Saturday, October 12, 2013

Teks-teks kitab suci, apakah selalu relevan?



 
Hallo saudaraku dari zaman kuno dan kebudayaan asing, apa kabarmu? 


N.B. Jangan dilewatkan, bacalah juga tulisan LANGKAH-LANGKAH TAFSIR ULANG.


Banyak penganut agama-agama memandang bahwa semua hal yang ditulis dalam kitab-kitab suci mereka pasti akan selalu relevan di zaman kapanpun dan di tempat apapun.

Itu pandangan yang salah, karena faktanya akan selalu ada teks-teks kitab suci yang tak relevan lagi di dunia masa kini di tempat kita. Kenapa? Lalu, apa yang harus kita lakukan saat kita menemukan teks-teks kitab suci yang menurut kita tidak relevan lagi? Uraian berikut akan menjawab dua pertanyaan ini. Bersiaplah mengarungi jeram-jeram, menantang, sambil melihat keindahan alam. 

Semua kitab suci agama-agama besar yang kita kenal ditulis pada zaman dulu dan bukan di tempat kita, di suatu dunia dan zaman yang lain, yang jauh terpisah dari zaman dan tempat kita sekarang di Indonesia abad ke-21.

Jurang sejarah dan jurang budaya

Ada dua jurang yang memisahkan kita dari para penulis kitab-kitab suci: jurang sejarah (historical gap) dan jurang budaya (cultural gap). Dua jurang ini lebar dan dalam, sukar bahkan ada yang mustahil untuk diseberangi.

Jurang sejarah adalah jurang waktu, yang memisahkan kita dari para penulis kitab-kitab suci, sepanjang ratusan tahun hingga ribuan tahun. Jurang sejarah menciptakan juga jurang budaya yang membuat hidup berbudaya para penulis kitab-kitab suci tak sama lagi dengan hidup berbudaya yang sedang kita jalani, sampai ke akar-akarnya.

Sebagai contoh: antara kita yang hidup di abad ke-21 dan Tenakh Yahudi (Perjanjian Lama orang Kristen) terbentang jurang sejarah sepanjang 23 abad hingga 33 abad. Antara Perjanjian Baru dan kita terbentang jurang sejarah sepanjang 20 abad. Antara kita dengan Al-Qur’an terbentang jurang sejarah minimal 14 abad, maksimal 33 abad jika dihitung dari saat penulisan kisah-kisah nabi-nabi agung Yahudi seperti Abraham/Ibrahim dan Musa, yang masuk ke dalam Al-Qur’an di abad ke-7 di Tanah Arab.

Jurang sejarah beberapa abad hingga puluhan abad itu harus dipandang sangat serius, tidak boleh kita menutup mata terhadapnya, karena jurang ini menimbulkan akibat-akibat serius dalam usaha kita memahami dengan terpelajar teks-teks skriptural kuno. 

Indonesia 100 tahun lalu sudah sangat ketinggalan dalam segala segi jika dibandingkan Indonesia abad ke-21. Apalagi Indonesia puluhan abad lalu.

Cobalah anda baca beberapa surat kabar di Indonesia yang terbit sekitar awal masa-masa kemerdekaan Indonesia. Anda akan heran ketika mengetahui betapa berbedanya Indonesia pada masa-masa itu jika dibandingkan Indonesia di abad ke-21, dalam banyak segi kehidupan.

Semua penulis kitab-kitab suci dan masyarakat mereka hidup dalam era pra-modern dan pra-ilmiah, dalam suatu dunia agraris kuno, yang belum mengalami modernisasi, dan dipenuhi banyak takhayul dan pemikiran-pemikiran mitologis. Kita sekarang hidup dalam era modern dan era ilmiah, dalam suatu masyarakat industrial dan pasca-industrial. Kalaupun kita masih juga hidup dalam zaman agraris, sistem manajemen pertanian dan perkebunan kita sudah dimodernisasi. Ya, selamanya manusia di zaman modern memerlukan hasil-hasil Bumi yang diperoleh dengan mengelola lahan pertanian, dan dengan menggali dan membor Bumi.

Saat kitab-kitab suci kuno ditulis, para penulis dan masyarakat mereka tentu belum tahu komputer, Internet, smartphone, Facebook, Twitter, Instagram, WA, Line, Telegram, Nintendo, dan berbagai aplikasi. 

Ada seseorang di Twitter pernah menyatakan kepada saya bahwa dalam kitab sucinya semua sains dan teknologi modern sudah ada infonya, sebab kitab sucinya memuat semua info tentang segala sesuatu dalam dunia ini sejak awal diciptakan sampai jagat raya ini binasa nanti dalam suatu kiamat besar. Bagi saya, pernyataannya ini menunjukkan ada yang keliru dalam cara berpikirnya, mungkin dia korban indoktrinasi yang berlangsung panjang dan intensif.

Orang-orang dalam zaman kitab-kitab suci ditulis tentu saja sering melihat berbagai jenis burung terbang di udara, tapi mereka belum pernah melihat pesawat-pesawat jet melintasi langit. 

Dalam zaman modern, ketika saya dulu berdiam di sebuah negara di Eropa, nyaris setiap hari saya melihat sekian pesawat jet Concorde melintas di ketinggian angkasa, sangat tinggi, bergerak terbang dengan kecepatan beberapa kali di atas kecepatan suara, dengan meninggalkan garis-garis panjang lurus asap putih di belakang ekornya masing-masing, membentuk suatu pemandangan yang menakjubkan. Seolah ada rel-rel putih kereta api angkasa, yang disediakan, dalam imajinasi saya, untuk kereta kencana Santa Claus di musim Natal.

Orang-orang zaman kitab-kitab suci disusun tentu bisa berpergian jauh hanya lewat darat dan laut, tapi tak pernah lewat angkasa dengan menumpang pesawat-pesawat jet. Lewat darat mereka berpergian jauh tentu saja tidak dengan mengendarai Jeep Land Rover untuk membelah padang pasir yang tandus, tapi dengan menunggang hewan-hewan tunggangan seperti onta, atau keledai, kuda, dan juga gajah di kawasan-kawasan lain. Lewat laut mereka dapat berpergian jauh dengan naik kapal-kapal layar atau yang didayung dengan kekuatan tangan, tanpa memakai mesin-mesin penggerak.

Mereka juga tidak tahu sama sekali kalau jagat raya ini sudah berusia 13,8 milyar tahun, dan tata surya kita sudah berusia 4,5 milyar tahun. Pengetahuan-pengetahuan ini adalah pengetahuan-pengetahuan yang diberikan sains modern, khususnya kosmologi dan astrofisika, yang belum lahir pada zaman-zaman kuno ketika kitab-kitab suci ditulis. Ya, mereka punya kosmogoni dan astrologi; tapi keduanya bukan ilmu pengetahuan.

Sains dan teknologi kesehatan dan pengobatan modern tentu saja mereka tidak ketahui. Pada masa kitab-kitab suci ditulis, angka kematian bayi sangat tinggi, begitu juga ibu-ibu yang mandul jumlahnya sangat banyak sehingga kaum pria harus beristeri lebih dari satu agar kemungkinan mendapatkan keturunan lebih besar lagi. Para perempuan pada masa-masa itu lebih dilihat sebagai tempat “bercocoktanam” kaum pria, ketimbang sebagai insan-insan mulia yang setara yang patut disayangi dan dihormati sepenuh-penuhnya.

Pemerintahan demokratis modern seperti yang dijalankan sekarang di negara-negara maju belum mereka kenal. Mereka mengelola masyarakat dan negara mereka secara teokratis atau nomokratis, berdasarkan hukum-hukum Allah, tidak demokratis yang membagi pemerintahan dalam tiga lembaga tinggi negara yang dikenal sebagai “trias politica”.

Pada era Yunani klasik yang pagan sistem demokrasi langsung sudah diterapkan, misalnya di negara kota Athena. Tapi di negara-negara yang dari dalamnya muncul kitab-kitab suci agama-agama teistik sistem demokrasi langsung ala Yunani kuno tidak diterapkan.

Alam pemikiran mereka bercorak mitologis: dewa-dewi dari dunia adikodrati dipercaya berinteraksi dengan manusia di dunia kodrati dan mempengaruhi kehidupan mereka. Kosmologi mereka juga mitologis. Mereka membayangkan jagat raya ini tersusun atas tiga lapis/bagian: bagian terbawah adalah kawasan orang yang sudah mati; bagian tengah kawasan orang yang hidup; dan bagian atas kawasan dewa-dewi dan makhluk-makhluk perkasa yang hidup abadi.

Mereka melihat sejarah dibentuk bukan oleh para insan besar pembuat sejarah, tapi oleh makhluk-makhluk gaib adikodrati yang telah menentukan sebelumnya perjalanan sejarah manusia dalam skenario ilahi mereka. Skenario ini rahasia, kata mereka. 

Jika rahasia, bagaimana kita akan pernah tahu? Jika kita tak tahu, mengapa kita meyakini dan mengindoktrinasikan hal yang kita tak tahu? Bukankah lebih baik jika kita menyebarkan ilmu pengetahuan yang sudah ada dalam khazanah ilmu pengetahuan dunia?

