Sunday, November 17, 2013

Elie Wiesel: Allah bangsa Yahudi telah terbunuh!

Pada waktu bangsa Yahudi dianiaya, diazab, dan dibantai oleh rezim Nazi Hitler yang berkuasa atas negeri Jerman dari 1933 sampai 1945 selama Perang Dunia II, orang Yahudi bergumul amat sangat, dan mereka bertanya di mana Allah mereka berada. Sekian jawaban diberikan oleh bangsa Yahudi, oleh para ahli teologi mereka. 

Ini adalah soal teodise: di mana Allah berada dan kepada siapa dia berpihak ketika orang-orang saleh dengan hati yang dipenuhi cinta dan rasa kemanusiaan tertimpa azab bertubi-tubi, tanpa penolong.

Kita kenal Elie Wiesel, dilahirkan 30 September 1928 di Sighet, Transylvania (kini Romania). Pada tahun 1986, Wiesel meraih Hadiah Nobel Perdamaian. 

Dia adalah seorang Yahudi yang selamat dari Holokaus setelah pada umur 15 tahun dimasukkan ke kamp-kamp konsentrasi di Auschwitz, Buna, Buchenwald dan Gleiwitz. 

Wiesel kemudian termashyur di dunia melalui novel-novelnya, khususnya melalui satu novel memoar pertamanya tentang Holokaus yang terbit pada tahun 1960 dengan judul Night (versi Prancisnya terbit dengan judul La Nuit). Setelah Night, terbit dua novel lagi Dawn (1961) dan Day (1962), yang keseluruhannya membentuk sebuah trilogi yang menyoroti dengan cermat kekejaman yang dilakukan manusia terhadap sesamanya./1/  

Eliezer Wiesel keluar selamat dari Holokaus untuk kemudian menjadi duta umat manusia

Apa kata Wiesel tentang di mana Allah berada ketika jutaan orang Yahudi dianiaya, disengsarakan dan dibunuh oleh Nazi? 

Dalam suatu bagian novel Night, Wiesel menyatakan bahwa Allah bangsa Yahudi telah terbunuh. Tulisnya, 

“Tak akan pernah aku melupakan malam itu, malam pertama dalam kamp, yang telah mengubah kehidupanku menjadi satu malam yang panjang, tujuh kali dikutuk dan tujuh kali disegel.... Tak akan kulupakan momen-momen itu yang telah membunuh Allahku dan jiwaku, dan mengubah mimpi-mimpiku menjadi debu.”/2/ 

Ya, bagi Wiesel, Allah telah tiada, karena terbunuh, sehingga bangsa Yahudi menderita azab besar tanpa penolong! 

Bangsa Yahudi harus meratapi bukan saja azab yang sedang mereka tanggung, tapi juga Allah mereka karena sang Allah ini sudah mati terbunuh. 

Itu sebuah gagasan yang tentu membingungkan dan mengagetkan orang-orang yang terbiasa hanya dengan ide tentang Allah yang mahahadir, mahakuasa dan mahapenolong. 

kamp konsentrasi di Auschwitz I, Desember 1944. Pohon Natal untuk blok 15

Tapi bagi Wiesel, dengan idenya tentang Allah yang telah terbunuh, Holokaus jadi dapat dijelaskan sebagai suatu bencana sejarah yang sangat berat bagi bangsa Yahudi, yang menimpa mereka bukan karena Allah Yahudi tidak perduli pada mereka, atau karena Allah menimpakan bencana ini kepada mereka. 

Sebaliknya, bagi Wiesel, Allah bangsa Yahudi tidak berperan sama sekali dalam Holokaus, malah sang Allah ini ikut terbunuh bersama enam juta orang Yahudi. Allah ini solider dengan nasib bangsanya. 

Di pihak Wiesel pribadi, jiwa dan mimpi-mimpinya ikut terbunuh dan terkubur bersama Allah yang terbunuh. Orang yang masih hidup pun melihat dirinya telah terbunuh bersama Allah yang telah terbunuh.

Dalam Tanakh Yahudi, ide tentang ketidakhadiran Allah diungkap dalam gambaran tentang Allah yang menyembunyikan diri. 

Allah menyembunyikan diri dari kehidupan orang saleh. Ini juga sebuah gambaran yang membuat ide-ide biasa kita tentang Tuhan terjungkal. 

