Thursday, September 19, 2013

Betapa miskinnya ilmu pengetahuan...


Dewi Saraswati dijadikan simbol ilmu pengetahuan oleh orang Hindu: rupanya ilmu pengetahuan dipersepsi mereka sebagai kelembutan, keindahan, bahkan sebagai seni. Luar biasa inspiratif!

Kalau seseorang memiliki banyak materi, orang ini dikatakan kaya raya. Sebaliknya, seorang yang tak punya apa-apa, akan dikatakan miskin. Mana yang lebih kaya, ilmu pengetahuan atau agama? Mari kita bandingkan keduanya, supaya diketahui mana yang kaya dan mana yang miskin.

  • Ilmu pengetahuan tak punya ambisi menjadi nomor satu di dunia, agama punya. 
  • Ilmu  pengetahuan tak punya watak jumawa dan merasa benar sendiri, agama punya. 
  • Ilmu pengetahuan tak punya kebenaran final dan absolut apapun, agama punya. 
  • Ilmu pengetahuan tak punya monopoli kebenaran, agama punya. 
  • Ilmu pengetahuan tak punya klaim serba tahu dan serba benar, agama punya. 
  • Ilmu pengetahuan tak punya satu otoritas insani penentu kebenaran, agama punya. 
  • Ilmu pengetahuan tak punya klaim tak bisa salah dalam segala hal, agama punya. 
  • Ilmu pengetahuan tak punya motif untuk memelintir dan memalsukan kebenaran, agama punya. 
  • Ilmu pengetahuan tak punya motif untuk memperbodoh manusia, agama punya. 
  • Ilmu pengetahuan tak punya alasan untuk melarang orang berpikir bebas, agama punya. 
  • Ilmu pengetahuan tak punya hak menghukum kalangan heterodoks, agama punya. 
  • Ilmu pengetahuan tak punya pasukan inkuisisi untuk memberangus orang yang berbeda pandangan, agama punya. 
  • Ilmu pengetahuan tak punya metode indoktrinasi untuk mencuci otak manusia, agama punya. 
  • Ilmu pengetahuan tak punya pengikut fanatik membuta, agama punya. 
  • Ilmu pengetahuan tidak punya kemampuan untuk membuat orang percaya membuta, agama punya. 
  • Ilmu pengetahuan tak punya syahadat yang dengan yakin harus diucapkan, agama punya. 
  • Ilmu pengetahuan tak punya mantra-mantra dan magi, agama punya. 
  • Ilmu pengetahuan tak punya makhluk-makhluk gaib, agama punya. 
  • Ilmu pengetahuan tak punya mukjizat gaib, agama punya.
  • Ilmu pengetahuan tak punya objek apapun untuk disembah, agama punya. 
  • Ilmu pengetahuan tak punya kitab suci apapun yang dipandang tak bisa salah dalam segala hal, agama punya. 
  • Ilmu pengetahuan tak punya kebencian pada akal budi, agama punya. 
  • Ilmu pengetahuan tak punya kemauan untuk menyangkal fakta-fakta, agama punya. 
  • Ilmu pengetahuan tak punya keberanian mengklaim sesuatu tanpa bukti, agama punya. 
  • Ilmu pengetahuan tak punya wahyu yang datang dari surga, agama punya. 
  • Ilmu pengetahuan tak punya fiksi-fiksi yang memperbodoh dan mengerdilkan jiwa manusia, agama punya.
  • Ilmu pengetahuan tak punya Taman Eden purbakala, agama punya. 
  • Ilmu pengetahuan tak punya dendam sejarah berkepanjangan, agama punya. 
  • Ilmu pengetahuan tak punya motif mengobarkan perang dan pertumpahan darah, agama punya. 
  • Ilmu pengetahuan tak punya teroris untuk memperjuangkan kepentingannya, agama punya. 
  • Ilmu pengetahuan tak punya kekejaman, agama punya. 
  • Ilmu pengetahuan tak punya doktrin untuk mengkafirkan dan membunuh orang yang berbeda, agama punya. 
  • Ilmu pengetahuan tak punya lex talionis, agama punya. 
  • Ilmu pengetahuan tak punya hak memotong tangan orang lain, agama punya. 
  • Ilmu pengetahuan tak punya hak untuk mencabut nyawa orang lain, agama punya. 
  • Ilmu pengetahuan tak punya hak atas kehidupan dan kematian orang lain, agama punya. 
  • Ilmu pengetahuan tak punya ideologi politik, agama punya. 
  • Ilmu pengetahuan tak punya mental sektarian, agama punya. 
  • Ilmu pengetahuan tak punya kemampuan menjadikan orang hipokrit, agama punya. 
  • Ilmu pengetahuan tak punya fungsi sebagai kedok untuk menutupi kebobrokan akhlak para kriminal, agama punya.
  • Ilmu pengetahuan tak punya kemampuan mendiskreditkan dan menfitnah sesama manusia, agama punya. 
  • Ilmu pengetahuan tak punya hak dan wewenang untuk menindas dan membasmi kelompok-kelompok minoritas, agama punya.
  • Ilmu pengetahuan tak punya alasan dan motif untuk membenci perempuan, agama punya. 
  • Ilmu pengetahuan tak punya alasan dan motif untuk membenci seksualitas manusia, agama punya.
  • Ilmu pengetahuan tak punya tiket masuk ke surga setelah kematian, agama punya. 
  • Ilmu pengetahuan tak punya neraka untuk memanggang orang kafir setelah kematian, agama punya. 
  • Ilmu pengetahuan tak punya kata kiamat dan berjuang mengelakkan kiamat, agama punya, bahkan memberitakan dan menunggu kiamat. 

Jadi, dibandingkan agama, ilmu pengetahuan memang begitu miskin karena banyak hal yang dipunyai agama tak dipunyai sains. Pantaslah orang lebih pilih agama dan menendang ilmu pengetahuan, karena orang umumnya ingin hidup kaya. Tetapi berbahagialah orang yang mau hidup miskin dengan mencari ilmu pengetahuan dan menyebarkannya, dan dengan demikian dia memperkaya orang lain dan bukan dirinya sendiri.

Tuesday, September 17, 2013

Menjadi seorang ilmuwan Ph.D.




N.B. Baca juga pasangan tulisan ini Firman Hidup Versus Apologetika.

Saya buka dengan sebuah pertanyaan. Apa syarat untuk seseorang bisa diakui dengan formal sebagai seorang ilmuwan, apalagi ilmuwan terbaik level internasional?

