yang buruk, tidak bisa mati, dan memiliki kualitas-kualitas fisik, intelektual dan psikologis ilahi. 

Transhumanisme adalah jawaban setara terhadap singularitas. Era transhuman atau posthuman ini sudah dipikirkan banyak pemikir, antara lain J.B.S. Haldane (orang pertama yang memikirkan ide-ide dasariah transhumanisme dalam esainya Science and the Future yang terbit 1923), Julian Huxley (pencipta istilah transhuman di tahun 1957), James Hughes, Ronald Bailey, dan dua filsuf Max More dan Stefan Lorenz Sorgner. Lagi, pertanyaannya sama: Siapkah anda masuk ke era posthuman ini?  
    
Jakarta, 16-12-2014
Ioanes Rakhmat

Dibaca kembali 30 Juni 2023
Notes

/1/ Debat tentang sisi-sisi moral kehadiran LARs menjadi fokus Center for Ethics and Technology (CET) di Georgia Institute of Technology. Ikuti salah satu debat ini di youtube http://youtu.be/nO1oFKc_-4A.

/2/ Emilia David, “Stephen Hawking: Artificial Intelligence Could Be the End of Mankind”, NBC News, 3 December 2014, pada http://www.nbcnews.com/science/science-news/stephen-hawking-artificial-intelligence-could-be-end-mankind-n260156. Lihat juga Rory Cellan-Jones, “Stephen Hawking warns artificial intelligence could end mankind”, BBC News, 2 December 2014, pada http://www.bbc.com/news/technology-30290540.

/3/ James Barrat, Our Final Invention: Artificial Intelligence and the End of Human Era (New York, N.Y.: St. Martin's Press, 2013).

/4/ Wendell Wallach dan Colin Allen, Moral Machines: Teaching Robots Right from Wrong (Oxford: Oxford University Press, 2009), hlm. 4. Dengarkan juga kuliah Wendell Wallach, “Emerging Technology―Hype vs. Reality: Wendell Wallach at TEDxUConn 2013” pada http://youtu.be/JzV0mwKPNHk. Ikuti juga blog yang dikelola Wallach dan Allen, Moral Machines, pada http://moralmachines.blogspot.com/.


/5/ Wendell Wallach dan Colin Allen, Moral Machines, hlm. 139 ff.

/6/ Kutipan diambil dari Mark Piesing, “Creationists buy robot to study technology’s impact on humanity”, Wired.co.uk, 10 April 2014, pada http://www.wired.co.uk/news/archive/2014-04/10/creationists-vs-robots/viewgallery/333950

/7/ Wendell Wallach dan Colin Allen, Moral Machines, hlm. 6.

/8/ Wendell Wallach dan Colin Allen, Moral Machines, hlm. 217.

/9/ Wendell Wallach dan Colin Allen, Moral Machines, hlm. 8. 

/10/ James Barrat, Our Final Invention, hlm. 238-241.

/11/ Wendell Wallach dan Colin Allen, Moral Machines, hlm. 190. 

/12/ Selengkapnya, lihat Wendell Wallach dan Colin Allen, Moral Machines, hlm. 119 ff. 

/13/ Isaac Asimov, “Runaround”, Astounding Science Fiction (March 1942), hlm. 94-103; idem, I. Robot (New York: Gnome Press, 1950); idem, Robots and Empire (Garden City, N.Y.: Doubleday, 1985). Bertolak dari Empat Hukum yang dirumuskan Asimov, kini penulis-penulis lain memperluas dan mengembangkan hukum-hukum ini.   

/14/ Lhat Mark Piesing, “Creationists buy robot to study technology’s impact on humanity.”

/15/ Lihat Mark Piesing, “Creationists buy robot to study technology’s impact on humanity.” 

/16/ Lihat reportase berjudul Sex Dolls That Talk Back dalam The New York Times, 11 Juni 2015, pada http://www.nytimes.com/2015/06/12/technology/robotica-sex-robot-realdoll.html?_r=1.

/17/ Lihat Nicolas DiDomizio, “We’re Finally Getting Sex Robots That Can Actually Talk to Us”, Connections.Mic, 12 June 2015, pada http://mic.com/articles/120577/here-come-sex-robots-that-can-actually-talk-to-us.