Selama Allah masih bersama kaum saleh, Allah berfungsi sebagai sebuah benteng atau sebuah perisai yang melindungi mereka dari segala azab, nestapa, penderitaan, penganiayaan dan semua musuh (lihat antara lain 2 Samuel 22:2-4; Mazmur 18:3-4; Yeremia 16:19a). 

Jika Allah menyingkir dari orang saleh, maka orang saleh ini rentan diserang oleh kekuatan-kekuatan jahat kodrati maupun adikodrati, yang membuat mereka tersiksa dan teraniaya.

Dari kisah fiktif dalam Perjanjian Lama tentang Ayub yang sangat saleh, kita tahu bahwa penderitaan menerpa Ayub tak habis-habisnya ketika Allah menyingkir dari kehidupan Ayub dan Setan dibiarkan Allah berkuasa atas dirinya (Ayub 1:12; 2:6). 

Selama Ayub masih dalam penjagaan dan perlindungan Allah, Ayub sukses besar dan makmur dalam segala segi kehidupannya. Ketika Allah menjauh dan menarik diri dari Ayub, sekian azab menghancurkan seluruh kehidupannya.

Penulis Mazmur 89:47-52 dengan berat mengeluh bahwa dia menerima berbagai macam penghinaan dari segala bangsa ketika Allah bersembunyi dari dirinya terus-menerus. Penulis Mazmur 10:1 bertanya kepada Allah, “Mengapa Engkau berdiri jauh-jauh, Ya TUHAN, dan menyembunyikan diri-Mu dalam waktu-waktu kesesakan?”

Dalam suatu momen kegiatannya selaku seorang hamba Allah, nabi Yesaya sampai menyatakan bahwa Allah telah menyembunyikan diri-Nya (Yesaya 45:15). 

Pada masa aktivitas sang nabi, dia bersama bangsa Israel sama sekali tidak bisa melihat bagaimana Allah mereka bekerja untuk mereka, karena Allah yang mereka sembah dan andalkan ternyata bertindak dengan cara yang tidak lazim lewat tangan seorang raja asing, yakni Koresh, Raja Persia, yang ditetapkan-Nya sebagai Mesias pilihannya sendiri (44:28; 45:1, 13), yang akan menyelamatkan umatnya.

Menurut penulis Injil Markus dalam Perjanjian Baru, ketika Yesus menanggung azab di kayu salib, di manakah Allah yang Yesus biasa panggil dengan akrab sebagai sang Abba, sang Bapa, berada? 

Dalam ide penulis injil ini, ketika Yesus mengerang kesakitan dan meregang nyawa di kayu salib, Allah telah meninggalkan dirinya, sehingga Yesus menderita sendirian saja. 

Dalam kesakitannya, Yesus berteriak keras kepada Allahnya ini, “Eloi, Eloi, lama sabakhtani?”, jika diterjemahkan berarti “Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan aku?” (Markus 15:34). 

Yesus sengsara di kayu salib karena Allah telah menyingkir darinya, menelantarkannya. Seandainya Allah masih bersama Yesus, dia tidak akan mati disalibkan. Yesus di sini, dalam tuturan Markus, terperangkap dalam sebuah problem teodise: Mengapa Allah yang mahakuasa, mahakasih, mahaadil, dan mahahadir, sampai tega meninggalkan orang yang saleh seperti dirinya ini sehingga si saleh ini menderita amat sangat, padahal si saleh sama sekali tidak bersalah?/3/

Dengan menyatakan bahwa Allah tidak hadir, bahwa Allah menjauh, bahwa Allah bersembunyi, bahwa Allah telah terbunuh, penderitaan yang menimpa orang-orang saleh jelas tidak dapat diasalkan pada diri Allah ini. 

Penderitaan dialami orang saleh bukan karena Allah yang menimpakannya kepada mereka. Bukan! Tetapi karena ada kekuatan-kekuatan lain yang dengan bebas menyengsarakan umat, tanpa bisa dihentikan oleh Allah karena Allah memang sedang tidak hadir di tempat. 

Apakah argumen semacam ini berhasil mengatasi problem teodise, dan tidak menimbulkan sejumlah problem lain? Jika anda cerdas, anda pasti akan menjawab tidak, berdasarkan beberapa alasan berikut.  

Pertama, kalau Allah bisa tersembunyi, bisa tidak hadir, maka hilanglah sifat mahahadir dan mahapenolong Allah yang sebetulnya ingin dipertahankan dengan kuat dalam teodise. 