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi 3 (2005), ilmuwan adalah orang yang ahli atau banyak pengetahuannya mengenai suatu ilmu; orang yang berkecimpung di dunia ilmu pengetahuan. Menurut Merriam Webster's Collegiate Dictionary (edisi 10, 1993), ilmuwan adalah seorang yang terpelajar dalam sains, khususnya sains IPA, seorang peneliti saintifik. Jadi, ilmuwan itu orang yang memiliki banyak pengetahuan dalam suatu bidang ilmu, ahli di bidangnya, bekerja di dunia sains, aktif meneliti.

Pertanyaannya: Dari mana kita tahu seseorang itu ilmuwan atau bukan? Ya dari karya-karya ilmiahnya yang diterbitkan dan bisa diakses umum untuk dibicarakan dan diperdebatkan sebagai wacana publik dengan terbuka.

Tetapi tentu saja tidak semua tulisan dapat disebut tulisan ilmiah, tulisan seorang ilmuwan. Karya-karya ilmiah seorang ilmuwan itu diakui ilmiah jika ditulis dengan memakai metode penulisan karya-karya ilmiah, tidak asal ditulis. 

Sebuah karya ilmiah memiliki banyak ciri, antara lain: 

• dengan jelas memuat hipotesis-hipotesis yang mau diuji kebenaran atau kesalahannya;

• dengan jelas memuat keterangan-keterangan mengapa subjek yang sedang dikaji dipandang penting;

• dengan terang merumuskan kerangka teoretis apa yang digunakan dalam argumen-argumen yang dibangun dan dikembangkan secara koheren dan tak bercacat;

• dengan tajam memuat informasi tentang argumen-argumen pokok yang sedang dibangun, yang didukung oleh argumen-argumen penunjang dan argumen-argumen tambahan lain;

• dengan jelas menyebutkan metode-metode penelitian yang digunakan: apakah penelitian lapangan secara khusus dengan memakai sampel yang sah sebagai target kajian yang kemudian dibandingkan dengan sampel-sampel lain pengontrol, ataukah eksperimen-eksperimen di laboratorium dengan menggunakan metode-metode yang sah, ataukah penelitian kepustakaan secara umum, apakah gabungan ketiganya, dan lain-lain;

• dengan padat memuat keterangan ringkas tentang isi setiap bagian karya yang diajukan;

• dengan jujur menyebutkan sumber-sumber otoritatif dari data dan informasi yang dipakai sebagai rujukan. Jika hal penting ini tidak anda lakukan, anda menjadi seorang plagiat;

• dengan jelas menyebutkan di mana kekuatan dan di mana kelemahan karya yang sedang digarap;

• dengan terang menunjukkan segi-segi apa yang masih harus diteliti lebih lanjut di masa depan. 

Semua unsur dari sebuah karya ilmiah ini dibeberkan dengan sistematis dan koheren sejak awal hingga akhir karya, lalu ditutup dengan sebuah kesimpulan umum untuk keseluruhan karya.

Seseorang bisa produktif menulis ratusan buku, tapi jika penulisannya tak memenuhi standard metode penulisan ilmiah, dia bukan ilmuwan. Seseorang bisa menulis ratusan novel, tapi dia tak akan disebut ilmuwan, melainkan novelis. Seseorang bisa menulis ratusan artikel opini di koran-koran, tapi dia tak disebut ilmuwan, melainkan kolumnis.

Karya ilmiah besar pertama untuk seseorang disebut ilmuwan adalah disertasi doktor yang lulus pengujian dan memberinya hak menyandang gelar doktor (Ph.D., Doctor of Philosophy; atau gelar-gelar lain yang diakui ekuivalen). 

Bahwa seseorang memang pantas bergelar doktor, akan diperlihatkannya terus lewat karya-karya ilmiahnya yang lain selain disertasinya. Tapi ada banyak orang yang bergelar doktor (Ph.D., atau gelar-gelar lain yang ekuivalen) stop menulis karya-karya ilmiah lain setelah dia menyelesaikan disertasi dan mempertahankannya. 

Untuk doktor semacam itu, yang tak pernah menulis lagi setelah menulis sebuah disertasi, kita boleh sebut sebagai ilmuwan yang sudah lelah

Ilmuwan yang sudah lelah tentu saja tak akan pernah berkontes di dunia internasional untuk mendapatkan sebutan ilmuwan terbaik dunia. Mungkin gelar Ph.D. yang disandangnya lebih tepat dibaca Pizza Hut Delivery. Bisa jadi, dia jauh lebih cocok dan lebih kerasaan bekerja sebagai seorang pengantar Pizza pesanan.

Untuk dunia bisa tahu seseorang itu ilmuwan, orang ini harus sudah menghasilkan banyak karya ilmiah yang berbentuk buku atau berbentuk artikel ilmiah yang terbit di jurnal-jurnal internasional. Tapi tidak selalu tulisan seorang doktor itu, sekalipun diterbitkan, adalah tulisan ilmiah yang memenuhi standard akademik internasional.

Ada kalanya seorang ilmuwan yang bergelar Ph.D. menghasilkan karya yang bermutu rendah jika dilihat dari standard akademik internasional. 

Karena itu setiap karya ilmiah yang mau diterbitkan di sebuah jurnal internasional bergengsi, harus lewat pengujian tim penguji jurnal ini dulu (misalnya editorial board sebuah jurnal). 

Setelah itu sebuah karya ilmiah yang telah terbit di sebuah jurnal internasional akan diuji lagi oleh para pakar lain yang minimum selevel dengan si penulisnya. Pengujian oleh para pakar lain yang minimal selevel ini, disebut peer review. Berdasarkan apa pendapat para pakar internasional lain atas sebuah karya ilmiah yang telah terbit, karya ini menempati posisi keilmuan tertentu.

Nah lewat proses pengujian berlapis inilah karya-karya seorang ilmuwan akhirnya mendapatkan reputasi internasional, dipandang otoritatif. Hanya dengan lewat prosedur pengujian berlapis atas karya-karya seorang ilmuwan, si ilmuwan ini akan bisa digolongkan sebagai ilmuwan terbaik. Jadi sangat, sangatlah sulit jalannya untuk seorang ilmuwan dapat menyandang sebutan ilmuwan terbaik dunia. Jadilah dulu ilmuwan terbaik di universitas tempat anda mengajar. 