Sakit penyakit dicari penyebabnya pada tindakan makhluk-makhluk gaib seperti setan dan iblis serta makhluk-makhluk gaib lainnya dalam diri manusia. Diare dilihat penyebabnya pada setan-setan yang merasuk perut manusia, bukan pada bakteri-bakteri jahat yang masuk ke dalamnya dan menyerangnya. Mereka memberi jampi-jampi kepada para penderita diare, bukan memberi antibiotika, untuk menyembuhkan mereka. Orang yang menderita sakit gangguan mental seperti depresi dan skizofrenia dilihat penyebabnya juga pada setan-setan yang harus diusir lewat ritual-ritual keagamaan.

Masyarakat mereka dikuasai dan diperintah kaum pria sehingga melahirkan patriarkhi yang melegitimasi misogini dan diskriminasi terhadap perempuan atas nama agama-agama mereka.

Mereka mengabsahkan budaya patriarkhi dan misogini dengan memakai nama Tuhan dan Allah mereka, dan memasukkan keduanya ke dalam kitab-kitab suci mereka. Tuhan dibayangkan mereka memihak kaum pria, patriarkhi dan budaya pria atau "man culture". Kasihan ya, kaum perempuan dimarjinalisasi dalam semua bidang kehidupan.

Patriarkhi dan misogini

Di dalam Perjanjian Baru, diskriminasi dan stigma terhadap kaum perempuan muncul dalam sebuah teks yang bunyinya demikian: 

“Seharusnyalah perempuan berdiam diri dan menerima ajaran dengan patuh. Aku tak mengizinkan perempuan mengajar dan juga tak mengizinkannya memerintah laki-laki; hendaklah dia berdiam diri. Karena Adam yang pertama dijadikan, kemudian barulah Hawa. Lagipula bukan Adam yang tergoda, melainkan perempuan itulah yang tergoda dan jatuh ke dalam dosa. Tetapi perempuan akan diselamatkan karena melahirkan anak,...” (1 Timotius 2:11-14). 

Teks yang penulisnya tidak kita ketahui ini dengan jelas menyatakan bahwa insan perempuan hanya punya nilai karena mereka melahirkan anak. Selebihnya, kaum perempuan adalah insan yang lemah, inferior, tak punya pendirian, pendosa, tak ada harga dan nilainya. Sungguh menyakitkan hati siapapun yang punya nurani yang membacanya.

Lalu, menurut Rasul Paulus, “Hawa diperdayakan oleh ular dengan kelicikannya” (2 Korintus 11:3); jadi, Hawa, bagi Paulus, adalah makhluk bodoh yang kalah lihai dibandingkan seekor ular dan tak punyai perisai kognitif.  

Itulah teks-teks tipikal Kristen dalam suatu patriarkhi di zaman kuno yang merendahkan, membenci dan mendiskriminasi kaum perempuan. Teks-teks ini perlu dilawan, didekonstruksi, bukan dibiarkan untuk mendukung superioritas insan pria dan penjajahan gender oleh kaum lelaki./1/ 

Sesungguhnya tidak perlu Hawa dalam narasi teologis kuno dipandang sebagai sumber dosa asal, atau insan lemah yang kalah cerdik dibandingkan seekor ular. 

Hati dan pikiran saya dulu pernah gelisah, karena saya ingin melawan stigma-stigma terhadap insan perempuan yang justru dibuat oleh orang-orang yang mengaku atau diakui sebagai orang-orang suci.

Hawa harus dipandang sebagai seorang perempuan pemberani, seorang yang heroik, karena berani mengambil langkah sendiri dalam mencari dan mendapatkan pengetahuan moral atau etika. 

Pengetahuan moral ini membuat manusia mampu membedakan mana hal yang benar dan mana hal yang salah, mana hal yang baik dan mana hal yang jahat dan keji. Dari situ, manusia melangkah lebih lanjut. Mereka memeriksa dunia alam, berbagai fenomena dan kejadian, dan jagat raya, lewat berbagai cara dan sarana, untuk menemukan perihal bagaimana menjauhkan manusia dari hal-hal buruk dan hal-hal jahat, demi kehidupan manusia dapat lebih baik, lebih sehat dan lebih berdaya tahan. Lahirlah pencerahan, dan ilmu pengetahuan dibangun yang terus berkembang hingga kini dan seterusnya, tanpa batas. 

Ya, betul, pikiran manusia terbatas, tapi kita tak pernah tahu di mana letak batas-batasnya, apalagi batas-batas pikiran kolektif manusia lintasruang dan lintaswaktu.

Orang pertama yang tercerahkan adalah Hawa, kendatipun dia hanya sosok dalam narasi kuno yang ditulis pada abad ke-10 SM. Inilah suatu tafsir ulang atas sosok perempuan Hawa, representasi semua perempuan di dunia kita. Reinterpretasi dijalankan dengan mengubah sudut pandang atau "standpoint". Dengan mengganti tafsir dari "sudut pandang laki-laki", dengan tafsir dari "sudut pandang perempuan", maka Hawa menjadi sosok perempuan yang tercerahkan dan heroik.

Cara-cara tafsir ulang lainnya akan diberi di bawah.



Hawa, representasi perempuan sedunia, memilih pengetahuan....
 

Manusia cerdas atau Homo sapiens muncul 300.000 tahun lalu di Afrika Selatan. Tak ada kisah evolusi spesies Homo sapiens dalam Alkitab Ibrani. 

Tapi, boleh saja secara simbolik sosok Hawa dan Adam skriptural ditafsir dengan kreatif sebagai representasi umat manusia pada umumnya, yang dinarasikan dengan sendu, tanpa optimisme, dalam kitab Kejadian 3. Dengan tafsir ulang yang sudah digambarkan di atas, optimisme kita bawa masuk ke dalam kisah sendu ini.

Ada juga teks-teks Kristen misoginis di luar Perjanjian Baru.

Seorang pemimpin gereja dari abad ke-2, Tertullianus, dengan memakai Kejadian 3 sebagai titik pijaknya, menegur keras dan kejam kaum perempuan Kristen zamannya, lagi-lagi dengan mengacu ke sosok Hawa, demikian:

“Kalian adalah pintu gerbang masuknya setan ke dalam dunia... kalian adalah Hawa yang membujuk Adam, yang setan tidak berani serang.... Tahukah kalian bahwa setiap orang dari antara kalian adalah seorang Hawa? Hukuman Allah terhadap gender kalian tetap berlaku dalam zaman ini; begitu juga, kesalahan yang dibuat Hawa bagaimanapun juga tetap ada” (Tertullianus, De Cultu Feminarum I, 12).

Di dalam sebuah dokumen yang dibeli British Museum tahun 1785, yang berjudul Pistis Sofia (ditulis tahun 250 M), misogini digambarkan juga terdapat dalam diri Rasul Petrus, yang menurut Gereja Roma Katolik adalah bapak moyang semua Paus. 

Teks Pistis Sofia 72 memuat ucapan Maria Magdalena tentang Rasul Petrus kepada Yesus, demikian:

“Guruku, aku memahami dalam pikiranku bahwa aku dapat maju ke muka kapan saja untuk menafsirkan apa yang Pistis Sofia telah katakan, tetapi aku takut kepada Petrus, karena dia telah mengancam aku dan membenci gender kami.”

Teks Pistis Sofia yang semacam ini tentu dilatarbelakangi suatu persaingan tajam antara rasul-rasul perempuan dan rasul-rasul pria dalam gereja awal dulu.

Anda segera saja dapat melihat dan merasakan betapa berbedanya cara kehidupan dan cara berbudaya mereka di zaman yang sangat lampau dan di tempat yang berbeda, jika dibandingkan dengan manusia yang hidup dalam zaman modern di tempat anda. 

Jadi, jurang sejarah dan jurang budaya antara kita dan para penulis kitab-kitab suci sangat real, sehingga tak bisa diabaikan dengan alasan apapun.

Banyak orang beragama menyatakan dengan keyakinan yang berlebihan bahwa kitab suci agama mereka tak terikat ruang dan waktu, tapi berlaku kekal abadi di manapun. Ini suatu kesalahan besar.

Terikat ruang dan waktu

Sekuat apapun klaim orang bahwa kitab suci mereka berlaku kekal di segala tempat, fakta menunjukkan semua kitab suci terikat ruang dan waktu. Ditulis di dalam dan oleh zaman tertentu, dan lahir di dalam dan oleh kebudayaan tertentu.

Semua kitab suci, karena ditulis dalam dunia ini dalam suatu kurun tertentu di tempat tertentu, selalu terikat ruang dan waktu. Ini hal yang bagus, sebab membuat semua kitab suci jadi dapat dipahami manusia di Bumi lewat penafsiran yang cerdas dan terpelajar.

Kalau kita telaah lewat kajian-kajian ilmiah, misalnya lewat telaah antropologis kultural, dalam setiap kitab suci akan terlihat banyak unsur budaya insani kuno yang terjalin atau tertenun dalam teks-teksnya. Setiap teks, menurut kajian-kajian ini, memiliki makna yang berasal dari sistem-sistem sosial, bukan dari dunia ilahi./2/ 

Unsur-unsur budaya insani lokal tempat para penulis kitab-kitab suci hidup, terlihat dengan jelas di mana-mana dalam setiap lembaran kitab-kitab suci. 

