Friday, April 26, 2013

SHE ...



My mystical poem


SHE

She is near
But very far
She is far
But very near

I can see Her clearly
But I am blind

I am alone
Even though I am with Her

I touch and feel Her nude body with my real hands
But Her warm body is formless and untouchable
I stroke affectionately Her beautiful and crowning hairs
But Her hairs immediately change into ocean waves

I gaze at Her eyes
But She doesn’t have eyes
I kiss Her mouth
But She doesn’t have a mouth

I hug Her
But She is the air
And disappears
To nowhere

She is within me
But I am empty
I am empty
But She overwhelms me

She makes me live in fullness
But emptiness surrounds me

She is Nothing
But She is the All

I am near Her
But She is very far

Who is She?
Even Her name
I do not know
But I am very sure that I love Her
I love Her, love Her, love Her

She knows me
I know Her
But we don't know each other
She and I are mysteries

Only emptiness does know us
But none knows it
Because it is empty
Empty but full

She kisses me
I kiss Her
We are united beyond words
But our mouths are far apart
I am very sad
But I am happy too

You don't understand me
You don't understand Her either

That is good for you
That makes you grow in wisdom
When you always seek, seek and seek

She and I will be very happy
If you are wise for yourself
Until you know
That you yourself are empty too

In emptiness we are one
In fullness we are apart

Let us seek Her in togetherness!

And I am wholly united with Her forever
Deeper, deeper, and deeper
Beyond any words humans can find
Beyond, beyond, beyond





by ioanes rakhmat
Jakarta, 26 April 2013



Thursday, April 25, 2013

Kerentanan kognitif, dan meneruskan kebahagiaan

KERENTANAN DAN KETAHANAN KOGNITIF

by ioanes rakhmat
Updated 9 Agustus 2018

Ini sebuah tulisan yang pasti menarik bagi semua orang. Subjek yang disoroti adalah stres dan kebahagiaan. Dua hal yang bertolakbelakang satu sama lain ini dialami semua orang di segala zaman dan di segala tempat, dengan tingkatan yang bervariasi. Tak ada yang tak pernah mengalami keduanya.

Dewa-dewa pun kerap berseloroh dan bercanda, tanda mereka hepi atau karena mereka ingin hepi. Itu kata Aristoteles. Lalu kata saya, dewa-dewa juga kerap stres, lalu menumpahkan murka mereka kepada sesama dewa, atau, lebih sering, kepada manusia penghuni dunia yang mereka terus awasi tanpa berkedip.

Baiklah, kita mulai dulu dengan apa yang diistilahkan sebagai “kerentanan kognitif”.

“Kerentanan kognitif”

Jika anda selalu negatif dan murung dalam memandang diri sendiri dan berbagai kejadian dalam kehidupan anda, sikap mental ini akan menular ke orang-orang lain di sekitar anda, semakin meluas dari waktu ke waktu.

Orang yang selalu negatif dalam memandang dirinya sendiri dan berbagai kejadian dalam kehidupannya dan dalam realitas dunia, disebut sebagai orang dengan tingkat “kerentanan kognitif” (cognitive vulnerability) yang tinggi.


Sang Nona ini menampakkan tingkat “kerentanan kognitif” yang tinggi

Sebuah kajian psikologis mutakhir, yang dimuat dalam edisi perdana jurnal Clinical Psychological Science, vol. 1, 2013, menunjukkan bahwa “kerentanan kognitif” itu menular ke orang-orang lain yang ada di sekitar. Studi ini, yang diberi judul “Cognitive Vulnerability to Depression Can Be Contagious”, dilakukan oleh dua orang psikolog Universitas Notre Dame, yaitu Gerald Haeffel dan Jennifer Hames./1/

Jika anda tinggal sekamar dalam waktu panjang dengan orang yang tingkat “kerentanan kognitif”-nya tinggi, anda akhirnya juga akan terserang depresi. Jika teman-teman bergaul anda orang-orang yang selalu murung dan negatif dalam memandang diri dan kehidupan mereka, kondisi mental ini akan tertular ke anda.

Jadi, jika anda ingin bisa selalu optimistik dan tangguh dalam kehidupan anda, memiliki ketahanan kognitif yang tangguh, ya bergaullah terutama dengan orang-orang yang juga optimistik dan tangguh.

Jika anda seorang pekerja sosial yang dalam jangka panjang selalu berhubungan dengan orang yang stres, hati-hatilah, karena stres itu akan tertular ke anda.

Jika itu memang pekerjaan anda, demi kesehatan mental anda sendiri ingatlah untuk selalu juga memelihara hubungan akrab dengan lingkungan kognitif lain yang terdiri atas orang-orang yang sehat, optimistik dan cerah-ceria, yang mengimbangi lingkungan kognitif yang suram, tempat anda bekerja.

Dengan berpindah-pindah lingkungan kognitif ini, sebetulnya anda sedang mengelola isi pikiran anda sendiri: berpikir sedih, atau berpikir gembira; merasa sedih, atau merasa gembira. Anda harus menentukan dan memutuskan.

Kita hidup dalam dua arus, bergantian: arus kerentanan kognitif atau arus ketahanan kognitif.

Usahakan untuk bisa terus berenang di arus yang kedua. Bagaimana caranya?

William James menyatakan, “penangkal terbesar dalam melawan stres adalah kesanggupan kita untuk memilah-milah isi pikiran kita.” Dalai Lama XIV juga menyatakan hal yang serupa bahwa “Pikiranlah yang memberi pengaruh paling kuat pada diri kita umumnya”.

Loh bagaimana kita bisa memilah-milah pikiran-pikiran kita sendiri?

Ya dengan pikiran kita yang lebih tinggi, ibarat kita sedang menyaksikan dan sedang mengikuti gerak mengalir fragmen demi fragmen, episode demi episode, dari seluruh film yang sedang kita tonton di dalam sebuah gedung bioskop.

Itulah kemampuan mental kita yang dinamakan kemampuan metakognitif: berpikir melampaui (Yunani: “meta”) pikiran-pikiran yang sedang mengalir bermunculan.

