Wednesday, October 29, 2014

Paus Francis akui kebenaran teori evolusi dan big bang, tetapi....

Paus Francis dengan pakaian dan simbol kebesarannya. Ya, dia besar, tapi besar sebagai rohaniwan, bukan sebagai saintis!


Baru saja saya baca di koran online The Independent, Rabu, 29 Oktober 2014, berita bahwa Paus Francis menyatakan teori evolusi dan big bang keduanya benar sebagai fakta-fakta sains, dan bahwa Tuhan itu bukan seorang penyihir yang lewat tongkat sihirnya simsalabim menjadikan segala hal dari ketiadaan, sebagai peristiwa-peristiwa gaib dan magis./1/

Posisi Paus Francis ini berbeda dari posisi yang dipertahankan Paus sebelumnya, yakni Benedict XVI. Bagi Paus Benedict XVI, Tuhan menciptakan jagat raya dan Adam serta Hawa tidak lewat hukum-hukum sains, tapi langsung dari kemahakuasaan-Nya untuk menjadikan segala sesuatu ada dari ketiadaan, bak keampuhan seorang tukang sihir yang memiliki sebuah tongkat sihir yang ajaib.

Pandangan Paus Benedict XVI dikategorikan sebagai kreasionisme dan Intelligent Design (ID). Dalam kreasionisme dan ID, hukum-hukum fisika dan hukum-hukum alam tidak terlibat dalam penciptaan segala sesuatu. Jagat raya ada dari ketiadaan, dibuat ada bukan oleh hukum-hukum fisika lewat big bang, tapi oleh kuasa Allah untuk menciptakan segala sesuatu. Allah adalah penggerak utama yang tidak disebabkan oleh penyebab sebelumnya (prima causa). Teologi prima causa ini mula-mula dicetuskan oleh Aristoteles dalam bingkai politeisme, yang kemudian dilanjutkan oleh Thomas Aquinas dalam bingkai monoteisme Kristen.

Dalam teologi prima causa, Allah dipandang ada tanpa asal-usul, tanpa penyebab sebelumnya, tapi dia mampu menciptakan segala sesuatu sehingga ada. Tapi menurut sains, segala sesuatu berlangsung dengan menaati hukum-hukum sebab-akibat, causal laws. Alhasil, dalam sains, tidak ada akibat tanpa sebab, dan tidak ada sebab yang tidak menimbulkan akibat. Karena itu, sains juga akan bertanya, siapa pencipta Allah, atau apa yang menyebabkan Allah ada. Jika kaum agamawan menjawab, Allah tidak punya asal-usul, tidak terikat pada causal laws, maka bagi sains hanya ketiadaan yang memenuhi kategori ini, hanya ketiadaan yang tidak terikat pada hukum sebab-akibat. Oleh sains, ketiadaan yang mampu menghasilkan sesuatu, from nothing to something, ditemukan hanya dalam dunia mekanika quantum. Dunia mekanika quantum memang weird, mengherankan, karena di dalam dunia inilah ketiadaan atau kondisi vakum menghasilkan sesuatu lewat apa yang dinamakan fluktuasi quantum. Tapi sudah pasti, para agamawan, dan juga para fisikawan, tidak akan mau menyamakan Allah dengan mekanika quantum.
Dalam fisika quantum, dikenal apa yang dinamakan “vacuum state atau “keadaan vakum” atau biasa disebut simpel saja sebagai vakum”. Keadaan vakum dipandang sebagai suatu keadaan di mana semua properti fisikal sebetulnya sama dengan zero.”/2/ Dalam vakum, energi bisa ada dalam jumlah yang terendah sejauh dimungkinkan (a zero-point energy). Secara figuratif para fisikawan menyatakan bahwa dalam ruang vakum 1 cm^3, masih bisa ada energi dalam jumlah 1 per trilyun erg. Secara keseluruhan, keadaan vakum disebut sebagai a zero-point quantum field. Kendatipun demikian, dari medan quantum yang zero-point” ini terjadi apa yang dinamakan fluktuasi vakum (= “quantum fluctuations”), yakni muncul dan lenyapnya partikel-partikel (dinamakan partikel-partikel virtual) dalam waktu sangat pendek dan secara spontan, tanpa asal-usul, tanpa sebab-musabab sebelumnya, tidak deterministik, tidak terprediksi./3/ Jadi, dalam mekanika quantum, ihwal munculnya something from nothing adalah suatu fakta yang dapat diamati kendatipun secara tidak langsung lewat efek-efeknya.
Kembali ke teologi ID. Dalam teologi ini, Adam dan Hawa dan semua organisme lain langsung dijadikan ada oleh Allah dalam bentuk seperti yang sekarang kita kenali. Adam dan Hawa, misalnya, ada bukan produk evolusi lewat seleksi alamiah yang berlangsung milyaran tahun dimulai dari bakteri 3,5 milyar tahun lalu, tapi langsung jadi dalam format orang dewasa, dibuat Allah sendiri dari tanah (Adam) dan dari tulang rusuk Adam (Hawa). Jadi, pastiah Adam dan Hawa dalam teologi ID adalah dua makhluk insani yang tidak punya udel karena tidak pernah berada dalam rahim seorang ibu sebagai janin-janin.