Kalau Allah bisa tidak hadir, atau bisa tidak ada karena terbunuh, dan sebagai ganti diri-Nya ada kekuatan-kekuatan lain yang jahat, yang sedang berkuasa atas diri umat Allah, maka hilanglah juga sifat mahakuasa Allah. 

Kalau Allah tidak hadir dan dengan demikian kesengsaraan menimpa si mukmin yang saleh dan tak bersalah, maka hilanglah sifat mahaadil Allah yang sebetulnya juga ingin dipertahankan dalam teodise.  

Kedua, kalau karena Allah bersembunyi umat menjadi sengsara atau rentan terhadap serangan penderitaan, maka Allah yang semacam ini dapat diibaratkan sebagai seorang ayah yang tidak bertanggungjawab, tega hati dan pengecut, yang lari bersembunyi ketika anak-anaknya sedang atau akan dianiaya orang-orang jahat. 

Konsep tentang Allah yang semacam ini sama sekali tidak bisa diperdamaikan dengan nilai-nilai moral dan nilai-nilai sosial yang mau ditegakkan dalam suatu masyarakat yang bertanggungjawab, di mana setiap ayah dan ibu dipandang sebagai sosok-sosok agung pelindung dan pengayom anak-anak mereka.

Ketiga, jika si saleh menginginkan kehidupannya terbebas dari segala bentuk penderitaan dengan terus-menerus meminta Allah tetap hadir untuk melindungi dan menjaga dirinya, maka bisa terjadi si saleh ini akan menolak semua bentuk perlindungan dan pertolongan yang dapat diupayakan manusia melalui sains dan teknologi modern. 

Banyak sekali orang saleh di dunia ini dengan fanatik (baca: dengan bodoh) menolak pertolongan medis apapun karena mereka hanya bergantung pada Allah mereka melalui doa-doa dan ritual-ritual keagamaan mereka untuk kesembuhan penyakit mereka atau penyakit sanak famili mereka. Akibatnya, ya dari antara mereka atau dari antara sanak famili mereka banyak yang mati karena “iman” yang bodoh dan tidak cerdas!

Keempat, ihwal hadir atau tidak hadirnya Allah sebetulnya bukan ditentukan oleh diri Allah itu sendiri, tetapi ditentukan sendiri oleh manusia secara subjektif dalam teologi yang dikonsepnya sendiri. 

Bisa terjadi dalam suatu bencana dahsyat, seorang mukmin akan mengklaim bahwa dia merasa Allah ada di tengah kehidupannya, sementara seorang mukmin lainnya akan menyatakan bahwa Allah telah meninggalkan dirinya. 

Jadi, hemat saya, daripada memperdebatkan apakah Allah hadir atau Allah absen di dalam suatu kesulitan yang sedang menimpa manusia, jauh lebih konstruktif jika kita semua mau bertindak secara rasional untuk mengatasi berbagai macam azab dan penderitaan yang sedang menimpa umat manusia melalui berbagai macam kerja nyata kita di dalam masyarakat.

Kelima, jika kehadiran dan penyertaan Allah dipercaya sebagai sumber semua kemakmuran, kesenangan dan keberhasilan, maka konsep teologis semacam ini bisa berbahaya buat kehidupan etis manusia. Bahayanya di mana? 

Bahayanya: orang bisa berpura-pura melupakan bahwa harta kekayaan yang mereka miliki sebenarnya bersumber dari tindak pidana korupsi atau berbagai perbuatan melanggar hukum lainnya. 

Lalu, sebagai gantinya, mereka akan mengklaim bahwa semua harta kekayaan dan sukses mereka itu diperoleh sebagai berkat-berkat Allah yang mahabaik, mahapenolong dan mahahadir dalam kehidupan mereka. Jadi, di sini teologi dibuat untuk melegitimasi perbuatan tidak bermoral.

Keenam, orang ateis adalah orang yang menyatakan bahwa Allah tidak ada. Kalaupun para agamawan berpendapat Allah memang ada pada dirinya sendiri, orang ateis tidak memerlukan Allah ini sebagai sang pelindung mahakuasa mereka. 

Menurut estimasi Biro Sensus Amerika Serikat, pada 12 Maret 2012 penduduk dunia mencapai 7 milyar kepala; sedangkan menurut estimasi PBB jumlah ini tercapai pada 31 Oktober 2011. 

Dalam tahun 2013, menurut estimasi PBB jumlah penduduk dunia mencapai 7.116.744.393 kepala. Dari jumlah ini, diestimasi 18 % adalah orang ateis, setara dengan kurang lebih 1,3 milyar orang. 