Ihwal Beragama

Begitu juga, jika orang-orang fundamentalis religius yang selalu negatif dalam memandang realitas dunia masa kini tak pernah keluar dari komunitas mereka, mereka akan selamanya fundamentalis dengan tingkat “kerentanan kognitif” yang kian tinggi.

Bagi mereka, dunia ini tak bisa diharapkan lagi, karena dinilai mereka sudah jauh meninggalkan dunia ideal saat agama-agama mereka baru dilahirkan. Mereka lebih memilih cepat-cepat meninggalkan dunia ini, untuk masuk ke dunia lain yang dibayangkan mereka penuh kebahagiaan dan keindahan.

Atau, mereka tetap bertahan dalam dunia ini tetapi memandang tatanan sosial yang ada sekarang sebagai tatanan sosial yang sudah rusak, yang seluruh sistemnya harus diganti dengan sistem tatanan sosial lain dari zaman kuno yang mereka agung-agungkan.

Batin dan pikiran mereka dipenuhi gelora kuat pemberontakan dan perlawanan, alhasil mereka hidup tanpa kedamaian jiwa.

Beragama bagi mereka adalah kemarahan, keluh-kesah dan stres setiap hari. Agama amarah. Bukan agama ramah. Kondisi kerentanan kognitif religius ini dapat terjadi dalam semua agama.

Begitu juga, seorang beragama yang selalu memandang dirinya penuh dosa dan sedang terkena murka Allah, juga hidup dengan tingkat “kerentanan kognitif” yang tinggi.

Untuk menurunkan tingkat “kerentanan kognitif” dalam diri anda, anda harus selalu bisa optimistik dalam memandang diri dan kehidupan anda seluruhnya dan dunia ini sepenuhnya.

Dalam beragama, pilihlah citra tentang Allah yang selalu murah senyum, berwajah damai dan sejuk, dan memandang semua insan dengan cinta, tanpa pilih bulu. Jika ini pilihan religius anda, ketahanan kognitif anda akan muncul.

Tolaklah gambar-gambar tentang suatu Allah pemurka dan pembalas, yang selalu mengawasi segala gerik-gerak setiap penyembah-Nya. Tolaklah citra-citra tentang suatu Allah yang berperang membela umat-Nya dengan melakukan genosida atas umat-umat lain yang dibenci-Nya.

Jauhkanlah diri anda dari citra-citra tentang suatu Allah yang memerintahkan para penyembah-Nya untuk melakukan tindakan-tindakan teror demi menggolkan tujuan-tujuan yang dipercaya dikehendaki-Nya.

Citra-citra semacam itu tentang Allah hanya akan membuat jiwa anda tertekan terus, menaikkan peringkat “kerentanan kognitif” anda, membuat anda tidak berbahagia, dan akan pasti memperpendek umur anda.

Jika anda selalu optimistik di tengah berbagai kejadian apapun dalam kehidupan anda, maka orang di sekitar anda akan juga menjadi optimistik.

Jika anda seorang pemimpin, pertahankanlah selalu optimisme dalam diri anda, diimbangi dengan realisme yang dewasa. Optimisme anda akan menular ke bawahan-bawahan anda. Ketahanan kognitif juga menyebar.

Faktor epigenetik

Sekarang, mari kita berpaling ke sebuah kajian genetik dan neurosains mutakhir atas perilaku sejumlah tikus dan anak-anak mereka yang dilakukan oleh Brian G. Dias dan Kerry J. Ressler. Kajian mereka ini, yang telah dilaporkan dalam jurnal Nature Neuroscience online pada 1 Desember 2013,/2/ dapat menambah pemahaman kita atas perilaku kita juga sebagai manusia.

Sudah menjadi kesepakatan para pakar genetika selama ini bahwa sekuen-sekuen genetik yang terdapat dalam DNA adalah satu-satunya cara untuk meneruskan informasi biologis dari satu generasi ke generasi-generasi selanjutnya. Mutasi-mutasi DNA yang berlangsung acak, jika bermanfaat, memungkinkan organisme-organisme untuk beradaptasi terhadap kondisi-kondisi yang berubah; tetapi proses ini umumnya berlangsung perlahan-lahan selama banyak generasi.

Tetapi beberapa studi telah memberi petunjuk-petunjuk bahwa faktor-faktor lingkungan (environmental factors) dapat mempengaruhi biologi dengan lebih cepat melalui modifikasi-modifikasi “epigenetik” yang hanya mengubah ekspresi gen-gen, tetapi tidak mengubah sekuen-sekuen nukleotid yang sebenarnya dari gen-gen ini.

Dias dan Ressler mengkaji warisan-warisan epigenetik ini pada sejumlah tikus dan anak-anak mereka. Tikus-tikus induk telah dilatih untuk takut terhadap bau zat kimia asetofenon yang disebarkan ke dalam sebuah ruang kecil. Ketika tikus-tikus induk mencium bau asetofenon, mereka diberi sengatan listrik.

Tikus-tikus ini akhirnya belajar untuk menghubungkan bau zat kimia ini dengan rasa sakit yang timbul dari sengatan listrik, alhasil mereka selalu merasa ngeri terhadap bau asetofenon bahkan ketika tidak dikenakan kejut listrik sekalipun.

Ternyata reaksi takut dan ngeri terhadap asetofenon ditularkan ke anak-anak mereka. Meskipun anak-anak tikus ini tidak pernah berhadapan langsung dengan asetofenon yang dibarengi kejut listrik dalam kehidupan mereka, mereka memperlihatkan sensitivitas yang makin bertambah ketika bau zat kimia ini didekatkan ke mereka: mereka langsung memberi reaksi takut dan ngeri terhadap bau zat kimia ini. Bahkan rasa takut dan ngeri ini muncul juga pada anak-anak tikus generasi ketiga.

Respons takut dan ngeri pada anak-anak tikus ini dibarengi juga dengan perubahan-perubahan pada struktur-struktur otak yang memproses bebauan.