Teologi ID antara lain memakai argumen pseudo-saintifik bahwa DNA manusia yang sangat kompleks tidak mungkin dihasilkan oleh alam, tetapi haruslah ciptaan Tuhan sendiri yang mahakuasa, sebagai sang pencipta cerdas, the intelligent designer. Memang para pembela teologi ID tidak terang-terangan menyatakan sang intelligent designer itu Allah, tetapi implisit yang mereka maksudkan sebagai sang ID adalah Allah sendiri. Yang sulit dimengerti dengan teologi ID ini adalah mereka berbicara tentang molekul DNA yang sangat rumit, tetapi percaya bahwa Adam dan Hawa bukan berasal dari DNA, melainkan dari tanah dan tulang yang diciptakan langsung besar dan dewasa.

Nah, dengan pandangan Paus Francis yang baru diumumkan ini, kreasionisme dan teologi ID dengan jelas DITOLAK oleh Gereja Roma Katolik. Dus, sang paus ini mengoreksi pandangan Paus Benedict XVI. Tetapi, Paus Francis masih memasukkan sosok Tuhan yang mahakuasa sebagai sang pencipta big bang dan pencipta manusia. 

Big bang dan selanjutnya....

Oleh sains, big bang dijelaskan terjadi sebagai peristiwa fisika alamiah belaka, khususnya fisika partikel, sebagai peristiwa di dunia quantum, dunia yang tidak memiliki asal-usul, dunia yang ada dan sekaligus tidak ada. Dalam mekanika quantum, dimungkinkan sesuatu itu ada dari ketiadaan, misalnya partikel-partikel virtual yang secara tidak langsung teramati (meskipun dalam waktu yang sangat pendek) muncul dari ketiadaan dan lenyap juga ke ketiadaan. Dunia quantum memang weird, mengherankan. Belum lama ini, para saintis telah menemukan sejumlah bukti tambahan (yang sudah lama ditunggu) yang mengonfirmasi big bang sebagai fakta ilmiah: terdeteksinya riak gelombang gravitasional dari big bang, yang membuktikan kebenaran teori inflasi bahwa jagat raya mengembang dengan sangat cepat dalam serpihan pertama nano-detik setelah dilahirkan./4/

Bagi Paus Francis, big bang tetap memerlukan sang aktor ilahi yang menyundut sumbu bom big bang sehingga bom ini mendentum. Francis tampaknya masih belum bisa menerima penjelasan sains kalau big bang bisa terjadi tanpa penyebab sebelumnya. Artinya, Francis masih memerlukan sosok Allah untuk mengisi “gap” yang dipandangnya masih kosong, “gap” yang berupa pertanyaan siapa penyundut sumbu bom big bang, atau pertanyaan ada apa sebelum big bang. Posisi Francis ini umum dinamakan “God of the gaps” theology: di manapun sains tampak masih meninggalkan misteri sebagai gap, gap ini langsung diisi dengan sosok Allah supernatural.

Begitu juga, berkaitan dengan asal-usul paling awal Adam dan Hawa, Paus Francis tidak bisa menerima pandangan bahwa DNA adalah produk hukum-hukum alam, khususnya hukum-hukum kimiawi, yang muncul secara alamiah baik di angkasa luar maupun di planet Bumi. DNA adalah unsur molekuler paling esensial dan fondasional bagi semua bentuk kehidupan. Tanpa molekul DNA, semua bentuk kehidupan tidak akan ada, dalam wujud apapun. Bagi Francis, Adam dan Hawa muncul karena keduanya diciptakan Allah, lalu selanjutnya berkembang, berevolusi, menurut hukum-hukum internal yang ada dalam diri organisme ini. 

Pohon evolusi yang rimbun

Dengan kata lain, bagi Paus Francis big bang dan evolusi adalah fakta-fakta, tetapi fakta-fakta yang terjadi tidak lepas dari kendali Allah, dipimpin Allah, lewat hukum-hukum internal masing-masing yang juga dibangun dan dikendalikan Allah sendiri. Terminologi yang pas untuk pandangan Francis ini adalah “the divinely initiated and guided big bang and evolution”. Maklumlah, dia adalah agamawan, bukan saintis. Bagi saintis, frasa “the divinely initiated and guided” itu tidak diperlukan, sebab semua saintis menolak teologi “God of the gaps”. Bagi para saintis, kalau masih ada “celah” atau “gap” informasi dalam suatu pandangan sains, celah atau gap ini dibiarkan saja untuk sementara sampai nantinya sains bisa mengisinya dengan pas, tidak perlu Allah dimasukkan ke dalam celah atau gap ini. Di tangan para saintis, sains tidak akan pernah menjadi agama, dan juga sebaliknya.  
 
Bagaimana pun juga, dibandingkan Benedict XVI, jelas Paus Francis lebih maju dalam pandangannya tentang asal-usul jagat raya dan evolusi biologis spesies. Tapi dari sudut sains, pandangan Paus Francis bukanlah sebuah kemajuan, melainkan hanya memberi sebuah tempat bagi teologi dalam pandangan sains, artinya hanya sebuah “God of the gaps” theology. Dalam kenyataannya, kosmologi modern dan sains evolusi biologis sama sekali tidak memerlukan teologi semacam ini. Dalam sains kosmologi tentang asal-usul alam semesta dan dalam sains evolusi biologis, tidak ada celah atau “gap” yang masih harus diisi. 