Jadi sangat mustahil, tak masuk akal, seseorang disebut ilmuwan terbaik dunia jika dia tak pernah menerbitkan banyak karyanya di jurnal-jurnal internasional. Atau jika pola pikir, sikap dan kelakuannya tidak GO-INTERNATIONAL atau GO-GLOBAL, tapi partisan, sektarian, primordialistik, dan cuma bisa menyerang ad hominem orang yang berbeda posisi.

Tapi ingat: ada banyak perguruan tinggi murahan di luar negeri, yang dengan mudah memberi gelar doktor pada orang yang studi hanya 6-9 bulan di luar negeri, atau studi sekian bulan lewat Internet. Orang yang mendapatkan gelar doktor dengan cara-cara semacam ini, dan juga seorang Doktor Kehormatan, bukanlah ilmuwan. Mereka hanya pengejar gelar doktor (non-Ph.D.) untuk mendongkrak reputasinya sendiri di tempat kerjanya di negerinya sendiri. 

Umumnya untuk mendapatkan gelar tertinggi akademik (Ph.D.) dari sebuah universitas ternama di luar negeri, dibutuhkan kerja keras 5 tahun studi, yang di dalamnya biasanya akan ada periode kesepian yang mendalam. Lima tahun studi ini termasuk periode penelitian dan penulisan disertasi untuk dipertahankan.

Salah satu ciri utama seseorang itu mampu berpikir ilmiah adalah orang itu mampu berpikir lintas-ilmu dan lintas-bidang, dan mampu mengkritik subjek yang sedang dikajinya, juga tak segan mengkritik dirinya sendiri, dan telah menulis minimal sebuah disertasi doktor yang telah berhasil dipertahankannya. Seorang yang sedang menulis disertasi untuk meraih gelar Ph.D. dikehendaki dapat membuka pandangan-pandangan baru berkaitan dengan subjek kajiannya, menghasilkan sebuah terobosan, sebuah breakthrough.

Tapi jangan lupa ada banyak universitas di luar negeri yang fakultas teologinya memberi gelar Ph.D. kepada orang yang justru cuma bisa berapologetik. Di sana, semakin piawai seseorang membela bulat-bulat sebuah doktrin agama, semakin pantas orang itu menyandang gelar Ph.D. 

Ph.D. ahli apologetika itu jelas suatu keanehan, sebab seorang Ph.D. mustinya adalah seorang yang mampu membuka pandangan-pandangan baru, bukan mampu berapologetik.

Di lingkungan gereja, ada banyak orang yang bergelar Ph.D., dengan keahlian satu-satunya mempertahankan secara apologetik bahwa, misalnya, Yesus itu Allah, atau Tritunggal itu wahyu ilahi, atau agama Kristen itu agama terunggul dan paling benar satu-satunya di dunia, atau kitab Yunus itu memuat kisah sejarah. Atau John Calvin itu seorang yang demokratis, padahal faktanya (jadi, kita dibohongi) Calvin adalah seorang teokratis yang sangat keras yang atas perintahnya Michael Servetus, pengkritiknya yang paling tajam, dibunuh dengan dibakar (tewas 27 Oktober 1553 di Jenewa, Swiss). Waduuhh.

Jadi, saya anjurkan, jangan mudah terkecoh dengan gelar Ph.D. yang tertulis di belakang nama siapapun. Gelar Ph.D. (dan gelar lain yang ekuivalen) tak selalu menjamin mutu keilmuan si penyandangnya, atau bahwa si penyandangnya berwawasan luas dan dirinya sudah menjadi warga dunia. Kita harus selektif memberi bobot pada gelar doktor yang tertulis di belakang nama siapapun. Pertama-tama, ujilah bagaimana cara berpikir si penyandang gelar doktor itu, dan perhatikanlah apakah dia seorang yang sektarian atau sudah GO-GLOBAL.

Ph.D. di bidang agama sangat mudah mengecoh: kita semula berpikir orangnya berwawasan luas, nyatanya cuma mampu berapologetik sampai mati, wawasannya sangat sempit dan sangat fanatik beragama. Dan kerap juga memperalat dan memain-mainkan agama untuk menggolkan tujuan-tujuan politisnya yang sektarian dan tak bermoral. 

Seorang ilmuwan yang bersikap dan berpandangan politis sektarian dan sedang memperjuangkan berbagai kepentingan politik, ekonomi dan militer dirinya sendiri atau kalangan lain yang menyewa dan membayar mahal kepadanya, tidak lagi dipandang sebagai seorang ilmuwan, scientist proper, atau bona fide scientist, tapi sebagai seorang junk scientist, seorang pelacur di dunia sains. 

Para ilmuwan jenis ini sangat piawai menyusun posisi-posisi ilmiah gadungan (pseudoscientific positions), lalu mengemas posisi-posisi ilmiah gadungan ini sedemikian rupa dengan berbagai pemelintiran dan pemalsuan data dan fakta. Kemudian mereka ngotot mengklaim kemasan posisi-posisi ilmiah gadungan ini sebagai kemasan posisi-posisi ilmiah yang sah. Mereka yang melakukan praktek sangat tercela ini disebut junk scientists. Posisi keilmuan para ilmuwan pelacur ini sangat cepat ketahuan dan dibongkar oleh komunitas para ilmuwan dunia. Dalam era yang diberi nama ganjil post-truth era, para ilmuwan gadungan, pelacur dan pecundang ini banyak jumlahnya.

Harap dicatat, dalam dunia sains, era post-truth tidak dikenal. Sains selamanya hanya berurusan dengan truth, tak menerima post-truth. Sebaliknya, jika sains terlibat, sains membongkar habis post-truth demi mempertahankan truth

Disinformasi yang disebar seorang pendukung post-truth mudah dipatahkan hanya dengan mengkonfrontasikannya dengan kebenaran ilmiah, scientific truth, dan dengan pemikiran kritis. 

Well, dalam ujian disertasi, biasanya promotor anda akan mengawali dengan bertanya: Lewat disertasi ini apa sumbangan orisinal anda bagi dunia sains? Jadi, seorang Ph.D. memang dikehendaki berhasil menyumbang pemikiran dan temuan baru bagi dunia sains, bukan berapologetik.

Terlalu berat jika seorang sarjana S-1 dan sarjana S-2 diharapkan menyumbang sesuatu yang orisinal bagi dunia sains, tapi itu wajib bagi seorang Ph.D.

Jika anda seorang Ph.D, jadilah Ph.D. yang mampu berpikir orisinal dan mampu menyumbang hal baru bagi dunia sains. Negeri anda memerlukan banyak Ph.D. semacam ini. Jika anda Ph.D. bidang kajian agama, pikirkan ulang apakah tugas anda berapologetik atau justru melahirkan terobosan pemikiran-pemikiran baru buat agama anda, pemikiran-pemikiran baru yang jelas, simpel, tidak ruwet dan tidak rumit.  