Begitu juga, kalau kajian-kajian sosiosaintifik dilakukan atas teks-teks kitab suci apapun, akan terlihat dengan jelas unsur-unsur sosiopolitik insani kontemporer yang terjalin di dalam serat-serat teks-teksnya./3/ 

Semua kitab suci, dengan demikian, terikat pada zaman dan tempat kelahiran masing-masing, pada sistem-sistem sosial zaman dulu di tempat-tempat lain. 

Menyangkali fakta ini, akan membuat kita memandang kebudayaan insani yang terdapat di dalam setiap kitab suci sebagai wahyu ilahi, alhasil kita memberhalakannya, dengan demikian kita jatuh ke dalam dosa syirik, "menduakan Tuhan". 

Bukan itu saja. Ada hal lain yang negatif, yang harus dihindari. 

Karena para penganut agama-agama umumnya akan pasti menyebarkan berita-berita dalam kitab-kitab suci mereka ke mana-mana sejauh mereka dapat jangkau, maka bersamaan dengan kegiatan misioner ini kebudayaan insani kuno para penulis kitab-kitab suci mereka akan juga dibawa mereka ke tempat-tempat lain dalam zaman mereka dan dipaksa untuk menggantikan kebudayaan-kebudayaan asli tempat-tempat lain itu yang sudah sejak lama diakrabi oleh bangsa-bangsa yang berbeda. 

Alhasil, terjadilah penjajahan kultural atas kebudayaan-kebudayaan lain yang sudah dari dulu dihayati betul oleh bangsa-bangsa lain yang, very sadly, dipandang inferior jika dibandingkan dengan kebudayaan insani para penulis kitab-kitab suci mereka. Inilah yang disebut etnosentrisme.

Menjajah dan menggantikan suatu kebudayaan dengan kebudayaan lain yang dipandang superior (misalnya kebudayaan Yahudi kuno, Eropa abad-abad pertama, dan Arab), saya percaya bukan kehendak Allah agama apapun.

Tuhan Allah menciptakan pelangi dengan banyak warna, tidak satu warna, dan karena itu pelangi menjadi indah dan menakjubkan. 

Semakin banyak kebudayaan yang hidup, tumbuh, mekar bercahaya dan berseri dalam dunia ini, maka makin indah dan semarak kehidupan ini jika semua orang hidup serasi dan saling merangkul meski berbeda budaya. Unity in diversity, dan diversity in unity.

Unity in diversity bukan cuma ada dalam doktrin Tritunggal Kristen, tapi juga dihayati sudah sejak lama oleh bangsa Indonesia yang memiliki filsafat sosial bhinneka tunggal ika. Ini baru satu contoh saja.

Sekali lagi, memperlakukan suatu kebudayaan insani sebagai kebudayaan ilahi yang normatif untuk seluruh dunia, sebenar-benarnya adalah suatu dosa syirik yang membuahkan penindasan dan penjajahan kultural. 

Klaim disintegratif berbahaya

Pada pihak lain, orang boleh saja mengklaim bahwa kitab suci mereka adalah wahyu dari sorga sepenuhnya sehingga tak berisi unsur-unsur budaya insani. Klaim ini sesungguhnya berbahaya dan melarikan diri dari fakta-fakta. Mengapa? 

Pertama, pandangan semacam itu sesungguhnya mengabaikan kebudayaan insani yang sifatnya relatif yang begitu kuat mengisi lembaran-lembaran setiap kitab suci dan menjadikannya kebudayaan ilahi yang diwahyukan, yang dipandang harus dengan segala cara menggantikan semua kebudayaan lain dalam dunia ini.

Penjajahan kultural ini berbahaya, karena akan bisa melenyapkan sebuah kebudayaan yang semustinya dilindungi. Dan... sudah pasti akan dilawan dengan kuat dan luas oleh para insan pendukung budaya-budaya asli sendiri. Hasilnya jelas, disintegrasi dan ketidakstabilan masyarakat dan bangsa, yang menjadi penyebab ketertinggalan dan buta iptek yang meluas serta kehancuran ekonomi.

Kedua, andaikata wahyu dari dunia adikodrati itu ada, untuk bisa dipahami manusia di Bumi wahyu ini memerlukan kebudayaan manusia sebagai wadah dan medianya, sebagai tubuhnya, sebagai biologinya.

Carilah agama apapun yang tidak ditenun oleh benang-benang budaya. Adakah? Ya tidak ada. Agama puritan sorgawi itu suatu ide yang tak berdasar, jika bukan suatu ide yang naif, ide yang dibangun tanpa memakai ilmu pengetahuan.

Wahyu 100 persen dari dunia gaib yang sama sekali tak memakai unsur-unsur kebudayaan manusia, tak pernah akan dapat dipahami manusia real di Bumi; dus apakah kita membutuhkannya?

Jika sebuah kitab suci dapat berguna untuk kehidupan manusia, itu artinya wahyu ilahi sampai kepada manusia lewat kebudayaan-kebudayaan insani, berbagai pengalaman manusia dan alam pemikiran insani. Allah memakai itu semua, tidak membuang, sebab Allah pasti tahu cara yang efektif untuk berbicara kepada manusia yang hidup dan bergumul di Bumi, bukan di sorga.

Wahyu ilahi dan kebudayaan insani jalin-menjalin, dan kerap sukar sekali bahkan mustahil dipisahkan, tetapi dapat dilakukan oleh ilmu-ilmu pengetahuan. Jadi, sekali lagi, wahyu ilahi murni itu sebenarnya tak ada sama sekali. 

Para pembela Calvinisme puritan dalam kekristenan, misalnya, biasa mengklaim bahwa aliran mereka adalah aliran Kristen termurni Alkitabiah. Faktanya? Agama Kristen aliran mereka berfondasi kuat pada kebudayaan Jerman abad ke-16. Selain itu, Alkitab sendiri terikat ruang dan waktu, dan fakta ini mudah diperlihatkan dengan memakai Alkitab sendiri, yang dianalisis lintasilmu.

Tanpa kebudayaan insani sebagai tubuhnya, sebagai wadahnya, wahyu ilahi akan menjadi roh gentayangan tanpa raga, yang melayang bebas tanpa arah dan tanpa tujuan, dan tanpa pesan-pesan yang real dan aktual.

Dalam kekristenan pernah diyakini dengan sangat kuat bahwa Perjanjian Baru gereja adalah wahyu dari sorga yang turun langsung karena bahasa Yunani yang dipakainya diyakini tak ada paralelnya. Dus, bahasa Yunani Perjanjian Baru pada masa-masa itu dipandang sebagai bahasa sorgawi, bukan bahasa duniawi. 

Keyakinan bahwa Perjanjian Baru wahyu langsung dari sorga bertahan lama sampai akhirnya sains, sekali lagi sains, membuktikannya tak benar.

Sains sudah menemukan dan membuktikan bahwa di luar Perjanjian Baru bahasa Yunani yang dipakainya ternyata juga dipakai dalam banyak dokumen lain yang sezaman dari kawasan-kawasan yang berdekatan. 

Kini orang menyebut bahasa Yunani Perjanjian Baru bahasa Yunani koine, artinya bahasa Yunani yang umum dipakai di kawasan Laut Tengah kuno, konteks budaya Perjanjian Baru, pada abad pertama M. Sama sekali bukan bahasa sorgawi. Hal yang sama tentu akan terjadi juga dengan kitab-kitab suci lain, hanya menunggu waktu saja.

Dalam zaman modern, sains bagaimanapun juga akan bisa menjelaskan asal-usul semua kitab suci tanpa perlu merujuk ke alam gaib, karena semuanya ada penulis insani masing-masing, dalam zaman masing-masing, dan dalam kebudayaan dan alam pemikiran masing-masing. 

Metode yang dinamakan historical criticism telah terbukti mampu menjelaskan teks-teks kitab suci sebagai teks-teks yang terikat ruang dan waktu, dikondisikan oleh sejarah dan kebudayaan insani. 

Seberapa siap setiap umat beragama menerapkan metode ilmiah ini dalam usaha memahami kitab suci mereka, bergantung pada pertumbuhan kesadaran ilmiah mereka.

Susahnya, agama-agama umumnya juga berfungsi untuk mematikan kesadaran ilmiah manusia, dengan mengharuskan para penganut masing-masing hidup hanya dengan iman, tanpa ilmu, dan mematikan rasa ingin tahu dan dorongan untuk mengeksplorasi. Inilah fideisme yang membuat suatu peradaban bantut, tak berkembang maju, karena pengejaran ilmu pengetahuan ditindas. Kuriositas dipasung.

Apakah ada hal-hal yang langgeng?

Meskipun terikat pada konteks sejarah dan konteks budaya tertentu, tidak berarti tak ada pesan-pesan yang langgeng dalam setiap kitab suci. 

Tentu ada pesan-pesan yang langgeng dalam setiap kitab suci, khususnya yang disampaikan lewat teks-teks kebijaksanaan dan falsafah universal. 