Sains evolusi memiliki bukti-bukti yang hingga saat ini kian bertambah, yang menunjukkan bahwa berbagai bentuk kehidupan muncul dari akar terdalamnya, yakni mikroorganisme bersel tunggal atau bakteri yang melalui evolusi alamiah lewat seleksi alam berkembang dan berubah menjadi bentuk-bentuk kehidupan bersel majemuk yang terus-menerus makin kompleks. Tidak ada peran kuasa eksternal di luar alam untuk evolusi spesies-spesies berjalan, semuanya serba alamiah. Masih ada sangat banyak orang (tentu saja kaum agamawan) yang mati-matian menolak sains evolusi, dan memilih untuk mati atau hidup mempertahankan kreasionisme dan teologi ID. Tapi bahwa kehidupan muncul dari proses-proses kimiawi yang sepenuhnya alamiah, kini sudah dibuktikan oleh sains lain, yakni biologi sintetis. Kini, dengan sains biologi sintetis, yang dimulai oleh J. Craig Venter di pertengahan 2010, para saintis sudah dapat menciptakan kehidupan buatan hanya dari zat-zat kimiawi yang mati yang persenyawaannya (dalam sebuah synthesizer kimiawi) untuk membentuk DNA yang hidup berlangsung lewat instruksi-instruksi genomik secara digital yang berasal dari sebuah komputer./5/

Begitu juga halnya dengan asal-usul jagat raya. Ihwal bagaimana jagat raya ada, kini bisa dijelaskan sepenuhnya oleh ilmu pengetahuan, tanpa melibatkan teologi apapun. Stephen Hawking menyatakan hal berikut ini, simaklah.  
“Peran yang dimainkan sang waktu pada permulaan jagat raya adalah, aku percaya, kunci terakhir untuk menyingkirkan keperluan adanya suatu Perancang Akbar [ilahi], dan untuk menyingkapkan bagaimana jagat raya menciptakan dirinya sendiri [lewat fluktuasi quantum]…. Waktu itu sendiri haruslah akhirnya berakhir. Anda tidak dapat tiba di suatu waktu sebelum big bang, karena tidak ada sang waktu sebelum big bang. Kita akhirnya menemukan sesuatu yang tidak memiliki suatu penyebab karena tidak ada waktu bagi suatu penyebab untuk ada di dalamnya. Bagiku, ini berarti tidak ada kemungkinan bagi adanya suatu pencipta [ilahi] berhubung tidak ada waktu bagi suatu pencipta untuk dulu ada. Karena waktu itu sendiri dimulai pada momen big bang, maka big bang itu sendiri adalah suatu kejadian yang tidak dapat disebabkan atau diciptakan oleh seseorang atau suatu hal apapun…. Maka, ketika orang bertanya kepadaku apakah suatu allah telah menciptakan jagat raya, aku katakan kepada mereka bahwa pertanyaan mereka itu sendiri tidak punya makna. Waktu belum ada sebelum big bang, dengan demikian tidak ada waktu bagi Allah untuk membuat jagat raya di dalamnya. Ini bak bertanya arah menuju pinggir Bumi. Planet Bumi itu suatu bulatan. Sebagai bulatan, Bumi tidak punya suatu tepi, alhasil mencari tepi Bumi adalah suatu usaha yang sia-sia.”
Dan juga ini,
“Anda memasuki suatu dunia di mana adalah mungkin untuk menjelaskan sesuatu itu bisa ada dari ketiadaan, setidaknya untuk waktu yang pendek, karena mekanika quantum…. Jagat raya semula dulu sangat kecil, kurang dari besarnya sebuah proton. Ini berarti jagat raya dapat begitu saja ada tanpa melanggar hukum-hukum fisika yang sudah diketahui.”/6/
Pada sisi lain, para agamawan yang menganut teologi Allah pengisi celah-celah, akan terus-menerus lelah karena mereka harus terus melototi sains untuk menemukan celah-celah baru ketika celah-celah lama sudah ditutup rapat oleh data dan info saintifik. Waktu mereka habis hanya untuk mencari celah-celah ini lewat berbagai usaha teologisasi pandangan-pandangan saintifik. Akhirnya, umat mereka terbengkalai dan juga ikut kebingungan, dan Allah, kasihan sekali, direduksi hanya menjadi suatu Oknum pengisi celah-celah sempit sehingga dia terjepit-jepit terus, menanti dibebaskan. Bagaimanapun juga, kita semua bisa memaklumi Paus Francis, sebab gereja apapun (dan komunitas keagamaan apapun) tidak ingin teks-teks kitab suci mereka tidak terpakai lagi. Bagaimanapun juga, para teolog akan selalu mengutak-ngutik teks-teks kitab suci supaya bisa klop dan cocok dengan sains. Dengan kata lain, gereja (dan komunitas keagamaan apapun) apapun akan selalu menerapkan apa yang saya namakan cocok-o-logi supaya teks-teks kitab suci tetap bisa dipakai dan dogma-dogma bisa tetap dipegang, sementara sains terus berkembang dan menyingkap makin banyak misteri alam.