Tikus-tikus induk, dan juga anak-anak mereka, yang sensitif terhadap asetofenon memiliki lebih banyak neuron (sel saraf) yang menghasilkan sebuah protein reseptor yang sudah dikenal, yang berfungsi untuk mendeteksi bebauan, jika dibandingkan dengan tikus-tikus pengontrol dan keturunan mereka. Struktur-struktur yang menerima sinyal-sinyal dari neuron-neuron pendeteksi asetofenon, dan yang mengirim sinyal-sinyal penciuman ke bagian-bagian lain dari otak (seperti bagian-bagian otak yang terlibat dalam pemrosesan rasa takut), juga lebih besar.

Non, bangunlah. Pergi nge-gym. Jangan duduk diam di sudut itu terus! Aku jadi ikut sedih nih!

Apa kaitan temuan Dias dan Ressler ini dengan perilaku manusia? Ressler menduga bahwa manusia juga mewariskan perubahan-perubahan epigenetik yang berpengaruh pada perilaku.

Jika orangtua hidup selalu dipenuhi rasa cemas dan rasa takut, keturunan-keturunan mereka di kemudian hari juga akan terpengaruh lewat modifikasi-modifikasi epigenetik terhadap reseptor-reseptor hormon-hormon stres.

Pendek kata, rasa cemas dan rasa takut yang menimbulkan stres yang dialami orangtua akan ditularkan ke anak-anak dan cucu-cucu mereka di kemudian hari. Tetapi Dias dan Ressler sendiri belum tahu bagaimana membuktikan hal ini pada manusia, sementara mereka sekarang ini berencana untuk fokus pada hewan-hewan percobaan di laboratorium mereka.

Kebahagiaan

Mari sekarang kita lihat sisi lain kehidupan kita. Sisi happiness, sisi kebahagiaan.

Jika sikap murung seseorang itu menular ke orang-orang lain yang tinggal bersamanya atau berdiam di dekatnya, atau rasa cemas dan rasa takut pada orangtua dapat diwariskan ke anak-anak dan cucu-cucu mereka, apakah demikian juga halnya dengan kebahagiaan, dengan kegembiraan, dengan happiness?

Dalai Lama XIV pernah menyatakan bahwa tujuan kehidupan kita adalah berbahagia. Tulisnya, “The purpose of our lives is to be happy.”/3/

Setelah pertama kali membaca kalimat pendek itu, saya tidak bisa melupakannya lagi.

Kalimatnya ringkas dan padat, tetapi untuk betul-betul mengalami apa yang menjadi pesan kata-katanya ini orang sesungguhnya harus berjuang, harus berusaha jangka panjang.

Kita tak bisa berpangkutangan saja seolah kebahagiaan itu berkas-berkas cahaya Mentari yang datang dari atas begitu saja ke planet Bumi lalu kita semua menerimanya dengan gratis setiap hari. Tidak demikian.

Sebagaimana ada sangat banyak hal yang bisa membuat kita murung, resah, cemas, sedih dan tertekan, begitulah juga halnya dengan kebahagiaan, dengan happiness.

Ada sangat banyak hal yang bisa membuat kita berbahagia, dan, sebagaimana kita sendiri kerap alami, rasa bahagia itu berbeda-beda dari satu keadaan ke keadaan lainnya. Setiap situasi dan kondisi kehidupan kita memberikan rasa bahagianya sendiri-sendiri.

Orang lazim menyatakan bahwa ketika kita tertawa, di saat itulah kita sedang berbahagia. Tapi, tak selalu demikian. Kita tentu pernah berada dalam situasi sangat berbahagia, tapi kita tidak tertawa sama sekali saat itu, malah menangis. Kita menangis karena berbahagia, dan kita berbahagia karena kita menangis. Tak salah jika kita berkeyakinan, kebahagiaan itu punya misterinya sendiri.

Tetapi, meskipun rasa berbahagia itu variatif, kita semua tahu kapan kita sedang berbahagia dan kapan kita sedang bersedih, kapan seseorang itu sedang berbahagia dan kapan seseorang itu sedang berduka. Mimik seseorang dapat menjadi tanda kebahagiaan atau kedukaan. Suara juga demikian. Kelakuan dan tindakan juga. Sikap dan gaya hidup jangka panjang juga. Bunyi isi surat juga.

Pengalaman kehidupan kita di masyarakat, dan juga pengalaman-pengalaman orang lain, memperlihatkan bahwa kebahagiaan itu juga menular, menyebar ke orang-orang lain yang ada di dekat kita, dekat secara fisik, atau dekat secara mental meskipun secara fisik berjauhan.

Lewat sebuah surat kita dapat menyebarkan kebahagiaan kita kepada seseorang yang tinggal sangat jauh dari kita, tapi sangat dekat ke hati kita.

Karena itu, tidak salah sama sekali jika kita menyatakan bahwa kebahagiaan itu bersifat sosial, perlu dan harus disebarkan ke orang-orang lain, mulai dari orang-orang terdekat kita sampai ke orang-orang yang lebih jauh. Kebahagiaan itu perlu dan harus dirayakan dalam komunitas-komunitas kita, bukan hanya untuk diri kita sendiri selaku individu-individu.

Seorang teman saya di Twitter, Stephanie Harris (tinggal di New Jersey), sempat mendiskusikan ihwal happiness dengan saya.

Saya tulis ke dia sebuah pernyataan saya bahwa “Happiness is something to be shared with, not to be monopolized by any people. Happiness is social in character.”

Lalu dia menimpali, tulisnya, “It’s also found within. When others impede on what’s within, they must go outside. Happiness is a human right we all deserve.”

Dua hal penting yang muncul dalam percakapan singkat kami ini adalah bahwa kebahagiaan itu bersifat sosial dan merupakan HAM yang harus dipenuhi bagi setiap orang, sejak dilahirkan hingga wafat.

Kembali ke Dalai Lama. Tujuan kehidupan setiap orang dalam dunia ini adalah berbahagia. Supaya tujuan ini tercapai untuk semua orang, kebahagiaan harus disebarkan, diteruskan, dan dibagi ke orang-orang lain sebanyak yang kita dapat jangkau. Siapapun tak boleh memonopoli kebahagiaan.

Bahagia yang bagaimana?

