Thursday, February 14, 2013

Diogenes dan Aleksander Agung: Mana yang lebih besar?


Patung Diogenes orang Sinope (tinggi 5,5 m; selesai dibangun 2006) bersama anjing kesayangannya, berdiri pada tong mandi tempat tinggalnya, sementara tangan kirinya menenteng sebuah lentera bernyala, tanda dia sedang mencari orang jujur. Lokasi: tanah genting Semenanjung Sinop, kota Sinop, Turki


Ada sebuah kisah yang sangat inspiratif, yang melibatkan dua orang termashyur di dunia Yunani kuno. Anda tentu mau mengetahuinya, bukan? Baiklah, saya mau bagi ke anda. 

Saya biasa membagi pengetahuan. Tidak pernah membekap pengetahuan hanya untuk diri sendiri. Membagi pengetahuan berarti meneruskan kasih Allah yang mahatahu, sumber segala pengetahuan. Lewat pengetahuan, Tuhan mau kita maju dan berkembang, dan penuh kebajikan dan hikmat. Kebodohan hanya membuat kita makin mundur ke belakang, ke masa-masa yang gelap, bahkan tidak tahu apa itu kebajikan dan kearifan.

Tapi sebelum masuk ke kisah itu, baiklah saya ajukan dulu sebuah pertanyaan kepada anda: Mana yang sudah mapan secara ekonomis, orang miskin yang tidak serakah, atau orang kaya yang terus serakah?

Kisah tentang pertemuan Aleksander Agung dan filsuf Diogenes orang Sinope yang saya mau bagikan pada kesempatan ini membantu kita menjawab pertanyaan tersebut.

Aleksander Agung

Anda tahu Aleksander Agung (356-323 SM), sang penguasa besar Yunani dari Makedonia yang melancarkan kampanye global hellenisme ("pan-hellenisme") pada abad 4 SM?

Baiklah, saya kutipkan terlebih dulu suatu bagian terakhir buku biografi Aleksander Agung yang ditulis Philip Freeman.

“Aleksander Agung adalah manusia dari
zamannya sendiri yang dicirikan sangat banyak kekerasan. Tindakan-tindakannya tidak lebih baik atau tidak lebih buruk dari tindakan-tindakan Kaisar atau Hannibal. 

Dia membunuh berpuluh-puluh ribu warga sipil dalam kampanye-kampanye militernya yang menimbulkan teror di mana-mana. Hal yang sama juga dilakukan setiap jendral lainnya dalam dunia kuno. 

Seandainya dia hidup pada masa kini, pastilah dia akan divonis sebagai seorang penjahat perang; tapi dia tidak hidup di zaman kita…. 

Lepas dari apakah kita menyetujui atau tidak taktik-taktik perang Aleksander yang kerap brutal, setiap orang yang belajar sejarah dengan bernalar harus sepakat bahwa dia adalah salah satu pikiran militer terbesar segala zaman…. 

Untuk bisa memahami Aleksander dengan benar, kita harus menyadari bahwa dia membenci kekalahan, mungkin lebih dari orang lain manapun dalam sejarah. 

Aleksander dulu dan kini adalah pengejawantahan absolut ambisi-ambisi murni manusia dengan segala akibat baik dan akibat buruknya. 

Kita dapat mengutuki kematian dan kehancuran yang dia tinggalkan saat dia seperti raksasa melanglang buana untuk menaklukkannya; tapi pada akhirnya mau tidak mau kita mengaguminya sebagai seorang yang dengan gagah berani telah melakukan hal-hal yang sangat besar.”/1/ 

Nah, ada sisi religiopolitik dari kehidupan Aleksander Agung yang perlu ditambahkan terhadap komentar Philip Freeman di atas.

Karena begitu adi-insaninya atau "superhuman"-nya prestasi politik, militeristik dan kulturalnya dalam menjadikan hellenisme sebagai kebudayaan dunia kuno yang mencakup wilayah yang luar biasa luas, sampai-sampai Aleksander Agung dipuja dan ditinggikan setingkat dewa, sebagai anak Allah, semasa dia masih hidup. 

Ketika Aleksander Agung sudah wafat, kultus pemujaan terhadapnya masih berlangsung, tidak lenyap, sekalipun pada zaman modern ini dia hanya meninggalkan nama besar saja.