Selain itu dalam setiap kitab suci ditemukan juga pergumulan-pergumulan dan pertanyaan-pertanyaan eksistensial ("big questions") manusia yang terus berulang secara universal dari satu kebudayaan ke kebudayaan lainnya, melintasi zaman-zaman dan tempat-tempat. 

Dalam sebuah lagu mereka yang berjudul Ebony and Ivory, penyanyi Paul McCartney dan Stevie Wonder bersenandung, “People are the same wherever you go.” 

Ya, meski setiap individu manusia itu unik, tetap ada hal-hal umum yang dimiliki atau dialami manusia. Misalnya, semua bayi yang sehat menangis ketika baru dilahirkan. Ketika hati merasa senang, kita tertawa. Di saat sedih, kita menangis. Dan, tetap terselip rasa sedih dan takut yang harus diatasi sebelum kita wafat dengan damai. Kita semua bergumul dengan maksud dan tujuan kehidupan kita. Alhasil, kita kerap mengubah atau meng-"adjust" maksud, tujuan dan makna kehidupan kita. Ya, kita sendirilah, bukan langit, yang memilih dan menetapkan makna, maksud dan tujuan kehidupan kita dengan dinamis dan lentur.

Kita semua bertanya: Apa tujuan kehidupan dan segala hal yang ada? Kenapa harus ada, dan kenapa tidak harus ada? Dari mana kita berasal, dan akan ke mana? Apa tujuan adanya jagat raya? Mengapa kita sakit? Mengapa orang harus menderita? Mengapa orang harus mati? Apa artinya cinta? Mengapa kita mencintai? Mengapa orang membenci dan keji? Apakah kita berbahagia? Mengapa ada perang? Mengapa terjadi bencana? Mengapa kita ingin maju? Apakah Tuhan ada? Siapakah orang yang mencintai diri kita dengan tulus? Mengapa kita butuh orang lain? Dan masih banyak lagi "pertanyaan-pertanyaan besar" lain.

Teks-teks kitab-kitab suci yang mendorong anda mencintai sesama anda (dari latarbelakang apapun) dan berkorban untuk kebaikan dan kebahagiaan mereka tentu selalu relevan, kendatipun bagaimana wujud cinta kasih kepada sesama itu dapat berbeda dari satu situasi ke situasi lain. 

Ada banyak "teks-teks cinta kasih dan kebajikan", selain "teks-teks perang", dalam kitab-kitab suci. Anda pilih yang mana?

Jangan praktekkan cocokologi!

Tapi sejauh menyangkut modernitas dan sains-tek modern, semua kitab suci terputus dari dunia dan zaman kita di abad ke-21. Terputus total.

Kita tak perlu melakukan praktek “cocokologi” untuk membela apa yang kita yakini sebagai kehebatan kitab-kitab suci kita masing-masing. 

Mencocok-cocokkan kitab suci kita dengan pandangan-pandangan sains modern hanya membuat kitab-kitab suci kita mengekor sains yang terus berubah sehingga kitab-kitab suci kita kehilangan fungsinya sebagai kitab-kitab pemandu moralitas manusia supaya manusia menjadi makhluk-makhluk yang memiliki moral agung.

Dengan cocokologi yang kerap dilakukan para agamawan konservatif yang umumnya anti-modernitas, para agamawan ini tanpa mereka sadari telah menjadi agamawan-agamawan modern lewat kegiatan-kegiatan mereka memodernisasi teks-teks kitab suci mereka di luar kemauan teks-teksnya sendiri. Dengan membaca paragraf ini, tentu mereka bisa menjadi sadar, atau bisa juga memilih untuk selamanya tak mau sadar, malah makin kuat terdorong untuk menjalankan cocokologi. Reaksi perlawanan yang negatif ini dinamakan "efek bumerang"atau "backfire effect".

Kalau memang benar kitab-kitab suci memuat segala info tentang sains dan teknologi modern, mustinya sejak zaman-zaman kitab-kitab suci ditulis belasan hingga puluhan abad lampau, sains dan teknologi modern sudah dibangun oleh orang-orang zaman kitab-kitab suci ditulis. Faktanya tokh tidak demikian sama sekali. 

Yang membuat sesuatu itu disebut sains bukanlah agama apapun, bukanlah doktrin keagamaan apapun, tetapi metode-metode saintifik universal (observasi atas berbagai fenomena empiris, evidensialisme, eskperimentasi, empirisisme, instrumentalisme, pemodelan, verifikasi) dan penalaran-penalaran (induksi, deduksi, dan abduksi) yang digunakan./4/ 

Siapapun yang memakai metode-metode dan penalaran-penalaran saintifik ini, apapun agamanya dan di zaman dan tempat apapun mereka hidup, akan menghasilkan temuan-temuan saintifik yang sama, sebab sains itu universal dan tidak berserikat dengan agama atau ideologi politik apapun. 

Oh ya, dibandingkan usia spesies Homo sapiens yang sudah 300.000 tahun, sains modern masih berusia sangat belia.

Cikal-bakal dan beberapa fondasi penting sains modern justru ditemukan mula-mula di dunia pagan Yunani kuno pada era SM dan di Eropa era Pencerahan abad ke-18 M, bukan di dalam tubuh bangunan agama-agama teistik Yahudi, Kristen dan Islam. 

Sains modern sendiri dimulai oleh penyelidikan-penyelidikan astronomis yang dilakukan Galileo Galilei di abad ke-16/17 M di Italia dengan memakai instrumen yang dilanjutkan dengan kalkulasi matematis dan formulasi teori-teori. Galileo Galilei adalah ilmuwan yang kini diakui sebagai bapak sains modern, khususnya untuk natural sciences.

Terlihat sudah ada jurang sejarah dan jurang budaya yang lebar antara dunia kita di abad ke-21 dan dunia kitab-kitab suci kuno.

Salah zaman dan salah budaya

Jurang sejarah yang diabaikan melahirkan anakronisme atau "salah zaman". Jurang budaya yang dianggap tidak ada memunculkan etnosentrisme atau "salah budaya". Keduanya salah.

Dengan demikian, sudah pasti akan ada banyak pesan dan info dalam kitab-kitab suci yang tak relevan lagi di zaman dan tempat kita sekarang. Beberapa saja perlu disebut pada kesempatan ini; yang lain-lainnya silakan anda tambah sendiri. Akan ada pengulangan atas hal-hal yang sudah ditulis di atas. Diulang, karena penting.

Bentuk negara teokratis yang muncul dalam kitab-kitab suci agama-agama teistik, tak relevan lagi di suatu dunia yang sekarang diatur secara demokratis. Jika kita ingin negara kita maju dan modern, hanya tersedia satu pilihan bentuk negara, yakni negara demokratis. 

Tetapi, catat ya, China juga makin maju dan hebat, khususnya dalam bidang iptek dan ekonomi, meski negara besar ini (sekarang di bulan Maret 2021, menurut Worldometer, berpenduduk 1.443.235.350 orang) tidak menjalankan demokrasi. Ya, karena terlalu banyak jumlah penduduknya, sangat luas wilayahnya, dan akan berisiko besar terdisintegrasi, jika dikelola mengikuti demokrasi Amerika Serikat, misalnya. Amerika bukan contoh untuk segala hal.

Tetapi, Tiongkok, negara Naga Merah Pemberkat ini, terus melangkah maju di segala bidang dengan luar biasa cepat dan memukau. Kok bisa?

Ya, karena pemerintah negara Barongsai ini kuat, jujur, berdisiplin, tak dimabuk agama-agama anti-sains, menegakkan hukum dengan serius dan konsisten, mementingkan kesejahteraan setiap warganya, merangkul iptek besar-besaran dan mengembangkannya dengan besar-besaran juga, dan mensinergikan sosialisme, kapitalisme dan prinsip negara kesejahteraan bersama.

Tiongkok adalah suatu negara yang sangat kreatif dan memiliki "kebutuhan untuk berprestasi" ("N-Ach") yang sangat tinggi. Silakan bandingkan dengan negara sendiri. Jangan benci Tiongkok. Belajarlah sampai ke negeri China, bahkan lebih jauh, sampai ke angkasa luar dan ke kedalamam dunia antarbintang yang tak terbatas.

Ada pemuka-pemuka keagamaan yang menyatakan bahwa sekalipun kitab-kitab suci mereka disusun di zaman kuno, di dalam masing-masing kitab suci mereka sudah ada prinsip-prinsip demokrasi modern. 

Hemat saya, itu adalah suatu anakronisme: memindahkan kebudayaan modern yang mempraktekkan demokrasi ke zaman-zaman kuno pra-modern yang di dalamnya teokrasi dijalankan. Salah zaman.

Bagaimana mungkin teokrasi dan demokrasi duduk sepelaminan? Bagaimana mungkin penunjukan seseorang sebagai pemimpin bangsa lewat wahyu dan wangsit sejalan dengan pemilihan seorang kepala negara lewat pemilu?  