Tapi pertanyaan di atas tetap mengganggu. Kebahagiaan yang bagaimana yang harus kita tularkan, sebarkan dan bagikan?

Ada sangat banyak orang di dalam dunia ini yang akan merasa berbahagia jika mereka melakukan hal-hal yang jahat kepada orang lain. Mereka berbahagia di atas penderitaan dan nestapa orang-orang lain yang mereka sendiri ciptakan dengan berdarah dingin.

Tapi saya mau tegaskan sejelas-jelasnya, kebahagiaan jenis ini adalah abnormalitas, ketidakwarasan jiwa, suatu patologi yang dinamakan psikopati.

Kebahagiaan jenis abnormal ini dikejar misalnya oleh para teroris yang melakukan berbagai tindakan teror atas nama suatu agama atau suatu allah tertentu.

Tentu anda setuju, kebahagiaan jenis ini bukanlah kebahagiaan yang anda kejar, dan juga harus tidak disebarkan ke orang-orang lain. Ini adalah kebahagiaan yang kejam, buas, bengis, dan melanggar HAM.

Tak jauh dari kebahagiaan abnormal jenis itu, juga ada kebahagiaan jenis lain yang bisa dialami seseorang jika orang ini, karena kedengkian dan kompetisi tidak sehat yang dibangunnya, melihat seseorang lainnya yang dikenalnya (bahkan bisa teman dekatnya) menderita berbagai hal buruk dalam momen-momen tertentu kehidupannya. Ini kita sebut kebahagiaan “teman yang memakan teman”. Ini adalah kebahagiaan yang zalim, lalim dan melanggar HAM.

“Schadenfreude”

Nah, saya mau uraikan suatu hal penting pada kesempatan ini, yakni tentang “Schadenfreude”.

Ini adalah sebuah kata Jerman bentukan dari dua kata benda “Schaden” dan “Freude” yang masing-masing berarti “bahaya” atau “kerusakan” (Inggris: “harm” atau “damage”) dan “kegirangan” (Inggris: “joy” atau “pleasure” atau “delight”).

Jika diinggriskan, Schadenfreude menjadi harm-joy. Kata benda gloating (atau glee) dalam bahasa Inggris juga mengungkap hal yang sama.

Apa makna kata gabungan Schadenfreude?

“Schadenfreude” dipakai dalam psikologi untuk mengacu ke kondisi mental negatif seseorang yang bergembira dan senang bahkan tertawa terbahak-bahak kegirangan ketika dia melihat seorang lain sedang tertimpa azab atau duka atau mengalami keadaan sial atau bahaya atau petaka. Ada psikolog yang melihat “Schadenfreude” sebagai sisi gelap kodrat manusia.

Sikap “Schadenfreude” ini bukan sikap “bawah sadar” (meski bisa!), tetapi suatu sikap yang sangat disadari.

Bahkan dalam banyak kasus, “Schadenfreude” sengaja diciptakan untuk berbagai tujuan, khususnya dalam pertarungan politik untuk mencemooh, melecehkan, merendahkan dan menjatuhkan pamor lawan di muka umum dengan cara-cara licik dan melawan hukum. Atau sebagai suatu tindakan pembalasan dendam karena iri hati dan kedengkian.


Ilustrasi yang terlampir di atas memberi sebuah contoh gamblang apa itu “Schadenfreude”.

Si anak bertanya ke ayahnya, “Ayah, sebetulnya apa sih yang dimaksud dengan Schadenfreude?” Ketika sang ayah bersiap-siap menjelaskan, “Ehem... begini anakku...”, tiba-tiba sebuah pot bunga jatuh dari atas dan menimpa kepala sang ayah.... Bleeetaaak!

Tentu saja sang ayah puyeng seribu satu keliling. Sakit sekali. Untung tidak sampai kelengar atau gegar otak.

Nah, di saat sang ayah sedang kesakitan luar biasa, si anak malah melihat kejadiannya lucu. Si anak tertawa terbahak-bahak tak bisa ditahan, tidak punya empati sama sekali terhadap ayahnya sendiri. Satu kata saja: Sinting! Pertanyaan si anak telah dijawab sendiri olehnya tanpa disadarinya!

Ketimbang jatuh kasihan lalu mendekap sang ayah sambil satu tangannya memijat-mijat kepala sang ayah, si anak malah memperlihatkan perilaku “Schadenfreude”.

Kita semua mungkin pernah terserang “Schadenfreude”. Bergembira melihat orang lain susah; susah karena macam-macam penyebab, misalnya sakit atau terkena musibah tak terduga; atau susah karena kita sendiri yang sengaja membuatnya susah. Mereka sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Tetapi, kita ngakak melihat kejadian yang membahayakan itu.

Kita belum menjadi manusia kalau “Schadenfreude” masih ada pada kita hingga dewasa, betapapun penting atau tinggi kedudukan kita dalam masyarakat, dan betapapun kita sangat kaya raya.

Sejumlah politikus atau sekelompok orang yang hidup enak senang dan gembira melihat sebagian keluarga nelayan yang, atas anjuran mereka, memilih tetap bertahan hidup susah dan serba rentan di dalam perahu-perahu kecil mereka ketimbang ikhlas pindah ke rusun-rusun yang disediakan Pemprov DKI di tahun 2016 lalu.

Mereka, para politikus itu dan kelompok pendukung mereka, sebetulnya sedang terkena Schadenfreude sementara mereka sedang menyerang lawan-lawan politik mereka, khususnya pemimpin teratas kota DKI Jakarta.

Dalam bukunya yang berjudul The Joy of Pain: Schadenfreude and the Dark Side of Human Nature, Richard H. Smith bahkan melihat genosida atas enam juta orang Yahudi oleh rezim Nazi di bawah Hitler adalah suatu bentuk “Schadenfreude” bangsa Jerman terhadap bangsa Yahudi.

Karena sangat banyak orang Yahudi yang berhasil dalam banyak kegiatan profesional pada masa itu, bagian terbesar bangsa Jerman menjadi iri hati dan dengki. Lalu genosida atas bangsa Yahudi berlangsung, dan bangsa Jerman tertawa senang melihat penderitaan dan kebinasaan jutaan orang Yahudi yang mereka datangkan sendiri lewat mesin politik dan militer Nazi yang brutal.