Ph.D. konservatif apologetik adalah sebuah oxymoron, sebuah contradictio in terminis, istilah yang berkontradiksi pada dirinya sendiri. Di dalam negeri semacam Indonesia yang sedang dijajah budaya agama, orang-orang yang bergelar doktor semacam ini sangat banyak. Padahal sudah mustinya seorang Ph.D. itu seorang yang mampu berpikir bebas dan bertanggungjawab, bukan seorang akademisi yang dikerangkeng seumur hidup oleh agamanya sendiri. 

Seorang Ph.D. tulen seyogianya adalah seorang ilmuwan milik dunia, yang sudah GO-GLOBAL, dan pemikiran-pemikirannya melampaui sekat-sekat agamanya sendiri, dan mampu berpikir dan menganalisis lintas-ilmu dan lintas-bidang. Mereka pantang menjadi politikus bayaran, atau dengan membayar berubah karir menjadi politikus petualang gelandangan yang sudah kehilangan etika kehidupan.

Anda yang kritis, pasti akhirnya bertanya dalam hati, apakah si penulis tulisan ini memang seorang ilmuwan sebagaimana dimaksudkannya dalam rangkaian dan jalinan kata-kata di atas.

Ini jawabku lewat sebuah puisi yang kususun sendiri. 

AKU SUKA MENYAPA SEMUT

Aku ini bukan ilmuwan
Sekolah hanya lima tahunan
Dulu cuma tamat SD swasta
Panjang ilmuku cuma sehasta

Bukuku pun kertas kosong
Seluas langit yang lowong
Kala malam dipenuhi bintang
Bercahaya terang gemilang 

Sahabat pun bukan ilmuwan
Hanya angkasa dan awan
Juga Bumi, bulan dan bintang
Di darat berkawan belalang

Aku suka menyapa semut
Ditemani kura dan siput
Oktopus temanku di laut
Menyepi dalam hutan kabut

Tidur cuma beralas rumput
Sang Malam Kelam sebagai selimut
Putri malu menciumku di mulut
Saat kurangkul dia surut

Piknik cuma ke angkasa sepi
Ongkosnya murah sekali
Cuma imajinasi tak bertepi
Tanpa siapapun menyertai

Aku kesepian sendiri
Sunyi berteman alunan dawai
Yang bergetar riuh ramai
Dalam ruang ekstradimensi

Tak kupunya ilmu tinggi
Kutawarkan cuma teka-teki
Tebaklah dengan piawai
Supaya kau hidup abadi
Bersamaku yang sudah mati

Sebagai pikiran yang lestari
Berkelana lintasdimensi
Dari galaksi ke galaksi
Tanpa bidadari yang seksi

Mati tapi abadi
Abadi tapi mati
Ada tapi tiada
Tiada tapi ada


Salam, 
ioanes rakhmat
Freidenk

Sunday, September 15, 2013

Stroke kebudayaan

Pernah pada abad-abad lampau (sekitar abad ke-10), Islam jaya sebagai sebuah peradaban dunia karena Islam pada masa itu dengan kreatif tanggap pada panggilan zaman. 

Kata seseorang, bahkan Nurcholis Madjid sendiri, dengan mengutip seorang sejarawan Amerika, pernah menyatakan bahwa jika pada abad ke-10 Hadiah Nobel sudah ada, maka mungkin sekali dalam setiap tahun akan ada seorang Muslim yang mendapatkannya, karena pada era ini sains mengalami kemajuan pesat dalam dunia Islam./1/ 

Tentang apa yang dikatakan Cak Nur ini, hanya perlu diberi sedikit catatan saja. Seandainya pengandaiannya itu benar, yang membuat seorang saintis beragama Islam menerima Hadiah Nobel bukanlah agama Islamnya, tetapi karena sains yang dikembangkannya lewat metode-metode saintifik yang dipakai universal (observasi, eksperimentasi, empirisisme, instrumentalisme, verifikasionisme) dan penalaran yang digunakan (induksi, deduksi, dan abduksi). 

Sains yang betul-betul sains (bukan agama yang disains-sainskan) tak berafiliasi apapun dengan agama apapun. 

Adalah fakta bahwa pada masa lampau dunia Islam juga menyumbang banyak hal penting bagi dunia sains. Tidak ada yang akan menyangkal fakta ini. Peradaban modern berhutang juga pada dunia Islam. Dunia inilah yang dulu berabad-abad lamanya pernah membawa obor-obor kecerdasan dan pengetahuan, yang kemudian membuka jalan bagi Renesans dan Pencerahan Eropa di abad ke-18. 

Ilmu aljabar berkembang di dalam komunitas-komunitas Muslim yang kaya dengan inovasi. Lewat mereka juga, kita memperoleh kompas magnetik dan sarana-sarana navigasi. Dari dunia mereka juga kita memahami bagaimana penyakit menyebar dan bagaimana menyembuhkan orang dari berbagai penyakit. 

Lewat mereka juga kita tahu bagaimana memakai pena dan membuat percetakan. Kebudayaan Islam memberi kita struktur-struktur melengkung dan kubah-kubah yang indah dan menara-menara yang menjulang tinggi. 

Dari para pujangga mereka kita memperoleh puisi-puisi dan syair-syair indah nan abadi dan juga musik-musik yang patut dihargai tinggi. Kaligrafi yang menakjubkan muncul dari seniman-seniman mereka yang tekun membaca Al-Qur’an. 

Tempat-tempat kontemplasi tak kurang dibangun oleh mereka. Sejumlah sufi besar dan begawan kearifan dilahirkan dari berbagai sudut kebudayaan Islam, dari masa ke masa.      

Itulah fakta dunia Islam abad-abad lampau. Mengagumkan. Tetapi banyak orang sepakat kalau Islam pada zaman modern ini mundur besar karena Islam sekarang tidak tanggap pada modernitas, dan malah dalam banyak hal, sadly, digilas olehnya. 

Yang saya maksudkan dengan “Islam” di sini bukan para intelektual Muslim yang tentu saja banyak yang mampu berpikir modern, melainkan dunia Islam umumnya. 



Semua agama tradisional, kalau melawan modernitas, akan digilas oleh modernitas, sehingga lumpuh total terserang stroke kebudayaan (culture stroke), bukan hanya kaget terkena kejut kebudayaan (culture shock) saat bersentuhan dengan kebudayaan modern. 