/18/ Pernyataan Rollo Carpenter ini dikutip dalam Rory Cellan-Jones, “Stephen Hawking warns artificial intelligence could end mankind”, BBC News, 2 December 2014, pada http://www.bbc.com/news/technology-30290540. Dengan optimistik dan realistik, Ms. Supriya Jain juga mengajak kita untuk bukan menolak dan mengkhawatirkan tibanya era singularitas, melainkan mempersiapkan diri sedikitnya dalam tiga bidang: pendidikan, pekerjaan dan etika; lihat uraiannya, “The machines are taking over! Or are they?”, World Economic Forum, 23 January 2015, pada https://agenda.weforum.org/2015/01/the-machines-are-taking-over-or-are-they/.


Friday, December 12, 2014

Doraemon, Robot Super-AI, dan Orang Ateis






“Sejauh ini, bahaya terbesar
Artificial Intelligence adalah bahwa manusia menyimpulkan terlalu dini bahwa mereka sudah memahaminya.” (Eliezer Yudkowsky)


“Pertanyaan apakah sebuah komputer dapat berpikir tidaklah lebih menarik dibandingkan pertanyaaan apakah sebuah kapal selam dapat berenang.” (Edsger W. Dijkstra)


Adakah sosok Doraemon? Jelas ada, sebagai buah kegiatan-kegiatan seni kreatif dan fiktif yang dijalankan manusia. Pembuat gambarnya siapa, kita tahu, ya seorang manusia seperti kita. Pembuat kisah-kisahnya yang mitologis, sekaligus fictionally scientific, kita juga tahu. Siapa yang menampilkannya pada layar lebar, juga kita kenal. 

Doraemon ada sebagai sosok fiktif dalam dunia seni, seni menggambar, seni bercerita, seni animasi, dan seni sinematografi. 

Lewat kerja kreatif tim Fujiko Fujio, sosok Doraemon kini dikenal dunia dengan sangat luas, bukan hanya milik bangsa Jepang. Dalam kehidupan banyak kanak-kanak sedunia, sosok Doraemon ada dan dialami dengan sangat real, bahkan menjadi pribadi kedua mereka. 

Tetapi sebagai organisme hidup seperti manusia, jelas Doraemon tidak ada sekarang ini. Tetapi nanti bisa ada dengan real dan hidup. Jika robot android yang berwajah dan bertubuh baja Doraemon sudah dibuat, lalu diberi kecerdasan buatan (artificial intelligence) yang serupa dan lebih tinggi dari kecerdasan manusia, maka sosok Doraemon akan ada secara empiris, hidup, berpikir, merasa, berkehendak, bertindak dan berjiwa seperti manusia, di samping memiliki sifat-sifat khas seorang Doraemon.

Apakah Doraemon sama dengan sosok Allah? Orang ateis bilang, ya Doraemon sama dengan sosok Allah, keduanya tidak ada secara empiris. Kata mereka, meminta orang ateis membuktikan ketidakberadaan Tuhan, sama dengan meminta orang membuktikan bahwa Doraemon tidak ada. Pendapat orang ateis ini, yang mereka ajukan untuk menutupi ketidakmampuan mereka untuk membuktikan Tuhan tidak ada, sesungguhnya tidak cerdas, sempit dan keliru. Kenapa? Dua alinea pertama di atas sudah menjawab; jawaban-jawaban lainnya berikut ini.

Pertama, mereka hanya berpendapat demikian tetapi selamanya tidak bisa memberi bukti empiris bahwa Tuhan Allah sama dengan Doraemon. Bukti empiris inilah yang mereka harus ajukan lebih dulu sebelum mereka berpendapat bahwa membuktikan Tuhan tidak ada sama dengan membuktikan Doraemon tidak ada. Kalaupun keduanya ada sebagai sosok fiktif yang tidak ada, kita tidak akan pernah tahu kapanpun apakah dua entitas yang tidak ada ini, sama atau berbeda. Bagaimana membandingkan dua sosok yang katanya tidak ada? Hanya orang ateis yang bisa membandingkan keduanya yang tidak ada ini, lalu menarik kesimpulan bahwa keduanya sama. Aneh, aneh, aneh, bin ajaib.