Bayangkan, konsekwensi apa yang akan timbul pada dogma gereja jika pandangan sains tentang Adam dan Hawa diterima bulat-bulat, tanpa dilunak-lunakkan lewat cocokologi. Bagi sains, Adam dan Hawa dalam teks-teks kitab Kejadian tidak pernah ada, dan yang ada adalah Adam dan Hawa hasil evolusi milyaran tahun dari semula hanya molekul-molekul DNA, yang bermuara pada kemunculan homo sapiens 300 ribu hingga 400 ribu tahun lalu, bukan di Taman Eden, tetapi di benua Afrika. Konsekwensi dogmatisnya adalah: dogma dosa warisan Adam gugur. Bagaimana bisa ada dosa warisan Adam sementara sosok Adam di Taman Eden sendiri tidak pernah ada dalam sejarah dunia ini?! Konsekwensi berikutnya lagi lebih menyeramkan: Yesus Kristus tidak perlu mati untuk menebus manusia dari dosa yang diwariskan Adam dan Hawa!

Bayangkan, apa yang akan terjadi atas teks-teks kitab Kejadian dalam Tanakh Yahudi yang mengisahkan penciptaan langit dan Bumi dalam hitungan hari jika big bang dipandang terjadi dengan sendirinya sebagai peristiwa fisika quantum yang alamiah, atau bahwa big bang selalu berulang dalam siklus evolusi kosmik yang berlangsung bermilyar-milyar tahun untuk setiap siklus! Jika kosmologi modern diterima apa adanya, bulat-bulat, tanpa dijinakkan lewat cocokologi, teks-teks kitab Kejadian ini menjadi usang dan tidak relevan lagi sejauh dipahami secara literalis sebagai kisah sejarah dan bukan sebagai metafora teologis.

Dalam era sains modern ini, memang sangat sulit untuk hidup beragama dengan autentik, artinya: beragama tanpa melakukan cocokologi untuk menyelamatkan teks-teks kitab suci yang sebetulnya sudah terongrong dengan radikal oleh sains. Itu juga yang dialami Paus Benedict XVI dan Paus Francis.

Hemat saya, supaya dapat hidup dengan autentik, ya para agamawan harus dengan sadar tidak usah melakukan cocokologi. Katakan saja dengan berani dan terus terang, bahwa kitab-kitab suci hanyalah buku-buku agama, sama sekali bukan buku-buku sains apapun. Keduanya tidak bisa dicocok-cocokkan! Dan para agamawan tidak usah berlelah-lelah mengambil peran sebagai para saintis yang nyatanya tidak pernah bisa mereka pikul sepenuhnya. Alhasil, mereka jadi pseudo-saintis! Untuk urusan sains, ya berpalinglah ke para saintis. Untuk urusan moral dan ritual agama, ya datanglah ke para rohaniwan. Pisahkan dua urusan ini. Jangan keduanya dikumpulkerbaukan!
 


Seandainya para agamawan ngotot untuk terus melakukan cocokologi, ya silakan saja. Saya mau ingatkan saja, cocokologi itu merugikan dunia agama-agama karena tujuh alasan.

Pertama, para praktisi cocokologi yang sebenarnya berhaluan konservatif bahkan fundamentalis dalam beragama lewat cocokologi yang mereka praktekkan langsung saja berubah menjadi para agamawan modern karena mereka telah memodernisir teks-teks kitab suci mereka supaya teks-teks ini sejalan atau klop atau cocok dengan pandangan-pandangan sains modern. Hal ini bisa jadi mereka sama sekali tidak sadari. Mereka yang umumnya membenci modernitas anehnya malah telah menjadi modern! Pada level mental kognitif, mereka sebetulnya terpecah, tidak utuh.

Kedua, cocokologi dipraktekkan sebetulnya dengan niat bagus untuk memuliakan dan mengunggulkan kitab-kitab suci oleh orang-orang yang percaya mutlak bahwa kitab suci mereka benar. Sayangnya, niat mulia ini dijalankan dengan cara yang salah, yakni lewat cocokologi. Bagi mereka, jika teks-teks kitab suci mereka berwibawa, benar dan tidak bisa salah dalam segala hal sebagai wahyu ilahi yang mereka terima dengan iman dan kepercayaan penuh, maka teks-teks ini akan pasti sejalan atau klop atau cocok dengan pandangan ilmu pengetahuan. 

Mungkin tanpa mereka sadari, dengan mempraktekkan cocokologi mereka sebetulnya menempatkan ilmu pengetahuan di tempat tertinggi sebagai kriteria yang menentukan benar atau tidaknya teks-teks kitab suci mereka. Karena mereka percaya teks-teks apapun dalam kitab suci mereka tidak bisa salah, maka pastilah teks-teks ini sejalan atau cocok dengan pandangan-pandangan ilmu pengetahuan. Karena ilmu pengetahuan menempati posisi tertinggi, ke manapun ilmu pengetahuan bergerak atau berubah atau berkembang, ke sanalah teks-teks kitab suci mereka bawa dan tundukkan, alhasil kitab suci mereka selalu dibuat mengekor ilmu pengetahuan, dengan akibat kehilangan kewibawaannya sama sekali. Kenapa cocokologi yang merugikan kewibawaan kitab suci mereka lakukan?