Benturan antarperadaban yang dipaparkan Samuel P. Huntington dalam bukunya The Clash of Civilizations pada level dasariahnya adalah benturan peradaban-peradaban yang dibangun oleh agama-agama (hemat saya, termasuk kekristenan) dengan modernitas yang dibangun di atas fondasi-fondasi pemikiran pagan Yunani kuno dan Pencerahan abad ke-18 di Eropa. 

Sebagaimana ditulis Huntington, dalam rangka hubungan-hubungan antarperadaban yang diwarnai benturan, pada level makronya “perpecahan dan pemisahan yang dominan terjadi antara ‘Barat dan bagian-bagian lain dunia’, dengan konflik-konflik yang paling sengit dan dalam berlangsung antara masyarakat-masyarakat Muslim dan masyarakat-masyarakat Asia pada satu pihak, dan Barat pada pihak lain.” Huntington menegaskan bahwa benturan antarperadaban itu berlangsung justru “ketika Barat, satu-satunya di antara peradaban-peradaban, menimbulkan dampak yang besar dan kerap menghancurkan peradaban-peradaban lain”./2/

Saya ingin menegaskan, jika agama apapun ingin berperan signifikan dalam zaman modern ini, dan tidak menjadi hancur dan binasa, jalannya hanya satu: berdialog empatetis dengan modernitas, bukan melawannya, dan juga bukan tunduk di hadapannya tanpa harga diri. Dialog, sekali lagi dialog!

Adakah peradaban Islam modern global sekarang ini? Tidak ada! Adakah peradaban Kristen modern universal sekarang ini? Tidak ada! Adakah peradaban Buddhis modern mondial sekarang ini? Tidak ada! Adakah peradaban Hindu modern mendunia dewasa ini? Tidak ada.

Eropa, Amerika, Australia, dan negeri-negeri lain yang bisa secara kultural paradigmatik disebut “Barat”, bukan peradaban Kristen, tapi peradaban modern. Ada banyak nilai-nilai Barat modern, dan juga landasan-landasan sains modern sendiri, yang ditemukan tidak sejalan dengan kekristenan. 

Seperti sudah ditegaskan di atas, modernitas dan landasan-landasan sains berpangkal bukan pada kekristenan, tetapi pada paganisme kuno dan Pencerahan Eropa. Fakta ini sudah dibeberkan dengan bagus oleh pakar pengkaji sains di dunia kuno, Richard Carrier./3/  

Betul, sekularisasi dan modernitas tidak melenyapkan agama-agama dari dunia modern, sebab ada juga arus balik desekularisasi./4/ Tapi, ketika dilawan habis-habisan, sekularisasi dan modernitas akan pasti melumpuhkan agama-agama tradisional sehingga agama-agama ini ada hanya terduduk di kursi-kursi roda, karena terserang stroke. 

Dari kursi-kursi roda, agama-agama garis keras menghujat habis-habisan modernitas, tapi juga memakai banyak fasilitas kehidupan modern dalam gerakan mereka, termasuk dalam merencanakan dan melaksanakan aksi-aksi teror. Semakin keras dan garang sebuah agama, semakin terrorizing sebuah agama, semakin lumpuh agama ini dalam usaha-usaha mempengaruhi dunia ini dengan positif. 

Kekerasan bukanlah masa depan peradaban umat manusia. Semakin tinggi peringkat peradaban suatu spesies cerdas, semakin agung akhlak spesies ini; itulah yang dikatakan oleh Carl Sagan. Ya Sagan tentu benar. Tanpa moral yang agung, dan sifat agresif besar, sebelum sebuah peradaban berkembang, peradaban ini akan hancur oleh perang yang timbul dari dorongan agresif manusia. 

Sebagaimana dianjurkan Robert Johnson, untuk menangkal terorisme yang dilakukan atas nama agama-agama, langkah yang terbaik adalah meningkatkan dan memperluas sekularisasi pada aras global, alih-alih mengindoktrinasi umat-umat beragama dengan doktrin-doktrin keagamaan lain yang moderat dan yang menganjurkan perdamaian dan toleransi. 

Indoktrinasi semacam ini hanya menggeser kepercayaan keagamaan yang pada kodratnya berwatak absolut, dari yang keras ke yang moderat. Absolutisme inilah yang dilihatnya sebagai problem besar dalam semua agama. 

Selanjutnya, tulis Johnson, “Sekularisme dan pemikiran rasional syukur sekali telah membuat kekristenan sebagai agama nasional di Barat berubah menjadi moderat.... Dan beruntung sekali, karena sekularisme, terorisme Kristen sebagian besar telah lenyap sebelum peradaban modern menemukan teknologi yang memiliki kemampuan merusak yang sangat kuat.”/5/ 

Dengan kata lain, modernitas memiliki kemampuan untuk membuat agama-agama garis keras melunak, lewat nilai-nilai sekular yang ditawarkannya.  

Tapi hemat saya, usaha mengajak umat-umat beragama meninggalkan doktrin-doktrin keagamaan yang mendorong mereka untuk melakukan kekerasan, lalu merangkul dan mengamalkan doktrin-doktrin yang memacu mereka berbuat bajik, adalah usaha yang juga perlu dilaksanakan, karena memang selalu ada segi-segi positif dalam setiap agama yang bisa akomodatif dengan modernitas. 

Selain itu Robert Johnson juga perlu diingatkan bahwa meskipun terorisme atas nama kekristenan makin jarang atau nyaris tak pernah terjadi lagi, kekristenan evangelikal dewasa ini nyaris tidak punya peran positif apapun dalam usaha-usaha memajukan ilmu pengetahuan modern yang memerlukan pemikiran rasional untuk bisa berkembang. Saya akan segera balik lagi ke soal ini. 

Saya selanjutnya ingin tekankan, bahwa selain terduduk lumpuh di kursi-kursi roda, agama-agama yang melawan modernitas juga terpaksa mengambil watak oportunis, dan jiwa-jiwa mereka juga terpecah, disadari atau tanpa disadari. 

Salah seorang petinggi MUI bidang seni dan budaya, KH Cholil Ridwan, menolak demokrasi sebagai sebuah metode modern mengelola negara, tapi juga memakai demokrasi dan Pancasila untuk tujuan jangka panjang islamisasi NKRI. Katanya di tahun 2011, 

“Untuk sementara ini, umat Islam bisa memanfaatkan perahu demokrasi dan Pancasila untuk menuju Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang memberlakukan syariat Islam. Jika sudah sampai ke tempat yang dituju, Pancasila dan Demokrasi dapat kita tanggalkan dan menggantinya dengan hukum Islam.”/6/ 

Yang saya maksudkan dengan “islamisasi” di sini adalah “Alquranisasi dan Arabisasi” Indonesia, memundurkannya ke abad ke-7 konteks Jazirah Arabia. 