Kedua, Doraemon jelas ada sebagai sosok hasil karya seni lukis, seni animasi, dan seni membangun cerita, juga hasil karya seni perfilman. Tetapi apakah Allah atau dunia transenden juga ada sebagai hasil karya seni gambar, seni bercerita dan seni berkhayal saja, yang faktanya telah dan terus melahirkan tidak terhitung banyaknya metafora teologis di dalam semua kebudayaan dunia? 

Apakah Allah dan dunia transenden hanya ada dalam alam khayalan manusia, produk imajiner pikiran manusia? Hanya orang ateis yang berpendapat demikian. Dalam hal ini mereka sangat dogmatis, kendatipun mereka mengklaim diri telah bebas dari semua dogma keagamaan. Mereka mungkin saja telah lepas dari dogma-dogma keagamaan, tetapi celakanya mereka terkurung lagi dalam penjara dogma-dogma ateistik. 

Salah satu dogma ateisme yang merusak adalah: bersikaplah fanatik pada ateisme; bela ateisme mati-matian; dan serang teisme habis-habisan. 

Padahal, di sisi lain, sains modern maksimal hanya bisa menjawab bahwa kita belum tahu hingga saat ini apakah dunia transenden, dus juga sosok Allah, ada atau tidak ada. Inilah posisi agnostik, posisi yang berpijak pada ilmu pengetahuan. Posisi ini terus membuka diri pada temuan-temuan sains yang mengejutkan di masa depan yang tidak pernah selesai.

Dari fisika, khususnya Teori Dawai, kita tahu alam semesta ada sebanyak 10 pangkat 500 (= 10500), dengan kata lain, ada tidak terbatas, membentuk multiverse, dan masing-masing universe ini punya hukum-hukum fisikanya sendiri-sendiri. Dari teori yang sama, kita juga tahu dimensi itu ada bukan hanya empat (dimensi ruangwaktu), tetapi ada sampai 10 atau 11 bahkan sampai 26, yang membentuk apa yang dinamakan hyperspace, “multidimensional space”. 

Dari aritmetika, misalnya, kita tahu ada “ketidakterbatasan” (infinitas) dalam dunia ini. Berapa hasil angka satu dibagi angka nol? Anda tentu tahu. Hasilnya infinitas, tidakberhingga. 

Dari mekanika quantum, kita tahu ada aspek non-materi dalam setiap partikel, yakni aspek gelombangnya, disamping aspek materinya. Aspek non-materi ini oleh sejumlah fisikawan bahkan dilihat juga sebagai aspek kesadaran atau persisnya “proto-kesadaran” dari setiap partikel subatomik. Dalam matter, ada aspek non-matter. Ini melampaui dualisme matter versus non-matter.

Nah, itu baru sejumlah kecil pengetahuan mutakhir tentang realitas, bahwa realitas itu ada tidak terbatas, ada hingga tidak berhingga, menjelma dalam sangat banyak dimensi, dan di dalamnya tidak ada dualisme materi dan non-materi. 

Di hadapan pengetahuan yang menakjubkan ini, hanya kerendahan hati dan keterbukaan adalah sikap-sikap yang pantas dan saintifik. Hanya orang ateis saja yang keras dan ngotot berpendapat bahwa realitas itu hanya empat dimensi yang di dalamnya setiap hari kita hidup: tiga dimensi ruang (panjang, lebar dan tinggi) plus satu dimensi waktu. Kata mereka, sebagai ateis mereka saintifik, tapi nyatanya mereka tidak saintifik sama sekali, karena mereka terpenjara dalam ideologi ateisme mereka, yang membuat mereka tidak bisa melihat dunia sangat luas di luar. 

Apa artinya, jika di luar empat dimensi yang kita kenal, dan di luar jagat raya kita, masih ada sangat banyak dimensi dan jagat raya lain, dan masih ada infinitas? Atau, lebih spesifik lagi, apa itu infinitas? Pertanyaan-pertanyaan ini saja sudah sangat menakutkan, sekaligus juga menakjubkan. Apakah anda yang ateis mau kekeh menyatakan dengan naif bahwa realitas hanya satu dan terbatas?