Kepercayaan bahwa setan sebagai penyebab diare dan depresi, jelas tak relevan lagi dalam zaman modern, zaman ketika sains kedokteran, medikasi dan psikiatri sudah sangat maju dan terbukti bermanfaat. Faktanya adalah, ketika kepercayaan ini tetap dipertahankan, orang-orang yang sakit tidak disembuhkan, tapi penyakit-penyakit mereka makin bertambah parah dan akhirnya mereka meninggal dunia.

Lex talionis yang diberlakukan di dunia kuno atas nama agama jelas tak relevan lagi dalam dunia masa kini yang umumnya diatur oleh hukum positif (ius positum), yaitu hukum-hukum yang didalilkan oleh manusia lewat mekanisme demokratis, bukan oleh Tuhan. 

Salah satu bentuk lex talionis zaman kuno, yakni hukum potong tangan, jelas sekarang ini dinilai sangat jahat dan karenanya tak relevan lagi di zaman modern. Bayangkan, demi jadi suci kembali di hadapan Tuhan, tangan dipotong, alhasil orang malah jadi bercacat dan tidak bisa bekerja mandiri untuk hidup.

Alam pemikiran mitologis jelas berbenturan tajam dengan alam pemikiran modern di mana sains menjelaskan hampir segala sesuatu dengan objektif. 

Keingintahuan atau kuriositas yang dihambat, dan pelakunya dihukum berat, seperti terjadi pada Hawa sebagaimana dikisahkan dalam narasi teologis Taman Eden, jelas tak sejalan dengan semangat ilmiah masa kini. 

Semangat ini membuat orang dengan bergairah mengikuti rasa ingin tahu mereka terhadap berbagai misteri kehidupan, yang membuat mereka merangkul sains. Sesudah itu, terdorong untuk mengembangkan sains, yang membuat mereka sekolah setinggi-tingginya, lalu meraih gelar tertinggi akademis Ph.D. dalam ilmu-ilmu pengetahuan alam. Selanjutnya mereka bekerja dalam laboratorium-laboratorium iptek terkenal dunia. Otak menjadi makin cerdas, wajah bercahaya, hati penuh syukur kepada Tuhan YMTahu, sumber segala pengetahuan.

Genosida yang diperintahkan oleh Tuhan Allah kepada umat-Nya, yang ikut berperang bersama umat-Nya, seperti dikisahkan dalam banyak bagian Perjanjian Lama, jelas dinilai sebagai narasi teologis yang destruktif pada masa kini.

Ancaman hukuman mati kepada penganjur dialog antaragama dan kepada orang yang pindah agama seperti ditulis dalam Tenakh Yahudi (Ulangan 13) jelas tak relevan lagi di dalam suatu dunia di mana pluralisme dan multikulturalisme dan HAM dihayati sebagai nilai-nilai modern.

Misogini, dan diskriminasi terhadap kaum perempuan, dan juga kepada kaum homoseksual (atau yang lebih dikenal sebagai kaum LGBT), yang umumnya mengisi lembaran-lembaran kitab-kitab suci kuno, jelas sudah tak bisa dipraktekkan lagi dalam zaman modern ketika semua gender dan orientasi seksual diperlakukan sederajat, ketika kaum perempuan telah membuktikan diri mereka sebagai insan-insan yang sama hebat, sama kreatif dan sama mandirinya dengan insan lelaki./5/

Masih banyak contoh yang bisa diangkat dari kitab-kitab suci kuno yang sudah tak bisa ditiru dalam zaman modern. Silakan lanjutkan.

Apa yang harus kita lakukan terhadap teks-teks skriptural yang sudah tak relevan lagi dalam zaman sekarang? 

Tentu kita tak perlu membuangnya. Yang paling mudah adalah tak memakai lagi teks-teks skriptural yang sudah tak relevan. Usul ini sering ditanggapi dengan negatif oleh umat-umat beragama yang sangat mencintai kitab-kitab suci mereka. Mencintai itu perlu, tapi harus dengan cerdas dan celik.

Tetapi sebetulnya, diam-diam banyak bagian kitab-kitab suci yang sudah tak disentuh lagi oleh umat-umat beragama, karena mereka diam-diam, dengan akal sehat mereka, sudah menilai sendiri bahwa teks-teks ini sudah tidak cocok lagi untuk dijalankan dalam zaman modern sekarang ini. 

Praktek diam-diam ini disebut sebagai “kanon di dalam kanon”: hanya sebagian isi kitab suci yang dipandang masih berwibawa sebagai norma atau kaidah (Yunani: kanĂ´n, arti aslinya "buluh/tongkat pengukur") dan karena itu terus digunakan, dan bagian-bagian lainnya dinilai sudah tidak berwibawa, lalu tidak dipakai, meskipun ada dalam satu kitab suci yang sama.

Tafsir ulang

Atau, teks-teks yang tak relevan lagi kita interpretasi ulang supaya masih dapat digunakan dengan konstruktif. Ada beberapa cara menjalankan tafsir ulang.

Mengganti "sudut pandang" tafsir

Di atas, terkait sosok Hawa, sudah ditulis bahwa tafsir ulang dapat dijalankan dengan mengganti "sudut pandang", dari tafsir sudut pandang pria, diubah menjadi tafsir sudut pandang perempuan. Perubahan "standpoint" dalam menafsir suatu teks, dapat menghasilkan cakrawala-cakrawala pemahaman baru yang menakjubkan. 

Kalau suatu teks yang biasa ditafsir dari sudut pandang "penguasa" atau "budaya yang dominan", katakanlah "budaya pria", anda tafsir ulang dengan memakai sudut pandang rakyat jelata atau sudut pandang budaya marjinal, "budaya perempuan" misalnya, maka anda akan menemukan pemahaman-pemahaman baru atas teks itu.

Dijadikan metafora

Reinterpretasi suatu teks skriptural yang sudah tak relevan juga dijalankan dengan mengubahnya jadi metafora, bukan teks tentang fakta-fakta.

Metafora itu bukan kiasan, bukan dongeng kosong, melainkan suatu wahana sastrawi atau suatu wahana artistik (yang puitis retoris) yang "membawa anda ke seberang" (Yunani: ferein), memasuki "kawasan lain", kawasan adinilai, yang "melampaui" (Yunani: meta) kawasan dunia sehari-hari anda yang sudah rutin anda jalani tanpa direnungi lebih dalam makna dan manfaatnya.

Lewat metafora, anda dibawa masuk ke hal-hal besar yang menakjubkan, yang transenden, yang akan mengubah dan mengarahkan watak, pikiran, aksi, perilaku, nilai-nilai dan horison kehidupan anda ke tingkat-tingkat yang makin tinggi dan agung.

Karena Allah dipercaya ada dalam dunia transenden, di sorga, maka Yesus dari Nazareth, misalnya, memakai banyak metafora, yakni perumpamaan-perumpaan-Nya, untuk membuat rakyat jelata Yahudi masuk dan berjumpa dengan Allah, yang Yesus panggil sebagai Bapa, Abba, di saat mereka mendengarkan dan mengalami kisah-kisah metaforis Yesus. 

Lewat berbagai metafora yang disusun Yesus, Allah dibawa masuk ke Bumi, hadir dan berkarya di tengah rakyat. Kisah-kisah metaforis Yesus memang menawan hati, dan memiliki power untuk mengubah hati dan pikiran para pendengar, dulu dan kini. Metafora Yesus memang powerful

Tak ada cara lain selain memakai metafora jika kita mau memasuki, membayangkan dan mengerti dunia atau hal-hal adikodrati, yang ada "di seberang" dunia dan hal-hal kodrati. Pada dasarnya, semua teologi adalah metafora, suatu wahana sastra yang "menyeberangkan" kita ke dunia adikodrati yang "melampaui" dunia kodrati.

"Perang-perang suci", holy wars, yang diklaim atas nama Tuhan, atau diklaim atas perintah Tuhan, dapat ditafsir baru bukan sebagai perang militeristik bengis di luar, di medan tempur, alias "war without", dengan membawa-bawa nama Allah. Tetapi sebagai sebuah metafora "war within", yakni pertempuran dalam hati nurani untuk memenangkan kebaikan dan keagungan, kejujuran dan kebajikan, dan pertempuran dalam pikiran, "within the mind", untuk memenangkan ilmu pengetahuan, kemajuan peradaban, dan keteduhan dan kedamaian pikiran.

Ketika dimetaforakan, sorga menjadi ada bersama kita di Bumi ini. Yaitu ketika kita hidup di suatu dunia yang di dalamnya segala nilai kebajikan dan keagungan terwujud: keadilan dan kesetaraan, kedamaian dan perdamaian, kebahagiaan, kemerdekaan dari tirani dan perbudakan, hak-hak individual dan kolektif, kesejahteraan, kebaikan, persaudaraan antar segenap insan, pemeliharaan dan pelestarian dunia alam fauna dan flora serta lingkungan hidup, ilmu pengetahuan, dorongan kuriositas yang membangun, kemajuan, kesehatan raga dan mental, kehidupan beragama yang membahagiakan dan cerdas.

Neraka, saat dimetaforakan, adalah suatu kondisi kehidupan di Bumi di mana nilai-nilai kebajikan dan kebaikan yang sudah disebut di atas sama sekali tidak ada, diganti dengan kebalikannya sampai ke akar-akarnya.