Persoalannya terletak di sini: para praktisi cocokologi sebetulnya menyadari bahwa jika kebenaran kitab suci mereka hanya didasarkan pada keyakinan pada wahyu ilahi yang dalam iman diterima dan dipercaya benar, kebenaran kitab suci mereka masih belum mendapatkan landasan epistemologis yang kokoh. Mereka sudah tahu, pandangan-pandangan ilmu pengetahuan itu kokoh karena didasarkan pada bukti-bukti empiris dan pada teori-teori besar yang sudah teruji, bukan pada wahyu ilahi dan iman tanpa bukti. Karena itulah, supaya kokoh wahyu dalam kitab suci mereka juga harus bisa diperlihatkan sejalan atau cocok dengan pandangan-pandangan ilmu pengetahuan. Dengan kata lain, cocokologi sebetulnya mengungkapkan sisi batiniah terdalam para praktisinya, bahwa mereka ragu wahyu ilahi dalam kitab suci mereka benar dan iman kepercayaan saja sudah cukup. Keraguan atau skeptisisme itu sebetulnya bagus, sejauh membuat kita jadi berani melakukan kritik terhadap segala hal yang sudah dimapankan, termasuk segala hal yang sudah dimapankan dalam agama kita sendiri. Skeptisisme yang mendorong orang mempraktekkan cocokologi adalah skeptisisme yang buruk.  

Ketiga, saat cocokologi dipraktekkan, para agamawan yang mempraktekkannya sebenarnya dibuat sangat lelah sebab begitu pandangan sains tentang sesuatu hal yang semula bisa dicocokkan dengan sebuah teks kitab suci berubah, maka mereka harus berlelah-lelah lagi mencari teks-teks baru yang mereka pandang bisa dicocokkan. Selain itu, mereka juga dengan sangat melelahkan harus menyembunyikan baik teks-teks yang sudah tidak bisa dicocok-cocokkan lagi maupun teks-teks yang jelas-jelas kontradiktif dengan pandangan-pandangan ilmu pengetahuan.

Keempat, cocokologi hanya menimbulkan kebingungan dalam diri para agamawan, sebab teks-teks suci yang dapat dipandang cocok atau klop dengan suatu pandangan saintifik akan berbeda-beda dari satu praktisi cocokologi ke praktisi cocokologi lainnya dalam satu agama. Ini dapat terjadi karena pemilihan teks-teks suci yang dipandang cocok akan sangat ditentukan oleh pra-paham si praktisi cocokologi sendiri. Begitu juga halnya saat dia memikirkan apa yang dikatakan atau dipesankan teks-teks suci pilihannya. Tidak ada kriteria objektif yang digunakan untuk menentukan pemilihan suatu teks dan tafsirannya. Semuanya bergantung pada pendapat si praktisi cocokologi sendiri yang dikendalikan oleh pra-pahamnya sendiri. Pra-paham (atau prasuposisi atau presupposition) adalah pandangan dan paham si praktisi cocokologi yang sudah dipunyainya dalam benaknya sebelumnya saat dia memilih sebuah teks suci dan mau memahami makna atau pesannya. Pra-paham muncul dari aliran agamanya, dari indoktrinasi doktrin-doktrin keagamaan yang dialaminya sejak kecil, dari ajaran-ajaran para guru agamanya di rumah ibadahnya sendiri atau di sekolah agamanya sendiri, dari buku-buku bacaan dan media lainnya yang telah dibacanya, dari pengalaman-pengalamannya sendiri, dari ambisi-ambisi pribadinya sendiri, dan dari status sosial dirinya dalam masyarakatnya.

Kelima, cocokologi tidak akan menghasilkan para saintis beragama, malah sebaliknya hanya menghasilkan para agamawan yang menampakkan diri sebagai pseudo-saintis, alias saintis gadungan. Cocokologi juga menghambat seorang beragama untuk berani berpikir bebas dalam dunia ilmu pengetahuan, sebab dalam dirinya sudah ditanamkan keyakinan bahwa semua sains modern sudah ada di dalam kitab sucinya, dus tidak boleh dan tidak akan bertentangan dengan pesan-pesan kitab sucinya. Ketimbang seorang beragama dapat menjadi saintis yang kreatif dan mampu berpikir saintifik apapun, cocokologi malah membuat seorang beragama yang bergelar Ph.D. dalam bidang sains sekalipun akan akhirnya hanya pandai berdakwah untuk membela kitab sucinya saja dan meyakinkan orang luar bahwa kitab sucinya sejalan atau cocok dengan ilmu pengetahuan apapun. Ini fakta yang saya sering lihat dan dengar sendiri! 

Keenam, para praktisi cocokologi sebetulnya tidak mengetahui dengan betul perbedaan esensial yang tidak bisa diselesaikan antara watak kitab suci dan watak sains. Kitab-kitab suci agama-agama teistik dipercaya umat masing-masing sebagai sebuah kitab yang diwahyukan atau diturunkan dari sorga oleh Allah sendiri. Karena diyakini berasal dari Allah, teks-teks kitab suci apapun dipercaya tidak bisa salah dalam segala hal yang dikatakan, kebenarannya selalu dijaga oleh Allah sehingga tidak akan pernah usang kapanpun juga dan di mana pun juga. Teks-teks kitab suci menyampaikan kebenaran yang tidak perlu dilandaskan bukti-bukti, cukup dipercaya saja, karena kebenarannya dijamin oleh Allah sendiri. Teks-teks kitab-kitab suci dipercaya memuat segala hal yang sudah final, definitif dan absolut untuk umat manusia di seluruh dunia dan di segala zaman; dengan demikian, teks-teks kitab suci tidak boleh diubah, tetapi harus terus dijaga kemurniannya sejak diwahyukan sampai dunia kiamat. Umat diperintahkan untuk bersedia mengorbankan kehidupan mereka sampai titik darah terakhir demi menjaga kebenaran kitab suci mereka.   