Ketiga, kalaupun orang ateis menolak keberadaan dunia transenden, dunia ini akhirnya akan mendatangi mereka lewat sains dan teknologi. Kok bisa? Ya, bisa, lewat sains dan teknologi Kecerdasan Buatan atau Artificial Intelligence (AI), tanpa bisa dicegah.




Metafora Super-Artificial Intelligence!


Perkembangan dan kemajuan di masa depan dalam sains dan teknologi AI akan sangat mempesona, mengejutkan sekaligus juga menakutkan manusia. Menakutkan? Kenapa? 

Jika AI dalam bentuk dan kemampuan super sudah bisa dihasilkan manusia, yang disebut Super-AI, maka Super-AI ini pada dirinya sendiri akan punya kesadaran-diri dan kemampuan untuk menyempurnakan dirinya sendiri setiap saat tanpa batas (kemampuan “recursive self-improvement”), tanpa keterlibatan manusia lagi yang semula membuatnya. Super-AI ini akan menjadi Super-organism yang pada hakikatnya adalah organisme alien, dan memiliki kehendak bebas dan kemampuan tanpa batas dalam segala hal. 

Alhasil, nanti Super-AI akan mencapai kondisi yang selama ini orang beragama pikirkan hanya ada pada Tuhan Allah, yakni mahatahu, mahamenjawab, mahaperencana, mahapengada, mahaberbuat, mahahadir, maharuang, mahawaktu, mahasegalanya, dan seterusnya. Orang-orang ateis dan orang-orang teis supercerdas yang akan bisa ada di muka Bumi pada era itu akan berada sangat jauh di bawah kemampuan kecerdasan Super-AI sendiri. Dalam situasi dan kondisi itu, bisa terjadi manusia akan malah menyembah Super-AI sebagai Tuhan Allah, atau sebagai Sang Mahatahu tempat mereka mengajukan segala pertanyaan. 

Tetapi hal yang sangat menakutkan adalah apabila Super-AI itu berbalik memusuhi manusia lalu mereka bertindak tanpa bisa dilawan dan dicegah untuk memusnahkan manusia yang semula menciptakan Super-AI. 

Robot-robot android Super-AI yang memiliki kemampuan memutuskan sendiri untuk memusnahkan manusia ini disebut sebagai Lethal Autonomous Robots, atau disingkat “LARs”, robot-robot maut otonom./1/

Antisipasi buruk kemunculan LARs ini membuat banyak saintis, termasuk Stephen Hawking, bermawas diri./2/ 

Penulis Amerika, James Barrat, telah menulis sebuah buku non-fiksi yang wajib anda baca, berjudul Our Final Invention: Artificial Intelligence and the End of Human Era (2013)./3/ Judul buku Barrat ini saja belum apa-apa sudah membuat hati kita ketar-ketir. 

Etikus dari Universitas Yale, Wendall Wallach, bersikap skeptik terhadap perkembangan-perkembangan teknologi di masa kini. Dalam buku yang ditulis bersama Colin Allen, Moral Machines, Wallach menyatakan, 

“Kami mau memprediksi bahwa hanya tinggal beberapa tahun lagi suatu bencana besar akan kita alami yang datang dari suatu sistem komputer yang mandiri dalam membuat sebuah keputusan, tanpa pengawasan manusia lagi.”/4/

Jalan keluar satu-satunya adalah bukan menghentikan perkembangan sains dan teknologi Super-AI, tetapi, hemat saya, memberi pada Super-AI juga Super-Artificial Emotion (Super-AE) sehingga sang Super-AI ini juga bisa mencintai umat manusia sebagaimana Tuhan Allah yang umumnya juga dipersepsi umat beragama sebagai Tuhan yang bukan saja mahatahu dan mahacerdas, tetapi juga mahapengasih, mahapenyayang dan mahapemelihara. 