Seseorang yang jiwanya sudah matang, tidak akan terkena “Schadenfreude”. Sebaliknya, dia mampu ikut merasakan dukacita dan azab orang lain sedalam-dalamnya, siapapun dan di mana pun orang lain itu berada dan ketika apapun.

Lalu dia akan mengusahakan berbagai pertolongan yang bisa membantu orang lain itu lebih ringan memikul azab mereka dan dapat hidup dengan lebih baik. Dia tidak akan pernah memanfaatkan azab orang lain untuk keuntungan dirinya sendiri atau untuk kepuasan batinnya sendiri.

Orang yang semacam itu memiliki soft skill empati dan belarasa yang tinggi, yang diperlukan jika kita mau masyarakat kita kohesif kuat dan keadilan sosial menjadi realitas.

Tapi ingatlah, menanggung dosa, azab dan duka tujuh milyar lebih manusia di abad ke-21 ini oleh anda sendirian, tentu saja suatu kemustahilan dari segala kemustahilan. Ini cuma khayalan seorang megalomaniak. Jadilah orang kecil yang berjiwa besar saja.

Cukuplah anda kalahkan kekuatan “Schadenfreude” di saat anda melihat satu orang manusia lain sedang tertimpa kemalangan di hadapan anda, apapun agama dan suku atau etnis atau kebangsaan, asal daerah atau warna kulitnya atau bahasa ibunya.

Jika dia lapar, berikan separuh roti yang ada di tangan anda, atau anda berikan seluruhnya. Jika dia haus, berikan sebotol air yang ada pada anda semuanya. Jika dia tidak punya sebuah rumah yang layak dihuni, bangunkan sebuah rumah sederhana namun layak untuk dia tinggali. Jika dia sedang kedinginan di musim dingin yang menyengat dan menggigit, tanggalkan mantel anda dan berikan kepadanya.

Bebaskan diri anda dari Schadenfreude. Jadilah manusia kepada sesama manusia lainnya. Jangan bersenang-senang di atas penderitaan orang lain, atau karena penderitaan orang lain.

Para pelawak dan pembanyol memang cakap membuat anda terbahak-bahak. Tetapi orang yang sedang terkena azab dan kemalangan, harus anda tolong dan bebaskan, bukan untuk membuat anda senang dan gembira dan tertawa terpingkal-pingkal.

Buang jauh-jauh sisi gelap Schadenfreude dari dalam mental anda. Buatlah lebih bercahaya lagi sisi terang kebajikan diri anda.

Tetapi, masih ada sebuah pertanyaan yang anda musti jawab sendiri: Apakah “Schadenfreude” yang diungkap dan diarahkan masyarakat yang sehat terhadap para koruptor yang sudah dijatuhi hukuman penjara puluhan tahun dan dijadikan miskin total, adalah “Schadenfreude” yang etis dan menimbulkan efek jera dan efek takut kepada para calon koruptor lain?

Pertimbangkanlah! Ingatlah, koruptor kakap terbesar di dunia yang tercatat hingga saat ini berasal dari negeri anda, sosok yang pernah menjadi orang nomor satu di NKRI.

Ada satu jenis kebahagiaan yang lain, yang normal. Pengamatan anda benar jika anda menyatakan bahwa pada masa kini, dalam dunia yang kaya dengan berbagai bentuk teknologi penghiburan (entertainment technology), kebahagiaan sedang dan akan terus diperjual-belikan, dan hanya orang-orang yang mampu dan mau membayar akan mengalami kebahagiaan jenis ini.

Tetapi kanak-kanak di kampung-kampung terbelakang di negeri-negeri Dunia Ketiga pun dapat sangat berbahagia saat mereka sedang bermain-main dan menghibur diri dengan alat-alat bermain yang sangat bersahaja dan apa adanya, tanpa perlu membayar mahal, atau malah mereka memperolehnya dengan gratis.

Kekayaan atau kesehatan?

Tentu saja anda akan menyatakan bahwa seseorang akan berbahagia jika dia memiliki banyak kekayaan, sama sekali tak berkekurangan, bahkan mampu menopang kehidupan semua keturunannya sampai ke cicit-cicit yang tak terhitung banyaknya.

Tak ada orang yang tak mau mengalami kebahagiaan jenis itu. Semua orang pada zaman modern ini bahkan mengejarnya, apapun juga taruhannya.

Kerja keras belasan tahun mencari nafkah serupiah demi serupiah dengan cara-cara yang jujur dan bermartabat. Atau, melakukan tindak pidana korupsi besar-besaran yang berakhir dengan hukuman penjara belasan hingga puluhan tahun yang menghancurkan seluruh kehidupan keluarga mereka.

Juga banyak orang akan menyatakan bahwa mereka akan berbahagia jika hidup sehat secara fisik sepanjang umur kehidupan mereka, entah mereka kaya raya ataupun hidup dengan ekonomi sedang-sedang saja.

Tentu anda akan lebih siap memilih hidup sehat seumur hidup sekaligus kaya raya alih-alih hidup sehat seumur hidup tetapi miskin.

Kita tahu, demi memulihkan kesehatan banyak orang harus menggunakan kekayaan mereka, bahkan ada yang sampai jatuh miskin karena berusaha keras untuk sembuh dari penyakit tertentu. Asuransi kesehatan dengan premi bulanan sangat besar, banyak ditawarkan. Tapi banyak orang tak mampu membayarnya.

Kesehatan itu sangat penting, dan jelas sangat menentukan apakah seseorang akan berbahagia ataukah akan tidak berbahagia. Tanpa kesehatan fisik, kekayaan sebesar apapun akan tidak bisa membahagiakan anda.

Kita juga tahu betul, seseorang akan merasa bahagia jika cita-citanya terkabul, atau hal-hal yang didambakannya akhirnya diperolehnya. Saat diwisuda sebagai seorang sarjana, kita merasa sangat berbahagia, apalagi orangtua kita yang telah membesarkan kita dan telah membiayai seluruh keperluan sekolah kita.