Apa logikanya, selain logika oportunisme, jika sang petinggi MUI itu memakai demokrasi modern dan Pancasila untuk islamisasi NKRI? Dan kata siapa, bahwa maksud sang petinggi MUI ini hanya relevan untuk umat Islam Indonesia, sementara NKRI ini milik bangsa Indonesia yang menganut agama-agama lain juga yang non-Islam? 

Saya heran mengapa sebagai seorang petinggi MUI, KH Cholil Ridwan tidak mau melihat dan tidak mau memahami bahwa multikulturalisme dan pluralisme adalah fakta-fakta real di dalam negerinya sendiri, yang harus disikapi dengan toleran, cerdas dan terpelajar. Kita lihat dan tunggu saja di masa depan, apakah visi dan misi sang petinggi Muslim ini akan menggilas modernitas, ataukah sebaliknya: digilas modernitas. 

Sebagaimana telah diungkap oleh Wahid Institute, di sepanjang tahun 2013 (Januari-Desember) MUI adalah lembaga keagamaan di Indonesia yang paling banyak melakukan intoleransi dalam kehidupan beragama di Indonesia lewat fatwa-fatwa yang dikeluarkannya./7/ Kita jadi bertanya, apakah ke depannya, di tahun-tahun selanjutnya, MUI akan makin banyak mempraktekkan intoleransi dalam kehidupan beragama di Indonesia.

Bukankah intoleransi itu sebuah bentuk ketidakadilan dan kezaliman? Saya teringat pada sebuah pernyataan hebat Ibnu Taimiyah, bahwa 

Allah akan menegakkan negara yang adil walau negara kafir, tapi akan meruntuhkan negara yang zalim walau negara Muslim. 

Jadi, menurut Taimiyah, di pandangan mata Tuhan, benar atau tidaknya sebuah negara, ortodoks atau tidaknya sebuah negara, bukan bergantung pada agamanya atau pada keislaman, tetapi pada ihwal apakah para pemimpin negara ini berhasil menjadikan negara mereka negara yang di dalamnya keadilan dialami seluruh rakyatnya, yang di dalamnya tidak ada kezaliman bagi semua orang. 

Mustinya semua alim-ulama di dalam MUI membenarkan, mendukung dan menjalankan visi agung kenegarawanan Ibnu Taimiyah ini. Memaksa menegakkan negara Islam sementara rakyat negara ini menganut agama-agama yang berbeda, jelas sebuah bentuk ketidakadilan dan kezaliman yang dilawan Ibnu Taimiyah.  

Bagaimana dengan kekristenan? Kalangan Kristen evangelikal juga mengecam habis modernitas dari kursi roda mereka, tapi juga menikmati banyak fasilitas kehidupan modern, setidaknya menikmati kursi roda buatan negeri mereka yang modern. 

Kalangan Kristen evangelikal ini ingin kembali ke abad pertama zaman para rasul Yesus Kristus, tapi dengan memanfaatkan semua teknologi modern dalam berbagai aktivitas ibadah dan penyebaran keyakinan-keyakinan mereka ke seluruh dunia. 

Kalangan Kristen evangelikal ini ingin hidup dalam semangat “Injil zaman kuno” sepenuhnya, tapi juga tanpa sungkan menikmati semua fasilitas modern. 

Kalangan Kristen evangelikal ini ingin menjadikan “Sepuluh Perintah Musa” sebagai UUD negara mereka sendiri, Amerika Serikat, menggantikan UUD sekuler yang disusun para Bapak Pendiri tersohor negeri besar ini. 

Dalam ideologi, kekristenan sayap kanan Amerika Serikat ini menolak modernitas dengan keras, tapi dalam praktek kehidupan mereka, mereka menikmati modernitas tanpa malu-malu. Skizofrenia! 

Punya dampak sosio-kultural globalkah keberadaan kekristenan evangelikal ini? Sama sekali tidak. Mereka garang tapi sambil duduk lumpuh di sebuah kursi roda, di suatu sudut gelap planet Bumi. 

Alih-alih mendorong perkembangan sains modern, kalangan Kristen evangelikal malah membangun “sains Alkitab” yang diberi nama kreasionisme dan intelligent design (ID), dan dengan keras kepala menolak semua sains modern, khususnya sains evolusi dengan memakai sebuah argumen yang selalu mereka ulang-ulang, argumen yang mereka sebut irreducible complexity atau kompleksitas yang tidak dapat disederhanakan./8/

Baiklah saya gambarkan ringkas apa yang dimaksud dengan “irreducible complexity”. Ini adalah adalah sebuah argumen yang dipakai kalangan pembela dogma ID yang pada hakikatnya menolak evolusi biologis. 

Argumen ini menyatakan bahwa sistem-sistem biologis tertentu terlalu kompleks untuk dapat berasal dari evolusi sistem-sistem sebelumnya yang lebih sederhana atau yang kurang kompleks, lewat seleksi alam yang menghasilkan serangkaian mutasi yang terjadi secara alamiah dan kebetulan dan mendatangkan manfaat bagi sistem-sistem yang berevolusi ini. Argumen ini mula-mula diajukan oleh Prof. Michael Behe, pakar biokimia. 

Menurutnya, sistem yang kompleks yang tidak bisa disederhanakan adalah sebuah sistem “yang terdiri atas beberapa bagian yang berinteraksi dan terpadu dengan baik, yang membuat sistem ini dapat menjalankan fungsi dasariahnya, sehingga kalau salah satu bagiannya ditiadakan, keseluruhan sistem akan sama sekali tidak berfungsi.”/8/ 

Tetapi para pakar biologi evolusioner telah menunjukkan bahwa sistem-sistem yang semacam itu juga dihasilkan lewat evolusi, dari yang tidak kompleks atau kurang kompleks menuju yang kompleks atau yang lebih kompleks. 

Kembali ke evangelikalisme. Anehnya, kalangan Kristen ini anteng-anteng dan betah-betah saja hidup setiap hari dalam negeri-negeri besar mereka yang sebetulnya dikendalikan sains dan teknologi modern, bahkan mereka dengan freely mengambil keuntungan-keuntungan besar dari gaya hidup modern. 