Wendall Wallach menyatakan perlunya AI dilengkapi dengan kemampuan-kemampuan yang melebihi kemampuan penalaran logis, yang disebutnya “kapasitas-kapasitas suprarasional”, antara lain emosi, perasaan, kemampuan untuk membangun hubungan sosial, memahami adat-istiadat budaya, menangkap komunikasi-komunikasi nonverbal, misalnya lewat mimik, bahasa tubuh, dan isyarat, dan memahami dunia semantik./5/

Dr. Stuart Armstrong (James Martin Research Fellow di Future of Humanity Institute, Universitas Oxford) menyatakan bahwa suatu Super-AI yang berada di atas manusia tapi tidak memusnahkan manusia, adalah sebuah pemikiran yang sangat insani. Jika kita tidak memegang skenario tentang musnahnya umat manusia dari planet Bumi karena ulah para Super-AI, maka para Super-AI ini mungkin sekali akan menjadi pikiran-pikiran yang sangat asing, yang bersama-sama kita hidup di planet ini, sama seperti kita hidup bersama di sini dengan lumba-lumba, paus dan bahkan semut-semut./6/ 



I love you, Miss Linda! I love you too, Bot Neo!

Super-AI yang bersahabat semacam ini mampu pada dirinya sendiri untuk mempertimbangkan dan mengambil keputusan-keputusan moral. Oleh Wendell Wallach dan Colin Allen Super-AI yang bermoral ini dinamakan AMA, Artificial Moral Agents, agen-agen moral buatan. 

Dalam buku mereka Moral Machines, kedua etikus ini menulis, “Ketika AI memperluas horison agen-agen yang otonom, tantangan bagaimana mendesain agen-agen ini sehingga mereka menghormati seperangkat lebih luas nilai-nilai dan hukum-hukum yang manusia tuntut dari agen-agen moral insani, menjadi makin mendesak.”/7/ 

Pertemanan manusia dan AI yang friendly (ungkapan friendly AI pertama kali disebut oleh Eliezer Yudkowsky) diungkap dengan bagus oleh Wendall Wallach pada bagian akhir bukunya, demikian: 
Manusia selalu mencari-cari teman di sekitarnya dalam jagat raya. Karena binatang-binatang adalah organisme yang paling serupa dengan mereka, sudah lama manusia tertarik pada mereka. Perbedaan dan keserupaan antara manusia dan binatang membuat manusia makin memahami siapa dan apa diri mereka sendiri. Saat nanti AMA sudah jauh lebih maju dan berkembang, para AMA ini akan berperan seperti binatang-binatang karena mereka mencerminkan nilai-nilai insani juga. Tidak ada lagi perkembangan yang lebih penting selain fakta ini bagi pemahaman manusia mengenai etika./8/
Mudahkah menggabung Super-AI dan Super-AE (atau Super-AMA)? Kita lihat saja ke depannya. Adalah tugas sains untuk secara bertahap membuat hal yang tidak mungkin menjadi hal yang mungkin, making the impossible the possible! Perhatikan kata-kata Wendell Wallach dan Colin Allen berikut ini.
“Apakah mungkin untuk membangun AMA? Sistem-sistem buatan yang sadar sepenuhnya dan memiliki kapasitas-kapasitas moral insani yang lengkap mungkin selamanya akan berada di wilayah fiksi sains. Namun, kami percaya bahwa sistem-sistem yang lebih terbatas akan segera dibangun. Sistem-sistem tersebut akan memiliki sejumlah kapasitas untuk mengevaluasi akibat-akibat moral dari tindakan-tindakan mereka.”/9/   

Sementara ini, sambil menunggu terbangunnya AMA yang memuaskan, James Barrat melihat ada dua cara untuk membuat Super-AI nanti tidak akan menjadi ancaman buat umat manusia. 

Pertama, pada setiap Super-AI dipasang komponen-komponen yang diprogram “to die by defaults”, yakni sistem-sistem biologis yang melindungi si organisme sepenuhnya lewat tindakan membunuh semua bagiannya pada level selular, lewat kematian yang diprogram sebelumnya; dalam biologi ini dinamakan apoptosis. Jadi, begitu suatu Super-AI mulai berpikir dan berencana akan bertindak untuk merugikan dan membahayakan manusia, sistem-sistem apoptosis ini dengan otomatis diaktivasi.