Sepasang muda-mudi juga sangat berbahagia ketika mereka, seperti telah lama mereka rencanakan dan siapkan, akhirnya menikah, dan pesta perkawinan mereka dirayakan besar-besaran, entah dengan biaya sendiri atau dengan biaya orangtua kedua belah pihak secara patungan.  

Masih banyak lagi bentuk kebahagiaan yang bisa kita raih. Silakan anda mendaftarkannya.

Semua kebahagiaan yang disebut di atas cirinya cuma satu: kebahagiaan yang terarah ke dalam diri kita sendiri, hanya bagi kita sendiri.

Tentu saja untuk semua kebahagiaan yang normal yang telah digambarkan di atas, Dalai Lama tidak akan berkeberatan jika orang mencari dan mendapatkannya.

Kebahagiaan yang dialirkan

Tetapi, ada kebahagiaan jenis lain yang dipikirkan Dalai Lama. Tidak lain, kebahagiaan yang anda perlu sebarkan dan bagikan adalah kebahagiaan yang timbul dalam hati anda, dan dirasakan orang-orang lain, ketika anda sedang, atau telah usai, melakukan hal-hal yang baik dan bermanfaat bagi orang-orang lain, yang anda kenal dan yang anda tidak kenal.

Itu adalah kebahagiaan yang sejati, yang kita alami ketika kita mengarahkan dan mengalirkan kehidupan kita ke orang lain, untuk membuat mereka berbahagia lewat perbuatan-perbuatan baik kita.

The true happiness is one that you experience mentally and socially after you have done good to as many people as you can reach. Ini adalah kebahagiaan yang kita datangkan kepada orang lain karena kita mencintai mereka dengan tulus, dan karena kita juga tahu mereka membutuhkan cinta kita.

Dalai Lama menyatakan,

“Kebutuhan untuk dicintai ada di dasar-dasar kehidupan kita sebagai manusia. Sejak kita dilahirkan, kebutuhan untuk dicintai orang lain sudah mengalir di dalam darah kita.”

Dilihat dari sudut ini, anda akan jauh lebih berbahagia ketika anda kaya raya sekaligus anda bersifat dermawan, karena anda mencintai sesama anda.

Bill Gates

Bill Gates pernah menyatakan, seseorang itu baru betul-betul kaya raya jika dia sudah menjadi seorang filantropis, saat dia membagi kekayaannya dengan dermawan untuk memberi kebahagiaan sebanyak-banyaknya kepada sebanyak mungkin orang.

Kekayaan dan kedermawanan tidak boleh dipisah, jika anda mau hidup berbahagia dengan kekayaan anda.

Kata Bill Gates, “Ide umum mengenai orang kaya menolong orang miskin, menurutku, adalah ide yang penting.”

Berkaitan dengan anak-anaknya, Bill Gates pernah menyatakan, “Aku ingat aku pernah berpikir dengan logis bahwa aku tidak ingin memanjakan anak-anakku dengan kekayaan, karena itulah aku ingin mendirikan sebuah yayasan, tapi sekarang aku belum tahu dengan persis apa yang akan menjadi fokus yayasan ini.”

Di tahun 2011, tiga orang terkaya dunia adalah, pertama, Carlos Slim Helu (hartawan Meksiko) dengan kekayaan berjumlah 60 milyar USD, lalu, kedua, Bill Gates dengan jumlah kekayaan 49 milyar USD, dan, ketiga, Warren Buffet dengan kekayaan 47 milyar USD. Tetapi jika Bill Gates tidak menjadi seorang filantropis, kekayaannya pada tahun itu akan berjumlah 88 milyar USD. Ini berarti, dalam tahun 2011 Bill Gates mendermakan kekayaannya sendiri sebesar 39 milyar USD, atau 44,32 %.  

Bersama istrinya, Melinda, Bill Gates telah mendirikan sebuah yayasan privat terbesar dunia yang diberi nama Bill and Melinda Gates Foundation yang fokus pada pelayanan sosial filantropis kesehatan global, pembangunan, dan pendidikan di Amerika Serikat. Lebih dari sepertiga total kekayaannya digunakan Bill Gates untuk filantropi, jumlah donasi filantropis terbesar di AS.

Menurut direktur Center on Wealth and Philanthropy, Boston College, Paul Shervish, kedermawanan Bill Gates yang luar biasa telah “dengan dramatis” mempengaruhi banyak hartawan lain untuk juga menjadi para dermawan dunia.

Shervish mengumpamakan kedermawanan sebagai sebutir mutiara, lalu katanya Bill Gates telah “mengubah lekuk-lekuk permukaan mutiara ini lewat belajar dari dan mengajar ke orang lain.”/5/

Dalam daftar Forbes Billionaires 2013 yang dipublikasi 25 Maret 2013, dari 1.426 milyarder dunia tahun 2013, tiga orang terkaya adalah: pertama, Carlos Slim Helu (Meksiko) dengan total kekayaan 73 milyar USD; kedua, Bill Gates (Amerika Serikat) dengan total kekayaan 67 milyar USD; ketiga, Amancio Ortega (Amerika Serikat) dengan kekayaan seluruhnya 57 milyar USD. Untuk pertama kalinya sejak tahun 2000, Warren Buffett menduduki peringkat keempat dengan total kekayaan 53,5 milyar USD./6/ Untuk tahun 2013, Buffett menyumbang 2 milyar USD ke yayasan Bill Gates./7/

Pada daftar panjang orang terkaya di dunia 2018 yang disusun Forbes, enam pertama mencakup: 1. Jeff Bezos (112 milyar USD); 2. Bill Gates (90 milyar USD); 3. Warren Buffett (84 milyar USD); 4. Bernard Arnault (72 milyar USD); 5. Mark Zuckerberg (71 milyar USD); 6. Amancio Ortega (70 milyar USD). Data kekayaan enam orang terkaya di dunia ini berlaku pada 9 Agustus 2018, pk. 6:40 AM./8/

Agama Dalai Lama dan agamaku

Kembali ke Dalai Lama. Berulang-ulang beliau di banyak tempat menyatakan bahwa dia jauh lebih mementingkan perbuatan-perbuatan baik dan karya-karya agung untuk umat manusia ketimbang rumah-rumah ibadah dan ritual-ritual keagamaan. Untuk membuat keduanya tampak megah umat beragama, kata Dalai Lama, tak sungkan mengeluarkan sangat banyak uang.