Jadi, Kekristenan tradisional juga sudah lumpuh total di kursi roda terkena stroke kebudayaan, diperparah juga oleh penyakit skizofrenia dan gaya hidup oportunis. 

Jadi, sekali lagi: setiap agama yang melawan modernitas, akan terkena stroke kebudayaan sehingga lumpuh total duduk di kursi roda, dan hanya mampu berteriak dari situ menghujat modernitas. 

Dunia masa kini sedang dipersatukan bukan oleh agama apapun, tapi oleh modernitas sebagai sebuah peradaban yang dari saat ke saat makin mengglobal. 

Sementara saya menyatakan hal ini, saya juga melihat kebenaran dalam apa yang dinyatakan Huntington, bahwa nilai-nilai Barat seperti demokrasi, toleransi, pasar bebas, pemerintahan yang terbatas, HAM, keutamaan individu, budaya saintifik, dan kedaulatan hukum (the Rule of Law) memang dirangkul dan dikedepankan oleh minoritas-minoritas di dalam peradaban-peradaban lain. 

Tetapi sikap dominan terhadap nilai-nilai Barat ini beranekaragam, mulai dari skeptisisme yang luas sampai ke perlawanan yang kuat. Apa yang oleh Barat dipandang sebagai universalisme, bagi bagian-bagian lain dunia adalah imperialisme./9/ 

Jika agama-agama tradisional melihat Barat, dengan demikian juga modernitas dan semua nilainya, semata-mata sebagai imperialis, dan tidak bisa melihat peran modernitas sebagai pembebas dan pencerah dunia, maka agama-agama ini akan pasti tergilas oleh modernitas, cepat atau lambat.

Ada satu lagi nilai modern yang perlu diadopsi oleh setiap agama jika mereka ingin berperan signifikan dalam dunia modern: humanisme. 

Setiap orang yang hidup dalam semangat humanisme, akan mengutamakan kemanusiaan, humanitas, bukan agama, sebagai pengikat semua insan di muka planet Bumi sebagai saudara. 

Kini sudah ada sebuah istilah legal baku, crime against humanity, yang dikenakan bagi setiap tindak kejahatan dan kekerasan yang ditujukan kepada sejumlah besar manusia di belahan manapun dari planet Bumi. 

Semakin dalam seorang beragama jatuh ke dalam ego primordialisme, semakin benci dia pada humanisme global, dus semakin terasing dia dari dunia ini dan dari hati sesamanya yang berbeda agama darinya. 

Jadi, kebalikannya, semakin kuat perhatian sebuah agama pada isu-isu kemanusiaan global, semakin signifikan dan fungsional perannya dalam dunia modern yang dihuni umat manusia yang menghayati bersama satu kemanusiaan global. 

Ke depan, peradaban global yang dilandasi sains-teks modern dan humanisme, akan makin kuat, bukan makin lemah, dan siapapun yang melawannya, akan tergilas. 

Oh ya, ada satu lagi global concern yang juga mempersatukan semua insan di muka Bumi ini pada masa kini dan seterusnya ke depan, yakni usaha melestarikan planet biru kita ini dan mencegah berbagai bahaya (buatan manusia sendiri atau ancaman bencana alam/kosmik) yang dapat merusak dan melenyapkannya.   

Usaha-usaha pelestarian planet ini tentu saja pertama-tama sedang dan akan terus dijalankan para saintis dan teknolog; tetapi partisipasi kita semua sebagai penghuni planet ini sangat diperlukan. 

Dalam tata-kelola atas planet Bumi dan atas seluruh kosmos, kini sudah juga dimunculkan sebuah istilah legal, crime against creation, tindak kejahatan terhadap planet Bumi dan kosmos. Sudah muncul kesadaran yang makin meluas bahwa Bumi dan juga jagat raya dan semua organisme tidak terpisahkan, tetapi berhubungan satu sama lain, dan saling bergantung. 

Tentu saja, saya ingin tekankan, peradaban modern bukanlah malaikat suci tanpa dosa, tapi sebuah model kehidupan global yang masih memiliki banyak cacat cela dan kekurangan. Lewat pendekatan saintifik, dan lewat banyak nilai modern yang agung dan lewat manusia-manusia agung, segala cacat dan kekurangan modernitas yang masih ada, akan kita atasi bersama-sama, tahap demi tahap dengan percepatan yang makin meningkat. Kearifan-kearifan lokal dari banyak suku bangsa di dunia, yang memiliki cita-cita yang sejalan dengan ideal-ideal modernitas, juga akan berperan penting. 

Modernitas akan makin kuat, bukan makin lemah, dan akan makin kaya dengan ideal-ideal tentang bagaimana hidup lebih baik, lebih maju, lebih saintifik, lebih sehat, lebih berbahagia, lebih bersaudara, dan lebih berbelarasa. 

Jika anda ingin agama anda punya peran penting di masa depan dunia, janganlah melawan modernitas, tapi berdialoglah dengannya secara empatetis dan cerdas. 

Sekali lagi, agama apapun yang melawan modernitas akan terkena stroke kebudayaan lalu duduk lumpuh di kursi roda di sebuah sudut ruangan global, dan paling banter akan dapat dari situ dengan rasa frustrasi berteriak-teriak garang memaki dan menghujat modernitas. 

Daripada anda lumpuh terduduk di kursi roda sambil dengan powerless teriak-teriak menghujat modernitas, lebih baik anda berkawan dengannya, lalu memainkan peran fungsional di dalamnya.   

Jika anda memilih menjadi seorang agamawan radikal, anda sedang melawan modernitas dan akhirnya akan mengalami stroke kebudayaan. Jika anda berpikir modern, anda akan dengan sadar menjauh dari radikalisme keagamaan apapun, sebab radikalisme keagamaan sama sekali bukan sebuah produk modernitas, melainkan reaksi defensif dan ofensif, reaksi orang kalap, terhadap nilai-nilai kehidupan yang ditawarkan modernitas. 

Sudah merupakan tugas ilahi bagi anda sekarang: menjadi para agamawan modern. Tak ada pilihan lain yang responsif, layak, relevan, signifikan, masuk akal, dan langgeng.

Sebagai penutup, saya ingin menegaskan hal penting ini untuk anda tidak lupakan selamanya: Menjadi modern tanpa beragama, itu mungkin, tapi tetap beragama tanpa menjadi modern akan menimbulkan penderitaan dalam diri anda dan anda akan pasti terkena skizofrenia yang tidak membahagiakan, dan akhirnya anda akan pasti kehilangan fungsi signifikan dari kehidupan anda dalam dunia ini. 