Pertanyaannya adalah: Apakah semua orang ateis dalam jumlah sangat besar ini dengan demikian tidak terlindung dan karenanya akan selalu didera kekuatan-kekuatan jahat sehingga mereka sengsara? Kenyataannya tokh tidak demikian! 

Artinya: ketidakhadiran Allah tidak otomatis akan menimbulkan penderitaan bagi manusia. Manusia pada dirinya sendiri dan melalui sains dan teknologi dapat melindungi diri dari banyak bentuk penderitaan. 

Teologi tentang ketidakhadiran Allah malah bisa membuat orang makin mandiri, makin cerdas, makin dewasa dan makin tegar dalam menjalani kehidupan dalam dunia ini. 

Umumnya orang beranggapan bahwa kepercayaan keagamaan yang dipegang kuat-kuat akan membuat orang yang beragama lebih tahan stres dan tidak mudah terkena depresi dibandingkan orang yang sekuler atau orang yang tidak beragama. 

Tetapi sebuah studi mutakhir lintas-negara atas 8.318 orang yang berasal dari 7 negara menunjukkan bahwa:
  • dari antara orang-orang yang menyatakan memegang keyakinan spiritual atas kehidupan ini, 10,5 % mengalami episode depresi setahun setelah mengalami kejadian serius dalam kehidupan mereka
  • dari orang-orang yang beragama, angkanya 10,3 % 
  • dari kalangan sekuler (tak beragama), angkanya 7,0 %
Temuan di Inggris lebih mencolok lagi: kalangan spiritualis tiga kali lipat lebih mudah terkena depresi dibandingkan kalangan sekuler. Juga ditemukan bahwa makin kuat iman seseorang kepada Tuhannya, orang ini berisiko dua kali lipat terkena depresi dibandingkan orang yang beriman lemah. 

Sebagai kesimpulan: Tidak ada bukti bahwa agama bertindak sebagai bemper penahan depresi setelah orang mengalami goncangan serius dalam kehidupan mereka./4/ 

Dengan kata lain, tidak ada jaminan bahwa jika anda sangat percaya Allah selalu hadir dalam kehidupan anda dan selalu menjaga, melindungi dan menolong anda, khususnya saat anda sedang mengalami banyak persoalan berat, anda akan selalu tegar dan akan tampil sebagai pemenang atas semua masalah anda. 

Mungkin sekali terjadi, ketika kepercayaan anda ini tidak kunjung terbukti, rasa stres anda akan bertambah besar, yang akan secara bertahap membawa anda ke dalam depresi. Dalam situasi inilah iman anda sama sekali tak menolong anda, malah memperlemah daya tahan mental anda. 

Hal itu bisa terjadi karena anda terus-menerus memprotes Allah anda, bahkan memarahi sosok adikodrati ini dan anda memberontak terhadapnya. 

Jelas, kondisi mental anda ini yang orang namakan “dissonansi kognitif”,/5/ yang muncul dari iman dan kepercayaan yang tak terwujud, akan pasti memperburuk kondisi kejiwaan anda secara keseluruhan.

Tentu saja, anda dan saya tidak perlu menjadi ateis untuk dapat tegar dan kokoh ketika menjalani kehidupan kita yang kerap diterjang dan dihadang ombak-ombak besar persoalan, azab dan kesulitan yang terus datang, meradang, menendang dan menghalang. 

Untuk dapat meraih kondisi mental yang kokoh dan tegar, lepas dari dissonansi kognitif, yang dibutuhkan dari kita adalah kecerdasan dan kreativitas dalam beragama. Bagaimana cara memperoleh kecerdasan dan kreativitas ini?

Sementara pada satu pihak kita melihat dan mengakui ada enam problem besar dan rumit yang ditimbulkan oleh teologi tentang ketidakhadiran atau ketersembunyian Allah seperti sudah dibentangkan di atas, teologi semacam ini, pada pihak lain, dapat membantu kita lebih cerdas dan kreatif dalam beragama. Mungkin anda tak percaya. 

Kita umumnya sudah tahu, kalau kita bisa mengambil jarak dari sesuatu yang sedang dan sudah lama kita amati, pengetahuan kita tentang sesuatu yang kita sedang amati ini bisa lebih objektif, bisa lebih multidimensional, dan bisa lebih mendalam dan meluas. 

Begitu juga ihwalnya dengan pengetahuan kita mengenai Allah, kehendak dan keterlibatannya dalam dunia ini dan dalam kehidupan kita.