Tentang agamanya, Dalai Lama menyatakan hal berikut ini.

Inilah agama saya yang bersahaja: 
Tidak perlu rumah-rumah ibadah
Tidak perlu filsafat yang rumit
Otak saya dan hati saya 
Itulah rumah-rumah ibadah saya
Filsafat saya kemurahan hati

Agama Dalai Lama ini dekat dengan agama saya:

Agama saya kebaikan hati
Surga saya dunia ini  
Kitab suci saya
Bentangan langit biru nan agung
Syahadat saya
Bersikap adil kepada semua orang 
Rumah ibadah saya 
Tempat kanak-kanak bermain
Ritual saya 
Meneruskan ilmu pengetahuan ke sesama insan 
Tuhan saya cinta kasih nan raya  
Angin yang berhembus sumber inspirasi saya
Bergabunglah ke dalam agama saya

Akhirnya, apa yang harus kita lakukan untuk membuat kita lebih berbahagia?

Penutup

Dalai Lama kali ini menyatakan bahwa

“semakin dalam kita mempedulikan kebahagiaan orang lain, semakin besar kita merasakan diri kita sejahtera.” 

Lewat kicauannya di Twitter 9 Januari 2014, Dalai Lama menyatakan hal yang sama, “Jika anda mengabdikan diri anda untuk menolong orang lain, maka anda akan lebih berbahagia.” Ujilah sendiri apakah yang dinyatakan Dalai Lama ini benar atau salah.

Nah, jika suatu agama mendorong orang untuk meneruskan kebahagiaan sejati kepada sebanyak mungkin orang yang terjangkau, hargailah agama yang semacam ini.

Dan ingatlah selalu, kebahagiaan sejati itu harus diperjuangkan dan diusahakan dengan bersungguh-sungguh, perjuangan dan usaha yang menuntut juga kecerdasan dan pengetahuan anda dalam beragama.

Dan, menyebarkan kebahagiaan adalah tugas yang diberikan oleh agama anda, karena itu tugas ini lebih penting dari tugas menyebarkan agama anda.

Begitu juga, jika anda menganut suatu agama atau memeluk keyakinan suatu aliran keagamaan, tapi anda setiap hari menjadi stres dan tertekan karenanya, tinggalkanlah agama itu atau aliran keagamaan itu.

Semua agama yang benar bertujuan untuk memberi anda dan sesama anda kebahagiaan dan akal yang panjang, bukan kecemasan, rasa stres, ketakutan, kengerian, kepanikan, dan kebodohan.

Beragama membuat anda berani hidup, bukan berani mati. Hidup itu panjang dan berat. Mati itu singkat, dalam beberapa detik hingga, katakanlah, sepuluh menit.


Catatan-catatan

/1/ Tinjauan atas studi ini (18 April 2013) terpasang online di http://www.psychologicalscience.org/index.php/news/releases/risk-factor-for-depression-can-be-contagious.html.

/2/ Brian G. Dias dan Kerry J. Ressler, “Parental olfactory experience influences behavior and neural structure in subsequent generations”, Nature Neuroscience, http://dx.doi.org/10.1038/nn.3594 (2013). Tinjauan atas studi Dias dan Ressler ini telah dilakukan oleh Ewen Callaway, “Fearful memories haunt mouse descendants”, 1 Desember 2013, http://www.nature.com/news/fearful-memories-haunt-mouse-descendants-1.14272.

/3/ Dalai Lama, “Compassion and the Individual”, http://dalailama.com/messages/compassion.

/4/ Richard H. Smith, The Joy of Pain: Schadenfreude and the Dark Side of Human Nature (Oxford University Press, 2013).

/5/ Lihat reportase Michelle Nichols, “Bill Gates's philanthropy costs him richest-man title”, Reuters.Com, 8 Maret 2011, http://www.reuters.com/article/2011/03/08/us-wealth-gates-philanthropy-idUSTRE72668V20110308.

/6/ Lihat laporan Luisa Kroll, “Inside the 2013 Billioniares List: Facts and Figures”, Forbes.Com, 3 April 2013, http://www.forbes.com/sites/luisakroll/2013/03/04/inside-the-2013-billionaires-list-facts-and-figures/.

/7/ Lihat laporan Kathleen Chaykowski, “Buffett Makes $ 2 Billion Donation to Gates Foundation”, Bloomberg.com, July 9, 2013, http://www.bloomberg.com/news/2013-07-08/buffett-makes-2-billion-donation-to-gates-foundation.html.

/8/ Lihat Luisa Kroll and Kerry Dolan, eds., “Meet The Members of The Three-Comma Club”, Forbes, 6 March 2018, https://www.forbes.com/billionaires/list/.

Sunday, April 21, 2013

Pengalaman keagamaan di megachurches


Kajian yang berjudul “‘God is like a drug’: Explaining Interaction Ritual Chains in American Megachurches”, yang disajikan pada 19 Agustus 2012 dalam pertemuan tahunan American Sociological Association di Denver,/1/ berfokus pada kegiatan-kegiatan ibadah Minggu di gereja-gereja superbesar (megachurches) Amerika. Menurut kajian ini, kegiatan-kegiatan ibadah semacam ini sanggup menimbulkan euforia dan rasa sukacita yang besar dalam diri umat yang bersumber dari apa yang mereka klaim sebagai pengalaman memasuki lalu menyatu dengan dunia adikodrati. Dalam pengalaman ini, cinta serta kegairahan mereka terhadap Allah (atau Roh Kudus) dirasakan begitu real dan berbalas sehingga mereka ketagihan untuk terus-menerus ambil bagian dalam kegiatan-kegiatan ibadah ini dari waktu ke waktu.

dalam gereja superbesar ini, Allah dialami sebagai candu...