Kemahabesaran Aleksander Agung tentu saja telah melahirkan banyak kisah mitologis dan legenda tentang dirinya./2/. Di dunia kuno, ini hal yang lazim untuk semua insan besar dunia pengubah dan pembuat sejarah. Mustahil diterapkan lagi di zaman modern yang dikendalikan akal dan iptek.

Peristiwa kelahiran Aleksander Agung dituangkan dalam suatu kisah mitologis. Konsepsi dirinya dalam kandungan ibunya (Olympias) digambarkan sebagai akibat penetrasi kekuatan supranatural dari dunia ilahi.

Sebelum ibu dan ayahnya (Raja Filip II dari Makedonia) memasuki malam pengantin, sang ibu bermimpi tentang “guntur yang menggelegar dan kilat masuk ke dalam tubuhnya; kilat ini menimbulkan api besar yang berkobar-kobar dan menyebar ke segala arah.” 

Setelah perkawinan mereka, Filip juga bermimpi hal yang mengherankan. Dalam mimpinya dia membubuhi sebuah segel ke tubuh isterinya, dan tampak kepadanya bahwa ukiran pada segel itu menampilkan gambar seekor singa. 

Mimpi-mimpi ini kemudian ditafsirkan. Ukiran singa pada segel menunjukkan bahwa akan dilahirkan seorang anak laki-laki yang “gagah berani dan penuh semangat yang berkobar seperti seekor singa”; dan “api besar yang berkobar-kobar dan menyebar ke segala arah” menyatakan bahwa anak yang sedang dikandung itu akan menjadi sang penakluk dunia. 

Juga ada sebuah kisah lain. Ketika ratu Olympias sedang tidur, “tampak seekor ular menjalar, melilit di tubuhnya”. Ini diartikan bahwa yang menjadi ayah Aleksander Agung bukanlah Filip, tetapi Dewa Zeus-Ammon, yang datang sebagai seekor ular yang mengadakan hubungan seksual dengan Olympias. 

Aleksander Agung sendiri percaya betul bahwa dirinya adalah “anak Zeus” (pai Dios) karena dia disapa dengan nama itu oleh imam di oasis Siva di padang gurun Lybia, ketika dia mencari wangsit dari Zeus-Ammon.

Ketika akhirnya Aleksander Agung benar-benar berhasil menjadi penakluk dunia, beberapa kota Yunani di Asia Kecil memujanya sebagai Allah. Kultus pemujaan terhadap Aleksander Agung ini didirikan ketika dia masih hidup, yakni ketika dia melakukan kampanye militernya di Asia Kecil (334-333 SM) untuk membebaskan orang-orang Yunani di situ dari penindasan Persia. Kultus ini dibangun sebagai suatu penghormatan ilahi terhadap dirinya. Di Efesus terdapat sebuah kuil untuk kultus Aleksander Agung lengkap dengan imamnya (dari 102-116 M).

Berbeda halnya bagi penduduk kota-kota di Yunani sendiri. Pada tahun 324 SM, di Athena dan Sparta timbul diskusi mendalam tentang apakah Aleksander Agung harus dideifikasikan atau dijadikan Allah.

Dari diskusi itu, diambil sebuah keputusan untuk memberikan gelar ilahi bagi Aleksander Agung. Utusan-utusan dari Yunani mendatangi Aleksander yang sedang berada di Babilonia untuk menganugerahkannya penghormatan ilahi: mereka datang dengan memakai mahkota-mahkota yang hanya cocok dipakai ketika orang datang menghadap Allah. 

Aleksander Agung sendiri memang menginginkan suatu penghormatan ilahi diberikan kepadanya, mengingat keberhasilannya dalam memikul tugas besar yang adi-insani dan kedudukannya yang tinggi. 

Di era hellenistik, setelah Aleksander Agung tidak ada, dinasti Ptolemi di Mesir kuno, misalnya, membangun kultus pemujaan terhadap sosok besar yang diilahikan ini. 



Klik gambarnya untuk memperbesar

Dengan meminta dirinya di-“apotheosis”-kan, dideifikasi, diagungkan sebagai Allah, Aleksander Agung telah membuka jalan untuk para pemimpin lainnya melakukan hal yang sama. 