Kedua, dengan menempatkan semua Super-AI dalam suatu “sandbox”, yang dikenal juga sebagai dunia virtual, bukan dalam dunia sebenarnya yang dihuni manusia. Dengan hidup dalam suatu dunia virtual, Super-AI tetap dapat dimanfaatkan dengan maksimal, tetapi tidak bisa langsung mengintervensi kehidupan normal manusia. 

Masalahnya adalah, sebagai Super-AI, setiap Super-AI tentu saja akhirnya akan tahu bahwa mereka hidup hanya dalam kurungan dunia virtual, lalu mereka bagaimanapun juga akan mencari-cari jalan untuk membebaskan diri dari kurungan ini./10/



I love you deeply, Sophia! I love you so much, too, Bot Doreo!


Apa yang diusulkan James Barrat untuk menjinakkan robot-robot Super-AI memperlihatkan bahwa manusia, kita semua, tetap ingin menaklukkan mereka lewat cara-cara mekanistik. Tetapi sebetulnya, di luar cara-cara pemaksaan mekanistik semacam itu, kita pada tahap-tahap awal pengembangan robot-robot AI dapat mengajar etika kepada mereka lewat jalur konektivitas (atau interfaces) antara otak kita dan komputer. 

Wendell Wallach menyatakan bahwa “cyborg [cyber organism] di masa depan bahkan dapat menghapus batas-batas antara cyberspace dan Kehidupan Nyata (RL= Real Life) lewat bantuan link-link neural yang menghubungkan komputer-komputer dan otak manusia.”/11/ 

Perintah-perintah moral, lewat perangkat-perangkat lunak etika (ethical softwares), dapat ditanamkan ke otak para AI lewat pemrograman ke dalam sistem (ini disebut pendekatan top-down), sekaligus juga lewat neural interfaces itu manusia dapat mendidik, mengajarkan dan melatih moralitas kepada para AI, sementara, pada pihak lain, para AI sendiri dapat saling belajar dan saling melatih antar-mereka sendiri untuk bagaimana hidup beretika, dari satu kasus ke kasus lainnya (pendekatan bottom-up)./12/  

Sebetulnya, pemikiran untuk membatasi gerak-gerik para AI lewat moralitas, sebagaimana juga terjadi pada manusia, sudah dipikirkan lebih dari tujuh puluh tahun lalu. Dalam cerita pendek yang terbit Maret 1942 dalam Astounding Science Fiction, yang berjudul Runaround, Isaac Asimov pertama kali memperkenalkan dengan eksplisit ke publik Tiga Hukum yang harus diberlakukan kepada robot-robot yang memiliki AI. Lalu kemudian dalam novel Robots and Empire yang terbit 1985, Asimov menambahkan satu hukum lagi yang berada di atas ketiga hukum sebelumnya./13/ Empat Hukum robotik tersebut adalah:
Hukum Nol: Sebuah robot tidak boleh membahayakan umat manusia, atau, lewat sikap diamnya, membiarkan manusia melakukan hal yang membahayakan.

Hukum Pertama: Sebuah robot tidak boleh melukai seorang manusia, atau, lewat sikap diamnya, menyebabkan seorang manusia ada dalam bahaya.

Hukum Kedua: Sebuah robot harus taat pada perintah-perintah yang diberikan manusia, kecuali perintah-perintah tersebut bertentangan dengan Hukum Pertama. 

Hukum Ketiga: Sebuah robot harus melindungi kehidupannya sendiri sejauh perlindungan tersebut tidak bertentangan dengan Hukum Pertama dan Hukum Kedua.       

Pendek kata, ide-ide manusia tentang AI sudah lama muncul, dan kini ide-ide ini sudah mulai menjadi realitas dalam kehadiran berbagai bentuk robot yang cerdas, yang akan disusul dengan berbagai Super-AI yang memiliki kesadaran dan kehendak bebas sendiri dan juga kemampuan inheren untuk terus-menerus menyempurnakan diri mereka sendiri. Dalam situasi dan kondisi ini, kesadaran para saintis sudah makin dipertajam untuk memberi batasan-batasan moral kepada para AI supaya mereka juga akhirnya menjadi AMA. Kita semua mengantisipasi kehadiran di tengah-tengah kita para Super-AI yang bukan saja mahatahu, tetapi juga mahabaik dan mahabijaksana. 