Tentu anda dapat memilih untuk menempuh jalan kehidupan sebagai seorang mistikus atau seorang sufi yang hidup asketis di gurun-gurun pasir apa adanya, atau di tempat-tempat terpencil lainnya, yang terisolasi dari dunia luar, tak bersentuhan dengan modernitas. Tetapi saya bertanya pada anda: Apa signifikansi kehidupan seorang suci, sesuci apapun, jika dia tak memberi dampak apapun pada dunia luas di luar dunianya yang terpencil? Tidak ada! 

Hemat saya, jika anda mau hidup suci, hidup asketis, jalanilah kehidupan semacam ini di dalam dunia modern sekarang ini, untuk mempengaruhinya secara substansial. Jika anda mau hidup beraskese, jalanilah askese anda di dalam dunia luas yang real, jalanilah, memakai istilah Max Weber, worldly asceticism, asketisisme duniawi. Terminologi yang dipakai Weber ini (dalam bahasa Jerman: weltliche Askese) perlu dijelaskan./10/

Dalam bukunya Sociology of Religion, bab x (berjudul “The Different Roads to Salvation”), Weber mendefinisikan “keselamatan” (“salvation”) sebagai “perilaku etis yang aktif yang diberikan kepada seseorang sebagai suatu karunia yang khas, yang dijalankannya dalam kesadaran bahwa allah memandu perilakunya, maksudnya: sang aktor menjadi suatu instrumen allah. Kita dapat menyebut sikap dan perilaku jenis ini terhadap keselamatan sebagai ‘asketis’, yang dicirikan oleh suatu prosedur metodis untuk mendapatkan keselamatan keagamaan.”/11/

Bab xi bukunya itu berjudul “Asceticism, Mysticism and Salvation Religion”. Pada bagian awal bab ini, Weber menulis, 

“Jika seseorang berkonsentrasi pada pengejaran keselamatan dengan nyata, orang ini akan dapat menarik diri secara formal dari ‘dunia’”. Tindakan menarik diri dari dunia inilah yang membuat seorang yang religius disebut “asketis”. 

Tetapi bagi Weber, tidak harus setiap asket menarik diri dari dunia dan semua persoalan di dalamnya. Seorang asket bisa “berpartisipasi di dalam lembaga-lembaga dunia ini, sekaligus juga melawan lembaga-lembaga ini” berdasarkan pola-pola sikap dan kelakuan serta sifat-sifatnya yang sakral “sebagai instrumen yang dipilih allah.” 

Si asket yang semacam ini melihat diri “dapat memiliki kewajiban untuk mengtransformasi dunia ini sejalan dengan ideal-ideal asketisnya sendiri.” Dengan demikian, si asket ini menjadi seorang pembaharu masyarakat atau seorang yang revolusioner. 

Tipe askese yang semacam inilah yang Weber istilahkan weltliche Askese, worldly asceticism, atau asketisisme duniawi./12/ Mereka, para asket ini, ada di dalam dunia, dan membaharui dunia, tetapi bukan bagian dari dunia ini. Aura kesucian mereka bercahaya-cahaya di dalam keramaian dan kesibukan dunia, yang di dalamnya mereka ambil bagian dengan proaktif dan kreatif.

Jika seorang sufi itu seorang asket, maka jika si sufi menjalankan apa yang Weber istilahkan askese duniawi, si sufi ini pantas disebut sufi modern. Menjadi sufi modern, adalah sebuah perspektif cerdas yang akan mampu merelevansikan mistisisme dengan modernitas.

-----------------------

/1/ Denny JA, Democracy Project: Denny JA tentang Cak Nurhttps://www.youtube.com/watch?v=xGIPajhyULY.

/2/ Samuel P. Huntington, The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order (New York, N.Y.: Touchstone, 1996, 1997), hlm. 183. Sejak buku ini diterbitkan, muncul banyak perdebatan. Tentang perdebatan ini, lihat Gideon Rose, ed., The Clash of Civilizations? The Debate: Twentieth Anniversary Edition (New York: N.Y.: Council on Foreign Relations, 2013). Bab terakhir buku ini berjudul menarik: Sam’s Club: Samuel P. Huntington, R.I.P.

/3/  Richard Carrier, Christianity Was Not Responsible for Modern Sciencedalam John W. Loftus, ed., The Christian Delusion: Why Faith Fails. Kata pengantar oleh Dan Barker. (Armherst, New York: Prometheus Books, 2010), hlm. 396-419.

/4/ Tentang sekularisasi dan desekularisasi, lihat Ioanes Rakhmat, Beragama dalam Era Sains Modern (Jakarta: Pustaka Surya Daun, 2013), hlm. 1-32.

/5/ Robert Johnson, “Year in Review. 2013 Reminds Us Why Secularism Matters”, Richard Dawkins.Net, 21 January 2014, http://www.richarddawkins.net/foundation_articles/2014/1/20/year-in-review-2013-reminds-us-why-secularism-matters#.

/6/ Lihat “KH. Cholil Ridwan: Demokrasi dan Pancasila sebagai Tumpangan Sementara”  dalam Voice of Al Islam, 6 Juni 2011, http://m.voa-islam.com//news/indonesiana/2011/06/06/15146/kh-cholil-ridwan-demokrasi-pancasila-sebagai-tumpangan-sementara/

/7/ Lihat reportase Adinu, “MUI dianggap urutan teratas pelanggaran toleransi beragama”, Islam Indonesia, 22 Januari 2014, http://islamindonesia.co.id/detail/1200-MUI-Dianggap-Urutan-Teratas-Pelanggaran-Toleransi-Beragama#.UuC7FPvZHIX.

/8/ Lihat Wikipedia: “Irreducible Complexity”, http://en.wikipedia.org/wiki/Irreducible_complexity.   

/9/ Samuel P. Huntington, The Clash of Civilizations, hlm. 184.  

/10/ Pembahasan bagus mengenai maksud Weber dengan weltliche Askese diberikan oleh Paul Trafford dalam blog-nya, dengan judul “Webers Sociology of Religion: Asceticism and Mysticism”, 19 September 2008, http://paultrafford.blogspot.com/2008/09/webers-sociology-of-religion-asceticism.html

/11/  Max Weber, The Sociology of Religion. Pengantar oleh Talcott Parsons; kata pengantar baru oleh Ann Swidler. E.T. by Ephraim Fischoff (Boston, Massachusetts, 1963, 1991, 1993), hlm. 163 ff.

/12/ Max Weber, The Sociology of Religion, hlm. 166.