Pada tahun 323 SM, Aleksander Agung terserang demam yang membawanya pada kematian di Babilonia pada usia yang masih muda, kurang dari 33 tahun.

Diogenes orang Sinope

Nah, sekarang kita pindah ke satu sosok terkenal lain dari Yunani yang berkontras tajam dengan Aleksander Agung.

Anda tahu, Diogenes orang Sinope, filsuf sangat miskin pendiri filsafat mazhab Sinik (cynicism), yang dilahirkan tahun 404 SM? Di dunia Yunani kuno, Diogenes sangat termasyhur khususnya karena ucapan-ucapan dan gaya kehidupannya. 

Dalam legenda Athena, Diogenes dikenal dan dikenang sebagai seorang filsuf yang di siang bolong membawa sebuah lentera bernyala, menelusuri jalan-jalan mencari seorang manusia yang jujur./3/ 

Sang filsuf ini konsisten menjalankan suatu pola kehidupan yang senatural mungkin, menjauh dari bahkan sinis terhadap peradaban. Dia hidup dengan meminta-minta makanan dari setiap orang yang berpapasan dengannya. Kata Diogenes, “orang lain hidup untuk makan, tetapi aku makan untuk hidup.”/4/ 

Pola kehidupannya sama dengan pola kehidupan seekor anjing kampung yang menggelandang ke sana ke mari, tidak punya tempat tinggal, dikasari orang, tidak terurus, mengais-ngais mencari makan.

Ya, kata Yunani kuno untuk anjing adalah kyon atau kuon. Dari kata ini berasal nama mazhab filsafat kynismos (Yunani) atau cynici (Latin) atau cynicism (Inggris). Dalam bahasa Indonesia, baiklah mazhab ini kita namakan mazhab Sinik.

Ada banyak anekdot atau kisah-kisah lisan testimonial yang mengungkapkan bagaimana Diogenes memandang dirinya seekor anjing. Beberapa di antaranya perlu anda ketahui.

Suatu ketika ada seseorang yang marah karena orang-orang memanggil Diogenes anjing. Kepada orang yang membelanya ini Diogenes berkata,

“Engkau juga harus memanggilku ‘Anjing’; Diogenes hanyalah nama depanku; aku memang seekor anjing, tetapi anjing dari keturunan terhormat yang menjaga dan melindungi sahabat-sahabatnya.”/5/ 

Manakala ditanya hal apa saja yang dia telah lakukan sehingga banyak orang memanggilnya anjing, Diogenes menjawab,

“Aku mengibas-ngibaskan ekorku di hadapan orang yang memberiku sesuatu, menggonggong di depan orang yang tidak memberiku apa-apa, dan membenamkan gigi-gigiku ke tubuh para bajingan.”/6/

Diogenes biasa berkata, 

“Anjing-anjing lain menggigit musuh-musuh mereka, tetapi aku menggigit sahabat-sahabatku untuk menyelamatkan mereka.”/7/ 

Di suatu perjamuan malam, sejumlah orang melemparkan tulang-tulang kepada Diogenes seolah dia seekor anjing; tetapi dengan kalem dia membebaskan dirinya dari tulang-tulang itu dengan mengencingi semuanya seolah dia betul seekor anjing./8/

Nah, selain sebuah gentong besar sebagai rumahnya, dan seekor anjing yang dipelihara dan menjadi sahabatnya, dan sebuah lentera, Diogenes juga pernah mempunyai sebuah cangkir untuk minum. Suatu ketika, Diogenes melihat seorang bocah meminum air di sebuah pancuran dengan kedua tangannya dibuka, ditempelkan lalu ditangkupkan sebagai wadah penampung air. 

Melihat si bocah minum tanpa menggunakan cangkir, Diogenes terhenyak lalu memarahi dirinya sendiri sambil membanting satu-satunya cangkir miliknya hingga pecah berantakan. Sejak itu, kalau Diogenes minum, dia minum persis seperti seekor anjing sedang minum, mengambil dan memasukkan air ke mulutnya dengan lidahnya. 

Selanjutnya, mari kita masuk ke kisah berikut, kisah yang sangat inspiratif, yang di atas telah saya katakan mau saya bagi ke anda. Saya jamin anda akan mengalami pencerahan batin dan budi lewat kisah luar biasa ini.