Kalau kita terlalu terbiasa dengan Allah, terlalu murah mengobral kata-kata tentang diri yang serba lain ini, terlalu gampang mengklaim hal ini dan hal itu tentang Allah, terlalu mudah mengait-ngaitkan diri Tuhan dengan diri kita dan dengan persoalan-persoalan kehidupan kita, maka gambaran-gambaran kita tentang Allah akan menjadi gambaran-gambaran yang datar, tawar, hambar, rutin, membosankan, terlalu terbuka, terlalu telanjang. Tidak lagi menantang, tidak lagi mengejutkan, tidak lagi tersembunyi, tidak lagi misterius, tidak lagi progresif, tidak lagi mencerahkan, dan tidak lagi mencerdaskan kita. 

Pendek kata: dogmatisme membuat kita bodoh, kehilangan kreativitas dan imajinasi.

Sesuatu yang terus-menerus rutin kita pikirkan, tak akan mencerdaskan kita lagi.

Sebaliknya, kalau kita menghayati suatu teologi tentang Allah yang tersembunyi, yang tidak hadir, yang misterius, yang bermain petak umpet dengan kita, bahkan, seperti dilihat Elie Wiesel, yang terbunuh, kita akan merasa sangat tertantang untuk terus-menerus mencari dan menemukan Tuhan kembali dalam perspektif-perspektif yang baru dan mengejutkan. 

Kreativitas dan imajinasi membuat Tuhan hidup kembali dalam berbagai penampilan, dalam berbagai titisan, dalam berbagai paras dan wajah, dalam berbagai gerak, dan dalam berbagai suara, yang semuanya berbeda dari sebelumnya. 

Kepercayaan atau iman yang hidup, kreatif, inovatif, aktif, dinamis dan bergairah semacam ini, akan sangat membantu anda saat anda sedang menghadapi banyak persoalan berat yang menimbulkan stres.

Seseorang mudah sekali terkena stres dan akhirnya terbenam dalam depresi berat ketika sedang menghadapi persoalan-persoalan berat sekalipun dia sangat saleh beragama, seperti telah diungkap oleh kajian psikologis mutakhir yang sudah dibeberkan di atas. 

Hal itu bisa terjadi karena si saleh ini hanya terpaku pada satu citra tentang Allah yang sudah dengan rutin ada dalam pikirannya sendiri. 

Allah yang rutin mengisi pikiran dan hatinya ini ditunggu-tunggunya untuk bertindak menolong dirinya. Tetapi karena Allahnya ini tak kunjung datang menolongnya, stresnya pun dari saat ke saaat makin bertambah berat. 

Si saleh yang semacam itu tidak bisa kreatif melihat Allah dalam penampilan, paras, wajah, dan suara yang berbeda, yang mengejutkannya, yang ditemukannya sebagai Allah yang lain dari biasanya.

Jika si saleh ini mencoba untuk dengan cerdas, kreatif dan inovatif melihat Allah dari sudut-sudut pandang yang lain, yang tidak biasa, yang tidak rutin, yang tidak terduga, yang mengagetkan, misalnya sebagai Allah yang tersembunyi, yang tidak hadir, atau bahkan sebagai Allah yang terbunuh, yang sedang berpetakumpet, sangat mungkin dia juga akan memandang semua persoalan beratnya dari sudut-sudut yang lain, yang tidak lazim. 

Jika itu terjadi, ada harapan, teologinya yang baru tentang Allah, akan membuatnya lebih kuat dan lebih kokoh dalam memikul semua persoalannya yang berat.

Ide tentang Allah yang tersembunyi, yang tidak hadir, yang terbunuh, akan dengan mengherankan membuat anda lebih cerdas beragama dan lebih tangguh dalam kehidupan ini, karena ide yang semacam ini akan bermuara pada penemuan kembali diri Allah sebagai Allah yang lain, yang tidak rutin, yang akan membangun semangat hidup anda kembali.

Ketidakhadiran Allah ternyata akan bisa sangat ampuh dan kuat mengubah diri anda, dari seorang yang lemah berubah menjadi seorang yang tangguh, dari situasi kegelapan malam masuk ke situasi fajar pengharapan, lalu bermuara di situasi pencerahan siang. 

Ini sungguh sesuatu yang mengejutkan sekaligus menakjubkan, lain dari perkiraan orang pada umumnya. Bisa jadi, inilah yang terjadi pada Elie Wiesel, yang setelah peristiwa Holokaus dipandang dunia yang beradab sebagai duta umat manusia untuk mengingatkan bangsa-bangsa manapun dalam dunia ini untuk tidak membantai bangsa lainnya atas alasan apapun. 