Ya, tentu, tak semua teks skriptural yang sudah tak relevan bisa ditafsir ulang sebagai metafora, sehingga memang dengan berat hati harus tak dipakai lagi. Kalau dipaksa untuk dipakai juga, ya akan timbul banyak masalah. Ini sudah jelas.

Mencari "semangat" atau "spirit" teks

Selain itu, dalam rangka reinterpretasi, supaya teks-teks skriptural yang sudah tak relevan masih bisa dipakai, kita mencari bukan huruf-hurufnya tetapi semangatnya, spirit-nya. Atau, idiom-idiom mitologis teks-teks skriptural yang sudah tak relevan kita cari titisan jiwanya, kita jelmakan dalam idiom-idiom modern. 

Perang melawan setan-setan, misalnya, kita ubah idiom-nya menjadi perang melawan bakteri-bakteri dan semua sumber asali penyakit, tentu saja dengan memakai sains dan teknologi pengobatan sebagai senjata pamungkasnya. 

Setan yang tak terlihat, alhasil digambarkan secara imajinatif dalam gambar-gambar yang mengerikan, ya menitis atau menjelma dalam diri manusia-manusia durjana dan keji, yang sosiopatis, yang psikopatis, yang memuja kematian dan kehancuran dan kebinasaan dunia dan peradaban. Manusia-manusia yang tanpa nurani, manusia-manusia yang kesetanan dalam segala dimensi. 

Jadi, setan, bahkan yang terkeji, ya ada dalam diri manusia sendiri, yang bekerja dan bertindak lewat pikiran yang jahat dan durjana, hati yang hitam gelap, penuh kedengkian dan kebencian yang membara, ucapan yang tak terkontrol dan menyabet dan menebas sana-sini, dan tindakan yang barbar, biadab dan menghancurkan. 

Semua kebengisan dan kebarbaran itu harus dipertanggungjawabkan oleh manusia-manusia real yang menjadi titisan setan-setan. Menuntut setan, ya sama dengan menuntut bayang-bayang gelap yang selalu mengikuti tubuh kita, atau menuntut dan mengadili kegelapan malam yang tanpa rembulan.

Allegorisasi

Reinterpretasi juga dapat dilakukan dengan memberi arti lain yang bukan arti harfiah dari sebuah kata atau sebuah frasa. Ini dinamakan penafsiran allegoris. Kata Yunani allÄ“gorein (dari dua kata allos, "lain"; dan agoreuein, "berkata") berarti "memberi makna lain". 

Tidaklah tepat jika allegorisasi diartikan sebagai "rohanisasi" atau "moralisasi" makna suatu kata atau suatu frasa, di luar makna harfiahnya, meski makna lain yang diberi bisa memuat pesan-pesan kerohanian atau pesan-pesan moral.

Hukuman penyaliban yang dialami Yesus (dan sangat banyak orang lain di masa Kekaisaran Romawi menjajah bangsa Yahudi, sejak 63 SM), adalah hukuman yang sangat biadab. Bagi orang Yahudi, orang yang disalibkan adalah orang yang dikutuk Allah. Jadi, tak masuk akal mereka, menjadi suatu "batu sandungan", jika Yesus yang disalibkan menjadi sang Kristus atau sang Messias.

Menurut rasul Paulus, kabar yang disampaikannya tentang Yesus yang mati dieksekusi di kayu salib sebagai Tuhan dan sang penyelamat adalah "suatu kebodohan" dalam pandangan orang Yunani. 

Ya jelas, orang Yunani(-Romawi) akan menilai demikian lantaran mereka memuja dan mengagungkan sosok-sosok besar "superhuman" atau "adiinsani" yang telah menunjukkan prestasi-prestasi luar biasa besar kenegaraan dan kebudayaan seperti Aleksander Agung dan Kaisar Augustus. 

Dalam kisah-kisah epik Yunani yang dinamakan aretalogi, sosok-sosok adiinsani dipuja, dimuliakan dan dipandang sebagai para hero, penyelamat dunia, dan "manusia dewa" (Latin: semideus; Yunani: hēmitheos). Selagi sosok-sosok besar ini masih hidup, kultus pemujaan terhadap mereka dibangun, beserta dengan kuil-kuil sakral masing-masing.

Nah, fakta-fakta yang keras itu membuat orang-orang Kristen awal, rasul Paulus khususnya, sangat tidak merasa nyaman. Maka, reinterpretasi dilakukan mereka dengan mengallegorisasi peristiwa penyaliban; alhasil salib ditafsirkan allegoris sebagai "jalan pendamaian" antara Allah dan manusia yang berdosa, dengan meminjam ritual tradisional penyucian dosa Yahudi. 

Lewat allegorisasi ini, kekerasan penyaliban dianulir, berganti menjadi karya kasih karunia penyelamatan yang dilakukan Allah lewat Yesus sebagai sang korban, menggantikan umat manusia. Cukup satu korban, sekali untuk selamanya, yaitu Yesus Kristus. Satu-satunya.

Lex talionis potong tangan dalam agama Islam, misalnya, dapat diallegorisasi dengan memberinya makna lain, yakni hukuman terberat pada zaman kini terhadap para kriminal berat, setelah melewati proses hukum. 

Meskipun demikian, saya masih bertanya-tanya, hukuman potong tangan yang semustinya dikenakan pada seorang pencuri kelas teri (misalnya seorang pencuri kambing), harus diganti dengan hukuman penjara terberat berapa tahun? 
Jadi, ya tidak bisa diallegorisasi.

Dalam Galatia 4:21-31 Paulus memakai kata Yunani allegorein ketika dia menafsirkan anak Abraham dari Hagar sebagai anak "menurut daging", dan anak dari Sarah sebagai anak "menurut janji", dan Hagar sebagai "Gunung Sinai" di tanah Arab atau "Yerusalem yang ada sekarang" (Yunani: nun IÄ“rousalÄ“m), sedangkan Sarah sebagai "Yerusalem dari atas" (Yunani: anĂ´ IÄ“rousalÄ“m. TB LAI "Yerusalem sorgawi").

Dalam Injil Yohanes yang ditulis tahun 90-an abad pertama M, ketika Bait Allah di kota Yerusalem sudah dihancurkan menjadi puing dan reruntuhan (pada tahun 70 M oleh pasukan Romawi yang dipimpin Jenderal Titus dalam Perang Yahudi Pertama tahun 66-73M), bangunan Bait Allah yang sudah tidak ada dipindahkan atau ditransposisikan, dipindahtempatkan, dan diallegorisasikan, sebagai tubuh Yesus yang telah "dirobohkan" lewat penyaliban (Yohanes 2:19-21).

Transposisi

Transposisi adalah pemindahan tempat, dari satu wilayah ke wilayah lain, dari satu dimensi ke dimensi lain, dari satu posisi ke posisi lain, atau dari satu jabatan ke jabatan lain. Sinonim dengan reposisi atau mutasi, yang menunjuk pada gerakan berpindah tempat atau posisi, atau berganti wujud.

Transposisi dipakai dalam tafsir ulang supaya teks zaman kuno tetap beroleh tempat di zaman sekarang.

Dalam usaha berteologi-Nya, Yesus mentransposisi kehadiran dan karya Allah di sorga, atau yang disentralisasi di Bait Allah yang dikelola menurut sistem Bait atau sistem imamat atau sistem puritas ("purity system"). Alhasil, sorga berada di Bumi, dan kehadiran serta karya Allah dialami di tengah rakyat jelata yang hidup harus menanggung beban berat dan penuh keletihan dan kelesuan. 

Oleh Yesus, Allah didesentralisasi ke tengah umat, dipindahtempatkan dari Ruang Maha Kudus dalam Bait Allah, masuk ke kehidupan orang banyak. "Tirai/tabir Bait Suci terbelah dua dari atas hingga ke bawah" di saat Yesus mati di kayu salib (Markus 15:38), simbol Allah telah meninggalkan Ruang Maha Kudus dalam Bait Allah, memasuki kehidupan rakyat Yahudi, berada di antara manusia, tanpa mediator institusi keagamaan lagi. 

Dalam teologi Yesus, Allah tidak lagi berada dalam Bait Allah, tapi berada di antara murid-murid-Nya dan rakyat Yahudi. Bait Allah tidak relevan. 

Karena itu, kehadiran Allah ditransposisikan oleh Yesus. Dalam usaha menunjukkan transposisi ini Yesus melakukan suatu aksi keributan di portiko Salomo Bait Allah, yang disertai dengan ucapan-Nya yang keras bahwa Dia mau "merobohkan" Bait Allah hingga menjadi puing-puing.

Perjalanan ziarah ke tanah suci Israel dan kota suci Yerusalem, atau ke tempat-tempat sakral lain, yang umum dilakukan oleh warga Gereja Roma Katolik pada era Reformasi Protestan di abad ke-16, dipandang para reformator gereja Prostestan tidak relevan. 