Perjumpaan dua sosok

Dikisahkan, suatu ketika Aleksander Agung mencari jalan untuk bisa bertatapmuka dengan sang filsuf besar Diogenes sang Sinik di tempat tinggal sang filsuf ini, di pinggir-pinggir jalan kota Athena. 

Akhirnya, Aleksander Agung berhasil mendapatkan Diogenes sang Sinik ketika sang filsuf ini sedang berjemur di bawah sorotan sinar Matahari, di samping sebuah gentong besar bak mandi tempat tinggalnya satu-satunya, di pinggir sebuah jalan./9/

Ketika Aleksander Agung sedang berdiri di hadapan Diogenes yang sedang berjemur, sang penguasa besar Yunani ini bertanya apa yang Diogenes mau minta darinya. 

Aleksander Agung tawarkan, pertama, jabatan tinggi atau, kedua, wilayah kekuasaan atau, ketiga, harta berlimpah kepada filsuf kere Diogenes yang sangat dikaguminya. Tentu saja Aleksander Agung punya niat tulus untuk mengubah kehidupan sang filsuf, dan mengangkatnya dari kemiskinan dan menjadikannya orang besar dan berkuasa.



"Hai Aleksander, aku hanya minta satu saja,...!"

Anda tahu, apa yang lantas diminta sang filsuf kere Diogenes kepada penguasa besar Aleksander Agung? Mengherankan, Diogenes berkata, “Aku hanya minta satu saja, hai Aleksander, tolong anda berdiri menyingkir ke samping supaya sinar Matahari tidak terhalang menyinari tubuhku!” 

Tentu saja Aleksander Agung sangat kaget dan merasa terhina dengan jawaban sang filsuf nekat ini. 

Meskipun begitu, Aleksander Agung cepat menguasai diri kembali, lalu masih melanjutkan sedikit percakapan dengan Diogenes. Kemudian, bersama para pengawalnya dengan cepat dia meninggalkan Diogenes. 

Sang filsuf ini tetap aman-aman saja meskipun sudah sangat menjengkelkan Aleksander Agung. Itu konon kisahnya, sesudah saya parafrasiskan.

Dengan jawaban mengagetkan dari Diogenes itu, saya mau tanya kepada anda. Apakah Diogenes atau Aleksander Agung yang sudah memiliki segalanya? Mana yang lebih besar? Mana yang sudah mapan? 

Ya, Diogenes lebih kaya dan lebih besar dari Aleksander Agung, sebab Diogenes sudah tak memerlukan lagi tiga jenis kekayaan dan kemegahan yang ditawarkan sang penguasa. Sedangkan Aleksander Agung masih dikuasai nafsu besar dan serakah untuk terus memperluas wilayah kekuasaannya, tanpa pernah puas, tidak pernah merasa mapan.

Siapapun yang merasa tidak perlu lagi memperoleh kekayaan dan kedudukan yang lebih banyak, lebih besar dan lebih tinggi, dialah orang yang sudah mapan. Diogenes sang filsuf papa dan kere lebih besar dan lebih mapan dari sang penguasa besar ambisius Aleksander Agung. Ini sebuah paradoks yang di dalamnya kita menemukan sebuah kebenaran yang mengherankan.

Diogenes hanya perlu cahaya Matahari untuk menghangatkan tubuhnya; Aleksander Agung memerlukan kota-kota lebih banyak lagi, bahkan mungkin seluruh kota dalam dunia ini, untuk tunduk di bawah kekuasaannya melalui kampanye militernya yang seruduk sana seruduk sini bak seekor banteng raksasa yang sedang marah dengan sepasang matanya merah membara.

Kata Lao-Tzu, 

“Saat anda mempunyai sedikit, anda memiliki. Saat anda punya sangat banyak, anda bingung dan kehilangan arah.

Sabda Yesus, 

“Hendaklah orang yang telah menemukan dunia ini dan telah menjadi kaya, meninggalkan dunia ini.(Injil Thomas 110)

Orang yang sudah tidak memerlukan apa-apa lagi, sudah punya segalanya. Alam raya sudah dalam genggamannya.