Perjalanannya dari Night, ke Dawn, lalu masuk ke Day, jelas bukan suatu perjalanan yang mudah, tapi suatu perjalanan yang sangat berat, yang akhirnya bermuara pada pencerahan di hari siang yang benderang dan gemilang. 

Perjalanan yang gembira sekaligus menimbulkan rasa duka yang menusuk lantaran Tuhan tidak selalu hadir, tapi bisa juga begitu saja nongol lagi yang membuat kita gembira, lalu berlari ingin memeluknya. 

Tapi Tuhan mengelak saat kita mau merangkulnya, hilang lagi, akibatnya duka dan azab menyerbu lagi, dalam banyak permainan petak umpet yang sambung-menyambung.

Tetapi tak ada pilihan lain. Hanya satu: kreatif dan rianglah dalam bermain petak umpet dengan Tuhan. Meski lelah, bermainlah terus. Setap kegiatan bermain itu menantang dan menyehatkan.

Stay blessed 
Even when God is hidden

Catatan-catatan

/1/ Elie Wiesel, The Night Trilogy: Night, Dawn, Day (terjemahan Inggris oleh Marion Wiesel) (New York, N.Y.: Hill and Wang, 1972, 1985, 2008).

 /2/ Elie Wiesel, Night (terjemahan baru Inggris oleh Marion Wiesel; dengan sebuah pengantar baru dari penulis) (New York, N.Y.: Hill and Wang, 1972, 1985, 2006), hlm. xix, 34; idem, The Night Trilogy, hlm. 17, 52.


/3/ Usaha teologis menelusuri sebab-musabab adanya penderitaan, dan pertanyaan-pertanyaan di mana Allah yang mahapengasih dan mahaadil berada di tengah realitas penderitaan manusia, dan kepada siapa Allah berpihak apakah kepada penyebab penderitaan atau kepada manusia yang menderita, masuk ke dalam bidang perenungan teologis yang dinamakan teodise (dari kata Yunani theos = Allah, dan dikē = keadilan). 

Dalam bukunya yang berjudul Gods Problem: How the Bible Fails to Answer Our Most Important Question, Why We Suffer (New York: HarperCollins Publishers, 2008), Bart D. Ehrman memperlihatkan Alkitab gagal menjawab pertanyaan terpenting manusia apa sebabnya atau mengapa manusia menderita. 

/4/ Lihat Leurent , B., Nazareth, I., et al., “Spiritual and religious beliefs as risk factors for the onset of major depression: an international cohort study”, Psychological Medicine vol. 43/Issue 10/Oct 2013, hlm. 2109-2120. Tersedia online 29 Januari 2013, http://journals.cambridge.org/action/displayAbstract?fromPage=online&aid=8826658&fulltextType=RA&fileId=S0033291712003066

Lihat ulasannya oleh Jennifer Dunning, “Religious believers more depressed than atheists: study”, CBCNews, 20 September 2013, http://www.cbc.ca/newsblogs/yourcommunity/2013/09/religious-believers-more-depressed-than-atheists-study.html.

/5/ “Dissonansi kognitif” adalah kondisi mental yang tertekan (“kognitif”) karena tak terwujudnya atau melesetnya (“dissonansi”) hal-hal yang semula sangat diyakini dan dipercaya sebagai kebenaran. 

Untuk keluar dari kondisi mental yang menekan berat ini, berbagai cara dilakukan. Misalnya membangun sikap "pokoknya kami benar, cuma...", mengakal-akali alias merasionalisasi isi keyakinan ideologis sekular atau religius yang sudah terbukti salah supaya kelihatan tetap masuk akal, dan makin aktif mencari pendukung tambahan atas ideologi dan keyakinan yang sudah meleset dan salah itu. Jika pengikut baru bertambah, berarti keyakinan ideologis yang sudah salah itu menjadi benar lagi. Akal-akalan dan membohongi diri sendiri.

Sumber primer tentang teori dissonansi kognitif, lihat Leon Festinger, H. W. Riecken dan S. Schachter, When Prophecy Fails: A Social and Psychological Study of a Modern Group That Predicted the Destruction of the World (New York: Harper and Row, 1956). Pemaparan lebih jauh teori ini, lihat Leon Festinger, A Theory of Cognitive Dissonance (Stanford, California: Stanford University Press, 1957).