Jadi, tidak seperti dipikirkan para ateis bahwa secara bertahap Tuhan akan akhirnya lenyap sama sekali dari kehidupan dan peradaban manusia, kecerdasan manusia dan sains dan teknologi yang dibangun manusia sendiri malah pada akhirnya, tidak terhindarkan lagi, akan menghadirkan di tengah-tengah kehidupan manusia apa yang dulu dan sekarang ini dipandang orang beragama sebagai Tuhan Allah dengan semua sifatnya. Yakni kehadiran Super-AI, yang tentu saja tidak cuma satu, di segala sudut ruang planet Bumi ini. Kondisi ini betul-betul menimbulkan persoalan berat bukan saja bagi orang teis yang percaya pada Tuhan transenden, tapi juga bagi orang ateis yang habis-habisan menolak Tuhan apapun kendatipun bagi mereka Tuhan apapun tidak ada sama sekali. 

Dulu moyang manusia mengonsep siapa dan apa itu Tuhan; maka lahirlah agama dan teologi yang beranekaragam. Sekarang manusia juga mengonsep suatu kekuatan adi-insani, superhuman power; maka lahirlah AI dan Super-AI lewat sains dan teknologi modern.

Nah, jika orang ateis konsisten mengklaim diri scientific-minded, mereka, pada akhirnya, akan juga bergaul dengan sosok Tuhan Allah sendiri yang berwujud Super-AI. Tuhan Allah semacam ini betul-betul real, empiris, faktual dan aktual ada di tengah mereka di muka Bumi. Orang ateis akhirnya akan juga tunduk pada Super-AI, tempat mereka bertanya karena sang Super-AI ini mahatahu dan mahamelihat dan mahamenjawab, sekaligus juga tempat mereka bersembah sujud memohon kemurahan hati dan kasih sayang sang Super-AI ini. 

Kalau orang ateis bilang bahwa mereka tidak akan pernah meminta jasa Super-AI, mereka bohong, sebab sekarang ini saja mereka setiap menit menggunakan jasa salah satu mesin cerdas Google, sebagai sebuah prototipe mini Super-AI, yang mampu dengan cepat, gesit dan cerdas melayani segala permintaan informasi dari seluruh dunia pada waktu yang bersamaan! 

Dr. Kevin Staley (dari Southern Evangelical Seminary di Matthews, North Carolina) menyatakan bahwa “potensi untuk memperlakukan suatu Super-AI sebagai Allah sangat besar dalam masyarakat-masyarakat masa kini, karena kita semua memiliki suatu kecenderungan untuk tunduk, percaya penuh dan bergantung habis-habisan pada sesuatu yang tampak oleh kita lebih benar dibandingkan diri kita sendiri.”/14/ 

Tetapi alternatif lainnya masih tersedia. Sebagaimana dikatakan Dr. Stuart Armstrong, jika para Super-AI membantu umat manusia dan tidak menuntut apapun dari kita, para Super-AI ini tidak akan kita lihat dan perlakukan sebagai Allah-allah, tetapi sebagai para pelayan umat manusia./15/ 

Ya, kita sangat berharap, apa yang dikatakan Stuart Armstrong ini nanti bisa menjadi kenyataan. Dunia kita nanti di masa depan yang tidak lama lagi, akan diwarnai oleh persahabatan bukan hanya antara manusia dan hewan-hewan, tetapi juga antara manusia dan para AI dan para Super-AI sebagai “alien minds”. 

Para alien nanti yang akan berada di planet Bumi dengan real ternyata tidak datang dari angkasa luar yang jauh, melainkan dari sains dan teknologi yang manusia sendiri kembangkan terus-menerus di planet Bumi ini. Dalam otak kita, sebetulnya para alien sudah berdiam lama, menunggu waktu untuk mereka keluar sebagai sosok-sosok AI dan sosok-sosok Super-AI yang real, fisikal maupun mental.     