Dus, mereka, khususnya Martin Luther, mentransposisikan lokasi-lokasi tempat suci, ke gereja-gereja lokal yang ada yang juga, dalam pandangan Luther, dihadiri oleh Allah yang sama. Mereka menyatakan bahwa di manapun kita berdiri dan memuliakan Tuhan lewat kehidupan kita, di situlah tanah suci, di situlah kota suci, di situlah Allah hadir dan berkarya. Transposisi yang hebat, bukan?

Dalam salah satu bagian bukunya yang terbit 1520, To the Christian Nobility of the German Nation, Martin Luther, dalam semangat kuat melawan Katolisisme, menulis demikian: 

"Semua ziarah ke tempat-tempat suci harus diakhiri. Tak ada kebaikan dalam ziarah-ziarah itu. Tidak ada perintah yang harus ditaati untuk melaksanakannya. Sebaliknya, ziarah-ziarah itu telah menjadi kesempatan-kesempatan yang tak terbilang banyaknya untuk orang berbuat dosa dan mencerca perintah-perintah Allah."

Dalam perumpamaan Yesus tentang "Orang Samaria Yang Baik Hati" (Lukas 10:25-37), jalan yang menyeramkan dari Yerusalem ke Yerikho---seolah di sepanjang jalan itu Tuhan tidak hadir karena di situ banyak perampok yang bersembunyi--- oleh Yesus diubah, dengan mentransposisikan Allah dari Bait Allah di Yerusalem justru ke jalan yang menakutkan itu. 

Di jalan itu, tutur Yesus, Tuhan hadir dan bekerja, bukan melalui seorang imam suci Bait Allah atau seorang Lewi yang juga terkait dengan Bait Allah di kota Yerusalem yang kebetulan melewati jalan yang menakutkan itu. 

Melainkan, tanpa diduga oleh para pendengar kisah-Nya, melalui seorang Samaria yang "tergerak hatinya oleh belas-kasihan" sehingga dia menolong sampai tuntas seorang yang menjadi korban perampokan dan penganiayaan berat di jalan itu. Oh ya, orang Yahudi tidak bergaul dengan orang Samaria yang dinilai najis dan tidak berdarah murni Yahudi.

Tidak ada tempat yang terlalu menakutkan sehingga Tuhan menjadi takut untuk hadir dan bekerja. Bait Allah bukan pusat kehadiran Allah. Karena Allah mahahadir, maka Bait Suci menjadi tidak relevan bagi Yesus.

Ketika anda sendirian, dalam kesunyian dan keheningan, dalam pertanyaan-pertanyaan yang tak berjawab, dalam kepungan para penjahat dan orang durjana, Tuhan mentransposisikan diri, turun dan pindah, dari "atas" ke "bawah", untuk ada bersama anda, meski anda merasa sunyi dan sendiri. Dalam kesunyian dan kesendirian, in aloneness and in silence, Tuhan hadir, hadir tanpa suara, tanpa jejak, tanpa tanda. Always present, even in His absence.

Analogi

Untuk memberi suatu penjelasan tentang sesuatu hal dengan lebih jelas dan lebih kena atau relevan, orang juga lazim memakai sebuah analogi (Yunani: analogia).

Analogi dibangun untuk menjelaskan dan menafsirkan sesuatu dengan memakai "sesuatu yang lain" yang bersesuaian atau berkoresponden supaya sesuatu yang sedang dijelaskan atau ditafsirkan itu dapat dengan jelas, kena dan relevan ditangkap dan dimengerti oleh orang yang menerima penjelasan. 

Penulis surat Ibrani dalam Perjanjian Baru gereja memakai analogi dalam Ibrani 12:3-11 (kata kerja Yunani yang muncul analogisasthe, ayat 3). Kata Yunani ini diterjemahkan oleh LAI dengan "Ingatlah"; teks NRSV memakai "Consider". Tapi sebetulnya, si penulis surat Ibrani dalam bagian itu memang sedang menganalogikan penderitaan Yesus Kristus dulu pada waktu Dia disalibkan dengan penderitaan jemaat Kristen penerima surat ini di zaman dan tempat mereka.

Jadi, dengan memakai analogi, azab kita ya bersesuaian dengan azab yang pernah dialami Yesus; sekaligus azab Yesus dulu juga berkoresponden dengan azab kita di masa kini di tempat kita. Tentu dua kejadian ini berbeda, tapi juga bersesuaian atau paralel.

Mencari paralel

Paralel kita mudah bayangkan jika kita memakai ilustrasi rel kereta api. Masing-masing rel adalah garis sejajar, terus demikian, di mana pun rel ini terletak, jadi tak pernah bertemu pada satu titik. 

Paralelisme diterapkan pada tafsir ulang suatu teks kuno yang ketika sudah di-eksegese dengan cermat ditemukan sudah tidak bisa diterapkan pada zaman lain di tempat lain. Kita sebut, Horison teks kuno tidak bisa bertemu dengan Horison dunia kini dan budaya kita.

Nah, jika keadaannya demikian, tafsirkan ulang teks kuno tersebut supaya bisa relevan bagi zaman sekarang. Caranya? 

Ya, mencari elemen-elemen tekstual yang masih mungkin ada dalam suatu teks kuno, yang masih dapat paralel dengan sikon-sikon dalam zaman modern di dunia kita. Paralel ya, tapi tak bisa dikerucutkan dalam satu titik temu. Tidak segala sesuatu bisa ada titik temunya. Ya, carilah dan manfaatkan paralelnya.

Dalam surat 1 Korintus pasal 9, rasul Paulus menyebut peristiwa Eksodus atau pembebasan "nenek moyang" bangsa Israel dari perbudakan di Mesir dengan "melintasi laut", selanjutnya mereka berjalan kaki panjang dan lama menuju Tanah Perjanjian. Oleh Paulus, kejadian "melintasi laut" ini dipandangnya paralel dengan ritual "pembaptisan". Tulisnya pada ayat 2, "Untuk menjadi pengikut Musa mereka semua telah dibaptis dalam awan dan dalam laut".

Ingat saja, dalam kisah epik Eksodus dalam kitab Keluaran 14:21-22, laut sudah "terbelah" oleh hembusan angin badai dari timur yang pasti berkuatan luar biasa besar, dan bangsa Israel, heran juga, dapat dengan tenang "berjalan di tanah kering" tanpa terpontal-pontal. Jelas, ini betul-betul kisah epik yang dituturkan untuk meninggikan nabi Musa.

Ya, terlalu jauh waktunya di masa lampau sehingga sulit jika jemaat Kristen awal membayangkan peristiwa Eksodus, karena mereka tentu saja tidak ambil bagian dalam perayaan Paskah Yahudi selama 7 hari untuk mengenang dan menapaktilaskan Eksodus dari Mesir. 

Anyway, jitu juga jika Paulus mengallegorisasi Eksodus kuno zaman Musa sebagai "pembaptisan", dan sekaligus memparalelkannya dengan "baptisan Kristen" yang harus membuahkan kehidupan Kristen yang bermoral, kontras dengan kehidupan bangsa Israel yang penuh dosa sewaktu menempuh perjalanan panjang dan lama menuju tanah Kanaan setelah meninggalkan negeri Mesir.

Ya, sudah jelas, kedua "peristiwa" itu dapat diparalelkan, tapi tidak bisa dipertemukan. Kisah epik "penyeberangan Laut Teberau" (atau "Laut Alang-alang") yang terdapat dalam Keluaran 14:21-22, tentu saja berbeda jauh dari ritual baptisan Kristen, baik baptisan selam maupun baptisan percik. 

Tidak ada hembusan angin sangat keras ketika setiap orang Kristen dibaptis dalam ruang bangunan gereja atau di sebuah kolam renang dalam komplek gereja. Mereka tidak melintasi tanah kering dengan di kiri dan di kanannya menjulang tinggi tembok-tembok batas air laut. Kalau baptisan Kristen dijalankan persis seperti peristiwa Keluaran atau Eksodus dari Mesir, tidak ada satu pun orang yang mau dibaptis sebagai ritual inisiasi menjadi pengikut Yesus Kristus.

Ya, untuk membuat penjelasan yang kena dan relevan tentang Eksodus dari Mesir bagi orang Kristen, Paulus mengallegorikannya dan juga memparalelkannya dengan ritual baptisan gereja. Itu saja. Tak lebih.

Semoga saya akan menemukan cara-cara tafsir ulang lainnya, untuk menambah enam cara yang sudah dibeberkan di atas.

Sains hermeneutik

Sebetulnya, semua kitab suci masih bisa berguna dan signifikan di zaman modern, asal anda tak memahaminya harfiah, melainkan lewat sains hermeneutik

Hermeneutik bekerja saat anda pertama-tama memahami sebuah teks kuno dalam konteks sistem-sistem sosiobudaya dan persoalan-persoalan zaman lampau yang di dalamnya teks-teks ini ditulis (ini dinamakan Horison 1). Horison 1 dinamakan eksegese, yang memerlukan pendekatan lintasilmu.

Lalu, anda kenali dan pahami betul sistem-sistem sosiobudaya dan berbagai problem kehidupan sekarang, yang di dalamnya anda hidup, berkarya dan berpikir dan membangun peradaban (ini dinamakan Horison 2). Ini juga mengharuskan pelibatan berbagai disiplin ilmu pengetahuan.