Nah, kitab suci yang diberi watak seperti itu tentu saja berbeda tajam dengan sains. Tidak ada sains apapun yang diwahyukan atau diturunkan dari sorga. Semua sains dihasilkan oleh manusia-manusia cerdas di dalam dunia ini, sejak dulu hingga ke depan tanpa batas. Tidak ada sains yang tidak bisa salah. Tidak ada sains yang selalu dijaga Allah untuk tidak berubah.Tidak ada sains yang tidak bisa usang. Tidak ada sains yang sudah final, absolut dan definitif, meskipun ada teori-teori besar sains yang dipandang kokoh untuk sementara waktu. Tidak ada sains yang mencakup segala hal yang ada dalam jagat raya ini. Tidak ada sains yang disucikan dan diilahikan sehingga tidak boleh diubah. Tidak ada sains yang dibangun tanpa landasan bukti-bukti. Tidak ada sains yang kebenarannya dijamin oleh suatu Allah. Tidak ada sains yang harus dijaga kemurniannya sampai dunia berakhir. Tidak ada saintis yang akan mempertaruhkan nyawa mereka demi mempertahankan sebuah posisi saintifik, karena mereka tahu tidak ada posisi sains yang final, absolut dan tidak bisa salah. Jika seorang saintis menjadi fanatik dengan ilmu yang sedang dikembangkannya, hilanglah kewibawaannya sebagai seorang saintis. Semakin hebat seorang saintis, semakin dia rendah hati, terbuka, toleran, dan selalu siap untuk mengaku salah atau mengaku tidak tahu jika memang harus. Pendek kata, sains sama sekali bukan agama, dus jangan sekali-kali meng-agama-kan sains, atau sebaliknya, men-sains-kan agama.
 
Ketujuh, harus disimpulkan bahwa cocokologi tidak membuat agama apapun mampu menyumbangkan sesuatu yang berharga ke dunia ilmu pengetahuan, sebab lewat cocokologi agama-agama dibuat berjiwa kerdil, hanya mampu jadi pengekor sains, dan kehilangan kewibawaan dan signifikansinya sendiri. Bisa saja lewat cocokologi agama-agama jadi bisa bertahan hidup di era sains modern, ya bertahan hidup sebagai pranata-pranata sosial yang menumpang sebagai parasit dalam dunia sains, kehilangan peran signifikan mereka, hidup hanya di emper-emper bangunan sains modern, mengais-ngais di situ mencari sesuatu yang mungkin masih bisa berharga. Mengenaskan, jadinya. Ya, kemampuan maksimal agama-agama di dunia sains hanyalah cocokologi. Pendapat saya ini sama sekali bukan sinisme, tetapi realisme. 

Anda tokh sudah tahu, sejak berabad-abad lalu hingga kini, orang-orang yang menekuni dengan serius teks-teks kitab-kitab suci tidak ada yang tiba-tiba saja mendapatkan ilham dari teks-teks ini lalu melahirkan sains-sains terobosan baru. Sains-sains terobosan baru justru lahir di luar teks-teks kitab-kitab suci apapun, lahir hanya dari:
  • Observasi yang cermat atas berbagai fenomena alam;
  • Bukti-bukti baru yang berhasil dikumpulkan;
  • Eksperimen-eksperimen di dalam laboratorium;
  • Kegiatan-kegiatan bernalar kreatif dan imajinatif dalam bingkai teori-teori besar yang sudah ada;
  • Metode-metode penelitian saintifik yang dibangun;
  • Rasa ingin tahu atau kuriositas yang besar atas segala sesuatu dalam jagat raya ini yang mendorong orang mengeksplorasi dan mempelajari alam;
  • Kesediaan untuk meragukan hal-hal apapun yang dipandang sudah mapan, atau yang biasa disebut skeptisisme;
  • Debat publik terbuka atau lewat media-media lain yang mempertemukan banyak ilmuwan;
  • Science literacy (atau bebas buta sains) sudah menjadi bagian dari kehidupan publik sehari-hari;
  • Demokrasi yang memberi kebebasan untuk orang berpendapat dengan bertanggungjawab.
Siapapun juga, entah teis atau ateis atau agnostik, di mana dan kapan pun juga, jika sepuluh kondisi di atas dipenuhi, akan bisa menghasilkan sains-sains terobosan baru. Tentu bisa diharapkan ada teks-teks kitab-kitab suci yang dapat mendorong orang untuk memiliki dan mengembangkan beberapa sikap mental yang dapat memajukan ilmu pengetahuan, misalnya sikap ingin belajar, meneliti, mengobservasi, dan berpikir. Tetapi mungkin nyaris tidak ada teks kitab suci yang meminta pembacanya untuk meragukan segala sesuatu yang sudah mapan, bersikap skeptis, termasuk meragukan kebenaran teks-teks kitab suci sendiri atau meragukan ucapan-ucapan orang-orang zaman dulu yang dipandang suci. Mungkin parafrasis ucapan dalam Kalama Sutta (AN 3.65) yang diasalkan pada Gautama Buddha ini adalah suatu kekecualian yang mengherankan:
“Jangan percaya hal apapun hanya karena kamu telah mendengarnya. Jangan percaya hal apapun hanya karena hal itu telah dibicarakan dan digunjingkan oleh banyak orang. Jangan percaya hal apapun hanya karena hal itu tertulis dalam kitab-kitab keagamaanmu. Jangan percaya hal apapun hanya karena hal itu dikatakan berdasarkan otoritas guru-guru dan sesepuh-sesepuhmu. Jangan percaya tradisi apapun hanya karena tradisi itu telah diwariskan dari satu generasi ke generasi lainnya. Tetapi setelah kamu observasi dan analisis, maka ketika kamu mendapati hal apapun sejalan dengan akal budimu dan menolongmu untuk mendatangkan kebaikan dan manfaat bagi satu dan semua orang, maka terimalah itu dan jalankanlah.”
Bagaimanapun juga, saya mau memberi usul, satu ini saja: jangan praktekkan cocokologi. Karena merugikan. Perlakukan setiap kitab suci sebagai kitab keagamaan, bukan sebagai buku sejarah dan bukan sebagai ensiklopedia ilmu pengetahuan yang serba lengkap. Jangan jadikan agama anda agama yang totalitarian, mau menguasai dan merambah semua bidang kehidupan. Camkanlah, tidak ada agama yang bisa ke situ. Kapanpun juga dan di manapun juga. 