Kita tahu bahwa pengalaman keagamaan “melambungnya” umat ke dalam dunia transenden yang diikuti dorongan kuat untuk terus-menerus menyatu dengan Allah, terjadi karena lewat semua aktivitas ibadah itu, yang telah dirancang dengan sangat unik, hormon oksitosin (yang dijuluki sebagai “hormon cinta”) dalam jumlah yang makin meningkat terpicu lepas dari sel-sel otak, lalu masuk ke aliran darah dan berpengaruh pada seluruh tubuh.

Musik modern yang diangkat bertubi-tubi, nyanyian-nyanyian yang melambung, kamera-kamera yang memindai audiens dan memproyeksikan pada layar-layar lebar para peserta ibadah yang sedang tersenyum, tertawa, berdansa, bernyanyi, menangis bahkan terjatuh lunglai ke lantai dalam keadaan ekstasis, yang diselang-seling dengan khotbah-khotbah para pengkhotbah kharismatis yang disengaja menyentuh dengan sangat kuat hanya aspek-aspek emosional umat―semuanya ini berfungsi untuk menaikkan suhu emosi setiap orang yang hadir, membawa mereka ke dalam bayangan-bayangan memasuki dunia transenden, bertemu dengan Allah atau dipenuhi kehadiran Roh Kudus, dan untuk membangun suatu identitas bersama sebagai satu perhimpunan besar umat Allah yang dikasihi dan mengasihi Allah. Lewat ini semua, hormon oksitosin dalam otak meningkat volumenya. Semakin banyak hormon oksitosin dilepaskan lewat aksi-reaksi elektrokimiawi otak, semakin orang dipersatukan secara sosial dan secara afektif dengan sesamanya dalam satu himpunan besar orang, bahkan dengan objek-objek lain yang tak kasat mata (“gaib”) yang dibayang-bayangkan ada bersama mereka.

Besarnya ukuran bangunan fisik gereja dan jumlah umat ternyata tidak menjadi penghalang untuk semua yang hadir mengalami pengalaman dipersatukan secara sosial dengan sesama umat dan dengan Allah atau dengan Yesus Kristus, dan untuk mengalami  euforia. Bisa jadi, fenomena sosiopsikologis dan spiritual semacam ini menjadi penyebab utama megachurches di Amerika terus berkembang dengan pesat. Allah itu seperti candu!

Selain khotbah-khotbah yang disengaja menyentuh dalam-dalam emosi umat, musik dan nyanyian yang diangkat dalam ibadah-ibadah di megachurches sangat kuat berperan dalam melambungkan umat ke dalam pengalaman-pengalaman rohani. Pertanyaannya, Apakah musik dan madah-madah yang meriah dan melambung ini memang positif bagi kesehatan jiwa orang-orang yang ambil bagian aktif di dalamnya atau yang mendengarkannya?

Kajian-kajian klinis neurosaintifik yang dilakukan Lin ST dkk pada tahun 2011, yang diterbitkan di jurnal Harvard Review Psychiatry, dengan judul “Mental health implications of music: insight from neuroscientific and clinical studies”, menunjukkan bahwa musik dapat menjadi media yang mampu mempengaruhi proses-proses neurobiologis yang rumit di dalam otak dan dapat memainkan suatu peran yang penting dalam pengobatan. Kajian-kajian klinis memberi bukti bahwa terapi musik dapat dilakukan sebagai sebuah terapi alternatif untuk mengobati depresi, autisme, skizofrenia, dementia, dan juga masalah-masalah yang muncul dari gejolak kejiwaan, kecemasan, insomnia, dan penyalahgunaan narkoba./2/ Tetapi, sebagaimana dirujuk oleh Daniel C. Dennett dalam bukunya Breaking the Spell: Religion as a Natural Phenomenon, sebuah penelitian lain mengenai musik yang dilakukan di Cambridge University and Caltech yang diterbitkan di New York Times, memperlihatkan bahwa musik sebenarnya buruk untuk kesehatan, menjadi faktor besar penyebab penyakit Alzheimer dan serangan jantung, berperan besar dalam melahirkan perilaku agresif, xenofobia dan lemahnya kemauan, dan memperbesar kemungkinan orang melakukan tindak kekerasan./3/ 

Dua kesimpulan yang berbeda tentang manfaat musik bagi kesehatan manusia ini sudah seharusnya membuat setiap pecinta musik bijaksana dan cerdas dalam memilih jenis-jenis musik dan suara. Terapis musik Jennifer Buchanan menyatakan, “musik dengan cepat merangsang dan mengaktifkan pusat-pusat ‘hadiah’ dalam otak kita. Apa yang terjadi pada kebanyakan kita hanya dalam beberapa detik adalah, kita akan mengalirkan hormon-hormon ke dalam sistem saraf kita, seperti dopamin yang akan membantu kita merasa damai, oksitosin yang akan menolong kita mempercayai orang lain, dan serotonin yang dapat membantu kita tertidur lelap. Semuanya bergantung pada jenis musik, lagu dan nadanya.”/4/


Catatan-catatan

/1/ Chris Lisee, “Megachurch ‘High’ May Explain Their Success”, Huffington Post 20 August 2012, pada http://www.huffingtonpost.com/2012/08/20/megachurch-high-may-explain-success_n_1813334.html?; juga American Sociological Association, “God as a drug: The rise of American Megachurches”, Science Daily August 19, 2012, pada http://www.sciencedaily.com/releases/2012/08/120819153536.htm 

/2/ Lihat Lin ST, Yang P, et al., “Mental health implications of music: insight from neuroscientific and clinical studies”, Harvard Review Psychiatry, Jan-Feb 2011; 19 (1): 34-46, pada http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/21250895.  

/3/ Daniel C. Dennett, Breaking the Spell: Religion as a Natural Phenomenon (London: Penguin Books, 2006) hlm. 41.

/4/ Rebecca Zamon, “Music And Health: What Can Music Do For Your Mental Health?”, Huffington Post Living, 19 November 2012, pada http://www.huffingtonpost.ca/2012/11/19/music-and-health_n_2160571.html?just_reloaded=1#slide=1778649.