Nah, ketika anda dengan kreatif mempertemukan dan mendialogkan Horison 1 dan Horison 2 secara berimbang, dan darinya anda mendapatkan sebuah pemahaman baru atas teks kuno itu yang tidak lazim tetapi mampu menjawab tantangan Horison 2, anda telah menjalankan sebuah hermeneutik yang bagus. 

Di saat anda dengan bagus bisa mempertemukan Horison 1 dan Horison 2, dan bertolak dari pertemuan kreatif ini anda dapat berkhotbah dengan terpelajar dan persuasif (lewat penguasaan ilmu dan seni retorika) bagi umat anda, maka anda telah sukses memainkan peran dewa Hermes. Kok? 

Ya, dewa Hermes diberi tugas untuk menerjemahkan pesan-pesan Dewa Zeus dan dewa-dewi lain untuk disampaikan ke manusia dengan jelas dan gamblang. 

Dari nama Hermes, dibentuklah kata Yunani hermeneuein, yang artinya "menerjemahkan" atau "memindahkan" atau "menjembatani" atau "mengangkat". Hermenutik adalah ilmu dan seni kreatif untuk menjembatani Horison 1 dan Horison 2.

Jadi, dimensi-dimensi teks kuno yang berada dalam wilayah interseksi Horison 1 dan Horison 2 adalah dimensi-dimensi teks yang bisa menjawab panggilan zaman dan tempat anda hidup sekarang. 

Oleh Hans-Georg Gadamer, interseksi yang saya sebut ini dinamakannya suatu “fusi horison-horison”, "fusion of horizons" atau Horizontverschmelzung (Jerman).

Gadamer menyatakan bahwa “pemahaman [atas sebuah teks] selalu merupakan fusi horison-horison ini yang dianggap ada pada dirinya sendiri.”/6/ 

Hemat saya, lebih tepat jika kita menyebutnya interseksi, bukan fusi atau peleburan atau penggabungan, sebab tidak seluruh wilayah Horison 1 dan wilayah Horison 2 dapat digabung atau dipertemukan atau bertumpangtindih dengan sempurna.

Berkaitan dengan ini, dalam konteks hermeneutik fiqih Islam di Indonesia, saya kagum pada alm. KH Sahal Mahfudz (wafat 24 Januari 2014), penulis buku bagus Kritik Nalar Fiqih NU

Beliau menyatakan bahwa “Karena [merupakan] produk ijtihad, maka keputusan fiqih bukan barang sakral yang tidak boleh diubah meskipun situasi sosial budayanya sudah melaju kencang. Pemahaman yang mensakralkan fiqih jelas keliru.”/7/ 

Jelas, pandangan KH Sahal Mahfudz ini melawan arus, bahkan di dalam tubuh NU sendiri, dan karena itu menjadikannya seorang jurutafsir fiqih masa kini yang hebat. Jika demikian halnya dengan hermeneutik fiqih, hermeneutik Al-Qur’an juga dengan sendirinya mengikuti.

Menurut Ulil Abshar-Abdalla, KH Sahal Mahfudz “mengembangkan corak berpikir fiqih yang kontekstual. Maksudnya: berpikir dengan mempertimbangkan konteks dan keadaan sosial di suatu masa. Karena cara berpikir inilah, Kiai Sahal dikenal dengan gagasannya mengenai Fiqih Sosial (al-fiqh al-ijtima’i). 

Ciri-ciri fiqih kontekstual adalah: terlibat dengan persoalan-persoalan nyata yang dihadapi rakyat; teks dalam kitab-kitab fiqih dipahami dalam terang konteks sosial yang ada pada suatu waktu; dinamis dan progresif, dalam pengertian berkembang sesuai dengan perubahan-perubahan zaman; tidak hitam-putih; fleksibel, tanpa kehilangan komitmen pada suatu prinsip pokok.”/8/

Dengan bagus Mas Ulil telah membeberkan dengan singkat bagaimana hermeneutik dijalankan oleh KH Sahal Mahfudz. Kita memerlukan lebih banyak lagi sosok seperti beliau jika umat Muslim Indonesia mau beragama dan saleh dengan cerdas.  

Penutup

Dengan hermeneutik, jurang sejarah dan jurang budaya yang lebar dapat kita persempit supaya kita dapat menyeberanginya dengan aman dan cerdas, untuk mempertemukan orang-orang zaman lampau dengan orang-orang zaman modern. Atau untuk menerjemahkan dengan cerdas dan kreatif pesan-pesan dari zaman dan budaya kuno, sehingga dapat bermakna dan berguna buat kita di masa kini, dan buat membangun peradaban dan kehidupan.

Lewat hermeneutik, firman Allah dalam kitab-kitab suci kuno yang sampai ke zaman modern akan menjadi firman yang membangun kehidupan dan peradaban manusia, bukan yang menghancurkan dan membinasakan. 

Jika ada agama yang membinasakan kehidupan dan menghancurkan peradaban, itu pasti bukan agama dari Tuhan YMPengasih dan MPenyayang. Itu agama anti-Tuhan. Itu agama tanpa Tuhan. 

Anda tentu mau agama anda menjadi agama yang membangun kehidupan dan peradaban, bukan? Jika ya, tak ada jalan lain, selain anda cerdas dan bajik beragama. 

Tidak ada orang beragama yang tidak setuju bahwa Tuhan itu cerdas dan kreatif. Dus, orang yang bertuhan mustinya juga makin cerdas dan makin kreatif dalam membangun kehidupan, serentak berbahagia dan saleh dalam membangun relasi dengan Tuhan. 

Be blessed.

ioanes rakhmat

N.B. diperluas 14 Maret 2021

----------------------

/1/ Tentang perlawanan terhadap kisah Hawa skriptural, lihat Ioanes Rakhmat, “Menerapkan 'Hermeneutik Resistensi' terhadap Kisah Skriptural Taman Eden Demi Merehabilitasi Hawa, Sang Perempuan”, Jurnal Perempuan, no. 64, thn 2009, hlm. 141-149.

/2/ Kajian-kajian antropologis kutural telah lama dilakukan terhadap Alkitab, dan sudah banyak buku tentang ini yang sudah ditulis. Antara lain, lihat Bruce J. Malina, Christian Origins and Cultural Anthropology: Practical Models for Biblical Interpretation (Louisville, Kentucky: Westminter John Knox Press, 1986); idem, The New Testament World: Insights from Cultural Anthropology (Louisville, Kentucky: Westminter John Knox Press, edisi ketiga, 2001). 

/3/ Pendekatan tafsir sosiosaintifik juga sudah lama dipakai dalam orang menafsir Alkitab; sudah banyak buku tentangnya yang sudah ditulis. Antara lain, lihat John H. Elliott, What Is Social Scientific Criticism? (Minneapolis, MN: Fortress Press, 1993); John J. Pilch, ed., Social Scientific Models for Interpreting the Bible: Essays by the Context Group in Honor of Bruce J. Malina (Atlanta, GA: SBL, 2000).  

/4/ Metode dan penalaran saintifik modern ini diberi landasan-landasan filosofisnya terutama oleh seorang filsuf pragmatisisme dan empirisisme Charles S. Peirce (1839-1952), disamping juga oleh William James (1842-1910) dan John Dewey (1859-1952). Tentang pemikiran Peirce, sudah banyak buku ditulis; lihat khususnya Karl-Otto Apel, Charles S. Peirce: From Pragmatism to Pragmaticism. E.T. by John Michael Krois (Atlantic Highlands, N.J.: Humanities Press International, 1995); Nathan Houser, Don D. Roberts, dan James van Evra, eds., Studies in the Logic of Charles Sanders Peirce (Bloomington and Indiana Polis: Indiana University Press, 1997).

/5/ Usaha menafsirkan kembali teks-teks tentang homoseksual di dalam Alkitab telah saya lakukan; lihat Ioanes Rakhmat, “Benturan Tafsir: Homoseksualitas dalam Alkitab”, dalam majalah Bhinneka: Agama dan Kepercayaan, edisi Juni 2012, hlm. 22-31. Lihat juga Ioanes Rakhmat, “Benturan Tafsir Konservatif dan Tafsir Liberal atas Teks-teks Homoseksualitas dalam Alkitab”, 4 Januari 2012, http://ioanesrakhmat.blogspot.com/2012/01/benturan-tafsir-konservatif-dan-tafsir.html

/6/ Hans-Georg Gadamer, Truth and Method (London dan New York: Continuum International Publishing Group, 1975, 2006, 2011), hlm. 305.   

/7/ Lihat tulisan MI MH Keling dalam blog-nya, “KH. Sahal Mahfudz; Ketidaksyakralan Fiqih dan Perlunya Bermazhab secara Metodologis”, 18 April 2011, http://mimatholiulhudakeling.blogspot.com/2011/08/kh-sahal-mahfudz-ketidak-syakralan.html

/8/ Ulil Abshar-Abdalla, “Opini: Mengenang Kiai Sahal”, Satu Harapan.Com, 27 Januari 2014, http://satuharapan.com/index.php?id=109&tx_ttnews[tt_news]=11367&cHash=1



___________