Catatlah dalam benak anda selamanya bahwa sains itu tidak memeluk agama apapun. Tidak ada sains Hindu, sains Buddhis, sains Konfusianis, sains Zenis, sains Yahudi, sains Kristen, sains Islam, sains Syiah, sains Ahmadiyah, sains Bahai, dan seterusnya. Sains itu milik jagat raya, meskipun dibangun lewat akal manusia. Hanya orang yang beragama konservatif dan triumfalistik yang dengan salah kaprah berusaha meng-agama-kan sains.  

Bisa jadi, setelah melihat cocokologi itu suatu praktek yang bermasalah besar, para praktisinya masih akan ngotot berdalih bahwa teks-teks kitab suci mereka yang dipercaya sudah pasti benar nantinya akan pasti mengoreksi sains, atau akan melahirkan sains-sains baru yang sekarang belum kelihatan. Dua dalih ini salah total.  

Sains bisa dikoreksi pasti bukan oleh teks-teks kitab suci, tetapi hanya oleh sains yang sudah lebih maju, dan hanya jika bukti-bukti baru sudah ditemukan dan teori-teori alternatif terbukti lebih tepat dalam menjelaskan berbagai fenomena alam. Kalaupun para agamawan mau berperan dalam dunia sains, tempatnya masih ada, yakni dalam dunia etika. Ada hasil-hasil penyelidikan saintifik yang bersentuhan langsung dengan segi-segi etika. Biologi sintetis, misalnya, yang sudah bisa menciptakan kehidupan dari senyawa zat-zat kimia yang mati, menimbulkan sejumlah pertanyaan etis tentang apa itu hakikat kehidupan, sampai sejauh mana para saintis diperbolehkan atau tidak diperbolehkan menciptakan kehidupan, ancaman-ancaman dan peluang-peluang baru apa yang mungkin akan timbul dari sains ini terhadap kehidupan, dan seterusnya./7/ Nah, dalam kondisi semacam inilah para agamawan perlu berdialog dengan para saintis dan juga sebaliknya. Tentu saja, supaya dialog yang diadakan bersifat membangun dunia sains dan bukan menghambatnya dengan naif, para agamawan yang mau berdialog dengan para saintis haruslah memahami betul dan sedalam-dalamnya bidang-bidang sains yang mereka mau soroti dari sudut etika.

Tetapi untuk mengoreksi sains sebagai sains, para agamawan tidak akan bisa, sebab mereka tidak dididik secara formal dalam dunia sains yang sangat kompleks. Sebaliknya, sains bisa mengoreksi agama, sebab pandangan-pandangan sains tentang realitas sangat kokoh berhubung dibangun dengan landasan bukti-bukti yang real, sementara klaim-klaim keagamaan tentang apapun nyaris seluruhnya dibangun hanya dengan landasan wahyu, iman dan kepercayaan, tanpa bukti, atau hanya berlandaskan mitos-mitos kuno. Sains evolusi, sains biologi sintetis, dan sains kosmologi modern tentang asal-usul jagat raya, misalnya, telah dengan radikal menunjukkan teologi kreasionisme dan Intelligent Design salah total. Begitu juga, kajian-kajian klinis neurosains telah memperlihatkan bahwa ide tentang pemisahan roh/jiwa dan tubuh yang dipertahankan agama-agama, adalah suatu ide yang salah.

