Sunday, April 21, 2013

Pengalaman keagamaan di megachurches


Kajian yang berjudul “‘God is like a drug’: Explaining Interaction Ritual Chains in American Megachurches”, yang disajikan pada 19 Agustus 2012 dalam pertemuan tahunan American Sociological Association di Denver,/1/ berfokus pada kegiatan-kegiatan ibadah Minggu di gereja-gereja superbesar (megachurches) Amerika. Menurut kajian ini, kegiatan-kegiatan ibadah semacam ini sanggup menimbulkan euforia dan rasa sukacita yang besar dalam diri umat yang bersumber dari apa yang mereka klaim sebagai pengalaman memasuki lalu menyatu dengan dunia adikodrati. Dalam pengalaman ini, cinta serta kegairahan mereka terhadap Allah (atau Roh Kudus) dirasakan begitu real dan berbalas sehingga mereka ketagihan untuk terus-menerus ambil bagian dalam kegiatan-kegiatan ibadah ini dari waktu ke waktu.

dalam gereja superbesar ini, Allah dialami sebagai candu...

Kita tahu bahwa pengalaman keagamaan “melambungnya” umat ke dalam dunia transenden yang diikuti dorongan kuat untuk terus-menerus menyatu dengan Allah, terjadi karena lewat semua aktivitas ibadah itu, yang telah dirancang dengan sangat unik, hormon oksitosin (yang dijuluki sebagai “hormon cinta”) dalam jumlah yang makin meningkat terpicu lepas dari sel-sel otak, lalu masuk ke aliran darah dan berpengaruh pada seluruh tubuh.

Musik modern yang diangkat bertubi-tubi, nyanyian-nyanyian yang melambung, kamera-kamera yang memindai audiens dan memproyeksikan pada layar-layar lebar para peserta ibadah yang sedang tersenyum, tertawa, berdansa, bernyanyi, menangis bahkan terjatuh lunglai ke lantai dalam keadaan ekstasis, yang diselang-seling dengan khotbah-khotbah para pengkhotbah kharismatis yang disengaja menyentuh dengan sangat kuat hanya aspek-aspek emosional umat―semuanya ini berfungsi untuk menaikkan suhu emosi setiap orang yang hadir, membawa mereka ke dalam bayangan-bayangan memasuki dunia transenden, bertemu dengan Allah atau dipenuhi kehadiran Roh Kudus, dan untuk membangun suatu identitas bersama sebagai satu perhimpunan besar umat Allah yang dikasihi dan mengasihi Allah. Lewat ini semua, hormon oksitosin dalam otak meningkat volumenya. Semakin banyak hormon oksitosin dilepaskan lewat aksi-reaksi elektrokimiawi otak, semakin orang dipersatukan secara sosial dan secara afektif dengan sesamanya dalam satu himpunan besar orang, bahkan dengan objek-objek lain yang tak kasat mata (“gaib”) yang dibayang-bayangkan ada bersama mereka.

Besarnya ukuran bangunan fisik gereja dan jumlah umat ternyata tidak menjadi penghalang untuk semua yang hadir mengalami pengalaman dipersatukan secara sosial dengan sesama umat dan dengan Allah atau dengan Yesus Kristus, dan untuk mengalami  euforia. Bisa jadi, fenomena sosiopsikologis dan spiritual semacam ini menjadi penyebab utama megachurches di Amerika terus berkembang dengan pesat. Allah itu seperti candu!

Selain khotbah-khotbah yang disengaja menyentuh dalam-dalam emosi umat, musik dan nyanyian yang diangkat dalam ibadah-ibadah di megachurches sangat kuat berperan dalam melambungkan umat ke dalam pengalaman-pengalaman rohani. Pertanyaannya, Apakah musik dan madah-madah yang meriah dan melambung ini memang positif bagi kesehatan jiwa orang-orang yang ambil bagian aktif di dalamnya atau yang mendengarkannya?

Kajian-kajian klinis neurosaintifik yang dilakukan Lin ST dkk pada tahun 2011, yang diterbitkan di jurnal Harvard Review Psychiatry, dengan judul “Mental health implications of music: insight from neuroscientific and clinical studies”, menunjukkan bahwa musik dapat menjadi media yang mampu mempengaruhi proses-proses neurobiologis yang rumit di dalam otak dan dapat memainkan suatu peran yang penting dalam pengobatan. Kajian-kajian klinis memberi bukti bahwa terapi musik dapat dilakukan sebagai sebuah terapi alternatif untuk mengobati depresi, autisme, skizofrenia, dementia, dan juga masalah-masalah yang muncul dari gejolak kejiwaan, kecemasan, insomnia, dan penyalahgunaan narkoba./2/ Tetapi, sebagaimana dirujuk oleh Daniel C. Dennett dalam bukunya Breaking the Spell: Religion as a Natural Phenomenon, sebuah penelitian lain mengenai musik yang dilakukan di Cambridge University and Caltech yang diterbitkan di New York Times, memperlihatkan bahwa musik sebenarnya buruk untuk kesehatan, menjadi faktor besar penyebab penyakit Alzheimer dan serangan jantung, berperan besar dalam melahirkan perilaku agresif, xenofobia dan lemahnya kemauan, dan memperbesar kemungkinan orang melakukan tindak kekerasan./3/ 

Dua kesimpulan yang berbeda tentang manfaat musik bagi kesehatan manusia ini sudah seharusnya membuat setiap pecinta musik bijaksana dan cerdas dalam memilih jenis-jenis musik dan suara. Terapis musik Jennifer Buchanan menyatakan, “musik dengan cepat merangsang dan mengaktifkan pusat-pusat ‘hadiah’ dalam otak kita. Apa yang terjadi pada kebanyakan kita hanya dalam beberapa detik adalah, kita akan mengalirkan hormon-hormon ke dalam sistem saraf kita, seperti dopamin yang akan membantu kita merasa damai, oksitosin yang akan menolong kita mempercayai orang lain, dan serotonin yang dapat membantu kita tertidur lelap. Semuanya bergantung pada jenis musik, lagu dan nadanya.”/4/


Catatan-catatan

/1/ Chris Lisee, “Megachurch ‘High’ May Explain Their Success”, Huffington Post 20 August 2012, pada http://www.huffingtonpost.com/2012/08/20/megachurch-high-may-explain-success_n_1813334.html?; juga American Sociological Association, “God as a drug: The rise of American Megachurches”, Science Daily August 19, 2012, pada http://www.sciencedaily.com/releases/2012/08/120819153536.htm 

/2/ Lihat Lin ST, Yang P, et al., “Mental health implications of music: insight from neuroscientific and clinical studies”, Harvard Review Psychiatry, Jan-Feb 2011; 19 (1): 34-46, pada http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/21250895.  

/3/ Daniel C. Dennett, Breaking the Spell: Religion as a Natural Phenomenon (London: Penguin Books, 2006) hlm. 41.

/4/ Rebecca Zamon, “Music And Health: What Can Music Do For Your Mental Health?”, Huffington Post Living, 19 November 2012, pada http://www.huffingtonpost.ca/2012/11/19/music-and-health_n_2160571.html?just_reloaded=1#slide=1778649.