Orang yang terus serakah ingin memiliki, belum mempunyai apapun. Alam raya selalu mengelak, menjauh, ketika mau dikuasainya.

Diogenes sang Sinik orang kecil yang besar; Aleksander Agung orang besar yang kecil.

Hieronimus menulis bahwa 

“Pengikut paling kondang Antisthenes adalah Diogenes agung, yang lebih besar dari Raja Aleksander karena dia telah menaklukkan alam.”/10/

Pernyataan Hieronimus inilah yang telah mendorong saya untuk mengadakan riset kecil literatur, lalu membuat sebuah tulisan yang anda sedang baca ini. Acap kali membaca kembali tulisan ini, saya selalu terheran-heran.


Penutup

Tapi saya sudah tahu bahwa anda, dan saya, lebih suka memilih menjadi Aleksander Agung ketimbang menjadi sang filsuf Sinik yang kere, Diogenes dari Sinope. Amit-amit, cetus anda, saat anda ditawarkan untuk meniru sepenuhnya gaya kehidupan Diogenes.

Baiklah, jika kita maunya demikian!

Marilah kita menjadi Aleksander Agung yang kaya raya dan berkekuasaan besar, sekaligus juga menjadi seorang filsuf yang dalam kesederhanaan dan kebersahajaan mencerdaskan sebanyak mungkin orang, lewat ilmu pengetahuan dan filsafat kita. 

Kalau itu kita bisa capai, bisa jadi kita memenuhi ideal Plato yang mendambakan munculnya para filsuf-raja (philosopher-kings) yang dapat memimpin dunia sekaligus mencerdaskan dan mencerahkan sebanyak mungkin orang. 

Tentu, kalau itu terlalu berat buat kita, ya kita jadi saja orang yang hidup cukup, tidak kaya tapi juga tidak miskin, dan sekaligus terpelajar, berwawasan jauh, berhati mulia dan jujur sehingga kita juga dapat berperan sebagai guru untuk sejumlah terbatas manusia di sekitar kita. Mungkin kita dapat termasuk orang jujur yang dicari Diogenes dengan lenteranya.


Jakarta, 14 Februari 2013

N.B. Diperluas 28 Maret 2021
Diperiksa kembali 9 Agustus 2021
 

Catatan-catatan
 
/1/ Philip Freeman, Alexander the Great (New York, N.Y.: Simon and Schuster, 2011), hlm. 329-330.

/2/ Hans-Josef Klauck, The Religious Context of Early Christianity: A Guide to Graeco-Roman Religions (Edinburgh: T&T Clark, 2000), 266-274; juga Helmut Koester, Introduction to the New Testament. Vol. 1: History, Culture and Religion of the Hellenistic Age (New York - Berlin: Walter De Gruyter, 1987 [1982]), 6-12; David R. Cartlidge & David L. Dungan, eds., Documents for the Study of the Gospels (Minneapolis: Fortress Press, 1994²), 131-132.

/3/ Diogenes Laertius 6.41; G272; Maximus 70.20; G272. Dikutip dari Robin Hard, penerjemah, Diogenes the Cynic: Sayings and Anecdotes, with Other Popular Moralists (Oxford World’s Classics; Oxford: Oxford University Press, 2012), hlm. 19.

/4/ Stobaeus 3.6.41; G182. Dikutip dari Robin Hard, Diogenes the Cynic, hlm. 14.

/5/ Gnomologium Vaticanum 194; G 149. Dikutip dari Robin Hard, Diogenes the Cynic, hlm. 24-25. 

/6/ Diogenes Laertius 6.60; G 143. Dikutip dari Robin Hard, Diogenes the Cynic, hlm. 25.

/7/ Stobaeus 3.13.44; G 149. Dikutip dari Robin Hard, Diogenes the Cynic, hlm. 24.

/8/ Diogenes Laertius 6.46; G 146. Dikutip dari Robin Hard, Diogenes the Cynic, hlm. 25.

/9/ Kisah ini parafrasis dari sedikit anekdot yang dijumpai dalam Robin Hard, Diogenes the Cynic, hlm. 53-54.  

/10/ Hieronimus, Against Jovinian 2.14; G175. Dikutip dari Robin Hard, Diogenes the Cynic, hlm. 10.