Dan ingatlah selalu, sains-sains baru akan muncul hanya jika sepuluh kondisi yang sudah disebut di atas terpenuhi, dan tidak akan pernah lahir hanya dari teks-teks kitab suci yang nyatanya selalu terbuka pada banyak penafsiran yang satu sama lain kerap bertentangan. Alih-alih melahirkan sains-sains baru, teks-teks kitab suci malah lebih sering melahirkan pertentangan dan perdebatan yang melelahkan. Seandainya memang teks-teks kitab suci bisa melahirkan sains-sains baru, kenapa tidak dari dulu, kenapa tidak terjadi sekarang, kenapa harus menunggu nanti di masa depan, sampai jagat raya kita lenyap? 

Daripada anda memakai agama anda untuk mempraktekkan cocokologi, jauh lebih perlu dan jauh lebih mulia, tapi juga jauh lebih sulit, jika anda mendorong umat anda untuk mengamalkan perintah-perintah bagus agama anda untuk anda dan umat anda mengasihi sesama manusia, hidup baik hati, menjadi penolong, penyabar, pendamai dan pemersatu umat manusia. Sekalipun dalam agama-agama banyak terdapat mitos dan fiksi, bukan sains, saya kerap menemukan tidak sedikit mitos dan fiksi keagamaan ini yang punya pesan-pesan moral yang bagus. Dengan tetap menyadari bahwa agama bukanlah satu-satunya sumber ajaran-ajaran moral,/8/ usahakanlah agama anda berwibawa dan signifikan di dunia moral dan nilai-nilai kehidupan, untuk memandu umat supaya mereka dapat tanggap, tepat dan bertanggungjawab hidup di dunia yang sedang dikendalikan sains modern dalam banyak kehidupan.  

Jakarta, 29 Oktober 2014
by Ioanes Rakhmat



Catatan-catatan

/1/ Lihat Adam Whitnall, “Pope Francis declares evolution and Big bang theory are right and God isn’t ‘a magician with a magic wand’”, The Independent, 28 October 2014, pada http://www.independent.co.uk/news/world/europe/pope-francis-declares-evolution-and-big-bang-theory-are-right-and-god-isnt-a-magician-with-a-magic-wand-9822514.html.  


/2/ Lihat P. W. Milonni, The Quantum Vacuum: An Introduction to Quantum Electrodynamics (Boston: Academic Press, 1994), hlm. 239. 

/3/ Lihat Milton K. Munitz, Cosmic Understanding: Philosophy and Science of the Universe (Princeton: Princeton University Press, 1990), hlm. 132. Lihat juga Focus: The Force of Empty Space, Physical Review Focus 2, 28 (1998) DOI: 10.1103/PhysRevFocus.2.28 (3 December 1998), pada http://physics.aps.org/story/v2/st28.

/4/ Lihat reportase Clara Moskowitz, “Gravitational Waves from Big Bang Detected”, Scientific American, 17 March 2014, pada http://www.scientificamerican.com/article/gravity-waves-cmb-b-mode-polarization/. Lihat laporan lengkapnya “Cosmic Inflation and Big Bang Ripples”, Scientific American, 17 March 2014, pada http://www.scientificamerican.com/report/cosmic-inflation-and-big-bang-ripples1/.

/5/ Tentang prestasi J. Craig Venter dan timnya dalam menciptakan kehidupan buatan, lihat Ioanes Rakhmat, Beragama dalam Era Sains Modern (Jakarta: Pustaka Surya Daun, 2013), Lampiran 3 (“DNA Sintetik dan Kehidupan Buatan”), hlm. 443-446. Tulisan ini terpasang juga di blog saya dengan judul DNA Sintetik dan Kehidupan Artifisial Telah Berhasil Diciptakan Ilmuwan, The Freethinker Blog, 9 Oktober 2010, pada http://ioanesrakhmat.blogspot.com/2010/10/dna-sintetik-dan-kehidupan-artifisial.html

/6/ Lihat pemaparan Stephen Hawking dalam video Discovery Channel Curiosity SO1EO1, Did God Create the Universe? Compelling Explanations, tayangan perdana 7 Agustus 2011, pada http://youtu.be/fmYlbqtAYOQ.

/7/ Tentang biologi sintetis, lihat tulisan saya “DNA Sintetik dan Kehidupan Artifisial Telah Berhasil Diciptakan Ilmuwan!”, The Freethinker Blog, 9 Oktober 2010, pada http://ioanesrakhmat.blogspot.com/2010/10/dna-sintetik-dan-kehidupan-artifisial.html. Tulisan ini menjadi lampiran 3 dalam Ioanes Rakhmat, Beragama dalam Era Sains Modern (Jakarta: Pustaka Surya Daun, 2013), hlm. 443-446. 

/8/ Ada banyak hal yang harus diperhitungkan dalam orang mengambil keputusan-keputusan moral, di antaranya adalah sains. Teks-teks kitab suci sama sekali bukan sumber satu-satunya ajaran-ajaran moral. Tentang ini lihat Ioanes Rakhmat, Sciences and Values, Kanz Philosophia, Volume 4, Number 1, June 2014, pp. 116-124. Sebuah versi yang sedikit lebih panjang dari tulisan ini terpasang di The Freethinker Blog, 17 November 2014, pada http://ioanesrakhmat.blogspot.com/2014/11/sciences-and-values.html.