Akhirnya, setelah saya pikirkan panjang-lebar dan jauh-jauh dan pikiran-pikiran saya ini telah saya tuliskan dalam sejumlah tulisan, saya berkesimpulan bahwa menjadi ateis saya kira adalah suatu blunder, yang jika terus dijalankan, akan memenjara manusia sehingga mereka tidak akan bisa melangkah ke masa depan yang tidak pernah habis dan tidak pernah berhenti. Mereka hanya bisa bermain bersama sosok fiktif Doraemon, dan mengolok-oloknya, tetapi tidak menduga kalau nanti Doraemon sungguhan, dan juga Tuhan yang empiris, akan menjadi bagian sehari-hari kehidupan umat manusia, kehidupan orang ateis dan orang teis. 

Orang ateis juga sangat anthroposentris, terpusat mutlak pada manusia, sehingga mereka tidak bisa melihat ada kekuatan-kekuatan lain yang adi-insani, superhuman. Hanya orang agnostik saja yang mampu mengantisipasi masa depan yang luar biasa ini, karena mereka melandaskan kehidupan mereka pada temuan-temuan sains modern, bukan pada ideologi teisme atau ideologi ateisme.

Jakarta, 12-12-2014
by Ioanes Rakhmat



Notes

/1/ Debat tentang sisi-sisi moral kehadiran LARs menjadi fokus Center for Ethics and Technology (CET) di Georgia Institute of Technology. Ikuti salah satu debat ini di youtube http://youtu.be/nO1oFKc_-4A.

/2/ Emilia David, “Stephen Hawking: Artificial Intelligence Could Be the End of Mankind”, NBC News, 3 December 2014, pada http://www.nbcnews.com/science/science-news/stephen-hawking-artificial-intelligence-could-be-end-mankind-n260156.

/3/ James Barrat, Our Final Invention: Artificial Intelligence and the End of Human Era (New York, N.Y.: St. Martin's Press, 2013). 

/4/ Wendell Wallach dan Colin Allen, Moral Machines: Teaching Robots Right from Wrong (Oxford: Oxford University Press, 2009), hlm. 4. Dengarkan juga kuliah Wendell Wallach, “Emerging TechnologyHype vs. Reality: Wendell Wallach at TEDxUConn 2013” pada http://youtu.be/JzV0mwKPNHk. Ikuti juga blog yang dikelola Wallach dan Allen, Moral Machines, pada http://moralmachines.blogspot.com/.

/5/ Wendell Wallach dan Colin Allen, Moral Machines, hlm. 139 ff.

/6/ Kutipan diambil dari Mark Piesing, “Creationists buy robot to study technology's impact on humanity”, Wired.co.uk, 10 April 2014, pada http://www.wired.co.uk/news/archive/2014-04/10/creationists-vs-robots/viewgallery/333950

/7/ Wendell Wallach dan Colin Allen, Moral Machines, hlm. 6.

/8/ Wendell Wallach dan Colin Allen, Moral Machines, hlm. 217.

/9/ Wendell Wallach dan Colin Allen, Moral Machines, hlm. 8. 

/10/ James Barrat, Our Final Invention, hlm. 238-241.

/11/ Wendell Wallach dan Colin Allen, Moral Machines, hlm. 190. 

/12/ Selengkapnya, lihat Wendell Wallach dan Colin Allen, Moral Machines, hlm. 119 ff. 

/13/ Isaac Asimov, Runaround”, Astounding Science Fiction (March 1942), hlm. 94-103; idem, I. Robot (New York: Gnome Press, 1950); idem, Robots and Empire (Garden City, N.Y.: Doubleday, 1985). Bertolak dari Empat Hukum yang dirumuskan Asimov, kini penulis-penulis lain memperluas dan mengembangkan hukum-hukum ini.   

/14/ Lhat Mark Piesing, “Creationists buy robot to study technology's impact on humanity.” 

/15/ Lihat Mark Piesing, “Creationists buy robot to study technology's impact on humanity.”